• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11489 / Download: 6948
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Bermusyawarah

Manusia terbiasa untuk bermusyawarah dan meminta saran atau masukan dari orang-orang yang dianggap berwawasan, berpengalaman dan yang lebih tua. Orang yang bijaksana dan berpandangan ke depan akan meminta pendapat dan arahan terkait kehidupan individu maupun sosial dari orang yang menurutnya pintar dan bijak. Orang-orang seperti inilah yang dinilai bakal mampu membantu menyelesaikan berbagai permasalahan.

Dengan datangnya risalah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw bermusyawarah menjadi masalah yang penting dan ditekankan dalam ajaran agama ini. Di ayat 159 surat Ali Imran, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” Padahal Nabi Saw adalah insan yang memiliki akal paling sempurna dan paling bijak. Meski demikian beliau diperintah oleh Allah untuk bermusyawarah dengan kalangan bijak dan pandai dari para sahabatnya. Dengan demikian beliau bisa memanfaatkan hasil pemikiran mereka.  Nabi Saw sangat menghargai pendapat umatnya. Jika beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat kebanyakan sahabat, maka beliau dengan lapang dada menerima  pendapat mayoritas. Dalam tutur kata dan perilaku, beliau mengajarkan musyawarah dan mendidik umatnya untuk bertukar pikiran di antara mereka.

Di dunia modern, seorang manager atau pimpinan sebuah instansi pasti memiliki orang-orang yang bekerja untuknya sebagai penasehat yang membantu memberinya masukan demi kelancaran kerja dan memperbaiki kinerja. Penasehat itu umumnya adalah para pakar yang punya keahlian khusus sehingga bisa membantu kelancaran dan perbaikan kerja. Masukan yang diberikan oleh para penasehat jika dijalankan dengan baik dan benar akan mengurangi resiko kesalahan sementara peluang keberhasilan akan semakin besar.

Imam Sajjad as dalam Risalatul Huquq mengenai signifikansi musyawarah menjelaskan hak orang orang yang memintas nasehat dan arahan. Beliau berkata, “Hak orang yang memerlukan nasehat darimu adalah hendaknya engkau memberi pandangan yang jelas dan baik kepadanya. Saat menasehatinya, perlakukanlah dia sebaik engkau memperlakukan dirimu jika berada pada posisinya. Berikan nasehat itu dengan lemah lembut sehingga kecemasannya berubah menjadi ketenangan. Jika engkau tidak mengerti apa yang mesti engkau sampaikan arahkanlah dia kepada orang yang engkau menjadi kepercayaanmu saat engkau memerlukan nasehat.”

Musyawarah mendatangkan banyak manfaat baik untuk pribadi orang dalam lingkup kehidupannya maupun untuk masyarakat dalam kehidupan sosial. Selain itu, musyawarah akan mencegah terjadinya kediktatoran dalam berpendapat.  Orang yang hanya mementingkan pendapatnya saja berarti telah terjebak ke dalam salah satu petaka besar. Jika petaka ini menyebar di tengah masyarakat maka orang akan mudah melupakan kepribadiannya dan akibatnya, masyarakat akan terperosok ke dalam dekandensi yang mengerikan. Orang yang hanya mementingkan pendapatnya saja tak akan peduli dengan pendapat orang lain. Ia tak ubahnya bagai kayu yang tak lentur yang akan patah jika dipaksa untuk dilenturkan. Sementara, orang yang bisa menghargai orang lain akan memiliki sifat yang fleksibel dan bisa menempatkan diri dengan pandangan orang lain.  Orang yang seperti ini akan mudah diarahkan ke jalan yang benar.

Ketika musyawarah menjadi tradisi di sebuah masyarakat, pemikiran akan berkembang dan dari berbagai pandangan dan ide yang terbaiklah yang akan dipilih. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Ketika penguasa kalian adalah dari kalangan orang-orang yang baik, orang kuat kalian dari kalangan dermawan, dan pekerjaan kalian dilakukan dengan musyawarah maka saat itu muka ini akan lebih baik bagi kalian dari kandungan di dalamnya.”

Musyawarah akan menjadikan orang lebih siap dalam mengambil keputusan pada kondisi yang sulit. Hal itu akan semakin membuka jalan bagi aktualisasi potensi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, lewat musyawarah pemikiran dan ide akan semakin matang. Di tingkat sosial partisipasi masyarakat di dewan-dewan dan perkumpulan untuk bertukar pandangan membantu mereka untuk terlibat dalam menentukan perjalanan masyarakat. Dalam sebuah hadis Nabi Saw bersabda, “Tak ada satupun masyarakat yang bermusyawarah di antara mereka kecuali memperoleh petunjuk terbaik dalam urusannya.”

Manusia tidak akan pernah mengetahui semua masalah yang ia hadapi juga akibat dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Karena itu ia memerlukan musyawarah. Akal memang menjadi pemandu manusia dalam membuka jalan baginya. Tetapi sangat mungkin ia tidak melihat apa yang terjadi di ujung perjalanan sana atau tak mampu menganalisa permasalahan secara sempurna. Karena itu ia memerlukan pandangan orang lain sebagai masukan. Imam Ali as menyebut musyawarah sebagai tindakan menyertakan akal orang-orang lain dalam sebuah masalah. Kata-kata Imam Ali ini mengingatkan bahwa akal dan pemikiran beberapa orang akan lebih sempurna dibanding pemikiran satu orang. Manusia memerlukan akal yang lebih tinggi dan suci khususnya dari para nabi dan manusia-manusia pilihan Allah.

