• Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3277 / Download: 2406
Ukuran Ukuran Ukuran
Relasi Islam Keristen

Relasi Islam Keristen

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

RELASI UMAT ISLAM DAN KRISTEN: BEBERAPA FAKTOR PENGGAGGU

Oleh

Ajat Sudrajat

Abstrak

Masalah relasi umat Islam dan Kristen senantiasa menarik untuk diperhatikan. Relasi di antara keduanya, baik di tingkat internasional maupun nasional seperti di Indonesia selalu mengalami pasang surut.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai relalsi di antara dua agama selalu akktual. Tulisan ini bertujuan untuk melihat kembali beberapa faktor yang memebebani relalsi di antara dua agama ini di Indonesia.

Dalam menguraikan tulisan ini penulis menggunakan metode analitis kritis. Metode analitis kritis merupakan metode yang berusaha untuk membahas suatu kajian dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.

Langkah-langkah itu meliputi mendiskripsikan, membahas, mengkritisi, dan akhirnya menyimpulkan. Dengan metode ini diharapkan tulisan ini akan mencapai tujuannya.

Setelah mengikuti langkah-langkah di atas, tulisan ini dapat menyimpulkan beberapa hal pokok. Terkait dengana relasi antara umat Islam dan Kristen, ternyata ditemukan adanya sejumlah fakktor yang telah membebani relasi tersebut..

Faktor-faktor itu antara lain: pandangan teologis masing-masing agama terhadap agama di luarnya, politik dan relasi keagamaan, identitas personal dan loyalitas kelompok, mayoritas dan minoritas, keterlibatan negara, dan beban sejarah.

Kata kunci:

Relasi, Islam dan Kristen.

Pendahuluan

Manusia memiliki kecenderungan alami untuk berkelompok dan menjadi satu dengan manusia lainnya.

Kecenderungan ini kemudian melahirkan terbentukmya kelompok-kelompok sosial (social-group) dalam kehidupan manusia.

Ada empat syarat yang harus dipenuhi sehingga kesatuan manusia dapat dinamakan kelompok sosial.

Empat syarat itu ialah: pertama, setiap anggota kelompok menyadari dirinya sebagai bagian dari kelompok yang bersangkutan; kedua, adanya hubungan timbal-balik atau interaksi di antara anggota kelompok itu; ketiga, adanya faktor formatif yang dimiliki bersama, sehingga hubungan di antara mereka semakin kuat (misalnya, agama, bahasa, geografis); dan keempat, memiliki kaidah pola perilaku (Susanto, 1979:48).

Faktor interaksi dan identitas bersama yang terdapat dalam suatu kesatuan sosial, selanjutnya akan menghasilkan we attitude atau sense of belonging pada anggota-anggotanya.

Dalam pandangan Harold Lasswell, kalau faktor interaksi ini sudah mencapai taraf ikatan kerjasama, maka ia akan menimbulkan we feeling yang menyebabkan adanya kesediaan untuk mengerjakan dan mengorbankan sesuatu demi kepentingan kelompoknya.

Pada tahap berikutnya akan berkembang perasaan solidaritas, yaitu perasaan akan doing together dan thinking together. Anggota suatu kelompok mempunyai pandangan yang sama, baik tentang dirinya atau kelompok lainnya.

Seperti telah disebutkan, salah satu faktor formatif dan identitas bersama yang mengikat manusia adalah agama. Dewasa ini dapat disaksikan bahwa dunia kita telah terbagi ke dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda yang disebabkan faktor agama.

Di suatu belahan dunia masyarakatnya dibentuk oleh ajaran Islam, sementara di belahan dunia lain dibentuk oleh ajaran Kristen. Pada saat yang sama, akibat dari penyebaran agama yang mendunia dan mobilitas para pemeluknya, dengan mudah akan ditemui pemeluk beraneka agama di berbagai tempat di belahan dunia ini.

Memperhatikan pluralitas keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan penyebaran penduduk (demografis) serta geografisnya, tulisan ini akan mencoba mengungkap beberapa hal yang mempengaruhi relasi antara umat Islam dan Kristen di Indonesia.

Pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok keagamaan diyakini akan berpengaruh terhadap relasi yang terjadi di antara mereka.

Relasi antara umat Islam dan Kristen bisa muncul dalam bentuk yang ideal, seperti terjalinnya relasi yang harmonis, kerjasama yang baik di antara mereka, dan toleransi.

Tetapi bisa juga, relasi itu muncul dalam bentuk yang negatif, seperti terjadinya pertentangan, permusuhan, sampai pada tingkat kekerasan fisik.

Manusia dan Ekspresi Keagamaan

Manusia dan agama adalah dua realitas dari kehidupan sosial yang tak terpisahkan. Agama merupakan fenomena universal yang menyertai kehidupan umat manusia.

Moreno mengatakan bahwa agama telah berumur setua dan seusia sejarah manusia dan tidak ada masyarakat yang hidup tanpa agama (Moreno, 1985:121). Dikatakan pula oleh Muller, yang pendapatnya dikutip oleh Wach, bahwa sejarah manusia adalah sejarah agama.

Agama merupakan kumpulan cara yang dipergunakan oleh umat manusia untuk meningkatkan pengetahuan dan cintanya kepada Tuhan. Agama telah menjadi rantai yang kokoh untuk menjadi landasan bagi keseluruhan mata rantai yang profan.

Agama telah menjadi cahaya, jiwa dan kehidupan sejarah. Adanya hubungan yang kuat antara manusia dan agama, menyebabkan manusia disebut homo religius. Menurut Eliade, homo religius adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta.

