• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11488 / Download: 6948
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Sedekah

Sebagian besar cenderung menyisihkan sebagian pendapatan harian, mingguan atau bulanannya untuk ditabung sebagai simpanan hari tua atau cadangan saat ada kebutuhan mendesak. Tujuannya adalah supaya kelak di hari tua atau saat memerlukan tidak harus menyusahkan orang lain. Menabung tidak dilarang dalam Islam bahkan agama ini memandangnya sebagai salah satu bentuk dari pemikiran dan perencanaan ke depan yang baik. Islam menekankan kepada umatnya untuk memikirkan masa depan.

Namun dalam perspektif Islam, tabungan tidak terbatas pada tabungan dalam bentuk materi. Ada pula tabungan yang mesti dititipkan manusia di sisi Allah, yaitu pahala dari amal kebajikan yang dilakukan manusia. Tidak ada kata rugi dan nihil dalam tabungan jenis ini. Bahkan sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah, Dia akan melipatgandakan amal kebaikan manusia.

Ada sebagian orang yang menyisihkan hartanya membangun sekolah atau membelanjakan uangnya untuk membantu biaya sekolah anak-anak miskin, atau membangun sarana umum seperti klinik dan rumah sakit, berarti telah menabung hartanya di sisi Allah. Sedekah dan sumbangan yang keluar dari sakunya tidak akan hilang sia-sia karena Allah lah yang akan menerima dan menyimpannya dalam bentuk pahala berlimpah di sisi-Nya. Kebiasaan bersedekah dan berderma adalah salah satu tradisi terpuji yang mendapat perhatian dalam agama Islam.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa menciptakan tradisi yang baik di tengah masyarakat sehingga ditiru oleh orang-orang yang lain, maka ia berhak menerima pahala dari setiap kebajikan yang dilakukan orang lain yang mengikuti tradisi itu.“ Pahala seperti ini biasanya disebut sebagai pahala jariyah yang terus mengalir ke lembaran amalnya meski ia telah meninggalkan dunia ini. Sebaliknya menciptakan tradisi yang buruk akan membuat seseorang terus mendapatkan dosa orang-orang yang mengikuti tradisi itu bahkan sampai setelah kematiannya.

Komunitas dan perkumpulan seklompok manusia sering diibaratkan umpama satu tubuh. Orang sehat adalah orang yang seluruh anggota tubuhnya sehat. Demikian pula halnya dengan sebuah komunitas atau masyarakat manusia yang akan disebut jika seluruh anggotanya sehat. Untuk itu, dalam sebuah masyarakat, orang yang mampu hendaknya membantu orang-orang yang tidak mampu sehingga kondisi masyarakat akan stabil dari sisi ekonomi. Sedekah dan derma adalah salah satu manifestasi dari amal salih dan infak di jalan Allah. Sedekah dan derma bisa menekan kesenjangan sosial dan jurang antara miskin dan kaya.

Dengan berderma kepekaan orang terhadap nasib orang lain akan semakin tinggi dan ia akan semakin mengasihi sesama. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang rakus dan gemar menumpuk harta untuk dirinya, maka Islam mensyariatkan amalan sedekah dalam bentuk zakat dan khumus yang wajib dibayarkan oleh setiap orang yang kaya dan memenuhi kriteria kewajibannya. Ada juga derma yang sunnah seperti sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Dalam surah al-Baqarah ayat 261 Allah Swt berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: Seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Di dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as mengenai sedekah dan dampaknya dalam kehidupan manusia berkata, “Hak sedekah adalah hendaknya engkau mengetahui bahwa (sedekah) adalah simpananmu di sisi Allah dan amanat yang dititipkan tanpa perlu kehadiran saksi. Jika hal itu telah engkau ketahui maka hendaknya engkau lebih merasa tentram saat menitipkan amanat di sisi Allah secara diam-diam lebih dari ketentaramanmu kala menitipkannya secara terang-terangan. Seyogyanya, amal ini hanya diketahui oleh dirimu dan Tuhanmu, dan jangan libatkan telinga dan mata menjadi saksi…Ketahuilah bahwa sedekah menjauhkan berbagai musibah dan penyakit dari dirimu dan akan menyelamatkanmu dari siksa api neraka. Jangan pula engkau mengungkit-ungkit derma yang engkau berikan dengan itu engkau akan dapat memanfaatkan derma itu, sedangkan jika engkau ungkit maka berarti engkau telah menempatkan diri dalam kehinaan. Sebab, dengan mengungkit berarti engkau mengejar kepentingan sendiri saat berderma…”

Dalam ucapan tadi Imam Sajjad as mengingatkan orang yang berderma bahwa uang yang dia belanjakan di jalan Allah adalah tabungan akhirat baginya di sisi Allah. Derma harus selalu diiringi dengan niat yang tulus dan ikhlas untuk mendapat ridho Allah, bukan karena faktor ingin dipuji dan dikenal. Selain itu, orang harus yakin bahwa manfaat dan keuntungan dari sedekah yang ia berikan akan kembali kepada dirinya. Karena itu sedekah tidak boleh diungkit-ungkit atau diumbar untuk mencari nama. Agama mensyariatkan sedekah dan infak dan memandangnya sebagai amalan dengan pahala berlimpah di sisi Allah Swt.

Hak Pemimpin

Imam Sajjad as berkata, “Mengenai hak orang yang memimpin dan berkuasa atasmu maka ketahuilah bahwa engkau adalah cobaan baginya dan sedang diuji dengan perantaraan dirimu. Karena itu, berilah nasehat kepadanya secara tulus dan jangan masuk lewat pintu pembangkangan terhadapnya, sebab itu hanya akan membinasakanmu. Perlakukanlah ia dengan rendah hati dan lemah lembut supaya engkau merebut hatinya dan agamamu terhindari dari gangguannya. Untuk itu mintalah bantuan dari Allah…”

Setelah menjelaskan hak-hak hukum agama dan ibadah, Imam Sajjad as menerangkan tentang hak-hak sosial dan politik. Hak pertama yang beliau singgung adalah hak pemimpin dan penguasa. Dalam sistem sosial dan politik, sejak zaman dahulu di setiap masyarakat selalu ada orang yang dijadikan pimpinan. Supaya masyarakat terkontrol dengan baik, kepemimpinan harus diemban oleh figur yang mumpuni. Tidak ada satupun negara bahkan masyarakat yang bisa tertata tanpa adanya sistem kepemimpinan. Sebab kepemimpinan itulah yang menjadi sentra sistem sosial yang tanpanya kekacauan dan ketidakberaturanlah yang bakal berkuasa.

