Dialaog Islam-kristen

Dialaog Islam-kristen0%

Dialaog Islam-kristen pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Dialog

Dialaog Islam-kristen

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Zaeinal Abidin palu
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 5541
Download: 3657

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 10 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5541 / Download: 3657
Ukuran Ukuran Ukuran
Dialaog Islam-kristen

Dialaog Islam-kristen

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

MENUJU DIALOG ISLAM – KRISTEN:

Perjumpaan Gereja Ortodoks Syria dengan Islam

Zaenul Arifin

Abstract

Conflict between Christianity and Islam prevailed the pages of the history of religion.

Having a common origin, the two religions always stuck in a violent conflict.

This article try to explore deeply the Syrian Orthodox Church, and find out the common

roots with Islam. It is found the parallelization in any theological aspect of

Christianity and Islam, especially in the observance of religious duties. The data

cought will have an importance in developing the dialog between Islam and

Christian.

***

Konflik antara Kristen dengan Islam tampil dalam sejarah agama. Karena memiliki sumber asal yang sama, kedua agama selalu terlibat dalam kontak kekerasan.

Tulisan ini mencoba untuk mengkaji secara mendalam geraja orthodoks Syria dan ditemukan akan adanya akar yang sama dengan Islam.

Ditemukan pula adanya paralelisasi dalam aspek teologinya, khususnya pelaksanaan

kewajiban agama.

Data yang didapatkan menunjukkan arti penting dalam pengembangan dialog antara Islam dengan Kristen

Keywords:

Gereja Ortodoks Syria, paralelisasi agama, tugas keagamaan,

dialog

A. Pendahuluan

Kristen dan Islam sebagai dua agama terbesar di dunia, meskipun secara teologis memiliki ciri khas yang sama, sama-sama agama rumpun Ibrahim,

agama semitis yang berasal dari Timur Tengah, namun dalam sejarahnya banyak mengalami konflik, bahkan hingga saat ini. Selama ini, khususnya

dalam tataran teologis, antara Islam dan Kristen ada tembok pemisah yang

dibatasi oleh paradigma dan religious language (bahasa agama) yang berbeda.

Lalu muncullah sejumlah kesalahpahaman,—plus faktor-faktor non teologis

yang “memboncengi”—, maka meruncinglah perbedaan dan meletuslah

kerusuhan-kerusuhan[1] .

Konflik kedua agama tersebut disamping dipicu oleh

faktor ekonomi, politik, sosial, juga disebabkan oleh sikap eklusif di antara

pemeluk kedua agama.[2] Padahal Agama Kristen dan Islam dapat dikatakan

agama-agama monoteis, sebab semuanya menyembah Tuhan yang sama dari

kedua agama tersebut. Dalam sejarah agama-agama, kelompok agama yang

satu bisa saja menyerang beberapa teolog agama tertentu, bahkan dalam satu

agama sekalipun. Masing-masing kelompok ingin menunjukkan kemurnian

agamanya, sementara yang lain dipandang sesat.

Soal dialog antar agama, dalam sejarah, sebenarnya bukanlah hal yang

baru. Sejak awal kemunculannya, umat Islam sudah terbiasa berdialog dengan

siapa saja. Di Makkah, sebelum hijrah, Rasulullah SAW dan para sahabat

sudah berdialog dengan kaum musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijrah

ke Habsyah, Ja’far bin Abdul Muthalib sudah berdialog dengan pengikut

Kristen dan juga Raja Najasyi yang ketika itu masih memeluk agama Kristen.

Di Madinah, Rasulullah SAW melayani perdebatan dengan delegasi Kristen

Najran.

Meskipun sejak nabi dialog Islam Kristen sudah dilakukan dan masih

terus dilakukan sampai sekarang. Namun Konflik Islam-Kristen masih sering

terjadi. Mengapa ini semua bisa terjadi? Ada dua faktor penyebab utama,yaitu faktor eksoterik dan esoterik.[3] Faktor eksoterik itu meliputi faktor

sejarah (historisitas), sosial dan budaya (kultural), sedangkan faktor esoterik

meliputi lima konsep atau bisa dikatakan dogma, yaitu konsep Ketuhanan

(theisme), keselamatan (soteriologi), pemahaman tentang kitab suci

(scriptural), klaim kebenaran (truth claims), dan pemahaman tentang agama

lain (religiusitas). Dialog teologis yang dimaksudkan di sini adalah dialog yang

mencakup kedua wilayah agama tersebut, yaitu eksoterik dan esoterik.

Hubungan Islam-Kristen di Indonesia, pada salah satu aspeknya mewarisi

“beban sejarah” dari para pendahulunya, yaitu para pembawa kedua

agama: Islam hampir identik dengan Arab (Timur Tengah) dan Kristen

dengan Barat.[4] Dalam kaitan ini, banyak ahli studi kekristenan Timur Tengah

berpendapat bahwa Kekristenan Ortodoks Syria-lah yang paling banyak

memiliki kesamaan istilah keagamaan dan titik temu dengan Islam.[5]

Berangkat dari kesamaan akar inilah, terletak relevansi ajaran-ajaran

teologis dari Gereja Ortodoks Syria untuk dikemukakan dalam dialog Islam-

Kristen.

