Karakteristik Dakwah Rasulullah SAW
Prof. Dr. Abd al-Karim Zaidan, Guru Besar Jurusan Agama Fakultas Adab Universitas Baghdad, menuturkan bahwa komponen dakwah (ushul al-dawah) itu ada empat yaitu materi dakwah, da‟i (pelaku dakwah), madu (obyek dakwah), dan wasail (metode dan saran dakwah).
Dalam pelaksanaan dakwah empat komponen ini tidak dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Begitu pula apabila kita berbicara tentang karakteristik dakwah Nabi SAW dalam menyampaikan dakwah dengan metode-metode dakwah yang beliau tempuh. Sehingga sementara orang yang mengelompokkan sifat-sifat dakwah Nabi SAW – seperti yang akan diterangkan nanti – ini ke dalam metode-metode dakwah beliau.
a. Memberikan peringatan (Al-Indzar)
Al-Indzar adalah penyampaian dakwah dimana isinya merupakan peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya. Al-Indzar ini sering dibarengi dengan ancaman hukuman bagi orang-orang yang tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Al-Qur‟an banyak menyebut Nabi Muhammad SAW, begitu pula nabi-nabi sebelumnya, sebagai nadzir atau mundzir, yang berarti orang yang memberi peringatan. Al-Qur‟an juga menyebutkan mereka sebagai basyir atau mubasysyir, yaitu orang yang memberikan kabar gembira. Namun apabila dihitung jumlah kedua sebutan itu, maka sebutan nadzir atau mundzir ternyata jauh lebih baik dari pada sebutan basyir atau mubasysyir. nadzir atau mundzir disebutkan tidak kurang dari 59 kali, sementara basyir atau mubasysyir hanya disebutkan 18 kali.
Al-Indzar dalam dakwah ini umumnya ditunjukkan kepada orang-orang kafir, atau orang-orang muslim yang masih suka berbuat maksiat.
b. Menggembirakan (al-Tabasyir)
al-Tabasyir adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang ikut dakwah. Seperti dituturkan di depan, Al-Qur‟an juga banyak menyebutkan predikat basyir atau mubasysyir untuk Nabi Muhammad SAW dan Nabi-Nabi sebelumnya, hanya saja jumlahnya lebih sedikit dibanding predikat nadzir atau mundzir. Dan hal ini tampaknya bukan merupakan suatu kebetulan, tetapi ada isyarat-isyarat di balik itu, antara lain;
1) Bahwa dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para Nabi sebelumnya lebih banyak bercorak indzar dari pada tabsyir.
2) Tipologi orang yang perlu mendapatkan indzar jauh lebih banyak dari pada tipologi orang-orang yang layak mendapatkan tabsyir.
3) Pendekatan dakwah dengan corak indzar ini ditempuh karena pada dasarnya para manusia itu telah memiliki keimanan dasar, dimana secara fitrah ia mengakui adanya pencipta alam raya ini, seperti sudah disinggung didepan, „keimanan dasar‟ ini menurut para ulama disebut dengan „tauhid rububiyah‟ semua manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir, mengakui hal itu. Bahkan Iblis pun mengakui bahwa ia diciptakan oleh Allah. Tentang pengakuan orang-orang kafir dan musyirikin ini Allah berfirman :
mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah )?,
(al-Zukhruf: 87).
Sementara tentang pengakuan Iblis Allah berfirmana:
Artinya:Iblis berkata, “saya lebih baik dari pada Adam, karena Engkau menciptakan saya dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.
(al-a‟raf: 12)
Namun demikian, sekedar „pengakuan‟ saja belum cukup untuk membuat manusia menjadi taat kepada Allah, sebab yang diperintahkan Allah adalah ketaatan mutlak manusia kepada-Nya. Untuk itulah diperlukan adanya „peringatan‟ (indzar) kepada manusia secara terus-menerus, agar manusia membuktikan loyalitas kepada-Nya.