Pengalaman dan penghayatan manusia akan yang suci atau realitas mutlak (ultimate reality) selanjutnya mempengaruhi, membentuk dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya (Sastrapratedja, 1982:38).

Menurut Wach pengalaman dan penghayatan manusia akan yang suci diekspresikan dalam tiga bentuk, yang disebutnya sebagai pengalaman keagamaan, yaitu : pertama, ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran; kedua, ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk tindakan; dan ketiga, ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan (Wach, 89-216).

Pengalaman keagamaan dalam definisi Wach adalah tanggapan manusia terhadap sesuatu yang dihayati sebagai realitas mutlak (ultimate reality) atau Tuhan Dengan demikian pengalaman keagamaan baginya adalah aspek batiniah dari saling hubungan antara manusia dan pikirannya dengan Tuhan (Wach, 1985:45).

Ekspresi pengalaman keagamaan yang bercorak pemikiran terlihat dalam berbagai gagasan manusia tentang Tuhan. Ekspresi ini antara lain terlihat ketika manusia berbicara mengenai eksistensi Tuhan, tentang penciptaan, makhluk gaib, hari akhir dan seterusnya.

Pemikiran manusia tentang Tuhan kemudian berlanjut dalam ekspresi yang berbentuk tindakan. Ekspresi ini merupakan operasionalisasi yang konkrit dalam bentuk ritual atau peribadatan.

Ekspresi ini menjadi alat untuk melangsungkan hubungannya yang permanen antara manusia dengan Tuhan.

Mereka yang sepaham dalam doktrin tertentu tentang Tuhan dan diperlihatkan dalam berbagai bentuk ritualnya memiliki ikatan yang kuat di antaranya.

Relasi di antara pengikut ini membentuk kebersamaan dalam banyak hal, oleh karena itu terbentuklah persekutuan di antara mereka.

Korntjaraningrat menyebut ikatan pengikut ini dengan religious community atau kelompok keagamaan (Koentjaraningrat, 1980:257).

Dari tiga ekspresi pengalaman keagamaan di atas, ekspresi intelektual atau pemikiran memiliki sumbangan yang kuat terhadap berkembangnya wawasan dan perilaku seorang pemeluk.

Melalui ekspresi pemikiran akan diketahui pemahaman seseorang terhadap agama. Pada saat yang sama, ekspresi ini akan terlihat dalam bentuk perilaku atau tindakan para pemeluk suatu agama.

Secara keseluruhan ekspresi pengalaman dalam bentuk pemikiran dan tindakan akan diwujudkan dalam kehidupan para pemeluk agama.

Eksprsi yang bersifat teoritik dan praktek akan kelihatan dalam kehidupan umat beragama.

Menurut Wach ekpresi intelektual atau pemikiran ini memiliki tiga fungsi, yaitu: pertama, untuk menegaskan dan menjelaskan iman; kedua, mengatur kehidupan normatif dalam melakukan peribadatan; dan ketiga, berfungsi untuk mempertahankan iman (apologetik).

Dalam pengertian ini pandangan yang bersifat dokktrinal akan mengikat dan hanya berarti bagi komunitas atau kelompok yang menerimanya.

Hal yang sama, meskipun dilihat dari sudut pandangan yang berbeda, telah dikemukakan pula oleh Smith.

Menurut Smith (1985:220-224) ada tiga hal pokok dalam agama yang secara psikologis menentukan pembentukan sikap dan perilaku pemeluknya: pertama, otoritas dogmatis, atau kebenaran yang bersifat mutlak; kedua, otoritas terarah, atau ketuntasan pengaturan; dan ketiga, pelembagaan otoritas, atau integrasi pemahaman dan penggunaan kebenaran mutlak ke dalam perumusan aturan dalam bentuk organisasi atau struktur keagamaan.

Otoritas dogmatis menekankan pada hakikat tuntutan kebenaran yang ditetapkan dalam suatu sistem agama untuk memaksa orang melihat dunia dengan cara tertentu.

Otoritas yang terarah terlihat pada sistem agama yang berupa aturan-aturan Tuhan dalam mengatur dan membimbing tingkah laku manusia.

Kedua otoritas tersebut diperkuat oleh dimensi ketiga, yaitu pelembagaan otoritas.

Ini berarti apabila agama tidak dibarengi dengan pelembagaan yang kuat dalam masyarakat, berupa struktur otoritatif untuk menafsirkan dan mengkomunikasikan kebenaran tersebut serta melaksanakan aturannya, maka banyak di antara sistem agama itu yang tidak dapat berjalan dengan baik.

Agama dan Identitas Kelompok

Membahas tentang kehidupan sosial, tentu tidak bisa lepas dari kelompok-kelompok sosial yang terdapat di dalamnya. Telah disebutkan di muka, salah satu unsur formatif kelompok sosial adalah agama.

Menurut Wach wujud dari ekspresi pengalaman keagamaan yang bercorak pemikiran dan tindakan akan terlihat pada kelompok pemeluk (1985:185).

Seorang pemeluk akan kembali kepada agamanya, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan seterusnya.

Tempat kembalinya seseorang biasanya disebut in-group, dan kelompok yang menjadi tempat kembalinya orang lain disebut out-group.

Kategori in-group dan out-group menjadi penting, karena hal ini akan berakibat terhadap perilaku para anggotanya.

Anggota-anggota dalam suatu kelompok in-group biasanya akan mengembangkan sentimen tertentu.

Ketika berhadapan dengan out-groupnya, para anggota suatu kelompok bisa jadi akan mengembangkan sikap permusuhan, kurang bersahabat, kompetisi, dan sikap acuh tak acuh.

