Relasi Umat Islam dan Kristen: Faktor Pengganggu
a.Teologi dan Relasi Agama
Isu penting yang mendasari relasi antara umat Islam dan Kristen adalah berkaitan dengan pandangan teologi masing-masing pihak.
Pandangan yang bersifat teologis ini oleh para pendukungnya diidiologikan dan diabsolutkan sedemikian rupa.
Sikap atau tindakan yang demikian menurut Waardenburg akan menghalangi komunikasi dan sekaligus mengganggu relasi antara umat Islam dan Kristen (Boyd , 1999: 107-108).
Terdapat contoh yang dapat dijadikan saksi atau bukti atas sikap dan tindakan ini. Imperium Romawi pada masanya telah memberlakukan konsep yang disebut pax romana.
Konsep ini menekankan pemisahan atau pembagian dunia ke dalam lingkup dunia damai dan kacau.
Dunia damai adalah wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, dan dunia kacau adalah wilayah yang berada di luar kekuasaan Romawi atau kekuasaan Romawi belum sampai ke wilayah itu.
Tetapi ketika Kristen menjadi agama resmi negara, konsep pax romana beralih menjadi pax christiana, suatu peralihan dari pandangan yang bercorak politis kepada pandangan yang bercorak spiritual.
Pandangan itu tercermin dalam konsep gereja extra ecclessiam nulla salus, di luar gereja tidak ada jalan keselamatan.
Meskipun demikian acuan pax romana-nya tetap tidak berubah, yang berarti di luar lingkungan kami tidak ada apapun kecuali kekacauan dan kutukan (Feldkeller, 1997:30).
Dalam perkembangan yang lebih mutakhir, di lingkungan gereja terdapat perubahan pada level doktrinalnya.
Pada tahun 1964, Konsili Vatikan II mengeluarkan suatu dokumen yang disebut Nostra Aetate.
Dokumen itu menyatakan tentang kemungkinan keselamatan yang akan diperoleh oleh pemeluk agama di luar Kristen.
Salah satu implikasi dari dokumen ini antara lain mengisyaratkan bagi kemungkinan terjadinya perubahan dalam relasi mereka dengan umat Islam (Feldkeller, 1997:30).
Paralel dengan pandangan doktrinal di atas, Islam juga mengenalkan konsep pembagian dunia ke dalam dar al-Islam (wilayah damai) dan dar al-harb (wilayah perang).
Dar al-Islam adalah wilayah-wilayah yang berada di dalam kekuasaan Islam, dan dar al-harb adalah wilayah-wilayah yang berada di luarnya.
Konsep dar al-harb ini digunakan oleh Islam antara lain sebagai label bagi dunia Barat.
Secara langsung atau tidak langsung konsep ini menunjuk pada dunia Kristen.
Tetapi satu hal yang harus diakui dari pemerintahan Islam adalah tentang jaminan keselamatan yang diberikan kepada non-Muslim.
Segera setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah dan menjadi penguasa politik, dia mendeklarasikan adanya jaminan keselamatan kepada orang-orang yang berbeda agama.
Kebijakan Nabi ini termuat dalam satu dokumen sejarah Islam yang disebut dengan Piagam Madinah (Sjadzali , 1993: 8-17).
Jaminan keselamatan atas non-Muslim dalam Islam dikenal dengan konsep ahl-dzimmah.
Pemerintahan Islam memberikan perlindungan bagi penganut agama lain dengan cara menarik jizyah, sejenis pajak kepala (Rahman 1984: 28).
Tindakan ini menjadi standar perlakuan Islam terhadap kaum Yahudi dan Kristen, yang selanjutnya dikenakan juga kepada penganut agama-agama lain.
Namun dalam perkembangan di masa modern, negara-negara Muslim tidak lagi memberlakukan konsep ahl-dzimmah.
Aturan yang berkaitan dengan ahl-dzimmah digantikan dengan hukum-hukum sekuler, yang memberikan jaminan persamaan hak dan kewajiban kepada masing-masing warga negara.
Membandingkan dua pandangan di atas, perubahan yang terjadi dalam Islam terutama berada pada level muamalat (hubungan kemanusiaan).