Untuk itu sebagai upaya menambah wacana dan tradisi dialog antara

Islam dan Kristen, maka dialog teologis Islam-Kristen lewat Gereja Ortodoks

Syria, yang belum banyak dikenal di Indonesia ini, baik oleh umat Islam

maupun umat Kristen sendiri, layak untuk dikedepankan.[6]

B. Sejarah dan Perkembangan Gereja Ortodoks Syria

Gereja Ortodoks Syria, nama resminya Idto Suryoyto Treeysath Shubho,

dalam bahasa Inggris , Syriac Orthodox Church,[7] —gereja ini di Barat sering

disebut sebagai sebagai Jacobit[8] atau Monophysit,[9] tetapi julukan ini dianggap

menyesatkan, para pengikut gereja ini lebih menyukai istilah Gereja non

Chalcedonia[10] atau Gereja Miafisit[11] —adalah salah satu gereja Kristen tertua

yang berakar dari Gereja Antiochia.[12]

Di kota Anthiochia inilah para pengikut Yesus, untuk pertama kalinya

dijuluki orang Kristen[13] Selain dijuluki orang-orang Kristen (para pengikut

Kristus), mereka juga dijuluki orang-orang Syria (Syrians dalam bahasa Inggris). Nama ini diambil dari nama Cyrus, Raja Persia (559-529 SM.) yang

menaklukkan Babylon (539 SM.) dan membebaskan orang-orang Yahudi

untuk kembali ke Judea. Nama ini disebutkan oleh Nabi Isaiah, dan dihubungkan

dengan Kristus. Sejak itu istilah orang-orang Syria, dipakai pertama-tama

untuk orang-orang Kristen dari Syria (Suriah), dan kemudian dipakai juga

untuk menyebut orang-orang Kristen dari Mesopotamia, Persia, India, dan

Timur jauh, yang masuk Kristen karena para rasul dan pendeta yang berasal

dari Syria.

Nama ini digunakan di Syria untuk membedakan antara orang-orang

Aram Kristen dan kafir. Istilah “Aramean” sinonim dengan “Kafir,” dan istilah

“Syrian” sinonim dengan “Kristen”. Demikian juga bahasa Aram disebut

bahasa Syria (Syriac). Hingga sekarang ini orang-orang Kristen yang memakai

bahasa Syria disebut “Suroye,” “Suraye,” “Curcaye”. Sedangkan istilah “Kristen”

dipakai untuk orang-orang Kristen Barat.[14]

Rasul[15] Petrus[16] dipercaya telah mendirikan sebuah gereja di Antiochia

pada tahun 37 M,[17] yang sisa-sisanya sekarang terdapat di Antakya (nama moderen dari Antiochia), Turki. Kelanjutan dari gereja inilah yang sekarang

disebut Gereja Ortodoks Syria.

Gereja Antiochia memainkan suatu peran yang penting pada awal

sejarah Kekristenan.[18] Mereka memainkan peranan dalam tiga konsili yang

pertama, yaitu konsili pada Nicea (325.), Constantinople (381 M.), dan

Ephesus (431 M), yang merumuskan doktrin Kristen awal. Setelah konsili

Chalcedon (451 M. ), gereja Anthiochia terpecah menjadi dua, yang menerima

hasil dari konsili Chalchedon disebut Gereja Ortodoks Timur Anthiochia dan

yang menolak dikenal sebagai `Idto SuryoytoTreeysath Shubho (Gereja

Ortodoks Syria)[19] .

Bersama dengan Gereja Alexandria (Koptik), kedua gereja yang menolak

konsili Chalcedon ini, kemudian disebut Gereja Ortodoks Oriental.[20] Selain karena penolakan terhadap keputusan konsili Chalcedon, sebab lain yang

mejadikan perpecahan dalam gereja di Timur ini adalah kesadaran kebangsaan

yang melawan kuasa pusat kekaisaran.[21]

Akibat dari perpecahan ini menjadikan Gereja Ortodoks Syria menjadi

gereja yang paling teraniaya oleh sesama Kristen. Mereka menjadi sasaran

fitnah dan dicap sebagai aliran heresy (sesat) bahkan penganiayaan fisik oleh

pihak Byzantium, sampai–justru tentara Arab Muslimlah—yang membebaskan

mereka.[22]

Kepala Gereja Ortodoks Syria sekarang ini adalah Patriach Ignatius

Zakka I Iwas. Gereja ini terdiri dari 26 archdiosis (keuskupan agung) dan 11

patriachal vicarat. Patriach Zakka ditahbiskan sebagai kepala gereja pada

tanggal 14 September 1980 M.[23] Patriach Ortodoks Syria biasanya dikenal

dengan namanya sendiri, tetapi sejak tahun 1293 M., Patriach Antiochia

memakai nama Ignatius, dan berlanjut sampai sekarang. Dimana Ignatius

Zakka I menjadi patriach yang ke 122.[24] Kantor Patriachat sekarang ini

berada di Bab Touma, Damaskus, ibu kota Syria; tetapi patriach bertempat

tinggal di Biara Mor Aphrem di Ma’arat Sayyidnaya, yang berlokasi kurang

lebih 25 km sebelah utara Damaskus[25]

Pemimpin tertinggi dari Gereja Ortodoks Syria adalah “Patriach Antiochia

dan seluruh daerah Timur,” ia juga memimpin Synod Suci, majelis dari

seluruh uskup. Pemimpin lokal dari gereja di Malankara India adalah

“Katolikos dari India” Basilius Thomas I, berada di bawah yurisdiksi dari

Patriach Antiochia dan bertanggung jawab pada Synod Suci, dan synod lokal

Malankara. Dia ditahbiskan oleh patriach, dan memimpin Synod Suci lokal.