Ada masyarakat yang dipimpin oleh figur-figur ilahi sehingga menjadi masyarakat yang baik dan ada pula yang dipimpin oleh manusia zalim dan durjana yang hanya membawa kesengsaraan dan ketidakadilan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Di zaman kita, dua macam figur pemimpin ini dapat kita jumpai. Islam selalu menekankan bahwa kepemimpinan suatu masyarakat dan umat harus dipikul oleh manusia yang cakap, mumpuni, bijak dan salih. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk peduli terhadap nasib dan masa depan diri dan masyarakatnya. Islam mengajarkan agar kita memilih orang yang memandang kekuasaan sebagai sarana untuk mengikis ketidakadilan dan kesengsaraan, serta media untuk membangun dan memakmurkan masyarakat.

Pemimpin dengan kriteria yang salih punya kedudukan tinggi di sisi Allah dan Islam memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati dn menghargai pemimpin yang seperti ini. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, “Hormatilah para pemimpin sebab merekalah yang mendatangkan kemuliaan, kekuatan dan naungan lindungan Allah di muka bumi, ketika mereka bertindak adil.”

Imam Musa al-Kazhim as dalam sebuah riwayat menyebut pemimpin yang adil sebagai ayah yang penyayang bagi masyarakat. Sebagaimana ayah yang baik akan mendidik anaknya sehingga menjadi salih, pemimpin yang adil juga berusaha sekuat tenaga untuk membuat masyarakat dan umat yang dipimpinnya menjadi masyarakat dan umat yang baik dan selalu bergerak ke arah kesempurnaan.

Menjelaskan hak-hak para pemimpin kenegaraan atau sosial politik, Imam Ali As-Sajjad memandang kondisi para pemimpin dengan pandangan yang obyektif dan menerangkan hak-hak mereka. Tentunya yang dimaksud pertama kali adalah pemimpin yang kepemimpinannya sah. Pemimpin yang sah adalah pemimpin yang diangkat oleh Allah sebagai pemimpin atau mendapat mandat yang sah dari masyarakat.

Dalam ungkapannya, Imam Sajjad as mengingatkan kita akan satu fakta penting, bahwa seorang mengemban sebuah amanat yang berat yaitu amanat kepemimpinan. Dia diuji oleh Allah dengan menjalankan amanat ini. Sungguhnya ketelodoran dan kebodohan besar jika orang berbangga dan angkuh dengan menyombongkan ujian yang sedang ia jalani. Memang, yang menjadi materi ujian adalah kedudukan duniawi yang memang menipu. Jika dia tidak mampu melalui ujian ini dengan baik, maka kesengsaraan dan kehancuranlah yang menantinya. Sebab, ia harus mempertanggungjawabkan setiap ketidakadilan dan atau penistaan hak yang terjadi di ruang kekuasaannya.

Imam Sajjad as juga mengingatkan agar masyarakat tidak menjadi sasaran kemarahan para penguasa. Beliau menjelaskan bahwa penguasa biasanya akan melakukan tindakan yang merugikan rakyat jika merasa ditentang. Hal itu tentu akan membuat rakyat sengsara dan memunculkan masalah sosial. Imbauan Imam Sajjad as adalah upaya pencegahan jangan sampai kesulitan dan kesengsaraan itu menimpa masyarakat yang tidak kuat menanggung derita. Akan tetapi menghindari kemarahan penguasa bukan berarti menutup mata dari kesalahan dan penyimpangan yang mungkin terjadi, atau lari dari tanggung jawab melawan ketidakadilan. Sebab, Islam tidak membolehkan siapapun juga untuk diam menyaksikan ketidakadilan.

Menurut Imam Sajjad as, jika pemerintahan berjalan di rel yang tidak benar dan menyimpang ke arah kebatilan, kaum ulama, tokoh masyarakat dan semua elemen umat wajib bangkit melawan. Namun jika pemerintahan berjalan dengan benar dan sah, tidak ada hak bagi umat untuk melawan dan menentangnya. Jika ada yang bangkit melawan berarti dia layak dicap sebagai pembangkang yang harus ditumpas. Sebab pembangkangan hanya akan membawa masyarakat kepada kehancuran dan merongrong kekuatan pemerintahan yang sah. Meski tunduk kepada pemerintahan, masyarakat tetap punya hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap salah.

Imam Sajjad as menambahkan dengan menyinggung kebiasaan para penguasa yang memberikan hadiah kepada orang untuk menarik hati dan dukungannya. Praktik seperti ini jelas tidak benar. Misalnya, seorang penguasa memberi hadiah kepada seseorang dengan imbalan orang itu harus melakukan hal-hal yang tidak benar, menistakan hak orang lain atau mengerjakan satu hal yang bertentangan dengan kepentingan umum. Hadiah yang diberikan oleh penguasa untuk hal-hal seperti itu haram diterima. Namun apabila hadiah itu diberikan tanpa ada imbalan melakukan yang tidak benar, maka kita harus menerima pemberian itu dengan rendah hati dan tidak lupa berterima kasih.

Hak Guru

Salah satu hak yang ditekankan dalam kitab Risalatul Huquq adalah hal pembimbing keilmuan atau hak guru atas muridnya. Tentunya hak guru hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mengerti dengan baik kedudukan ilmu dan orang yang berilmu. Islam memandang ilmu tak ubahnya bagai air kehidupan yang memberikan kesegaran pada kehidupan manusia. Ilmu adalah pelita terang yang cahayanya menyinari jalan kehidupan manusia sehingga jalan kebahagiaan akan mudah dikenali dan dilewati. Allah Swt bersumpah dengan nama pena saat menurunkan ayat-ayat sucinya di kalbu Nabi Muhammad Saw di awal-awal masa kenabian beliau. Turunnya ayat tadi menunjukkan bahwa salah satu misi yang dibawa oleh agama Islam adalah untuk meningkatkan taraf budaya dan keilmuan umat. Tak heran jika Nabi Muhammad Saw dalam salah satu hadisnya memerintahkan umatnya untuk mengajarkan baca tulis kepada anak, dan pengajaran itu beliau sebut sebagai hak anak atas orang tuanya.