Sedangkan pada level doktrinalnya, seperti terdapat adanya keselamatan di luar Islam, masih menjadi perdebatan di kalangan internal umat Islam.
Meskipun demikian, arus yang kuat adalah pengakuan tidak adanya keselamatan di luar Islam, extra Islaman nulla salus, meminjam istilah gereja.
b. Politik dan Relasi Keagamaan
Relasi antara umat Islam dan Kristen dimanapun di dunia ini tidak pernah dalam keadaan vacum.
Isu-isu politik adalah salah satu di antara faktor yang berhubungan erat dengan masalah relasi antara umat Islam dan Kristen.
Pernyataan yang bernada klise selama ini mengatakan bahwa konflik-konflik keagamaan hampir selalu disebabkan oleh faktor non-agama
Bukti dari pernyataan ini adalah, umat Islam dan Kristen dapat hidup bersama dalam satu wilayah dalam keadaan normal, hubungan di antara mereka berlangsung harmonis.
Tetapi relasi ini secara tiba-tiba berubah apabila terjadi tarikan-tarikan ke dalam wilayah politik.
Fakta yang demikian merefleksikan persepsi umum, sesungguhnya dua kelompok ini secara historis tidak mengalami kesulitan untuk hidup bersama dan tidak ada ketegangan serta konflik di antara mereka.
Ketegangan dan konflik yang terjadi, tidak lain disebabkan oleh tarikan-tarikan kepentingan politik. Dengan kata lain yang bisa merusak relasi antara umat Islam dan Kristen adalah persoalan politik.
Karena itu politik bisa dikatakan sebagai kekuatan pengganggu. Faktor pengganggu ini telah memperumit dan seringkali tidak mendukung relasi umat Islam dan Kristen.
Faktor politik yang dimaksudkan di sini adalah menunjuk pada sesuatu yang lebih luas daripada sekedar pemerintahan, partai politik, dan sistem hukum.
Dalam banyak analisis tentang konflik dan ketegangan, akar masalahnya berkisar pada faktor-faktor demografis yang menyangkut status mayoritas dan minoritas, akses untuk berkuasa, perbedaan etnis dan kultural, identifikasi kelompok, konsep kewarganegaraan, koneksi internasional, dan stabilitas ekonomi.
Pada abad ini, konflik dan ketegangan di Timur Tengah maupun Asia yang melibatkan umat beragama sudah jarang yang berkaitan langsung dengan masalah teologi dan praktek keagamaan.
Ketegangan-ketegangan itu biasanya muncul dari cara kelompok-kelompok tersebut mempersepsikan status dan identitas dirinya di hadapan dan ketika berhadapan dengan kelompok lain (Michel , 1997: 53-54).
c.Identitas Personal dan Loyalitas Kelompok
Agama bukan saja merupakan sistem keyakinan dan praktek, tetapi juga merupakan faktor formatif identifikasi personal yang diakui masyarakat.
Status seorang individu akan dilihat dari ikatannya dengan kelompok agama.
Apabila suatu kelompok keagamaan berada dalam posisi terhina atau teraniaya, maka individunya secara personal juga akan ikut terhina.
Demikian pula halnya, apabila kelompok itu berada dalam posisi terhormat dan dihargai, maka otomatis status individunyapun akan dihormati dan dihargai.
Studi tentang etnisitas telah menunjukkan bahwa loyalitas dan ikatan keagamaan merupakan suatu unsur yang kuat dalam membangun identitas etnis bahkan bagi orang-orang yang kurang taat sekalipun.
Ketika kelompok itu mempersepsikan dirinya terancam, maka ia akan melihat kelompok yang menyakiti atau menyinggung perasaannya sebagai musuh.
Selebihnya akan muncul kemarahan-kemarahan terhadap anggota kelompok itu, bahkan kepada anggota yang secara individu tidak tahu menahu.
Bentuk perlawanan itu akan diperlihatkan sedemikian rupa, sejak dari cara yang lunak sampai melalui cara kekerasan. Secara umum konflik-konflik keagamaan sering terjadi pada masyarakat yang identifikasi kelompoknya kuat (Michel , 1997: 55).
Sebaliknya pada masyarakat yang identifikasi kelompok keagamaannya lemah, seperti di Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Tenggara, relasi antara umat Islam dan Kristen cenderung kurang ditandai konflik.
Hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat bertahan relatif lama. Dalam masyarakat yang demikian, agama lebih bersifat individual daripada komunal.
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa keadaan ini tidak semata merupakan akibat dari proses sekularisasi, begitu pula bukan ciri-ciri dari masyarakat yang tersekulerkan.
Hal ini lebih merefleksikan adanya pemahaman yang berbeda dari seorang individu mengenai agama. Pemahaman di sini, seperti disebutkan di muka, bisa berarti pengertian yang mendalam tentang agama, atau sebaliknya hanya bersifat ala kadarnya (permukaan).
d.Mayoritas dan Minoritas
Ketika terdapat dua komunitas yang hidup bersama, hubungan di antara mereka akan selalu ditandai oleh ketidakseimbangan. Hal ini antara lain akan dikaitkan dengan status mereka sebagai mayoritas atau minoritas.
Suatu faktor yang mempersulit hubungan antara umat Islam dan Kristen di seluruh dunia. Fakta yang ada selalu menggambarkan bahwa posisi mayoritas atau minoritas akan berpengaruh terhadap akses seseorang dalam banyak bidang kehidupan.
Pernyataan klise yang sering terdengar mengenai relasi mayoritas dan minoritas di banyak negara adalah tidak adanya pebedaan di antara mereka, semua warga negara adalah sama. Pernyataan ini adalah benar sejauh dalam penggambaran teoritis.
Tetapi bagaimanapun, persoalan mayoritas-minoritas, kekuasaan, dan pengaruh, akan masuk ke dalam cara pandang kelompok keagamaan.
Kelompok-kelompok keagamaan, dimanapun adanya, ada yang menempati posisi mayoritas, lebih berkuasa, lebih kaya, dan lebih berpengaruh.
Di luar posisi itu adalah kelompok yang relatif lebih lemah, yang dalam banyak hal bergantung kepada niat baik atau bahkan belas kasihan dari kelompok yang lebih kuat.
Lebih dari itu, suatu kelompok bisa jadi menempati posisi mayoritas, tetapi yang lainnya lebih dominan. Keadaan inilah yang menjadi dasar bagi adanya konstruk perlawanan.
Konsep perlawanan ini akan muncul dalam situasi mayoritas dan minoritas. Kelompok minoritas harus berjuang keras kalau ia ingin tetap hidup.
Di beberapa wilayah Timur Tengah umat Kristen memformulasikan relasi mereka dengan umat Islam dalam pengertian oposisi ini.
Begitu halnya dengan umat Islam Filipina, mereka memperlihatkan konsep yang sama.
Konflik dan situasi minoritas dapat berarti suatu oposisi yang umum antara umat Islam dan Kristen.
Persoalannya adalah kapan dan dimana situasi oposisi itu bisa berkembang (Waardenburg, 1997: 13-14)
Dalam beberapa kasus, faktor-faktor etnisitas dan status sosial juga memainkan perannya.
Pemeluk suatu agama tertentu diidentifikasikan dengan kelompoknya, entah termasuk dalam strata sosial atas atau bawah (Hodges, 1974: 372-375).
Faktor-faktor ini mempengaruhi relasi antara mayoritas Kristen dan minoritas Muslim di Filipina, dan antara mayoritas Muslim dan minoritas Kristen di Pakistan.
Akan tetapi di negara-negara seperti Lebanon dan Malaysia, karena tidak ada yang benar-benar dominan, maka yang terjadi adalah adanya kompetisi dan koalisi di antara mereka.
Relasi antara umat Islam dan Kristen pada masyarakat yang komposisinya seimbang bahkan menjadi lebih rumit (Michel , 1997: 55-57).
e.Negara: pihak ketiga dalam faktor relasi Islam dan Kristen
Relasi antara umat Islam dan Kristen di banyak negara selalu melibatkan pihak ketiga, yaitu negara. Dalam banyak kasus, negara secara sadar melakukan intervensi untuk mengatur hubungan antar umat beragama.
Negara memiliki kepentingan untuk menjaga keseimbangan hubungan di antara kelompok-kelompok ini.
Dalam hal ini, negara akan menempatkan posisinya sebagai mediator atau fasilitator, dan berusaha untuk bersikap netral.
