Mazhab Syiah
Ja’fariyah
1.
Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sekelompok
besar dari umat Islam pada
masa sekarang ini. Jumlah mereka
diperkirakan seperempat dari jumlah
keseluruhan umat Islam. Latar belakang
sejarahnya berakar dari masa
permulaan Islam, yaitu saat turunnya
sebuah ayat dari surah Al-Bayyinah:
إِّنَّ الَّذِّينَ آمَنُوا وَعَمِّلُوا
الصَّالِّحَاتِّ أُو لَئِّكَ هُمْ خَيْرُ
الْبَرِّيَّة
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh, mereka adalah sebaikbaiknya
penduduk bumi.”
Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan
tangannya di atas pundak Ali bin Abi
Thalib a.s., sedang para sahabat hadir
dan menyaksikannya, seraya bersabda,
“Wahai Ali! Engkau dan pengikutmu
(syiah) adalah sebaik-baiknya penduduk
bumi.”
Dari sinilah kelompok ini disebut dengan
nama ‘Syiah’, dan dinisbatkan
kepada Ja’far Al-Shadiq a.s. karena
mengikuti beliau dalam bidang fiqih.
2.
Banyak dari kelompok ini yang tinggal
di Iran, Irak, Palestina, Afganistan,
India, dan tersebar secara luas ke
negara-negara republik yang memisahkan
diri dari Rusia, juga ke negaranegara
Eropa, seperti Inggris, Jerman,
Perancis, Amerika, dan benua Afrika
serta Asia timur. Mereka memiliki
masjid-masjid, pusat-pusat kegiatan
budaya dan sosial.
3.
Kaum Syiah Ja’fariyah terdiri dari
bangsa, suku, bahasa dan warna yang
berbeda-beda. Mereka hidup secara
berdampingan dengan saudara-saudara
Muslim yang lain dari golongan
dan mazhab yang berbeda dengan penuh kedamaian dan kasih sayang.
Mereka juga saling membantu dan
bekerja sama di segala bidang dengan
penuh kejujuran dan ketulusan. Ini
semua berpijak pada ayat Al-Quran:
إِّنَّمَا الْمُؤْمِّنُونَ إِّخْوَةٌ
“Sesungguhya orang-orang
mukmin adalah saudara.”
Dan firman Allah swt.:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبر وَالتَّقْوَى
“Saling tolong-menolonglah dalam
kebaikan dan taqwa.”
Juga sabda Nabi saw.,
“Orang-orang
Muslim satu sama lainnya laksana tangan yang satu.”
Demikian sabda
lain dari beliau,
“Orang-orang mukmin
(satu sama lainnya) seperti satu
tubuh.”
4.
Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki
sikap yang disegani dan posisi
yang cemerlang dalam membela Islam
dan kaum Muslimin. Mereka juga
telah mampu mendirikan pemerintahan
dan negara yang berkhidmat pada
peradaban Islam. Begitu juga, mereka
memiliki ulama-ulama serta ahli-ahli
yang telah menyumbangkan tenaga
dan seluruh pikiran mereka untuk
memperkaya warisan-warisan Islam
dengan cara menulis ratusan ribu
karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir Al-Quran, Hadis,
Kalam, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak,
Dirayah, Rijal, Filsafat, sistem sosial
dan politik, Bahasa dan Sastra, bahkan
Kedokteran, Fisika, Kimia, Matematika,
Astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang ilmu lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka berperan sebagai perintis dan pencetus aneka bidang keilmuan.
5.
Mereka percaya kepada Allah Yang
Maha Esa, tempat bergantung segala
sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan, serta tak ada sekutu
bagi-Nya. Mereka menafikan dari
Allah swt. segala sifat kebendaan, anak,
tempat, zaman, perubahan, gerak, naik
dan turun, dan lain sebagainya yang
tidak layak bagi keagungan, kesucian,
kesempurnaan dan keindahan wujud-
Nya. Mereka juga meyakini bahwa
hanya Dialah yang layak disembah,
bahwa hukum serta syariat hanyalah
milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan
dengan segala macamnya,
secara terbuka maupun rahasia, adalah
kezaliman yang amat besar dan dosa
yang tak terampuni.
Mereka percaya bahwa semua ini dapat
dibuktikan atas dasar akal yang sehat
dan sejalan dengan Al-Quran dan hadis
sahih, dari manapun sumbernya.
Mereka tidak bersandar pada hadis hadis Israiliyyat dalam bidang apa pun,
tidak pula mengambil ajaran dari hadis
yang diriwayatkan oleh orang-orang
Majusi yang menggambarkan Allah
swt. dengan bentuk manusia, menyerupakan-
Nya dengan makhluk, atau
menisbatkan perbuatan zalim dan
kesia-siaan kepada-Nya. Sesungguhnya
Allah Mahasuci dan Mahaluhur dari
apa yang mereka duga atau mereka
menisbatkan perbuatan tercela kepada
para nabi a.s. secara mutlak.
6.
Mereka meyakini bahwa Allah swt.
Mahaadil dan Maha Bijaksana; Dia
menciptakan alam semesta atas dasar
keadilan dan kebijaksanaan. Dia tidak
pernah menciptakan sesuatu secara siasia,
baik benda-benda mati, tumbuhtumbuhan,
hewan, manusia, langit
atau bumi, karena kesia-siaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan,
juga bertentangan dengan
sifat-Nya, serta penafian segala kekurangan
dari zat-Nya.
7.
Mereka meyakini bahwa Allah swt.
dengan keadilan dan kebijaksanaan
Nya telah mengutus kepada manusia
para nabi dan rasul yang diangkat
sebagai manusia-manusia maksum dan
memiliki pengetahuan yang luas, yang
bersumber dari wahyu untuk memberi
hidayah kepada manusia, membantu
mereka mencapai kesempurnaan yang
diharapkan, dan mengarahkan mereka
kepada ketaatan yang mendatangkan
surga, dan menyampaikan mereka kepada
rahmat dan keridhaan Allah swt.
Di antara para nabi dan rasul itu
adalah Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim
a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah disebutkan Al-Quran, atau
yang disebutkan nama dan keadaankeadaan
mereka dalam hadis-hadis
yang mulia.
8.
Mereka percaya bahwa siapa yang
taat kepada Allah swt., melaksanakan
perintah dan hukum-Nya dalam segala
bidang kehidupan, akan selamat dan
beruntung, serta layak mendapatkan
pujian dan pahala, meskipun ia hamba
sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya,
siapa yang bermaksiat kepada Allah
swt. dan mengabaikan segala perintah-
Nya dan menerapkan hukum selain
hukum Allah, akan rugi dan layak
mendapatkan kutukan dan siksa, meskipun
ia seorang tuan dari bangsa
Quraisy, sebagaimana yang terdapat
dalam hadis Nabi saw.
Mereka meyakini bahwa tempat pahala
dan siksa adalah Hari Kiamat, yang di
dalamnya terdapat perhitungan, timbangan,
surga, dan neraka. Itu semua
akan terjadi setelah melewati alam
kubur dan alam barzakh. Mereka juga
menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang
dianut oleh sebagian pengingkar Hari
Kebangkitan, karena mempercayainya
berarti mendustakan Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi saw.
9.
Mereka meyakini bahwa nabi, rasul
terakhir dan yang paling utama adalah
Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib saw., yang telah dijaga dari
kesalahan dan ketergelinciran, dan
Allah telah memeliharanya dari segala
maksiat, baik yang besar maupun
yang kecil, sebelum dan sesudah
menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan
Al-Quran kepadanya untuk
dijadikan sebagai pedoman hidup
manusia sepanjang masa. Nabi saw.
telah meyampaikan risalah Allah swt.
dan menunaikan amanat-Nya dengan
benar dan ikhlas. Kaum Syiah mempunyai
puluhan ribu karya di bidang
penulisan sirah nabawi, kepribadian,
sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizatmukjizat
Nabi saw.
10.
Mereka meyakini bahwa Al-Quran
kitab suci yang diturunkan kepada
Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan
ditulis oleh sekelompok sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka
adalah Ali bin Abi Thalib a.s. pada
masa Nabi saw. dan melakukan penulisan
wahyu di bawah pengawasannya.
Dengan perintah dan petunjuknya,
mereka menghafal dan menyempurnakannya,
menghitung huruf-hurufnya,
kata-katanya, surat-surat dan ayat-ayatnya.
Lalu mereka mengamanatkan ke
generasi berikutnya. Kitab suci inilah
yang dibaca kaum Muslimin saat ini
dengan berbagai macam kelompok,
siang dan malam, tanpa ada penambahan,
pengurangan dan perubahan.