Dengan demikian sikap seorang anggota akan dipengaruhi oleh sentimen tertentu dari keterlibatannya dalam suatu kelompok (Horton, 1980:259).

Pendapat dan penilaian yang dilakukan seseorang atas kelompok lain yang didasarkan reference group akan melahirkan pandangan yang stereotip. Stereotip adalah gambaran bersama suatu kelompok terhadap kelompok lain.

Stereotip ini bisa bersifat positif (bersahabat, dermawan, ramah), atau negatif (plin-plan, oportunis, munafik), atau campuran (ramah tapi pelit). Meskipun demikian, stereotip pada umumnya bersifat distortif dan cenderung negatif.

Karakteristik seorang anggota ditimpakan kepada semua anggota kelompok itu (Horton, 1980:181). Tidak diketahui kapan stereotip ini muncul, tetapi kemudian ia menjadi bagian dari kebudayaan.

Stereotip ini bahkan dipertahankan melalui dan menjadi collective perception (persepsi bersama), selective interpretation (penafsiran yang selektif), misalnya orang Yahudi itu congkak dan sombong, orang Cina itu pelit, orang Jawa itu jorok dan seterusnya, selective identification (identifikasi yang selektif), misalnya mereka kelihatannya seperti guru sekolah…, dan selective exception (pengecualian yang selektif) misalnya itu bukan tindakan orang Madura, apabila ada orang Madura yang bersikap lemah-lembut.

Hubungan yang terjadi antara umat Islam dan Kristen didasarkan pada adanya persepsi di antara keduanya melalui stereotip yang ada pada agama masing-masing.

Hal ini akan menyebabkan seseorang melakukan representasi tidak hanya terhadap agamanya sendiri, tetapi juga pada orang yang berbeda.

Representasi yang demikian nampaknya dipandang sebagai sesuatu yang tidak salah, sekalipun disadari memiliki implikasi yang luas.

Dalam hal ini stereotip atau konstruk adalah suatu representasi mengenai agama lain yang tidak didasarkan pada adanya kontak dengan pemeluknya, tetapi dengan cara menunjuk suatu jenis esensi tertentu yang ada pada agama itu.

Umat Islam misalnya, memiliki stereotip tertentu terhadap umat Kristen, yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran.

Begitu pula umat Kristen memiliki stereotip sendiri tentang umat Islam yang didasarkan pada pengalaman keagamaannya.

Stereotip atau konstruk umat Islam atas orang Kristen diyakini lebih kuat dibandingkan dengan stereotip umat Kristen terhadap orang Islam.

Kenyataan ini terlihat pada adanya perubahan yang signifikan dalam cara pandang mereka terhadap Islam (Waardenburg, 1997: 14-15).

Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah pernyataan dari Konsili Vatikan II yang menyebutkan adanya jalan keselamatan di luar gereja, dan perubahan konsep Yudeo-Kristiani menjadi Abrahamic religion, yang meliputi Islam di dalamnya (Robinson, 1982: 182-184).

Pada tingkat yang lebih luas, umat Islam dan Kristen, dalam pengertian sosial dan keagamaan, melihat satu sama lain melalui stereotip yang didasarkan pada agama masing-masing.

Stereotip atau konstruk-konstruk ini memiliki pengaruh terhadap hubungan yang berkembang antara umat Islam dan Kristen.

Sayangnya tidak hanya para sarjana, tetapi juga individu dan kelompok yang telah membuat stereotip tentang agama lain, tidak berkorespondensi dengan realitas kelompok atau orang lain tersebut.

Korespondensi ini, dalam kata lain kontak dengan agama lain, akan bisa merubah stereotip-stereotip tersebut, terutama yang negatip.

Dalam banyak kasus, ketika umat Islam dan Kristen melakukan kontak dalam kegiatan kesehariannya, sering ditemukan adanya kontradiksi antara stereotip umum mereka satu sama lain.

Agama: dari prasangka sampai kekerasan

Seiring dengan pengelompokan keagamaan ini, seorang pemeluk agama akan memandang kelompok di luarnya sebagai the other (orang asing).

Ketika membahas interaksi antar kelompok, Newcomb menekankan adanya sikap yang antagonisme dan permusuhan dari masing-masing pihak.

Bahkan dikatakannya bahwa sikap antagonisme ini senantiasa dipertahankan melalui interaksi internal kelompok.Tidak jarang sikap antagonisme ini muncul dalam tindakan-tindakan yang berbentuk kekerasan.

Penyebab utama dari interaksi yang berbentuk kekerasan ini menurutnya bersumber dari adanya prasangka kelompok (Newcomb, 1987: 561).

Ketika suatu kelompok berhadapan dengan kelompok yang berbeda, kapan dan dimanapun, akan muncul kecenderungan untuk mengembangkan stereotip tentang mereka dalam bentuk prasangka.

Prasangka atau prejudice yang berasal dari dua kata Latin, prae dan judicium, memiliki arti sebelum pendapat yang sebenarnya (Newcomb, 1987: 564).

Dengan demikian prasangka adalah suatu penilaian atau pendapat yang diungkapkan seseorang terhadap orang lain sebelum mengetahui semua fakta yang sebenarnya.

Munculnya prasangka dalam diri seseorang tidak hanya disebabkan oleh ketidakmatangan psikologis, tetapi juga karena proses sosialisasi atas sikap prasangka yang dikembangkan kelompok tertentu.

