• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11487 / Download: 6948
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Anak

Sekaitan dengan hak anak, Imam Ali as-Sajjad as berkata, “Hak anak adalah bahwa dia berhak tahu bahwa dia berasal darimu dan bahwa dalam segala kebaikan dan keburukan di dunia dia dinisbatkan kepadamu. Karena itu, sebagai wali dan pengurusnya, engkau bertanggung jawab mendidiknya dengan benar, mengajarkan kepada perilaku yang baik, mengenalkannya kepada Tuhan yang Esa dan membantunya untuk taat kepada Allah. Jika melaksanakan tugas ini, maka engkau mendapat pahala dan jika melalaikannya maka engkau akan diganjar siksa. Karenanya, dalam urusan dunia usahakan membuat dia seakan engkau menciptakan sebuah karya dan telah engkau perindah, sedangkan untuk urusan akhirat upayakan supaya engkau tidak tertunduk malu di depan Tuhanmu.”

Imam Sajjad as menjelaskan hak-hak anak yang sangat penting. Penjelasan itu mengungkap berbagai sisi emosional dan sosial. Dari sisi emosional, beliau mengingatkan bahwa anak adalah bagian dari wujud ayah dan ibunya. Karena itu secara alamiah, anak memiliki hubungan emosi yang kuat dengan kedua orang tuanya. Emosi itu lantas membentuk jalinan cinta dan kasih sayang. Imam Sajjad as dalam ungkapannya yang indah mengarahkan emosi dan cinta itu ke arah yang benar dengan menjadikannya sebagai sarana memberikan pendidikan yang benar dan mengajarkan kepada budi pekerti, keimanan dan kesalehan. Pendidikan adalah pintu yang membawa manusia ke arah kebahagiaan atau kesengsaraan. Dengan memberikan pendidikan yang baik kepada masing-masing individu, maka akan terwujud masyarakat yang terhiasi keindahan ilmu, iman dan akhlak sementara potensi diri, emosi dan akal akan teraktualisasikan.

Islam sangat menekankan pentingnya kasih sayang terhadap anak. Banyak riwayat yang memerintahkan kita untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada anak secara terbuka. Cium dan perlakukanlah mereka dengan baik. Perlakuan yang demikian kepada anak akan mendatangkan pengaruh positif yang telah dibuktikan secara ilmiah.  Para psikolog dan pakar pendidikan meyakini bahwa mendapat cinta dan kasih sayang atau tidak mendapatkannya dari kedua orang tua atau salah satu dari keduanya akan berpengaruh besar pada psikologis anak yang bisa dirasakan di masa kecil dan berlanjut sampai masa tua. Mereka lantas membawakan berbagai temuan diantaranya data yang menunjukkan bahwa kebanyakan tindak kejahatan di berbagai negara dilakukan oleh mereka yang kurang mendapat cinta dan kasih sayang di masa kecil. Untuk kriminalitas yang dilakukan anak-anak ditemukan bahwa mereka yang melakukan tindak kriminal adalah anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau salah satu dari keduanya atau singkatnya tidak memperoleh kehangatan kasih sayang ayah dan ibu.

Nabi Saw dan para Imam Maksum as mendasarkan ajaran mereka pada cinta dan kasih sayang. Dalam pandangan mereka, cinta tak ubahnya bagai air kehidupan yang mengurai berbagai masalah dan kesulitan psikologi dan kejiwaan. Nabi Saw bersabda, “Hormatilah yang lebih besar dan sayangilah yang lebih kecil dari kalian.”

Dengan mengusik sisi emosional hubungan anak dan ayah, Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq mengingkatkan tugas dan kewajiban ayah untuk mengurus dan mendidik anak. Beliau menekankan bahwa anak adalah bagian dari wujud ayahnya. Tak dipungkiri bahwa ada sebagian orang yang kurang memiliki hubungan emosional dengan anaknya. Tapi tak ada yang ragu bahwa semua orang pasti menyukai dirinya dan mustahil akan bersikap acuh tak acuh terhadap kehormatan sosial dan harga dirinya. Dia pasti akan melawan apa dan siapa saja yang merendahkan kehormatannya. Ayah dan ibu tidak mungkin bisa memungkiri hubungan mereka dengan anak atau menutup mata dari nasibnya. Sudah seharusnya, demi harga diri dan kehormatan, mereka mendidik anak mereka dan menghadiahkannya kepada masyarakat sebagai insan-insan yang baik, berbudi dan cakap. Untuk orang tua yang demikian, Rasulullah Saw mendoakannya dalam sebuah hadis. Beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati ayah yang mendidik anaknya dengan baik dan membimbingnya di jalan kebaikan.”

Poin lain yang disinggung oleh Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq adalah sisi tanggung yang diemban oleh orang tua terhadap anaknya. Dalam pandangan Imam Sajjad as, anak adalah hadiah pemberian dari Allah Swt dan orang tua harus mempertanggungjawabkan pemberian ini di hadapan Allah kelak. Beliau menjelaskan, “Jika ingin lepas dari beban berat di Hari Kiamat nanti, ayah dan ibu harus melaksanakan tugasnya dalam mendidik anak mereka dengan pendidikan yang baik dan benar.”

Diantara tugas dan kewajiban orang tua adalah mengajarkan budi pekerti yang luhur dan mengenalkan ketuhanan kepada anaknya. Dengan begitu berarti ia telah mempersiapkan anaknya untuk melangkah ke arah kejayaan dan kebahagiaan. Melaksanakan tugas dan kewajiban akan mendatangkan inayah dan kemurahan Allah Swt.

Singkatnya, Imam Sajjad as menggariskan tugas orang tua atas mereka dengan singkat namun padat. Orang tua memiliki kekuasaan atas anak dan kekuasaan itu harus dimanfaatkan untuk mendidik dan membimbing sang anak. Anak harus dididik dengan pendidikan yang baik, diarahkan untuk mengenal Allah dan menjadi hamba Allah yang taat.

Hak Saudara

Mengkikis dendam dan permusuhan serta mengubahnya menjadi toleransi dan persahabatan merupakan salah satu hal yang ditekankan dalam Islam terkait hubungan sosial kemasyarakatan. Memperbaiki hubungan dan memperkokoh jalinan ini bahkan dipandang sebagai salah satu ibadah yang punya nilai urgensitas tinggi. Sebab, hal itu adalah kunci bagi menjaga kehormatan individu dan masyarakat secara umum. Dengan ungkapan lain, dengan adanya toleransi dan gotong royong di antara sesama maka akan tercipta sebuah masyarakat yang terhormat dan kuat.

