B. Ketuhanan
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara historis-normatif Islam yang
dibawa Muhammad merupakan kelanjutan dari agama-agama sebelumnya,
Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu secara ijmali (global) tidak ada
perbedaan antara agama-agama tersebut kecuali dalam perinciannya atau
yang berlaku temporer pada jamannya seperti masalah syariatnya, yang
memang berbeda-beda. Hal ini seperti ditegaskan dalam QS. al-Ma’idah [5]:
48. Syari’at bersifat spesifik, temporer dan parsial serta berubah sesuai
zaman dan tempat.
Contohnya adalah mengenai model hukuman terhadap
orang yang berzina. Sebelum Islam, hukuman bagi pelaku zina adalah
ditahan selamanya (hukuman seumur hidup). Pada zaman Islam, pezina dihukum dengan cara dirajam. Maka dari itu, kritik al-Qur'an terhadap
agama-agama sebelumnya, hampir tidak ditujukan pada permasalahan yang
terakhir tersebut. Kritik yang kemudian melahirkan polemik
berkepanjangan- lebih ditekankan (ditujukan) pada hal-hal yang bersifat
teologis.
Kritik al-Qur'an terhadap agama-agama sebelumnya, disebabkan karena
penganut agama sebelum Islam telah melakukan tahrif atau corruption (QS.
4:46, 5:13; 5.41, 2:75). Bermula dari praktek tersebut, ajaran-ajaran agama
yang dibawa oleh para nabi yang asalnya benar, kemudian disimpangkan.
Hal ini terjadi, karena, (ini tentu saja menurut versi Islam) tidak sebagaimana
al-Qur'an, pesan-pesan 'Isa misalnya yang berupa wahyu tidak ditulis secara
langsung. Injil Markus yang dianggap paling tua, baru ditulis setelah lebih
dari 40 tahun dari 'Isa meninggal. Dan umat Kristen, menurut al-A'zami,
memerlukan kurang lebih 300 tahun untuk mengakui 4 Injil yang dianggap
suci, yaitu setelah konsili
Nicea pada tahun 325 M.
Bila dirunut secara historis, kritik al-Quran terhadap penyimpanganpenyimpangan
agama Kristen, secara ilmiah tidak bisa disangkal. Sebab
perjalanan Kristen dan ajarannya selalu mengalami perubahan dan penetapan
melalui konsili-konsili. Nabi Muhammad yang lahir sekitar tahun 600-an
Masehi dengan Qur'an yang diterimanya, tampak merupakan kritik terhadap
hasil dari penetapan konsili-konsili itu. Misalnya Konsili Nicea pada tahun 325 menetapkan tentang ketuhanan Yesus Kristus. Hal ini seperti terlihat
dari Syahadat Nicea berikut:
”Aku percaya akan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan
oleh Bapa lebih dahulu dari segala zaman. Allah keluar dari Allah...Allah yang
benar keluar dari Allah yang benar, yang diperanakkan bukan dijadikan, sezat
dengan Bapa...akan dia yang telah turun dari surga karena kita manusia dan
karena keselamatan kita”
Jadi kritik al-Qur’an tampaknya lebih diarahkan pada paham
keagamaan Kristen yang heterodok,
bukan yang ortodoks. Baik Islam
maupun Kristen, sebenarnya percaya adanya Tuhan.
Namun -sebagaimana
disebutkan- dalam perjalanan sejarahnya paham dan keyakinan tentang
Tuhan yang sama itu, oleh Kristen diberi pemaknaan yang menyimpang.
Kritik al-Qur'an terhadap paham keagamaan Kristen tentang Tuhan,
sebagaimana terlihat dari syahadat di atas meliputi bigetisme; yakni paham
atau kepercayaan bahwa Tuhan itu mempunyai anak. Dalam Kristen, anak
Tuhan tersebut adalah ‘Isa, dan juga mengenai Trinitas. Kepercayaan
demikian menurut al-Qur'an telah menodai ke-Esaan Allah.