Tentunya bermusyawarah tidak bisa dilakukan dengan sembarang orang. Ada sekelompok orang yang justeru akan mencelakakan kita jika diajak untuk bermusyawarah. Dalam kaitan ini Imam Ali as berkata, “Jangan pernah bemusyawarah dengan tiga kelompok manusia, pertama, orang-orang kikir, sebab mereka akan mencegahmu berbuat baik kepada orang lain dan menakut-nakutimu akan kemiskinan. Kedua, orang-orang penakut sebab mereka akan mencegah langkahmu melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Ketiga, orang-orang yang rakus sebab mereka akan menggambarkan orang yang zalim layaknya orang baik demi meraih kekayaan atau kedudukan.”

Hak Orang Lanjut Usia

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di alam kehidupan ini, manusia adalah wujud yang lemah. Setahap demi setahap periode kehidupan dia lalui sampai tumbuh dewasa dengan fisik yang semakin kuat di masa muda. Dengan berlalunya usia, dia memasuki masa paruh baya yang dibarengi dengan kematangan nalar dan pikirannya. Menginjak usia senja ia akan kehilangan kemampuan fisiknya yang semakin melemah. Al-Quran al-Karim menggambarkan kondisi itu dalam surat Rum ayat 54. Allah Swt berfirman yang artinya, “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Dalam sejumlah riwayat hadis disebutkan bahwa usia tua adalah satu bentuk manifestasi dari cahaya ilahi. Orang yang berusia tua mendapat kehormatan khusus karena ia telah mengemban risalah kemanusiaan sejak lama dengan naik turun kondisi kehidupan di dunia dan kini di usia senja ia hidup mendampingi orang-orang yang masih muda untuk menyampaikan kepada mereka segudang pengalaman yang dimilikinya. Jelas bahwa setiap pengalaman akan membuka pintu pengetahuan bagi manusia. Terkait hal ini, Imam Ali as menyatakan bahwa di balik pengalaman ada ilmu dan pengetahuan yang baru. Salah seorang cendekiawan berkata, “Dalam mencapai kemajuan etikanya umat manusia berhutang budi kepada kaum tua. Ketika menginjak usia tua, orang akan semakin baik dan matang, dan ia siap menyampaikan pengalamannya kepada generasi yang lebih muda. Tanpa kaum tua, manusia akan mengalami stagnasi.”

Skinner, psikolog Amerika mengatakan, “Usia senja ibarat safari ke negeri lain. Jika sebelum safari Anda telah mempersiapkan bekal maka saat menginjak usia senja kondisi kalian akan lebih baik.” Ungkapan ini menyebutkan bahwa usia senja adalah satu periode kesempurnaan manusia. Karena itu, saat menginjak usia senja kita mesti menyesuaikan diri dengan kondisi di usia itu dengan semangat, keceriaan dan kebersyukuran kepada Allah Swt.

Di setiap masyarakat ada sekelompok orang yang sudah berusia lanjut. Tentunya, masyarakat memiliki serangkaian kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka. Salah satunya adalah penghargaan anggota masyarakat kepada orang-orang tua. Penghormatan dilakukan dengan menghormati kaum tua dan memahami kondisi fisik dan kejiwaan mereka. Masyarakat mesti memerhatikan kebutuhan kelompok usia senja ini dan berusaha untuk menyelesaikan semua kesulitan yang mereka hadapi. Kaum tua juga harus disertakan dalam kegiatan sosial dengan diberi tugas yang bisa mereka lakukan. Memang sepintas hal itu seakan memberatkan tapi sebenarnya pelimpahan tugas tersebut akan membuat mereka merasa memiliki andil dalam masyarakat. Perasaan itu akan mendatangkan rasa percaya diri dan mengobati masalah kejiwaan yang biasanya diderita kaum tua. Satu hal yang harus diperhatikan adalah dahaga akan perhatian, kasih sayang dan cinta yang dirasakan oleh kebanyakan orang yang berusia lanjut.

Mengenai kaum tua, Imam Sajjad as menjelaskan, “Hak kaum tua adalah hendaknya engkau menghormati ketuaannya. Jika dia memiliki prestasi keterdahuluan dalam Islam maka hormatilah ia karenanya. Dahulukanlah dia. Jika terlibat perselisihan dengannya jangan sampai engkau bersikap frontal terhadapnya. Saat berjalan, jangan engkau mendahuluinya dan jangan berjalan di depannya. Jangan engkau anggap dia seperti orang bodoh. Jika ia melakukan kesalahan hendaknya engkau bersabar atasnya. Hormati pula dia karena usianya sebab hak usia sama seperti hak Islam baginya.”

Di sini, Imam Sajjad as menitikberatkan masalah penghormatan kepada kaum tua. Mereka tak lain adalah orang-orang yang dahulu dimasa muda membangun rumah tangga dan menghabiskan usia, tenaga dan harta untuk membesarkan anak-anak dan mendidik mereka. Bisa dibayangkan betapa beratnya pukulan kejiwaan yang menimpa mereka jika di masa tua diperlakukan dengan tidak baik dan tidak terhormat. Dalam perspektif Imam Sajjad as, salah satu bentuk penghormatan kepada kaum tua adalah dengan tidak memusuhi mereka. Orang yang sudah menginjak usia tua dengan fisik yang semakin melemah berharap banyak dari orang-orang yang lebih muda. Terkadang harapan mereka memang berlebihan dan tidak wajar.