Kaum Syiah dalam bidang ini memiliki
karya-karya tulis yang banyak, baik
yang besar maupun yang kecil.
11.
Mereka meyakini bahwa tatkala
Rasulullah saw. sudah dekat ajalnya,
beliau mengangkat Imam Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah dan pemimpin
umat Islam sepeninggalnya secara
politis. Beliau mengarahkan mereka
kepada Imam Ali untuk mengikutinya,
baik dalam pemikiran atau dalam
pemecahan persoalan hidup mereka,
dan meneruskan pendidikan dan pembinaan
mereka. Pengangkatan itu atas
dasar perintah dari Allah swt. di sebuah
tempat yang dikenal dengan
nama “Ghadir Khum” di akhir usia
dan haji terakhir beliau, dan di tengah
kumpulan manusia yang ikut berhaji
dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat, jumlah mereka lebih dari 100
ribu orang.
Pada kesempatan itu, beberapa ayat
Al-Quran telah turun, di antaranya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا
أُنزِّلَ إِّلَيْكَ مِّن رَّ بِّكَ وَإِّن
لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِّسَالَتَهُ وَا للّ
ه
ُ يَعْصِّمُكَ مِّنَ
النَّاسِّ إِّنَّ ا للّهَ لاَ يَهْدِّي
الْقَوْمَ الْكَافِّرِّين
“Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu,
dan jika engkau tidak
melaksanakannya berarti engkau tidak
menyampaikan risalah-Nya. Dan
Allah akan melindungimu dari
manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum
yang kafir.”
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِّينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِّعْمَتِّي وَرَضِّيتُ
لَكُمُ الإِّسْلاَمَ دِّينًا
“Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu
agamamu dan Aku cukupkan nikmat-Ku
kepadamu dan Aku relakan Islam sebagai
agamamu.”
الْيَوْمَ يَئِّسَ الَّذِّينَ كَفَرُواْ مِّن
دِّينِّكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْن
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus
asa dari agamamu, maka janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku.”
سَأَلَ سَائِّلٌ بِّعَذَابٍ وَاقِّع لِّلْكَافِّرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِّع
“Seorang penanya bertanya tentang suatu
kejadian ke atas orang-orang kafir, azab
yang tidak ada penghalang (langsung).”
Begitu juga Nabi saw. meminta umat
Islam agar berbaiat kepada Imam Ali
dengan berjabat tangannya. Maka mereka
pun segera berbaiat. Dan orang
pertama yang berbaiat dari mereka
adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar,
serta sahabat-sahabat ternama.
12.
Mereka meyakini bahwa imam setelah
Rasulullah saw. harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan beliau
semasa hidup beliau, yaitu tugas-tugas
memimpin dan memberikan petunjuk,
pendidikan dan pengajaran, menjelaskan
hukum-hukum, mengatasi
problematika pemikiran, serta menjelaskan
urusan sosial yang penting.
Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan
umat, agar mereka bisa
diarahkan pada ketentraman. Oleh
karena itu, seorang imam menyerupai
Nabi saw. dalam kemampuan dan
sifat, di antaranya kemaksuman
('ishmah) dan ilmu yang luas. Karena,
imam sama seperti Nabi saw. dalam
kewenangan dan tanggung jawab kecuali
menerima wahyu dan kenabian,
sebab kenabian telah tertutup dan
berakhir pada Nabi Muhammad saw.;
beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Agamanya adalah pemungkas
seluruh agama, syariatnya pemungkas
seluruh syariat, kitabnya pemungkas
seluruh syariat, kitabnya pemungkas
seluruh kitab. Tidak ada nabi setelahnya,
tidak ada agama setelah agamanya,
tidak ada syariat setelah syariatnya.
Dalam hal ini Syiah memiliki karyakarya
tulis yang banyak dan berbagai
corak.
13.
Mereka meyakini bahwa kebutuhan
umat terhadap pemimpin yang laik
dan maksum, mengharuskan agar tidak
cukup dengan penunjukan Ali a.s.
saja sebagai khalifah dan pemimpin
setelah Nabi, tetapi ini harus berkesinambungan
sampai masa yang panjang
dan sampai akar-akar Islam mengokoh
dan dasar-dasar syariat terjaga,
serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala bahaya yang mengancam setiap
akidah dan hukum-hukum Allah swt.
Hendaknya para imam dapat memberikan
contoh praktis dan agenda yang
sesuai dengan kondisi-kondisi yang
akan dialami umat Islam setelahnya.
14.
Mereka meyakini bahwa karena sebab
tersebut di atas dan karena
adanya hikmah yang tinggi, dengan
perintah Allah swt., Nabi saw. telah
menentukan 11 imam setelah Imam
Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian,
jumlah mereka adalah 12 imam.
Dalam jumlah ini bahkan nama etnis
mereka (Quraisy) telah disinggung,
meski tidak disebutkan nama dan ciriciri
khasnya, dalam kitab Shahîh
Bukhôrî, Shahîh Muslim, dengan beragam
redaksi, seperti yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya agama ini senantiasa berjalan, tegak,
mulia dan kuat selama di tengah umat
ada dua belas pemimpin atau khalifah
yang semuanya berasal dari Quraisy”
(atau Bani Hasyim, sebagaimana yang
terdapat dalam sejumlah referensi).
Bahkan disebutkan pula nama-nama
mereka dalam sebagian kitab selain
Kutub Al-Sittah, yaitu buku-buku tentang
keutamaan (manâqib), syair dan
sastra. Meskipun hadis-hadis ini tidak
secara langsung menyebutkan dan
menentukan dua belas imam, yaitu
Imam Ali dan 11 imam dari keturunannya,
hanya saja hadis-hadis tersebut
tidak bisa dimaknai kecuali berdasarkan
keyakinan Syiah Ja’fariyah.
Dan tidak ada penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali
penafsiran mereka.
15.
Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa 12
imam itu ialah :
1. Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba
a.s.
2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.
3. Imam Husain Sayyid Al-Syuhada
a.s. (keduanya adalah putra Imam
Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan
cucunda Nabi saw.).
4. Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad
a.s.
5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-
Shadiq a.s.
7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim
a.s.
8. Imam Ali bin Musa Al-Ridha a.s.
9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-
Al-Taqi a.s.
10. Imam Ali bin Muhammad Al-
Hadi- Al-Naqi) a.s.
11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari
a.s.
12. Imam Muhammad bin Hasan
Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan
dan dinantikan.
Para ahli sastra terkemuka dari luar mazhab Syiah, baik dari kalangan Arab
ataupun non-Arab, telah membuat
bait-bait puisi secara terinci yang memuat
nama-nama 12 imam seperti:
Haskafi, Ibnu Thulun, Fadhl bin Ruz
Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur
dan Maulawi dari pengikut Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan imam
lainnya. Di sini kami hanya sebutkan
dua qasidah sebagai contoh: pertama
kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama
abad VI Hijriah:
“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya
Hasan dan Husain, kemudian
Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad
Al-Bagir.
Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa
Al-Khazim, dan setelahnya
Ali (Al-Ridha) yang menjadi waliyulAhad, kemudian putranya Muhammad
(Al-Jawad).
Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya
yang benar dan jujur, Hasan (Al-
Askari)
Selanjutnya Muhammad bin Hasan
yang diyakini oleh orang-orang bahwa
mereka adalah imam-imamku, tuanku.
Meskipun orang-orang mencaciku dan
mendustakannya dan mencaci para
imam, ketahuilah, muliakanlah mereka
para imam yang namanya telah terjaga
dan tidak bisa ditolak.
Mereka itu hujah-hujah Allah atas
hamba-Nya, mereka adalah jalan dan
tempat tujuan.
Mereka di waktu siang berpuasa untuk
Tuhan, dan di malam hari mereka rukuk dan sujud di hadapan Tuhan-
Nya”.
Qasidah yang kedua dari Syamsuddin
bin Muhammad bin Thulun Ulama
abad X Hijriah:
“Kalian harus berpegang pada 12 imam
dari keluarga Musthafa Rasul, sebaikbaik
manusia, yaitu
Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan
Husain.
Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin
perbuatan tercela
Muhammad Al-Bagir yang mengetahui
betapa banyak ilmu.
Al-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara
manusia
Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya Ali.
Al-Ridha yang tinggi kedudukannya.
Muhammad Al-Taqi yang hatinya
penuh dan makmur dengan cahaya dan
hikmah
Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya
tersebar.
Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan
Dan muhammad Al-Mahdi yang akan
muncul.
