• Mulai
  • Sebelumnya
  • 10 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5869 / Download: 3574
Ukuran Ukuran Ukuran
Konsep Imamah dalam sejarah perjalanan Syiah

Konsep Imamah dalam sejarah perjalanan Syiah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

DINAMIKA KONSEP IMĀMAH DALAM

SEJARAH PERJALANAN SYIAH

Zainal Abidin

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Dato Karama Palu

Abstract;

The concept of imamah is an interesting issue in Shiah doctrine. As

mentioned by the author, initially, the imamah was the political issue

among the Shi’i (followers of Shiah). However, along with the Islam

expansion, this issue grew and developed into theological discourse. The

development of meaning and the issue of succession of prophet

Muhammad are the examples of wider meaning of imamah concept. This

article comes to conclusion that imamah concept has been dramatically

changed into socio cultural movement. As noted by historians, imamah

concept has successfully maintained the solidarity among the shi’i that led

to generate Fatimiah dynasty in the classical era. Interestingly, the historian

noted that imamah concept was able to create Muslim country like Iran.

Although the Shi’i put imamah as the principal of their teaching, they keep

developing their knowledge, technology, and philosophy. Hence, a

number of Muslim scholars are coming from Shiah background, such as,

Seyyed Hossein Nasr, Mulla Sadra, Ayatullah Khomeini, and so forth.

Keywords;

Syiah, Politics, Theology, Social Life

I. Pendahuluan

Term imāmah adalah sebuah term yang sangat lekat dengan kelompok

Syiah. Imāmah sejatinya bukanlah sekadar wacana yang bersifat ad hoc

atau bagian dari agenda proyek kelompok Syi’ah. Sebaliknya, wacana

imāmah merupakan benih yang melatarbelakangi tumbuhkembangnya Syi’ah

sebagai sebuah mazhab kalam. Dengan demikian, secara historis wacana imāmah

mendahului eksistensi mazhab Syi’ah itu sendiri.

Posisi imāmah yang mendahului eksistensi mazhab Syi’ah tersebut

kemudian membuka berbagai asumsi baru. Pertama, peran imāmah sebagai

struktur pembentuk dari mazhab Syi’ah.[1] Sebagai struktur pembentuk, wacana

imāmah menjadi lokomotif yang menarik gerbong masyarakat Syi’ah. Andai

tidak ada wacana imāmah mungkin tidak akan berdiri mazhab Syi’ah dengan

kompleksitasnya seperti saat itu.

Setelah wafatnya Muhammad saw, arus besar umat Islam pada waktu itu,

secara aklamatif, menghendaki sistem khilāfah sebagai model kepemimpinan

pasca Nabi dengan Abu Bakar sebagai khalifah pertamanya. Pengusung wacana khilāfah ini selanjutnya dikenal dengan nama mazhab Sunni. Di luar

arus besar tersebut, terdapat kelompok minoritas yang mengusung wacana

lain, yakni wacana imāmah. Karena mengusung wacana yang berlainan dengan

kelompok Sunni, maka secara otomatis kelompok masyarakat ini membentuk

gerakan yang berbeda dengan Sunni. Dari sinilah muncul ide pembentukan

mazhab Syi’ah.[2]

Asumsi kedua, karena imāmah menjadi struktur pembentuk mazhab Syi’ah,

maka secara otomatis ia juga wacana sentral dalam mazhab tersebut.

Maksudnya bahwa posisi imāmah merupakan sumber inspirasi dan ideologi

gerakan Syi’ah, sehingga mulai dari visi hingga strategi gerakan Syi’ah

semuanya berangkat dan bermuara pada wacana imāmah .

Hal yang menarik dianalisis lebih jauh tentang dualitas asumsi tersebut

adalah bagaimana wacana imāmah bertahan dalam rentang sejarah kehidupan

sosial masyarakat Syi’ah. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah jika nilai

kontekstualitas suatu wacana sangat terkait dengan waktu.[3]

Apakah wacana imāmah juga akan divonis usang oleh sejarah dan

kemudian ditinggalkan begitu saja sebagai bagian dari masa lalu? Seandainya

wacana imāmah sudah dianggap usang oleh sejarah dan ditinggalkan lalu

mengapa mazhab Syi’ah masih tetap bertahan sementara imāmah sebagai

struktur pembentuk dan wacana sentralnya sudah usang dan ditinggalkan?

Namun, andaikata imāmah tetap dianggap kontekstual hingga saat ini, lalu

bagaimana wacana tersebut dijaga dan dipertahankan nilai kontekstualitasnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian akan didikusikan pada uraian berikut.

II. Konsep Imāmah Dan Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat

Di antara bagian strategi yang paling besar kontribusinya dalam menjaga

wacana imāmah pada tradisi Syi’ah adalah strategi pemaknaan (understanding).[4]

Mereka berhasil mencipta makna yang berlaku pada dimensi kemasalaluan.