Imam Sajjad menyinggung hal itu sambil menasehati untuk bersabar jika hal itu terjadi. Beliau memerintahkan kita untuk tetap menjaga rasa hormat kepada mereka dan tidak terlibat konfrontasi langsung dengan mereka. Beliau mengajarkan pula untuk tidak berjalan mendahului orang tua dan tidak memperlakukan mereka dengan tidak sopan. Dalam hal ini yang harus diperhatikan dan bisa membuka mata kita dalam bergaul dengan kaum tua adalah bahwa kita bakal mengalami masa seperti itu, saat usia sudah menginjak senja dan tubuh sudah semakin rapuh ditelan masa.

Hak Anak Kecil

Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata, “Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk perkembangannya.”

Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia. Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi senyuman dan nada pembicaraan yang baik.

Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat keji.

Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.

Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.

Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri. Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, “Orang yang memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya.”

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.”

Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia.

Di akhir pembahasan ini kita simak doa Imam Sajjad berikut ini, “Ya Allah bantulah kami dalam mendidik anak kami dengan pendidikan yang baik.”

Hak Pengemis

Membantu kaum fakir dan papa adalah tugas bagi seluruh umat Islam. Karena itu, Islam menjelaskan pahala besar yang bakal diterima orang yang menolong kaum fakir dan peduli dengan keadaan mereka. Allah suka dengan orang-orang yang mengulurkan bantuan kepada mereka yang memerlukan dan perbuatan itu akan membantu meningkatkan kesempurnaan insani dan derajat kemuliaannya. Orang yang dalam kehidupan duniawi ini mendahulukan ridha Allah di atas upaya memperkaya diri dan memilih jalan membantu meringankan beban derita kaum fakir miskin, maka Allah memberinya pahala yang berlimpah.

Dari sisi lain, al-Quran al-Karim meski menyebut dunia dan kekayaannya sebagai anugerah Allah kepada manusia, tapi juga mengecam praktik menumpuk kekayaan dan keengganan berinfak. Tentunya tak dipungkiri bahwa sebagian orang melarat karena kemalasan atau ketidakpandaiannya dalam mencari nafkah atau mungkin karena masalah lain. Tapi ada faktor lain yang dominan dalam menciptakan kefakiran yaitu tertumpuknya kekayaan di tangan sekelompok orang tertentu. Di surat Taubah ayat 34 Allah Swt berfirman, “…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”

Bantuan untuk kaum fakir yang paling bernilai adalah bantuan yang diberikan lebih dari apa yang diperlukan. Pemberian bantuan itu hendaknya dilakukan dengan menjaga kehormatan dan harga diri orang yang menerimanya. Dalam kaitan ini Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Memenuhi hajat seorang mukmin lebih disukai Allah dari haji dua puluh kali yang dilakukan dengan biaya setiap hajinya 100 ribu dinar.”

Seorang ulama ditanya apa yang akan dia lakukan jika tahu bahwa beberapa jam lagi dia akan meninggal dunia? Dia menjawab, “Aku akan duduk di atas teras rumah untuk memenuhi hajat siapa saja yang memerlukan. Mungkin akan ada orang yang datang untuk memintaku membantu memenuhi kebutuhannya meski nilainya kecil.”

Mengenai kebajikan dan kedermawanan Imam Sajjad as berkata, “Hak peminta-minta adalah memberinya sedekah jika engkau bisa memenuhi hajatnya, dan doakan supaya kesulitannya bisa terselesaikan. Bantulah dia. Jika engkau meragukan kebenaran pengakuannya, maka ketahuilah bahwa keraguan itu adalah jaring syaitan yang memang menginginkanmu jauh dari Allah. Perlakukan dia dengan rasa hormat dan kata-kata yang lembut. Jika hal itu engkau lakukan sambil memberinya sesuatu maka engkau telah melakukan hal yang benar.”

Di sini Imam Sajjad as menekankan bahwa orang yang bersedekah harus memperkuat niatnya dengan kasih sayang, kesopanan dan kedermawanan. Imam mendorong kita untuk berderma dan membantu orang lain. Adanya orang-orang yang meminta-minta padahal mereka sebenarnya tidak berhak untuk mendapat uluran tangan, juga disinggung oleh Imam Sajjad. Beliau tidak menafikan adanya orang seperti itu namun tetap menekankan bahwa yang penting adalah keinginan orang untuk berderma dan membantu orang yang memerlukan dalam kondisi apapun.

Memelas dan meminta bantuan dari sana sini akan membuat orang dipandang sebelah mata. Tindakan itu akan menurunkan harga dirinya di depan masyarakat. Untuk mencegah terjadi hal seperti itu yang tentunya juga menimbulkan dampak buruk pada kejiwaan dan mental orang, Islam mengajarkan kepada kita untuk saling mengenal kondisi sesama dan bergegas dalam membantu siapa saja yang memerlukan bantuan. Dalam sebuah riwayat hadis dari Imam Ali Ridha as disebutkan bahwa beliau berkata, “Kebajikan kepada orang lain tak akan sempurna kecuali dengan tiga hal. Pertama, orang yang berderma hendaknya bersegera dalam berderma. Kedua, hendaknya dia memandang bantuan yang diberikannya kepada orang lain sebagai hal yang remeh dan kecil. Ketiga, merahasiakan amal itu dari orang lain. Bersegera dalam memenuhi permintaan orang yang memerlukan bantuan  akan menambah manisnya amal. Menatap remeh amal baik akan menjadikannya besar (di sisi Allah). Dan merahasiakan amal baik dari orang lain akan menyempurnakan kebaikannya.”