Apalagi jika ditambah bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk lalai terhadap kehidupan akhirat, maka sangatlah wajar bila porsi indzar itu lebih banyak dari pada tabsyir.
c. Kasih sayang dan lemah lembut (al-Rifq wa al-Lin)
Di antara karakteristik dakwah Nabi SAW, beliau dalam menjalankan dakwah bersikap kasih saying dan lemah lembut. Sikap beliau ini lakukan terutama apabila beliau menghadapi orang-orang yang tingkat budayanya masih rendah. Misalnya, ketika ada seorang badui yang kencing di Masjid, para sahabat bermaksud mengusirnya, tetapi Nabi SAW justru membiarkannya sampai ia selesai membuang air.
Sesudah itu beliau menyuruh para Sahabat untuk mengambil air dan menyiramkannya pada tempat yang dikencingi badui tadi. Kemudian Nabi SAW bersabda, “kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.”
Membiarkan orang mengencingi lantai Masjid yang biasa dipakai untuk shalat tampaknya memang sulit untuk dipahami oleh para Sahabat pada saat itu. Tetapi begitulah sifat Nabi SAW menghadapi orang yang tingkat budayanya masih rendah.
Sementara sebagian Ulama menganalisis, seandainya Nabi SAW tidak membiarkan orang badui tadi merampungkan kencingnya, niscaya ia akan lari karena diusir oleh para sahabat.
Dan ini akan mengakibatkan air kencingnya tercecer kemana-mana sehingga lebih mengotori Masjid. Atau, ia akan segera menahan kencingnya, dan ini tentu akan membahayakan kesehatannya.
Namun bagaimanapun seandainya pengusiran itu terjadi maka secara psychologis orang badui pedesaan yang tepatnya bernama Dzulkhuwaishirah al-Yamani itu akan merasa terpukul mentalnya sehingga ia menjadi antipati dengan Nabi SAW berikut seluruh ajarannya. Sebab boleh jadi ia tidak tahu apabila lantai Masjid yang ada pada waktu itu masih berupa tanah itu tidak boleh dikencingi.
Dan itu adalah salah satu contoh saja dari sikap-sikap Nabi SAW yang lemah lembut dalam berdakwah. Selain itu masih banyak lagi contoh-contoh di mana Nabi SAW bersikap seperti itu. Dan itulah yang menjadikannya di puji Allah dalam firmanNya :
Artinya:maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhi diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(Ali Imran: 159)
Dan sebagai salah satu karakteristik dakwah, sikap kasih sayang dan lemah lembut baik dalam perlakuan maupun tutur kata ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saja.
Tetapi menjadi prilaku Nabi-Nabi sebelumnya. Bahkan kepada orang yang mengaku Tuhanpun Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk bertutur kata yang lembut. Yaitu dalam firmannya :
Artinya:Pergilah kamu berdua kepada fir‟aun, karena sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan tutur kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut.
(Thaha, 43-44)
d. Memberikan Kemudahan (al-Taisir)
Agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW sarat dengan kemudahan-kemudahan. Banyak aturan-aturan di dalamnya yang oleh sementara orang dianggap menyulitkan, ternyata tidak demikian.
Orang yang tidak dapat menjalankan shalat dengan berdiri, ia boleh shalat dengan duduk. Apabila shalat dengan duduk pun tidak dapat, maka ia dapat shalat dengan berbaring, begitu pula dengan hal bersuci, apabila ia tidak mendapatkan air, ia boleh bersuci dengan tayamum.
Begitulah, Islam mengenal adanya dispensasi (rukhshah), yaitu kemudahan-kemudahan yang diperoleh karena adanya sebab-sebab tertentu. Bahkan dalam keadaan darurat, babi yang haram dimakan itu justru wajib dimakan.
Namun demikian Islam melarang pemeluknya untuk mempermudah dalam menjalankan agamanya. Sementara Nabi Muahammad SAW dalam menjalankan dakwahnya banyak memberikan petunjuk-petunjuk agar manusia memperoleh kemudahan-kemudahan.