Prasangka terhadap orang lain dapat dilihat dari dua hal, yaitu adanya kecenderungan untuk menjauhi orang lain dengan mengambil jarak dan tidak berhubungan erat, atau kecenderungan untuk merugikan dan tidak membantu pihak lain tersebut (Newcomb, 1987: 564).

Newcomb juga mengatakan, bisa jadi ada orang yang tidak percaya bahwa terdapat suatu instink khusus dalam diri seseorang untuk merasa bermusuhan dengan anggota dari kelompok lain.

Akan tetapi menurutnya, pada saat yang sama manusia memiliki kesanggupan untuk belajar dari lingkungannya.

Kesanggupan dasar ini terutama terarah kepada apakah seseorang akan belajar untuk bertoleransi atau berprasangka (Newcomb, 1987: 564).

Ada lima hal yang mendasari munculnya prasangka: pertama, etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk mengatakan baik pada kelompoknya dan berpikir buruk terhadap kelompok lain; kedua, fakta yang sederhana, yaitu memberikan penilaian tentang orang lain dengan pengetahuan yang tidak memadai mengenai mereka; ketiga, membuat generalisasi mengenai individu-individu dari kelompok lain dari pengalamannya sendiri; keempat, adanya kecenderungan untuk menyeleksi stereotip tertentu yang mendukung keyakinannya sendiri berkaitan dengan kelompok lain; dan kelima, adanya kecenderungan untuk mengembangkan prasangka terhadap orang-orang yang bersaing dengan dirinya (Horton, 1980:356).

Dalam kaitannya dengan relasi yang bersifat etnis, prasangka akan melahirkan adanya sikap diskriminatif.

Diskriminasi berarti memperlakukan seseorang atas dasar klasifikasi kelompok daripada karena karakteristik-karakteristik individu.

Perlakuan yang diskriminatif ini antara lain terjadi dalam banyak hal, misalnya dalam masalah pengupahan, penerimaan siswa atau mahasiswa, penyewaan rumah (misalnya, rumah sewa yang di depannya ditulis „kost puteri Muslim‟), seleksi dalam bergaul dan lain-lain.

Seseorang menerima atau menolak orang lain karena identitas etnisnya, bukan karena karakteristik individunya.

Diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok dominan untuk melindungi privacy.

Suatu kebijakan bahkan kadang dibuat untuk melindungi keberadaan kelompok dominan ini.

Sebaliknya suatu kebijakan baru tentang peniadaan diskriminasi yang menguntungkan anggota-anggota dari kelompok subordinat akan selalu mendapat hambatan.

Prasangka dengan demikian akan mendistorsikan penilaian seseorang dan menyebabkan dirinya tidak dapat mencapai keputusan yang rasional.

Pada saatnya, prasangka akan merasuki kelompok-kelompok sosial masyarakat dalam kaitannya dengan relasi di antara mereka.

Adanya perlakuan yang diskriminatif diyakini karena prasangka telah melekat dalam diri seseorang atau kelompok.

Sekalipun demikian diakui bahwa adanya kaitan erat antara prasangka dan diskriminasi bukanlah sesuatu yang sederhana.

Terjadinya perlakuan yang diskriminatif bisa jadi melibatkan banyak hal, tidak semata akibat dari sikap yang didasari prasangka.

Sekalipun demikian Gunnar Myrdal berkeyakinan bahwa prasangka adalah suatu keyakinan dengan suatu tujuan, yaitu untuk membenarkan praktek-praktrek rasial (Horton, 1980:356).

Dalam serangkaian riset klasiknya, Adorno (1950) menemukan kenyataan bahwa karena alasan keamanan seseorang boleh jadi akan menerima prasangka dari orang lain tanpa sikap kritis.

Mereka menerimanya dengan tabah daripada mengembangkan sikap bermusuhan.

Karena itu, akibat dari prasangka, tidak terbatas pada ketidakamanan yang bersifat emosional, tetapi bisa meluas kepada tindakan yang bersifat fisik, apabila hal itu dikuatkan dan mendapat dukungan kelompok (Horton, 1980:356).

Dengan tepat Boyd mengatakan, bahwa hakekat prasangka di seluruh dunia ini adalah sama, dimanapun dan kapanpun bahkan sampai yang akan datang.

Prasangka, dimana dan kapan saja, akan dan bisa mengarah pada kekerasan.

Boyd telah mengkerangkakan secara logis pandangan Allport dalam kaitan prasangka dengan kekerasan, yaitu:

a.Antilokusi (anti mengungkapkan perasaan dan pikiran sesuai fakta).

Kecenderungan orang-orang yang memiliki prasangka akan membicarakan orang lain kapan dan dimanapun.

Mereka akan mengungkapkan perasaan antagonismenya secara bebas.

Karena itu tindakan kebanyakan orang tidak pernah terlepas dari sikap yang antipati.

b.Avoidansi (penghindaran). Apabila prasangka telah merasuk dengan kuat, akan mengarahkan orang pada sikap acuh tak acuh, dan bisa jadi meningkat pada sikap tidak suka.

c.Diskriminasi (perlakuan berbeda). Prasangka juga akan mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan yang berupa pembedaan yang bersifat merugikan.

Pemisahan (segregasi) adalah bentuk pelembagaan dari dikriminasi.

d.Serangan fisik.

Di bawah kondisi emosi yang dipengaruhi oleh prasangka dapat mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan kekerasan atau semi kekerasan.

e.Eksterminasi (pembasmian). Kulminasi dari prasangka adalah terjadinya pembasmian suatu kelompok atas kelompok yang lain.

Relasi Umat Islam dan Kristen: Faktor Pengganggu

a.Teologi dan Relasi Agama

Isu penting yang mendasari relasi antara umat Islam dan Kristen adalah berkaitan dengan pandangan teologi masing-masing pihak.

