C. Parelelisasi Gereja Ortodoks Syria dan Islam
1. Aspek Bahasa Teologis
Gereja Ortodoks Syria (Antiochia) bersama dengan Gereja Alexandria
(Koptik) menolak rumusan yang dihasilkan oleh Konsili Chalcedon—yang
diterima oleh Gereja Barat, Roma dan Konstantinopel—yang menyatakan
kesatuan pribadi Yesus “dalam dua kodrat”. Selengkapnya sebagai berikut:
“sesungguhnya kami bersama-sama dengan sepakat memahami, bahwa
Putra Yang Tunggal, yang tidak lain yaitu Gusti kita Isa al-Masih, adalah
sempurna dalam keilahian (sebagai Firman Allah) dan sempurna dalam ke- manusiaan, benar-benar ilahi dan benar-benar insani, mempunyai jiwa akali
dan tubuh, sehakikat dalam dzat dengan Bapa dalam kodrat Ilahi-Nya, dan
sehakikat dalam dzat dengan kita dalam kodrat insani-Nya, dalam segala hal
sama dengan kita kecuali dalam hal berbuat dosa, dilahirkan dari Allah sebelum
segala abad dalam kodrat Ilahi-Nya sebagai Firman Allah, dan
dilahirkan demi kita dan demi keselamatan kita, dalam kodrat insani-Nya
dalam zaman akhir ini dari Perawan Maria, Bunda (Firman) Allah. Sesungguhnya
hanya ada satu-satunya al-Masih, yang tidak lain adalah Sang
Putra, Gusti, Putra Allah yang tunggal dalam dua kodrat, tidak berbaur, tidak
berubah, tidak terbagi dan tidak terpisah. Karena kesatuan-Nya tidak
menghilangkan kedua kodratnya, tetapi sifat-sifat kedua kodrat itu tetap
terpelihara, yang pada akhirnya menjadi satu pribadi dan satu zat, dimana
kodrat itu tidak tercerai dan tidak terbagi menjadi dua pribadi, tetapi hanya
ada satu Putra yang tunggal, yang tidak lain adalah Firman Allah dan Gusti
kita Isa al-Masih.”
Kedua gereja tersebut mengikuti satu ajaran Kyrilos dari Alexandria,
bahwa Yesus mempunyai “satu kodrat ganda,” yaitu satu kodrat Firman Allah
yang menjadi manusia. Sebagaimana kesalahfahaman Gereja Barat atas
kristologi non Chalcedonia, demikian pula Theodoretus dari Cyrus pernah
menuduh seolah-olah dengan penekanannya atas ajaran Firman Allah yang
menjdi manusia itu, Kyrillos mengajarkan seolah-olah Allah dapat menderita.
Padahal Kyrillos menekankan bahwa penderitaan itu dialami al-Masih “dalam
tubuh kemanusian-Nya” (Petrus I, 3: 18), bukan dalam kodrat Keilahian-Nya
sebagai firman yang tidak dapat menderita dan tidak dapat mati.
Gereja Ortodoks Syria juga tidak menerima hasil Konsili Konstantinopel
III (680-681 M) yang melahirkan ajaran monoteletisme, yang menyatakan
Yesus hanya mempunyai kehendak tunggal. Padahal tanpa kehendak
manusia Yesus tidak mungkin menjadi manusia sejati, dan tidak dapat dikatakan
bahwa Ia “sama dengan kita, Ia telah dicobai” (Ibrani 4:15).
Demikian juga keputusan Konsili Toledo (568), yang menambahkan
filiouque
dalam: Qanūn al-Imān, bahwa Ruh Kudus keluar dari Bapa dan
Putra, ditolak oleh gereja ini.
Dalam menjelaskan ajaran Trinitas, gereja-gereja ortodoks di Timur
mempertahankan bahwa sumber keilahian hanya satu, yaitu wujud Allah
(dikiaskan Bapa); Wa an lā ilāha ilallāh al-Aḥad….wa huw al-Abu lladzi minhu
kullu shai’in. Sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah, Yang Maha Esa, yaitu
Bapa yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu (Kor. I,:4-6, teks bahasa
Arab). Dari satu Esensi kekal inilah, Firman Allah keluar sebelum segala
zaman (Divine Birth of the Son, Injil Yoh.1:1-3) dan bersamaan dengan itu
Hayat/Ruh Allah juga berasal;”…yaitu Ruh Kebenaran yang keluar dari Bapa”
(Yohanes 15:26, teks Arab: Rūḥ al Ḥaqq al-munbashiqu min ’l-Ab).
