• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 12528 / Download: 8248
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Bermusyawarah

Manusia terbiasa untuk bermusyawarah dan meminta saran atau masukan dari orang-orang yang dianggap berwawasan, berpengalaman dan yang lebih tua. Orang yang bijaksana dan berpandangan ke depan akan meminta pendapat dan arahan terkait kehidupan individu maupun sosial dari orang yang menurutnya pintar dan bijak. Orang-orang seperti inilah yang dinilai bakal mampu membantu menyelesaikan berbagai permasalahan.

Dengan datangnya risalah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw bermusyawarah menjadi masalah yang penting dan ditekankan dalam ajaran agama ini. Di ayat 159 surat Ali Imran, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” Padahal Nabi Saw adalah insan yang memiliki akal paling sempurna dan paling bijak. Meski demikian beliau diperintah oleh Allah untuk bermusyawarah dengan kalangan bijak dan pandai dari para sahabatnya. Dengan demikian beliau bisa memanfaatkan hasil pemikiran mereka.  Nabi Saw sangat menghargai pendapat umatnya. Jika beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat kebanyakan sahabat, maka beliau dengan lapang dada menerima  pendapat mayoritas. Dalam tutur kata dan perilaku, beliau mengajarkan musyawarah dan mendidik umatnya untuk bertukar pikiran di antara mereka.

Di dunia modern, seorang manager atau pimpinan sebuah instansi pasti memiliki orang-orang yang bekerja untuknya sebagai penasehat yang membantu memberinya masukan demi kelancaran kerja dan memperbaiki kinerja. Penasehat itu umumnya adalah para pakar yang punya keahlian khusus sehingga bisa membantu kelancaran dan perbaikan kerja. Masukan yang diberikan oleh para penasehat jika dijalankan dengan baik dan benar akan mengurangi resiko kesalahan sementara peluang keberhasilan akan semakin besar.

Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq mengenai signifikansi musyawarah menjelaskan hak orang orang yang memintas nasehat dan arahan. Beliau berkata, “Hak orang yang memerlukan nasehat darimu adalah hendaknya engkau memberi pandangan yang jelas dan baik kepadanya. Saat menasehatinya, perlakukanlah dia sebaik engkau memperlakukan dirimu jika berada pada posisinya. Berikan nasehat itu dengan lemah lembut sehingga kecemasannya berubah menjadi ketenangan. Jika engkau tidak mengerti apa yang mesti engkau sampaikan arahkanlah dia kepada orang yang engkau menjadi kepercayaanmu saat engkau memerlukan nasehat.”

Musyawarah mendatangkan banyak manfaat baik untuk pribadi orang dalam lingkup kehidupannya maupun untuk masyarakat dalam kehidupan sosial. Selain itu, musyawarah akan mencegah terjadinya kediktatoran dalam berpendapat.  Orang yang hanya mementingkan pendapatnya saja berarti telah terjebak ke dalam salah satu petaka besar. Jika petaka ini menyebar di tengah masyarakat maka orang akan mudah melupakan kepribadiannya dan akibatnya, masyarakat akan terperosok ke dalam dekandensi yang mengerikan. Orang yang hanya mementingkan pendapatnya saja tak akan peduli dengan pendapat orang lain. Ia tak ubahnya bagai kayu yang tak lentur yang akan patah jika dipaksa untuk dilenturkan. Sementara, orang yang bisa menghargai orang lain akan memiliki sifat yang fleksibel dan bisa menempatkan diri dengan pandangan orang lain.  Orang yang seperti ini akan mudah diarahkan ke jalan yang benar.

Ketika musyawarah menjadi tradisi di sebuah masyarakat, pemikiran akan berkembang dan dari berbagai pandangan dan ide yang terbaiklah yang akan dipilih. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Ketika penguasa kalian adalah dari kalangan orang-orang yang baik, orang kuat kalian dari kalangan dermawan, dan pekerjaan kalian dilakukan dengan musyawarah maka saat itu muka ini akan lebih baik bagi kalian dari kandungan di dalamnya.”

Musyawarah akan menjadikan orang lebih siap dalam mengambil keputusan pada kondisi yang sulit. Hal itu akan semakin membuka jalan bagi aktualisasi potensi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, lewat musyawarah pemikiran dan ide akan semakin matang. Di tingkat sosial partisipasi masyarakat di dewan-dewan dan perkumpulan untuk bertukar pandangan membantu mereka untuk terlibat dalam menentukan perjalanan masyarakat. Dalam sebuah hadis Nabi Saw bersabda, “Tak ada satupun masyarakat yang bermusyawarah di antara mereka kecuali memperoleh petunjuk terbaik dalam urusannya.”

Manusia tidak akan pernah mengetahui semua masalah yang ia hadapi juga akibat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Karena itu ia memerlukan musyawarah. Akal memang menjadi pemandu manusia dalam membuka jalan baginya. Tetapi sangat mungkin ia tidak melihat apa yang terjadi di ujung perjalanan sana atau tak mampu menganalisa permasalahan secara sempurna. Karena itu ia memerlukan pandangan orang lain sebagai masukan. Imam Ali as menyebut musyawarah sebagai tindakan menyertakan akal orang-orang lain dalam sebuah masalah. Kata-kata Imam Ali ini mengingatkan bahwa akal dan pemikiran beberapa orang akan lebih sempurna dibanding pemikiran satu orang. Manusia memerlukan akal yang lebih tinggi dan suci khususnya dari para nabi dan manusia-manusia pilihan Allah.

Tentunya bermusyawarah tidak bisa dilakukan dengan sembarang orang. Ada sekelompok orang yang justeru akan mencelakakan kita jika diajak untuk bermusyawarah. Dalam kaitan ini Imam Ali as berkata, “Jangan pernah bemusyawarah dengan tiga kelompok manusia, pertama, orang-orang kikir, sebab mereka akan mencegahmu berbuat baik kepada orang lain dan menakut-nakutimu akan kemiskinan. Kedua, orang-orang penakut sebab mereka akan mencegah langkahmu melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Ketiga, orang-orang yang rakus sebab mereka akan menggambarkan orang yang zalim layaknya orang baik demi meraih kekayaan atau kedudukan.”

Hak Orang Lanjut Usia

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di alam kehidupan ini, manusia adalah wujud yang lemah. Setahap demi setahap periode kehidupan dia lalui sampai tumbuh dewasa dengan fisik yang semakin kuat di masa muda. Dengan berlalunya usia, dia memasuki masa paruh baya yang dibarengi dengan kematangan nalar dan pikirannya. Menginjak usia senja ia akan kehilangan kemampuan fisiknya yang semakin melemah. Al-Quran al-Karim menggambarkan kondisi itu dalam surat Rum ayat 54. Allah Swt berfirman yang artinya, “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Dalam sejumlah riwayat hadis disebutkan bahwa usia tua adalah satu bentuk manifestasi dari cahaya ilahi. Orang yang berusia tua mendapat kehormatan khusus karena ia telah mengemban risalah kemanusiaan sejak lama dengan naik turun kondisi kehidupan di dunia dan kini di usia senja ia hidup mendampingi orang-orang yang masih muda untuk menyampaikan kepada mereka segudang pengalaman yang dimilikinya. Jelas bahwa setiap pengalaman akan membuka pintu pengetahuan bagi manusia. Terkait hal ini, Imam Ali as menyatakan bahwa di balik pengalaman ada ilmu dan pengetahuan yang baru. Salah seorang cendekiawan berkata, “Dalam mencapai kemajuan etikanya umat manusia berhutang budi kepada kaum tua. Ketika menginjak usia tua, orang akan semakin baik dan matang, dan ia siap menyampaikan pengalamannya kepada generasi yang lebih muda. Tanpa kaum tua, manusia akan mengalami stagnasi.”

Skinner, psikolog Amerika mengatakan, “Usia senja ibarat safari ke negeri lain. Jika sebelum safari Anda telah mempersiapkan bekal maka saat menginjak usia senja kondisi kalian akan lebih baik.” Ungkapan ini menyebutkan bahwa usia senja adalah satu periode kesempurnaan manusia. Karena itu, saat menginjak usia senja kita mesti menyesuaikan diri dengan kondisi di usia itu dengan semangat, keceriaan dan kebersyukuran kepada Allah Swt.

Di setiap masyarakat ada sekelompok orang yang sudah berusia lanjut. Tentunya, masyarakat memiliki serangkaian kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka. Salah satunya adalah penghargaan anggota masyarakat kepada orang-orang tua. Penghormatan dilakukan dengan menghormati kaum tua dan memahami kondisi fisik dan kejiwaan mereka. Masyarakat mesti memerhatikan kebutuhan kelompok usia senja ini dan berusaha untuk menyelesaikan semua kesulitan yang mereka hadapi. Kaum tua juga harus disertakan dalam kegiatan sosial dengan diberi tugas yang bisa mereka lakukan. Memang sepintas hal itu seakan memberatkan tapi sebenarnya pelimpahan tugas tersebut akan membuat mereka merasa memiliki andil dalam masyarakat. Perasaan itu akan mendatangkan rasa percaya diri dan mengobati masalah kejiwaan yang biasanya diderita kaum tua. Satu hal yang harus diperhatikan adalah dahaga akan perhatian, kasih sayang dan cinta yang dirasakan oleh kebanyakan orang yang berusia lanjut.

Mengenai kaum tua, Imam Sajjad as menjelaskan, “Hak kaum tua adalah hendaknya engkau menghormati ketuaannya. Jika dia memiliki prestasi keterdahuluan dalam Islam maka hormatilah ia karenanya. Dahulukanlah dia. Jika terlibat perselisihan dengannya jangan sampai engkau bersikap frontal terhadapnya. Saat berjalan, jangan engkau mendahuluinya dan jangan berjalan di depannya. Jangan engkau anggap dia seperti orang bodoh. Jika ia melakukan kesalahan hendaknya engkau bersabar atasnya. Hormati pula dia karena usianya sebab hak usia sama seperti hak Islam baginya.”

Di sini, Imam Sajjad as menitikberatkan masalah penghormatan kepada kaum tua. Mereka tak lain adalah orang-orang yang dahulu dimasa muda membangun rumah tangga dan menghabiskan usia, tenaga dan harta untuk membesarkan anak-anak dan mendidik mereka. Bisa dibayangkan betapa beratnya pukulan kejiwaan yang menimpa mereka jika di masa tua diperlakukan dengan tidak baik dan tidak terhormat. Dalam perspektif Imam Sajjad as, salah satu bentuk penghormatan kepada kaum tua adalah dengan tidak memusuhi mereka. Orang yang sudah menginjak usia tua dengan fisik yang semakin melemah berharap banyak dari orang-orang yang lebih muda. Terkadang harapan mereka memang berlebihan dan tidak wajar.

Imam Sajjad menyinggung hal itu sambil menasehati untuk bersabar jika hal itu terjadi. Beliau memerintahkan kita untuk tetap menjaga rasa hormat kepada mereka dan tidak terlibat konfrontasi langsung dengan mereka. Beliau mengajarkan pula untuk tidak berjalan mendahului orang tua dan tidak memperlakukan mereka dengan tidak sopan. Dalam hal ini yang harus diperhatikan dan bisa membuka mata kita dalam bergaul dengan kaum tua adalah bahwa kita bakal mengalami masa seperti itu, saat usia sudah menginjak senja dan tubuh sudah semakin rapuh ditelan masa.

Hak Anak Kecil

Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata, “Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk perkembangannya.”

Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia. Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi senyuman dan nada pembicaraan yang baik.

Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat keji.

Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.

Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.

Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri. Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, “Orang yang memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya.”

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.”

Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia.

Di akhir pembahasan ini kita simak doa Imam Sajjad berikut ini, “Ya Allah bantulah kami dalam mendidik anak kami dengan pendidikan yang baik.”