Ada pergeseran makna secara fundamental dari imāmah sebagai sistem

kepemimpinan pengganti sistem kenabian menjadi imāmah yang relevan

dengan konteks kekinian.[5] Pembaruan makna inilah yang kemudian

memungkinkan Syi’ah tetap eksis hingga saat ini. Pembaruan makna imāmah

secara otomatis mengubah wajah Syi’ah dari gerakan politik hingga menjadi

gerakan sosial seperti sekarang.

Proses reinterpretasi imāmah yang berujung metamorfosis wajah Syi’ah

telah berlangsung dari masa ke masa, menyesuaikan dengan konteks tantangan

yang ada. Pada masa-masa awal, wacana imāmah memang lebih dimaknai

sebagai konsep kepemimpinan baru pasca kenabian, sehingga Syi’ah saat itu

tidak lebih dari sebuah gerakan politik.[6] Namun di era pertengahan, wacana

imāmah diartikan sebagai perspektif pemikiran tentang berbagai fragmen studi

keislaman, seperti teologi dan fikih. Sehingga di era pertengahan Syiah lebih

dikenal sebagai gerakan teologi.[7] Di abad modern, dialektika kalam dan fikih

mulai mengalami degradasi. Isu yang beredar lebih banyak menyangkut

pembaharuan dalam segala level kehidupan umat Islam. Sehingga pemaknaan imāmah secara politis dan teologis mengalami reduksi. Pada konteks ini, Syi’ah

pun—masih dengan konsep imāmah-nya – lahir sebagai gerakan pemikiran dan

pembaharuan.[8]

Pembagian makna imāmah ke dalam tiga segmentasi tersebut menjadi

bukti kuat bahwa dalam tradisi Syi’ah terjadi dinamika pemaknaan. Dinamika

tersebut merupakan respons atas situasi sosio-kultural yang ada. Ketiga

segmentasi tersebut merupakan representasi dari evolusi sejarah peradaban

Islam: klasik, pertengahan, dan modern.[9]

Kenyataan tersebut menunjukkan elastisitas makna imāmah dalam

keyakinan masyarakat Syi’ah. Secara leksikal, kata imāmah memang tidak

mengalami perubahan bentuk dan arti. Demikian pula secara historis, konteks

imam yang dirujuk adalah para imam yang berjumlah duabelas. Namun secara

simbolik, penyikapan atas imāmah mengalami pergeseran. Makna yang diolah

bukan lagi di level denotasi-leksikal dan historis, tetapi lebih jauh ke ranah

konotasi-simbolik.[10] Metodologi takwil sangat jelas dalam proses pemaknaan

imāmah tersebut.[11] Memang tidak bisa dipungkiri, sejak era klasik, tradisi Syi’ah

sudah sangat akrab dengan tradisi penakwilan.

Secara kategoris, takwil yang dikenal dalam studi keislaman dibagi ke

dalam dua fragmen, yaitu takwil sufistik (al-ta’wīl al-isyārī ) dan takwil filosofis

(al-ta’wīl al-falsafī ).[12] Takwil sufistik secara sederhana dapat dimengerti sebagai

proses penakwilan dengan menggunakan potensi noitik sebagai sumbernya.[13]

Potensi noitik adalah kekuatan intuitif manusia yang bersifat abstrak atau yang

juga dikenal dengan pendekatan ‘irfāni.[14] Sementara takwil filosofis adalah

proses penakwilan yang mengunakan potensi rasio sebagai sumbernya.[15]

Operasionalisasi potensi rasio adalah proses abstraksi, memahami,

menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan persamaan dan perbedaan,

serta menyimpulkan suatu permasalahan.[16] Karena banyak berpijak pada

potensi pikiran, penakwilan seperti ini juga dikenal dengan penakwilan dengan

pendekatan burhāni.

Kedua metode takwil tersebut yang dipraktikkan oleh para pemikir Syi’ah

pada mulanya cenderung dikotomis dan atomistik. Namun Pasca Ibnu Sina

terjadi peramuan (ingredient) secara selaras di antara kedua metode takwil

tersebut. Peran Ibnu Sina sebagai peretas jalan penggabungan metode takwil

sufistik dan falsafī tersebut kemudian dilanjutkan oleh Mulla Shadra.[17] Dalam

proses penggabungan tersebut mengandaikan pertemuan dua konsep (the

fusion of horizons) epistemologi irfānī dan burhānī.

Peramuan kedua kutub epistemologi tersebut secara teknis memang

cukup sulit diverifikasi. Sebab keduanya berasal dari mainstream yang jelas

berbeda –untuk tidak menyebut berlawanan. Namun demikian, titik temu pada

ranah pengujian bukanlah hal yang mustahil. Dalam hal ini, misalnya, produk

penakwilan secara sufistik dapat diuji dengan metode rasional atau juga

sebaliknya. Pola kerja perpaduan semacam itu, dalam konteks imāmah, telah

banyak dibuktikan. Hal ini dapat dilihat ketika pemaknaan konsep imāmah

relatif dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat Syi’ah dari waktu ke

waktu.