Sahabat Anas bin Malik yang pernah lama menjadi pelayan Nabi SAW, menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “permudahlah urusan orang-orang yang kalian hadapi dan janganlah mempersulit mereka. Berikanlah kabar-kabar yang mengembirakan, dan jangan buat mereka lari meninggalkan kalian.”
e. Tegas dan Keras (al-Syiddah)
Di samping sikap-sikap yang lemah lembut dan tidak mempersulit, pada saat-saat tertentu Nabi SAW juga Bani Makhzum yang sangat terpandang dikalangan kaum Quraisy. Tetapi mereka tidak berani membicarakan hal itu kepada Nabi SAW.
Akhirnya mereka menyuruh Usamah bin Zeid untuk membicarakan hal itu kepada Nabi Saw, karena Usamah adalah orang kesayangan beliau. Dan setelah mendengar permintaan Usamah, beliau berkata, “Apakah kamu hendak membebaskan manusia dari hukuman Allah ?” Kemudian Nabi berdiri dan mendatangi orang-orang banyak, lalu berkata, “Wahai sekalian manusia.
Hancurnya orang dahulu hanyalah karena apabila ada orang besar mencuri, mereka tidak mau menghukumnya. tetapi apabila yang mencuri itu rakyat kecil, mereka menghukumnya. Demi Allah, apabila Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya”. Akhirnya beliau memotong tangan Fatimah binti al-Aswad wanita pencuri itu.
Itulah salah satu contoh ketegaran Nabi SAW dalam masalah yang berkaitan dengan hak Allah (kepentingan umat). Sementara contoh ketegaran beliau dalam masalah dimana salah seorang sahabat diketahui melanggar larangan beliau, adalah kejadian dimana beliau melemparkan cincin emas yang dipakai oleh salah seorang sahabatnya. Kata beliau, “Di antara kalian ada yang sengaja menaruh bara api neraka ditangannya”.
Dan setelah cincin itu dibuang, ada seorang berkata kepada pemilik cincin tadi,”Ambil saja cincin itu, anda dapat memanfaatkannya”. Pemilik cincin tadi menjawab, “Tidak, Demi Allah, saya tidak akan mengambil barang yang sudah dibuang oleh Rasulullah.”
Tindakan Nabi SAW membuang cincin emas yang dipakai oleh salah seorang sahabatnya yang kebetulan lelaki itu karena beliau mengetahui bahwa orang itu sudah tahu bahwa kaum lelaki diharamkan memakai emas. Karena beliau pernah mengambil kain sutra dan emas, kemudian mengatakan, “sesungguhnya dua jenis benda ini haram dipakai oleh orang-orang lelaki dikalangan umatku.”
f. Sarat Tantangan dan Ujian (al-Tahaddiyat)
Dakwah ini tantangannya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sejak insan dakwah pertama kali diciptakan, yaitu Nabi Adam AS, tantangan dakwah yang berupa rayuan Iblis agar beliau melanggar larangan Allah sudah menyertainya. Dan begitulah, tantangan dakwah akan selalu ada selagi dakwah itu ada.
Tantangan-tantangan ini terkadang berupa hambatan-hamabatan dakwah baik internal maupun eksternal yang sering berbentuk ujian-ujian hidup bagi pelaku dakwah itu sendiri. Dan sebagai insan-insan dakwah, para Nabi justru yang paling parah menghadapi ujian-ujian hidup.
Hal ini dituturkan sendiri oleh Nabi SAW ketika menjawab pertanyaan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, “Siapakah orang yang paling pedih ujian hidupnya di dunia ini ?” Beliau menjawab “para Nabi, kemudian orang-orang tingkatannya mendekati Nabi dan seterusnya.”
Nabi SAW sendiri perjalanan hidupnya penuh dengan kisah-kisah yang memilukan. Begitu lahir belaiu langsung berpredikat yatim. Enam tahun kemudian predikat itu ditambah menjadi yatim piatu, karena ibunya wafat. Beliau kemudian diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Namun baru dua tahun diasuh, kakeknya wafat, kemudian beliau diasuh pamannya Abu Thalib.