Pandangan yang bersifat teologis ini oleh para pendukungnya diidiologikan dan diabsolutkan sedemikian rupa.

Sikap atau tindakan yang demikian menurut Waardenburg akan menghalangi komunikasi dan sekaligus mengganggu relasi antara umat Islam dan Kristen (Boyd , 1999: 107-108).

Terdapat contoh yang dapat dijadikan saksi atau bukti atas sikap dan tindakan ini. Imperium Romawi pada masanya telah memberlakukan konsep yang disebut pax romana.

Konsep ini menekankan pemisahan atau pembagian dunia ke dalam lingkup dunia damai dan kacau.

Dunia damai adalah wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, dan dunia kacau adalah wilayah yang berada di luar kekuasaan Romawi atau kekuasaan Romawi belum sampai ke wilayah itu.

Tetapi ketika Kristen menjadi agama resmi negara, konsep pax romana beralih menjadi pax christiana, suatu peralihan dari pandangan yang bercorak politis kepada pandangan yang bercorak spiritual.

Pandangan itu tercermin dalam konsep gereja extra ecclessiam nulla salus, di luar gereja tidak ada jalan keselamatan.

Meskipun demikian acuan pax romana-nya tetap tidak berubah, yang berarti di luar lingkungan kami tidak ada apapun kecuali kekacauan dan kutukan (Feldkeller, 1997:30).

Dalam perkembangan yang lebih mutakhir, di lingkungan gereja terdapat perubahan pada level doktrinalnya.

Pada tahun 1964, Konsili Vatikan II mengeluarkan suatu dokumen yang disebut Nostra Aetate.

Dokumen itu menyatakan tentang kemungkinan keselamatan yang akan diperoleh oleh pemeluk agama di luar Kristen.

Salah satu implikasi dari dokumen ini antara lain mengisyaratkan bagi kemungkinan terjadinya perubahan dalam relasi mereka dengan umat Islam (Feldkeller, 1997:30).

Paralel dengan pandangan doktrinal di atas, Islam juga mengenalkan konsep pembagian dunia ke dalam dar al-Islam (wilayah damai) dan dar al-harb (wilayah perang).

Dar al-Islam adalah wilayah-wilayah yang berada di dalam kekuasaan Islam, dan dar al-harb adalah wilayah-wilayah yang berada di luarnya.

Konsep dar al-harb ini digunakan oleh Islam antara lain sebagai label bagi dunia Barat.

Secara langsung atau tidak langsung konsep ini menunjuk pada dunia Kristen.

Tetapi satu hal yang harus diakui dari pemerintahan Islam adalah tentang jaminan keselamatan yang diberikan kepada non-Muslim.

Segera setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah dan menjadi penguasa politik, dia mendeklarasikan adanya jaminan keselamatan kepada orang-orang yang berbeda agama.

Kebijakan Nabi ini termuat dalam satu dokumen sejarah Islam yang disebut dengan Piagam Madinah (Sjadzali , 1993: 8-17).

Jaminan keselamatan atas non-Muslim dalam Islam dikenal dengan konsep ahl-dzimmah.

Pemerintahan Islam memberikan perlindungan bagi penganut agama lain dengan cara menarik jizyah, sejenis pajak kepala (Rahman 1984: 28).

Tindakan ini menjadi standar perlakuan Islam terhadap kaum Yahudi dan Kristen, yang selanjutnya dikenakan juga kepada penganut agama-agama lain.

Namun dalam perkembangan di masa modern, negara-negara Muslim tidak lagi memberlakukan konsep ahl-dzimmah.

Aturan yang berkaitan dengan ahl-dzimmah digantikan dengan hukum-hukum sekuler, yang memberikan jaminan persamaan hak dan kewajiban kepada masing-masing warga negara.

Membandingkan dua pandangan di atas, perubahan yang terjadi dalam Islam terutama berada pada level muamalat (hubungan kemanusiaan).

Sedangkan pada level doktrinalnya, seperti terdapat adanya keselamatan di luar Islam, masih menjadi perdebatan di kalangan internal umat Islam.

Meskipun demikian, arus yang kuat adalah pengakuan tidak adanya keselamatan di luar Islam, extra Islaman nulla salus, meminjam istilah gereja.

b. Politik dan Relasi Keagamaan

Relasi antara umat Islam dan Kristen dimanapun di dunia ini tidak pernah dalam keadaan vacum.

Isu-isu politik adalah salah satu di antara faktor yang berhubungan erat dengan masalah relasi antara umat Islam dan Kristen.

Pernyataan yang bernada klise selama ini mengatakan bahwa konflik-konflik keagamaan hampir selalu disebabkan oleh faktor non-agama

Bukti dari pernyataan ini adalah, umat Islam dan Kristen dapat hidup bersama dalam satu wilayah dalam keadaan normal, hubungan di antara mereka berlangsung harmonis.

Tetapi relasi ini secara tiba-tiba berubah apabila terjadi tarikan-tarikan ke dalam wilayah politik.

Fakta yang demikian merefleksikan persepsi umum, sesungguhnya dua kelompok ini secara historis tidak mengalami kesulitan untuk hidup bersama dan tidak ada ketegangan serta konflik di antara mereka.

Ketegangan dan konflik yang terjadi, tidak lain disebabkan oleh tarikan-tarikan kepentingan politik. Dengan kata lain yang bisa merusak relasi antara umat Islam dan Kristen adalah persoalan politik.