Kepercayaan bahwa Allah mempunyai anak, dibicarakan dalam 29 ayat
dan terdapat dalam 19 surat dari semua periode. Paham Kristen bahwa `Isa
bukan hanya anak Tuhan, bahkan ia akhirnya Tuhan itu sendiri.
Dengan
predikatnya ini Ia dipanggil dengan beberapa nama: Yesus, Juru Selamat, Tuhan, Pengantara dan Kristus. Yesus Kristus atau `Isa dalam waktu yang
sama adalah benar-benar Tuhan dan benar-benar manusia. Dengan demikian
Ia memiliki dua hakekat, yakni hakekat sebagai Tuhan dan hakekat sebagai
manusia. Dalam wujudnya sebagai manusia, ia merupakan bentuk Inkarnasi
Tuhan. Sedangkan Maryam atau Maria yang melahirkan `Isa dianggap
sebagai Theotokos, Ibu Tuhan. Kritik al-Qur'an terhadap pandangan bahwa
`Isa adalah Allah ditujukan pada aliran yang memahaminya secara
antrophormis, yaitu pemahaman yang literal dan fisik, bukan figuratif dan
metafisik.
Kritik al-Qur'an terhadap paham bahwa `Isa sebagai anak Allah ini
dinilai oleh Homran Ambriel dan Edwin E. Galvery sebagai kurang
mendasar, sebab menurutnya, 'Isa atau Yesus dinyatakan dalam al-Qur'an
dengan kata Ibnullah, tidak dengan Waladullah. Ini menunjukan bahwa yang
ditolak oleh al-Qur'an adalah kepercayaan bahwa Allah memilliki anak
secara biologis atau memperanakkan yang dilalui dengan perbuatan fisik dan
hubungan seksual, sedang 'Isa tidak diperanakan secara fisik.
Namun
pernyataan sangkalan kedua tokoh itu bisa dipertanyakan. Memang
penolakan Islam terhadap doktrin Kristen tentang anak Tuhan dalam al-
Qur'an dinyatakan dalam kata walad (QS.al-Ikhlas [112]: 3), yang memiliki
konotasi makna biologis, tapi dalam ayat lain dinyatakan juga dengan wa
haraqa lahu baniin (QS.al-An’am [6]:100), dimana haraqa berarti
mengklaimnya secera dusta dan bohong. Dari frase ayat ini diketahui bahwa
mengatakan Allah memiliki anak -yang dalam ayat ini menggunakan Ibn,
bukan walad merupakan klaim yang didasarkan pada kebohongan atau di
buat-buat dan tidak didasarkan pada realitas ketuhanan yang sebenarnya.
Banyak juga sarjana Barat yang mengkritik bahwa al-Qur'an tidak
konsisten, karena hanya menerima doktrin Virgin Birth (kelahiran 'Isa oleh
perawan suci), tetapi tidak menerimanya sebagai anak Tuhan. Menurut
mereka, jika ia menerima kelahiran Yesus secara mu'jizat, seharusnya ia juga
menerimanya sebagai anak Tuhan atau bahkan Tuhan. Kritik ini sebenarnya
kurang mendasar, karena kelahiran Yesus itu dipandang seperti penciptaan
Adam yang tidak hanya tidak ber-bapak, tapi juga tidak ber-ibu (QS. Ali
Imran [3]:59). Menciptakan ‘Isa demikian, mempunyai ibu tentu lebih
mudah, dibanding menciptakan Adam yang tanpa keduaanya.
Bagi umat Islam, 'Isa yang disebut 24 kali dalam al-Qur'an
yang
penyebutannya sering menggunakan kata Ibnu Maryam, adalah tidak lebih
sebagai manusia biasa yang lahir dari seorang wanita dan tidak memiliki
sifat ketuhanan (divinity).