Hak Pengemis

Membantu kaum fakir dan papa adalah tugas bagi seluruh umat Islam. Karena itu, Islam menjelaskan pahala besar yang bakal diterima orang yang menolong kaum fakir dan peduli dengan keadaan mereka. Allah suka dengan orang-orang yang mengulurkan bantuan kepada mereka yang memerlukan dan perbuatan itu akan membantu meningkatkan kesempurnaan insani dan derajat kemuliaannya. Orang yang dalam kehidupan duniawi ini mendahulukan ridha Allah di atas upaya memperkaya diri dan memilih jalan membantu meringankan beban derita kaum fakir miskin, maka Allah memberinya pahala yang berlimpah.

Dari sisi lain, al-Quran al-Karim meski menyebut dunia dan kekayaannya sebagai anugerah Allah kepada manusia, tapi juga mengecam praktik menumpuk kekayaan dan keengganan berinfak. Tentunya tak dipungkiri bahwa sebagian orang melarat karena kemalasan atau ketidakpandaiannya dalam mencari nafkah atau mungkin karena masalah lain. Tapi ada faktor lain yang dominan dalam menciptakan kefakiran yaitu tertumpuknya kekayaan di tangan sekelompok orang tertentu. Di surat Taubah ayat 34 Allah Swt berfirman, “…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”

Bantuan untuk kaum fakir yang paling bernilai adalah bantuan yang diberikan lebih dari apa yang diperlukan. Pemberian bantuan itu hendaknya dilakukan dengan menjaga kehormatan dan harga diri orang yang menerimanya. Dalam kaitan ini Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Memenuhi hajat seorang mukmin lebih disukai Allah dari haji dua puluh kali yang dilakukan dengan biaya setiap hajinya 100 ribu dinar.”

Seorang ulama ditanya apa yang akan dia lakukan jika tahu bahwa beberapa jam lagi dia akan meninggal dunia? Dia menjawab, “Aku akan duduk di atas teras rumah untuk memenuhi hajat siapa saja yang memerlukan. Mungkin akan ada orang yang datang untuk memintaku membantu memenuhi kebutuhannya meski nilainya kecil.”

Mengenai kebajikan dan kedermawanan Imam Sajjad as berkata, “Hak peminta-minta adalah memberinya sedekah jika engkau bisa memenuhi hajatnya, dan doakan supaya kesulitannya bisa terselesaikan. Bantulah dia. Jika engkau meragukan kebenaran pengakuannya, maka ketahuilah bahwa keraguan itu adalah jaring syaitan yang memang menginginkanmu jauh dari Allah. Perlakukan dia dengan rasa hormat dan kata-kata yang lembut. Jika hal itu engkau lakukan sambil memberinya sesuatu maka engkau telah melakukan hal yang benar.”

Di sini Imam Sajjad as menekankan bahwa orang yang bersedekah harus memperkuat niatnya dengan kasih sayang, kesopanan dan kedermawanan. Imam mendorong kita untuk berderma dan membantu orang lain. Adanya orang-orang yang meminta-minta padahal mereka sebenarnya tidak berhak untuk mendapat uluran tangan, juga disinggung oleh Imam Sajjad. Beliau tidak menafikan adanya orang seperti itu namun tetap menekankan bahwa yang penting adalah keinginan orang untuk berderma dan membantu orang yang memerlukan dalam kondisi apapun.

Memelas dan meminta bantuan dari sana sini akan membuat orang dipandang sebelah mata. Tindakan itu akan menurunkan harga dirinya di depan masyarakat. Untuk mencegah terjadi hal seperti itu yang tentunya juga menimbulkan dampak buruk pada kejiwaan dan mental orang, Islam mengajarkan kepada kita untuk saling mengenal kondisi sesama dan bergegas dalam membantu siapa saja yang memerlukan bantuan. Dalam sebuah riwayat hadis dari Imam Ali Ridha as disebutkan bahwa beliau berkata, “Kebajikan kepada orang lain tak akan sempurna kecuali dengan tiga hal. Pertama, orang yang berderma hendaknya bersegera dalam berderma. Kedua, hendaknya dia memandang bantuan yang diberikannya kepada orang lain sebagai hal yang remeh dan kecil. Ketiga, merahasiakan amal itu dari orang lain. Bersegera dalam memenuhi permintaan orang yang memerlukan bantuan  akan menambah manisnya amal. Menatap remeh amal baik akan menjadikannya besar (di sisi Allah). Dan merahasiakan amal baik dari orang lain akan menyempurnakan kebaikannya.”

Imam Sajjad as menjelaskan pula tentang hak orang-orang yang berderma. Beliau mengatakan, “Hak penderma adalah menerima pemberiannya jika dia memberi sesuatu dengan berterima kasih kepadanya. Jika dia menolak memberi bantuan terimalah alasannya dan bersangka baiklah kepadanya. Ketahuilah bahwa ketika dia tidak memberikan apa-apa tidak ada kecaman apapun yang bisa diarahkan kepadanya. Sebab dia tidak memberikan apa yang menjadi miliknya sendiri. Walaupun dia telah berbuat zalim seperti layaknya orang lalim dan orang yang tak tahu budi.”

Berterima kasih dan menghargai orang lain adalah sifat utama manusia. Orang yang dirinya terhiasi dengan akhlak mulia akan berterima kasih kepada siapa saja yang memberikan kebaikan kepadanya. Sikap tak tahu budi memiliki dampak buruk. Memang perderma sejati tak akan pernah mengharap terima kasih dari orang lain. Sebab, saat mengulurkan bantuan dia hanya mengharap keridhaan Allah dan teratasinya kesulitan masyarakat. Namun demikian, dia berhak untuk mendapat penghargaan dan ucapan terima kasih.

Hak Orang yang Menyenangkan Orang Lain

Salah satu bagian dari masyarakat adalah orang yang membuat senang orang lain. Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan hak orang yang telah menyenangkan hati orang lain. Beliau berkata, “Hak orang yang dengannya Allah telah membuatmu gembira adalah engkau mesti berterima kasih kepadanya setelah mengucapkan syukur kepada Allah, jika dia melakukannya memang karena ingin membuatmu gembira… Berilah ia balasan dan upayakan untuk membalasnya dengan kebaikan… Cintailah orang yang membuatmu gembira dan doakan kebaikan untuknya sebab dia telah menjadi penyebab datangnya nikmat dan berkah dari Allah.”

Menggembirakan orang lain dipandang oleh Imam Sajjad as sebagai hal yang harus mendapat perhatian. Ini menunjukkan bahwa Islam memandang penting masalah kegembiraan dan keceriaan. Dalam mengarungi kehidupan, bahtera kehidupan manusia terkadang menghadapi gelombang ombak yang mengombang-ambingkan dan membawanya ke sana ke mari. Akibatnya, ia didera kesedihan dan kegundahan. Saat keadaan seperti itu, Islam menganjurkan kita untuk membantu menyelesaikan kesulitan yang dihadapi orang lain dan membuatnya bisa menyungging senyum gembira. Jiwa manusia memerlukan keceriaan. Tanpa keceriaan orang akan sulit menghadapi gelombang pasang surut dalam kehidupan. Imam Ali dalam sebuah riwayat berkata, “Kegembiraan akan membuka jiwa manusia dan membangkitkan kegairahannya.”

Agama mengajak manusia untuk menikmati pemandangan alam dan keindahan ciptaan Allah demi memperoleh kebugaran dan keceriaan. Salah satu yang dianjurkan agama adalah melakukan safari atau berpetualang untuk mencari kesenangan dan keceriaan.  Islam juga menganjurkan kita untuk menebar senyum dan berwajah ramah kala berhubungan dengan masyarakat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menggembirakan hati seorang mukmin berarti dia telah menggembirakan hatiku. Dan barang siapa membuatku gembira berarti ia telah memperoleh janji hidayah dan kebahagiaan dari Allah.”

Nabi Saw dalam pergaulannya sehari-hari adalah teladan bagi umat. Beliau selalu tampil dengan muka berseri kepada siapa saja, baik orang-orang dekatnya atau sahabat-sahabatnya. Beliau dikenal dengan akhlaknya yang sangat mulia dan wajah yang selalu menyungging senyum. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian sahabat mengatakan tidak ada orang yang tersenyum lebih indah dari Nabi Saw. Perlakuan Nabi Saw kepada sahabat-sahabatnya sedemikian memukau sehingga mereka yang menghadapi kesulitan dan kesedihan pun akan terhibur hati dan merasakan keceriaan.

Menggembirakan hati orang bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Terkadang orang larut dalam pikiran karena dililit utang, atau karena masalah tempat tinggal atau juga karena menderita penyakit. Membantu meringankan derita mereka bisa dilakukan dengan membuat riang hati mereka. Terkadang orang tidak menunjukkan derita di wajah, tapi batinnya penuh gejolak dan guncangan. Dengan kata-kata yang indah, menceritakan kisah-kisah menarik atau dengan perbuatan yang baik, kita bisa membantu meringankan beban derita mereka. Imam Ali berkata, “Hati dan jiwa manusia sama dengan badannya yang juga bisa terkena kejenuhan dan penyakit. Hilangkan kegundahan dan penyakit ini dengan hikmah-hikmah yang baru.”

Ketika menjelaskan hak orang yang membuat gembira orang lain, Imam Sajjad as memaparkan masalah yang lebih luas dari sekedar menggembirakan orang. Beliau menganjurkan kita untuk selalu menjaga akhlak, kesopanan dan wajah berseri dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian orang akan merasa senang dan riang hati saat melihat kita. Beliau lantas mengatakan, berterimakasihlah kepada orang yang telah membuatmu senang, walaupun dia melakukannya tidak dengan sengaja, dan pujilah Allah karena telah menjadikannya wasilah kegembiraanmu.

Secara umum, keriangan dan keceriaan akan melahirkan gairah dan energi pada diri manusia. Selanjutnya, hal itu akan membuat badan dan jiwa siap untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, keceriaan jiwa adalah motor penggerak bagi, pemompa kekuatan dan faktor yang menggerakkan potensi dan bakat pada diri seseorang. Tentunya, ada sejumlah kesenangan dan hiburan yang dilarang oleh Islam karena membuat manusia jauh dari kemanusiaan dan dari Allah. Sebagian orang terbiasa melucu dengan cara mengejek atau meledek orang lain. Padahal menciptakan keceriaan dengan cara-cara seperti itu jauh dari kehormatan insani dan memicu permusuhan di tengah masyarakat. Karena itu, Islam melarangnya.

Hak Pelaku Keburukan

Manusia adalah makhluk sosial yang memenuhi kebutuhan hidupnya lewat interaksi, hubungan dan kerjasama dengan sesama. Kehidupan sosial atau kehidupan bermasyarakat memainkan peran dalam membangun kepribadian manusia. Karena itu, kita mesti memerhatikan perilaku dan tindakan dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu syarat utama dalam kehidupan bermasyarakat adalah memiliki jiwa pemaaf dan melupakan kesalahan orang lain terhadap kita. Orang yang pemaaf akan memiliki jiwa yang tenang. Tentunya memaafkan hanya bisa dibenarkan jika tidak melanggar hak-hak orang lain atau membuat orang yang melakukan kesalahan semakin terdorong untuk berbuat salah.

Di sisi lain, di dunia ini tak ada orang yang sempurna dan tanpa cacat atau kesalahan. Karena itu, sebisa mungkin kita mesti bisa bersabar jika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Memaafkan dan mengampuni kesalahan adalah salah satu sifat Allah. Memaafkan adalah sifat ksatria dan orang-orang yang berjiwa besar. Orang yang menyandang sifat ini akan mudah memaafkan orang lain padahal dirinya mampu membalas kesalahan orang lain. Memaafkan akan membesarkan jiwa dan membebaskan diri manusia dari kekangan ego dan kesombongan. Memang, menutup mata dari gangguan orang sulit dilakukan. Tetapi kita diajarkan untuk bersabar sejauh kemampuan. Agama mengajarkan kepada kita untuk semampunya memadamkan amarah dan gejolak di hati. Dengan melatih diri, orang akan terbiasa sehingga ia akan terhiasi dengan sifat pemaaf.