Perselisihan dan pertikaian antar manusia memang suatu hal yang tak bisa dihindari. Namun, jika perselisihan kecil tidak segera diselesaikan, maka hati akan ditumbuhi oleh kebencian, permusuhan dan dendam yang mengancam keutuhan dan persatuan masyarakat bahkan bangsa. Karena itu, adalah tugas bagi semua orang untuk ikut membantu meningkatkan keakraban dan tali persahabatan di tengah masyarakat. Agama Islam mengajarkan bahwa kaum mukmin adalah saudara bagi sesama. Karena itu, orang mukmin dari etnis, bangsa dan suku manapun bersaudara dengan mukmin yang lain, meskipun yang satu ada di timur sementara yang lain ada di belahan barat dunia.

Saat melaksanakan ibadah haji di tanah suci, kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong pergi ke sana untuk hadir di pusat tauhid. Momen itu adalah pentas dari persatuan akbar umat Islam. Dengan ungkapan lain, dalam ajaran agama, umat Islam ibarat sebuah keluarga yang masing-masing anggota menjalin hubungan cinta dan kasih di antara mereka demi membantu mereka mencapai tingkat kesempurnaan insani dan spiritual yang tinggi.

Nabi Muhammad Saw di awal risalahnya mempersaudarakan antara para sahabatnya. Dengan demikian, segala bentuk dendam dan permusuhan diantara mereka lenyap dan berubah  menjadi cinta dan persaudaraan. Al-Quran al-Karim terkait persaudaraan kaum Muslimin menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara maka damaikanlah di antara dua saudara kalian.” (Q.S. al-Hujurat: 10)

Perhatian besar Imam Sajjad as kepada hak-hak persaudaraan menunjukkan pentingnya masalah ini dalam perspektif Islam. Beliau berkata, “Hak saudaramu atasmu adalah bahwa ia adalah tanganmu yang kau gunakan untuk membuka (dan bekerja), punggung dan benteng tempat kau berlindung, harga diri yang kau percayai, dan kekuatan untuk menyerang (musuhmu). Jangan sampai kau menjadikannya alat kedurhakaan kepada Allah atau memilih jalan kezaliman karenanya. Bantulah dia selalu dan tolonglah dia terhadap musuhnya. Jadilah kau penghalang antara ia dan setan. Berilah nasihat kepadanya dan perhatikanlah dia untuk mencari ridha Allah. Semua itu selama dia taat dan patuh kepada Tuhannya.”

Dalam ungkapan Imam Sajjad as tadi disebutkan bahwa saudara adalah orang yang menambah kekuatan seseorang dan sandaran yang kokoh. Untuk menghargai nikmat ini kita harus memanfaatkan untuk kebaikan. Al-Quran menceritakan, ketika Allah Swt menurunkan wahyu kepada Nabi Musa dan mengamanatkan risalah kenabian kepadanya supaya mendatangi Firaun, Musa memohon kepada Allah untuk juga mengangkat saudaranya yang bernama Harun sebagai nabi. Bersama saudaranya itu, Musa merasa lebih kuat dalam menyampaikan risalah. Permohonan  Musa itu dikabulkan Allah dengan berfirman, “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mu'jizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang." (QS.al-Qashash: 35)

Dalam ajaran al-Quran, persaudaraan punya akar yang kuat. Dua orang yang bersaudara memiliki kepentingan bersama. Menghargai saudara adalah dengan membantu dan selalu siap menolongnya. Ketika bujukan setan dan hawa nafsu nampak mulai menguasai saudara kita, tugas kita adalah mengingatkan dan menasehatinya. Dalam pernyataannya, Imam Sajjad menyinggung sisi emosional untuk memperkuat tali persaudaraan di tengah masyarakat. 

Contoh nyata dari tali persaudaraan kuat itu dapat disaksikan di awal-awal lembar sejarah Islam. Dalam salah satu peperangan yang terjadi di zaman Nabi Saw, salah seorang sahabat mengalami luka yang cukup parah. Dengan suara lirih dia meminta air. Salah seorang anggota pasukan Muslim segera mendatanginya dan mengulurkan kirbah air kepadanya. Belum sempat air menyentuh bibirnya ketika ia mendengar suara lirih dari seorang Muslim lainnya yang mengalami hal yang sama. Sahabat pertama menolak air itu dan menyerahkan kembali kirbah seraya menunjuk ke arah saudaranya yang kedua. Kondisi serupa terjadi ketika orang kedua menyaksikan saudaranya yang juga memerlukan air dalam keadaan luka parah. Ketika pembawa air mendatangi orang ketiga sang sahabat itu telah terlebih dahulu menelan cawan syahadah dan gugur syahid. Iapun segera kembali ke orang kedua dan pertama, namun keduanya juga telah menghembuskan nafas yang terakhir bersama kesyahidan.

Di zaman ini, hubungan antar manusia biasanya didasari oleh faktor kepentingan dan keuntungan. Dalam kondisi seperti ini mengungkap sisi emosi dan perasaan manusia yang tidak menyertakan keuntungan materi dalam hubungan persaudaraan tentu punya sisi menarik. Hubungan yang murni seperti ini punya andil besar dalam memperbaiki banyak masalah afeksi dan keamanan individu dan sosial. Karena itu, para pemimpin agama yang juga guru bagi kemanusiaan mendorong umat manusia untuk menjalin hubungan di antara mereka dengan landasan spiritualitas dan keimanan. Dalam banyak perkataan mereka, persahabatan dan kasih sayang di antara manusia disebut sebagai nilai yang dimuliakan.

Imam Ali Ridha as dalam sebuah seb uah berkata, “Untuk setiap saudara seiman yang dipilih seseorang, Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” Dalam riwayat lain, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Pilihlah saudara untuk dirimu. Setiap senyuman yang disunggingkan untuk saudara mukmin terhitung kebaikan.”

Hak Pelaku Kebaikan

Para ulama dan pakar agama mengatakan bahwa salah satu kunci kelestarian Islam adalah karena agama ini menyeru dan menggiring umat manusia kepada hal yang diinginkan oleh akal yang sehat. Akal tentunya menghendaki nilai-nilai etika dan norma yang diantaranya adalah perbuatan baik kepada masyarakat umum. Hal itu pula yang ditekankan berulang kali di dalam kitab suci al-Quran. Di ayat 26 surat Yunus Allah Swt berfirman, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”

Berbuat baik kepada orang lain akan melahirkan hubungan kasih sayang di antara sesama. Secara alamiah manusia menyenangi orang yang berbuat baik dan menjauhi orang yang berbuat jahat. Perbuatan buruk seseorang dan penyimpangan yang dilakukannya muncul dari perangi buruk pada dirinya. Artinya, perangai buruk mencegah orang untuk berbuat baik kepada orang lain atau menghargai kebaikan orang lain.