Sesungguhnya mereka adalah Ahlul
Bait yang, berdasarkan perintah Allah
swt., telah ditentukan oleh Nabi saw.
sebagai pemimpin umat Islam, karena
kemaksuman dan kesucian mereka
dari kesalahan dan dosa, dan karena
ilmu mereka yang luas yang telah
mereka warisi dari Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai
dan mengikuti mereka. Dalam
hal ini Allah swt. berfiman:
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِّ أَجْرًا إِّلَّا
الْمَوَدَّةَ فِّي الْقُرْبَى
“Katakan hai Muhammad, Aku tidak
meminta kepada kalian upah atas apa
yang aku lakukan kecuali kecintaan
kepada keluargaku.”
Dan dalam ayat yang lain Allah swt.
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِّينَ آمَنُواْ
اتَّقُواْ ا للَّ
ه
وَكُونُواْ مَعَ
الصَّادِّقِّين
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.”
16.
Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa
para imam suci dimana sejarah belum
pernah mencatat dari mereka penyelewengan
atau kemaksiatan, baik
dalam ucapan ataupun perbuatan,
dengan bekal ilmu yang luas telah
berkhidmat kepada umat Islam dan
memperkaya mereka dengan pengetahuan
yang dalam serta pandangan
yang benar dalam akidah, syariat,
akhlak, sastra, tafsir, sejarah serta
membuka cakrawala masa depan.
Demikian juga, mereka telah mendidik
atau membina melalui ucapan
atau perbuatan sekelompok laki-laki
dan perempuan yang unggul di mana
semua orang telah mengenal mereka dengan keutamaannya, ilmunya dan
kebaikan prilakunya.
Syiah Ja’fariyah memandang bahwa
meskipun para imam telah dijauhkan
dari kedudukan kepemimpinan politis,
tetapi mereka telah menunaikan dan
menyampaikan misi intelektual dan
tugas sosial mereka dengan sebaikbaiknya,
karena mereka telah menjaga
dasar-dasar akidah dan pilar-pilar syariat
dari ancaman penyimpangan.
Sekiranya umat Islam memberikan
kesempatan kepada para imam untuk
melakukan peran politik yang telah
Nabi saw. berikan kepada mereka (para
imam) atas dasar perintah Allah swt.,
niscaya umat Islam akan mencapai
kebahagian dan kemuliaan, serta keagungannya
secara penuh, dan mereka
akan menjadi satu, bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf, pertentangan,
peperangan, saling bunuhmembunuh,
dan mereka tidak hina
dan diremahkan.
17.
Dengan menunjuk dalil-dalil
Naqli dan Aqli, yang begitu banyak
disebutkan dalam buku-buku Akidah,
mereka meyakini bahwa umat Islam
hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi
saw., dan senantiasa berada di jalannya,
karena jalan Ahlul Bait adalah
jalan yang telah digariskan oleh Nabi
saw. untuk umat dan beliau telah
mewasiatkan kepada umat agar menapaki
jalan mereka dan berpegang teguh
pada mareka, sebagaimana dalam
hadis “Tsaqalain” yang mutawatir,
seraya berkata:
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan
untuk kalian dua pusaka: kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku—Ahlul
Bait. Selama berpegang teguh pada
keduanya, kalian tidak akan tersesat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim
dalam shahihnya dan oleh puluhan
ahli-ahli hadis dan ulama-ulama di
setiap abad.
Begitu pula, pengangkatan khalifah
dan pewasiatan seperti ini adalah hal
yang lazim dalam kehidupan para
nabi-nabi terdahulu.
18.
Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa
umat Islam hendaknya mendiskusikan
dan mempelajari masalah-masalah
seperti ini dengan menjauhkan diri
dari fitnah, prasangka, caci maki,
tuduhan yang tak beralasan. Dan hendaknya
para ulama dan cendikiawan
dari seluruh kelompok dan golongan Islam berkumpul dalam forum-forum
ilmiah, mempelajari dengan lapang
dada dan ikhlas serta dengan semangat
persaudaraan dan kejujuran
seputar klaim-klaim saudara-saudara
mereka dari kaum Syiah Ja’fariah,
serta dalil-dalil yang mereka bawakan
untuk membuktikan pendapat dan
pandangannya berdasarkan Al-Quran,
hadis mutawatir dari Rasulullah saw.,
akal sehat, fakta sejarah, keadaan
politik dan sosial secara umum pada
masa Nabi saw. dan setelahnya.
19.
Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa
para sahabat dan orang-orang yang
berada di sekeliling Nabi dari kaum
laki-laki dan perempuan telah berkhidmat
kepada Islam dan mereka
telah mengerahkan seluruh jiwa dan
raga di jalan penyebaran Islam.
Hendaknya umat Islam menghormati
mereka, menghargai perjuangan dan
bakti mereka serta memohon kerelaan
mereka. Hanya saja, hal ini tidak
berarti menganggap semua yang hidup
semasa Nabi saw. sebagai manusiamanusia
yang mutlak adil, tidak pula
berarti sebagian sikap dan perbuatanperbuatan
mereka tidak bisa dikritik,
karena mereka adalah manusia yang
juga bisa salah dan bisa benar.
Sejarah telah menyebutkan bahwa
sebagian mereka telah menyimpang
dari jalan yang benar meskipun di
masa hidup Nabi saw. Bahkan Al-
Quran secara eksplisit menyebutkan
adanya penyimpangan itu di sebagian
surat dan ayat-ayatnya, seperti surat
Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat,
Al-Tahrim, Fath, Muhammad dan Al-Taubah.
Kritik yang sehat terhadap suatu
golongan tidaklah dinyatakan kafir,
karena tolak ukur iman dan kufur
sangat jelas, yaitu mengakui atau
menafikan tauhid dan kenabian, serta
hal-hal yang sangat mudah dimengerti
(badihi) dari masalah agama, seperti
kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya
arak, khamar, judi dan hukumhukum
lainnya.
Memang, lidah harus dijaga dari
perbuatan mencaci maki, juga pikiran
harus dijaga dari cara bernalar yang
dangkal, karena hal ini bukanlah
karakter seorang Muslim yang terdidik,
yang mengikuti prilaku Nabi
Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan
para sahabat itu adalah orangorang
baik yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu
diketahui bahwa ketundukan mereka
pada kaidah jarah wa ta’dil (yaitu
sebuah kaidah ilmu Rijal yang mempertimbangkan
kualitas kepribadian
para perawi hadis, -peny.), yaitu
meneliti hadis-hadis Nabi saw. yang
shahih dan dianggap kuat, padahal
telah diketahui pula banyaknya kebohongan
yang telah dinisbatkan kepada
beliau, sebagaimana yang telah banyak
diketahui. Nabi saw. sendiri
bahkan telah mengabarkan akan
terjadinya hal itu, dan kalian pula
yang mendorong ulama-ulama kedua
kelompok (Sunnah-Syiah) seperti: Suyuthi,
Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk
menulis buku-buku yang berbobot
yang dapat menyaring mana hadis
yang benar-benar keluar dari Nabi dan mana hadis maudhu’ (palsu).
20.
Syiah Ja’fariyah meyakini adanya
Imam Mahdi a.s. yang dinanti
berdasarkan riwayat-riwayat yang
begitu banyak dari Nabi saw. yang
menyebutkan bahwa dia dari keturunan
Siti Fatimah, dan dia keturunan
yang kesembilan dari Imam Husain
a.s., karena anak atau keturunan yang
kedelapan dari Imam Husain adalah
Imam Hasan Al-Askari yang telah
meninggal pada tahun 260 H dan
tidak mempunyai anak kecuali anak
laki-laki yang bernama Muhammad.
Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi
nama panggilan Abul Qasim. Banyak
orang-orang terpercaya dari umat
Islam yang telah melihatnya. Dan
mereka telah mengabarkan akan kelahirannya,
ciri-ciri khasnya, keimama hannya dan pernyataan ayahnya yang
menetapkan kepemimpinannya.
Imam Mahdi a.s. telah gaib setelah 50
tahun dari kelahirannya, karena
musuh-musuh ingin membunuhnya.
Oleh karena itu, Allah swt. menyimpannya
untuk menegakkan pemerintahan
yang adil, universal pada akhir
zaman, dan mensucikan bumi dari
kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi
oleh keduanya.
Maka tidak aneh dan tidak pula
mengherankan akan panjangnya usia
Imam Mahdi a.s. dan masih hidup
sampai sekarang, meskipun sudah
melampaui abad 20 dari kelahirannya.
Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah
hidup sampai 950 tahun di tengah
umatnya, dan menyeru mereka kepada
Allah swt., atau Nabi Haidir a.s. yang hidup sampai saat ini.
Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu,
dan kehendaknya berjalan tanpa
ada yang bisa mencegah dan menolaknya.
Bukankah Allah swt. telah
menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s.
dalam firmannya:
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِّنْ الْمُسَبحِّينَ
لَلَبِّثَ فِّي بَطْنِّهِّ إِّلَى يَوْمِّ
يُبْعَثُون
“Maka, sekiranya ia tidak termasuk
orang-orang yang banyak mengingat Allah,
niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan
itu sampai Hari Kebangkitan.”
Sebagian besar ulama Ahli Sunnah
meyakini kelahiran Imam Mahdi a.s.
dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan
nama kedua orang tuanya,
serta sifat-sifatnya. Di antara mereka
ialah:
1. Abdul Mu’min Syablanji Al-
Syafi’i dalam Al-Abshûr fi Manâqib
Nabî Al-Muchtâr.
2. Ibnu Hajar Haitami Makki Al-
Syafi’i, Al-Showâ‘iq Al-Muhriqah. Ia
menulis, “Dialah Al-Hujjah, ditinggal
wafat oleh ayahnya pada usia lima
tahun, tetapi Allah swt. memberikan
hikmah padanya. Dia juga disebut
sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.
3. Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-
Balkhi dalam bukunya, Yanâbî‘ Al-
Mawaddah, yang dicetak di ibukota
Turki masa Dinasti Otoman.
4. Sayyid Muhammad Shiddiq Hasan Al-Qanuji Al-Bukha dalam Al-
Izhaa’ah li man Kana wa man Yakunu
baina Yaday Al-Sâ’ah.
Mereka ini termasuk ulama-ulama
terdahulu. Adapun dari ulama-ulama
mutakhir seperti: Dr. Musthafa Rafi’i
dalam bukunya Islâmunâ, telah
memaparkan masalah ini secara
panjang lebar dan menjawab seluruh
kritik seputar masalah ini.
21.
Kaum Syiah Ja’fariyah melakukan
shalat, puasa, haji, membayar khumus
(1/5) dari pendapatan mereka, haji ke
Mekkah yang mulia, melaksanakan
manasik umrah dan haji seumur
hidup sekali, memerintahkan yang
makruf dan melarang yang munkar,
berpihak kepada wali-wali Allah dan
para nabi-Nya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh nabi-
Nya, berjihad di jalan Allah terhadap
setiap orang kafir atau musyrik yang
terang-terangan memerangi Islam,
dan terhadap setiap orang yang berbuat
makar terhadap umat Islam.
Mereka melakukan kegiatan-kegiatan
ekonomi, sosial, keluarga, seperti jual
beli, penyewaan, nikah, talak, warisan,
pendidikan, menyusui, hijab dan lain
sebagainya, sesuai dengan hukumhukum
Islam yang benar dan lurus.
Mereka mengamalkan hukum-hukum
ini dari proses ijtihad yang dilakukan
oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka
yang warak dengan berdasarkan pada
hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul
Bait, akal dan ijma’ ulama.
22.
Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian memiliki
waktu tertentu, dan waktu-waktu
shalat harian adalah Subuh, Zuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya. Yang paling
penting adalah melakukan setiap
shalat pada waktunya yang khusus.
Hanya saja, mereka melakukan jamak
antara dua shalat Zuhur dan Ashar
dan antara Magrib dan Isya karena
Rasulullah saw. melakukan jamak dua
shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan
tidak dalam berpergian, sebagaimana
yang disebutkan dalam Shahih Muslim
dan kitab hadis lainnya, “Sebagai
keringanan untuk umat serta untuk
mempermudah bagi mereka”. Dan itu
telah menjadi masalah biasa pada
masa kita sekarang ini.
23.
Mereka mengumandangkan azan
sebagaimana azannya umat Islam yang lain. Bedanya, setelah bait hayya
‘alal falâh, mereka menyebutkan hayya
‘alâ khayril ‘amal, karena bait ini telah
ada sejak zaman Nabi saw. Hanya
saja, pada zaman Umar bin Khaththab,
bait itu dihapus atas dasar
ijtihad pribadinya, dengan alasan
bahwa hal itu dapat memalingkan
umat Islam dari berjihad, padahal
mereka tahu bahwa shalat adalah
sebaik-baik perbuatan sebagaimana
pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari
dalam Syarh Tajrîd Al-I’tiqad, Al-
Mushannaf, Muttaqi Hindi, Kanz Al-
Ummal.
24.
Umar bin Khaththab telah
menambahkan sebuah bait Ashalâtu
khairul minan Naûm, dimana bait ini
tidak pernah ada di zaman Nabi saw.
Dan sesungguhnya ibadah dan syaratsyaratnya
dalam Islam harus berdasarkan
pada perintah dan izin syariat
yang suci. Artinya, segalanya harus
berlandaskan pada nash yang khusus
ataupun yang umum dari Al-Quran
dan hadis. Bila tidak, maka hal itu
dikatakan sebagai bid’ah yang tertolak.
Oleh karena itu, dalam ibadah,
bahkan dalam setiap masalah syariat,
tidak boleh ada penambahan atau
pengurangan atas dasar pendapat
pribadi.
Adapun apa yang ditambahkan Syiah
Ja’fariyah setelah bait syahadah kepada
Rasulullah saw. (Asyhadu anna
Muhammadan Rasûlullah), yaitu bait
Asyhadu anna Aliyan waliyullah, adalah
karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang
menjelaskan bahwa tidaklah disebutkan
kalimat “Muhammad Rasulullah”
atau tidaklah ditulis kalimat tersebut
di atas pintu surga, kecuali diikuti
dengan kalimat ‘Aliyan waliyullah, yaitu
sebuah kalimat yang menjelaskan
bahwa Syiah tidak mempercayai kenabian
Ali bin Abi Thalib, apa lagi
sampai mengatakan ketuhanannya.
Karena itu, diperbolehkan membaca
kalimat itu setelah dua syahadat
dengan niat bahwa itu tidak termasuk
bagian atau kewajiban dari azan.
Inilah pendapat mayoritas ulamaulama
ahli fiqih Syiah Ja'fariyah.
Oleh sebab itu, kalimat tambahan
yang dibaca ini bukan bagian dari
azan sebagaimana yang telah kami
katakan. Dengan demikian bukan termasuk dari yang tidak ada pada
mulanya dalam syariat, tidak pula
termasuk bid’ah.
24.
Mereka sujud di atas tanah , debu,
kerikil, atau di atas batu dan apa saja
yang termasuk bagian dari bumi atau
tanah dan yang tumbuh di atasnya,
seperti tikar yang bukan terbuat dari
kain dan bukan pula yang dimakan,
dan yang manis. Karena ada banyak
riwayat di dalam sumber-sumber
Syiah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan
Nabi saw. adalah sujud di atas
debu atau tanah, bahkan memerintahkan
Muslimin agar mengikutinya.
Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas
sorban, karena takut akan panas yang
menyengat. Maka Nabi saw. menarik
sorban dari dahinya dan berkata, “Ratakan dahimu dengan tanah, hai
Bilal!” Begitu juga, Nabi saw. pernah
mengatakan kepada Shuhaib dan Rabah,
“Ratakan wajahmu, hai Shuhaib,
dan ratakan pula wajahmu, wahai
Rabah!”
Sebagaimana yang disebutkan dalam
Sahih Bukhari dan lainnya, Nabi saw.
juga bersabda, “Bumi atau tanah ini
telah dijadikan untukku sebagai tempat
sujud yang suci.”
Oleh karena itu, sujud dan meletakkan
dahi di atas tanah merupakan hal
yang paling layak dihadapan Allah
swt., dimana hal itu mendatangkan
kekhusyukan dan cara terdekat untuk
merendahkan diri di hadapan Allah
swt., juga dapat mengingatkan manusia
akan asal muasal wujudnya.
Allah swt. berfiman:
مِّنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِّيهَا
نُعِّيدُكُمْ وَمِّنْهَا نُخْرِّجُكُمْ تَارَةً
أُخْرَى
“Dari bumi (tanah) itulah kami
menjadikan kamu dan kepadanya kami
akan kembalikan kamu sekalian, serta
darinya kami akan mengeluarkan
(membangkitkan) kamu pada kali yang
lain.”
Sesungguhnya sujud adalah puncak
ketundukan yang tidak bisa terealisir
dengan sujud di atas sajadah, karpet
atau batu-batuan permata yang berharga.
Puncak ketundukan itu hanya
terealisir dengan meletakkan anggota
badan yang paling mulia, yaitu dahi,
di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.