Karena itu politik bisa dikatakan sebagai kekuatan pengganggu. Faktor pengganggu ini telah memperumit dan seringkali tidak mendukung relasi umat Islam dan Kristen.

Faktor politik yang dimaksudkan di sini adalah menunjuk pada sesuatu yang lebih luas daripada sekedar pemerintahan, partai politik, dan sistem hukum.

Dalam banyak analisis tentang konflik dan ketegangan, akar masalahnya berkisar pada faktor-faktor demografis yang menyangkut status mayoritas dan minoritas, akses untuk berkuasa, perbedaan etnis dan kultural, identifikasi kelompok, konsep kewarganegaraan, koneksi internasional, dan stabilitas ekonomi.

Pada abad ini, konflik dan ketegangan di Timur Tengah maupun Asia yang melibatkan umat beragama sudah jarang yang berkaitan langsung dengan masalah teologi dan praktek keagamaan.

Ketegangan-ketegangan itu biasanya muncul dari cara kelompok-kelompok tersebut mempersepsikan status dan identitas dirinya di hadapan dan ketika berhadapan dengan kelompok lain (Michel , 1997: 53-54).

c.Identitas Personal dan Loyalitas Kelompok

Agama bukan saja merupakan sistem keyakinan dan praktek, tetapi juga merupakan faktor formatif identifikasi personal yang diakui masyarakat.

Status seorang individu akan dilihat dari ikatannya dengan kelompok agama.

Apabila suatu kelompok keagamaan berada dalam posisi terhina atau teraniaya, maka individunya secara personal juga akan ikut terhina.

Demikian pula halnya, apabila kelompok itu berada dalam posisi terhormat dan dihargai, maka otomatis status individunyapun akan dihormati dan dihargai.

Studi tentang etnisitas telah menunjukkan bahwa loyalitas dan ikatan keagamaan merupakan suatu unsur yang kuat dalam membangun identitas etnis bahkan bagi orang-orang yang kurang taat sekalipun.

Ketika kelompok itu mempersepsikan dirinya terancam, maka ia akan melihat kelompok yang menyakiti atau menyinggung perasaannya sebagai musuh.

Selebihnya akan muncul kemarahan-kemarahan terhadap anggota kelompok itu, bahkan kepada anggota yang secara individu tidak tahu menahu.

Bentuk perlawanan itu akan diperlihatkan sedemikian rupa, sejak dari cara yang lunak sampai melalui cara kekerasan. Secara umum konflik-konflik keagamaan sering terjadi pada masyarakat yang identifikasi kelompoknya kuat (Michel , 1997: 55).

Sebaliknya pada masyarakat yang identifikasi kelompok keagamaannya lemah, seperti di Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Tenggara, relasi antara umat Islam dan Kristen cenderung kurang ditandai konflik.

Hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat bertahan relatif lama. Dalam masyarakat yang demikian, agama lebih bersifat individual daripada komunal.

Namun demikian perlu ditegaskan bahwa keadaan ini tidak semata merupakan akibat dari proses sekularisasi, begitu pula bukan ciri-ciri dari masyarakat yang tersekulerkan.

Hal ini lebih merefleksikan adanya pemahaman yang berbeda dari seorang individu mengenai agama. Pemahaman di sini, seperti disebutkan di muka, bisa berarti pengertian yang mendalam tentang agama, atau sebaliknya hanya bersifat ala kadarnya (permukaan).

d.Mayoritas dan Minoritas

Ketika terdapat dua komunitas yang hidup bersama, hubungan di antara mereka akan selalu ditandai oleh ketidakseimbangan. Hal ini antara lain akan dikaitkan dengan status mereka sebagai mayoritas atau minoritas.

Suatu faktor yang mempersulit hubungan antara umat Islam dan Kristen di seluruh dunia. Fakta yang ada selalu menggambarkan bahwa posisi mayoritas atau minoritas akan berpengaruh terhadap akses seseorang dalam banyak bidang kehidupan.

Pernyataan klise yang sering terdengar mengenai relasi mayoritas dan minoritas di banyak negara adalah tidak adanya pebedaan di antara mereka, semua warga negara adalah sama. Pernyataan ini adalah benar sejauh dalam penggambaran teoritis.

Tetapi bagaimanapun, persoalan mayoritas-minoritas, kekuasaan, dan pengaruh, akan masuk ke dalam cara pandang kelompok keagamaan.

Kelompok-kelompok keagamaan, dimanapun adanya, ada yang menempati posisi mayoritas, lebih berkuasa, lebih kaya, dan lebih berpengaruh.

Di luar posisi itu adalah kelompok yang relatif lebih lemah, yang dalam banyak hal bergantung kepada niat baik atau bahkan belas kasihan dari kelompok yang lebih kuat.

Lebih dari itu, suatu kelompok bisa jadi menempati posisi mayoritas, tetapi yang lainnya lebih dominan. Keadaan inilah yang menjadi dasar bagi adanya konstruk perlawanan.

Konsep perlawanan ini akan muncul dalam situasi mayoritas dan minoritas. Kelompok minoritas harus berjuang keras kalau ia ingin tetap hidup.

Di beberapa wilayah Timur Tengah umat Kristen memformulasikan relasi mereka dengan umat Islam dalam pengertian oposisi ini.

Begitu halnya dengan umat Islam Filipina, mereka memperlihatkan konsep yang sama.

Konflik dan situasi minoritas dapat berarti suatu oposisi yang umum antara umat Islam dan Kristen.

Persoalannya adalah kapan dan dimana situasi oposisi itu bisa berkembang (Waardenburg, 1997: 13-14)

Dalam beberapa kasus, faktor-faktor etnisitas dan status sosial juga memainkan perannya.