Dalam al-Quran al-Karim disebutkan pula bahwa salah satu cara terpenting untuk meyakini keesaan Allah adalah ilmu dan pengetahuan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam memandang ilmu dengan pandangan penuh hormat. Surat Ali Imran ayat 18 menyatakan, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Ayat ini menjelaskan kedudukan ilmu dan makrifat dalam membantu manusia mengenal Allah dan menyembahnya sebagai Tuhan Yang Esa.”

Imam Jakfar Shadiq as pernah mengibaratkan masyarakat seperti sungai dengan airnya yang mengalir deras. Orang yang menimba ilmu ibarat ombak sungai itu yang bergelombang dan menciptakan arus dari dirinya. Arus itulah yang membawa kemakmuran. Tapi ada pula yang bukan masuk golongan orang berilmu dan tidak pula mencari ilmu. Mereka tak lebih dari buih dan ranting-ranting yang tidak punya gerakan dari diri sendiri dan hanya bergerak mengikuti arus yang membawa mereka. Ranting-ranting itu terkadang berkumpul menjadi satu dan menghalangi gerak arus air sungai. Kepada kelompok ini Imam as mengimbau untuk mencari ilmu dan mengingatkan mereka untuk tidak bergerak tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Penghormatan kepada ilmu tentunya meniscayakan penghormatan kepada para ilmuan, kaum cendekia dan ulama. Hanya saja dalam kacamata Islam, hanya orang yang mengamalkan ilmunya yang berhak mencapai kedudukan makrifat yang tinggi. Mereka inilah yang layak menjadi panutan dan teladan bagi umat masyarakat umum. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda, “Barang siapa melangkahkan kaki untuk mencari ilmu maka Allah Swt akan membukakan jalan baginya menuju surga dan para malaikat menghamparkan sayap untuk pijakan kakinya dengan penuh suka cita. Barang siapa melangkahkan kaki untuk mencari ilmu maka seluruh penduduk langit dan bumi akan memintakan ampunan dan maghfirah baginya.”

Dalam sebuah hadis yang lain, Nabi Saw bersabda, “Kelebihan orang yang berilmu dibanding orang yang taat beribadah seperti kelebihan sinar bulan purnama dibanding bintang-bintang di langit.” Hadis ini mengandung arti bahwa orang yang beribadah hanya menyelamatkan diri sendiri dengan ibadahnya, akan tetapi peran orang yang berilmu sama seperti pelita yang menerangi masyarakat sekitarnya. Orang yang alim dengan nasehat dan ilmunya dapat menyingkirkan kesesatan dan kebodohan serta mencegah masyarakat dari keterjerumusan ke dalam jurang kehancuran.

Imam Sajjad menjelaskan bahwa orang yang mengetahui kedudukan ilmu pasti akan menghormati orang alim. Karena itu, mahasiswa dan maupun pelajar yang sedang menuntut ilmu harus menghargai guru yang membimbingnya di jalan keilmuan. Artinya, guru dan orang alim punya hak atas para pelajar dan murid-muridnya yang berupa penghormatan mereka kepada guru. Selain itu, kata-kata guru ketika sedang mengajar dan memberikan penjelasan harus didengar dengan baik supaya materi ilmiah yang disampaikannya bisa dipahami dan dimengerti.

Orang yang mendengar kata-kata kebenaran atau penjelasan ilmiah hendaknya menyampaikan materi yang diterima secara sempurna tanpa kekurangan sedikitpun. Dengan demikian, orang lain bisa memanfaatkan ilmu dan kebenaran itu. Ketika berada di sisi guru, seorang murid dituntut untuk bersikap sopan dan menghindari perkataan kosong yang tidak berguna.

Nabi Saw dan para Imam Ahlul Bait serta para ulama menekankan untuk menjaga tata krama dalam berhubungan dengan guru. Imam Ali bin Abi Thalib as sangat menekankan soal kerendahan hati dan tawadhu di depan guru. Dalam sebuah riwayat beliau berkata, “Barang siapa mengajarkan kepadaku barang satu kata, berarti dia telah menjadikanku budaknya.”

Dalam Risalatul Huquq, Imam Sajjad as memerintahkan para pelajar dan pencari ilmu untuk menghormati guru. Imam as menekankan untuk menjaga amanat dalam apa yang ia pelajari. Sebab, terkadang kebenaran dan kesalahan sebuah masalah akan menjadi jelas lantaran nisbatnya kepada Nabi atau para imam. Karena itu amanat harus dijaga sehingga kebenaran akan terjaga pula.

Hak Rakyat

Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq menyerukan kepada para penguasa untuk menjaga dan melindungi hak rakyat. Beliau berkata, “Hak mereka yang ada di bawah kekuasaan dan pemerintahanmu adalah engkau harus menyadari bahwa mereka ada dalam kekuasaanmu karena kelemahannya dan kekuatanmu. Karena itu, sebaiknya engkau menjaga hak mereka yang melaksanakan perintahmu dan tidak mampu meraih haknya dengan cara bangkit melawan dirimu. Untuk itu, bersikaplah lemah lembut terhadap rakyat dan maafkan kesalahan yang mungkin mereka lakukan karena kebodohan mereka. Jangan tergesa-gesa menjatuhkan vonis atas mereka dan bersyukurlah kepada Allah yang telah memberimu kekuatan dan kemampuan.”

Penghormatan kepada kemuliaan dan kepribadian seseorang di sebuah komunitas merupakan tanda kemajuan umum dan indikasi kesejahteraan sebuah masyarakat. Sebaliknya, pelecehan kepribadian dan harga diri anggota masyarakat dipandang sebagai pertanda keterbelakangan sebuah komunitas. Di sebuah masyarakat yang hubungannya dengan pemerintah terjalin berdasarkan aturan yang adil sehingga seluruh anggotanya menyadari tugas masing-masing, tentu tidak akan ada yang mengizinkan pelanggaran terhadap hak orang lain. Masyarakat yang seperti ini akan menjadi masyarakat yang aman dan stabil sebab hukum dan aturan ditegakkan di sana.