Perbuatan baik ada banyak bentuknya. Singkatnya semua bentuk yang memberikan keuntungan kepada orang lain, membantu kemajuan dan pendidikan, serta memenuhi kebutuhannya masuk ke dalam kategori perbuatan baik kepada orang lain. Dikisahkan bahwa suatu hari seorang hamba sahaya menghadiahkan setangkai bunga kepada Imam Hasan Mujtaba as. Sebagai balasannya, beliau memerdekakan hamba sahaya itu. Orang-orang yang bersama Imam bertanya dengan keheranan, apakah setangkai bunga mesti dibalas dengan balasan yang sangat besar seperti itu? Imam Mujtaba as membawakan ayat ke 86 surat al-Nisa dalam menjawab keheranan mereka. “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”

Prinsip mengapresiasi dan menyampaikan penghargaan adalah salah satu metode manajemen yang diakui saat ini. Menurut para pakar manajemen, menghargai perbuatan baik adalah salah satu modus manajemen yang sukses. Cara itu dapat memacu etos kerja. Memberi penghargaan kepada perbuatan yang baik akan mendorong sosialsi perbuatan baik di tengah masyarakat. Imam Ali as dalam sebuah riwayat menjelaskan, faedah menghargai kebajikan untuk orang lain seraya menyinggung dua dimensi kejiwaannya. Kepada sahabatnya yang setia bernama Malik Asytar, beliau mengingatkan, “Pujilah selalu orang-orang yang ikut mengabdi dalam pemerintahanmu baik tentara maupun sipil. Berterima kasihlah kepada mereka. Ungkap dan jelaskan kepada umum pekerjaan baik yang mereka lakukan. Membalas kebaikan orang akan menghasilkan dua hal. Pertama, dengan itu engkau mendorong orang-orang yang punya keberanian untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Sebab, penghargaanmu membuat mereka terpacu untuk melanjutkan pekerjaan itu. Kedua, dengan penghargaanmu engkau menggugah hati orang-orang yang tidak peduli akan masalah-masalah ini untuk terpacu melakukan pekerjaan yang baik.”

Di bagian lain Risalatul Huquq Imam Sajjad as menjelaskan hak orang yang berbuat kebajikan dan mendorong kita untuk menghargainya.  Beliau berkata, “Hak orang yang berbuat baik kepadamu adalah bahwa engkau harus berterima kasih kepadanya dan selalu mengingat kebaikannya. Dengan kata-kata yang baik harumkan namanya dengan kebaikan dan saat berdoa ingatlah ia dengan tulus di hadapan Tuhanmu. Jika itu kau lakukan berarti kau telah melaksanakan kewajibanmu untuk berterima kasih secara terbuka maupun sembunyi. Jika memungkinkan maka balaslah kebaikannya dengan tindakan, jika tidak maka nantikan saat untuk membalas kebaikannya.”

Dalam penjelasan Imam Sajjad as menyebut balasan kebaikan lewat tindakan, berdoa, dan menyebarkan namanya dengan baik sebagai hak orang yang telah melakukan kebaikan kepada kita. Imam juga mengimbau kita untuk menghargai nilai perbuatan baik. Sebab, orang yang baik adalah orang yang bisa menghargai kebaikan dan orang yang melakukan kebaikan itu. Dengan demikian ia bisa membalas kebaikan tersebut.

Salah satu hal yang ditekankan dalam masalah hak orang yang berbuat baik adalah hak para duta kebenaran yang para utusan Allah yang datang membimbing kita ke jalan yang benar. Dengan rahmat dan kemurahan-Nya, Allah memilih insan-insan terbaik sebagai duta dengan mengamanatkan kenabian dan risalah kepada mereka. Mereka mendapat tugas untuk mengajak dan membimbing umat manusia kepada kebenaran dan menyelamatkan mereka dari kebodohan dan kezaliman. Para duta Ilahi itu melaksanakan titah Allah tersebut tanpa pamrih. Dengan hikmah, makriofat dan akhlak yang mulia mereka menebar benih spiritualitas, akhlak dan ilmu di tengah umat serta mendidik dan menyucikan manusia. Karena itulah mereka memiliki hak yang amat besar di pundak semua orang.

Ketika Nabi Muhammad Saw tiba di Madinah lalu menegakkan sendi-sendi pemerintahan Islam di sana, kaum Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah mengumumkan akan menghadiahkan harta mereka sebagai hadiah bagi Nabi atas jerih payah beliau dalam berdakwah. Harta itu bisa dimanfaatkan untuk mengarasi kesulitan masyarakat. Meski demikian, Allah Swt menjawab hal itu dengan firman-Nya di surat al-Shura ayat 23 yang artinya, “[Wahai Nabi] katakankah bahwa aku tidak mengharapkan upah dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku…”

Tak diragukan bahwa  membimbing umat manusia di jalan kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi bagi umat. Menurut para mufassir Quran, kecintaan kepada Ahlul Bait yang dinyatakan dalam ayat tadi sebagai bentuk balasan atas kebaikan Nabi Muhammad Saw disebabkan karena Ahlul Bait adalah insan-insan yang melanjutkan jejak Nabi Saw. Mereka mirip dengan Rasulullah yang mengajak umat manusia kepada kebenaran dan mengajarkan budi pekerti luhur serta menyebarkan ilmu dan makrifat.

Hak Muazin

Setiap aliran dan kepercayaan pasti punya syiar tersendiri. Kaum Yahudi, Nasrani dan para pemeluk agama-agama yang lain mengajak orang untuk melaksanakan ritual dan menghadiri upacara keagamaan. Di Islam, syiar keagamaan dikemas dalam bentuk yang indah yang salah satunya dalam bentuk ibadah yang agung bernama shalat.

Syiar keagamaan menunjukkan arah jalan menuju puncak yang menjadi tujuan semua agama. Saat ini ada sekitar satu setengah miliar di dunia yang memeluk agama Islam. Di waktu-waktu yang telah ditentukan, ketika suara azan mengumandang umat Islam mendatangi masjid-masjid dan mushalla untuk melaksanakan shalat dalam suasana khusyuk penuh cinta kepada Allah. Shalat membawa mereka menuju kebahagiaan yang hakiki.