Pemimpin dari setiap Keuskupan Agung adalah seorang Uskup Agung,

yang berada di bawah yurisdiksi dari patriach dan bertanggung jawab pada Synod Suci, ia juga ditahbiskan oleh patriach dan paling sedikit dua orang

uskup.

Setiap kepastoran diangkat seorang imam yang berada di bawah yuridiksi

uskup agung dan langsung bertanggungjawab kepadanya. Kepastoran

dijalankan oleh sebuah komite yang dipilih oleh jamaah kepastoran dan

dikukuhkan oleh uskup agung. Deacon membantu imam dalam administrasi

peribadahan, setiap keuskupan agung biasanya mempunyai seorang deacon

agung yang dijuluki “tangan kanan dari uskup”.

Di Gereja Ortodoks Syria terdapat tiga tingkatan kependetaan, yaitu:

Episcopate (uskup), meliputi tingkatan patriach, chatolicos, uskup agung, dan

uskup. Vicarate (imam), meliputi sub-uskup dan pastor. Deaconate (deacon),

meliputi deacon agung, evangelical-deacon, sub-deacon, lektor atau qoruyo

dan penyanyi atau mzamrono.[26]

Pengikut dari Gereja Ortodoks Syria ini di seluruh dunia diperkirakan

berjumlah sekitar 2.250.000 orang, termasuk 1.200.000 orang di India, dengan

memasukkan pengikut dari Gereja Ortodoks India. Gereja Ortodoks

India ini kadang-kadang disalahpahami sebagai bagian dari Gereja Ortodoks

Syria, walaupun mereka berasal dari satu tradisi dan suatu saat berwadah

tunggal, mereka terpecah dalam dua bentuk yang independen. Satu otonomi

di bawah Gereja Ortodoks Syria, dan yang lain Gereja India Ortodoks yang

authocephalous.[27]

Setelah berkurang akibat invasi Mongol pada abad ke-14, perpecahan

pada abad ke-18 dengan berdirinya Gereja Katolik Syria, akibat pembantain

yang dilakukan penguasa Turki, serta emigrasi sejumlah besar pengikutnya

ke Eropa Barat pada tahun 1960-an.[28] Sekarang ini di Syria terdapat 680.000

orang pengikut, dan di Turki berjumlah 5.000 orang. Sedangkan di Jerman 70.000 orang, di Swedia 60.000, di Belanda 15.000, dan sejumlah besar pengikut

di Amerika Utara dan Selatan serta Australia.[29]

Di Indonesia pengikut gereja ini memang belum cukup banyak, baru

sekitar 100 orang. Tapi kalau simpatisan, sudah mencapai ribuan. Untuk

menjadi pengikut resmi di Indonesia belum bisa dilakukan, karena Gereja

Ortodoks Syria di Indonesia belum mempunyai imam dan gereja. Padahal

untuk bisa menjadi pengikut resmi harus melewati prosedur pembaptisan

seorang imam. Di Indonesia, gerakan dari para pengikut gereja ini baru

bersifat studi atau kajian, yang dipelopori oleh Bambang Noorsena sejak

tahun 1997. Sebab itu, untuk sementara ini bagi jamaah yang ingin menjadi

pengikut resmi gereja ini (di Indonesia dinamakan Kanisah Ortodoks Syria)

harus melalui prosedur pembaptisan Abuna Abraham Oo Men di Singapura[30]

C. Parelelisasi Gereja Ortodoks Syria dan Islam

1. Aspek Bahasa Teologis

Gereja Ortodoks Syria (Antiochia) bersama dengan Gereja Alexandria

(Koptik) menolak rumusan yang dihasilkan oleh Konsili Chalcedon—yang

diterima oleh Gereja Barat, Roma dan Konstantinopel—yang menyatakan

kesatuan pribadi Yesus “dalam dua kodrat”. Selengkapnya sebagai berikut:

“sesungguhnya kami bersama-sama dengan sepakat memahami, bahwa

Putra Yang Tunggal, yang tidak lain yaitu Gusti kita Isa al-Masih, adalah

sempurna dalam keilahian (sebagai Firman Allah) dan sempurna dalam ke- manusiaan, benar-benar ilahi dan benar-benar insani, mempunyai jiwa akali

dan tubuh, sehakikat dalam dzat dengan Bapa dalam kodrat Ilahi-Nya, dan

sehakikat dalam dzat dengan kita dalam kodrat insani-Nya, dalam segala hal

sama dengan kita kecuali dalam hal berbuat dosa, dilahirkan dari Allah sebelum

segala abad dalam kodrat Ilahi-Nya sebagai Firman Allah, dan

dilahirkan demi kita dan demi keselamatan kita, dalam kodrat insani-Nya

dalam zaman akhir ini dari Perawan Maria, Bunda (Firman) Allah. Sesungguhnya

hanya ada satu-satunya al-Masih, yang tidak lain adalah Sang

Putra, Gusti, Putra Allah yang tunggal dalam dua kodrat, tidak berbaur, tidak

berubah, tidak terbagi dan tidak terpisah. Karena kesatuan-Nya tidak

menghilangkan kedua kodratnya, tetapi sifat-sifat kedua kodrat itu tetap

terpelihara, yang pada akhirnya menjadi satu pribadi dan satu zat, dimana

kodrat itu tidak tercerai dan tidak terbagi menjadi dua pribadi, tetapi hanya

ada satu Putra yang tunggal, yang tidak lain adalah Firman Allah dan Gusti

kita Isa al-Masih.”[31]