Pemeluk suatu agama tertentu diidentifikasikan dengan kelompoknya, entah termasuk dalam strata sosial atas atau bawah (Hodges, 1974: 372-375).

Faktor-faktor ini mempengaruhi relasi antara mayoritas Kristen dan minoritas Muslim di Filipina, dan antara mayoritas Muslim dan minoritas Kristen di Pakistan.

Akan tetapi di negara-negara seperti Lebanon dan Malaysia, karena tidak ada yang benar-benar dominan, maka yang terjadi adalah adanya kompetisi dan koalisi di antara mereka.

Relasi antara umat Islam dan Kristen pada masyarakat yang komposisinya seimbang bahkan menjadi lebih rumit (Michel , 1997: 55-57).

e.Negara: pihak ketiga dalam faktor relasi Islam dan Kristen

Relasi antara umat Islam dan Kristen di banyak negara selalu melibatkan pihak ketiga, yaitu negara. Dalam banyak kasus, negara secara sadar melakukan intervensi untuk mengatur hubungan antar umat beragama.

Negara memiliki kepentingan untuk menjaga keseimbangan hubungan di antara kelompok-kelompok ini.

Dalam hal ini, negara akan menempatkan posisinya sebagai mediator atau fasilitator, dan berusaha untuk bersikap netral.

Tujuan utama keterlibatan negara dalam mengatur relasi antara umat Islam dan Kristen adalah untuk membangun kehidupan yang harmonis di antara mereka. Namun demikian, tidak jarang terjadi pemihakan dari negara kepada kelompok keagamaan tertentu.

Hal ini akan dapat diketahui apabila mencermati dan meneliti kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Adakalanya suatu kebijakan lebih memuaskan dan menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain.

Tidak terhindarkan pula suatu kebijakan sengaja dibuat untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Salah satu kasus di Indonesia antara lain mengenai kebijakan pemerintah yang mengatur aktivitas penyiaran agama dan pembatasan pembangunan tempat peribadatan (Departemen Agama, 1980:26-28).

Diyakini bahwa kebijakan pemerintah ini di satu pihak menguntungkan kelompok tertentu, tetapi merugikan yang lain. Umat Islam sebagai mayoritas adalah sebagai pihak yang diuntungkan.

Umat Islam, terutama kalangan tokohnya, merasa terlindungi dengan kebijakan itu, yang khawatir kalau aktivitas penyiaran agama akan menyebabkan conversi para pemeluknya.

Kebijakan pemerintah yang demikian oleh umat Kristen dipandang sebagai pemihakan pemerintah kepada umat Islam.

Untuk menolak kebijakan ini, umat Kristen merasa tidak berdaya, sehingga menerimanya dengan begitu rupa. Kebijakan yang bagi mereka sesungguhnya tidak bisa diterima.

Kebijakan pembatasan pembangunan tempat peribadatan, termasuk juga dalam kebijakan yang sulit diterima. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang logis tetapi tidak masuk akal.

Disebut logis karena setiap pembangunan suatu bangunan, seperti rumah tinggal sekalipun, harus ada izin dari pemerintah; tetapi tidak masuk akal karena ada alasan yang selalu dicari-cari untuk menghalangi pembangunan tempat ibadah ini.

f.Faktor Kemanusiaan: Beban Sejarah

Di atas telah dibahas sejumlah faktor yang mempengaruhi relasi antara umat Islam dan Kristen, yang meliputi faktor teologis-ideologis, politik, identifikasi kelompok keagamaan, status mayoritas dan minoritas, serta faktor keterlibatan negara.

Faktor-faktor itu diakui telah memainkan peranan yang kuat dan menentukan. Namun demikian ada faktor lain yang tidak terlalu terkait dengan faktor-faktor di atas, atau bahkan dengan karakteristik tertentu mengenai umat Islam dan Kristen, yaitu faktor yang berasal dari situasi kemanusiaan universal.

Faktor itu adalah berkaitan dengan beban sejarah, masa lalu dan masa kini, serta apresiasi mengenai masa depan. Faktor beban sejarah ini melibatkan masalah kemanusiaan secara universal.

Faktor itu antara lain muncul dalam bentuk sikap kemarahan, kekesalan (rasa sakit hati), frustasi (kegagalan), dan ketakutan. Bentuk yang lain muncul dalam sikap kecurigaan dan prasangka, bagaimana memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi.

Faktor beban sejarah ini menunjuk kepada beberapa masalah yang tidak mengenakkan (Michel , 1997: 61).

Seperti telah diketahui bahwa relasi antara umat Islam dan Kristen secara sosiologis tidak pernah mengalami masa vacum.

Lagi pula benar adanya bahwa kelompok umat ini tidak pernah terpisah dari konteks sejarahnya.

Setiap kelompok keagamaan dapat membuat daftar panjang mengenai penderitaan mereka yang disebabkan ulah pihak lain.

Penghinaan dan ketidakadilan tidak dapat dilupakan dan terus dihidupkan sampai bergenerasi, bahkan tidak terlupakan.

Peristiwa historis yang mengganggu relasi antara umat Islam dan Kristen antara lain penaklukan umat Islam ke Spanyol dan Eropa Timur, Perang Salib dan Reconquesta, serta kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Muslim.

Masih banyak peristiwa lokal dan berskala kecil yang tetap menjadi ingatan kolektif masing-masing umat ini. Sejarah karenanya telah menjadi ideologi legitimasi bagi masing-masing pihak (Munoz , 1999:25-37).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

1.Dewasa ini dapat disaksikan bahwa dunia kita, termasuk Indonesia tercinta, telah terbagi ke dalam beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda yang disebabkan faktor agama.