Dalam sebuah hadis, Imam Ali as berkata, “Memaafkan adalah wajah insani yang paling indah.” Membalas keburukan dan kesalahan orang dengan maaf dan ampunan, akan mendatangkan kesan yang sangat konstruktif pada diri manusia. Bahkan memaafkan akan membuat orang yang telah melakukan kesalahan dan keburukan akan merenungkan kesalahannya. Pada gilirannya hal itu akan membuatnya berpikir mengubah perilaku. Seorang ilmuan mengatakan, “Engkau memiliki kesempatan untuk memaafkan orang yang telah mengganggumu dan menikmati pemberian maaf itu. Ketika memilih untuk membalas kesalahannya berarti engkau telah menempatkan diri di tempat orang itu. Namun jika memaafkannya berarti engkau telah meraih posisi yang lebih baik darinya. Dia telah berbuat jahat sementara engkau memaafkan. Sebenarnya, memaafkan adalah pembalasan yang paling baik. Dengan memaafkan kita bisa mengalahkan lawan tanpa bentrokan dan memaksanya untuk tunduk di hadapan kita.”

Memaafkan punya peran yang besar dalam menjaga kedamaian kehidupan bermasyarakat. Untuk itu Imam Sajjad dalam Risalatul Huquq menyinggung pula hak orang yang berbuat jahat kepada orang lain. Beliau mengatakan, “Hak orang yang karena takdir telah berbuat buruk terhadapmu dengan lisan atau perbuatan adalah, jika dia melakukannya karena sengaja hendaknya engkau memaafkannya supaya akar kebencian di antara kalian tercabut. Perlakukanlah masyarakat dengan akhlak yang seperti itu… Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Nahl:126)

Imam Sajjad as dikenal sebagai figur manusia pemaaf. Beliau menyatakan bahwa kejahatan adalah tindakan yang dilakukan manusia karena kebodohannya. Dikisahkan bahwa suatu hari, sekelompok sahabat Imam Sajjad duduk bersama beliau. Tiba-tiba seseorang datang. Dengan tanpa mengindahkan akhlak, dia memaki dan menghujat Imam dengan kata-kata hinaan. Imam Sajjad as hanya berdiam diri dan mendengarkan kata-kata orang itu sampai selesai. Sementara, para sahabat Imam terbakar emosi karena kekurangajaran orang yang tiba-tiba datang dan masuk ke perkumpulan mereka itu. Imam meminta mereka untuk menahan diri. Orangpun lantas bergegas meninggalkan Imam dan para sahabatnya.

Beberapa saat setelah itu, Imam Sajjad bersama beberapa sahabatnya mendatangi rumah orang itu dan memanggilnya keluar. Orang tersebut keluar dengan congkak. Kepadanya Imam berkata, “Saudaraku, semua tuduhan yang kau nisbatkan kepadaku jika benar, maka aku memohon kepada Allah untuk memaafkanku. Tapi jika tuduhan itu tidak benar maka kepada Allah aku memohon untuk meliputimu dengan rahmatNya yang luas.” Kata-kata lembut dari Imam Sajjad itu menimbulkan kesan yang sangat besar pada diri lelaki itu. Dia menyesali apa yang telah dilakukannya terhadap Imam. Dengan nada penuh hormat dan penyesalan dia berkata, “Wujudmu yang suci dan mulia sungguh jauh dari tuduhan-tuduhan itu. Akulah yang lebih pantas dengan sifat-sifat yang aku tuduhkan lewat lisanku itu.”

Memaafkan akan lebih bernilai ketika seseorang mampu dan berkesempatan untuk membalas tapi dia memilih untuk memaafkan. Peristiwa penaklukan kota Mekah adalah pentas pemaafan dalam skala besar yang dilakukan oleh Nabi Saw. Saat itu beliau memasuki kota Mekah dengan pasukan besar yang tak mungkin bisa dilawan oleh kaum kafir Quraisy. Lawan-lawan Nabi Saw membayangkan tak lama lagi mereka bakal dibalas karena kejahatan yang mereka lakukan terhadap Nabi. Akan tetapi semua terkejut ketika Nabi Saw mengumumkan bahwa beliau telah memaafkan mereka semua. Kisah itu terabadikan dalam sejarah yang menunjukkan kebesaran jiwa insan suci utusan Allah itu.

Hak Orang Seagama

Manusia yang sehat memiliki semangat sosial yang tinggi. Dia tidak lari dari kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupannya ia memanfaatkan pengalaman orang lain dan siap berbagi kesenangan dan pengalaman dengan orang lain. Namun yang perlu dicatat bahwa kehidupan sosial ini terkadang hanya memiliki bentuk luar tanpa kedalaman sama sekali.

Di zaman ini, banyak orang yang secara lahiriyah hidup di sebuah lingkungan sosial. Padahal, mereka tidak saling mengenal kondisi masing-masing. Atau karena merasa lebih unggul dibanding orang lain mereka membatasi hubungan dengan sesama anggota masyarakat. Hal itu dipandang oleh para pakar ilmu sosial sebagai bencana bagi kehidupan sosial manusia di zaman ini yang tentunya punya dampak buruk. Diantara dampak buruk dari kondisi itu adalah menguatkan egoisme dan kecenderungan untuk mengejar kepentingan pribadi.

Islam adalah agama yang menganjurkan kita untuk hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial yang dianjurkan Islam, adalah kehidupan yang dinamis, bergairah dan penuh keakraban, dengan anggota masyarakat yang saling mengasihi, membantu dan peduli.  Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda, “Setelah keberagamaan, sebaik-baik tindakan logis adalah mengasihi masyarakat dan melakukan amal baik terhadap semua orang, baik mereka yang tergolong kelompok orang baik atau orang jahat.”

Untuk mengokohkan hubungan kasih sayang di antara masyarakat sehingga melahirkan kepeduliaan dan rasa tanggung jawab di antara mereka, Islam telah menggariskan hubungan yang mendalam di tengah umat. Salah satu syiar penting dalam Islam adalah syair yang diusung oleh ayat, innamal mu’minuna ikhwah yang berarti sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.

Ayat di surat al-Hujurat ini mengandung makna dan pengertian yang jelas tentang tali hubungan persaudaraan di antara kaum Mukmin. Berdasarkan ayat ini, umat Islam dari ras, bangsa dan suku apapun memiliki hubungan bersaudaraan dengan sesama muslim. Hubungan persaudaraan dan kesetaraan ini terjelma dalam bentuknya yang nyata ketika mereka melakukan ibadah haji. Saat itu, semua hujjaj dari berbagai belahan dunia bersama-sama berada di pusat tauhid untuk melaksanakan ibadah haji.

Islam memandang seluruh umat Islam layaknya sebuah keluarga. Kondisi baik dan buruk salah satu anggotanya berhubungan erat dengan seluruh anggota yang lain. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman, “Seluruh manusia adalah keluargaKu. Yang paling terkasihi di sisiKu di antara mereka adalah orang yang paling pengasih kepada yang lain.”

Agama Islam menolak sikap acuh terhadap masyarakat dan nasib orang lain serta memandangnya sebagai hal yang kontra normatif. Karena itu, Islam mengimbau kita untuk peduli akan nasib sesama dan berusaha terlibat menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang tidak memikirkan urusan kaum muslimin berarti dia bukan tergolong muslim.”

Memerhatikan kondisi saudara seagama tentu meniscayakan sejumlah tanggung jawab dan kewajiban, termasuk tata krama yang mesti diperhatikan. Dalam kaitan ini, Imam Sajjad as menjelaskan sejumlah hal. Beliau berkata, “Hak saudara seagamamu adalah engkau harus mengharapkan keselamatan baginya di hatimu; memberikan kasih sayangmu kepadanya; terhadap orang yang buruk di antara mereka hendaknya engkau bersabar, memperlakukannya dengan baik dan berusaha memperbaiki perilakunya; sementara terhadap orang-orang yang baik diantara mereka hendaknya engkau menghargainya.. Jangan pernah menyakiti mereka. Sukailah untuk mereka apa yang engkau sukai untuk dirimu sendiri; dan bencilah untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu; doakan mereka; bantu mereka dan hormati mereka sesuai dengan kedudukan masing-masing…”

Islam menghendaki adanya hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat Islam. Karena itu, agama ini menyerukan hubungan yang hangat dan sikap saling peduli antara sesama muslim. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh rasa aman bukan hanya dalam kondisi fisikal, tapi juga rasa aman dalam pemikiran dan tutur kata. Salah satu hal yang membuat manusia istimewa dibanding binatang adalah semangat kerjasama di antara mereka yang akan terwujud jika kepercayaan diantara anggota masyarakat menguat. 

Al-Quran al-Karim dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan akhlak di tengah masyarakat. Dengan melaksanakannya, akan tercipta masyarakat yang baik dengan masing-masing anggotanya yang saling menghormati hak sesama. Ayat-ayat di surat itu melarang umat Islam dari perbuatan-perbuatan tercela seperti mencela, menuduh, mencari kesalahan, berburuk sangka, mengumpat dan memaki. Tak hanya melarang dari perbuatan-perbuatan itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk menghias diri dengan sifat-sifat mulia yang bisa mempererat tali hubungan dan kasih sayang di antara sesama anggota masyarakat.

Hak Menasehati

Anda tentunya pernah dinasehati oleh orang lain atau dikritik oleh teman, sahabat dan kenalan. Mungkin Anda juga termasuk orang yang menasehati orang lain. Tahukah Anda, menasehati dan dinasehati punya hak-haknya tersendiri? Dalam hal ini Imam Sajjad berkata, “Hak orang yang meminta nasehat darimu adalah berilah dia nasehat sesuai dengan kapasitasnya. Mulailah pembicaraan dengan sesuatu yang dia suka dan berbicaralah sebatas pemahaman dan akalnya. Sebab setiap akal punya batas ketentuan tersendiri dalam pembicaraan yang bisa dipahami dan diterimanya. Engkau harus melandasi masalah ini dengan kasih sayang dan kelembutan.”

Salah satu cara untuk memperbaiki cela dan kesalahan adalah memperhatikan kritik dan nasehat orang lain. Meskipun manusia dibekali akal dan pemikiran, namun unsure-unsur seperti egoisme yang terkadang melampaui batas kewajaran membawanya keluar dari keseimbangan sikap dan pemahaman akan fenomena yang nyata.

Dari sisi lain, manusia mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya tempat ia tumbuh besar dan membentuk kepribadian. Unsur-unsur ini membuatnya terkadang lalai akan kebaikan dan kemestiannya berbuat baik. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang dekat, sahabat dan keluarga yang bergaul dengannya akan mengingatkannya akan kesalahan dan keburukan yang ada pada dirinya untuk diperbaiki. Karena itu pepatah mengatakan, orang yang bijak dan mulia di tengah masyarakat ibarat cermin yang memantulkan keindahan dan menampakkan keburukan.

Orang yang menginginkan kesucian dan kemuliaan mesti menerima nasehat orang lain yang disampaikan dengan tulus untuk kemudian melangkah memperbaiki kesalahannya. Nabi Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Seorang mukmin ibarat cermin bagi saudaranya. Dia akan menjauhkan ketidakbaikan dan keburukan darinya.”