Dengan demikian, Gereja-gereja Timur menegaskan bahwa Ruh Allah itu
(seperti juga Firman-Nya) sama-sama keluar dari Allah, dan bukan Ruh Allah
keluar dari wujud-Nya (Bapa) dan Firman-Nya (putra), yang dalam
pandangan Gereja-gereja Timur dianggap mencederai keesaan-Nya. Untuk
menegaskan kesatuan yang mendalam antara karya keselamatan al-Masih
dengan Ruh Kudus, Gereja-gereja Timur bisa saja menerima rumusan bahwa
Ruh Allah itu keluar dari Allah sebagai satu-satunya esensi Ilahi, tetapi
penerimaan Ruh Allah itu ke dunia melalui Putra, yaitu sosok nuzul Firman
sebagai manusia dalam karya-Nya sebagai Mesiah.
Berkaitan dengan hal ini, Mar Philoxenos al-Manjub (w. 485), salah
seorang dari bapa Gereja Ortodoks Syria, mengubah nyanyian Natal: “Ia yang
dilahirkan dari Bapa secara ilahi tanpa jasad, adalah juga yang dilahirkan dari
Perawan Maryam secara jasadi tanpa bapa. Ia yang satu berasal dari dua, Ilahi
sekaligus insani”.
Dalam makna inilah Ruh Allah itu juga disebut Ruh Yesus (Kisah 15:7;
Filipi1:19). Maksudnya bukan Ruh yang keluar dari Yesus, melainkan Ruh
yang diutus Bapa demi nama Mesiah, “tetapi Penghibur, yaitu Ruh Kudus,
yang diutus oleh Bapa demi Nama-ku” (Yohanes 14:26).
Dalam Kristen ortodoks, ditegaskan: Akal Ilahi (Firman Allah) berdiam
dalam Dzat Ilahi sejak azali. Tidak pernah ada sekejappun dalam suatu waktu,
di mana Dzat Ilahi itu ada tanpa ‘aql atau pikiran-Nya, karena itu ‘aql atau
pikiran-Nya tersebut berada dalam Allah tanpa pemisahan dengan-Nya,
sebab Allah itu tidak terbagi-bagi.
Para teolog Kristen berbahasa Arab sering menerjemahkan padanan
istilah Bapa dan Putra dan Ruh Kudus sebagai: al-wujud, al-‘ilmu dan al-hayat
(istilah-istilah yang juga sering dipakai dalam Ilmu Kalam). Dengan demikian,
berbicara tentang ‘Ilm al-Qadīm (The Divine Logos) dan Ḥayat al-Qadīm (The
Divine Life) dalam Wujūd al-Qadīm (The Divine Subtance), tanpa mengakibatkan
ta‘addud al-qudamā’ (terbilangnya Yang Qadim), sebenarnya hanya
menegaskan aspek-aspek dalam keesaan Allah itu sendiri.
Fakta ini menurut Bambang yang diakui oleh Taib Thahir Abdul M’uin
yang menggolongkan pandangan di atas dalam mazhab waḥdah (mengakui
keesaan Allah).
Selanjutnya dalam literatur Arab istilah Allah (lebih khusus dibandingkan
dengan istilah-istilah padanannya: Elohim, Theos, Dieu, God), lebih menunjuk
kepada Bapa itu sendiri. Karena itu dalam lingkungan Kristen Arab,
tidak disebutkan: Allāh al-Mutajjasad (Allah menjadi Manusia), tetapi lebih
dikenal istilah Ibnullah al-mutajjasad (Putra Allah menjadi Manusia). Maksudnya:
wa kalimatuhu wa huwa nazala min ’l-samā’ (yaitu Firman-Nya yang telah turun dari surga), atau: wa kalimatuhu al-mutajjasad (dan Firman-Nya
yang menjadi Manusia).
