III.Ranah Parsialistik Implikasi Konsep Imāmah Dalam Kehidupan Sosial
1. Ranah Politik
Diskursus imāmah dalam keyakinan Syi’ah telah menuai sejumlah
implikasi. Di antara implikasinya yang paling banyak diapresiasi dalam
sejarah kehidupan sosial masyarakat muslim adalah implikasi di ranah politik.
Secara teoretik hal ini wajar, sebab kelahiran wacana imāmah yang juga
melatarbelakangi kelahiran Syi’ah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik
masyarakat muslim generasi awal. Pengertian politik dalam konteks ini
dibedakan menjadi dua ranah, yaitu ranah ideologis dan ranah praktik
kenegaraan.
Ranah ideologi merupakan ranah yang abstrak dari sebuah mainstream
politik. Ideologi adalah semacam kepercayaan yang ditanamkan kepada
seseorang sehingga menjadi suatu kesadaran, kendati—seperti keyakinan
Marx—kesadaran tersebut bersifat palsu. Lebih gamblang lagi Haryatmoko
mendefinisikan ideologi sebagai keseluruhan representasi pikiran dan
keyakinan dari sekelompok orang yang saling mempunyai ikatan satu dengan
yang lain.
Jika ideologi dipersamakan dengan kepercayaan, maka dengan sendirinya
ideologi tersebut memainkan peranan sebagai penjelas keberadaan (Althusser),
ekspresi egosentrisme dan kepemilikian pada suatu kelas (Karl Mainnheim),
serta cara mendefinisikan sesuatu.
Seseorang yang berada di bawah bayangbayang
suatu ideologi maka ia akan selalu melihat atau mendefinisikan sesuatu
berdasarkan ideologi yang diyakininya.
Ketika ideologi berfungsi sebagai ekspresi egosentrisme dan cara mendefinisikan sesuatu, maka pada level berikutnya ia juga berfungsi sebagai
unsur utama yang memotivasi tindakan para pengekor ideologi tersebut.
Dengan serta merta pula ia akan menstrukturisasi tindakan para pemangku
ideologi tersebut secara sistematis. Sehingga tidak mengherankan jika banyak
para pengikut ideologi rela mengorbankan apa saja yang dimiliki demi
memperjuangkan ideologi tersebut.
Mekanisme kerja ideologi yang demikian tampaknya juga terjadi pada
wacana imāmah dalam mazhab Syi’ah. Imāmah pada awalnya hanyalah sebuah
ide atau gagasan tentang model kepemimpinan yang ditawarkan pendukung
Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti sistem kenabian. Berhubung gagasan
imāmah yang diajukan masuk dalam ranah politik, maka hal itu harus juga
dimaknai sebagai ekspresi kepentingan (interes), yakni kepentingan kelompok
Ali.
Dalam perspektif Habermas, sebuah kepentingan dapat disepadankan
dengan ideologi. Impresi keideologian imāmah semakin tegas ketika dikaitkaitkan
dengan peta pertarungan saat itu, yaitu Syi’ah versus Sunni.
Ideologi imāmah tersebut kemudian diskematisasi sedemikian rupa
dengan disertai justifikasi berdasar dalil-dalil naqli dan argumentasi yang
rasional secara indoktrinatif.
Sehingga ide atau gagasan imāmah ini dapat
diterima masyarakat sebagai keyakinan yang kemudian ditransformasi dari
generasi ke generasi. Sosialisasi keyakinan yang gencar atas ide imāmah
menjadikan ide tersebut berkembang sebagai opini publik (public opinion).
Terkait soal cara mendefinisikan, para pengikut Syi’ah dalam berbagai hal
akan selalu melihat dari perspektif keyakinan imāmah mereka. Dalam masalah
fiqhiyyah, misalnya, mereka menegaskan bahwa pengambilan hukum (istinbāt
al-ahkām) mesti didasarkan pada dalil yang qath’ī. Definisi dalil qath’ī yang
dimaksud tidak lain adalah Alquran dan Sunnah yang direkomendasikan para
imam.
Di luar yang direkomendasikan para imam tidak diakui mereka
sebagai dalil qath’ī. Mereka memiliki standarisasi dan kategorisasi mengenai
tafsir Alquran dan Hadis sahih yang berbeda dengan kategorisasi kelompok
lainnya.
Pada aspek pemikiran politik, mereka berpandangan bahwa siapa pun
yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti Nabi
Muhammad atau yang memusuhi Ali secara politis, diposisikan sebagai
musuh. Tidak hanya sekadar memposisikan sebagai musuh, tetapi di antara
mereka bahkan ada mengganggap kelompok-kelompok yang kontra Ali
sebagai kafir.