Kedua gereja tersebut mengikuti satu ajaran Kyrilos dari Alexandria,

bahwa Yesus mempunyai “satu kodrat ganda,” yaitu satu kodrat Firman Allah

yang menjadi manusia. Sebagaimana kesalahfahaman Gereja Barat atas

kristologi non Chalcedonia, demikian pula Theodoretus dari Cyrus pernah

menuduh seolah-olah dengan penekanannya atas ajaran Firman Allah yang

menjdi manusia itu, Kyrillos mengajarkan seolah-olah Allah dapat menderita.

Padahal Kyrillos menekankan bahwa penderitaan itu dialami al-Masih “dalam

tubuh kemanusian-Nya” (Petrus I, 3: 18), bukan dalam kodrat Keilahian-Nya

sebagai firman yang tidak dapat menderita dan tidak dapat mati.

Gereja Ortodoks Syria juga tidak menerima hasil Konsili Konstantinopel

III (680-681 M) yang melahirkan ajaran monoteletisme, yang menyatakan

Yesus hanya mempunyai kehendak tunggal. Padahal tanpa kehendak

manusia Yesus tidak mungkin menjadi manusia sejati, dan tidak dapat dikatakan

bahwa Ia “sama dengan kita, Ia telah dicobai” (Ibrani 4:15).[32]

Demikian juga keputusan Konsili Toledo (568), yang menambahkan

filiouque[33] dalam: Qanūn al-Imān, bahwa Ruh Kudus keluar dari Bapa dan

Putra, ditolak oleh gereja ini.[34]

Dalam menjelaskan ajaran Trinitas, gereja-gereja ortodoks di Timur

mempertahankan bahwa sumber keilahian hanya satu, yaitu wujud Allah

(dikiaskan Bapa); Wa an lā ilāha ilallāh al-Aḥad….wa huw al-Abu lladzi minhu

kullu shai’in. Sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah, Yang Maha Esa, yaitu

Bapa yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu (Kor. I,:4-6, teks bahasa

Arab). Dari satu Esensi kekal inilah, Firman Allah keluar sebelum segala

zaman (Divine Birth of the Son, Injil Yoh.1:1-3) dan bersamaan dengan itu

Hayat/Ruh Allah juga berasal;”…yaitu Ruh Kebenaran yang keluar dari Bapa”

(Yohanes 15:26, teks Arab: Rūḥ al Ḥaqq al-munbashiqu min ’l-Ab).[35]

Dengan demikian, Gereja-gereja Timur menegaskan bahwa Ruh Allah itu

(seperti juga Firman-Nya) sama-sama keluar dari Allah, dan bukan Ruh Allah

keluar dari wujud-Nya (Bapa) dan Firman-Nya (putra), yang dalam

pandangan Gereja-gereja Timur dianggap mencederai keesaan-Nya. Untuk

menegaskan kesatuan yang mendalam antara karya keselamatan al-Masih

dengan Ruh Kudus, Gereja-gereja Timur bisa saja menerima rumusan bahwa

Ruh Allah itu keluar dari Allah sebagai satu-satunya esensi Ilahi, tetapi

penerimaan Ruh Allah itu ke dunia melalui Putra, yaitu sosok nuzul Firman

sebagai manusia dalam karya-Nya sebagai Mesiah.[36]

Berkaitan dengan hal ini, Mar Philoxenos al-Manjub (w. 485), salah

seorang dari bapa Gereja Ortodoks Syria, mengubah nyanyian Natal: “Ia yang

dilahirkan dari Bapa secara ilahi tanpa jasad, adalah juga yang dilahirkan dari

Perawan Maryam secara jasadi tanpa bapa. Ia yang satu berasal dari dua, Ilahi

sekaligus insani”.[37]

Dalam makna inilah Ruh Allah itu juga disebut Ruh Yesus (Kisah 15:7;

Filipi1:19). Maksudnya bukan Ruh yang keluar dari Yesus, melainkan Ruh

yang diutus Bapa demi nama Mesiah, “tetapi Penghibur, yaitu Ruh Kudus,

yang diutus oleh Bapa demi Nama-ku” (Yohanes 14:26).[38]

Dalam Kristen ortodoks, ditegaskan: Akal Ilahi (Firman Allah) berdiam

dalam Dzat Ilahi sejak azali. Tidak pernah ada sekejappun dalam suatu waktu,

di mana Dzat Ilahi itu ada tanpa ‘aql atau pikiran-Nya, karena itu ‘aql atau

pikiran-Nya tersebut berada dalam Allah tanpa pemisahan dengan-Nya,

sebab Allah itu tidak terbagi-bagi.[39]