Tentunya, debu tersebut harus suci.
Orang-orang Syiah selalu membawa
sepotong dari tanah yang sudah
dipres dan sudah jelas kesuciaannya.
Mungkin juga tanah ini diambil dari
tanah yang penuh berkah, seperti
tanah Karbala. Di sanalah Imam
Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur
sebagai syahid sehingga tanah itu
penuh berkah. Sebagaimana sebagian
sahabat Nabi saw. menjadikan batu
Mekkah sebagai tempat sujud dalam
perjalanan-perjalanan mereka dan
untuk mendapatkan berkahnya.
Meski demikian, Syiah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya
sebagai suatu keharusan.
Mereka hanya membolehkan Sujud di
atas batu apa saja yang bersih dan
suci seperti lantai masjid Nabawi
yang mulia dan lantai Masjidil Haram.
Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan
tangan kanan di atas tangan
kiri) ketika melakukan shalat, karena
Nabi saw. tidak pernah melakukan
hal itu, juga karena tidak ada nash
yang kuat dan jelas yang menganjurkan
hal itu. Karenanya, penganut
mazhab Maliki juga tidak melakukan
sedekap dalam shalat.
25.
Syiah Ja’fariyah berwudhu dengan
membasuh kedua tangan; dari sikusiku
sampai ujung jari-jari, bukan
kebalikannya, karena mereka mengambil
cara berwudhu para imam
Ahlul Bait yang telah mengambilnya
dari Nabi saw. Tentunya, para imam
lebih mengetahui dari pada yang
lainnya tentang apa yang dilakukan
oleh kakek mereka. Rasulullah saw.
Telah berwudhu dengan cara demikian
itu, dan tidak menafsirkan kata
(ilaa/الی
) dalam ayat wudhu (Al-
Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ .(مع
Hal ini juga dinyatakan Imam Syafi’i
dalam Nihâyat Al-Muhtaj. Begitu juga
dalam berwudhu, mereka mengusap kaki dan kepala (dan tidak membasuh
keduanya), dengan alasan yang sama
yang telah dijelaskan di atas. Juga
karena Ibnu Abbas mengatakan, “Wudhu
itu dengan dua basuhan dan dua
usapan.”
26.
Syiah Ja’fariyah membolehkan nikah
mut’ah berdasarkan nash Al-Quran,
sebagaimana dalam firman-Nya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِّهِّ مِّنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُن
“Maka istri-istri yang telah kalian
nikmati di antara mereka, berikanlah
mahar mereka sebagai suatu kewajiban”.
Di samping itu, para sahabat dan
orang-orang Islam pada masa Rasulullah
saw. sampai pertengahan masa
khilafah Umar bin Khaththab telah
melakukan nikah mut’ah.
Mut’ah adalah pernikahan syar’i yang
persyaratannya sama dengan nikah
permanen (da’im), yaitu:
b. Hendaknya status pihak wanita tidak
bersuami, dan membaca shighah
ijab, sementara pihak laki-laki melaksanakan
shighah kabul.
c. Pihak laki-laki wajib memberikan
harta kepada wanita yang disebut
mahar dalam nikah da’im dan dalam
nikah mut’ah disebut upah, sebagaimana
yang disebutkan dalam Al-
Quran.
d. Wanita harus menjalani iddah (setelah cerai dengan suaminya).
e. Wanita harus menjalani iddah setelah
masa mut’ahnya habis. Apabila
ia melahirkan seorang anak, maka
nasab anak itu ikut kepada ayahnya.
Juga seorang wanita hanya dapat
memiliki satu suami saja.
f. Dalam pewarisan antara anak dan
ayahnya, antara anak dan ibunya, dan
begitu juga sebaliknya.
Yang membedakan nikah da’im dengan
nikah mut’ah adalah bahwa
dalam nikah mut’ah, terdapat penentuan
masa, tidak adanya kewajiban
memberikan nafkah dan masa gilir
atas suami untuk istri mut’ah, tidak
adanya saling mewarisi antara suami
dan istri, tidak perlu adanya talak,
tetapi cukup dengan habisnya masa yang telah ditentukan, atau menghibahkan
sisa masa yang telah di
tentukan tersebut.
Hikmah disyariatkannya nikah semacam
ini adalah tuntunan yang disyariatkan
dan bersyarat untuk kebutuhan
biologis laki-laki dan perempuan
yang tidak mampu menjalankan setiap
kewajiban-kewajiban dalam nikah da’im
(permanen), atau karena adanya halangan
dari istri yang terjadi akibat
kematian atau sebab yang lainnya,
begitu pula sebaliknya. Semua ini
masih dalam rangka membina kehidupan
yang terhormat dan mulia.
Maka itu, nikah mut’ah adalah salah
satu solusi bagi kebanyakan problematika
sosial yang cukup serius dan
berbahaya, dan juga untuk mencegah
terperosoknya masyarakat Islam dalam kerusakan dengan menghalalkan
segala macam cara.
Terkadang, nikah mut’ah digunakan
dengan tujuan agar kedua calon suami
istri saling mengenal sebelum
memasuki jenjang pernikahan permanen.
Hal demikian ini dapat mencegah
perjumpaan yang diharamkan, zina,
mengkebiri, atau cara-cara lain yang
diharamkan seperti masturbasi, bagi
orang yang tidak sabar atas satu orang
istri atau lebih dari satu, misalnya,
secara ekonomi dan nafkahnya, serta
pada saat yang sama dia tidak ingin
terjerumus ke dalam yang haram.
Yang jelas, nikah mut’ah bersandar
pada Al-Quran dan sunnah, dan
sahabat pernah melakukan itu selama
beberapa masa. Seandainya nikah
mut’ah dianggap sama dengan zina, maka itu berarti Al-Quran, Nabi saw.
dan para sahabat telah menghalalkan
zina dan para pelakunya telah berbuat
zina dalam masa yang cukup lama.
Kami berlindung kepada Allah dari
keyakinan seperti ini.
Di samping itu, penghapusan hukum
nikah mut’ah tersebut tidak berdasarkan
Al-Quran dan sunnah, dan
tidak ada dalil yang kuat dan jelas.
Akan tetapi, meskipun Syiah Ja'fariyah
menghalalkan nikah mut‘ah
dengan adanya nash Al-Quran dan
sunnah, mereka sangat menganjurkan
dan mengutamakan nikah daim dan
menegakkan nilai-nilai keluarga, karena hal itu adalah dasar dan pilar
masyarakat yang kuat dan sehat, dan
tidak condong kepada nikah sementara
yang dalam bahasa syariat dinamakan
mut’ah, meskipun halal dan
disyariatkan.
Sehubungan dengan itu, Syiah Ja‘fariyah
bersandar pada Al-Quran, hadis
dan nasehat-nasehat para imam Ahlul
Bait a.s. yang memberikan nilai yang
besar kepada kaum wanita; kedudukan
mereka, masalah-masalah serta
hak-hak mereka, terutama dalam
pergaulan etika seperti: kepemilikan,
nikah, talak, pengasuhan, penyusuan,
ibadah, al-mu’amalat (hukum-hukum
syar’i yang mengatur hubungan kepentingan
individual dan layak untuk
dicermati dalam riwayat-riwayat para
imam dan fiqih mereka).
27.
Syiah Ja’fariyah mengharamkan
zina, homoseks, riba, membunuh
orang yang terhormat, minuman arak,
berjudi, melanggar janji, menipu,
memalsu, menimbun, merampok,
mencuri, khianat, dendam, bernyanyi
dan menari, memfitnah dan menuduh
palsu, adu domba, berbuat kerusakan,
mengganggu orang mukmin, menggibah,
mencaci-maki, berdusta dan
dosa-dosa lainnya, baik yang kecil
ataupun yang besar.
Mereka selalu berusaha selalu menjauhi
semua itu dan mengerahkan
segala upayanya untuk mencegah itu,
agar tidak sampai menimpa masyarakat
dengan berbagai sarananya,
seperti menyebarkan buku-buku dan
masalah-masalah etika dan pendidikan,
serta mendirikan acara-acara pengajian, khotbah Jum’at dan lain
sebagainya.
28.
Mereka peduli pada keutamaan dan
kemuliaan akhlak, selalu menyambut
nasehat dan antusias dalam mendengarkannya.
Mereka mengadakan
majelis pengajian dan acara di rumahrumah,
masjid-masjid dan tempattempat
lainya dalam acara peringatanperingatan
hari-hari besar dan berbagai
peringatan lainnya untuk tujuan
tersebut, karena kecintaan mereka
akan nasehat. Karena itu, mereka
mencurahkan doa-doa yang memiliki
manfaat yang besar, kandungannya
agung, yang datang dari Rasulullah
saw. dan para imam yang suci a.s.