Dengan demikian telah terjadi pergeseran secara sistematis dari
yang semula sekadar politis menjadi teologis.
Selanjutnya, mereka melakukan pemerataan opini di kalangan
masyarakat dengan memanfaatkan berbagai medium, seperti bahasa, otoritas
politik, sentimen keagamaan, dan logika ilmu pengetahuan. Targetnya tidak
lain agar masyarakat terdorong untuk melakukan sesuatu sesuai dengan interes
dan visi politik para pemimpin Syi’ah. Mobilisasi masyarakat di atas, dalam
kerangka kepentingan politik para pemimpin Syi’ah tersebut dinamakan
sebagai efektivitas sosial.
Jika sudah demikian, Syi’ah dengan diskursus imāmah-nya mengambil
posisi yang sama dengan Marxisme dengan ajaran Marx-nya atau Taoisme
dengan ajaran Tao-nya. Imāmah menjadi darah daging gerakan berikut haluan
terbesar dari segala proyek sejarah yang mereka dulang. Sebenarnya menjadi
sangat mudah mengurai konteks praktik politik sebagai implikasi imāmah.
Sebab jika fondasinya (ideologi politiknya) saja imāmah-sentris, maka sudah
dipastikan bahwa bangunan di atasnya juga merupakan kelanjutan dari fondasi
tersebut.
Secara umum, ada tiga variabel yang harus selalu ada dalam setiap
praktik politik, yakni tujuan politik (goals), sarana (medium), serta gerakan
(action). Sehingga dibutuhkan pula tiga hal sebagai penopang struktur, yaitu
policy, polity, dan politics.
Berdasarkan struktur di atas, konsep imāmah cenderung terintegrasi secara
rapi pada ketiga variabel tersebut. Hal seperti itulah yang dari waktu ke waktu
mewarnai praktik politik komunitas Syi’ah. Imāmah dapat ditempatkan sebagai
tujuan politik. Penempatan tersebut tidak lepas dari keyakinan umat Syi’ah
kalau sistem imāmah merupakan sistem paling ideal menurut ukuran
ketuhanan dan kemanusiaan, sebagai pengganti sistem kenabian, sebagaimana
tersirat dalam beberapa dalil naqli yang mereka ajukan.
Imāmah juga terintegrasi dalam variabel sarana. Hal ini diwujudkan dalam
penetapan aparatur dan perundang-undangan yang menjadikan para imam
sebagai subjek utama. Dalam perundang-undangan, hanya imam-lah yang
memiliki otoritas penuh untuk menentukan, jika aturan yang dimaksud tidak
ada dalam Alquran maupun Sunnah.
Jika pun ada dalam Alquran maupun
Sunnah, maka yang memiliki otoritas untuk menafsirkan atau menentukan
sahih tidaknya Sunnah tersebut adalah imam.
Pada saat para imam sudah tidak ada lagi—semenjak wafatnya Abu
Hasan Ali Muhammad al-Sawiri atau Muhammad bin Hasan al-Mahdi (329 H)
atau yang juga disebut masa gaibat al-kubra
—maka para ulama mengambil
alih peran tersebut. Kepemimpinan dengan menempatkan ulama sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dipraktekkan dalam aneka corak. Dua corak
yang cukup menarik adalah model Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Republik
Islam Iran. Kedua corak tersebut merepresentasikan konteks semangat zaman
yang berbeda, penafsiran yang berlainan, dan aplikasi yang memiliki kekhasan
tersendiri.
Kesuksesan Fatimiyah mengkonstruksi sistem ketatanegaraan yang khas
imāmah dapat dilihat pada detail-detail yang terkait dengan pemerintahan
mereka.
Dan Republik Islam Iran dapat disimpulkan sebagai contoh paling
mutakhir model institusi politik yang banyak terpengaruh imāmah. Republik
Islam Islam Iran sendiri merupakan anti-klimaks dari pergulatan sejarah yang
sangat panjang. Dalam peta peradaban dunia, negeri ini merupakan salah satu
simpul mercusuar zaman. Terutama ketika negeri ini masih bernama Persia.
Revolusi Iran tidak dapat dipisahkan dari konteks dinamika politik
sebelumnya. Kompleksitas masalah yang menghantui Iran pra-revolusi sedikit
demi sedikit menumbuhkan semangat perubahan di kalangan masyarakat Iran, khususnya mereka yang dikenal sebagai kaum terpelajar (rausyan fikr).
Ketika
Iran di bawah penguasaan rezim Syah Pahlevi, di mana masyarakat
dicengkram dalam kondisi tiran, semangat perubahan ini semakin mengkristal
dan akhirnya meledak di tahun 1970-an. Ayatullah Ruhullah Imam Khomaeni
dikenal sebagai pelopor utama gerakan tersebut.