Para teolog Kristen berbahasa Arab sering menerjemahkan padanan

istilah Bapa dan Putra dan Ruh Kudus sebagai: al-wujud, al-‘ilmu dan al-hayat

(istilah-istilah yang juga sering dipakai dalam Ilmu Kalam). Dengan demikian,

berbicara tentang ‘Ilm al-Qadīm (The Divine Logos) dan Ḥayat al-Qadīm (The

Divine Life) dalam Wujūd al-Qadīm (The Divine Subtance), tanpa mengakibatkan

ta‘addud al-qudamā’ (terbilangnya Yang Qadim), sebenarnya hanya

menegaskan aspek-aspek dalam keesaan Allah itu sendiri.[40]

Fakta ini menurut Bambang yang diakui oleh Taib Thahir Abdul M’uin[41]

yang menggolongkan pandangan di atas dalam mazhab waḥdah (mengakui

keesaan Allah).[42]

Selanjutnya dalam literatur Arab istilah Allah (lebih khusus dibandingkan

dengan istilah-istilah padanannya: Elohim, Theos, Dieu, God), lebih menunjuk

kepada Bapa itu sendiri. Karena itu dalam lingkungan Kristen Arab,

tidak disebutkan: Allāh al-Mutajjasad (Allah menjadi Manusia), tetapi lebih

dikenal istilah Ibnullah al-mutajjasad (Putra Allah menjadi Manusia). Maksudnya:

wa kalimatuhu wa huwa nazala min ’l-samā’ (yaitu Firman-Nya yang telah turun dari surga), atau: wa kalimatuhu al-mutajjasad (dan Firman-Nya

yang menjadi Manusia).[43]

Jadi, gelar Tuhan bagi Yesus bukan dalam makna Tuhan (ilah) selain

Allah, melainkan “rabb atau Tu(h)an bagi kemuliaan Allah” (Filipi 2:11).

Dalam bahasa Aram (Syria): mara hu yeshu’a mashiha le shebaha de alaha.

Frase le shebaha de alaha (bandingkan dengan bahasa Arab; subḥānallāh),

menunjukkan bahwa melalui karya Mesiah itu ketuhanan Allah dilaksanakan,

sehingga semua makhluk bertasbih memuji Allah. Jadi, gelar ketu(h)anan

Yesus, sama sekali tidak menempatkan kemanusian-Nya sebagai ilah selain

Allah.

Keilahian Yesus menunjuk kepada kodrat Ilahi-Nya sebagai sebagai

Firman Allah, yang kekal dan bukan bersifat fisik, sebanding dengan penghayatan

Islam mengenai kalām nafsiy yang qadīm dan berdiri pada Dzat Allah.

Sedangkan ketu(h)anan-Nya menunjuk kepada kodrat insani-Nya, yang

karena ketaatan dalam melaksanakan kehendak Allah, Yesus digelari Tu(h)an

bagi kemuliaan Allah. Selanjutnya wujūd nuzūl kemanusiaan Yesus tersebut

sebanding dengan penghayatan Islam mengenai kalām lafẓiy, yaitu wujud

temporal kalam Allah yang nuzul dalam ruang dan waktu sebagai al-Qur’an

dalam bahasa Arab (QS. Thaha:113).[44]

Dalam hal ini Said Aqiel Siradj menilai bahwa Gereja Ortodoks Syria

tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. Secara tawḥīd alrubūbiyyah,

mereka jelas mengakui bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam

yang wajib disembah. Secara tawḥīd al-ulūhiyyah ia juga telah mengikrarkan

Lā ilāha illallāh; tiada tuhan (ilāh) selain Allah, sebagai ungkapan ketauhidannya.

Sementara dari sisi tauhid sifat dan asma Allah secara substansial tidak

jauh berbeda. Hanya ada perbedaan sedikit tentang sifat dan asma Allah tersebut.

Jika dalam Islam kalam Tuhan Yang Qadim itu turun kepada manusia

(melalui Muhammad) dalam bentuk al-Qur’an, maka Kristen Ortodoks Syria

berpandangan bahwa kalam Tuhan turun menjelma (tajassud) dengan Ruh

Kudus dan Perawan Maryam menjadi manusia.[45]

Sementara itu sebutan Yesus sebagai “Ibnu Maryam” (Putra Maryam)

yang kurang populer dalam Injil-injil kanonik, karena hanya disebut sekali

dalam Markus 6: 3, justru lebih akrab jadi sebutan untuk tokoh ‘Isa dalam

Qur’an. Bahkan, Qur’an memberi penghormatan khusus bagi Maryam dengan

kata-kata ‘dan ibunya adalah seorang yang sangat benar’ (QS. al-Ma’idah [5]:

75), ‘Maryam yang memelihara kehormatan’ (QS. al-Anbiya [21]:91, al-Tahrim

[66]: 12), ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih engkau, mensucikan

dan melebihkan engkau atas sekalian perempuan yang ada di dalam

alam’ (QS. Ali Imran [3]: 42). Kisah masa kecil dan peranan Maryam di kemudian

hati diceritakan lebih panjang lagi dalam Surat Maryam.