Bertolak dari kreativitas dalam memaknai konsep imāmah, masyarakat

Syi’ah lantas lebih banyak mengolah isu-isu lain yang terbentang di setiap fase

zaman. Dalam pandangan Fazlur Rahman, objek kegelisahan intelektual umat

Islam terbagi ke dalam tiga arus besar utama, yakni kosmologi, teologi atau

kalam, dan kemanusiaan.[18]

Perkembangan Syi’ah paling tidak dapat ditilik dari dinamika yang

ditawarkan oleh Rahman tersebut. Ketika sejarah masih dipadati oleh isu

kosmologis, Syi’ah memang tidak begitu terlihat gerakannya. Sebab pada masa

tersebut, Syi’ah sebagai sebuah gerakan belum menemukan bentuknya kembali

pasca dikalahkan oleh Dinasti Umayah. Namun, personil-personil Syi’ah sudah

muncul dengan gagasan kosmologisnya, semisal Ibnu Sina.[19] Adapun pada era

pertengahan, Syi’ah sangat aktif menggarap isu teologis dan sosial.

Visi gerakan sosial yang menjadi isu utama arus intelektualisme

kontemporer inilah yang kemudian merangkai gerakan Syi’ah hingga sekarang.

Dalam konteks ini, wacana imāmah pun lebih dimaknai sebagai gerakan sosial.

Impresi tersebut semakin menemukan relevansinya ketika intelektualintelektual

Syi’ah kontemporer, semisal Ayatullah Khomeini, Asghar Ali

Engineer, Murthadha Muthahhari dan Ali Syari’ati dikenal sebagai teoretikus

sosial yang sangat diandalkan dari dunia Islam.

III.Ranah Parsialistik Implikasi Konsep Imāmah Dalam Kehidupan Sosial

1. Ranah Politik

Diskursus imāmah dalam keyakinan Syi’ah telah menuai sejumlah

implikasi. Di antara implikasinya yang paling banyak diapresiasi dalam

sejarah kehidupan sosial masyarakat muslim adalah implikasi di ranah politik.

Secara teoretik hal ini wajar, sebab kelahiran wacana imāmah yang juga

melatarbelakangi kelahiran Syi’ah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik

masyarakat muslim generasi awal. Pengertian politik dalam konteks ini

dibedakan menjadi dua ranah, yaitu ranah ideologis dan ranah praktik

kenegaraan.

Ranah ideologi merupakan ranah yang abstrak dari sebuah mainstream

politik. Ideologi adalah semacam kepercayaan yang ditanamkan kepada

seseorang sehingga menjadi suatu kesadaran, kendati—seperti keyakinan

Marx—kesadaran tersebut bersifat palsu. Lebih gamblang lagi Haryatmoko

mendefinisikan ideologi sebagai keseluruhan representasi pikiran dan

keyakinan dari sekelompok orang yang saling mempunyai ikatan satu dengan

yang lain.[20]

Jika ideologi dipersamakan dengan kepercayaan, maka dengan sendirinya

ideologi tersebut memainkan peranan sebagai penjelas keberadaan (Althusser),

ekspresi egosentrisme dan kepemilikian pada suatu kelas (Karl Mainnheim),

serta cara mendefinisikan sesuatu.[21] Seseorang yang berada di bawah bayangbayang

suatu ideologi maka ia akan selalu melihat atau mendefinisikan sesuatu

berdasarkan ideologi yang diyakininya.[22]

Ketika ideologi berfungsi sebagai ekspresi egosentrisme dan cara mendefinisikan sesuatu, maka pada level berikutnya ia juga berfungsi sebagai

unsur utama yang memotivasi tindakan para pengekor ideologi tersebut.[23]

Dengan serta merta pula ia akan menstrukturisasi tindakan para pemangku

ideologi tersebut secara sistematis. Sehingga tidak mengherankan jika banyak

para pengikut ideologi rela mengorbankan apa saja yang dimiliki demi

memperjuangkan ideologi tersebut.

Mekanisme kerja ideologi yang demikian tampaknya juga terjadi pada

wacana imāmah dalam mazhab Syi’ah. Imāmah pada awalnya hanyalah sebuah

ide atau gagasan tentang model kepemimpinan yang ditawarkan pendukung

Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti sistem kenabian. Berhubung gagasan

imāmah yang diajukan masuk dalam ranah politik, maka hal itu harus juga

dimaknai sebagai ekspresi kepentingan (interes), yakni kepentingan kelompok

Ali.

Dalam perspektif Habermas, sebuah kepentingan dapat disepadankan

dengan ideologi. Impresi keideologian imāmah semakin tegas ketika dikaitkaitkan

dengan peta pertarungan saat itu, yaitu Syi’ah versus Sunni.