Namun ada satu poin penting terkait nasehat, yaitu cara penyampaiannya. Ketidakpedulian akan masalah ini justeru akan membuat orang yang dinasehati semakin membangkang dan terus menerus melakukan kesalahan. Penyampaian nasehat dengan cara yang benar akan membawa orang dan masyarakat ke arah kesempurnaan, memperbaiki pemikiran dan menyingkirkan keragu-raguan.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu hari seorang laki-laki tua sedang berwudhu. Imam Hasan dan Imam Husein as yang saat itu masih kanak-kanak menyadari kesalahan yang dilakukan orang tua itu dalam wudhunya. Mereka lantas mendekati orang itu dan memintanya untuk menilai mana diantara keduanya yang benar dalam berwudhu. Dengan cara ini, kedua cucu Nabi Saw itu ingin mengajarkan secara tidak langsung cara berwudhu yang benar. Orang tua itu menyadari kesalahannya dan berkata, “Wudhu kalian berdua benar. Sayalah yang salah dalam berwudhu.”

Poin penting yang disinggung Imam Sajjad dalam ungkapan tadi adalah metode menyampaikan nasehat. Menurut beliau, dalam menasehati kita harus melihat kesiapan orang dalam menerima nasehat juga tingkat akal dan pemahamannya. Metode inilah yang diajarkan oleh agama-agama samawi saat berbicara kepada manusia. Dengan kata lain, ini adalah strategi para nabi dalam menyampaikan risalah kenabian mereka.

Al-Quran al-Karim menyebut para nabi dan rasul sebagai para pemberi nasehat di tengah masyarakat yang dengan tulus membimbing umat ke jalan kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Dalam surat al-A’raf ayat 62 diceritakan bahwa Nabi Nuh berkata, “Aku menyampaikan risalah Tuhanku kepada kalian dan aku adalah orang yang menasehati kalian. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.”

Rasulullah saw, sebagai utusan Allah yang terakhir menekankan akan adanya perbedaan kapasitas pemikiran manusia. Beliau bersabda, “Kami para nabi diperintah untuk berbicara dengan masyarakat sebatas kemampuan akal mereka.” Kata-kata yang ringkas tapi sangat bijaksana ini harus menjadi panduan kita dalam berbicara dengan setiap orang.

Poin penting lain yang disinggung Imam Sajjad as adalah tentang kasih sayang dan kelemahlembutan. Beliau mengatakan bahwa dalam menasehati orang harus berbicara dengan lembut sehingga berkenan di hati pendengarnya yang pada gilirannya akan membuatnya terpacu untuk memperbaiki kesalahan dan menguruskan perilakunya. Akhlak yang baik dan kesopanan akan mendatangkan hasil yang positif, termasuk ketika menasehati orang lain. Akhlak yang baik akan membuat kehidupan menjadi indah dan mendekatkan hati. Rasulullah saw adalah contoh teladan paling sempurna untuk kesopanan dan kemuliaan akhlak. Salah satu daya tarik beliau dalam berdakwah dan menyampaikan risalah agama Islam adalah akhlak beliau yang indah yang merasuk ke dalam jiwa orang yang berhadapan dengannya.

Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 1)

Bermacam-macamnya akidah dan kepercayaan yang ada di dunia ditambah dengan keberagaman etnis, suku bangsa dan bahasa menciptakan istilah mayoritas dan minoritas dalam sebuah masyarakat. Istilah minoritas yang saat ini dikenal menunjuk kepada sekelompok manusia yang berbeda dengan kebanyakan anggota masyarakat dan tidak terlibat dalam sistem politik dan sosial. Perbedaan kelompok ini dari kebanyakan orang bisa disebabkan oleh unsur kesukuan atau keyakinan dan agama.

Ketika menilik pandangan Islam terkait hubungan antar manusia, kita akan berkesimpulan bahwa Islam menolak pengelompokan masyarakat berdasarkan kesukuan dan ras. Dalam ideologi Islam, kebangsaan diatur berdasarkan dua kriteria; keimanan dan perjanjian. Karena itu di sebuah negara Islam para pemeluk agama ilahi yang lain bisa menjadi bagian dari masyarakat dengan ketentuan dan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam perjanjian dengan masyarakat Muslim. Dengan demikian mereka berhak masuk menjadi bagian dari bangsa dan masyarakat itu meski dalam bentuk kelompok minoritas.

Salah satu keistimewaan yang ada pada Islam adalah bahwa agama ini tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti Islam. Dulu, ketika menyampaikan misi risalah kenabiannya, Rasulullah Saw juga membiarkan masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan mereka. Al-Quran menyinggung hal itu dalam banyak kesempatan diantara dalam surat al-Kafirun. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum kafir, “Aku tidak menyembah apa  yang kalian sembah dan kalianpun tidak menyembah apa yang aku sembah.” Di akhir surat itu ditegaskan, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Kaum muslimin sebagaimana diserukan oleh al-Quran mengimani risalah para nabi sebelumnya Rasulullah Saw dan kitab-kitab Ilahi yang turun untuk umat-umat sebelumnya. Umat Islam memandang cara nabi terdahulu sebagai insan-insan saleh dan hamba-hamba pilihan Allah. Karena itu, Islam menghormati pemeluk agama-agama Ilahi yang terdahulu dan menyeru kaum muslimin untuk menjaga etika insani dalam pergaulan dengan mereka. Islam menyebut kelompok agama lain dengan sebutan dzimmi, Ahlul Kitab atau mu’ahad yang berarti kelompok yang menjalin perjanjian dengan pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam harus melindungi hak-hak insani mereka. Imam Ali as dalam mandatnya kepada Malik Asytar menegaskan, “Masyarakat terbagi dua, saudaramu seagama atau padananmu dalam penciptaan. Sebagaimana engkau suka jika Allah memaafkanmu dan menutup mata dari kesalahanmu, maka perlakukan mereka dengan kasih sayang dan lemah lembut.”

Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as yang saat itu menjabat sebagai khalifah umat Islam melihat seorang lelaki tua yang buta. Imam bertanya tentang orang itu. Para sahabat beliau menjawab, “Dia adalah lelaki Nasrani yang dulu ketika masih muda dan punya penglihatan yang baik menghabiskan waktunya untuk mengabdi kepada pemerintahan. Imam Ali as berkata, “Saat muda kalian memanfaatkannya dan kini saat renta dan tak berdaya kalian tidak memberinya apa yang menjadi haknya.” Beliau lantas memerintahkan bendahara Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan lelaki tua itu dari khazanah kekayaan kaum muslimin.

Islam sangat memerhatikan kondisi seluruh anggota masyarakat. Imam Sajjad dalam kitab Risalatul Huquq menjelaskan hak-hak Ahlu Dzimmah. Mereka adalah kelompok non Muslim yang hidup di tengah masyarakat Islam dengan tetap memegang teguh agama dan kepercayaannya. Dalam aturan Islam, mereka terikat perjanjian untuk membayar upeti sebagai jaminan perlindungan atas hak-hak mereka.

Mengenai kelompok Ahlu Dzimmah atau kafir dzimmi, Imam Sajjad as berkata, “Hak Ahlu Dzimmah adalah bahwa engkau harus menerima dari mereka apa yang Allah terima dari mereka dan engkau harus setia dengan perjanjian yang telah Allah tentukan bagi mereka. Perlakukan mereka sesuai hukum Allah dan jauhilah kezaliman terhadap mereka sebab mereka berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Siapa saja yang menzalimi kaum dzimmi berarti dia musuhku. Karena itu, takutlah kepada Allah dalam hal ini.”

Poin penting yang disinggung oleh Imam Sajjad adalah masalah kesetiaan terhadap perjanjian yang telah diikat pemerintahan Islam dengan kaum Dzimmi.

Hak Penglihatan (Bagian 1)

Islam sebagai agama komprehensif yang memperhatikan berbagai dimensi sosial kehidupan manusia, menaruh perhatian khusus terhadap faktor-faktor munculnya kesehatan mental manusia. Allah Swt selain mengingatkan kemuliaan manusia, juga mencegah mereka dari hal-hal yang menyebabkan runtuhnya pilar-pilar moral di tengah masyarakat. Para pemimpin agama telah menunjukkan jalan keberuntungan kepada masyarakat sehingga mereka dapat meniti jalan kesempurnaan dalam atmosfir yang sehat.

Terkait masalah ini, Imam Sajjad as mengajak manusia untuk mensucikan diri. Beliau menjelaskan hak-hak anggota badan yang harus ditunaikan oleh manusia dalam buku “Risalatul Huquq.” Salah satu nikmat Allah Swt yang harus ditunaikan hak-haknya oleh manusia adalah mata atau organ penglihatan. Dalam pandangan Imam Sajjad as, alat penglihatan memainkan peran yang sangat sensitif bagi kebahagiaan atau kesengsaraan manusia.

Karena itu, salah satu tugas-tugas mendasar manusia dalam menjalin interaksi dan relasi dengan orang lain adalah menjaga tingkah lakunya bahkan dalam masalah memandang. Imam Sajjad as berkata, “Hak penglihatan atas engkau adalah berpaling dari hal-hal yang dilarang Allah Swt untuk melihatnya. Janganlah memandang ke segala arah tanpa alasan, kecuali mendatangkan pelajaran dan ibrah atau menyebabkan engkau sadar atau penglihatan itu akan menambah pengetahuanmu. Sebab, mata adalah gerbang nasehat dan pelajaran.”

Memandang merupakan cara termudah untuk menjalin komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Kashefi, penulis kontemporer Iran mengungkapkan, “Anak panah yang paling tajam bagi setan dalam wujud manusia adalah mata, sebab indera-indera yang lain menempati tempatnya masing-masing dan tidak akan menuntutnya selama belum dekat dengannya, tapi mata mampu menjangkau hal-hal yang buruk dari dekat maupun jauh.”

Para psikolog meyakini bahwa kebahagiaan manusia akan terwujud ketika mereka tidak bersikap ekstrim atau teledor dalam memenuhi berbagai keinginannya dan tidak tunduk di hadapan naluri alamiahnya. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus dipertimbangkan dengan akal dan logika sehingga berbagai hawa nafsu dapat dipenuhi lewat jalan yang benar dan logis dan nilai-nilai moral juga dapat berkembang. Kemampuan akal dan logika ibarat bendungan yang kokoh dalam menghadapi berbagai tuntutan hawa nafsu dan akan menghadang amukan badai nafsu yang mencari kenikmatan sesaat. Untuk itu, setiap individu harus mengidentifikasi jalan yang lurus dan yang menyimpang.

Masalah tersebut juga berlaku bagi penglihatan. Ketika manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya, maka penglihatan akan keluar dari batas kewajaran dan membuka peluang bagi penyimpangan. Namun perlu diketahui bahwa ada beragam bentuk dan jenis memandang, terkadang manusia mendapatkan kenikmatan dan keceriaan saat memandang wajah seseorang atau sebuah pemandangan indah.

Memandang keindahan alam dan keagungan penciptaan akan memberi kesegaran kepada seseorang jika pandangan itu bertujuan untuk mengambil pelajaran. Pandangan seperti ini juga akan membuka pintu hikmah dan makrifat bagi manusia. Manusia akan memahami keagungan dan kekuasaan mutlak Sang Pencipta dengan memandang fenomena-fenomena mengagumkan ini. Karena itu dalam ajaran agama disebutkan bahwa memandang dan memikirkan keagungan penciptaan serta merenungkan keindahan semesta tergolong ibadah.

Di sisi lain, sebagian bentuk penglihatan laksana peluru beracun yang merusak dan mengancam kesehatan jiwa manusia, seperti menatap lawan jenis selain istri atau suami dengan niat mencari kenikmatan. Secara alamiah dan dalam kehidupan sehari-hari, manusia memandang beragam fenomena di sekelilingnya, namun terkadang ia menyaksikan pemandangan dosa di jalan-jalan, taman, atau juga siaran televisi satelit dan bersikeras menonton pemandangan yang mengundang dosa itu.