Imam Sajjad as menjelaskan pula tentang hak orang-orang yang berderma. Beliau mengatakan, “Hak penderma adalah menerima pemberiannya jika dia memberi sesuatu dengan berterima kasih kepadanya. Jika dia menolak memberi bantuan terimalah alasannya dan bersangka baiklah kepadanya. Ketahuilah bahwa ketika dia tidak memberikan apa-apa tidak ada kecaman apapun yang bisa diarahkan kepadanya. Sebab dia tidak memberikan apa yang menjadi miliknya sendiri. Walaupun dia telah berbuat zalim seperti layaknya orang lalim dan orang yang tak tahu budi.”

Berterima kasih dan menghargai orang lain adalah sifat utama manusia. Orang yang dirinya terhiasi dengan akhlak mulia akan berterima kasih kepada siapa saja yang memberikan kebaikan kepadanya. Sikap tak tahu budi memiliki dampak buruk. Memang perderma sejati tak akan pernah mengharap terima kasih dari orang lain. Sebab, saat mengulurkan bantuan dia hanya mengharap keridhaan Allah dan teratasinya kesulitan masyarakat. Namun demikian, dia berhak untuk mendapat penghargaan dan ucapan terima kasih.

Hak Orang yang Menyenangkan Orang Lain

Salah satu bagian dari masyarakat adalah orang yang membuat senang orang lain. Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan hak orang yang telah menyenangkan hati orang lain. Beliau berkata, “Hak orang yang dengannya Allah telah membuatmu gembira adalah engkau mesti berterima kasih kepadanya setelah mengucapkan syukur kepada Allah, jika dia melakukannya memang karena ingin membuatmu gembira… Berilah ia balasan dan upayakan untuk membalasnya dengan kebaikan… Cintailah orang yang membuatmu gembira dan doakan kebaikan untuknya sebab dia telah menjadi penyebab datangnya nikmat dan berkah dari Allah.”

Menggembirakan orang lain dipandang oleh Imam Sajjad as sebagai hal yang harus mendapat perhatian. Ini menunjukkan bahwa Islam memandang penting masalah kegembiraan dan keceriaan. Dalam mengarungi kehidupan, bahtera kehidupan manusia terkadang menghadapi gelombang ombak yang mengombang-ambingkan dan membawanya ke sana ke mari. Akibatnya, ia didera kesedihan dan kegundahan. Saat keadaan seperti itu, Islam menganjurkan kita untuk membantu menyelesaikan kesulitan yang dihadapi orang lain dan membuatnya bisa menyungging senyum gembira. Jiwa manusia memerlukan keceriaan. Tanpa keceriaan orang akan sulit menghadapi gelombang pasang surut dalam kehidupan. Imam Ali dalam sebuah riwayat berkata, “Kegembiraan akan membuka jiwa manusia dan membangkitkan kegairahannya.”

Agama mengajak manusia untuk menikmati pemandangan alam dan keindahan ciptaan Allah demi memperoleh kebugaran dan keceriaan. Salah satu yang dianjurkan agama adalah melakukan safari atau berpetualang untuk mencari kesenangan dan keceriaan.  Islam juga menganjurkan kita untuk menebar senyum dan berwajah ramah kala berhubungan dengan masyarakat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menggembirakan hati seorang mukmin berarti dia telah menggembirakan hatiku. Dan barang siapa membuatku gembira berarti ia telah memperoleh janji hidayah dan kebahagiaan dari Allah.”

Nabi Saw dalam pergaulannya sehari-hari adalah teladan bagi umat. Beliau selalu tampil dengan muka berseri kepada siapa saja, baik orang-orang dekatnya atau sahabat-sahabatnya. Beliau dikenal dengan akhlaknya yang sangat mulia dan wajah yang selalu menyungging senyum. Dalam riwayat disebutkan bahwa sebagian sahabat mengatakan tidak ada orang yang tersenyum lebih indah dari Nabi Saw. Perlakuan Nabi Saw kepada sahabat-sahabatnya sedemikian memukau sehingga mereka yang menghadapi kesulitan dan kesedihan pun akan terhibur hati dan merasakan keceriaan.

Menggembirakan hati orang bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Terkadang orang larut dalam pikiran karena dililit utang, atau karena masalah tempat tinggal atau juga karena menderita penyakit. Membantu meringankan derita mereka bisa dilakukan dengan membuat riang hati mereka. Terkadang orang tidak menunjukkan derita di wajah, tapi batinnya penuh gejolak dan guncangan. Dengan kata-kata yang indah, menceritakan kisah-kisah menarik atau dengan perbuatan yang baik, kita bisa membantu meringankan beban derita mereka. Imam Ali berkata, “Hati dan jiwa manusia sama dengan badannya yang juga bisa terkena kejenuhan dan penyakit. Hilangkan kegundahan dan penyakit ini dengan hikmah-hikmah yang baru.”

Ketika menjelaskan hak orang yang membuat gembira orang lain, Imam Sajjad as memaparkan masalah yang lebih luas dari sekedar menggembirakan orang. Beliau menganjurkan kita untuk selalu menjaga akhlak, kesopanan dan wajah berseri dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian orang akan merasa senang dan riang hati saat melihat kita. Beliau lantas mengatakan, berterimakasihlah kepada orang yang telah membuatmu senang, walaupun dia melakukannya tidak dengan sengaja, dan pujilah Allah karena telah menjadikannya wasilah kegembiraanmu.