Ideologi imāmah tersebut kemudian diskematisasi sedemikian rupa

dengan disertai justifikasi berdasar dalil-dalil naqli dan argumentasi yang

rasional secara indoktrinatif.[24] Sehingga ide atau gagasan imāmah ini dapat

diterima masyarakat sebagai keyakinan yang kemudian ditransformasi dari

generasi ke generasi. Sosialisasi keyakinan yang gencar atas ide imāmah

menjadikan ide tersebut berkembang sebagai opini publik (public opinion).

Terkait soal cara mendefinisikan, para pengikut Syi’ah dalam berbagai hal

akan selalu melihat dari perspektif keyakinan imāmah mereka. Dalam masalah

fiqhiyyah, misalnya, mereka menegaskan bahwa pengambilan hukum (istinbāt

al-ahkām) mesti didasarkan pada dalil yang qath’ī. Definisi dalil qath’ī yang

dimaksud tidak lain adalah Alquran dan Sunnah yang direkomendasikan para

imam.[25] Di luar yang direkomendasikan para imam tidak diakui mereka

sebagai dalil qath’ī. Mereka memiliki standarisasi dan kategorisasi mengenai

tafsir Alquran dan Hadis sahih yang berbeda dengan kategorisasi kelompok

lainnya.[26]

Pada aspek pemikiran politik, mereka berpandangan bahwa siapa pun

yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti Nabi

Muhammad atau yang memusuhi Ali secara politis, diposisikan sebagai

musuh. Tidak hanya sekadar memposisikan sebagai musuh, tetapi di antara

mereka bahkan ada mengganggap kelompok-kelompok yang kontra Ali

sebagai kafir.[27] Dengan demikian telah terjadi pergeseran secara sistematis dari

yang semula sekadar politis menjadi teologis.

Selanjutnya, mereka melakukan pemerataan opini di kalangan

masyarakat dengan memanfaatkan berbagai medium, seperti bahasa, otoritas

politik, sentimen keagamaan, dan logika ilmu pengetahuan. Targetnya tidak

lain agar masyarakat terdorong untuk melakukan sesuatu sesuai dengan interes

dan visi politik para pemimpin Syi’ah. Mobilisasi masyarakat di atas, dalam

kerangka kepentingan politik para pemimpin Syi’ah tersebut dinamakan

sebagai efektivitas sosial.

Jika sudah demikian, Syi’ah dengan diskursus imāmah-nya mengambil

posisi yang sama dengan Marxisme dengan ajaran Marx-nya atau Taoisme

dengan ajaran Tao-nya. Imāmah menjadi darah daging gerakan berikut haluan

terbesar dari segala proyek sejarah yang mereka dulang. Sebenarnya menjadi

sangat mudah mengurai konteks praktik politik sebagai implikasi imāmah.

Sebab jika fondasinya (ideologi politiknya) saja imāmah-sentris, maka sudah

dipastikan bahwa bangunan di atasnya juga merupakan kelanjutan dari fondasi

tersebut.

Secara umum, ada tiga variabel yang harus selalu ada dalam setiap

praktik politik, yakni tujuan politik (goals), sarana (medium), serta gerakan

(action). Sehingga dibutuhkan pula tiga hal sebagai penopang struktur, yaitu

policy, polity, dan politics.[28]

Berdasarkan struktur di atas, konsep imāmah cenderung terintegrasi secara

rapi pada ketiga variabel tersebut. Hal seperti itulah yang dari waktu ke waktu

mewarnai praktik politik komunitas Syi’ah. Imāmah dapat ditempatkan sebagai

tujuan politik. Penempatan tersebut tidak lepas dari keyakinan umat Syi’ah

kalau sistem imāmah merupakan sistem paling ideal menurut ukuran

ketuhanan dan kemanusiaan, sebagai pengganti sistem kenabian, sebagaimana

tersirat dalam beberapa dalil naqli yang mereka ajukan.

Imāmah juga terintegrasi dalam variabel sarana. Hal ini diwujudkan dalam

penetapan aparatur dan perundang-undangan yang menjadikan para imam

sebagai subjek utama. Dalam perundang-undangan, hanya imam-lah yang

memiliki otoritas penuh untuk menentukan, jika aturan yang dimaksud tidak

ada dalam Alquran maupun Sunnah.[29] Jika pun ada dalam Alquran maupun

Sunnah, maka yang memiliki otoritas untuk menafsirkan atau menentukan

sahih tidaknya Sunnah tersebut adalah imam.[30]

Pada saat para imam sudah tidak ada lagi—semenjak wafatnya Abu

Hasan Ali Muhammad al-Sawiri atau Muhammad bin Hasan al-Mahdi (329 H)

atau yang juga disebut masa gaibat al-kubra[31] —maka para ulama mengambil

alih peran tersebut. Kepemimpinan dengan menempatkan ulama sebagai

pemegang kekuasaan tertinggi dipraktekkan dalam aneka corak. Dua corak

yang cukup menarik adalah model Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Republik

Islam Iran. Kedua corak tersebut merepresentasikan konteks semangat zaman

yang berbeda, penafsiran yang berlainan, dan aplikasi yang memiliki kekhasan

tersendiri.