Ahlul Bait Nabinya, seperti; doa
Kumail, doa Abu Hamzah, doa Simaat,
dan Jausyan Kabir (doa yang mencakup seribu nama dari nama-nama
Allah swt.), doa Makarimul Akhlak,
doa Iftitah (yang dibaca setiap bulan
Ramadhan). Mereka membaca doadoa
dan munajat-munajat yang amat
agung kandungannya ini dengan penuh
kekhusyukan dan dalam suasana
yang penuh dengan tangisan dan
kerendahan diri, karena hal itu dapat
membersihkan jiwa-jiwa mereka, serta
dapat mendekatkan mereka kepada
Allah swt.
29.
Mereka memberikan perhatian besar pada makam-makam Nabi saw.
dan para imam Ahlul Bait beliau di
Baqi’, Madinah Al-Munawarah, yang
mana di sana terdapat makam Imam
Hasan Al-Mujtaba, Imam Ali Zainal
Abidin, Imam Muhammad Al-Bagir
dan Imam Ja’far Al-Shadiq a.s.
Di Najaf, Irak, terdapat makam
Imam Ali bin Abi Thalib a.s, dan di
Karbala, makam Imam Husain bin
Ali a.s. beserta saudara-saudaranya,
anak-anaknya, anak-anak pamannya
dan para sahabatnya yang syahid
bersamanya pada Hari Asyura. Juga
di Samarra terdapat makam Imam Al-
Hadi a.s. dan Imam Hasan Al-Askari
a.s.
Di Kazhimain terdapat makam Imam
Al-Jawad a.s. dan Imam Musa Al-
Kazhim a.s. Semua itu berada di Irak.
Dan di kota Masyhad-Iran, terdapat
makam Imam Ali Al-Ridha a.s., serta
di kota Qom dan Syiraz kuburan
putra-putri beliau. Di Damaskus,
Syiria, ada makam pahlawan wanita
Karbala yaitu Sayyidah Zainab a.s. Di
Kairo, Mesir, ada makam Sayyidah
Nafisah a.s. Hal itu karena penghormatan
mereka kepada Rasulullah
saw., karena seorang laki-laki itu terjaga
dalam keturunannya, dan menghormati
keturunan tersebut berarti
menghormati orang tersebut. Al-
Quran telah menyanjung mereka dan
sebagian mereka ada yang bukan
Nabi, Al-Quran mengatakan:
ذُر يَّةً بَعْضُهَا مِّن بَعْضٍ
“Yaitu serta keturunan yang sebagiannya (keturunan) dan yang lain.”
Yaitu, kami akan membangun dan
mendirikan di atas makam-makam
Ashabul Kahfi tempat peribadatan
untuk menyembah Allah swt. di sisi
mereka. Dan Al-Quran mensifati
perbuatan mereka dengan syirik,
pertama, karena seorang Muslim yang
beriman akan berukuk dan bersujud
hanya kepada Allah dan menyembah
hanya kepada-Nya semata.
Seorang mukmin tidak akan datang
ke makam wali-wali Allah yang telah
Allah sucikan, kecuali karena kemuliaan
dan kesucian tempat tersebut
dengan adanya mereka, sebagaimana
yang terjadi pada makam Ibrahim a.s.
yang memiliki kesucian dan kemuliaan,
Allah swt. dalam surat
وَاتَّخِّذُواْ مِّن مَّقَامِّ إِّبْرَاهِّيمَ
مُصَلًّى
“Dan jadikanlah maqam Ibrahim (tempat
berdiri Nabi Ibrahim diwaktu membangun
Ka’bah) tempat mendirikan shalat.”
Orang yang shalat di belakang
makam itu tidak berarti ia telah
menyembah makam, juga orang yang
beribadah kepada Allah swt. dengan
sa’i (lari-lari kecil dalam haji) antara
bukit Shafa dan Marwah bukanlah
orang yang menyembah dua gunung.
Sesungguhnya Allah swt. memiliki
tempat yang suci dan penuh berkah
untuk beribadah kepada-Nya, karena hal itu di nisbatkan kepada Allah swt.
sendiri dalam kembali kepada-Nya.
Begitu juga waktu-waktu dan tempat
itu juga memiliki kesucian, seperti
hari Arafah, tanah Mina. Sebab
kesucian tempat-tempat dan hari-hari
itu adalah karena dinisbatkan kepada
Allah swt.
30.
Karena sebab ini pula, Syiah
Ja’fariyah mempunyai perhatian sebagaimana
umat Islam lainnya, yang
sadar dan mengerti kedudukan
Rasullah saw. beserta keluarga beliau
yang suci, yaitu dengan berziarah ke
kuburan Ahlul Bait Nabi karena kemuliaan
mereka, dan mengambil
pelajaran dari mereka, serta memperbaharui
bai’at kepada mereka dan
sebagai pengokohan perjuangan mereka dan tugas-tugas mereka. Karena,
mereka telah mencapai kesyahidan
saat menjaga nilai-nilai luhur tersebut.
Para penziarah makam-makam ini
akan mengingat dan mengenang
keutamaan-keutamaan sahabat yang
disebutkan dalam riwayat tersebut,
juga tentang perjuangan mereka, penegakan
mereka terhadap shalat, zakat
dan tugas yang mereka pikul, dan
bersabar atas gangguan dan siksaan
dalam mengemban tugas tersebut. Di
samping itu, melakukan demikian
karena keikutsertaan dalam kesedihan
Nabi saw. lantaran kemazluman (keteraniayaan)
keturunan beliau.
Bukankah beliau yang mengatakan
dalam peristiwa kesyahidan Hamzah
“Akan tetapi Hamzah, tak ada seorang
yang menangisinya”, sebagai mana tercatat dalam buku-buku
sejarah. Dan bukankah Nabi Muhammad
saw. telah menangis saat
kematian putra beliau, Ibrahim?!,
bukankah Nabi saw. sering pergi ke
Baqi’ untuk berziarah?!, bukankah
Nabi saw. telah mengatakan, “Ziarahilah
kubur! karena itu mengingatkan
kalian kepada akherat.”
Memang, menziarahi kubur para
Imam Ahlul Bait a.s. dan apa yang
telah disebutkan dalam sejarah mereka,
sikap jihad dan perjuangan mereka
mengingatkan dan memberikan
pendidikan kepada generasi-generasi
berikutnya tentang apa yang telah
disumbangkan oleh para orang besar mereka di jalan Islam dan kaum
Muslimin, dan tentang pengorbanan
mereka yang begitu besar. Begitu
juga, hal itu dapat menanamkan jiwa
kesatria serta jiwa pengorbanan dan
kesyahidan di jalan Allah swt.
Sesungguhnya hal itu adalah suatu
perbuatan manusiawi yang berperadaban
dan logis. Maka tidaklah aneh
bila umat-umat itu berupaya mengabadikan
tokoh-tokoh besar dan para
pencetus peradaban mereka, serta
menghidupkan acara-acara yang mengenang
jasa mereka dengan segala
bentuk dan coraknya. Karena demikian
itu dapat membangkitkan kebanggaan
dan penghormatan terhadap
perjuangan mereka, mengundang
umat yang lain untuk bergabung
bersamanya.
Dan itulah yang diharapkan Al-Quran
ketika menjadikan ayat-ayatnya kepada
tempat-tempat para nabi, wali, dan
orang-orang shalihin serta menyebutkan
kisah-kisahnya.
31.
Syiah Ja’fariyah meminta syafaat
kepada Nabi saw. dan para imam
Ahlul Bait yang suci, serta berwasilah
melalui mereka kepada Allah swt.
untuk pengampunan dosa-dosa, pengkabulan
hajat, penyembuhan orangorang
yang sakit, karena Al-Quran
yang membolehkan hal itu dan bahkan
menganjurkannya:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِّذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ
جَآؤ وكَ فَاسْتَغْفَرُواْ ا للَّ
ه
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُواْ ا للَّه تَوَّابًا رَّحِّيمًا
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya sendiri (berhakim
kepada selain dari Nabi) datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah dan Rasul pun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha penerima taubat lagi Maha
penyayang.”
Dan dalam ayat lain juga disebutkan :
وَلَسَوْفَ يُعْطِّيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan
karunia-Nya kepadamu, lalu hati kamu
menjadi puas.”
Yakni kedudukan syafaat.