Secara umum, keriangan dan keceriaan akan melahirkan gairah dan energi pada diri manusia. Selanjutnya, hal itu akan membuat badan dan jiwa siap untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, keceriaan jiwa adalah motor penggerak bagi, pemompa kekuatan dan faktor yang menggerakkan potensi dan bakat pada diri seseorang. Tentunya, ada sejumlah kesenangan dan hiburan yang dilarang oleh Islam karena membuat manusia jauh dari kemanusiaan dan dari Allah. Sebagian orang terbiasa melucu dengan cara mengejek atau meledek orang lain. Padahal menciptakan keceriaan dengan cara-cara seperti itu jauh dari kehormatan insani dan memicu permusuhan di tengah masyarakat. Karena itu, Islam melarangnya.

Hak Pelaku Keburukan

Manusia adalah makhluk sosial yang memenuhi kebutuhan hidupnya lewat interaksi, hubungan dan kerjasama dengan sesama. Kehidupan sosial atau kehidupan bermasyarakat memainkan peran dalam membangun kepribadian manusia. Karena itu, kita mesti memerhatikan perilaku dan tindakan dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu syarat utama dalam kehidupan bermasyarakat adalah memiliki jiwa pemaaf dan melupakan kesalahan orang lain terhadap kita. Orang yang pemaaf akan memiliki jiwa yang tenang. Tentunya memaafkan hanya bisa dibenarkan jika tidak melanggar hak-hak orang lain atau membuat orang yang melakukan kesalahan semakin terdorong untuk berbuat salah.

Di sisi lain, di dunia ini tak ada orang yang sempurna dan tanpa cacat atau kesalahan. Karena itu, sebisa mungkin kita mesti bisa bersabar jika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Memaafkan dan mengampuni kesalahan adalah salah satu sifat Allah. Memaafkan adalah sifat ksatria dan orang-orang yang berjiwa besar. Orang yang menyandang sifat ini akan mudah memaafkan orang lain padahal dirinya mampu membalas kesalahan orang lain. Memaafkan akan membesarkan jiwa dan membebaskan diri manusia dari kekangan ego dan kesombongan. Memang, menutup mata dari gangguan orang sulit dilakukan. Tetapi kita diajarkan untuk bersabar sejauh kemampuan. Agama mengajarkan kepada kita untuk semampunya memadamkan amarah dan gejolak di hati. Dengan melatih diri, orang akan terbiasa sehingga ia akan terhiasi dengan sifat pemaaf.

Dalam sebuah hadis, Imam Ali as berkata, “Memaafkan adalah wajah insani yang paling indah.” Membalas keburukan dan kesalahan orang dengan maaf dan ampunan, akan mendatangkan kesan yang sangat konstruktif pada diri manusia. Bahkan memaafkan akan membuat orang yang telah melakukan kesalahan dan keburukan akan merenungkan kesalahannya. Pada gilirannya hal itu akan membuatnya berpikir mengubah perilaku. Seorang ilmuan mengatakan, “Engkau memiliki kesempatan untuk memaafkan orang yang telah mengganggumu dan menikmati pemberian maaf itu. Ketika memilih untuk membalas kesalahannya berarti engkau telah menempatkan diri di tempat orang itu. Namun jika memaafkannya berarti engkau telah meraih posisi yang lebih baik darinya. Dia telah berbuat jahat sementara engkau memaafkan. Sebenarnya, memaafkan adalah pembalasan yang paling baik. Dengan memaafkan kita bisa mengalahkan lawan tanpa bentrokan dan memaksanya untuk tunduk di hadapan kita.”

Memaafkan punya peran yang besar dalam menjaga kedamaian kehidupan bermasyarakat. Untuk itu Imam Sajjad dalam Risalatul Huquq menyinggung pula hak orang yang berbuat jahat kepada orang lain. Beliau mengatakan, “Hak orang yang karena takdir telah berbuat buruk terhadapmu dengan lisan atau perbuatan adalah, jika dia melakukannya karena sengaja hendaknya engkau memaafkannya supaya akar kebencian di antara kalian tercabut. Perlakukanlah masyarakat dengan akhlak yang seperti itu… Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan apa yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Nahl:126)

Imam Sajjad as dikenal sebagai figur manusia pemaaf. Beliau menyatakan bahwa kejahatan adalah tindakan yang dilakukan manusia karena kebodohannya. Dikisahkan bahwa suatu hari, sekelompok sahabat Imam Sajjad duduk bersama beliau. Tiba-tiba seseorang datang. Dengan tanpa mengindahkan akhlak, dia memaki dan menghujat Imam dengan kata-kata hinaan. Imam Sajjad as hanya berdiam diri dan mendengarkan kata-kata orang itu sampai selesai. Sementara, para sahabat Imam terbakar emosi karena kekurangajaran orang yang tiba-tiba datang dan masuk ke perkumpulan mereka itu. Imam meminta mereka untuk menahan diri. Orangpun lantas bergegas meninggalkan Imam dan para sahabatnya.