Kesuksesan Fatimiyah mengkonstruksi sistem ketatanegaraan yang khas

imāmah dapat dilihat pada detail-detail yang terkait dengan pemerintahan

mereka.[32] Dan Republik Islam Iran dapat disimpulkan sebagai contoh paling

mutakhir model institusi politik yang banyak terpengaruh imāmah. Republik

Islam Islam Iran sendiri merupakan anti-klimaks dari pergulatan sejarah yang

sangat panjang. Dalam peta peradaban dunia, negeri ini merupakan salah satu

simpul mercusuar zaman. Terutama ketika negeri ini masih bernama Persia.[33]

Revolusi Iran tidak dapat dipisahkan dari konteks dinamika politik

sebelumnya. Kompleksitas masalah yang menghantui Iran pra-revolusi sedikit

demi sedikit menumbuhkan semangat perubahan di kalangan masyarakat Iran, khususnya mereka yang dikenal sebagai kaum terpelajar (rausyan fikr).[34] Ketika

Iran di bawah penguasaan rezim Syah Pahlevi, di mana masyarakat

dicengkram dalam kondisi tiran, semangat perubahan ini semakin mengkristal

dan akhirnya meledak di tahun 1970-an. Ayatullah Ruhullah Imam Khomaeni

dikenal sebagai pelopor utama gerakan tersebut.[35]

Revolusi tersebut merupakan babak baru bagi eksistensi Iran modern.

Sebab pada saat itu mulai disusun kerangka kenegaraan yang kukuh dan

modern. Kerangka kenegaraan yang dimaksud tidak lain merupakan derivasi

dari paham imāmah yang diyakini umat Syi’ah. Sistem kenegaraan model baru

pasca revolusi dikenal dengan nama wilāyat al-faqīh,[36] yang mengandung

makna kekuasaan di tangan ilmuan agama. Konsep ini mirip dengan sistem

pemerintahan Dinasti Fatimiyah, walau secara prosedural dan konseptual tetap

berbeda. Dalam konteks Fatimiyah, kekuasaan tertinggi secara institusional

tetap di tangan khalifah atau Sultan (pemimpin eksekutif), berlaku mutlak dan

berdasarkan warisan (monarkhis). Sedangkan dalam konteks Republik Islam

Iran, pemimpin dipilih secara demokratis dan terbuka oleh dewan ahli yang

dikenal dengan ahl al-halli wa al-‘aqdhi.[37] Mekanisme ketatanegaraan khas Iran

tersebut tidak lain merupakan hasil reinterpretasi dari konsep imāmah .

2. Ranah Sosiologis

Implikasi imāmah dalam ranah sosiologis dapat dibedakan dalam

beberapa konteks, di antaranya konteks paradigmatik dan konteks pola

interaksi antar-masyarakat. Yang pertama menjadi kausa bagi lahirnya yang

kedua. Sebab paradigma merupakan sistem nilai yang membingkai sebuah

sistem interaksi sosial. Dengan demikian kedua variabel tersebut bertautan satu

sama lain sehingga cukup memudahkan menyusun skema penjelasan implikasi

konsep imāmah dalam ranah sosiologis.

Dalam memahami masyarakat, Syi’ah cenderung menggunakan istilah

ummah dari pada yang lain. Secara leksikal, istilah tersebut segaris dengan

istilah terminologis lain seperti: nation, qabilah, qaum, sya’b, mujtama’, thaifah,

race, mass, people dan lain sebagainya. Namun secara konseptual, ada hal-hal

yang unik dan berbeda pada istilah ummah.

Istilah ummah berasal dari akar kata amma yang berarti qasada (bermaksud)

dan ‘azīma (berketetapan kuat).[38] Dari pemaknaan dasar ini sedikitnya ada tiga

hal yang tersirat di dalamnya. Pertama, dalam konsep ummah ada semangat

gerakan di dalamnya. Kedua, selain gerakan dalam konsep tersebut juga

terdapat tujuan atau cita-cita bersama. Ketiga, selain itu di sana juga ada spirit

ketetapan hati yang sadar. Dari ketiganya, dapat ditemukan empat ciri khas

dari ummah, yaitu usaha, gerakan, kemajuan, dan tujuan.[39] Makna tersebut

sekaligus menjadi fase-fase proses “meng-ummah” dalam keyakinan Syi’ah.