Menurut Geofferey Parrinder, gelar Ibnu Maryam sangat mungkin

karena pengaruh dari gereja Syria, karena hampir tujuh puluh lima persen

istilah-istilah asing dalam Qur’an berasal dari bahasa Syria. Alasan ini dibuktikan

oleh sebutan Ibnu Maryam yang berkali-kali disebut dalam The

Gospel of Infancy dalam versi bahasa Arab dan Syria. Ini menunjukkan bahwa

orang-orang kristen Syria memiliki kontak lebih erat dengan Islam mulamula.

Dalam Arabic Infancy Gospel, gelar Ibnu Maryam disebut lima kali,

sedangkan dalam Syriac Infancy Gospel, gelar itu muncul lima belas kali,

khususnya dalam kisah kanak-kanak ‘Isa.[46]

2. Aspek Pola Ibadah

Istilah ṣalāt dalam bahasa Arab menunjukkan doa dalam tertib dan

waktu tertentu. Dalam tradisi liturgis Kristen, sejajar dengan istilah Yunani

προσεχη (prosekee). Menurut Arthur Jefferey, kata Arab ṣalāt berasal dari

sumber Aram/Suryani/Syriac, tselota.[47]

Istilah tselota ini hingga sekarang dilestarikan gereja-gereja yang masih

melestarikan bahasa Suryani (Gereja Ortodoks Syria, Gereja Assyria/Syria Timur, Gereja Katolik Maronit di Libanon dan Gereja Katolik Kaldea Kesatuan/

Uniate Chaldean di Irak). Sedang kata Arab ṣalat dipakai bersamasama

oleh Islam, dan seluruh gereja di Timur Tengah[48] , tetapi dalam hal

ekpresi lahiriah ibadah (postur ruku’ dan sujud) hanya Gereja Ortodoks Syria

yang meneruskan ritual Yahudi dan adab timur lainnya, dimana pola ibadah

yang sama juga dilestarikan oleh umat Islam.[49]

Bedanya, bila kaum Muslimin diwajibkan shalat 5 kali sehari, penganut

Gereja Ortodoks Syria lebih banyak lagi, 7 kali sehari setiap 3 jam. Mereka

menyebutnya: sa`atul awwal/saphro (fajar/Shubuh), sa`atuts tsalis/tloth

sho`in (Dhuha), sa`atus sadis/sheth sho`in (Zhuhur), sa`atut tis`ah tsha` sho`in

(Ashar), sa`atul ghurub/ramsho (Maghrib), sa`atun naum/sootoro (Isya’), dan

sa`atul layl/ lilyo (tengah malam).[50]

Hari Gerejawi dimulai pada sore hari saat matahari tenggelam, contoh hari

Senin dimulai pada saat matahari tenggelam pada Minggu sore. Oleh karena itu

shalat “Maghrib” (ramsho) dan “Isya’”(sootoro) dilakukan pada hari Minggu.[51]

Di beberapa biara sekarang ini, shalat ini diringkas menjadi 3 kali, yaitu

dengan menggabungkan antara Maghrib dan Isya’, tengah malam dengan

Shubuh, serta antara Dhuha, Zhuhur dan Ashar.[52] Bahkan jika para penganut

Ortodoks Syria ini ada kesibukan boleh dilakukan dua kali perhari, yaitu pada

waktu fajar dan ketika matahari terbenam. Kalau yang ini masih juga tidak

mampu, bisa dilakukan satu kali dalam seminggu, yakni pada hari Minggu.[53]

Tidak hanya itu persamaan dengan Islam. Tenyata mereka juga

mengenal haji. Ibadah haji ke Palestina ini termasuk ibadah non-sakramen,

seperti juga shalat, zakat persepuluhan, serta puasa. Berdasar Kitab Ulangan

16: 16-17 disebutkan hag atau haji dilakukan ke tanah suci Palestina menjelang

Pekan Kudus (perayaan Paskah). tiga kali dalam setahun. Dan sepulangnya,

setiap orang Kristen Ortodoks mendapatkan sertifikat dari

Patriakh Jerusalem dengan sebutan hadhi (untuk pria) dan hadhina (untuk

wanita).[54]

Puasa wajib bagi pemeluk Islam yang dilakukan selama sebulan dalam

setahun, dikenal dengan ṣaumu Ramaḍān. Sedang pada Gereja Ortodoks Syria

disebut ṣaum al-kabīr (puasa 40 hari berturut-turut) yang dilakukan menjelang

Paskah sekitar bulan April. Jika dalam Islam ada puasa sunnah Senin-

Kamis, pada Gereja Ortodoks Syria dilakukan pada Rabu-Jum’at, dalam

rangka mengenang kesengsaraan Kristus.[55]

Selain puasa tersebut, umat Ortodoks Syria umat Ortodoks Syria juga

berpuasa 40 hari menjelang Idul Milad (Natal), kemudian puasa 50 hari lagi

setelah Hari Pentakosta. Masih ditambah tiga hari puasa Niniwe yang dimulai

dari hari Senin, seminggu sebelum peringatan Paskah dan puasa 15 hari di

bulan Agustus yang disebut ṣaum Maryam al-Adzrā’i (Puasa Maria Sang

Perawan). Puasa sepanjang tahun dilakukan pula setiap hari Rabu dan Jumat,

sesuai dengan ajaran Didache. Kemudian, dilakukan puasa tiga hari setiap ada

hari-hari suci untuk mengenang para martir.