Beberapa saat setelah itu, Imam Sajjad bersama beberapa sahabatnya mendatangi rumah orang itu dan memanggilnya keluar. Orang tersebut keluar dengan congkak. Kepadanya Imam berkata, “Saudaraku, semua tuduhan yang kau nisbatkan kepadaku jika benar, maka aku memohon kepada Allah untuk memaafkanku. Tapi jika tuduhan itu tidak benar maka kepada Allah aku memohon untuk meliputimu dengan rahmatNya yang luas.” Kata-kata lembut dari Imam Sajjad itu menimbulkan kesan yang sangat besar pada diri lelaki itu. Dia menyesali apa yang telah dilakukannya terhadap Imam. Dengan nada penuh hormat dan penyesalan dia berkata, “Wujudmu yang suci dan mulia sungguh jauh dari tuduhan-tuduhan itu. Akulah yang lebih pantas dengan sifat-sifat yang aku tuduhkan lewat lisanku itu.”

Memaafkan akan lebih bernilai ketika seseorang mampu dan berkesempatan untuk membalas tapi dia memilih untuk memaafkan. Peristiwa penaklukan kota Mekah adalah pentas pemaafan dalam skala besar yang dilakukan oleh Nabi Saw. Saat itu beliau memasuki kota Mekah dengan pasukan besar yang tak mungkin bisa dilawan oleh kaum kafir Quraisy. Lawan-lawan Nabi Saw membayangkan tak lama lagi mereka bakal dibalas karena kejahatan yang mereka lakukan terhadap Nabi. Akan tetapi semua terkejut ketika Nabi Saw mengumumkan bahwa beliau telah memaafkan mereka semua. Kisah itu terabadikan dalam sejarah yang menunjukkan kebesaran jiwa insan suci utusan Allah itu.

Hak Orang Seagama

Manusia yang sehat memiliki semangat sosial yang tinggi. Dia tidak lari dari kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupannya ia memanfaatkan pengalaman orang lain dan siap berbagi kesenangan dan pengalaman dengan orang lain. Namun yang perlu dicatat bahwa kehidupan sosial ini terkadang hanya memiliki bentuk luar tanpa kedalaman sama sekali.

Di zaman ini, banyak orang yang secara lahiriyah hidup di sebuah lingkungan sosial. Padahal, mereka tidak saling mengenal kondisi masing-masing. Atau karena merasa lebih unggul dibanding orang lain mereka membatasi hubungan dengan sesama anggota masyarakat. Hal itu dipandang oleh para pakar ilmu sosial sebagai bencana bagi kehidupan sosial manusia di zaman ini yang tentunya punya dampak buruk. Diantara dampak buruk dari kondisi itu adalah menguatkan egoisme dan kecenderungan untuk mengejar kepentingan pribadi.

Islam adalah agama yang menganjurkan kita untuk hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial yang dianjurkan Islam, adalah kehidupan yang dinamis, bergairah dan penuh keakraban, dengan anggota masyarakat yang saling mengasihi, membantu dan peduli.  Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda, “Setelah keberagamaan, sebaik-baik tindakan logis adalah mengasihi masyarakat dan melakukan amal baik terhadap semua orang, baik mereka yang tergolong kelompok orang baik atau orang jahat.”

Untuk mengokohkan hubungan kasih sayang di antara masyarakat sehingga melahirkan kepeduliaan dan rasa tanggung jawab di antara mereka, Islam telah menggariskan hubungan yang mendalam di tengah umat. Salah satu syiar penting dalam Islam adalah syair yang diusung oleh ayat, innamal mu’minuna ikhwah yang berarti sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.

Ayat di surat al-Hujurat ini mengandung makna dan pengertian yang jelas tentang tali hubungan persaudaraan di antara kaum Mukmin. Berdasarkan ayat ini, umat Islam dari ras, bangsa dan suku apapun memiliki hubungan bersaudaraan dengan sesama muslim. Hubungan persaudaraan dan kesetaraan ini terjelma dalam bentuknya yang nyata ketika mereka melakukan ibadah haji. Saat itu, semua hujjaj dari berbagai belahan dunia bersama-sama berada di pusat tauhid untuk melaksanakan ibadah haji.

Islam memandang seluruh umat Islam layaknya sebuah keluarga. Kondisi baik dan buruk salah satu anggotanya berhubungan erat dengan seluruh anggota yang lain. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman, “Seluruh manusia adalah keluargaKu. Yang paling terkasihi di sisiKu di antara mereka adalah orang yang paling pengasih kepada yang lain.”

Agama Islam menolak sikap acuh terhadap masyarakat dan nasib orang lain serta memandangnya sebagai hal yang kontra normatif. Karena itu, Islam mengimbau kita untuk peduli akan nasib sesama dan berusaha terlibat menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang tidak memikirkan urusan kaum muslimin berarti dia bukan tergolong muslim.”

Memerhatikan kondisi saudara seagama tentu meniscayakan sejumlah tanggung jawab dan kewajiban, termasuk tata krama yang mesti diperhatikan. Dalam kaitan ini, Imam Sajjad as menjelaskan sejumlah hal. Beliau berkata, “Hak saudara seagamamu adalah engkau harus mengharapkan keselamatan baginya di hatimu; memberikan kasih sayangmu kepadanya; terhadap orang yang buruk di antara mereka hendaknya engkau bersabar, memperlakukannya dengan baik dan berusaha memperbaiki perilakunya; sementara terhadap orang-orang yang baik diantara mereka hendaknya engkau menghargainya.. Jangan pernah menyakiti mereka. Sukailah untuk mereka apa yang engkau sukai untuk dirimu sendiri; dan bencilah untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu; doakan mereka; bantu mereka dan hormati mereka sesuai dengan kedudukan masing-masing…”

Islam menghendaki adanya hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat Islam. Karena itu, agama ini menyerukan hubungan yang hangat dan sikap saling peduli antara sesama muslim. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh rasa aman bukan hanya dalam kondisi fisikal, tapi juga rasa aman dalam pemikiran dan tutur kata. Salah satu hal yang membuat manusia istimewa dibanding binatang adalah semangat kerjasama di antara mereka yang akan terwujud jika kepercayaan diantara anggota masyarakat menguat. 