Karena ummah memiliki karakter kuat sebagai gerakan yang dinamis

untuk mencapai sebuah tujuan abadi, maka serta merta menuntut adanya

pemimpin atau imam.[40] Secara linguistik pun antara ummah dan imam memiliki

relasi yang sangat kuat, yaitu eksistensi ummah yang ditawarkan Syi’ah tidak

lain merupakan konsekuensi dari konsep imāmah.[41] Tentang hal ini, Syari’ati menegaskan:

… imāmah merupakan refleksi tentang petunjuk yang diberikan

kepada yang mengantarkan mereka sampai ke tujuan. Dilihat dari sudut

pandang ini, maka istilah ummah itu sendiri sepenuhnya mengharuskan

dan mewajibkan adanya imāmah–suatu keharusan yang sama sekali tidak

ditempuh dalam istilah-istilah lain, seperti qabilah, mujtama’, qawm, nation,

dan lain-lain. Dengan demikian tidak mungkin ada ummah tanpa imāmah.[42]

Dunia sosial dalam mainstream Syi’ah adalah dunia keumatan yang di

dalamnya terdapat unsur-unsur seperti masyarakat, imam, dan imāmah. Jalinan

ketiganya disebut ummah. Dalam proses sejarah ketiganya senantiasa ditutut

untuk bersinergi satu dengan lainnya. Sinergisitas itu sendiri disebut sebagai

kohesi dan harmonisasi sosial. Sinergisitas dimaknai sebagai dinamisasi

internal ke arah cita-cita ummah di bawah komando dan arahan para imam.

Masyarakat Syi’ah sangat mengekor pada sosok imam. Bahkan mereka

meyakini bahwa tanpa para imam mereka bukanlah apa-apa. Saat ini pun,

meski para imam tersebut secara materi tidak bisa mereka temui, namun

ruhnya terpencar di mana-mana. Mereka meyakini, bahwa pangkal semua

masalah yang dihadapi umat manusia karena mereka jauh dari spirit para

imam. Mereka yakin suatu saat, imam yang mereka maksud akan hadir lagi

untuk membebaskan umat manusia (mirip paham Mesianisme).[43]

Pandangan paternalisme ini kemudian berkonsekuensi pada sikap tidak

kritis pada imam. Mereka menganggap imam tidak pernah (sedikit pun)

memiliki cacat, baik dalam kategori moral maupun sosial, meski secara fisikal

mereka masih memposisikan para imam tersebut sebagai manusia. Tidak

pernah ada satu pun tokoh Syi’ah yang menilai para imam secara “miring”.

Kalau pun ada pasti sudah dihakimi.

Dengan demikian, pandangan mereka terhadap para imam selalu bersifat

subyektif dan aprioris. Di sinilah kemudian menjadi ruang bagi tumbuhsuburnya

tradisi fanatisme atau pengkultusan tadi.

Kendati demikian, yang sangat unik dari Syi’ah bahwa paham

paternalistik mereka tidak menjadikan mereka fatalistis dan pasif, malah

cenderung produktif. Hal ini ditandai dengan munculnya sosok-sosok pemikir

besar di pentas peradaban dunia. Para filsuf atau pemikir besar yang dikenal

Barat sebagai representasi dari umat Islam, hampir semuanya berasal dari

kalangan Syi’ah. Masa renaissans dalam dunia Islam pun pada dasarnya juga

diarsiteki oleh para pemikir Syi’ah.[44] Dalam konteks ini, paternalisme

masyarakat tidak menghalangi kiprah dan produktivitas mereka. Hal ini tidak

lepas dari prestasi mereka mengkombinasikan secara proporsional antara

rasionalisme dan mistisime.[45] Mereka mampu meletakkan keyakinan mereka

terhadap imam pada tempatnya, sebagaimana mereka juga mampu meletakkan

semangat rasionalisme pada tempatnya. Mereka tidak menganggap bahwa

dengan meyakini imam kemudian menjadikan mereka pasif. Justru sebaliknya,

para imam mengarahkan mereka untuk maju, sebagaimana tersirat dalam pengertian ummah di atas. Intinya, di balik keyakinan pada imam terselip

semangat pergerakan dan kemajuan untuk sebuah cita-cita yang abadi.

3. Ranah Kultural

Satu ranah lagi yang menjadi pusaran pengaruh imāmah yang sangat kuat

adalah ranah budaya. Bahkan, dibandingkan dengan kedua ranah sebelumnya,

implikasi pada ranah budaya terbilang lebih mengakar dan ekspansif. Sebab

sifat budaya sendiri sangat fleksibel atau tidak dapat disekat oleh sistem apa

pun, termasuk oleh sistem politik. Apalagi yang bertugas mentransformasi

tersebut adalah bahasa, baik bahasa tuturan (speech) maupun bahasa simbol

(symbolic).

Disadari atau tidak, banyak sekali ditemukan karya-karya seni (terutama

syair) yang dipengaruhi ajaran Syi’ah, termasuk konsep imāmah-nya. Indikator

penting bahwa sebagian karya tersebut terpengaruh tradisi Syi’ah adalah:

Corak isyrāqī dan sufistik. Umumnya indeks karya-karya puisi, yang kemudian

dikenal sebagai puisi Islam, bercorak sufistik. Diksi-diksinya penuh dengan

simbolisasi dunia mistik. Hal yang demikian tentunya sangat dekat dengan

tradisi Syi’ah. Sebab, di antara aliran yang sangat kuat mengusung konsepkonsep

mistisisme dan sufisme adalah Syi’ah. Setidaknya inilah yang terlihat

pada bilik-bilik pemikiran tokoh-tokoh Syi’ah, semisal al-Syirazi (Mulla Sadra).