Dalam Islam, azan adalah seruan yang menjadi awal dari ibadah shalat. Seruan ini memiliki sisi pengumuman dan panggilan kepada umat untuk melaksanakan shalat. Orang yang mendengar adzan seakan menerima kabar gembira panggilan menghadap Allah. Ia mesti bersiap-siap untuk memenuhi panggilan Sang Maha Agung. Karena itulah azan dengan kalimat-kalimatnya yang pendek meninggalkan kesan mendalam di kalbu manusia. Mary, wanita warga Inggris yang kini telah mengubah nama menjadi Zahra menceritakan kisahnya memeluk agama Islam. Dia mengatakan, “Aku pertama kali mengenal Islam setelah terkesima mendengar suara azan. Suara itu sedemikian merasuk ke dalam hati sehingga menarikku ke arah Tuhan semesta alam.”

Azan dimulai dengan takbir yang berarti menyebut kebesaran Allah Swt. Lalu muazin melanjutkan dengan kesaksikan akan keesaan Allah dan bahwa semua yang ada di dunia ini berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya. Dialah yang mengatur segala sesuatu dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Tak ada yang menyamai-Nya dan tak ada sekutu bagi-Nya. Kemudian, muazin menyuarakan kesaksian akan kenabian Muhammad Saw. Beliaulah utusan Allah kepada umat manusia dengan membawa wahyu Ilahi. Selanjutnya azan mengikrarkan bahwa shalat adalah amalan terbaik yag menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Untuk itu, masyarakat diseru untuk bersegera melaksanakan ibadah ini.

Azan pertama kali dikumandangkan di zaman Nabi Muhammad Saw. Setelah hijrah ke Madinah, para sahabat membicarakan masalah shalat dan bagaimana caranya mengumumkan bahwa sudah tiba waktu shalat. Masing-masing menyampaikan usulannya yang kebanyakan meniru apa yang dilakukan agama-agama yang lain. Tak lama, malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw dan memerintahkan untuk mengajarkan azan kepada umat. Nabi Saw lalu mengajarkannya kepada Ali bin Abi Thalib dan menyuruhnya untuk mengajarkan azan kepada Bilal. Sejak saat itu, Bilal bekas budak berkulit hitam asal negeri Habasyah secara resmi menjadi muazin kaum muslimin.

Sejak awal Islam, azan dipandang sebagai salah satu syiar penting agama Islam. Azan sarat dengan zikir dan ikrar tauhid yang merasuk ke kalbu yang paling dalam. Karena itu, Islam juga menghormati para muazin. Dalam sebuah riwayat Imam Ali Ridha as berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Di hari kiamat nanti, para muazin punya kedudukan yang lebih tinggi di antara semua orang. Muazin adalah sahabat setia bagi setiap orang yang mengingatkannya akan kewajibannya.”

Kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari kesibukan dan urusan materi yang terkadang membuatnya lupa akan kewajiban yang mesti dijalankan. Dalam kondisi seperti ini, tentunya ia akan sangat berhutang budi kepada orang yang menyadarkan akan kewajibannya. Karena itu orang tersebut memiliki hak yang besar di atas pundaknya. Dalam Risalatul Huquq Imam Sajjad as menyebutkan adanya sejumlah hak bagi muazin. Beliau berkata, “Hak muazin atas dirimu adalah hendaknya kau menyadari bahwa dialah yang mengingatkanmu akan Tuhanmu. Dialah yang menyerumu kepada kebaikanmu. Dia adalah sebaik-baik yang memberi pertolongan kepadamu dalam menjalankan kewajiban yang telah Allah pikulkan atas dirimu. Maka berterimakasihlah kepadanya sebagaimana kau berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepadamu di hadapan Allah. Engkau harus menyadari pula bahwa dia adalah anugerah dan nikmat dari Allah yang harus kau perlakukan dengan baik dan dalam segala keadaan syukurilah nikmat Allah.”

Nilai-nilai agung yang ada dalam azan menunjukkan bahwa Allah pasti akan memberi pahala yang besar disisi-Nya kepada orang yang mengumandangkan syiar tauhid dan penghambaan ini.  Imam Sajjad as menyebut orang memanfaatkan suara indahnya untuk mengumandangkan azan sebagai nikmat dari Allah. Imam Jafar Shadiq as dalam sebuah hadis juga menjelaskan fadhilah muazin dan kedudukan maknawiyahnya di sisi Allah. Beliau berkata, “Selama suaranya masih mengumandang Allah mengampuni dosa muazin sejauh matanya memandang…Allah juga akan memberikan pahala dan kebaikan kepada siapa saja yang memerhatikan azan itu dan melaksanakan shalat setelah mendengarnya.”

Azan adalah syiar Islam yang kaya akan makrifat. Alangkah baiknya jika kita bisa merenungkan manka-makna agung tauhid dan penafian syirik yang terkandung di dalamnya. Dengan merenungkannya, keimanan kita akan bertambah dan semakin bersemangat untuk memasyarakat dan menyebarkan syiar Islam ini.

Hak Sahabat (Bagian 1)

Biasanya untuk menempuh satu perjalanan, orang memerlukan pendamping dan penolong. Dan untuk bisa sampai ke tujuan dengan selamat orang harus mengenal dengan baik kawan seperjalanannya. Kehidupan tak ubahnya bagi sebuah perjalanan sementara teman adalah kawan seperjalanan. Kita harus mengenal dengan baik kawan kita apakah dia termasuk orang yang setia menemani hingga akhr, atau hanya mengejar keuntungan sendiri dalam berteman. Kita tak mungkin bisa mengingkari pengaruh persahabatan.

Bergaul dengan orang-orang yang baik dan saleh akan membantu orang mencapai derajat ketinggian insani sementara bergaul dengan orang yang jahat dan bejat akan menenggelamkan orang ke dalam keterpurukan dan kehancuran. Hal itu juga disinggung oleh al-Quran al-Karim bahwa sebagian orang tersesat lantaran pergualan dengan orang-orang yang sesat. Kelak mereka akan menyesal karena kesalahan dalam memilih kawan. “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran telah datang kepadaku. Dan syaitan itu tidak akan menolong manusia.” (Q.S. Al-Furqan: 28-29)

Memilih kawan yang tepat, benar dan baik adalah langkah awal yang dapat mencegah seseorang dari penyimpangan dan kesesatan. Adalah tindakan logis untuk tidak mudah tergoda berkawan dengan orang sebelum mengenalnya dengan baik. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Hindarilah persahabatan dengan tiga kelompok manusia; orang pengkhianat karena ketika suatu hari siap berkhianat demi kepentinganmu di hari yang lain ia akan berkhianat yang merugikanmu. Kedua, orang yang zalim. Sebab, ketika dia siap berbuat zalim terhadap orang lain demi dirimu maka diapun tak akan segan menzalimimu. Ketiga, orang yang gemar mengumpat. Sebab, ketika dia gemar mengumpat orang lain di depanmu tentu ia tak keberatan untuk mengumpatmu di depan orang lain.”