Rasulullah Saw membentuk masyarakat dan pemerintahan baru di kota Madinah dengan dilandasi oleh hukum yang adil. Dalam konsep ini, hak masing-masing sudah diatur. Tugas dan wewenang pemerintah sudah terjelaskan, sementara hak dan kewajiban rakyat juga sudah diatur. Rasulullah Saw memandang semua orang punya kehormatan tersendiri yang harus dijunjung tinggi. Beliau memerintahkan masyarakat untuk saling hormat terdapat sesama. Sebab, Allah Swt telah menegaskan bahwa kehormatan dan kemuliaan adalah milik Allah, Rasul dan kaum mukmin. Di ayat kedelapan surah al-Munafiqun Allah berfirman, “Dan Sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah, RasulNya dan kaum mukmin.”

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati harga diri dan kepribadian orang. Islam bahkan memandang orang miskin yang terhormat lebih mulia dibanding orang kaya yang hina. Imam Sajjad dalam kaitan ini berkata, “Aku tidak suka memperoleh sesuatu yang paling berharga sekalipun dengan cara menghinakan diri sendiri.”

Rasulullah Saw membentuk pemerintahan Islam untuk menghidupkan kepribadian insani serta kebebasan dan martabat masyarakat. Dalam pemerintahannya, beliau melarang orang membuka celah untuk kehinaan diri sendiri atau orang lain. Rasul menentang keras praktik menjilat pemerintah. Ketika sedang berkendara, Nabi Saw tidak mengizinkan seseorang menyertai beliau dengan berjalan kaki. Karena itu beliau sering menaikkan orang membonceng tunggangannya. Ketika orang yang bersangkutan menolak, beliau akan memerintahkannya agar berjalan terlebih dahulu untuk bertemu di satu tempat yang disepakati berdua.

Imam Ali bin Abi Thalib as dikenal dengan pemimpin yang adil. Beliau sangat peka terhadap keadilan dan mengedepankan persamaan hak di antara masyarakat. Dalam sebuah suratnya kepada salah seorang gubernurnya, Imam Ali as menulis, “Perlakukanlah rakyat dengan rendah hati, muka manis dan lemah lembut.  Jangan sampai engkau hanya melirik satu orang dan menatap dengan penuh perhatian kepada orang lain. Tataplah mereka dengan penghormatan. Jangan engkau jawab seseorang dengan anggukan namun menjawab orang lain dengan penuh hormat. Perlakukanlah mereka secara adil dan merata, sehingga tidak ada orang yang ambisi memprovokasimu untuk melakukan kezaliman terhadap orang yang lemah dan jangan sampai orang lemah putus asa akan keadilan yang mereka harapkan darimu.”

Orang-orang yang berkuasa di berbagai bangsa dan negeri terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka memimpin karena dipilih oleh masyarakat sehingga kekuasaan menjadi amanat dari masyarakat kepadanya. Sedangkan kelompok kedua berkuasa karena kekerasan dan paksaan. Di masyarakat yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat, pemimpin akan berusaha memuaskan hati rakyat dan menarik simpati mereka. Sebab jika tidak puas, rakyat bisa menurunkan mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Sementara, mereka yang merebut kekuasaan dengan kekuatan tangan atau harta harus menyadari bahwa mereka memperoleh kekuasaan karena kelemahan rakyat. Karena itu jangan sampai mereka melakukan kezaliman kepada rakyat.

Mungkin dapat dikatakan bahwa yang menjadi sasaran imbauan dan seruan Imam Sajjad as yang disebutkan di awal tadi adalah kelompok kedua, yakni mereka yang berkuasa karena kekuatan lebih yang mereka miliki. Mereka inilah yang diseru Imam Sajjad as untuk melindungi hak-hak rakyat serta memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan memaafkan kesalahan mereka. Para penguasa hendaknya menyadari bahwa kekuasaan ini ada di tangan mereka berkat adanya rakyat. Karena itu, rakyat harus dihargai dan dihormati. Imam as mengingatkan bahwa kezaliman terhadap rakyat bisa mengancam kekuasaan mereka. Sebab hal itu bisa memancing rakyat bangkit melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Allah juga tidak akan membiarkan kaum zalim berbuat aniaya tanpa balasan.

Hak Murid

Orang yang pandai dan berilmu ibarat cahaya yang menerangi masyarakat dengan ilmu dan kebijaksanaannya. Ia menjadi penggugah jiwa-jiwa yang terlelap dan membekalinya dengan pengetahuan. Ia pula yang menyingkirkan kebodohan dari tengah masyarakat. Karena itu ia memiliki hak atas diri muridnya.

Namun demikian, hak tersebut bukan hak yang searah. Sebab, murid juga punya hak yang harus diperhatikan oleh gurunya. Kita banyak menyaksikan adanya orang-orang pandai yang enggan mengajarkan ilmu mereka kepada orang lain. Mereka tenggelam ke dalam kecongkakan dan sikap takabur sehingga tak bersedia berbagi ilmu kepada masyarakat. Padahal ilmu adalah cahaya benderang dan guru adalah orang yang menyalakan cahaya itu di hati mereka yang ingin mendapat pengetahuan dan hakikat. Karena itu, tugas guru adalah menyulut cahaya ilmu dan membantu pertumbuhan dan kemajuan masyarakat dengan ilmu.

Dalam budaya Islam, ilmu dan akhlak laksana dua sayap kokoh yang membantu manusia terbang tinggi ke puncak kesempurnaan. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang bisa mengkombasikan dua unsur ilmu dan akhlak. Jelas bahwa masyarakat yang berbudi luhur tapi tak berbekal ilmu akan menjadi masyarakat terbelakang, meski mungkin saja di sana akan tegak hubungan kemanusiaan yang baik dan hangat.