Bagaimana masuk akal Allah swt.
akan memberikan kepada Nabi-Nya kedudukan syafa’at untuk orangorang
yang berdosa dan memberikan
maqam wasilah (perantara) bagi orangorang
yang memiliki hajat kemudian
dia menolak manusia yang meminta
syafa’at darinya, atau dia akan melarang
Nabi-Nya untuk menggunakan
kedudukan ini?!
Bukankah Allah swt. telah menceritakan
kepada anak-anak Ya’qub, yaitu
di saat mereka meminta syafaat dari
orang tuanya dan berkata:
يَا أَبَانَا اسْتَغْفِّرْ لَنَا
ذُنُوبَنَا إِّنَّا كُنَّا خَاطِّئِّين
“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun
bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.”
Maka, Nabi Ya’qub tidak menolak
permohonan mereka, dan menjawab:
سَوْفَ أَسْتَغْفِّرُ لَكُم
“Aku akan memohonkan ampun untuk
kalian kepada tuhanku.”
Tidak mungkin seseorang mengatakan
bahwa Nabi saw. dan para Imam
Maksum a.s. adalah orang-orang yang
telah mati, lantas orang itu meminta
doa dari mereka kemudian tidak ada
faedahnya. Mengapa?, karena para
nabi itu hidup, khususnya Rasulullah
saw. sebagaimana telah dinyatakan
di dalam Al-Quran:
وَكَذَلِّكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِّ
وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِّيدًا
“Dan demikian pula kami telah menjadikan
kalian sebagai umat yang adil dan pilihan
agar kalian menjadi saksi atas perbuatan
manusia dan agar Rasulullah menjadi
saksi atas perbuatan kalian.”
Juga ditegaskan:
وَقُلِّ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى ا للُّ
ه
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِّنُون
“Dan berbuatlah, maka Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang yang beriman akan
melihat pekerjaanmu itu.”
Ayat-ayat ini akan terus berlaku
sampai Hari Kiamat, selama matahari
dan bulan beredar, serta malam dan
siang silih berganti. Di samping itu,
karena Nabi dan para imam Ahlul
Bait a.s. adalah orang-orang yang
syahid (penyaksi), dan dalam pandangan
Al-Quran, mereka hidup sebagaimana
Allah swt. mengatakannya
dalam banyak ayat.
32.
Syiah Ja’fariyah mengadakan peringatan
atas kelahiran Nabi dan para
imam Ahlul Baitnya. Mereka mendirikan
peringatan atas hari wafat manusia-
manusia suci itu dengan tujuan
mengenang keutamaan, kebajikan dan
sikap mereka yang bijak dan terpuji,
sebagaimana telah disebutkan dalam
riwayat yang sahih dan sesuai dengan
apa yang telah disebutkan oleh Al-Quran dalam menunjukkan kebajikan
dan keutamaan Nabi saw. dan para
rasul lainnya. Al-Quran telah memuji
mereka serta mengarahkan perhatian
umat islam kepada mereka supaya
bisa mencontoh, mengikuti dan
mengambil pelajaran dari mereka.
Memang, Syiah Ja’fariyah dalam
acara-acara ini sangat menghindari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan,
seperti percampuran pertemuan
antara laki-laki dan perempuan, makanan
dan minuman yang diharamkan,
berlebihan dalam memuji, yakni
mengangkat manusia sampai kepada
tingkat pengultusan, atau menyakini
bahwa dia dapat berbuat sesuatu di
luar kehendak Tuhan, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Yahudi
dan Nasrani, dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan dan kepercayaankepercayaan
yang bertentangan dengan
ruh syariat Islam yang suci, dan
melampui batas-batas yang sudah
jelas, atau tidak sesuai dengan ayat
atau riwayat yang sahih, atau tidak
sesuai dengan kaidah umum yang
telah disimpulkan dari Al-Quran dan
hadis, secara benar.
33.
Syiah Ja’fariyah mengunakan bukubuku
hadis yang mencakup hadis
Nabi saw. dan Ahlul Bait beliau a.s.
seperti: Al-Kâfi karya Kulaini, Al-
Istibshôr dan Tahdzîb karyaThusi, serta
Man La Yahdûruhu Al Faqîh oleh
Syeikh Shaduq. Buku-buku tersebut
sangat bernilai sekali di bidang hadis.
Hanya saja, meskipun buku-buku
tersebut mencakup hadis-hadis sahih,
para penulis atau pengarangnya dan orang-orang Syiah Ja’fariyah sendiri
tidak memutlakkan dengan judul
shahih, karena para ulama fiqih tidak
meyakini kesahihan seluruh hadisnya,
mereka hanya mengambil hadis-hadis
tersebut bila dari beberapa sudut
pandang telah terbukti kesahihannya
dan meninggalkan riwayat-riwayat
yang tidak dianggap sahih, atau akan
mengambil hadis-hadis tersebut yang,
menurut ilmu Dirayah, ilmu Rijal dan
kaidah-kaidah ilmu Hadis, tidak bermasalah
dan tidak cacat.
34.
Begitu juga di bidang Akidah,
Fiqih, Doa dan Akhlak, mereka
menggunakan buku-buku lain yang di
dalamnya terdapat aneka macam
riwayat dari imam-imam Ahlul Bait
a.s. seperti kitab Nahj Al-Balâghah
yang dicatat oleh Sayyid Murtadha dari kumpulan-kumpulan khutbah Imam
Ali, surat-suratnya, hikmah-hikmah
pendeknya, Risâlah Al-Huquq, Shahifah
Sajjadiyah karya imam Ali Zainal
Abidin a.s. At-Tauhid, Al-Khisyâ, ‘Ilâlu
Al-Syara’i dan Ma’ani Al-Akhbâr karya
Syeikh Shaduq.
35.
Terkadang, Syiah Ja’fariyah bersandar
pada hadis-hadis shahih Nabi
saw. yang terdapat di dalam bukubuku
atau sumber-sumber hadis Ahli
Sunnah wal Jamaah. Perlu diketahui
pula, bahwa Syiah Imamiah juga
seperti Ahli Sunnah; mereka mengambil
apa-apa yang datang dari Nabi
saw., baik berupa ucapan, perbuatan
atau-pun restu Nabi saw., termasuk
juga riwayat tentang wasiat Nabi saw.
berkenaan dengan hak Ahlul Baitnya.
Dan mereka berpegang teguh kepadanya, baik di bidang akidah maupun
di bidang fiqih. Bukti yang paling
jelas adalah adanya buku-buku hadis
mereka, khususnya yang baru diterbitkan
akhir-akhir ini, dalam bentuk
Ensiklopedia terperinci yang terdiri
lebih dari 10 jilid, mencakup riwayatriwayat
Nabi saw. dari referensi dan
sumber Syiah yang diberi nama Sunan
Nabi (sunnah-sunnah Nabi saw.)
dalam berbagai bidang tanpa fanatisme
buta juga sebagai bukti, adanya
karangan-karangan mereka baik yang
dahulu maupun yang baru.
Dan banyak didapati hadis-hadis dari
sahabat-sahabat Nabi saw., istri beliau,
sahabat-sahabat yang masyhur serta
perawi-perawi besar, seperti Abu
Hurairah, Anas bin Malik dan namanama
lainnya dengan syarat shahih dan tidak bertentangan dengan Al-
Quran dan riwayat shahih lainya, juga
tidak bertentangan dengan akal budi
dan ijma’ ulama.
36.
Syiah Ja’fariyah memandang bahwa
bencana yang telah menimpah umat
Islam dahulu maupun sekarang adalah
disebabkan dua fakta:
Pertama: Umat Islam tidak mengenal
Ahlul Bait Nabi a.s. sebagai pemimpin
yang memiliki kelayakan untuk
memimpin, dan juga karena mereka
tidak mengetahui Ahlul Bait sebagai
pembimbing dan pengajar memberi
pengetahuan, khususnya sebagai penafsir
Al-Quran.
Kedua: Adanya perpecahan di antara
mazhab dan golongan Islam.
Karena itu, Syiah Ja’fariyah berupaya selalu untuk menyatukan barisan
umat Islam dan mengulurkan jabat
persaudaraan dan cinta kasih kepada
sesama, dengan cara menghormati
hasil-hasil ijtihad ulama dari golongan
dan mazhab serta menghormati kesimpulan
hokum mereka.
Dalam hal ini, ulama Syiah Ja’fariyah
sejak abad pertama telah terbiasa
dalam membawakan berbagai pendapat
ulama fiqih selain Syiah dalam
karya-karya tulis mereka, baik di
bidang Fiqih, Tafsir maupun Teologi,
seperti buku Al-Khilâf (di bidang
fiqih) karya Syaikh Thusi, Majma Al-
Bayân (di bidang tafsir) karya Thabarsi
yang telah mendapatkan pujian
ulama Al-Azhar, juga Tajrîd Al-‘Itiqôd
(di bidang teologi) karya Nashiruddin
Thusi yang telah diberi syarah oleh Alauddin Al-Qusyji Al-Asy’ari dari
ulama Ahli Sunnah.