Sahabat yang baik laksana harta sangat berharga yang memberikan kebahagiaan untuk manusia. Para pemimpin agama Islam dan Ahlul Bait mewanti-wanti para pengikuti mereka untuk pandai-pandai memilih kawan yang cerdas, berwawasan luas, bijak dan beriman. Sahabat dengan sifat-sifat seperti ini sangat menguntungkan kita. Imam Ali as berkata, “Perkokohlah jalinan persahabatanmu dengan saudara seiman sebab dialah kekayaanmu yang berharga di dunia dan akhirat.”

Persahabatan jika dijalin karena unsur etika dan kemuliaan akan membuat hati orang ceria. Sahabat yang baik akan selalu menjaga perasaan sahabatnya dan menghormati hak-hak dan privasinya. Lebih dari itu, persahabatan yang akrab akan membuat orang menginginkan untuk sahabatnya apa yang dia inginkan untuk dirinya. Jika melihat sahabatnya berbuat kesalahan, ia akan menegurnya dengan niat yang tulus.

Mengingat peran besar dari seorang kawan dan sahabat dalam mempengaruhi perilaku sahabatnya, Imam Ali as-Sajjad as mengatakan, “Hak sahabat adalah bahwa engkau harus memperlakukannya dengan baik. Sambutlah ia dengan hangat, jujurlah dalam berbicara dengannya dan jangan engkau palingkan wajah darinya.”

Orang memang terkadang melakukan kesalahan, tak terkecuali sahabat dan kawan kita. Dalam pernyataannya, Imam Sajjad mengingatkan kita untuk menutup mata dan memaafkan sahabat kala ia melakukan kesalahan terhadap diri kita. Dengan tetap memperlakukannya secara baik hendaknya kita menyadarkannya akan kesalahan yang telah ia lakukan. Bukan tindakan yang logis jika kita memutuskan tali persahabatan hanya karena kesalahan kecil yang dilakukan kawan kita. Sebab antara kita dan mereka ada jalinan ikatan yang meniscayakan sejumlah hak dan kewajiban.

Imam Sajjad as dalam ungkapannya menjelaskan hak kawan yang jauh lebih besar. Beliau mengingatkan akan etika dan tata krama yang harus kita perhatikan dalam pergaulan dengan sahabat dan kawan kita. Beliau berkata, “Jika engkau duduk dan menemani seseorang maka engkau berhak untuk berdiri dan meninggalkannya kapanpun juga. Namun, jika dia yang datang dan menemanimu maka dialah yang berhak untuk memutuskan kapan beranjak dari sisimu. Dalam keadaan seperti itu jangan pernah engkau berdiri meninggalkannya kecuali setelah meminta izin darinya.”

Islam sangat mementingkan kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakat. Karena itu agama Ilahi ini menaruh perhatian pada semua hal termasuk masalah-masalah yang kecil dan remeh sekalipun. Dalam masalah berteman, Islam mengajarkan untuk memilih kawan dan sahabat yang bisa menambah ilmu dan makrifat serta bisa membimbing kita dalam mengarungi kehidupan dunia. Karena itu, sebaik-baik kawan adalah para ulama dan orang-orang bijak. Kelompok lainnya yang baik untuk dijadikan kawan adalah kaum fakir. Sebab, meski papa dan tak berharta, mereka umumnya adalah orang-orang yang tulus dan berhati mulia. Duduk bersama orang-orang yang baik akan memberikan kesenangan dan ketenangan batin. karena itu, pandai-pandailah kita dalam memilih kawan.

Hak Sahabat (Bagian 2)

Seorang bijak mengatakan, kunci kebahagiaan terletak pada hubungan kita yang bersahabat dengan dunia luar, bukan hubungan yang dilandaskan permusuhan. Manusia yang tidak dapat memandang orang lain sebagai kawan tak akan pernah merasakan hidup tanpa kegelisahan.

Kata-kata ini menunjukkan bahwa interaksi dan hubungan di tengah masyarakat dibangun dengan landasan persahabatan, kehangatan, cinta dan kasih sayang.

Dalam pergaulan, pemikiran dan pengetahuan orang akan meningkat. Keriangan dan keceriaan akan memenuhi hidupnya sementara kebaikan akan menghiasi perilakunya. Karena itu, persahabatan dipandang sebagai sumber ketenangan dan ketentraman jiwa yang semakin menguat dengan berlalunya waktu. Para pakar pendidikan mengimbau untuk pandai-pandai memilih kawan. Sebab, secara tak disadari, kejiwaan dan kepribadian orang akan terpengaruhi oleh kepribadian kawan dan sahabatnya. Karena itu, sahabat akan sangat berpengaruh pada kebaikan dan keburukan seseorang.

Mungkin Anda pernah berhadapan dengan orang yang sebenarnya tidak memiliki karakter baik tapi berpura-pura baik di depan Anda untuk bisa menjalin persahabatan dengan Anda. Tujuannya adalah supaya dia bisa melayangkan pukulan telaknya terhadap Anda. Persahabatan yang berharga adalah yang didasari oleh kejujuran dan ketulusan. Persahabatan inilah yang dapat memenuhi kebutuhan afeksi kedua pihak. Salah satu menifestasinya adalah persahabatan dengan orang-orang yang baik, saleh dan bijak. Orang-orang seperti itulah  yang akan membawa sahabatnya kepada kebijaksanaan, kebaikan dan kesalehan.