Sebaliknya, masyarakat yang berilmu tanpa akhlak dan iman akan menjadi masyarakat yang maju secara lahiriyah namun dililit banyak masalah dan kesulitan. Kondisi terakhir inilah yang kita saksikan di Dunia Barat yang meski maju namun terjebak dalam banyak masalah akibat keterasingan dari nilai-nilai insani. Karena itu, guru dan pembimbing selain menyampaikan ilmu juga memikul tugas dan tanggung jawab besar untuk mendidik masyarakatnya. Pendidik yang sebenarnya adalah orang yang berjuang untuk menyingkirkan tabir kebodohan, mendidik dan mengembangkan moral dan etika muridnya serta melaksanakan apa yang diucapkannya.

 

Imam Sajjad dalam sebuah penggalan kata-katanya dalam kitab Risalatul Huquq menyinggung hak murid dan berkata, “Adapun hak mereka yang berada di bawah bimbingan keilmuanmu adalah, kau harus menyadari bahwa kau telah ditetapkan untuk membimbingnya lantaran ilmu dan khazanah pengetahuan yang Allah amanatkan kepadamu. Karena itu, jika kau mengajarkan dengan baik dan berlaku laksana pemegang amanat atau bendahara yang dipercaya membagikan harta tuannya dan tidak memperlakukannya dengan kasar, niscaya Allah dengan kemurahan-Nya akan menambah ilmumu.  Sebab kau telah mencurahkan perhatian untuk membimbingnya dengan penuh keyakinan dan harapan. Namun apabila kau bersikap kasar terhadapnya saat mengajar berarti kau telah mengkhianati amanat Ilahi dan berbuat zalim terhadap hamba-Nya. Jika itu terjadi, maka Allah berhak mencabut ilmu dan kemuliaanNya dari dirimu dan menjatuhkan derajatmu dari hati hamba-hamba-Nya.”

Imam Ali as berkata, “Setiap kekayaan pasti ada zakatnya. Dan zakat ilmu adalah mengajarkan dan menyebarkannya.” Ilmu dipandang sebagai kekayaan yang sangat bernilai karena dengannya kesulitan hidup dan tabir-tabir ketidaktahuan disingkap. Imam Sajjad as mengimbau para ulama, ilmuan dan kalangan cendekia untuk menyebarkan ilmu dengan kesabaran dan rendah hati. Mereka diimbau agar mengajarkan ilmu dan tidak memendamnya untuk diri sendiri. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Ilmu yang tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat laksana harta karun yang terpendam di perut bumi.”

Hak murid yang lain seperti dijelaskan oleh Imam Sajjad adalah bahwa guru harus menyampaikan materi yang diajarkan dengan bahasa yang jelas dan menarik. Sebab, berbicara dengan bahasa yang jelas, mudah dan menarik memiliki kesan yang lebih besar pada diri pendengarnya dan tentunya berbeda jauh dengan pembicaraan dengan bahasa yang sulit dipahami. Nabi Saw adalah sebaik-baik contoh orang yang berbicara tanpa dibuat-buat. Bahasa yang beliau gunakan jelas dan mudah dimengerti. Berbicara dengan siapapun, beliau menggunakan bahasa yang sesuai dengan pemahamannya. Bahkan bisa dikatakan bahwa salah satu faktor yang membuat Islam menyebar dengan cepat di zaman Nabi Saw adalah penjelasan dan kata-kata beliau yang mudah dimengerti.

Hak Istri

Imam Sajjad berkata, “Hak istri adalah bahwa engkau harus menyadari Allah telah menjadikannya pelipur lara dan penghibur bagi dirimu. Karena itu masing-masing dari suami dan istri harus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang didapat berupa pasangannya seraya memandangnya sebagai nikmat yang Allah berikan kepadanya. Oleh sebab itu, anugerah ini harus dihargai dan diperlakukan dengan baik, meskipun hakmu atas dirinya lebih besar. … Perempuan memiliki untuk engkau perlakukan dengan lembut dan kasih sayang.”

Kata-kata Imam Sajjad tadi berkenaan dengan hak suami dan istri yang harus diperhatikan oleh pasangannya. Suami dan istri adalah dua unsur pertama yang membangun sebuah keluarga. Dengan kata lain, jika tak ada jalinan pernikahan tak ada hubungan di antara umat manusia dan masyarakat manusia tidak akan menemukan bentuknya seperti yang ada saat ini. Karena itu, salah satu lembaga kemasyarakatan yang punya posisi vital dan hubungan di dalamnya harus diupayakan semakin kokoh adalah keluarga. Keluarga adalah tempat pendidikan generasi yang bakal membangun masyarakat dan negara. jika hubungan antara anggota keluarga, khususnya antara suami dan istri renggang, anak-anak yang terlahir dan terdidik di dalamnya tidak bisa diharapkan menjadi anak-anak yang berguna bagi masyarakat. Dari sisi lain, lemahnya institusi keluarga menimbulkan dampak yang negatif terhadap seluruh lembaga sipil dan sosial.

Poin penting yang disinggung Imam Sajjad as adalah cinta dan kasih sayang yang menjadi landasan utama bagi sebuah keluarga. Hubungan yang didasari cinta dan kasih sayang menjadi faktor utama lahirnya ketenangan bagi suami dan istri untuk hidup berdampingan. Tak heran jika Imam lantas menyebutnya sebagai anugerah ilahi seraya mengimbau suami dan istri untuk mensyukuri nikmat tersebut dan memperlakukan pihak lain dengan sebaik mungkin.

Masyarakat dunia saat ini sedang disibukkan oleh masalah Hak Asasi Manusia. Bahkan sebagian negara tampil dengan mengesankan diri sebagai pembela HAM, walaupun dalam tindakan sering kali mereka justeru menutup mata darinya. Di negara-negara tersebut,  sendi-sendi keluarga nampak sangat rapuh. Cinta dan kasih sayang insani seakan kata yang asing bagi kebanyakan orang di sana. Krisis kepercayaan telah menggerogoti ketenangan dan tindak kekerasan terhadap perempuan justeru sering terjadi dalam keluarga. Jelas bahwa kondisi seperti itu menjadi faktor paling dominan dalam menghancurkan keluarga.