Jadi, gelar Tuhan bagi Yesus bukan dalam makna Tuhan (ilah) selain
Allah, melainkan “rabb atau Tu(h)an bagi kemuliaan Allah” (Filipi 2:11).
Dalam bahasa Aram (Syria): mara hu yeshu’a mashiha le shebaha de alaha.
Frase le shebaha de alaha (bandingkan dengan bahasa Arab; subḥānallāh),
menunjukkan bahwa melalui karya Mesiah itu ketuhanan Allah dilaksanakan,
sehingga semua makhluk bertasbih memuji Allah. Jadi, gelar ketu(h)anan
Yesus, sama sekali tidak menempatkan kemanusian-Nya sebagai ilah selain
Allah.
Keilahian Yesus menunjuk kepada kodrat Ilahi-Nya sebagai sebagai
Firman Allah, yang kekal dan bukan bersifat fisik, sebanding dengan penghayatan
Islam mengenai kalām nafsiy yang qadīm dan berdiri pada Dzat Allah.
Sedangkan ketu(h)anan-Nya menunjuk kepada kodrat insani-Nya, yang
karena ketaatan dalam melaksanakan kehendak Allah, Yesus digelari Tu(h)an
bagi kemuliaan Allah. Selanjutnya wujūd nuzūl kemanusiaan Yesus tersebut
sebanding dengan penghayatan Islam mengenai kalām lafẓiy, yaitu wujud
temporal kalam Allah yang nuzul dalam ruang dan waktu sebagai al-Qur’an
dalam bahasa Arab (QS. Thaha:113).
Dalam hal ini Said Aqiel Siradj menilai bahwa Gereja Ortodoks Syria
tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. Secara tawḥīd alrubūbiyyah,
mereka jelas mengakui bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam
yang wajib disembah. Secara tawḥīd al-ulūhiyyah ia juga telah mengikrarkan
Lā ilāha illallāh; tiada tuhan (ilāh) selain Allah, sebagai ungkapan ketauhidannya.
Sementara dari sisi tauhid sifat dan asma Allah secara substansial tidak
jauh berbeda. Hanya ada perbedaan sedikit tentang sifat dan asma Allah tersebut.
Jika dalam Islam kalam Tuhan Yang Qadim itu turun kepada manusia
(melalui Muhammad) dalam bentuk al-Qur’an, maka Kristen Ortodoks Syria
berpandangan bahwa kalam Tuhan turun menjelma (tajassud) dengan Ruh
Kudus dan Perawan Maryam menjadi manusia.
Sementara itu sebutan Yesus sebagai “Ibnu Maryam” (Putra Maryam)
yang kurang populer dalam Injil-injil kanonik, karena hanya disebut sekali
dalam Markus 6: 3, justru lebih akrab jadi sebutan untuk tokoh ‘Isa dalam
Qur’an. Bahkan, Qur’an memberi penghormatan khusus bagi Maryam dengan
kata-kata ‘dan ibunya adalah seorang yang sangat benar’ (QS. al-Ma’idah [5]:
75), ‘Maryam yang memelihara kehormatan’ (QS. al-Anbiya [21]:91, al-Tahrim
[66]: 12), ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih engkau, mensucikan
dan melebihkan engkau atas sekalian perempuan yang ada di dalam
alam’ (QS. Ali Imran [3]: 42). Kisah masa kecil dan peranan Maryam di kemudian
hati diceritakan lebih panjang lagi dalam Surat Maryam.
Menurut Geofferey Parrinder, gelar Ibnu Maryam sangat mungkin
karena pengaruh dari gereja Syria, karena hampir tujuh puluh lima persen
istilah-istilah asing dalam Qur’an berasal dari bahasa Syria. Alasan ini dibuktikan
oleh sebutan Ibnu Maryam yang berkali-kali disebut dalam The
Gospel of Infancy dalam versi bahasa Arab dan Syria. Ini menunjukkan bahwa
orang-orang kristen Syria memiliki kontak lebih erat dengan Islam mulamula.
Dalam Arabic Infancy Gospel, gelar Ibnu Maryam disebut lima kali,
sedangkan dalam Syriac Infancy Gospel, gelar itu muncul lima belas kali,
khususnya dalam kisah kanak-kanak ‘Isa.