Di suatu belahan wilayah masyarakatnya dibentuk oleh ajaran Islam, sementara di belahan wilayah yang lain dibentuk oleh ajaran Kristen.

2.Ketika suatu kelompok berhadapan dengan kelompok yang berbeda, kapan dan dimanapun, akan muncul kecenderungan untuk mengembangkan stereotip tentang mereka dalam bentuk prasangka.

Munculnya prasangka dalam diri seseorang tidak hanya disebabkan oleh ketidakmatangan psikologis, tetapi juga karena proses sosialisasi atas sikap prasangka yang dikembangkan kelompok tertentu.

Akan tetapi, pada saat yang sama manusia memiliki kesanggupan untuk belajar dari lingkungannya.

Kesanggupan dasar ini terutama terarah kepada apakah seseorang akan belajar untuk bertoleransi atau berprasangka?

3.Pada saat yang sama relasi antara umat Islam dan Kristen dipengaruhi oleh beberapa fakktor.

Faktor-faktor itu antara lain: pandangan teologis masing-masing agama terhadap agama di luarnya, politik dan relasi keagamaan, identitas personal dan loyalitas kelompok, mayoritas dan minoritas, keterlibatan negara, dan beban sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Allport, Gordon W. (1958). The Nature of Prejudice. New York: Doubleday & Company, Inc. Ayoub, Mahmoud. “Islam and Christianity Between Tolerance and Acceptance”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 2, No.2, Dec.1991.

Baihaqi, Imam dkk. (ed,). (2002). Agama dan Relasi Sosial: Menggali Kearifan Dialog. Yogyakarta: LKIS. Boyd, Andrew. “The nature of prejudice”, dalam The Month, Vol. 32 March 1999.

Breiner, Bert. Christian-Muslim Relations: Some Current Themes”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 2, No.1, 1991. Carey, George. (1998).

Four Adresses on Relations Between Christians and Muslim. Birmingham” CSIC. Depag RI. (1980).

Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Depag RI. Djamari. 1988.

Agama dalam Perpektif Sosiologi. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud Hodges, Harod M. (1974).

Conflict and Cosensus: An Introduction to Sociology. New York: Harper & Row, Publisher. Horton, Paul B. and Chester L. Hunt. (1980).

Sociology. New York: McGraw-Hill Book Company. Koentjaraningrat. (1980).

Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Michel, Thomas. “Social and Religious Factors Affecting Muslim-Christian Relations”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 8, No.1, 1997.

Newcomb, Theodore M. dkk. (1978).

Psikologi Sosial. BandungL CV Diponegoro. Nielsen, Jorgen S. “The Interfaith Network (UK) and Interfaith Relations”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 2, No.1, 1991.

--------. “Christian-Muslim Relations in Western Europe”, dalam Islamochristiana, Vol. 21, 1995.

O‟dea, Thomas E. (1985).

Sosiologi Agama: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Robinson, Neal. “Massigon, Vatican II and Islam as an Abrahamic Religion”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 2, No.2, Dec.1991.

Rosenberg, Morris and Ralp H. Turner (Ed.) (1981).

Social Psychology: Sociological Perpectives. New York: Basic Books, Inc., Publishers. Sastrapratedja (ed.). (1982).

Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia. Santoso, Thomas. (1996).

Kekerasan Politik-Agama: Suatu Studi Konstruksi Sosial Tentang Perusakan Gereja Di Situbondo, 1996. Surabaya:Lutfansah Mediatama.

Satnyoto, Andaru. (1994).

Dari Prasangka Ke Kerjasama: Pelayanan Kristen Terhadap Masyarakat Dirinjau dari Agama-Agama Lain. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sjadzali, Munawir (1993).

Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. Smith, Donald Eugene (1985).

Agama dan Modernisasi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Soekanto, Soerjono. (1982).

Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sotrisno, Loekman dkk. (1997).

Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta: Puslit Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM dengan Depag RI. Sudrajat, Ajat (1995).

Din al-Islam: Pengantar Kuliah PAI. Yogyakarta: UPT Percetakan IKIP Yogyakarta. Susanto, Astrid S. (1979).

Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta. Thouless, Robert H. (1992).

Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Press. Wach, Joachim (1985).

Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Rajawali Press.

Waardenburg, Jacques. “Critical Issues in Muslim-Christian Relations: theoritical, practical, dialogical, scholarity”, dalam Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 8, No.1, 1997.

Biodata Penulis:

Ajat Sudrajat, Dr., M.Ag. Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi dan Unit MKU Universitas Negeri Yogyakarta.

Daftar Isi

RELASI UMAT ISLAM DAN KRISTEN: BEBERAPA FAKTOR PENGGAGGU1

Oleh 1

Ajat Sudrajat1

Abstrak 2

Kata kunci:3

Pendahuluan 4

Manusia dan Ekspresi Keagamaan 6

Agama dan Identitas Kelompok 10

Agama: dari prasangka sampai kekerasan 14

Relasi Umat Islam dan Kristen: Faktor Pengganggu 19

a.Teologi dan Relasi Agama 19

b. Politik dan Relasi Keagamaan 22

c.Identitas Personal dan Loyalitas Kelompok24

d.Mayoritas dan Minoritas 25

e.Negara: pihak ketiga dalam faktor relasi Islam dan Kristen28

f.Faktor Kemanusiaan: Beban Sejarah29

Kesimpulan 32

DAFTAR PUSTAKA 34

Biodata Penulis:37