Dari sisi lain, rapuhnya fondasi keluarga berdampak pada munculnya berbagai kesulitan dan masalah sosial. Fenomena keluarga dengan satu orang tua, atau orang tua yang tak peduli dengan anak, serta merebaknya budaya seks bebas telah menenggelamkan para remaja ke dalam krisis kepribadian. Mereka terjebak dalam lingkaran keluarga yang tak memberikan kehangatan kasih sayang. Artinya, dalam masyarakat seperti itu, lingkungan keluarga telah kehilangan makna keberadaannya.

Menelaah ajaran Islam akan mengenalkan kita kepada faktor-faktor yang dapat memperkokoh bangunan keluarga. Islam telah menentukan hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Dalam ajaran Islam, keluarga adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi cinta dan kasih sayang. Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw mendatangi rumah putrinya, Fatimah az-Zahra as. Beliau Saw menyaksikan Ali bin Abi Thalib as sedang membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah. Nabi Saw lantas memuji menantunya itu dan memberinya kabar gembira akan pahala besar di sisi Allah. Beliau bersabda, “Wahai Ali! Membantu istri menghapuskan dosa-dosa besar, memadamkan api kemarahan Allah, dan akan menjadi mas kawin untuk menikahi bidadari di surga. Bantuan itu akan mendatangkan kebaikan yang berlimpah dan meninggikan derajat.”

Dalam pernyataannya, Imam Sajjad as menyeru seluruh anggota keluarga untuk menghargai kedudukan insani perempuan. Sebagai manusia, perempuan memiliki kedudukan yang khusus dan kemuliaan serta derajat yang tinggi di sisi Allah. Karena itu, kedudukan perempuan dalam keluarga harus diperhatikan dan dihargai. Kepada kaum pria, Imam Sajjad as mengimbau mereka untuk memberikan kasih sayang dan cinta kepada istri. Sebab, sikap kasar dan beringas terhadap istri berarti mengabaikan kemuliaan dan kedudukannya.

Banyak sekali keluarga yang melalaikan masalah sepenting ini. Namun Islam dalam ajarannya menyeru kepada kaum Muslimin untuk bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap istri. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Perempuan adalah bunga bukan pekerja yang harus melakukan pekerjaan berat.” Sikap suami dan istri yang saling menjaga hak-hak pasangannya akan membuat suasana rumah tangga penuh cinta dan kasih sayang. Di tempat itulah, anak-anak yang salih dan berguna bagi agama dan masyarakat akan terdidik dengan baik.

Hak Ibu

Hubungan emosi terkuat yang ada pada diri manusia adalah hubungan antara anak dan kedua orang tuanya. Afeksi ini lebih kuat pada orang tua terlebih ibu. Secara alamiah, ibu menyayangi anaknya tanpa pamrih. Ayah dan ibu hanya berharap keselamatan dan kesehatan anak mereka. Keduanya sangat menikmati segara jerih payah yang harus dilakukan dalam merawat anak. Mereka terus memantau dan mengawasi perkembangan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keistimewaan ini menambah kesucian hubungan antara mereka.

Kehidupan manusia tidak pernah bisa dilepaskan dari pengorbanan kedua insan mulia yang disebut ayah dan ibu. Karena itu, agama memandang pengabdian kepada orang tua sebagai pengabdian terbesar yang bisa dilakukan seseorang kepada orang lain. Jasa orang tua sedemikian besarnya sehingga pengabdian dan kebaikan apapun yang dilakukan anak kepada ayah dan ibunya tetap tidak bisa membalas semua jasa itu. Nilai-nilai agama punya peran besar dalam menghidupkan emosi dan perasaan insani di tengah masyarakat. Nilai yang agung ini semakin suci ketika menyentuh masalah hubungan dengan ayah dan ibu. Memandang wajah ayah dan ibu dengan rasa cinta dan kasih sayang juga tergolong sebagai ibadah. Islam menekankan kepada anak untuk berbakti kepada ayah dan ibu serta selalu menghormati mereka.

Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw dengan mengatakan, “Ya Rasulullah! Ayah dan ibuku sudah uzur dan sangat memerlukan bantuan dalam melakukan urusan pribadinya. Aku mendampingi mereka dan membantu serta memperlakukan mereka dengan lemah lembut seperti mereka memperlakukanku di masa aku kecil. Aku menyuapkan makan ke mulut mereka dan memenuhi apa saja yang mereka perlukan. Apakah dengan begitu aku sudah melaksanakan apa yang menjadi hak mereka?”

Rasul Saw menjawab, “Tidak. Sebab mereka telah menanggung segala derita dan kesusahan ketika merawat dan membesarkanmu, tanpa pamrih. Mereka berharap engkau sehat dan panjang umur. Engkau telah memperlakukan mereka dengan baik namun yang engkau nantikan adalah ajal yang menjemput mereka. Karena itu, engkau tidak akan pernah bisa melaksanakan apa yang menjadi hak mereka.”

Dalam pandangan Imam Sajjad as ayah dan ibu mempunyai hak yang sangat besar terhadap anak mereka. Dalam menjelaskan hak itu Imam mengusik pikiran orang untuk mengingat pengorbanan besar dari ayah dan ibu dalam merawat dan membesarkan anak. Imam memberikan gambaran sedemikian rupa dari jerih payah dan kesabaran ibu dalam merawat anaknya. Penjelasan Imam Sajjad as menggugah setiap kalbu dan mendorongnya untuk berbakti kepada ayah dan ibu.

Mengenai peghormatan kepada ibu, Imam Sajjad as berkata, “Hak ibu atas dirimu adalah bahwa engkau harus menyadari bahwa ibulah yang menjagamu di suatu tempat yang tidak mungkin ada orang lain yang bisa melakukan itu untukmu. Dia memberimu makan dari jiwanya dan menjagamu sepenuh jiwa, dengan telinga, mata, tangan, rambut bahkan kulitnya.  Dia rela merasakan semua kesusahan demi supaya anaknya gembira dan senang. Dia rela menahan lapar untuk membuat anaknya kenyang. Dia rela berjemur di bawah sengatan matahari supaya anaknya berada di tempat yang teduh. Dia rela terjaga supaya anaknya bisa tidur dengan nyenyak.”