Al-Quran al-Karim dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan akhlak di tengah masyarakat. Dengan melaksanakannya, akan tercipta masyarakat yang baik dengan masing-masing anggotanya yang saling menghormati hak sesama. Ayat-ayat di surat itu melarang umat Islam dari perbuatan-perbuatan tercela seperti mencela, menuduh, mencari kesalahan, berburuk sangka, mengumpat dan memaki. Tak hanya melarang dari perbuatan-perbuatan itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk menghias diri dengan sifat-sifat mulia yang bisa mempererat tali hubungan dan kasih sayang di antara sesama anggota masyarakat.

Hak Menasehati

Anda tentunya pernah dinasehati oleh orang lain atau dikritik oleh teman, sahabat dan kenalan. Mungkin Anda juga termasuk orang yang menasehati orang lain. Tahukah Anda, menasehati dan dinasehati punya hak-haknya tersendiri? Dalam hal ini Imam Sajjad berkata, “Hak orang yang meminta nasehat darimu adalah berilah dia nasehat sesuai dengan kapasitasnya. Mulailah pembicaraan dengan sesuatu yang dia suka dan berbicaralah sebatas pemahaman dan akalnya. Sebab setiap akal punya batas ketentuan tersendiri dalam pembicaraan yang bisa dipahami dan diterimanya. Engkau harus melandasi masalah ini dengan kasih sayang dan kelembutan.”

Salah satu cara untuk memperbaiki cela dan kesalahan adalah memperhatikan kritik dan nasehat orang lain. Meskipun manusia dibekali akal dan pemikiran, namun unsure-unsur seperti egoisme yang terkadang melampaui batas kewajaran membawanya keluar dari keseimbangan sikap dan pemahaman akan fenomena yang nyata.

Dari sisi lain, manusia mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya tempat ia tumbuh besar dan membentuk kepribadian. Unsur-unsur ini membuatnya terkadang lalai akan kebaikan dan kemestiannya berbuat baik. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang dekat, sahabat dan keluarga yang bergaul dengannya akan mengingatkannya akan kesalahan dan keburukan yang ada pada dirinya untuk diperbaiki. Karena itu pepatah mengatakan, orang yang bijak dan mulia di tengah masyarakat ibarat cermin yang memantulkan keindahan dan menampakkan keburukan.

Orang yang menginginkan kesucian dan kemuliaan mesti menerima nasehat orang lain yang disampaikan dengan tulus untuk kemudian melangkah memperbaiki kesalahannya. Nabi Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Seorang mukmin ibarat cermin bagi saudaranya. Dia akan menjauhkan ketidakbaikan dan keburukan darinya.”

Namun ada satu poin penting terkait nasehat, yaitu cara penyampaiannya. Ketidakpedulian akan masalah ini justeru akan membuat orang yang dinasehati semakin membangkang dan terus menerus melakukan kesalahan. Penyampaian nasehat dengan cara yang benar akan membawa orang dan masyarakat ke arah kesempurnaan, memperbaiki pemikiran dan menyingkirkan keragu-raguan.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa suatu hari seorang laki-laki tua sedang berwudhu. Imam Hasan dan Imam Husein as yang saat itu masih kanak-kanak menyadari kesalahan yang dilakukan orang tua itu dalam wudhunya. Mereka lantas mendekati orang itu dan memintanya untuk menilai mana diantara keduanya yang benar dalam berwudhu. Dengan cara ini, kedua cucu Nabi Saw itu ingin mengajarkan secara tidak langsung cara berwudhu yang benar. Orang tua itu menyadari kesalahannya dan berkata, “Wudhu kalian berdua benar. Sayalah yang salah dalam berwudhu.”

Poin penting yang disinggung Imam Sajjad dalam ungkapan tadi adalah metode menyampaikan nasehat. Menurut beliau, dalam menasehati kita harus melihat kesiapan orang dalam menerima nasehat juga tingkat akal dan pemahamannya. Metode inilah yang diajarkan oleh agama-agama samawi saat berbicara kepada manusia. Dengan kata lain, ini adalah strategi para nabi dalam menyampaikan risalah kenabian mereka.

Al-Quran al-Karim menyebut para nabi dan rasul sebagai para pemberi nasehat di tengah masyarakat yang dengan tulus membimbing umat ke jalan kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Dalam surat al-A’raf ayat 62 diceritakan bahwa Nabi Nuh berkata, “Aku menyampaikan risalah Tuhanku kepada kalian dan aku adalah orang yang menasehati kalian. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.”

Rasulullah saw, sebagai utusan Allah yang terakhir menekankan akan adanya perbedaan kapasitas pemikiran manusia. Beliau bersabda, “Kami para nabi diperintah untuk berbicara dengan masyarakat sebatas kemampuan akal mereka.” Kata-kata yang ringkas tapi sangat bijaksana ini harus menjadi panduan kita dalam berbicara dengan setiap orang.