37.
Ulama Syiah Ja’fariyah memandang
penting adanya dialog di antara ulama
berbagai mazhab di bidang Fiqih,
Akidah dan Syariat, juga memandang
penting upaya saling memahami
untuk mengatasi problema-problema
umat Islam dewasa ini, menjauhi
segala bentuk tuduhan yang tak
beralasan, serta menjauhi sikap saling
mencaci-maki, sehingga tercipta kondisi
yang stabil guna mewujudkan
pendekatan yang logis antara golongan
umat Islam, dan guna menutup
jalan bagi musuh-musuh Islam dan
Muslimin yang selalu mencari celahcelah
yang tepat untuk menghantam
habis seluruh umat Islam.
Oleh karena itu, dalam Islam, Syiah
Ja’fariyah tidak mengkafirkan seorang
pun dari ahli kiblat, apapun mazhab
fiqih dan aliran akidahnya, kecuali
dalam perkara yang umat Islam sepakat
atas pengkafirannya. Syiah Ja’fariyah
tidak memusuhi mereka, tidak
mengizinkan untuk menguasai mereka,
menghormati ijtihad masing-masing
golongan dan mazhab. Syiah Ja’fariyah
memandang benar perbuatan
orang yang berpindah mazhabnya
kepada Syiah Ja’fariyah, dan telah
gugur dari kewajibannya jika amal
perbuatannya sesuai dengan mazhab
sebelumnya dalam shalat, puasa, haji,
zakat, nikah, talak, jual-beli dan
lainnya, serta tidak wajib mengqadha
kewajiban-kewajiban yang lalu. Syiah
juga tidak mewajibkannya untuk memperbaharui akad nikah atau
talaknya selama pelaksanaan dua hal
ini pada mulanya sesuai dengan
mazhab yang dianutnya.
Kaum Syiah hidup bersama-sama
dengan saudara-saudara Muslim yang
lain di setiap tempat, sebagaimana
layaknya saudara dan kerabat sendiri.
Memang, mereka tidak sepakat dengan
mazhab penjajah, seperti aliran
Bahaiyah dan Qadiani, atau mazhabmazhab
yang serupa dengan mereka,
bahkan berupaya memerangi mereka
dan mengharamkan untuk bergabung
dengan mereka.
Dan Syiah Ja’fariyah menggunakan
taqiyah, yaitu menyembunyikan sesuatu
yang penting dari ajaran mazhab
dan keyakinannya, dan itu sering dilakukan oleh mazhab-mazhab yang
lain dalam situasi kemelut antara
golongan yang penting. Taqiyah dilakukan
karena dua hal:
Pertama: menjaga jiwa dan darah
mereka supaya tidak tertumpahkan
sia-sia.
Kedua: menjaga persatuan umat Islam
dan tidak menimbulkan perpecahan.
38.
Syiah Ja’fariyah memandang bahwa
di antara sebab-sebab kemunduran
umat Islam dewasa ini ialah kemunduran
pemikiran, budaya, pengetahuan,
sains dan teknologi. Dan jalan
keluarnya adalah menyadarkan umat
Islam, baik laki-laki maupun perempuan,
serta mengangkat taraf pemikiran,
budaya dan sainsnya dengan cara
menciptakan pusat-pusat pengembangan ilmiah, seperti universitasuniversitas,
pesantren-pesantren, serta
menggunakan hasil-hasil ilmu modern
dalam mengatasi persoalan ekonomi,
pembangunan fisik dan teknologi,
serta menanamkan kepercayaan diri
pada jasa-jasa putra bangsa untuk ikut
serta terjun di lapangan dan aktif
hingga terwujud swasembada dan kemandirian
dan mengikis kebergantungan
kepada Barat.
Oleh karena itu, penganut Syiah Ja‘-
fariyah, di mana saja mereka berada,
telah membangun pusat-pusat ilmiah,
dan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan untuk melahirkan ahli-ahli
dan para pakar di berbagai cabang
ilmu, sebagaimana mereka telah masuk
di berbagai universitas dan di
berbagai lembaga pendidikan di seluruh negara, dan sebagian telah menghasilkan
ulama-ulama dan pakarpakar
di berbagai bidang dan kancah
kehidupan yang telah menjadi pusatpusat
ilmiah tersebut.
39.
Syiah Ja’fariyah senantiasa menjalin
hubungan dengan ulama-ulama dan
ahli-ahli fiqih mereka lewat apa yang
dinamakan ‘taqlid’ dibidang hukumhukum.
Mereka merujukkan problem-
problem fiqihnya kepada para
mujtahid, dan mereka beramal dalam
seluruh aspek kehidupan mereka
sesuai dengan fatwa-fatwa ahli-ahli
fiqih mereka. Karena, ahli-ahli fiqih
dalam pandangan mereka adalah
wakil-wakil Imam Zaman a.s. Oleh
karena itu, ulama-ulama dan fuqaha
mereka tidak bersandar pada negaranegara
dan rezim-rezim dalam urusan kehidupan dan ekonomi. Mereka
mendapatkan kepercayaan yang besar
dari para pengikut mazhab yang besar
ini.
Perekonomian hauzah ilmiah (pesantren)
dan pusat pendidikan agama
dalam rangka melahirkan para fuqaha
ditanggung dan ditutupi dari khumus
dan zakat yang ditunaikan oleh masyarakat
kepada para fuqaha, sebagai
kewajiban dari sekian kewajiban syariat
lainnya, seperti shalat dan puasa.
Dalam masalah kewajiban membayar
khumus dari keuntungan usaha, Syiah
Ja’fariyah memiliki dalil-dalil yang
jelas yang termuat dalam sejumlah kitab-kitab shahih dan sunan.
40.
Syiah Ja’fariyah memandang bahwa
termasuk hak umat Islam ialah hidup
di bawah naungan pemerintahanpemerintahan
Islam yang memberlakukan
huku-hukum sesuai dengan
Al-Quran dan hadis, menjaga hal-hak
kaum Muslimin dan menyelenggarakan
hubungan yang adil dan bersih
dengan negara-negara lain. Selain itu,
Pemerintahan Islam juga berupaya
menjaga batas-batasnya dan menjamin
kebebasan umat Islam dalam
kegiatan budaya, ekonomi, dan politik
supaya mereka bisa hidup secara
mulia, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah inginkan dalam firman-
Nya:
وَلّله الْعِّزَّةُ وَلِّرَسُولِّهِّ
وَلِّلْمُؤْمِّنِّين
“Segala kemulyaan hanyalah milik Allah
dan Rasulnya dan orang-orang yang
beriman.”
Juga dalam firmannya:
وَلاَ تَهِّنُوا وَلاَ تَحْز نُوا وَأَنتُمُ
الأَعْلَوْنَ إِّن كُنتُم مُّؤْمِّنِّين
“Janganlah kamu merasa lemah, jangan
pula kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi derajatnya,
jika kamu benar-benar orang yang
beriman.”
Syiah Ja'fariyah Imamiyah memandang bahwa Islam sebagai agama
yang sempurna dan paripurna yang
mengandung program yang sangat
tepat mengenai sistem perundangundangan.
Dan ulama Islam harus
berkumpul untuk membahas program
ini untuk menjelaskan gambaran
yang sempurna tentang undangundang
ini, supaya umat Islam ini
keluar dari kebim-bangan dan dari
problem yang terus berkepanjangan.
Hanya Allah swt. sebagai pembela
dan penolong:
إِّن تَنصُرُوا الَّلَّ
ه
يَنصُرْكُمْ
وَيُثَبتْ أَقْدَامَكُم
“Bila kalian menolong Allah, Dia
akan menolong kalian dan
mengokohkan langkah-langkah kalian.”
Dalam pandangan Syiah Imamiah, ini
merupakan paling jelasnya langkah dan
rencana di bidang akidah dan syariat
atau dikenal juga dengan sebutan Syiah
Jafariyah.
Saat ini para pengikut Syiah Imamiyah
hidup berdampingan dengan saudara
Muslim yang lainya di seluruh negaranegara
Islam, dan mereka gigih dalam
menjaga dan mempertahankan eksistensi
umat Islam dan kemuliaannya.
Mereka juga telah siap untuk menyumbangkan
dan mengorbankan jiwa dan
harta bendanya di jalan Allah swt.