Revolusi tersebut merupakan babak baru bagi eksistensi Iran modern.
Sebab pada saat itu mulai disusun kerangka kenegaraan yang kukuh dan
modern. Kerangka kenegaraan yang dimaksud tidak lain merupakan derivasi
dari paham imāmah yang diyakini umat Syi’ah. Sistem kenegaraan model baru
pasca revolusi dikenal dengan nama wilāyat al-faqīh,
yang mengandung
makna kekuasaan di tangan ilmuan agama. Konsep ini mirip dengan sistem
pemerintahan Dinasti Fatimiyah, walau secara prosedural dan konseptual tetap
berbeda. Dalam konteks Fatimiyah, kekuasaan tertinggi secara institusional
tetap di tangan khalifah atau Sultan (pemimpin eksekutif), berlaku mutlak dan
berdasarkan warisan (monarkhis). Sedangkan dalam konteks Republik Islam
Iran, pemimpin dipilih secara demokratis dan terbuka oleh dewan ahli yang
dikenal dengan ahl al-halli wa al-‘aqdhi.
Mekanisme ketatanegaraan khas Iran
tersebut tidak lain merupakan hasil reinterpretasi dari konsep imāmah .
2. Ranah Sosiologis
Implikasi imāmah dalam ranah sosiologis dapat dibedakan dalam
beberapa konteks, di antaranya konteks paradigmatik dan konteks pola
interaksi antar-masyarakat. Yang pertama menjadi kausa bagi lahirnya yang
kedua. Sebab paradigma merupakan sistem nilai yang membingkai sebuah
sistem interaksi sosial. Dengan demikian kedua variabel tersebut bertautan satu
sama lain sehingga cukup memudahkan menyusun skema penjelasan implikasi
konsep imāmah dalam ranah sosiologis.
Dalam memahami masyarakat, Syi’ah cenderung menggunakan istilah
ummah dari pada yang lain. Secara leksikal, istilah tersebut segaris dengan
istilah terminologis lain seperti: nation, qabilah, qaum, sya’b, mujtama’, thaifah,
race, mass, people dan lain sebagainya. Namun secara konseptual, ada hal-hal
yang unik dan berbeda pada istilah ummah.
Istilah ummah berasal dari akar kata amma yang berarti qasada (bermaksud)
dan ‘azīma (berketetapan kuat).
Dari pemaknaan dasar ini sedikitnya ada tiga
hal yang tersirat di dalamnya. Pertama, dalam konsep ummah ada semangat
gerakan di dalamnya. Kedua, selain gerakan dalam konsep tersebut juga
terdapat tujuan atau cita-cita bersama. Ketiga, selain itu di sana juga ada spirit
ketetapan hati yang sadar. Dari ketiganya, dapat ditemukan empat ciri khas
dari ummah, yaitu usaha, gerakan, kemajuan, dan tujuan.
Makna tersebut
sekaligus menjadi fase-fase proses “meng-ummah” dalam keyakinan Syi’ah.
Karena ummah memiliki karakter kuat sebagai gerakan yang dinamis
untuk mencapai sebuah tujuan abadi, maka serta merta menuntut adanya
pemimpin atau imam.
Secara linguistik pun antara ummah dan imam memiliki
relasi yang sangat kuat, yaitu eksistensi ummah yang ditawarkan Syi’ah tidak
lain merupakan konsekuensi dari konsep imāmah.
Tentang hal ini, Syari’ati menegaskan:
… imāmah merupakan refleksi tentang petunjuk yang diberikan
kepada yang mengantarkan mereka sampai ke tujuan. Dilihat dari sudut
pandang ini, maka istilah ummah itu sendiri sepenuhnya mengharuskan
dan mewajibkan adanya imāmah–suatu keharusan yang sama sekali tidak
ditempuh dalam istilah-istilah lain, seperti qabilah, mujtama’, qawm, nation,
dan lain-lain. Dengan demikian tidak mungkin ada ummah tanpa imāmah.
Dunia sosial dalam mainstream Syi’ah adalah dunia keumatan yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur seperti masyarakat, imam, dan imāmah. Jalinan
ketiganya disebut ummah. Dalam proses sejarah ketiganya senantiasa ditutut
untuk bersinergi satu dengan lainnya. Sinergisitas itu sendiri disebut sebagai
kohesi dan harmonisasi sosial. Sinergisitas dimaknai sebagai dinamisasi
internal ke arah cita-cita ummah di bawah komando dan arahan para imam.