Bentuk penglihatan seperti ini bersifat merusak dan mendorong seseorang untuk berbuat dosa khususnya bagi kalangan muda dan sumber berbagai penyimpangan dan kejahatan individual dan sosial. Oleh sebab itu, seluruh agama ilahi menaruh perhatian terhadap prinsip mengontrol penglihatan. Imam Jakfar Shadiq as melarang manusia memandang hal-hal yang tidak layak dan berkata, “Pandangan pertama menguntungkanmu, sementara pandangan kedua merugikanmu bukan menguntungkanmu, dan pandangan ketiga berujung kehancuran.”

Di tengah masyarakat yang sarat dengan berbagai fenomena tidak sehat, kekacauan dan kerusakan akan menggantikan keamanan dan ketenangan. Di tengah masyarakat seperti ini, wanita ibarat barang pajangan yang selalu dilirik oleh pemangsa. Menurut pandangan Imam Sajjad as, melihat sesuatu yang tidak memiliki sisi positif bagi manusia dan menyebabkan mereka lalai dan jauh dari Tuhan, atau memperhatikan pekerjaan orang lain dengan tujuan mencari kekurangannya adalah bentuk penglihatan yang menyesatkan dan merugikan.

Hak Penglihatan (Bagian 2)

Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang mulia dan diciptakan untuk mencapai kesempurnaan. Manusia harus terus berupaya mensucikan jiwa dan membersihkan diri untuk mencapai tujuan penciptaan. Menurut para pakar psikologi, panca indera khususnya indera penglihatan berperan dominan dalam memberi asupan pemikiran dan memancing afeksi.    

Mata merupakan sebuah sarana yang menyiapkan bahan-bahan dasar untuk berpikir dan pikiran akan membentuk kepribadian nyata seseorang. Seorang penyair Iran, Maulawi merangkum manusia dalam akal dan pikirannya. Bentuk perbuatan manusia juga sangat tergantung pada pola pikir dan keyakinannya, yaitu tindakan dan perbuatan manusia berhubungan dengan pikiran dan pola pandanganya.

Indera manusia dipengaruhi oleh lingkungan, rumah, sekolah, masalah-masalah yang ia dengar dan juga fenomena yang ia saksikan. Pengaruh ini menciptakan peluang lahirnya sebagian tindakan dan perbuatan. Karena itu sebagian besar strategi dan keputusan diambil setelah malalui proses pengamatan. Bentuk-bentuk reaksi ini sangat bergantung pada sesuatu yang disaksikan oleh mata.

Jika manusia punya hubungan dengan lingkungan yang rusak dan senantiasa mempertontonkan adegan-adegan yang mengundang nafsu, maka pikirannya juga akan ternodai dan menyimpang. Individu seperti ini akan merasa asing dengan keutamaan dan nilai-nilai moral. Sebaliknya, orang yang menyaksikan sesuatu dengan tujuan mengambil pelajaran dan mengadopsi nilai-nilai baik dan keutamaan, maka ia akan memiliki pikiran yang bersih dan sehat.

Ketika kepribadian seseorang dibangun atas dasar pemikiran dan ideologi tertentu, maka tidak mudah untuk mengubahnya, sebab ia membangun relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar atas dasar naluri internalnya. Pada ujungnya, ia menjadi lebih komitmen dan tangguh dalam meniti jalan yang menjadi pilihannya.       

Sebelumnya, telah dibahas bersama bahwa memandang atau melihat memiliki dampak dan pengaruh yang berbeda-beda. Cara memandang dan mendengar akan menentukan kualitas nilai perbuatan seseorang, apakah perbuatannya dianggap sesuai dengan koridor agama atau keluar dari koridor itu, dan apakah perbuatannya mengandung nilai-nilai positif atau sebaliknya. Karena itu, agama melarang manusia untuk melihat dan menjalin hubungan dengan hal-hal yang berbahaya dan menghalangi gerakannya menuju kesempurnaan. Sebaliknya, agama mendorong manusia untuk menciptakan hubungan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuannya.

Agama melarang manusia melihat sebagian objek dan menyarankan mereka menyaksikan sebagian fenomena lain mengingat masalah melihat berpengaruh pada kepribadian seseorang. Dalam al-Quran surat an-Nuur ayat 30 dan 31, Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…” Masyarakat adalah tempat melakukan aktivitas dan para anggotanya harus terhindar dari pandangan-pandangan yang menyimpang dan merusak.

Hak Kaki

Sejak dulu hingga sekarang ada banyak buku dan makalah yang ditulis tentang akhlak dan hak-hak makhluk hidup, namun sangat sedikit ditemukan penulis atau buku yang mengupas secara sempurna masalah tersebut kecuali dari lisan Rasul Saw dan para khalifahnya. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as termasuk salah satu figur agung ini dan meyakini bahwa masyarakat akan lestari dan sejahtera selama menjaga hak-hak hakiki manusia dan memperhatikan kemuliaan-kemuliaan mereka.

Imam Sajjad as dalam bukunya “Risalatul Huquq” memaparkan berbagai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan manusia termasuk hak dan kewajiban anggota tubuh yang digunakan untuk berjalan, yaitu kaki. Beliau berkata, “Hak kaki atas dirimu adalah engkau tidak melangkahkan kaki ke tempat yang tidak layak bagimu. Jangan jadikan kaki tunggangan untuk bergerak ke arah yang membuatmu terhina. Kaki adalah organ tubuh yang memikul dirimu maka sudah seharusnya engkau menggunakannya untuk kepentingan agama dan untuk pekerjaan yang baik.”

Para ilmuan dan psikolog mengatakan, ketika sebuah perbuatan tercatat sebagai kebiasan maka ia akan mudah dilakukan. Berjalan adalah sebuah perbuatan yang mengandung nilai seni. Namun karena itu dilakukan oleh manusia sejak kanak-kanak sehingga terbiasa dengannya, maka berjalan tidak lagi dipandang sebagai hal yang penting. Meski mudah dan termasuk kebiasaan, berjalan kaki bisa menunjukkan kondisi kejiwaan seseorang bahkan kepribadiannya. Sebab, kejiwaan seseorang akan terjelma dalam perilaku. Bahkan terkadang satu perbuatan yang kecil menunjukkan tabiat khas seseorang.

Dalam pandangan Imam Zainal Abidin as orang yang menggunakan kaki untuk berjalan menuju ke tempat maksiat berarti ia telah mengabaikan dan menistakan hak kaki. Tak hanya itu perbuatan tersebut juga menodai kepribadiannya sendiri. Allah Swt menganugerahkan kaki sebagai sarana untuk berjalan menuju pekerjaan yang bisa mendatangkan faedah buat kehidupannya. Dengan kaki, orang bisa melangkah bersafari untuk menyaksikan nikmat-nikmat anugerah Allah yang terhampar di bumi yang luas ini. Dengan kaki, orang bisa mengais rezeki halal yang diridhai Allah. Dengan kaki pula orang bisa pergi untuk menimba ilmu pengetahuan, atau berjalan-jalan mencari hiburan yang bisa melepas penat dan mengembalikan kegairahan hidup.

Berjalan dilakukan oleh orang untuk berbagai macam tujuan tergantung niat masing-masing. Ada yang berjalan dengan membusung dada dengan langkah congkak untuk menunjukkan kesombongannya. Orang semacam ini tentu tidak akan mau melihat ada orang lain yang di atasnya. Ia cenderung meremahkan orang lain dan memandang mereka hina. Dalam surah al-Furqan Allah Swt menjelaskan sejumlah kriteria hamba-hamba Allah yang disebut dengan gelar ‘Ibadur Rahman’. Salah satu kriteria kelompok ini terkait cara berjalan mereka. Disebutkan bahwa ‘Ibadur Rahman’ berjalan dengan penuh ketenangan dan tanpa takabur.

Menurut perspektif Islam, kaki sama dengan organ dan anggota tubuh yang lain, yang bakal menjadi saksi kelak di Hari Kiamat. Karena itu, kaki harus digunakan untuk melangkah menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Anak muda yang berjalan menuntut ilmu dengan menanggung kesusahan menurut Imam Zainal Abidin as adalah orang yang telah menunaikan hak kaki dengan baik. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, “Barang siapa bergerak dua langkah untuk mencari ilmu dan duduk dua masa di sisi orang yang pandai dan mendengarkan darinya dua patah kata yang mengandung ilmu, maka Allah akan memberinya dua surga.”

Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa orang yang melangkah secara tulus untuk mengatasi kesulitan orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka, maka berarti dia telah menghargai nikmat kaki yang Allah berikan kepadanya. Kaki selain membawa kita dari satu tempat ke tempat yang lain juga menjadi sarana untuk berjuang memerangi kaum zalim dan agresor. Banyak orang yang hidup di sebuah lingkungan dengan kondisi spiritual dan etika yang bobrok sementara nilai-nilai keimanan juga tidak bisa dipertahankan. Allah Swt memerintahkan orang-orang seperti ini untuk berhijrah meninggalkan negerinya dan berpindah ke negeri lain sehingga mereka bisa menjaga agama.

Selain itu agama juga memerintahkan untuk bangkit berjuang. Ketika sekelompok agresor menyerang kedaulatan sebuah bangsa dan negeri maka bangsa terkait dan penduduk negeri itu harus bangkit melawan untuak menyingkirkan kezaliman. Jelas bahwa dalam masalah perjuangan diperlukan kaki-kaki para pejuang yang melangkah dengan mantap untuk memerangi kaum zalim. Karena itu dalam terminologi Islam para pejuang yang disebut mujahidin mendapat kedudukan yang agung di sisi Allah. Nabi Saw, para imam dan ulama Islam menyebut jihad sebagai salah satu pintu surga yang dibuka oleh Allah untuk hamba-hambaNya yang khusus.

Kata-kata Imam Ali Zainal Abidin as tentang hak kaki adalah penjelasan dari apa yang diajarkan oleh Islam secara utuh. Beliau mengingatkan kepada umat bahwa kaki adalah kenikmatan dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia. Jangan sampai nikmat Allah ini digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.

Hak Tangan

Setelah membahas bersama tentang hak kaki seperti yang dijelaskan oleh Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalatul Huquq’. Tiba saatnya untuk berpikir mengenai hak tangan atas diri manusia.

Tangan adalah organ tubuh yang sering terabaikan dalam perhitungan kita. Padahal dengan tangan, kita bisa menuntun orang tua, membelai anak yatim, atau membuat bibir kaum papa menyungging senyum. Dengan mengulurkan tangan, kita menyampaikan pesan persahabatan kepada orang lain. Dengan tangan pula kita memberikan hadiah dan cidera mata kepada sahabat dan mereka yang kita cintai atau menyampaikan sedekah dan pemberian kepada orang kaum fakir. Tangan merupakan salah satu alat terpenting untuk menciptakan karya indah dan merangkai kata-kata lewat tulisan. Rangkaian kata yang ditulis dengan tangan menjadi ungkapan terindah dan penuh cahaya yang menjadi media untuk menyebarkan ilmu. Sebagian besar traksaksi dilakukan dengan organ tubuh ini.

Imam Ali as, sosok insan termulia setelah Nabi Saw, menggunakan tangannya untuk menggarap ladang dan kebunnya. Hasil dari beliau peroleh dari kebun itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangannya dan menyantuni kaum miskin. Betapa banyak hamba sahaya yang telah dibeli dan dimerdekakan oleh Imam Ali as dari hasil kebun yang dirawat dengan tangan beliau. Saat terbuka kesempatan bermunajat dengan Allah, kita mengangkat tangan ke atas untuk berdoa dan memohon ampunan, rahmat dan kasih sayang-Nya.

Semua yang telah disebutkan tadi adalah satu sisi dari kegunaan tangan. Sebagian orang menggunakan tangan untuk melakukan kejahatan dan kezaliman. Untuk hal itu tangan juga punya peran kunci. Terkadang, orang menggunakan tangan di jalur yang salah karena terdorong oleh faktor pandangan dan pemikiran yang keliru. Mencuri, ghasab atau menggunakan hak orang lain tanpa izin, kesewenang-wenangan terhadap orang, melecehkan kesucian lewat tulisan, dan hal-hal semisal adalah kejahatan dan kesalahan yang dilakukan orang dengan tangannya.

Kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh tangan bisa berakibat sangat buruk yang dampaknya dapat mengganggu dan merusak kondisi sosial. Kondisi kemasyarakatan bisa dikendalikan dan dibimbing ke arah yang benar. Akan tetapi hal itu menuntut pengenalan akan patologi sosial dan penggunaan metode ilmiah dalam mengatasi masalah sosial. Namun yang menjadi panduan adalah, semakin sempurna nilai-nilai spiritual dan etika di sebuah masyarakat, maka penyimpangan di tengah  masyarakat itu akan semakin menurun.

Masing-masing orang harus mengenal hak dan kewajibannya di tengah masyarakat lalu menghormati dan menjalankannya. Salah satu hal alamiah bagi setiap orang adalah hak untuk hidup bebas. Para filsuf dan cendekiawan dunia meyakini bahwa hak hidup adalah salah satu hak yang paling mendasar bagi semua orang. Hak ini harus dihormati dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Menurut persepsi al-Quran, tidak ada seorang pun yang berhak merampas hak alamiah ini dari siapapun. Jiwa setiap manusia punya kehormatan tersendiri. Tidak ada seorangpun yang berhak mencabut kehidupan orang lain atau mencederainya.

Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalah al-Huquq’ menjelaskan hak tangan dan menyatakan, “Hak tanganmu atas dirimu adalah bahwa engkau tidak boleh menggunakan untuk perbuatan haram. Sebab hal itu dapat mendatangkan azab Ilahi di hari akhirat dan kecaman orang lain di dunia. Jangan cegah tanganmu dari melakukan apa yang telah Allah perintahkan kepadanya. Hormatilah tangan dengan menggunakannya di jalan yang benar dan sah. Artinya, hindarkanlah ia dari perbuatan haram dan gunakannya ia untuk meraih yang yang bermanfaat. Jika itu engku lakukan maka engkau akan dihormati orang di dunia dan diganjar dengan pahala Allah di akhirat.”

Kondisi kehidupan kita akan menemukan kesegaran baru jika pesan Imam Zainul Abidin tadi dilaksanakan dengan benar.  Sayangnya, manusia cenderung menyia-nyiakan kesempatan emas dan modal berharga yang dimilikinya. Akibatnya, banyak orang yang merugi dan kehilangan modal dan kekayaannya yang berharga. Imam Ali Zainul Abidin as mengingatkan bahwa manusia harus menghormati anggota tubuhnya dan tidak menggunakannya untuk perbuatan yang salah dan buruk. Kita, harus memanfaatkan potensi sehingga kita bisa menghargai diri sendiri.

Manusia akan merasakan indahnya kesucian kala ia bisa mendekatkan diri dengan prinsip kehidupan murni yang dipandu ajaran spiritual dan etika. Dengan itu, berarti ia telah menjejakkan kaki di jalan membangun kepribadian insani dan dalam menjalin hubungan dengan sesama. Menurut Imam Ali Sajjad as, manusia yang berjalan menggunakan logika akal dan kemuliaan serta menjalankan perintah Allah, ia pasti akan meraih kejayaan di dunia dan akhirat.

Hak Perut (Bagian 1)

Risalatul Huquq menerangkan tugas-tugas terpenting yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi tugas normatif. Menghormati dan melaksanakan aturan dan prinsip etika berperan besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat. Untuk itu Risalatul Huquq Imam Sajjad as sangat bermanfaat bagi kita kita semua.

Imam Sajjad as menerangkan bahwa perut punya serangkaian hak atas diri manusia. Beliau berkata, “Hak perut atas dirimu adalah jangan engkau jadikan ia sebagai wadah penampung makanan haram, banyak maupun sedikit. Bahkan untuk makanan yang halal pun jagalah keseimbangan. Makanlah untuk menguatkan tubuhmu. Jangan pernah berpikir untuk memenuhi perut hingga kerongkongan, jangan melalaikan orang lain dan jangan lupa akan kemurahan hati dan kebaikan.  Sebab, kekenyangan akan mengakibatkan kemalasan dan mencegahmu dari perbuatan baik dan amal saleh. Demikian juga dengan minum berlebihan yang akan mengakibatkan kebodohan dan menghilangkan akal.”

Di sini Imam Ali Sajjad as menyinggung keseimbangan dalam mengkonsumsi makanan dan mengingatkan kita untuk tidak banyak makan. Imbauan tersebut dikukuhkan oleh ilmu kedokteran saat ini. Menurut para dokter, faktor utama yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit adalah makan secara berlebihan. Apalagi di zaman ini tubuh manusia kurang beraktivitas dan mesin telah menggantikan posisi manusia dalam banyak hal. Kurang gerak akan menyebabkan penimbunan lemak yang berbahaya bagi kesehatan. Dengan menumpuknya lemak di badan, kerja jantung akan terganggu dan ginjal pun mengalami masalah. Para dokter mengatakan bahwa untuk menjaga kesehatan ada dua hal yang harus dilakukan, menahan diri dalam pola makan dan melakukan akvitas badan.

Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “Makanlah dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan…” (QS. al-A’raf: 31) Firman Allah ini nampak sangat sederhana. Namun hakikatnya, hari ini terbukti bahwa pesan Qurani itu adalah salah satu imbauan terpenting dalam ilmu kedokteran. Para ilmuan mengatakan, pola makan yang berlebihan adalah penyebab munculnya banyak penyakit.

Dikisahkan bahwa Khalifah Harun al-Rasyid punya dokter khusus yang beragama Kristen. Dia dikenal sebagai dokter yang sangat mahir. Suatu hari ia terlibat pembicaraan dengan seorang cendekiawan Muslim.

Sang tabib berkata, “Saya tidak menemukan satupun tema kedokteran di kitab suci kalian. Padahal engkau meyakini bahwa ilmu yang berguna adalah dua jenis ilmu, ilmu agama dan ilmu raga.”

Menjawab pernyataan itu, sang cendekiawan Muslim berkata, “Allah Swt telah menjelaskan aturan kesehatan untuk manusia dalam sepenggal ayatnya. Dia berfirman, “Makanlah dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan…” Rasulullah Saw juga menerangkan dalam hadisnya bahwa perut adalah sarang semua penyakit, dan menahan diri adalah obat penawar bagi semua.”

Mendengar jawaban itu sang tabib tercengang. Seraya menundukkan kepala ia berkata, “Sungguh al-Quran dan Nabi kalian tak ubahnya seperti Jalinus, Sang Tabib terkenal yang telah menjelaskan semua hal tentang kedokteran.”

Imam Ali bin Abi Thalib as saat menjelaskan hubungan antara penyakit dan pola makan berlebihan, berkata, “Kurangi makan, maka engkau telah mengurangi penyakit.” Menurut para ahli, pola makan berlebihan mengancam kesehatan dan bisa memendekkan usia seseorang dan mengurangi kebugarannya. Sebab, dengan pola makan berlebihan asid dalam tubuh meningkatkan kolesterol darah. Semakin banyak makan, kolesterol akan semakin meningkat. Akibatnya, jantung bermasalah dan kebugaran tubuh terganggu.

Selain itu, pola makan berlebihan bisa berdampak buruk pada daya pikir seseorang. Ketika lambung seseorang menerima makanan yang berlebihan, dinding lambung akan terkena rembesan yang berfungsi membantu menggiling makanan. Akibatnya darah akan mengalir ke dalam organ itu dalam jumlah yang berlebihan. Dalam kondisi seperti itu, sistem kontrol darah yang mengatur alirannya ke otak akan terganggu. Oksigen dan makanan yang tersalurkan ke otak akan berkurang. Akhirnya, daya pikir orang akan mengalami penurunan.

Diriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim pernah berkata kepada anaknya; “Kelebihan makan akan membuat otak tertidur, lisan kebijaksanaan akan tersendat, dan anggota badan akan lesu untuk beribadah.”

Dari penjelasan tadi dapat disimpulkan mengapa Imam Ali Zainal Abidin as mengingatkan agar kita tidak memenuhi perut dengan makanan berlebihan. Seperti tadi dikatakan, pola makan berlebihan akan membuat orang malas bekerja dan mencegah orang dari ibadah.

Hak Perut (Bagian 2)

Pekan lalu kita telah berbicara tentang perut, hak-haknya dan bahaya pola makan yang berlebihan. Terkadang orang berlebihan dalam menyantap makanan karena dirasa nikmat, sehingga ia lupa untuk tujuan apa ia datang ke dunia ini. Imam Sajjad as dalam penjelasannya menegaskan bahwa manusia seharusnya tidak berlebih-lebihan dalam urusan makanan. Karena, hal itu akan membuat orang malas, kesehatannya terganggu dan kegesitannya melemah. Imam Sajjad as menekankan untuk menjaga keseimbangan dalam semua hal.

Keseimbangan dalam segala hal, terutama dalam soal makanan adalah perkara yang terpuji. Sebab, hal itu akan menjamin kesehatan fisik, kegairahan jiwa dan membantu orang untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan lebih baik. Orang dengan pola makan yang sedikit dan tidak pasrah kepada tuntutan hawa nafsunya cenderung punya kepedulian kepada orang lain. Menjaga keseimbangan pola makan akan membuat perasaan orang menjadi peka dan kian menghidupkan daya pikir dan nalarnya.

Penyair Iran, Syeikh Musliuddin Sa’di Shirazi dalam buku Golestan, menulis, “Salah seorang raja mengutus seorang tabib yang mahir untuk mengabdi kepada Rasulullah Saw. Setahun lamanya ia hidup di negeri Arab dan selama itu jarang ada orang yang datang mengeluhkan penyakit kepadanya. Tabib tersebut akhirnya mendatangi Nabi dan mengeluhkan keadaannya. Dia berkata, “Aku diutus kemari untuk membantu mengobati masyarakat yang sakit. Tapi tidak ada orang yang datang kepadaku untuk berobat.” Nabi Saw bersabda, “Kabilah yang engkau hadapi adalah orang-orang yang tidak makan kecuali bila nafsu makan sudah menguasai mereka. Dan mereka berhenti makan ketika nafsu makan masih ada.” Mendengar jawaban itu, sang tabib berkata, “Memang itulah kunci menjaga kesehatan.””

Jelas yang dimaksud dengan makan sedikit bukan berarti kita menahan lapar hingga jatuh lemah. Namun kita tidak boleh makan secara berlebihan hingga terserang berbagai jenis penyakit. Para ulama juga senantiasa menyarankan kita untuk makan secukupnya sehingga kita mendapatkan kejernihan kalbu dan kesucian jiwa.

Poin lain yang ditekankan Imam Sajjad as adalah tidak memenuhi perut dengan makanan yang diperoleh dengan cara tidak benar dan jalan haram. Imam Sajjad as berkata, “Tidak pantas menggunakan perutmu sebagai wadah untuk barang haram baik sedikit atau banyak.” Anjuran ini akan terlihat lebih penting ketika kita mempelajari ayat-ayat al-Quran. Surat ‘Abasa ayat 24, Allah Swt berfirman, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.”

Makanan punya pengaruh kuat terhadap kepribadian dan jiwa manusia. Seseorang yang selalu mengkonsumsi makanan haram, maka akan berdampak negatif terhadap tingkah dan perilakunya. Menurut keyakinan sejumlah pakar, penyebab dan akar kebodohan dan menurunnya daya pikir terletak pada pola konsumsi seseorang.

Pada dasarnya, peringatan Imam Sajjad as untuk tidak mengkonsumsi makanan haram, secara tidak langsung juga menyinggung pada bentuk pekerjaan dan cara seseorang mencari nafkah. Perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dengan teori-teori ekonomi lain adalah adanya hubungan erat antara kegiatan ekonomi seorang muslim dengan masalah-masalah kemanusiaan dan moral. Sebenarnya bentuk pekerjaan menunjukkan kepribadian seseorang.