Poin penting lain yang disinggung Imam Sajjad as adalah tentang kasih sayang dan kelemahlembutan. Beliau mengatakan bahwa dalam menasehati orang harus berbicara dengan lembut sehingga berkenan di hati pendengarnya yang pada gilirannya akan membuatnya terpacu untuk memperbaiki kesalahan dan menguruskan perilakunya. Akhlak yang baik dan kesopanan akan mendatangkan hasil yang positif, termasuk ketika menasehati orang lain. Akhlak yang baik akan membuat kehidupan menjadi indah dan mendekatkan hati. Rasulullah saw adalah contoh teladan paling sempurna untuk kesopanan dan kemuliaan akhlak. Salah satu daya tarik beliau dalam berdakwah dan menyampaikan risalah agama Islam adalah akhlak beliau yang indah yang merasuk ke dalam jiwa orang yang berhadapan dengannya.

Hak Ahlu Dzimmah (Bagian 1)

Bermacam-macamnya akidah dan kepercayaan yang ada di dunia ditambah dengan keberagaman etnis, suku bangsa dan bahasa menciptakan istilah mayoritas dan minoritas dalam sebuah masyarakat. Istilah minoritas yang saat ini dikenal menunjuk kepada sekelompok manusia yang berbeda dengan kebanyakan anggota masyarakat dan tidak terlibat dalam sistem politik dan sosial. Perbedaan kelompok ini dari kebanyakan orang bisa disebabkan oleh unsur kesukuan atau keyakinan dan agama.

Ketika menilik pandangan Islam terkait hubungan antar manusia, kita akan berkesimpulan bahwa Islam menolak pengelompokan masyarakat berdasarkan kesukuan dan ras. Dalam ideologi Islam, kebangsaan diatur berdasarkan dua kriteria; keimanan dan perjanjian. Karena itu di sebuah negara Islam para pemeluk agama ilahi yang lain bisa menjadi bagian dari masyarakat dengan ketentuan dan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam perjanjian dengan masyarakat Muslim. Dengan demikian mereka berhak masuk menjadi bagian dari bangsa dan masyarakat itu meski dalam bentuk kelompok minoritas.

Salah satu keistimewaan yang ada pada Islam adalah bahwa agama ini tidak pernah memaksa orang untuk mengikuti Islam. Dulu, ketika menyampaikan misi risalah kenabiannya, Rasulullah Saw juga membiarkan masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan mereka. Al-Quran menyinggung hal itu dalam banyak kesempatan diantara dalam surat al-Kafirun. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada kaum kafir, “Aku tidak menyembah apa  yang kalian sembah dan kalianpun tidak menyembah apa yang aku sembah.” Di akhir surat itu ditegaskan, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Kaum muslimin sebagaimana diserukan oleh al-Quran mengimani risalah para nabi sebelumnya Rasulullah Saw dan kitab-kitab Ilahi yang turun untuk umat-umat sebelumnya. Umat Islam memandang cara nabi terdahulu sebagai insan-insan saleh dan hamba-hamba pilihan Allah. Karena itu, Islam menghormati pemeluk agama-agama Ilahi yang terdahulu dan menyeru kaum muslimin untuk menjaga etika insani dalam pergaulan dengan mereka. Islam menyebut kelompok agama lain dengan sebutan dzimmi, Ahlul Kitab atau mu’ahad yang berarti kelompok yang menjalin perjanjian dengan pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam harus melindungi hak-hak insani mereka. Imam Ali as dalam mandatnya kepada Malik Asytar menegaskan, “Masyarakat terbagi dua, saudaramu seagama atau padananmu dalam penciptaan. Sebagaimana engkau suka jika Allah memaafkanmu dan menutup mata dari kesalahanmu, maka perlakukan mereka dengan kasih sayang dan lemah lembut.”

Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as yang saat itu menjabat sebagai khalifah umat Islam melihat seorang lelaki tua yang buta. Imam bertanya tentang orang itu. Para sahabat beliau menjawab, “Dia adalah lelaki Nasrani yang dulu ketika masih muda dan punya penglihatan yang baik menghabiskan waktunya untuk mengabdi kepada pemerintahan. Imam Ali as berkata, “Saat muda kalian memanfaatkannya dan kini saat renta dan tak berdaya kalian tidak memberinya apa yang menjadi haknya.” Beliau lantas memerintahkan bendahara Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan lelaki tua itu dari khazanah kekayaan kaum muslimin.

Islam sangat memerhatikan kondisi seluruh anggota masyarakat. Imam Sajjad dalam kitab Risalatul Huquq menjelaskan hak-hak Ahlu Dzimmah. Mereka adalah kelompok non Muslim yang hidup di tengah masyarakat Islam dengan tetap memegang teguh agama dan kepercayaannya. Dalam aturan Islam, mereka terikat perjanjian untuk membayar upeti sebagai jaminan perlindungan atas hak-hak mereka.

Mengenai kelompok Ahlu Dzimmah atau kafir dzimmi, Imam Sajjad as berkata, “Hak Ahlu Dzimmah adalah bahwa engkau harus menerima dari mereka apa yang Allah terima dari mereka dan engkau harus setia dengan perjanjian yang telah Allah tentukan bagi mereka. Perlakukan mereka sesuai hukum Allah dan jauhilah kezaliman terhadap mereka sebab mereka berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Siapa saja yang menzalimi kaum dzimmi berarti dia musuhku. Karena itu, takutlah kepada Allah dalam hal ini.”

Poin penting yang disinggung oleh Imam Sajjad adalah masalah kesetiaan terhadap perjanjian yang telah diikat pemerintahan Islam dengan kaum Dzimmi.