Selanjutnya Imam Sajjad as berkata, “Perut ibu adalah wadah bagi wujudmu dan pangkuannya adalah tempat berlindung yang aman buatmu. Dia rela merasakan panas dan dingin demi dirimu. Karena itu, hendaknya engkau berterima kasih kepadanya atas segala curahan kasih sayang yang dia berikan kepadamu. Dan engkau tidak mungkin bisa berterima kasih kepadanya kecuali jika Allah membantumu.”

Dengan kedatangan Islam dan turunnya ayat-ayat al-Quran bakti kepada orang tua menjadi satu prinsip yang dipandang sakral. Al-Quran melarang anak mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hati orang tuanya. Dalam surat al-Isra ayat 23-24 Allah Swt berfirman, “Dan Rab (Tuhan) mu telah memerintahkan supaya kamu jangan mempertuhankan selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak kamu.  Jika salah seorang antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hamparkanlah sayap kerendahan dirimu terhadap mereka berdua dengan kasih sayang dan ucapkanlah: "Rabbi (wahai Tuhanku)! Kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu kecil".

Penekanan akan penghormatan kepada orang tua dalam Islam bukan hanya disebabkan oleh faktor keharusan berbalas budi kepada pendidik dan orang yang merawat kita, tetapi juga membawa pesan penting lainnya, yaitu keharusan untuk memperkokoh bangunan keluarga. Kekokohan sebuah masyarakat sangat bergantung pada kekokohan semua elemen yang membentuknya, yang salah satunya adalah keluarga. Islam sangat mementingkan kasih sayang dalam berhubungan khususnya dalam hubungan anak dengan orang tua, supaya afeksi yang baik ini terus tumbuh berkembang dan kokoh dalam kehidupan.

Rasa hormat dan kasih sayang di tengah anggota keluarga akan menciptakan suasana yang ceria dan kehangatan yang menambah keharmonisan hidup. Ketika ayah dan ibu ditempatkan di posisi yang benar dan mendapat penghargaan yang semestinya, maka keluarga itu akan menjadi keluarga yang harmonis.

Hak Ayah

Rekan setia, pada pembahasan yang lalu kita telah berbicara tentang posisi ayah dan ibu yang harus dihormati oleh setiap orang. Agama mengajarkan kepada kita semua untuk menghormati kedua orang tua dan taat kepada mereka. Jika Allah Sang Pencipta Alam telah menciptakan manusia maka yang mendidik dan mengasuhnya adalah ayah dan ibu. Mereka berdualah yang bekerja keras mengaktivasi potensinya.

Tentunya yang dimaksud dengan kebaikan, cinta, kasih sayang dan penghormatan kepada ayah dan ibu bukanlah ungkapan rasa kasih yang kering atau senyuman lahir saja. Anak dituntut untuk mencintai kedua orang tuanya dengan setulus mungkin dan menunjukkan cinta itu kepada mereka. Allah Swt sangat mengagungkan kedudukan orang tua dan memerintahkan anak supaya merendah di hadapan ayah dan ibunya, berbuat baik kepada mereka dan membuat mereka rela kepadanya. Di dalam al-Quran Allah Swt berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S al-Isra: 24) Nabi Isa as tatkala hendak mengenalkan dirinya, juga menyinggung tentang pentingnya ketaatan kepada ibu. Hal itu diabadikan oleh Allah dalam surat Maryam ayat 32.

Selain masalah penghormatan dan kasih sayang, poin penting yang harus mendapat perhatian terkait ayah dan ibu adalah soal ketaatan kepada mereka. Sebab, ketaatan itu akan membuat mereka ridha dan senang terhadap anak. Akan tetapi untuk ketaatan kepada ayah dan ibu ada batasan-batasannya. Dalam kitab suci al-Quran Allah Swt berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqman: 15)

Meski Islam menekankan untuk menghormati kedua orang tua, namun yang kita juga dilarang menjadikan kecintaan dan kasih sayang itu penghalang bagi tegaknya kebenaran. Dalam surat al-Nisa ayat 135 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.”

Dalam kitab Risalatul Huquq yang memuat kata-kata Imam Ali bin Husain as-Sajjad as disebutkan bahwa beliau menekankan soal cinta, penghormatan dan ketaatan kepada ayah dan ibu. Beliau berkata, “Hak ayah atas dirimu adalah bahwa engkau harus tahu akan dia adalah asal dan akar dari dirimu sedangkan engkau adalah anak cabang darinya. Jika dia tak ada maka engkaupun tak akan pernah ada. Karena itu setiap kali menyaksikan apa-apa yang menenangkan diri ketahuilah bahwa kenikmatan itu berasal dari ayahmu, dan pujilah Allah atas nikmat itu dan bersyukurlah kepadaNya.”

Dalam penjelasannya, Imam as bukan hanya menyinggung soal penghormatan dan kasih sayang kepada ayah dan ibu tetapi juga menyebut mereka sebagai asal usul kita. Karena itu ayah mempunyai hak yang besar atas anak. Orang tua telah menanggung beban berat dan kesulitan dalam membebarkan dan mendidik anak supaya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat. Inti persoalan yang diangkat Imam Sajjad dalam pernyataan tadi adalah bahwa asal usul setiap orang adalah orang tuanya.

Sains saat ini telah membuktikan peran besar gen dan keturunan dalam membentuk karakter, sifat dan kepribadian seseorang. Bahkan kecenderungan perilaku dan tata krama banyak diwariskan orang tua kepada anak. Yang menarik, masalah yang diungkap sains saat ini telah dijelaskan oleh para pemuka agama kita sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Kita semua diingatkan bahwa sifat-sifat terpuji dan baik yang ada pada diri kita adalah buah dari pohon asalnya yaitu oirang tua kita.

Imam Sajjad as mengingatkan bahwa jika pada tahun-tahun berikut kita tumbuh besar, mencapai kesempurnaan, dan menjadi orang yang dewasa, tampan, dan pandai semua itu adalah berkat jerih payah orang tua dalam mendidik dan membesarkan kita. Orang tua melakukan semua itu dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun. Tanpa mereka, kita tidak akan pernah ada dan tanpa jerih payah mereka kita akan pernah menjadi apa-apa. Atas dasar itu kita mesti menghormati dan menghargai orang tua.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di hari Asyura Imam Husain as yang sudah sendirian dengan gagah berani mengoyak barisan musuh yang berjumlah ribuan orang. Saat itu Umar Bin Saad, komandan pasukan musuh berseru, “Sungguh ruh ayahnya menjelma pada diri al-Husein.” Keberanian dan ketangguhan dalam berperang diwarisi al-Husein dari ayahnya Ali bin Abi Thalib as.