Isa adalah seorang Nabi (QS. Maryam [19]:30)
dan Rasul (QS.Ali Imran [3]:45) dan termasuk dalam deretan rasul-rasul
lain. Sedangkan Maryam, ibundanya adalah wanita yang dipilih dan
disucikan Allah (QS. Ali Imran [3]: 42). Jadi mereka adalah orang-orang
pilihan Tuhan. Namun, betapapun sucinya dan mereka berdua adalah
manusia pilihan, keduanya tetap manusia biasa.
Kritik lain yang dikemukakan al-Qur'an adalah mengenai Trinitas. Oleh
al-Qur'an, keyakinan demikian dinyatakan sebagai salah satu bentuk
kemusyrikan (QS. 4:171, 9:30, 5:73). Yang ditentang oleh doktrin ini,
menurut Schoun adalah pemberian sifat kemutlakan kepada Trinitas atau kepada Trinitas ontologis.
Yang dimaksud dengan Trinitas adalah one
subtance and three persons yaitu percaya pada satu Allah yang
menyatakan diri-Nya dalam tiga proposa atau persona. Percaya pada Allah:
Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Ajaran Trinitas ini hanya terdapat dalam Perjanjian Baru
dan
pernyataan yang paling kuat mengenai hal ini adalah terdapat dalam Matius
28:19, dan Korintus 12:4-6, 13:13. Salah satu bunyinya adalah: ”sebab itu
pergilah kamu, jadikanlah sekalian bangsa itu muridku serta membaptiskan
dia, dengan nama, Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Menurut paham Kristen,
Trinitas adalah kekal dan ketiga oknum bekerja sama dalam penciptaan
kembali dengan perbedaan tugas tertentu.
Dalam sejarah gereja, dogma Trinitas ini tidak terbentuk sekaligus,
melainkan melalui proses yang panjang dan hampir memakan waktu 400
tahun
Konsili I di Nicea pada tahun 325 memutuskan Yesus sebagai
Tuhan anak. Konsili II di Konstantinopel pada tahun 381 menetapkan
ketuhanan Roh Kudus dan dimantapkan pada konsili-konsili selanjutnya
pada tahun 431 di Epsus dan tahun 451 di Caicedon.
Kemudian sasaran kritik berikutnya adalah masalah penyaliban.
Masalah ini tidak kalah pentingnya dalam menentukan hubungan Islam-
Kristen. Bila dirunut, baik Trinitas maupun Penyaliban sumber utamanya
adalah berkenaan dengan dosa warisan. Dosa warisan adalah dosa setiap
manusia yang dipikul padanya sebagai warisan atau tanggungjawab atas –
bermula pada- kesalahan Adam dan istrinya pada peristiwa Drama Kosmis.
Dalam kepercayaan Kristen, manusia lahir telah membawa dosa. Dosa
asli atau warisan ini tidak bisa diatasi oleh kekuatan mansuia sendiri. Untuk
menyelamatkan manusia yang berdosa tersebut Allah melakukan Inkarnasi
dan masuk ke dunia dengan menjelma menjadi Yesus. Untuk, itu Yesus
harus dikorbankan, yaitu dengan jalan menyalibnya, sebagai pengganti dan
penebus dosa manusia. Dengan demikian Yesus bertindak sebagai perantara
Allah dan manusia dan sebagai penebus dosa.
Kepercayaan Kristen itu ditolak oleh Islam. Bagi Islam, manusia lahir
dalam keadaan suci, tidak menanggung atau membawa dosa. Manusia hanya
bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya dan menjadi
tanggungjawabnya. Oleh karena itu, disamping orang yang bersangkutan
tidak bisa mengalihkan tanggungjawabnya, juga tidak bisa mengorbankan
orang lain untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah
dilakukannya. Atas dasar itu, maka penyaliban adalah tidak mungkin
(QS.an-Nisa’ [4]:157).
Penolakan Islam tentang hal tersebut meliputi
penyaliban dan dosa warisan itu sendiri.