Mengenai sahabat, Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Hak sahabat dan orang yang menyertaimu adalah hendaknya engkau menjalin persahabatan dengannya sebanyak mungkin. Jika tidak mampu, setidaknya engkau memperlakukannya dengan adil dan jujur. Hormatilah ia sebagaimana ia menghormati dan memuliakanmu. Lindungi dan belalah ia sebagaimana ia melindungi dan membelamu. Jangan biarkan ia mendahuluimu dalam berbuat kebaikan, jika itu terjadi maka usahakan untuk membalas kebaikannya. Lakukan semampumu untuk memberinya kasih sayang dan cinta…”

Kata-kata Imam Sajjad tadi menitikberatkan pada dua hal, kebaikan dan kejujuran dalam memperlakukan sahabat dan kawan. Beliau menekankan bahwa pada tahap awal, kebaikan harus menjadi landasan perilaku kita terhadap kawan. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Saw menunggang sebuah kendaraan dengan ditemani oleh salah seorang sahabat beliau. Memasuki sebuah kebun beliau mencabut dua akar dari sebuah tanaman, yang salah satunya cacat dan yang lain tidak. Beliau menyerahkan akar yang tidak cacat itu kepada sahabatnya. Sahabat itu berkata, “Ya Rasulullah, engkau lebih layak untuk menerima yang ini”. Nabi Saw menjawab, “Setiap orang punya kewajiban atas kawannya meski hanya menemaninya untuk masa sepenggal hari.”

Imam Sajjad juga menyebutkan soal kejujuran yang harus dijaga dalam bergaul dengan sahabat. Beliau menekankan untuk memperlakukan sahabat dengan sebaik mungkin dan membalas kebaikannya dengan lebih baik. Beliau menyeru kita untuk berbagi kasih sayang dengan sahabat kita dan membantunya untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan yang hakiki.

Ajaran agama selain memperkokoh hubungan persahabatan antara manusia juga mencegah persahabatan dengan orang-orang yang tidak baik. Ibnu Atsir, sejarawan dan ulama besar Muslim dalam sebuah tulisannya menjelaskan pesan Imam Sajjad kepada anak-anaknya. Dia menulis, Ali bin Husein (Imam Sajjad) memperingatkan umat terutama anak-anak muda untuk tidak menjalin tali persahabatan dengan orang-orang yang bobrok. Beliau mengatakan, “Anakku! Jangan engkau bergaul dengan orang fasik, sebab ia akan mencampakkanmu hanya dengan imbalan makanan atau harta yang remeh padahal ia tak akan mendapatkannya. Jangan engkau bergaul dengan orang yang kikir. Sebab ia akan menghinakanmu saat engkau memerlukan bantuan keuangannya. Jangan pula bergaul dengan pembohong sebab ia tak ubahnya bagai fatamorgana yang menampakkan hal-hal yang jauh seakan dekat di matamu dan menjauhkan yang dekat. Janganlah bersahabat dengan orang yang dungu sebab ia akan merugikanmu saat berniat memberimu keuntungan.”

Kita berharap supaya dapat menjalankan bimbingan Imam Sajjad ini dan bisa mendapat sahabat yang baik.

Hak Tetangga

Salah satu hal yang mendapat perhatian besar dalam Islam adalah masalah emosi, gotong royong dan upaya saling membantu. Masalah-masalah ini semakin menemukan tempatnya saat manusia memasuki era seperti sekarang ini, yaitu era modern yang menjerumuskan manusia ke dalam kehidupan mesin. Islam berusaha membangun tatanan dan kehidupan sosial yang baik dan sehat dengan hubungan yang hangat dan saling percaya di antara semua elemen masyarakatnya. Untuk itu, Islam menekankan semua hal yang bisa memperkuat hubungan sosial di antara anggota masyarakat serta melarang apa saja yang bisa melemahkannya.

Dalam perspektif Islam, hubungan di antara manusia harus tercipta dengan landasan ketulusan dan kejujuran tanpa ada noda tipu daya dan kecurangan. Pergaulan yang baik akan melahirkan keamanan dan ketenangan hati sementara penyalahgunaan kepercayaan akan memicu kemerosotan akhlak dan menimbulkan banyak dilema sosial lainnya. Menurut para ahli, kemunduran dan dekandensi akhlak di tengah masyarakat biasanya disebabkan oleh kesalahan individu yang lantas menemukan bentuknya dalam hubungan sosial. Fenomena itu secara perlahan akan menggerus tatanan sosial dan membawanya kearah penyimpangan.

Untuk mempererat hubungan di antara manusia, agama menganjurkan kita untuk berbuat baik kepada sejumlah kelompok, diantaranya tetangga. Berbuat baik kepada tetangga sangat berkesan dalam menciptakan ketenangan dan mendatangkan rasa aman bagi anggota keluarga. Limpahan berkah akan datang ketika orang-orang yang bertetangga menjalin hubungan yang baik di antara mereka. Salah satu berkahnya adalah kian menguatnya jiwa kebersamaan dan rasa saling menolong untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat. Hal itu akan menimbulkan kesan yang baik pada jiwa dan memperpanjang usia. Tetangga yang baik adalah nikmat Ilahi yang sangat berharga. Hati akan tertambat saat hubungan antartetangga terbina dengan penuh kasih sayang. Karena itu, Islam menekankan hubungan baik ini. Imam Ali as berkata, “Tetangga yang baik akan memakmurkan negeri dan memperpanjang usia.”

Bersikap baik, menolong kala diperlukan, mengunjungi saat sakit, mengulurkan bantuan keuangan dan berbagi rasa, adalah tanda-tanda bagi hubungan cinta sesama di antara manusia dan tugas yang diemban masing-masing orang terhadap tetangganya. Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, bahwa banyak sekali perintah Allah untuk menjaga hak tetangga sampai-sampai muncul anggapan bahwa tetangga akan saling mewarisi.

Dalam sebuah hadis yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berbuat baik kepada tetangganya.” Berbuat baik dalam hadis itu memiliki makna yang luas. Menurut beliau, seseorang yang ingin meninggikan atap rumahnya supaya meminta persetujuan tetangganya agar peninggian atap rumah itu tidak menghalangi tiupan angin atau masuknya cahaya ke dalam rumah tetangganya. Jika tetangga mendapat suatu anugerah hendaknya ia datang untuk mengucapkan selamat. Ucapan itu akan menyenangkan hati tetangganya.

Imam Sajjad dalam Risalatul Huquq menyebutkan beberapa hak bagi tetangga. Beliau mengatakan, “Hak tetangga adalah hendaknya engkau menjadi penjaga baginya saat ia tidak ada. Saat ia ada hendaknya engkau menghormatinya dan membantunya dalam semua hal. Jangan memata-matainya untuk mengetahui rahasia dan kejelekannya. Jika mengetahui keburukannya maka jadilah engkau benteng atau tabir yang menutupinya. Jangan engkau dengarkan kata-kata yang menyudutkannya. Jangan biarkan ia sendirian mengatasi kesulitan. Janganlah iri saat melihat ia mendapat kesenangan. Maafkanlah jika ia melakukan kesalahan. Perlakukanlah ia dengan lemah lembut meski ia melakukan tindakan bodoh terhadap dirimu. Jangan pernah engkau mencemoohnya dengan kata-kata. Dan perlakukanlah ia dengan penghormatan.”