Pada masa sekarang, tujuan bekerja adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Namun seorang muslim tidak boleh merampas atau menistakan hak-hak orang lain demi kepentingannya. Ia harus menjauhi transaksi yang merugikan orang lain atau mengancam keselamatan masyarakat. Transaksi sesuatu yang berbahaya seperti narkotika, perdagangan manusia dan menjual sesuatu yang dapat memperkuat orang-orang zalim, termasuk jual-beli yang dilarang oleh Islam. Islam juga menetapkan hukuman di dunia dan akhirat terhadap para pelaku kriminal seperti mencuri dan menerima suap.

Orang-orang yang memutar roda kehidupannya dengan transaksi-transaksi haram, maka masyarakat tidak memperoleh sesuatu kecuali kerugian. Rasul Saw bersabda, “Ada empat hal yang jika kalian memilikinya, maka jangan bersedih karena tidak memiliki hal lain yaitu, kejujuran, amanah, akhlak mulia, dan kesucian dalam makanan.” Oleh karena itu, mereka yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ambisinya dan merampas harta orang lain, maka mereka senantiasa berada di jurang kehancuran dan kebinasaan. Menurut Imam Sajjad as, makanan yang sehat, suci dan halal dapat menyehatkan seseorang, menjernihkan akal dan mensucikan jiwa.

Hak Syahwat

Hasrat dan kecenderungan alamiah adalah anugerah berharga dari Allah yang berbaur dengan tabiat manusia dan membuatnya bergairah dalam mengarungi kehidupan. Namun kecenderungan ini tidak punya nalar yang bisa menuntunnya dalam membedakan antara baik dan buruk. Karena itu, kecenderungan alamiah dan hasrat biologis itu harus dipandu oleh akal dan agama supaya berjalan dengan benar.

Membebaskan dorongan alamiah dan syahwat ini tanpa kendali jelas bertentangan kemuliaan maknawiyah dan kenyamanan kehidupan sosial umat manusia. Cara-cara menyimpang dan keliru dalam memenuhi dorongan syahwat akan merusak tata kehidupan, menciptakan ketidakamanan dan kekacauan serta membawa masyarakat kepada kebobrokan dan amoralitas. Pertanyaan yang selalu mengemuka terkait pembahasan ini adalah, apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan syahwat dan tuntutan biologis?

Menurut para ahli, berbagai hal seperti pendidikan di masa kanak-kanak dan penanaman norma-norma suci pada diri seseorang punya pengaruh besar dalam meningkatkan kemampuan mengontrol tuntutan biologis. Meski demikian, hal-hal tadi tetaplah bukan faktor penentu. Ada faktor kuat lainnya yang diperlukan untuk memperkuatkan daya kontrol orang terhadap hawa nafsu, yang dengannya orang akan menjauhi praktik-praktik yang menyimpang dan salah. Salah satunya adalah faktor keimanan dan rasa bertanggung jawab di hadapan Allah. Orang-orang yang hidup di lingkungan agamis akan lebih terpanggil untuk menghormati hak-hak orang lain. Mereka akan mendahulukan kerja daripada menuruti panggilan setan. Mereka akan lebih jarang menyentuh dosa.

Islam memandang kecenderungan alamiah termasuk dorongan seksual sebagai anugerah Ilahi. Karena itu Islam tidak sama dengan agama-agama lain dalam memperlakukan dorongan ini. Islam melarang kita mematikan nafsu seksual dan hanya memerintahkan kita untuk mengontrolnya. Dalam kaitan ini, para nabi menjalankan misi memperbaiki masyarakat dari dalam dengan menanamkan benih keimanan di dalam kalbu mereka serta mengajarkan ilmu dan hikmah kepada mereka. Para nabi mengajarkan cara yang benar untuk menyalurkan tuntutan biologis sehingga fasad dan amoralitas di tengah masyarakat pun tercegah.

Pernikahan dan pembentukan rumah tangga dipandang oleh agama Islam sebagai ikatan yang suci. Tujuannya agar setiap orang bisa menyalurkan gejolak jiwa dan biologis dalam kehangatan keluarga yang dibangun dengan cinta. Islam menentang keras kebebasan yang tanpa batas, tapi di saat yang sama agama ini memerintahkan pasangan suami istri untuk saling mencinta dan memberikan kasih sayang. Rasulullah Saw bersabda, “Pernikahan adalah sunnahku, siapa yang menolak sunnahku bukan dari golonganku.”

Dalam Risalatul Huquq Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as menjelaskan anggota badan yang terakhir dan berhubungan dengan kebutuhan biologis. Beliau mengatakan, “Tentang hak syahwat, adalah bahwa engkau harus menjaganya dari keharaman. Untuk menjaganya, engkau harus menutup mata dari pandangan yang haram sebab mata sangat membantu dalam hal ini. Perbanyaklah mengingat kematian dan takutilah dirimu sendiri dari azab Allah. Tengadahkanlah tangan kepada Sang Khaliq yang tak memerlukan apapun dan mintalah bantuan dari-Nya.”

Imam Sajjad as menjelaskan cara yang tepat untuk menghindari munculnya dorongan syahwat. Pertama beliau mengajarkan supaya meminta bantuan mata. Sebab, jika mata tidak digunakan memandang hal-hal yang bisa memancing syahwat, maka ia tidak akan tergoda ke arah sana. Hasilnya, ia akan terjauhkan dari dosa. Langkah kedua adalah dengan banyak-banyak mengingat kematian dan azab Allah. Dengan cara itu orang akan tercegah dari perbuatan dosa. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda, “Mengingat kematian adalah nasehat yang cukup bagi manusia.”

Dalam riwayat lain, Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Ketika hendak melakukan perbuatan tak terpuji segeralah mengingat kematian yang menghancurkan kenikmatan, menenggelamkan syahwat dan melenyapkan impian.”

Di zaman ini, di masyarakat yang menyebarkan budaya bebas tanpa batas, etika dan norma insani yang tidak lagi diindahkan, dan kesusilaan serta kesucian tidak lagi mendapat tempat. Akibatnya, amoralitas menyebar dan kejahatanpun menjamur. Munculnya krisis sosial yang mencemaskan ini menjadi femomena paling menakutkan bagi negara-negara industri maju saat ini. Tak dipungkiri bahwa krisis sosial terjadi karena banyak faktor. Namun faktor paling dominan adalah krisis keimanan, moral dan tanggung jawab. Orang yang memandang segala sesuatu dengan mata materi tak akan pernah melirik sisi spiritual dan insani. Di akhir perkataannya, Imam Sajjad as mengingatkan supaya kita menjalin hubungan yang akrab dengan Allah Swt. Sebab, hanya Allahlah yang bisa membantu manusia dalam meniti jalan kehidupan yang berliku-liku ini.

Hak Shalat (Bagian 1)

Sebagaimana yang kita tahu, Risalatul Huquq adalah buku kumpulan penjelasan Imam Ali Zainul Abidin as-Sajjad tentang hak-hak yang harus ditunaikan oleh manusia. Termasuk diantaranya hak Allah, hak masing-masing anggota tubuh dan hak-hak orang-orang sekitar. Semua hak itu menunjukkan kemuliaan dan keagungan manusia. Sejak dahulu Risalatul Huquq menjadi bahan telaah para peneliti dan sosiolog Muslim.

Setelah membahas tentang hak-hak anggota tubuh yang harus dihormati dan dilaksanakan, Risalatul Huquq mengulas masalah ibadah. Tentang shalat yang merupakan ibadah paling penting, Imam Sajjad as mengatakan, “Adapun hak shalat, maka ketahuilah bahwa shalat menghadap Allah. Engkau berdiri di hadapan Allah. Jika hal itu telah engkau sadari maka bersikaplah seperti seorang hamba sahaya kerdil yang berharap bisa mendekat kepada tuannya. Seiring dengan rasa takut kepada-Nya, berharaplah akan kemurahan dan kebaikan-Nya. Tunduklah engkau kepada-Nya dengan khusyuk. Yakinilah kehadiranmu di hadapan-Nya sebagai sebuah amalan yang agung...”

Secara fitrah manusia punya kecenderungan untuk menyembah kepada wujud yang dianggap punya kekuatan lebih. Kecenderungan ini ada pada setiap orang. Tak heran jika sejarah menceritakan kepada kita akan kaum-kaum yang melakukan penyembahan kepada tuhan yang beragam bentuk dan rupanya. Ada yang menyembah matahari, bintang, berhala, bahkan binatang. Meski salah dalam menyalurkan kecenderungan itu, namun yang jelas fakta ini membuktikan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu merasakan adanya tuntutan dari dalam jiwanya untuk melakukan penyembahan. Hal itu pula yang disinggung oleh al-Quran surat al-Rum ayat 30, “Itulah fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia atas dasar itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah.”

Agama Islam menghendaki agar setiap manusia mengenal sesembahan yang hakiki sebatas kemampuannya. Jangan sampai naluri beribadah dan menyembah ini tersalurkan di jalan yang salah. Tuhan yang dikenalkan Islam kepada umat manusia adalah Tuhan yang Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Mendengar dan Maha Mengatur. Dialah yang mengatur alam semesta dan membantu manusia saat menghadapi kesulitan.

Islam menjelaskan cara yang benar untuk menjalin hubungan dengan Sang Tuhan dalam bentuk ibadah yang salah satunya dan sekaligus ibadah yang terindah adalah shalat. Shalat adalah jalinan hubungan antara manusia dengan Sang Khaliq. Jelas hubungan dengan Zat yang memberi dan menciptakan segalanya adalah hubungan terindah yang bisa dibayangkan.

Shalat adalah tali kokoh yang menghubungkan seluruh eksistensi manusia dengan alam malakut. Shalat adalah perwujudan dari penghambaan murni kepada Sang Ma’bud. Nabi Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Segala sesuatu punya wajahnya tersendiri, dan wajah agama adalah shalat. Upayakan agar wajah ini selalu nampak indah, menawan dan sempurna.”

Menurut ungkapan Rasul Saw, sebagaimana dalam sebuah bangunan, pilar-pilarnya berfungsi sebagai penyokong dan penyangga bagunan itu. Shalat juga berperan sebagai pilar bagi bangunan agama. Meski tembok dan jendela sebuah bangunan sangat kokoh, namun ketika pilar-pilarnya runtuh, kekokohan itu tidak mampu menjaga keutuhan bangunan. Bangunan keimanan seseorang juga akan runtuh selama hubungannya dengan Tuhan melalui shalat tidak permanen dan seluruh amal ibadahnya tidak akan memberi pengaruh sama sekali.

Dengan kata lain, shalat akan memberi nilai dan arti kepada seluruh perbuatan manusia, sebab shalat merupakan sekumpulan ucapan, perbuatan, dan motivasi yang suci dan ikhlas. Shalat yang dilakukan secara rutin dapat menanamkan benih-benih perbuatan baik dalam jiwa manusia sekaligus mensucikan jiwanya. Imam Sajjad as meminta para pendiri shalat untuk merenungkan, “Dengan siapa ia sedang menghadap dan interaksi ini sejauh mana mampu menumbuhkan kebaikan dan memusnahkan keburukan dalam dirinya.”

Imam Sajjad as mengingatkan bahwa selama shalat tidak dilakukan dengan benar dan manusia juga tidak merasa kerdil di hadapan Sang Pencipta, maka shalatnya hanya sebuah ibadah lahiriyah dan tidak punya pengaruh apa-apa. Rasa khusyu dan tawadhu dalam shalat diperlukan untuk memahami kemuliaan dan keangunan Tuhan. Sebab Sang Pencipta sama sekali tidak butuh terhadap amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, ruhnya shalat adalah rasa khusyu saat bermunajat. Salah satu pengaruh paling penting shalat adalah keterjagaan dari dosa dan maksiat dan kecenderungan ke arah kebaikan. Dalam surat al-Ankabuut ayat 45, Allah Swt berfirman: “…Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).”