Di antara tradisi yang dimaksud adalah upacara budaya memperingati hari Karbala di Irak.[46] Tradisi berkumpul dengan kepiluan semacam itu tidak

hanya terjadi di Irak. Di sejumlah tempat yang didiami umat Syi’ah pun

menggelar acara serupa. Mereka berkali-kali memanjatkan salawat, doa, dan

ungkapan kepiluan akan derita Imam Husein. Upacara-upaca tersebut

merupakan sampel yang paling jelas tentang implikasi imāmah dalam tradisi.

IV.Proses Integrasi Imāmah Dalam Kehidupan Sosial

Bagaimanakah konsep imāmah yang semula hanya sebatas ide (wacana)

bisa menyeruak menembus sekat-sekat kehidupan sosial umat Islam. Paling

tidak, ada tiga hal layak ditelusuri secara komprehensif, yaitu modal, fasilitas,

dan cara kerja.[47] Ada empat modal yang digunakan komunitas Syi’ah ketika

mentransformasikan konsep imāmah mereka dalam lingkaran kehidupan sosial

umat Islam. Keempat modal tersebut juga menjadi prasarat yang umum

digunakan dalam berbagai konteks gerakan sosial yang lain yaitu: modal sosial,

modal kultural, modal simbolik, dan modal ekonomi.[48]

Modal sosial berupa perangkat kelembagaan yang digunakan kalangan

Syi’ah dalam melestarikan konsep imāmah mereka hingga terimplikasi dalam

kehidupan sosial umat Islam. Institusi sosial tersebut tidak lain adalah konstruk

organisasi Syi’ah sendiri yang sejak awal dibentuk untuk memberikan

dukungan pada Ali bin Abi Talib. Organisasi Syi’ah inilah yang menjadi mesin

produksi wacana imāmah hingga dapat diakses berbagai kalangan dalam

berbagai zaman.

Sedangkan modal kultural adalah tradisi besar yang melingkupi

masyarakat Syi’ah. Tradisi besar tersebut terutama adalah tradisi Persia.

Kebesaran Syi’ah tidak bisa dilepaskan dari kontribusi budaya Persia yang sangat besar di dalamnya, karena budaya Persia sendiri yang sangat bercorak

filosofis.

Modal berikutnya adalah modal simbolik. Modal ini mungkin lebih melekat pada

personalitas para imam. Penerimaan Syi’ah yang cukup luas tidak bisa tidak

karena gerakan ini dihubung-hubungkan dengan keluarga besar Nabi

Muhammad saw. Terutama pada penisbatan kelompok Syi’ah kepada Ali

(menantu Nabi) serta keturunan-keturunannya.

Modal terakhir adalah modal ekonomi. Keterkaitan modal ekonomi

terhadap ekspansi paham Syi’ah tidak banyak disinggung. Modal ekonomi

dikatakan sebagai yang terbesar pengaruhnya karena modal ini paling mudah

dikonversikan ke bentuk-bentuk modal yang lain, terutama ke modal sosial.

Keempat modal tersebut, berpadu menjadi satu kesatuan yang mengantar

imāmah berimplikasi dalam berbagai lini kehidupan sosial umat Islam.

Lalu, seperti apakah cara kerja (metode) komunitas Syi’ah memanfaatkan

perangkat modalitas yang ada untuk mempublikasi konsep imāmah mereka.

Tentang mekanisme kerja ini mungkin banyak varian yang ditempuh kaum

Syi’ah. Namun, dari sekian banyak cara tersebut yang paling penting adalah

metode komunikasi. Disebut paling penting sebab metode semacam ini paling

sering ditempuh oleh individu atau lembaga untuk menciptakan opini tertentu.

Setidaknya, demikianlah menurut gagasan Habermas.

Menurut Habermas setiap diskursus yang beredar di tengah-tengah

masyarakat bermula dari komunikasi. Artinya, ada pihak-pihak yang secara

sistematis mengkomunikasikan diskursus tersebut.[49] Sehingga diskursus

tersebut diterima sebagai diskursus setelah sebelumnya hanya sekadar ide atau

pendapat biasa. Melalui pola komunikasi, diskursus tersebut kemudian

memiliki nilai-nilai kebenaran, seperti truth, rightness, sincerety, dan

comprehensibility.[50]

Nilai truth dalam diskursus imāmah mengemuka ketika masyarakat

menerimanya sebagai sebuah kebenaran objektif. Para imam dengan segenap

atribut yang melekat kepadanya dinilai sebagi fakta yang benar adanya. Bukan

hasil dari interpretasi atau rekaan biasa yang tidak mereferensi pada fakta.

Sedangkan nilai rightness melekat pada diskursus imāmah ketika masyarakat

kemudian menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang memiliki landasan

teologis. Dengan kata lain, diskursus imāmah tersebut diterima masyarakat

sebagai sebuah kebenaran yang dilegitimasi oleh Allah swt dan Nabi

Muhammad saw, alias bukan sebatas benar dalam kategori obyektif-ilmiah.