Perjalanan hidup Nabi SAW yang begitu pahit pada masa kanak-kanak itu tampaknya bukan merupakan suatu kebetulan, tapi memang sengaja dibuat demikian oleh Allah. Begitu pula setelah beliau menjadi Nabi, teror orang-orang musyrikin Quraisy terhadap beliau juga semakin meningkat.
Sampai-sampai ketika beliau sedang shalat di Masjidil Haram, seorang yang bernama „Uqbah bin Abi Muait‟ meletakkan kotoran dan usus unta yang masih berlumuran darah tepat dipundak beliau saat beliau sedang sujud, sehingga beliau tidak dapat bangun. Akhirnya putri beliau yang bernama Fatimah yang saat itu masih kecil datang dan mengambil kotoran-kotoran tadi.
Ketika orang-orang Quraisy selalu gagal untuk membunuh beliau, mereka sepakat untuk memberlakukan “embargo ekonomi dan sosial”.
Embargo yang ditulis di atas kertas lebar dan digantungkan di atas Ka’bah ini berisi bahwa orang-orang Quraisy dilarang melakukan jual beli, pernikahan, dan memberikan kepada Nabi SAW dan para pengikutnya, berikut keluarga Hasyim dan keluarga al-Muttalib, karena dua keluarga ini dituduh melindungi Nabi SAW.
Embargo akan dicabut apabila Muhammad sudah diserahkan kepada orang-orang Quraisy untuk dipenggal lehernya.
Begitulah, embargo bertahan hingga tiga tahun, sejak tahun ketujuh hingga tahun kesepuluh dari kenabian. Dan karena tidak dapat membeli makanan dan lain-lain, akhirnya apa yang ada mereka makan, baik berupa kulit binatang yang sudah kering, daun-daunan, dan lain-lain.
Dan setelah tiga tahun berlalu Allah menghancurkan naskah “embargo” itu dengan mengirimkan rayap pemakan kertas. Maka hancurlah naskah itu seluruhnya kecuali bagian-bagian yang tertulis kata “Allah” saja.
Masih pada tahun yang sama istri beliau wafat. Dan enam bulan berikutnya paman beliau yang selama ini mengayominya juga wafat. Maka orang-orang Quraisy semakin leluasa untuk meneror Nabi SAW dan para pengikutnya. Sampai anak-anak kecil pun berani melemparkan lumpur ke kepala Nabi SAW.
Beringasnya orang-orang Quraisy dalam meneror Nabi SAW pada tahun kesepuluh itu yang disebut sebagai tahun kesedihan (Am al-Hazan) beliau memutuskan untuk hijrah ke taif, 70 km sebelah timur Makkah, dimana tinggal warga suku Tsaqif. Beliau mengharapkan agar penduduk Thaif dapat menerima dakwah beliau.
Sepuluh hari beliau tinggal di Taif, ternyata tidak seorang pun yang mau mengikuti dakwah beliau. Bahkan sebaliknya, beliau diperlakukan kasar, diejek, diperolok-olok, dan diusir dari Taif seraya dilempar batu, sampai kaki beliau berdarah. Sementara Zeid bin Haritsah, pengawal beliau juga dilempari batu dan kepalanya berlumuran darah.
Hebatnya, ketika Allah menawarkan kepada Nabi SAW untuk membinasakan orang-orang musyrikin Makkah, beliau malah menolaknya, kata beliau “Biarlah. Saya justru mengharapkan mudah-mudahan di antara anak cucu mereka nanti ada yang beriman dan menyembah Allah.”
Begitulah, ketika beliau masih tinggal di Makkah, teror demi teror satu per satu menimpa beliau dan para pengikutnya. Ujian-ujian dan Cobaan-cobaan itu bukan habis ketika beliau hijrah ke Madinah. Justru hijrah sendiri sudah merupakan ujian yang pahit bagi beliau.