Hak Shalat (Bagian 2)

Untuk melengkapi pembahasan sebelumnya, kali ini kita kembali membahas tentang sebuah ibadah yang digolongkan sebagai pilar agama. Shalat merupakan jawaban atas kebutuhan internal manusia terhadap doa dan munajat dengan Sang Pencipta. Saat larut dalam munajat, jiwa seseorang dipenuhi rasa tentram dan damai sampai-sampai cahaya ibadah tampak dalam raut wajahnya. Mengingat dampak-dampak konstruktif shalat, Imam Sajjad as dalam buku Risalatul Huquq memaparkan kedudukan penting ibadah tersebut. Imam as berharap para pendiri shalat menunaikan ibadah ini secara hakiki. Dirikanlah shalat dengan penuh ketenangan, ketentraman, kekhusyukan, dan dengan lisan yang indah. Konsentrasikanlah hati dan jiwa kalian menghadap Allah Swt.

Shalat merupakan sarana untuk menyucikan dosa dan menggapai ampunan Tuhan, sebab shalat menyeru manusia untuk bertaubat dan memperbaiki perbuatan-perbuatan masa lalunya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasul Saw bertanya kepada para sahabatnya, “Jika di depan pintu rumah salah seorang dari kalian mengalir sungai yang jernih dan kalian mandi di sana lima kali sehari, masih tersisakah kotoran di tubuh kalian?” Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Nabi Saw kemudian bersabda, “Shalat ibarat air sungai yang mengalir tadi. Setiap kali orang melaksanakan shalat semua dosa yang ia lakukan antara shalat itu dengan shalat sebelumnya akan terhapuskan dan setiap luka yang menggores di ruh manusia akibat dosa akan terobati dengan shalat.”

Shalat yang menghasilkan keimanan kokoh adalah benteng kuat yang melindungi seseorang dari perbuatan dosa, selain juga menumbuhkan jiwa penyabar dan kerendahan hati di kalbu. Bahaya terbesar yang mengancam para pengikut kebenaran adalah kelalaian akan tujuan penciptaan dan ketenggalaman dalam kehidupan duniawi dan kenikmatan materi. Shalat yang dilaksanakan lima kali sehari dalam waktu-waktu yang berbeda berperan menjadi pengingat bagi manusia akan spiritualitas dan tujuan hidup yang sebenarnya. Setiap hari, kita diperintah untuk menunaikan shalat sebanyak 17 rakaat. Di setiap rakaatnya kita diajarkan untuk tunduk di hadapan kebesaran Allah dengan meletakkan dahi dan wajah di atas tanah. Dengan demikian kita disadarkan akan kehinaan dan kelemahan yang sebenarnya sehingga tidak lagi terjebak dalam kesombongan. Imam Ali as berkata, “Allah Swt mewajibkan shalat agar manusia terlepas dari syirik, dan shalat adalah ibadah yang mengusir kesombongan.”

Shalat adalah sarana untuk mengembangkan keutamaan akhlak dan kesempurnaan spiritualitas manusia. Sebab, ibadah ini membawa manusia keluar dari batas-batasan materi ke alam yang jauh lebih luas. Pengulangan amalan ini dan fokus kepada sifat-sifat Ilahiyah yang indah seperti rahmat dan kemurahan yang luas, adalah penyeru terbaik kepada kebaikan dan kesucian. Dalam riwayat disebutkan, di Hari Kiamat kelak yang bakal pertama kali ditanyakan kepada manusia adalah shalat. Jika shalatnya diterima maka semua amalannya akan diterima dan jika shalatnya ditolak maka semua amalannya juga akan ditolak. Mungkin rahasianya adalah karena shalat merupakan kunci hubungan antara manusia dengan Allah. Jika sarana hubungan ini dilaksanakan dengan baik dan benar, maka ia akan menghidupkan keikhlasan dan kesucian pada orang yang melaksanakannya.

Selain kandungan shalat yang sarat dengan nilai-nilai yang tinggi, tata krama shalat juga berpengaruh besar pada pembentukan jiwa manusia. Tata krama ibadah ini mengajarkan kesucian dan penghormatan kepada hak-hak orang lain. Salah satu syarat sahnya shalat adalah halalnya pakaian, tempat dan air yang digunakan untuk berwudhu. Halal artinya bukan didapatkan secara tidak sah semisal ghasab atau mencuri. Pesan yang didapat dari aturan ini adalah hak-hak orang lain harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak melaksanakan shalat. Dalam riwayat disebutkan bahwa shalat seorang pemimpin yang menzalimi hak rakyatnya tidak akan diterima oleh Allah.  Shalat juga mengajarkan ketertiban dalam diri manusia karena harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.

Shalat adalah ibadah yang mengandung sejumlah kemuliaan praktis yang harus diperhatikan oleh semua orang. Mungkin karena faktor inilah, Allah Swt dalam al-Quran memerintahkan kita yang dililit kesulitan untuk meminta pertolongan dari shalat dan kesabaran. Dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 153 Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Ketika orang ditimpa masalah ia memerlukan bantuan yang bisa menenangkan hati. Bantuan itu dapat ia perolehi pada kesabaran dan shalat. Dengan demikian, shalat adalah benteng kokoh yang bisa melindungi seseorang dari himpitan masalah.”

Secara umum, shalat adalah ibadah yang keseluruhannya berisi penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu shalat juga disebut sebagai zikir bahkan zikir paling utama. Tentunya, zikir yang benar adalah zikir yang keluar dari hati dan keikhlasan yang dalam. Shalat yang dilaksanakan dengan khusyuk dan zikir yang mendalam di kalbu laksana eliksir yang dapat mengubah besi menjadi emas dan keburukan menjadi kebaikan. Shalat semacam ini akan memandu pikiran dan perilaku manusia. Karena itulah Imam Sajjad as mengajak kita untuk melaksanakan shalat dengan baik, benar dan penuh rasa penghambaan.

Hak Puasa

Setelah menjelaskan hak shalat, Imam Ali Sajjad as membahas tentang hak puasa. Sebab, puasa adalah ibadah yang punya pengaruh besar jasmani dan rohani. Puasa juga sarat dengan pesan-pesan penting pendidikan, sosial dan kesehatan. Islam mewajibkan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Puasa dilakukan pada waktu yang jelas yakni antara terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Selama menjalankan puasa orang dilarang makan, minum dan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan ibadah ini.

Salah satu pelajaran utama yang didapatkan dari puasa adalah kesetaraan umat.  Artinya, dengan menahan lapar dan dahaga orang -sekaya apapun dia- akan merasakan derita kaum fakir. Dengan merasakan lapar dan dahaga, hati akan menjadi luluh dan rasa kemanusiaan akan tergugah. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Puasa diwajibkan dalam Islam supaya orang mampu dan orang miskin bisa setara.”

Puasa menguatkan tekad dan kemauan serta mengontrol nafsu. Bisa dikatakan bahwa tujuan utama dari diwajibkannya puasa adalah supaya orang bisa mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah dorongan alamiah yang ada dalam diri setiap manusia. Dorongan itu harus dipenuhi namun dalam batas yang logis dan benar. Hawa nafsu harus dikendalikan supaya orang tidak terseret kepada sikap dan tindakan ekstrim dalam menuruti atau meredamnya. Semakin kuat orang dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu, maka semakin kuat pula kepribadiannya. Sebaliknya, semakin orang tunduk kepada hawa nafsu, maka semakin lemahlah kepribadiannya.

Orang yang tak pernah punya masalah pengadaan air minum, makanan dan apa saja yang diperlukannya, akan sulit beradaptasi dengan goncangan dan penderitaan seperti rasa lapar dan dahaga. Orang seperti itu mirip dengan pohon yang tumbuh di tempat yang teduh dan sejuk di tepi aliran sungai. Tumbuhan ini tak punya kekuatan dan mudah layu. Sejenak saja tidak mendapat siraman air, tumbuhan ini layu dan tak mustahil akan mati kekeringan. Beda halnya dengan tanaman yang tumbuh di atas batu yang keras, selalu diombang-ambingkan oleh angin kencang yang bertiup di lereng pegunungan dan langsung diterpa panas dan dingin. Tumbuhan jenis ini sangat kokoh dan tidak mudah layu. Puasa adalah ibadah yang membatasi insan muslim dari beberapa perbuatan yang sebenarnya halal baginya. Hal itu akan sangat berpengaruh untuk memperkuat daya tahan manusia serta membuat jiwanya semakin tercerahkan oleh cahaya dan kesucian.

Dari sisi lain, puasa punya banyak manfaat kesehatan. Jarang ada dokter yang tidak menekankan soal faedah menahan diri dari makan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Nabi Saw dalam sebuah ungkapan singkat bersabda, “Berpuasalah niscaya kalian tetap sehat.” Puasa membakar kalori dan kelebihan lemak di badan sekaligus memberikan kesempatan bagi organ pencernaan untuk beristirahat. Organ pencernaan ini perlu diistirahatkan setelah bekerja secara kontinyu sepanjang tahun. Pengistirahatan organ pencernaan dan lambung untuk sementara waktu akan menyehatkan kondisi umum badan.

Puasa yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk menjalankan perintah Allah Swt akan membersihkan jiwa dan menjauhkan orang dari riya’ dan kemunafikan. Imam Sajjad as dalam kaitan ini berkata, “Ketahuilah bahwa puasa adalah tabir yang dijulurkan oleh Allah untuk menutupi lisan, telinga, mata, aurat dan perutmu supaya kamu terselamatkan dari sengatan api azab. Dalam sebuah hadis nabawi disebutkan bahwa puasa adalah tameng dari api negara. Karenanya, jika anggota tubuhmu tenang di balik tabir itu maka optimislah bahwa engkau akan mendapat perlindungan. Tapi jika engkau melepaskan kendali dan membiarkan organ-organ tubuhmu terus memberontak mengoyak tabir Ilahi dan melanggar batas-batas yang telah Allah tentukan, maka jangan merasa aman dari balasan terkoyaknya tabir Ilahi.”

Dalam ungkapan tadi, Imam Ali Zainal Abidin as menerangkan hak puasa yang sebenarnya. Imam mengatakan bahwa puasa bukan hanya menghindari makan dan minum. Bentuk lahiriyah puasa memang meninggalkan makan dan minum, tapi yang lebih penting dari itu adalah bentuk batinnya. Menurut Imam Sajjad, orang yang berpuasa hendaknya tidak mencukupkan diri dengan menghindari makan dan minum tapi lebih dari itu, ia juga harus menjaga mata, lisan, telinga, dan hati dari perbuatan dosa. Artinya, orang yang berpuasa jangan sampai menggunakan lidahnya untuk berkata yang tidak benar, menggunjing atau melontarkan tuduhan terhadap orang lain. Telinga juga jangan sampai digunakan untuk mendengar suara-suara yang mengandung dosa. Demikian pula organ-organ tubuh yang lain.

Allah Swt telah menjadikan puasa sebagai tameng pelindung dari api neraka. Tentunya, puasa yang demikian adalah puasa yang dijalankan dengan benar dan ikhlas demi ketaatan kepada Allah. Dusta, ghibah, menuduh, dan mengikuti syahwat dapat menjauhkan orang dari makna puasa yang sebenarnya. Sebaliknya, jiwa dan ruh seseorang akan semakin sempurna jika ia mengekang hawa nafsu. Saat itulah orang akan kian mendekat kepada Allah. Inilah yang dalam terminologi agama disebut dengan istilah takwa. Puasa adalah ibadah yang mendatangkan ketakwaan. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”


3

4

5

6