Dalam Gereja Ortodoks Syria, puasa adalah tindakan sukarela untuk

melepaskan kehidupan duniawi. Puasa dilakukan dengan meninggalkan

makanan atau minuman dalam periode waktu tertentu, dan berakhir dengan

memakan sedikit makanan, sepotong daging kecil yang tidak berlemak,

makanan yang terbuat dari biji-bijian, kacang-kacangan, dan minyak nabati.

Orang yang puasa menahan diri dari memakan daging dan produk-produk

dari binatang kecuali ikan dan seluruh hasil laut, serta madu. Puasa diperintahkan

bagi orang yang beriman, dewasa dan sehat. Orang-orang tua, anak-anak, bayi, orang sakit, perawat, wanita yang habis melahirkan, atau

mengandung, dikecualikan.[56]

D. Gereja Ortodoks Syria dalam Hubungan Islam - Kristen

Semenjak awal, Islam memandang dirinya sebagai ungkapan keimanan

dan ketundukan (islām) Ibrahim[57] kepada Allah. Lebih dari itu, keimanan ini

tidak hanya terbatas pada Nabi Ibrahim tetapi juga dimiliki oleh semua nabi

sebelum dan sesudah Nabi Ibrahim, termasuk Nabi Musa dan Isa. Islam pada

masa Nabi Muhammad dan para sahabat dekatnya tidak menuntut para ahli

kitab untuk meninggalkan agama mereka sebagai biaya hidup atas persahabatan

dan interaksi yang baik dengan kaum Muslim.

Sekalipun, sebelum Islam lahir sebagai “agama,” Arabia memang dikelilingi

oleh pengaruh agama Kristen,[58] (bahkan sebagian besar orang Kristen

Mekkah, dan Yaman adalah pengikut Gereja Ortodoks Syria),[59] namun

hati dan kehidupan rakyat Arabia ternyata belum terjamah oleh kekristenan.

Pemikiran-pemikiran, ajaran-ajaran dan kesenian Kristen memang telah

cukup lama mengitari dan mempengaruhi daerah Arabia, tetapi kekristenan

belum menyentuh kehidupan dan kebutuhan yang amat mendasar dari

rakyat Arabia. Disamping itu, di dalam agama Kristen di Arabia telah terjadi

perpecahan satu aliran terhadap aliran lainnya dan sangat mengedepankan

sikap yang saling bermusuhan.[60] Kekristenan belum menjadi semacam

“payung besar” yang meletakkan rakyat di dalam kesejajaran yang nyaman.

Sehingga tidak mengherankan ketika sebagian besar umat Kristen di Timur

Tengah kemudian berpindah ke dalam agama Islam.

Oleh karena itu orang Kristen Suriah menaruh harapan besar pada kaum

Muslim, tidak hanya karena orang Islam membebaskan mereka dari gangguan

terhadap keyakinannya,[61] tetapi juga karena umat Islam membebaskan orang

Suriah dari pajak yang membebani mereka. Sehingga mereka menafsirkan

bahwa gelar al-Faruq, yang diberikan kepada Khalifah Umar adalah berasal dari

bahasa Syria, “Faruqo” yang berarti juru selamat. Gelar ini diberikan kepada

Yesus Kristus dan kemudian kepada Kalifah Umar. Selanjutnya mereka berkata:

“Puji Tuhan, yang membawa kita dari ketidakadilan orang Byzantium dan

menaruh kita di bawah kekuasaan orang Islam Arab.”[62]

Namun hubungan yang harmonis tersebut terkadang juga mengalami

hambatan ketika Syria dikuasai para penguasa Turki, namun hubungan baik

ini sekarang sudah terjalin kembali, dengan kembalinya pusat Gereja

Ortodoks Syria ini di Damaskus, Syria.

Di Indonesia, karena gereja ini termasuk “pendatang baru,” maka

memang belum banyak memberi pengaruh besar dalam hubungan Islam-

Kristen. Namun berbagai bentuk forum dialog telah dirintis seperti Forum

Dialog Teologis, bekerja sama dengan Yayasan Paramadina di Hotel Sahid

Jakarta, serta ikut dalam berbagai bentuk kegiatan lintas agama di berbagai

Kota di Indonesia.

E. Kesimpulan

Meskipun dalam ajaran ketuhanan, Gereja Ortodoks Syria tidak bisa

dikatakan menganut ajaran monoteisme murni sebagaimana Islam, namun

masih banyak bisa diketemukan paralelisasi dengan Islam dalam aspek

teologis yang lain, dan terutama dalam hal pola ibadah. Pemahaman yang

mendasar serta mendalam dalam hubungan Islam-Kristen serta suasana

sharing of religious experience, akan membentuk sikap keberagamaan yang

lapang dan tasamuh dapat dikembangkan dalam masyarakat yang plural

seperti Indonesia ini, khususnya melalui dialog antar agama.[w]

BIBLIOGRAFI

Barsoum, Ignatius Aphram I, The Scattered Pearls, terj. Matti Moosa, Piscataway

NJ: Gorgias Press, 2003.

Bell, R., The Origin of Islam In Its Christian Environment, Edinburg: T&T Clark,

1968.

De Jonge, Th. Van Christian Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta: BPK

Gunug Mulia.

Dister, Nico Syukur, Kristologi, Sebuah Sketsa, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Enklaar, I. H., Sedjarah Gereja Ringkas, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1955.