Sedangkan nilai sincerety akan menjadi bagian dari diskursus imāmah jika

masyarakat tidak merasa dipaksa untuk menerima diskursus tersebut

melainkan berangkat dari sebuah kesadaran diri yang jujur dan otentik.

Sedangkan diskursus akan mencapai nilai comprehensibility ketika diskursus

tersebut, dalam kaca mata masyarakat, sudah memenuhi semua nilai tadi

(truth, raghtness, dan sicerety).

V. Penutup

Demikianlah proses dan peta jalan berlangsungnya wacana imāmah hingga berimplikasi dalam kehidupan sosial umat Islam. Secara perhitungan

waktu (timing), proses tersebut berlangsung tidak hanya sebentar, tetapi sangat

panjang sepanjang usia Syi’ah itu sendiri.

Dari uraian terdahulu tampak jelas bahwa konsep imāmah terus berevolusi

sejalan dengan perputaran masa, situasi dan kondisi yang mengitarinya. Dari

wacana politik ke teologi, dan selanjutnya ke tataran sosial budaya. Mengingat

jalan panjang sejarah masih terbentang di depan, dapat dipastikan bahwa

proses tersebut akan berlanjut secara dinamis. Imāmah bukan sekedar sebuah

aliran pemikiran atau salah satu mazhab dalam teologi Islam, tetapi hadir

sebagai sebuah pandangan dunia (worldview). Dan dengan fleksibilitasnya

dalam memaknai konsep imāmah aliran Syiah telah membuktikan dirinya dapat

beradaptasi dengan ruang dan waktu, di saat aliran pemikiran dan mazhab

teologi seusianya, sudah banyak terkubur dalam sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Dhuhā’ al-Islām, Juz III, Cet. X; Beirut: Dār al-Arabī, t.th

An-Naim, Abdullah Ahmad. Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa depan

Islam, terj. Sri Murniati, Bandung: Mizan, 2007.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics as Method Philosophy and Critique

London: Routledge and Kegan Paul, 1980.

Bourdieu, Pierre. In Other World, Essays Toward a Reflexive Sociology, Cambridge:

polity press, 1990.

Crick, Bernard. Concept in Sosial Thought, terj. Ribut Wahyudi (Surabaya:

Pustaka Promethea, 2001.

Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, Jakarta: paramadina, 1998.

el-Fadl, Khaled M. Abou. Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, And

Women, terj.R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2003.

Engineer, Asghar Ali. Theologi Pembebasan, Yogyakarta: LKiS, 2000.

Fachruddin, Fuad Mohn. Syī’ah: Suatu Pengalaman Kritikal, Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 1990.

Fachry, Madjid. A History of Islamic Philosophy, New York: Columbia University

Press, 1983.

Gellner, Ernest. Muslim Society, Cambridge: Cambridge University Press, 1981

Giddens, Antony. New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of

Interpretatif Sociologies, London: The Anchor Press, 1976.

al-Gita, Muhammad Husein Ali Kasyif, Ahl al-Syī’ah wa Ushūlih, Kairo:

Maktabat al-Najāt, 1958.

Habermas, Jurgen. The Theory of Communicative Active, Boston: Beacon Press,

1983.

al-Hairi, Syaikh Fathullah (ed.), al-Imām ‘Alī: al-Mukhtār min Bayānihi wa

Hikāmihi, London: Zahra Publication, 1998.

Hanafi, Hassan. Min al-‘Aqīdah ilā al-Tsawrah, Kairo: Madbuly, 1988.

Hanafi, Hassan. Min al-Naql ilā al-Ibdā’, Kairo: Dār al-Qabā’, 2000.

Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan

Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Haryatmoko, Etika Politik, Jakarta: Kompas, 2003.

Heideger, Martin. Being and Time, New York: State University of New York

Press, 1996.

Karim, Abdul. Islam Nusantara, Yogyakarta: Rha Pustaka, 2006.

Kuntowijoyo, dkk. Dinamika Islam di Asia Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta:

Teraju, 2004.

Momen, Moojan. An Introduction to Shi’i Islam The History and Doctrine of Twelve

Shi’ism New Haven and London: Yale University Press, 1985.

Daftar Isi

DINAMIKA KONSEP IMĀMAH DALAM    1

SEJARAH PERJALANAN SYIAH   1

Zainal Abidin 1

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Dato Karama Palu  1

Abstract;2

Keywords;2

I. Pendahuluan 3

II. Konsep Imāmah Dan Dinamika Kehidupan Sosial Masyarakat6

III.Ranah Parsialistik Implikasi Konsep Imāmah Dalam Kehidupan Sosial12

1. Ranah Politik 12

2. Ranah Sosiologis 20

3. Ranah Kultural25

IV.Proses Integrasi Imāmah Dalam Kehidupan Sosial27

V. Penutup 31

DAFTAR PUSTAKA 32