Betapa tidak, kota suci sekaligus kota kelahiran yang beliau cintai harus beliau tinggalkan. Dalam perjalan hijrah, beliau bersama Abu bakar as-Shiddiq harus merangkak menaiki gunung Tsur yang tinggi dan terjal berbatu. Beliau hendak sembunyi di sebuah gua demi menghindari kejaran dari orang-orang musyrikin.
Sesudah menetap di Madinah, ujian-ujian hidup beliau juga tak kunjung reda, bahkan beliau pernah disihir oleh seorang Yahudi bernama Labid bin al-„Asham. Namun beliau segera sembuh karena diberitahu oleh malaikat Jibril.
Beliau juga pernah diracuni oleh seorang wanita Yahudi lewat daging kambing goreng yang dihadiahkan kepada beliau. Beliau sempat memakan daging tersebut, tetapi tidak ada apa-apa. Ketika wanita tersebut diketahui mau membunuh Nabi SAW, para sahabat memohon kepada beliau untuk diizinkan membunuh wanita tersebut. Tetapi beliau tidak mengizinkannya.
Itulah beberapa contoh tantangan dan ujian hidup beliau dalam menjalankan tugas dakwah. Dan tampaknya sudah menjadi kelaziman, bahkan merupakan watak, bahwa dakwah akan selalu berhadapan dengan tantangan-tantangan, baik tantangan terhadap dakwah itu sendiri, maupun tantangan terhadap pelaku dakwah. Oleh karena itu, agak aneh kedengarannya apabila seoarang juru dakwah enggan menghadapi tantangan-tantangan.
g. Ofensif dan aktif (Hujumi wa Fa‟ali)
Dari segi kebahasaan kata dakwah adalah bentuk ketiga dari kata da‟a, lengkapnya da‟a-yad‟u-da‟wah. Dalam Al-Qur‟an, kata dakwah dan kata-kata yang terbentuk dari kata dakwah disebutkan tidak kurang dari 213 kali.[36]
Sementara artinya berkisar pada tiga kategori sebagai berikut :
1)Menyembah
Seperti dalam ayat Al-Qur‟an 108 Surah Al-An‟am:
Artinya:Dan janganlah kamu miliki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas dan tanpa pengetahuan.
(al-An‟am, 108).
2) Berdo‟a, meminta, memohon
Seperti dalam ayat 68 surah Al-Baqarah:
Artinya:Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.
(Al-Baqarah, 68)
3) Mengajak, mengundang, memanggil, menyeru.
Seperti dalam ayat 33 surah Yusuf
Artinya:Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.”
(Yusuf, 33)
Sebenarnya kategori pertama dapat digabungkan kedalam kategori kedua, karena pengertian “menyembah” itu pada dasarnya juga berupa do‟a, permintaan, dan permohonan. Namun ada suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketiga kategori arti itu memiliki persamaan, yaitu masing-masing pekerjaan itu melibatkan pihak lain sebagai obyek.
Dalam ilmu tata bahasa Arab (al-Nahw wa al-Sharf), kata kerja seperti ini disebut fi‟il muta‟addi. Sementara kategori yang paling cocok dengan pengertian dakwah yang dibahas dalam buku ini adalah kategori arti yang ketiga, yaitu mengajak, meengundang, memanggil dan menyeru.
Mengajak, mengundang, memanggil, dan menyeru adalah pekerjaan-pekerjaan yang memiliki karakteristik khusus, yaitu ofensif dan aktif. Karenanya, dari sini dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah upaya yang bersifat ofensif, karena ia memulai perbuatan lebih dahulu. Ia tidak bersifat defensive (bertahan) yang hanya berbuat apabila ada orang lain yang memulai.
Dakwah juga bersifat aktif, karena ia merupakan upaya persuasive yang berusaha untuk meyakinkan pihak lain agar mau mengikuti isi dakwah itu. Dakwah tidak bersifat reaktif, yang hanya melakukan sesuatu apabila mendapat umpan.