Gani, Fathudin Abdul, “Agama Katolik,” dalam Djam’annuri (ed), Agama-agama di

Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988.

Hange, Maren Tyedmers (ed)., “A Short Overview of the Common History of the

Syrian Church with Islam through the Centuries,” Patriarchal Journal, Vol.

33, No. 146, Juni 1995.

http://en.wikipedia.org/wiki/Patriarch_of_Antioch, diakses pada tanggal 3 September

2009.

http://en.wikipedia.org/wiki/Syriac_Orthodox_Church, diakses tanggal 29 November

2007.

http://gereja.phpbb24.com/viewtopic.php?t=295, diakses pada tanggal 27

November 2007.

http://Groups.google.co.id/group/soc.culture.Indonesia/msg/68794209884779

8, diakses pada tanggal 27 November 2007.

http://i.cios.com/e.o/syr.orth.htm., diakses pada tanggal 27 Desember 2007.

http://id.wikipedia.org.wiki.Denominasi_Kristen, diakses tanggal 7 Mei 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Filioque, diakses tanggal 2 Januari 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja-Ortodoks-Oriental, diakses tanggal 29

April 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Keduabelas_Rasul, diakses pada tanggal 2 Januari

2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Miafisitisme, diakses pada tanggal 27 Desember

2007.

http://jurnalis.wordpress.com/1998/10/03/gereja-dengan-haji-dan-sholat/,

diakses pada tanggal 27 November 2007.

http://sor.cua.edu/History/index.html, diakses tanggal 26 November 2007.

http://sor.cua.edu/Intro/index.html, diakses tanggal 22 Desember 2007.

http://sor.cua.edu/Worship/index.html, diakses tanggal 27 November 2007.

http://stsyriacchurch.homeip.net/history.htm, diakses pada tanggal 27 November

2007.

http://stsyriacchurch.homeip.net/history.htm, diakses pada tanggal 27 November

2007.

http://www.angelfire.com/journal2/iscs/faq.htm, diakses pada tanggal 27 Desember

2007.

http://www.encyclopedia.com/doc/1O95-SyrianOrthodoxChurch.html, diakses

pada tanggal10 Juni 2009.

http://www.goina.org/?uPos=L&uMenu=10&uSys=19&uCaption=Sejarah%20G

ereja, diakses pada tanggal 27 Desember 2007.

http://www.syrianorthodoxchurch.net/Location/Global/SOC-index-Globalen.

htm, diakses pada tanggal 27 November 2007.

http://www.syrianorthodoxchurch.org/resources/library/essays/, diakses pada

tanggal 28 Juli 2009.

http://www.syrianorthodoxchurch.org/resources/library/essays/the-holyvirgin-

mary-in-the-syrian-orthodox-church/.

Jefferey, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Lahore: Al Biruni, 1979.

Jeffery, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Lahore: Al-Biruni, 1977.

Keene, Mical, Kristianitas, terj. F.A. Soeprapto, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Lembaga Al-Kitab Indonesia, Perjanjian Baru, Kisah Para Rasul, Jakarta,1993

Lambertus L. Hurek, Gereja Ortodoks Syria di Indonesia, http://hurek.blogspot.

com/2005/12/gereja.ortodoks.syria.di.Indonesia.html., diakses tanggal 27

Desember 2007.

Mahmoud M. Ayaoub, Mengurai Konflik Muslim – Kristen dalam Perspektif Islam,

terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Maren Tyedmers Hange, (ed.)., “A Short Overview of the Common History of the

Syrian Church with Islam through the Centuries”. Patriarchal Journal

Vol. 33, No. 146, Juni 1995.

Mingana, Alphonsus, “Syrian Influence on the Style of the Kur’an,” Bulletin of the

John Rylands Library, Manchester 11, (1927).

Mu’in, Taib Thahir Abdul, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1986.

Noorsena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen Islam, Yogyakarta: Yayasan

Andi, 2001.

__________, Memahami Kesalahfahaman, Beberapa tema Teologis dalam

Perjumpaan Kristen-Islam, Denpasar: Bali Jagadhita Press, 2002.

Pringgodigdo, Ag., Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Rowley, H.H., Ibadat Israel Kuno, terj. I.J. Cairns, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Sah, Idries, Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen-Islam,

Jakarta: Grafiti Press, 1986.

Titi A.S., M.H., dan Abdul Manan Surabaya, D&R, Edisi 981003-007/hlm 38

Rubrik Agama, Gereja dengan Haji dan Salat, http://jurnalis. wordpress.

com/1998/10/03/gereja-dengan-haji-dan-salat/, diakses tanggal 26

Nupember 2007.

Trimingham, J. Spencer, Christianity among The Arabs in Pre-Islamic Times,

London: Longman Group Ltd., 1979.

Daftar Isi

MENUJU DIALOG ISLAM – KRISTEN:1

Perjumpaan Gereja Ortodoks Syria dengan Islam1

Zaenul Arifin 1

Abstract2

Keywords:2

A. Pendahuluan 4

B. Sejarah dan Perkembangan Gereja Ortodoks Syria 8

C. Parelelisasi Gereja Ortodoks Syria dan Islam 17

1. Aspek Bahasa Teologis 17

2. Aspek Pola Ibadah 26

E. Kesimpulan 33

BIBLIOGRAFI34