Masyarakat Syi’ah sangat mengekor pada sosok imam. Bahkan mereka
meyakini bahwa tanpa para imam mereka bukanlah apa-apa. Saat ini pun,
meski para imam tersebut secara materi tidak bisa mereka temui, namun
ruhnya terpencar di mana-mana. Mereka meyakini, bahwa pangkal semua
masalah yang dihadapi umat manusia karena mereka jauh dari spirit para
imam. Mereka yakin suatu saat, imam yang mereka maksud akan hadir lagi
untuk membebaskan umat manusia (mirip paham Mesianisme).
Pandangan paternalisme ini kemudian berkonsekuensi pada sikap tidak
kritis pada imam. Mereka menganggap imam tidak pernah (sedikit pun)
memiliki cacat, baik dalam kategori moral maupun sosial, meski secara fisikal
mereka masih memposisikan para imam tersebut sebagai manusia. Tidak
pernah ada satu pun tokoh Syi’ah yang menilai para imam secara “miring”.
Kalau pun ada pasti sudah dihakimi.
Dengan demikian, pandangan mereka terhadap para imam selalu bersifat
subyektif dan aprioris. Di sinilah kemudian menjadi ruang bagi tumbuhsuburnya
tradisi fanatisme atau pengkultusan tadi.
Kendati demikian, yang sangat unik dari Syi’ah bahwa paham
paternalistik mereka tidak menjadikan mereka fatalistis dan pasif, malah
cenderung produktif. Hal ini ditandai dengan munculnya sosok-sosok pemikir
besar di pentas peradaban dunia. Para filsuf atau pemikir besar yang dikenal
Barat sebagai representasi dari umat Islam, hampir semuanya berasal dari
kalangan Syi’ah. Masa renaissans dalam dunia Islam pun pada dasarnya juga
diarsiteki oleh para pemikir Syi’ah.
Dalam konteks ini, paternalisme
masyarakat tidak menghalangi kiprah dan produktivitas mereka. Hal ini tidak
lepas dari prestasi mereka mengkombinasikan secara proporsional antara
rasionalisme dan mistisime.
Mereka mampu meletakkan keyakinan mereka
terhadap imam pada tempatnya, sebagaimana mereka juga mampu meletakkan
semangat rasionalisme pada tempatnya. Mereka tidak menganggap bahwa
dengan meyakini imam kemudian menjadikan mereka pasif. Justru sebaliknya,
para imam mengarahkan mereka untuk maju, sebagaimana tersirat dalam pengertian ummah di atas. Intinya, di balik keyakinan pada imam terselip
semangat pergerakan dan kemajuan untuk sebuah cita-cita yang abadi.
3. Ranah Kultural
Satu ranah lagi yang menjadi pusaran pengaruh imāmah yang sangat kuat
adalah ranah budaya. Bahkan, dibandingkan dengan kedua ranah sebelumnya,
implikasi pada ranah budaya terbilang lebih mengakar dan ekspansif. Sebab
sifat budaya sendiri sangat fleksibel atau tidak dapat disekat oleh sistem apa
pun, termasuk oleh sistem politik. Apalagi yang bertugas mentransformasi
tersebut adalah bahasa, baik bahasa tuturan (speech) maupun bahasa simbol
(symbolic).
Disadari atau tidak, banyak sekali ditemukan karya-karya seni (terutama
syair) yang dipengaruhi ajaran Syi’ah, termasuk konsep imāmah-nya. Indikator
penting bahwa sebagian karya tersebut terpengaruh tradisi Syi’ah adalah:
Corak isyrāqī dan sufistik. Umumnya indeks karya-karya puisi, yang kemudian
dikenal sebagai puisi Islam, bercorak sufistik. Diksi-diksinya penuh dengan
simbolisasi dunia mistik. Hal yang demikian tentunya sangat dekat dengan
tradisi Syi’ah. Sebab, di antara aliran yang sangat kuat mengusung konsepkonsep
mistisisme dan sufisme adalah Syi’ah. Setidaknya inilah yang terlihat
pada bilik-bilik pemikiran tokoh-tokoh Syi’ah, semisal al-Syirazi (Mulla Sadra).
Di antara tradisi yang dimaksud adalah upacara budaya memperingati hari Karbala di Irak.
Tradisi berkumpul dengan kepiluan semacam itu tidak
hanya terjadi di Irak. Di sejumlah tempat yang didiami umat Syi’ah pun
menggelar acara serupa. Mereka berkali-kali memanjatkan salawat, doa, dan
ungkapan kepiluan akan derita Imam Husein. Upacara-upaca tersebut
merupakan sampel yang paling jelas tentang implikasi imāmah dalam tradisi.