Di akhir pembahasan ini, kami mengajak anda untuk menyimak sabda Nabi Saw tentang hak ayah dan ibu. Kepada Imam Ali bin Abi Thalib as, Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ali, barang siapa membuat sakit hati ayah dan ibumu berarti telah memperlakukan mereka dengan buruk.”

Hak Orang Tua

Pembahasan mengenai hak ayah dan ibu telah selesai. Islam menjelaskan bahwa kedudukan ayah dan ibu yang tinggi di sisi Allah. Bahkan, Imam Ali Zainal Abidin as menekankan kepada setiap anak untuk menjaga hak-hak kedua orang tua. Penekanan itu didasarkan pada keakraban yang biasanya terjalin dalam hubungan anak dengan ayah dan ibunya sehingga terkadang batas-batas penghormatan terabaikan.

Islam mengajarkan untuk menjaga batas hak dan penghormatan kepada ayah dan ibu. Diantara yang diajarkan Islam adalah penegasan untuk tidak memanggil ayah dan ibu dengan nama mereka, tidak berjalan mendahului mereka, dan tidak duduk ketika berhadapan dengan mereka saat sedang berdiri. Islam juga mengharuskan anak untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan orang tuanya. Para ulama menegaskan, jika ayah dan ibu mengalami kesulitan materi maka anak harus mengulurkan bantuannya. Dalam Islam juga diajarkan untuk membagi harta peninggalan kepada ayah, ibu dan sanak keluarga sebagai warisan.

Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah riwayat berkata, “Di hari kiamat Allah akan menyingkap salah satu tirai surga maka seketika semua orang di padang Mahsyar akan mencium semerbak bau surga yang wanginya bisa dicium dari jarak perjalanan 500 tahun. Hanya ada sekelompok orang yang tidak mencium aroma itu.” Seseorang bertanya, “Siapakah kelompok itu?”. Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak mengindahkan kehormatan ayah dan ibu dan memutus hubungan dengan mereka.”

Menghormati ayah dan ibu memberikan kesan yang besar dalam kehidupan dunia dan akhirat. Diantara kesannya yang paling menonjol adalah umur yang panjang. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa ingin memiliki umur yang panjang di dunia ini maka hendaknya ia berbuat baik kepada ayah dan ibu.”

Dalam hadis yang lain beliau menjelaskan buah yang didapat orang dari bersabda, “Siapa saja yang bersedia menjamin untuk berbuat baik dan mengabdi kepada ayah dan ibu serta menyambung tali kekerabatan maka aku akan menjamin baginya beberapa hal; rezeki yang berlimpah, umur yang panjang dan ketiga kecintaan di hati masyarakat kepadanya.”

Alam ini berdiri berdasarkan aturan penciptaan. Diantara aturan itu adalah bahwa setiap perbuatan pasti akan mendatangkan pengaruh yang sesuai. Berdasarkan aturan ini, siapa saja yang melakukan kebaikan kepada orang lain maka ia akan mendapat kebaikan dan siapa saja yang melakukan keburukan kepada orang lain maka ia akan menuai keburukan pula. Karena itu, jika seseorang berbakti kepada orang tuanya maka kelak ia akan mendapat pengabdian dan kebaikan dari anak-anaknya.

Bakti kepada ayah dan ibu akan mendatangkan banyak kebaikan dalam kehidupan akhirat.  Rasulullah Saw bersabda, “Jika seseorang melewati malam sampai pagi dalam keadaan diridhai oleh ayah dan ibunya, maka Allah akan membukakan dua pintu surga baginya. Namun jika ia melewatkan malam sementara ia mendapat keridhaan dari satu diantara ayah dan ibunya maka Allah akan membukakan baginya satu pintu surga.”

Kebalikan dari apa yang sudah disebutkan adalah kedurhakaan dan kekurangajaran terhadap kedua orang tua yang akan membawa keburukan.  Kedurhakaan itu akan melenyapkan segala amal baiknya dan ia akan mendapat kutukan dari orang tua. Dalam kitab Risalah al-Huquq, Imam Sajjad as menekankan kewajiban berbakti kepada ayah dan ibu. Beliau juga menjelaskan hak-hak orang tua yang harus dijaga oleh anak.

Imam Sajjad as dalam doanya yang terabadikan dalam Shahifah Sajjadiyyah dengan halus menyinggung beberapa poin penting terkait bakti kepada orang tua. Dalam doanya beliau mengatakan, “Tuhanku! Muliakanlah kedua orang tuaku dan khususkanlah kebaikan bagi mereka, wahai Zat yang Maha Pemberi diantara semua yang memberi. Tuhanku! Lembutkanlah suaraku di depan mereka, lunakkanlah kata-kataku kepada mereka, perlembutlah perilakunya terhadap mereka, dan penuhlah hatiku dengan kasih sayang kepada mereka berdua. Jadikanlah aku orang yang berbakti dan penuh rasa sayang kepada mereka… Tuhanku! Berilah taufik kepadaku untuk membalas belas kasih mereka dalam membesarkan dan mendidikku.”

Imam Sajjad as dalam munajatnya lantas meminta kepada Allah untuk membuat dirinya lebih menyenangi bakti kepada orang tua dibanding kesenangan orang yang kurang tidur kepada pembaringan yang nyaman. Beliau juga memohon agar ketaatan kepada kedua orang tua dimatanya lebih nikmat dari air segar di mata orang yang dicekik dahaga. Dengan adanya pandangan seperti itu, kita akan merasa mudah mengedepankan keinginan orang tua di atas keinginan kita. Imam Sajjad as lebih lanjut memohon kepada Allah untuk diberi kekuatan yang bisa digunakan untuk melaksanakan semua kewajiban dan berbakti kepada kedua orang tua. Kita berharap dapat meneladani Imam Sajjad dan menjadi anak yang berbakti kepada ayah dan ibunya.