Sejatinya, gesekan adalah satu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika sekelompok manusia hidup bersama dalam sebuah lingkungan mungkin ada sejumlah oknum yang tidak mengindahkan prinsip pergaulan dan hubungan yang baik. Tindakan itu akan menghilangkan kenyamanan dan membuat banyak orang terganggu. Kondisi itu memicu munculnya ketidakharmonisan dan kekeruhan hubungan di tengah masyarakat. Imam Sajjad mewanti kita untuk tidak mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain serta selalu berusaha menjaga keamanan mereka. Rumah adalah tempat berlindung yang aman bagi semua orang. Beliau juga menekankan bahwa semua orang hendaknya memerhatikan ketegangan dan kenyamanan anggota masyarakat lainnya, terutama tetangga. Jangan sampai mengganggu dan jika ada kesalahan kita diimbau untuk berlapang dada dan memaafkan.

Hak Harta

Imam Sajjad mengatakan, “Hak harta dan kekayaan adalah hendaknya ia tidak diperoleh kecuali melalui jalan yang halal dan jangan digunakan kecuali untuk keperluan yang halal. Jangan engkau belanjakan harta bukan pada tempatnya dan jangan engkau alihkan kepada orang lain melalui jalan yang tidak benar. Karena harta itu engkau dapatkan dari Allah maka jangan engkau gunakan kecuali untuk mendekatkan dirimu kepada Allah. Jangan engkau dahulukan orang yang tidak berterima kasih kepadamu dari dirimu dengan hartamu, sebab bisa jadi ia akan menggunakannya di jalan yang tidak diridhai Tuhanmu.”

Kali ini kita akan menyimak penjelasan tentang hak harta kekayaan sebagaimana yang diajarkan Imam Ali Zainal Abidin as dalam Risalatul Huquq. Mencari harta, beraktivitas ekonomi, bekerja untuk memenuhi keperluan hidup adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk hidup terhormat. Nabi Saw dan Ahlul Bait as mendorong umat untuk giat bekerja dan mencari nafkah guna menghidupi keluarga. Aktivitas ekonomi dalam persepsi insan-insan agung itu adalah aktivitas yang membuat manusia menjadi terhormat dan tidak memerlukan uluran bantuan orang lain. Bekerja akan menyalurkan energi dan kekuatan yang tersimpan pada tubuh dan jiwa manusia lewat cara yang baik. Ketika seseorang aktif bekerja, maka pikirannya akan terfokus dan kepribadiannya akan semakin kokoh.

Bekerja mencari rezeki adalah aktivitas yang membuat keceriaan dan menjadi tonggak penopang kehidupan. Dengan bekerja orang akan terhindar dari keterhinaan di depan orang lain. Al-Quran al-Karim menyebut harta sebagai hiasan kehidupan dunia. Dalam pandangan Islam, orang yang memiliki harta berlimpah tetap tidak boleh bermalas-malasan. Islam mengimbau umatnya untuk tetap bekerja sampai detik-detik akhir kehidupannya.  Suatu hari, Rasulullah Saw mengangkat tangan seorang buruh yang tangannya bengkak karena terlalu banyak bekerja, lalu bersabda, “Tangan ini tak akan pernah tersentuh api neraka. Inilah tangan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Orang yang menghidupi diri dengan kerja kerasnya akan ditatap oleh Allah dengan pandangan penuh rahmat.”

Dalam Risalatul Huquq, Imam Sajjad as bahwa harta dan kekayaan adalah milik Allah. Karena itu, harta hendaknya didapat dari jalan yang halal dan diridhai Allah.  Dari sisi lain, manusia adalah makhluk yang rakus dan sangat mencintai harta. Banyak orang yang gemar menumpuk harta. Manusia gemar berbangga-bangga dengan kekayaan. Semakin banyak kekayaan yang ditimbun orang akan merasa memiliki kekuasaan yang lebih besar. Banyak orang yang berambisi meraih kekuasaan lewat kekayaan yang berlimpah. Mereka berharap harta bisa membuat seseorang lebih berpengaruh di depan masyarakat. Orang-orang yang seperti ini tak akan menikmati ketenangan hidup. Sebab, berapapun banyaknya harta yang telah dikumpulkan, mereka tetap tak merasakan kepuasan.

Dikisahkan bahwa suatu hari seseorang yang gemar mengumpulkan harta mengeluhkan kondisinya tak pernah tenang. Dia mendatangi Imam Jafar Shadiq as dan berkata, “Aku selalu sibuk mencari harta tapi tak pernah merasa puas. Hawa nafsu selalu mendorongku untuk lebih banyak mengejar harta. Ajarilah aku satu hal supaya aku bisa meraih manfaat spiritual dan keluar dari kondisiku ini.” Imam mengajaknya untuk mengubah cara pandang terhadap kehidupan. Beliau berkata, “Jika engkau merasa cukup dengan apa yang memenuhi keperluan hidup, maka harta yang sedikit akan membuatmu puas. Tapi jika engkau tidak merasa cukup maka seluruh harta di dunia ini tak akan pernah bisa memuaskan jiwamu yang serakah.”

Di zaman ini, banyak orang memandang harta dan kekayaan sebagai segala-galanya. Di sejumlah masyarakat harta telah menggeser nilai-nilai etika dan spiritualitas dan menjadi acuan dalam menilai seseorang. Imam Sajjad as menyeru manusia untuk memikirkan pekerjaan dan pendapatan yang layak dan sesuai baginya. Beliau juga mengimbau supaya memperhatikan kenetralan dalam membelanjakan harta. Harta bukanlah untuk berbelanja lebih banyak. Sebab, manusia tak akan pernah puas dengan pembelanjaan hartanya sebesar apapun uang yang sudah ia keluarkan.