Tujuan utama keterlibatan negara dalam mengatur relasi antara umat Islam dan Kristen adalah untuk membangun kehidupan yang harmonis di antara mereka. Namun demikian, tidak jarang terjadi pemihakan dari negara kepada kelompok keagamaan tertentu.
Hal ini akan dapat diketahui apabila mencermati dan meneliti kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Adakalanya suatu kebijakan lebih memuaskan dan menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain.
Tidak terhindarkan pula suatu kebijakan sengaja dibuat untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Salah satu kasus di Indonesia antara lain mengenai kebijakan pemerintah yang mengatur aktivitas penyiaran agama dan pembatasan pembangunan tempat peribadatan (Departemen Agama, 1980:26-28).
Diyakini bahwa kebijakan pemerintah ini di satu pihak menguntungkan kelompok tertentu, tetapi merugikan yang lain. Umat Islam sebagai mayoritas adalah sebagai pihak yang diuntungkan.
Umat Islam, terutama kalangan tokohnya, merasa terlindungi dengan kebijakan itu, yang khawatir kalau aktivitas penyiaran agama akan menyebabkan conversi para pemeluknya.
Kebijakan pemerintah yang demikian oleh umat Kristen dipandang sebagai pemihakan pemerintah kepada umat Islam.
Untuk menolak kebijakan ini, umat Kristen merasa tidak berdaya, sehingga menerimanya dengan begitu rupa. Kebijakan yang bagi mereka sesungguhnya tidak bisa diterima.
Kebijakan pembatasan pembangunan tempat peribadatan, termasuk juga dalam kebijakan yang sulit diterima. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang logis tetapi tidak masuk akal.
Disebut logis karena setiap pembangunan suatu bangunan, seperti rumah tinggal sekalipun, harus ada izin dari pemerintah; tetapi tidak masuk akal karena ada alasan yang selalu dicari-cari untuk menghalangi pembangunan tempat ibadah ini.
f.Faktor Kemanusiaan: Beban Sejarah
Di atas telah dibahas sejumlah faktor yang mempengaruhi relasi antara umat Islam dan Kristen, yang meliputi faktor teologis-ideologis, politik, identifikasi kelompok keagamaan, status mayoritas dan minoritas, serta faktor keterlibatan negara.
Faktor-faktor itu diakui telah memainkan peranan yang kuat dan menentukan. Namun demikian ada faktor lain yang tidak terlalu terkait dengan faktor-faktor di atas, atau bahkan dengan karakteristik tertentu mengenai umat Islam dan Kristen, yaitu faktor yang berasal dari situasi kemanusiaan universal.
Faktor itu adalah berkaitan dengan beban sejarah, masa lalu dan masa kini, serta apresiasi mengenai masa depan. Faktor beban sejarah ini melibatkan masalah kemanusiaan secara universal.
Faktor itu antara lain muncul dalam bentuk sikap kemarahan, kekesalan (rasa sakit hati), frustasi (kegagalan), dan ketakutan. Bentuk yang lain muncul dalam sikap kecurigaan dan prasangka, bagaimana memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi.
Faktor beban sejarah ini menunjuk kepada beberapa masalah yang tidak mengenakkan (Michel , 1997: 61).
Seperti telah diketahui bahwa relasi antara umat Islam dan Kristen secara sosiologis tidak pernah mengalami masa vacum.
Lagi pula benar adanya bahwa kelompok umat ini tidak pernah terpisah dari konteks sejarahnya.
Setiap kelompok keagamaan dapat membuat daftar panjang mengenai penderitaan mereka yang disebabkan ulah pihak lain.
Penghinaan dan ketidakadilan tidak dapat dilupakan dan terus dihidupkan sampai bergenerasi, bahkan tidak terlupakan.
Peristiwa historis yang mengganggu relasi antara umat Islam dan Kristen antara lain penaklukan umat Islam ke Spanyol dan Eropa Timur, Perang Salib dan Reconquesta, serta kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Muslim.
Masih banyak peristiwa lokal dan berskala kecil yang tetap menjadi ingatan kolektif masing-masing umat ini. Sejarah karenanya telah menjadi ideologi legitimasi bagi masing-masing pihak (Munoz , 1999:25-37).