Topik lain yang disinggung Imam Sajjad as sebagai hak harta adalah orang hendaknya membelanjakan hartanya di jalan yang baik. Ia juga mesti memerhatikan harta yang ia tinggalkan untuk orang lain setelah ia meninggal. Orang yang memiliki kekayaan harus menyadari bahwa harta punya hak lain yaitu hak untuk dibelanjakan demi kebaikan masyarakat. Setiap orang bisa menggunakan harta yang ia miliki untuk kebaikan demi membangun kehidupan akhirat yang lebih baik. Menyantuni orang lain, membayar zakat dan khumus, memberi pinjaman kepada orang lain yang tertimpa masalah keuangan, membangun pusat-pusat pendidikan dan layanan medis, serta hal-hal yang seperti itu, adalah amalan-amalan yang bisa dilakukan harta dan memberikan kesenangan maknawiyah. Amalan inilah yang termasuk amal saleh yang pahalanya akan dilipatgandakan di sisi Allah.

Hak Penggugat dan Tergugat

Dalam buku Risalatul Huquq, Imam Sajjad menjelaskan pula hak-hak orang yang menggugat dan orang yang tergugat. Tapi yang patut digarisbawahi adalah bahwa apa yang disebutkan dalam kitab ini adalah imbauan dari sisi etika. Sebab, dalam masalah gugatan yang tentunya ditangani oleh hakim Islam telah menggariskan ketentuannya dan hukumnya yang tepat dan bisa menyelesaikan permasalahan dengan prinsip keadilan.

Al-Quran al-Karim menaruh perhatian yang besar pada masalah keadilan dalam menghakimi dan menyebutnya sebagai salah satu syarat dan tanda kemusliman seseorang. Al-Quran lantas menyebut Allah Swt sebagai Ahkamul Hakimin atau Hakim yang seadil-adilnya dan Khairul Hakimin yang berarti sebaik-baik hakim.

Dalam masalah peradilan yang tentunya berhubungan dengan nasib manusia, salah satu prinsip yang mesti dikedepankan adalah kesehatan pikiran, keimanan dan loyalitas hakim kepada prinsip-prinsip etika. Fikih Islam menyatakan bahwa untuk menjadi hakim orang harus alim yang berarti berwawasan luas dan adil. Dengan ilmu, kejujuran dan kebenarannya itu ia akan memberikan putusan dalam suatu kasus peradilan.  Dia harus memandang apa yang dilakukan dalam persidangan sebagai amal ibadah yang diganjar oleh Allah dengan pahalaNya. Islam mengimbau seseorang yang sedang didera kemalasan, rasa kantuk, juga kegembiraan meluap atau kesedihan mendalam dan kemarahan untuk tidak duduk di kursi hakim. Dalam persidangan ia mesti menyamakan pandangan kepada dua belah pihak yang bersengketa. Yang menarik, Islam juga mengimbau supaya hakim memiliki kebebasan finansial dan berpendapatan yang cukup sehingga ia tidak bisa diiming-imingi suap atau digertak dengan ancaman.

Diriwayatkan bahwa di zaman khilafah Imam Ali bin Abi Thalib as seseorang datang dan bertemu di rumah beliau selama beberapa hari. Suatu saat dari pembicaraannya, Imam Ali as yang juga duduk sebagai hakim menyadari bahwa orang tersebut adalah salah satu pihak yang urusannya sedang diproses di pengadilan. Kepada tamunya beliau berkata, “Sekarang juga aku memintamu untuk mengakhiri persinggahan di rumahku ini. Sebab, Rasulullah Saw melarang seorang hakim menjamu salah satu pihak yang bertikai tanpa kehadiran pihak yang lain.”

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menyampaikan pesan-pesan etikanya untuk mengajak manusia untuk semakin matang dan dewasa dalam berhubungan dengan masyarakat sekitar khususnya orang-orang dekatnya, seperti ayah, ibu, sanak famili, kawan bahkan lawan. Poin penting yang ditekankan oleh Imam Sajjad adalah kejujuran yang mesti selalu diperhatikan dalam setiap langkah, tindakan dan keputusan. Kejujuran, sikap fair dan adil itu mesti dijalankan bahkan dalam menghadapi lawan sekalipun.

Bukan rahasia lagi bahwa undang-undang buatan manusia saat ini bahkan yang nampaknya dibuat dengan adil terkadang tidak mampu menyelesaikan masalah dengan adil. Dalam banyak kasus terkadang orang yang hadir di persidangan tidak merasa bersalah saat berbohong walaupun dia berada di bawah sumpah. Tidak sedikit hakim yang justeru menjadi andil ternistakannya hak orang. Banyak kasus yang terungkap ke publik tentang hakim-hakim yang membuat vonis tak adil karena diancam dan diintimidasi. Dalam kondisi seperti ini kejujuran akan menjadi faktor penentu.

Imam Sajjad as berkata, “Hak orang yang mengadu adalah mengakui kebenarannya jika ia memang benar dan jangan menolak pengaduannya dari awal.” Lebih lanjut Imam menambahkan, “Jika memang dia dalam posisi yang benar hendaknya engkau beri keputusan yang memihak kepadanya meski untuk itu kau harus membuat keputusan yang merugikan dirimu sendiri atau atau memvonis tanpa perlu mendatangkan saksi lagi karena engkau telah bersaksi akan kebenaran dakwaannya, dan inilah hak Allah atasmu.”

Apa yang dijelaskan oleh Imam Sajjad itu hanya bisa terlaksana jika manusia bisa melatih dan mendidik jiwanya dengan keimanan, kebenaran dan kejujuran. Jika itu tercapai orang akan rela tunduk kepada kebenaran dan keadilan meski sikap itu bisa merugikan dirinya sendiri. Ini tentunya dalam hal jika dakwaan yang diangkat adalah dakwaan yang benar. Namun terkadang apa yang diklaim penggugat tak lebih dari kebohongan dan dakwaan yang tidak benar. Hal itu sudah tentu akan menjadi pemicu timbulnya sengketa dan tindakan anarkhis. Karena itu, Imam Sajjad as dalam kitab Risalatul Huquq mengimbau pihak kedua yakni yang tergugat untuk menahan diri jika terjadi gugatan tidak benar atas dirinya. Imam Sajjad berkata, “Jika klaim dan gugatannya tidak benar maka perlakukanlah ia dengan lemah lembut dan ajaklah ia untuk takut kepada Allah.”

Imam Sajjad as dalam kata-katanya ini menekankan untuk tidak mengucapkan kata-kata berlebihan, melontarkan tuduhan dan menyerang penggugat dengan cercaan. Kita diseru untuk menghindarkan tindakan-tindakan seperti itu agar diri kita selalu rerhiasi dengan sifat dan perilaku yang mulia.