• Mulai
  • Sebelumnya
  • 14 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5027 / Download: 3245
Ukuran Ukuran Ukuran
Perayaan Tabot bab 1

Perayaan Tabot bab 1

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Perayaan Tabot

Syuplahan Gumay

Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu

A. Latar Belakang

1. Perayaan Tabot

1.1. Pengertian Tabot

Tabot berasal dari kata “Tabut” yang berasal dari bahasa Arab ‘At-tabutu’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu.[1]

Namun menurut pengertian umum di daerah Kota Bengkulu, Tabot adalah sebuah miniatur bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambah pula bentuk-bentuk lain seperti burung berkepala manusia, ikan, rumah adat dan sebagainya. Bangunan ini dihiasi kertas aneka warna dan hiasan lainnya.[2]

Dalam prosesi upacara Tabot, miniatur bangunan yang disebut Tabot ini diarak dalam upacara peringatan terjadinya perang Karbala Irak pada bulan Muharram tahun 61 Hijriyah (681 M), upacara ini dalam rangka mengenang peristiwa gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan Imam Ketiga kaum Syi’ah.[3]

Masyarakat Kota Bengkulu menyebutnya Tabot[4] , sedangkan masyarakat di daerah Pariaman Sumatera Barat menyebutnya Tabuik.[5]

Namun karena telah berjalan cukup lama maka upacara Tabot ini telah dipengaruhi dengan masuknya berbagai unsur budaya lokal yang berasal dari kehidupan masyarakat Bengkulu.

Dan pada akhirnya upacara Tabot dengan segala ritualnya telah dianggap milik masyarakat Bengkulu, yang penyelenggaraannya selalu ditunggu setiap tahun.

Di antara jenis-jenis Tabot, ada yang divisualisasikan dalam rupa kuda sembrani dengan warna badannya hitam dan kepak sayap berwarna jingga. Di leher jenjangnya tergantung perisai warna kuning keemasan.

Rambut hitamnya terjuntai, menambah keelokan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota di atasnya. Tegak bertengger di bahu bangunan menyerupai menara masjid, kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama buroq yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW saat melakukan tugas kenabiannya pada peristiwa Isra’ Mijraj, serta masih banyak lagi bentuk-bentuk bangunan Tabot.

Beraneka ragam bangunan dan variasi Tabot, mereka mempersiapkan sejak satu bulan menjelang prosesi agung tersebut.

Pada dasarnya Tabot itu melambangkan peti mati Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur dalam pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaidillah bin Ziad Ali Bani Umayah di Padang Karbala Irak pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah (680 Masehi). Diriwayatkan bahwa Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib gugur dengan 33 tusukan tombak dan 34 luka sabetan pedang.[6]

Menurut sejarahnya, upacara Tabot merupakan tradisi kaum Syi’ah, suatu aliran dalam Islam yang memuliakan Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Syi’ah ini adalah penganut Islam yang dianggap ekstrim oleh sebagian besar umat Islam di luar Syi’ah, karena hanya mengakui bahwa keturunan Nabi Muhammad saja yang berhak menjadi Khalifah (pemimpin) umat Islam.[7]

Setelah nabi Muhammad SAW wafat, di kalangan para sahabat mengalami perselisihan, dalam konteks perselisihan ini para sahabat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :

(1) pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah Rasul wafat dipegang oleh ahl al-bait (keturunan nabi Muhammad),

(2) kelompok kedua menganggap bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Kelompok pertama inilah yang melahirkan aliran Syi’ah.[8]

Ajaran Syi’ah tentang konsep ishmatul a’immah (kesucian para Imam), penolakan Syi'ah pada tiga Khalifah pertama yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan sikap Syi’ah yang hanya menerima hadits-hadits dari jalur Ahlul Bait menjadi penyebab terjadinya resistensi dari kelompok Islam di luar aliran Islam Syi’ah.

Syi’ah diambil secara langsung dari konsep ‘Syi’atu Ali’ yang berarti pengikut partai Ali. Para ‘Syi’atu Ali’ adalah orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali, sepupu sekaligus menantu nabi Muhammad, mereka biasanya diposisikan vis a vis dengan yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti bani Ummayah serta Abbasiyah.[9]

Upacara Tabot bagi kaum Syi’ah adalah peringatan mengenang Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang gugur di Padang Karbala Irak.

Awalnya arak-arakan atau pawai itu bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat juang para keluarga dan orang-orang Syi’ah dalam menyebarkan syi’ar Islam.

Peristiwa tersebut mereka peringati setiap tahun, dan akhirnya menjadi suatu tradisi bagi kaum Syi’ah di mana saja mereka berada.

Tujuan dari upacara Tabot ini pada mulanya adalah untuk meningkatkan rasa cinta mereka kepada ahlul-bait (keluarga Rasulullah SAW) umumnya dan kepada Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, di samping untuk memupuk rasa permusuhan kepada keluarga klan Bani Umaiyah yang telah membunuh Imam Husein.[10]

Dilihat dari prosesi ritual Tabot, terdapat pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mengingat kembali kekejaman pasukan Yazid bin Mu’awiyah yang telah membunuh Imam Husein secara keji misalnya pada prosesi Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, yang menggambarkan jari-jari tangan Imam Husein yang putus karena sabetan pedang, Arak Seroban yang menggambarkan sorban Imam Husein yang terlepas dari kepalanya yang dipenggal atau Hari Gam yang menggambarkan hari duka cita karena wafatnya Imam Husein.

Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tradisi perayaan Tabot, memang bertujuan untuk melestarikan dendam atau memelihara permusuhan atas terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Walaupun sejarah perayaan Asyura berawal dari perang Karbala (Irak sekarang) namun selama 34 tahun Saddam Husen berkuasa, ritual hari Asyura dilarang di Irak.[11] Sebaliknya peringatan perayaan Asyura (Tabot) lebih berkembang di Iran yang memang mayoritas menganut Islam Syi’ah dan mereka menjadikannya sebagai ritual wajib setiap tahunnya.

Prosesi perayaan Asyura (Tabot) di Iran sampai saat ini masih diwarnai praktek-praktek yang menunjukkan sikap permusuhan itu. Pada saat perayaan Asyura mereka membawa perlengkapan perang saat pawai upacara hari Asyura berlangsung.

Prosesi perayaan Asyuro yang penuh dengan praktek-praktek yang menunjukkan sikap kebencian dan permusuhan dan dendam atas terbunuhnya Imam Husein hal itu dapat dilihat dari laporan perjalanan Petro Dalawaleh seorang petualang berkebangsaan Italia yang telah dua kali menyaksikan acara peringatan Asyuro di masa Syah Abbas Pertama (996-1038 H) di Ishfahan Iran. Petro Dalawaleh menulis laporan sebagai berikut :

Kelompok-kelompok para pelaku ‘Aza (Asyura -Tabot) memanggul sejumlah Tabut yang telah ditutup dengan kain berwarna hitam dengan iringan bendera-bendera kebesaran.

Diatas tabut tersebut, diletakkan sejumlah senjata tajam yang telah diwarnai, dengan menyilang dan mendatar, dan sejumlah orang berjalan di sekelilingnya sambil melantunkan ratapan-ratapan sementara sebagiannya lagi meniupkan terompet dan memukul sejumlah alat yang dapat mengeluarkan bunyi, dan juga meneriakkan kata-kata yang sangat menakjubkan dan ajaib.

Ia menganggap tabut-tabut ini sebagai lambang dan simbol dari tabut Imam Ali AS dan juga menunjukkan sifat-sifat acara ‘Aza di hari Asyura yang disertakan dengan membawa tabut-tabut oleh para pelaku ‘Aza.

Ia juga menulis bahwa di sekeliling mereka, semuanya ditutup dengan kain berwarna hitam. Di atas setiap Tabut diletakkan sebilah pedang dan sebuah ‘amamah (sorban yang dililitkan di kepala) sementara senjata lainnya diletakkan di sekitarnya. Segala sesuatu itu diletakkan di kepala sejumlah orang lalu dengan suara keras dan nyaring mereka melompat-lompat sambil berputar .[12]

1.2. Perkembangan Upacara Tabot di Kota Bengkulu

Walaupun mengenai sejarah upacara Tabot secara lengkap termasuk tahapan-tahapan upacaranya akan penulis sampaikan pada Bab II namun ada baiknya disinggung sepintas pada Bab I ini.

Versi pertama mengatakan bahwa masuk dan berkembangnya upacara Tabot di Bengkulu diperkirakan abad ke XVII, yang dibawa oleh orang-orang Muslim India.

Orang-orang India ini sengaja didatangkan oleh Inggris sebagai serdadu dan pekerja untuk membangun benteng Marlborough di Kota Bengkulu.

Namun secara khusus tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun disebut-sebut bahwa tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut faham Syi’ah ini mulai ada sejak pembangunan benteng Marlborough (1718 - 1719) di Bengkulu.[13]

Salah satu tokoh penting yang dianggap berperan dalam memperkenalkan upacara ini di Bengkulu adalah Syekh Burhanudin atau lebih dikenal dengan Imam Senggolo.

Sementara versi dari Kerukunan Keluarga Tabot (KKT)[14] meyakini bahwa sejarah asal-usul upacara Tabot di Bengkulu dibawa oleh Syekh Burhanudin atau Imam Senggolo seorang ulama Islam berkebangsaan Arab penyebar agama Islam yang pernah bermukim di Punjab Pakistan.

Alasannya adalah sampai saat ini kata-kata yang berasal dari bahasa Urdu Punjab masih dipakai oleh keturunan Imam Senggolo di Kota Bengkulu. Misalnya kata-kata : Dhada (kakek), Abba (ayah), biwi (istri), mamu (paman), gam (sedih), penja (lima jari), soja (menyembah), jel (penjara), dawat (tinta) dan pemacik (korek api).[15]

Dikatakan oleh versi pertama bahwa di Irak sendiri, orang-orang Syi’ah pengikut tarekat Satariah selalu menyelenggarakan peringatan Assyura, yang juga diikuti oleh pengikut tarekat yang lain yang bermazhab Ahlusunah.

Kemudian acara peringatan berkembang pula di Iran. Dari Iran tradisi ini terus berkembang ke India. Lalu dari India, ia berkembang ke Bengkulu dan Pariaman Sumatera Barat, yang dibawa orang-orang Syi’ah India, yang pernah menjadi tentara Inggris di tanah Bengkulu.[16]

Dengan terjadinya asimilasi antara orang-orang India yang datang ke Bengkulu ini dengan masyarakat Melayu di Bengkulu ketika itu, maka secara perlahan upacara perayaan Tabot menjadi semakin diterima masyarakat umum.

Akhirnya secara turun-temurun silih berganti lahirlah tokoh-tokoh Tabot[17] pada generasi sesudahnya, yang membuat upacara Tabot semakin membudaya di Bengkulu.

Upacara Tabut sangat berakar di nusantara dan berfungsi memperingati kematian Hasan dan Husein sebagai tanda bakti kepada mereka dari penganut Syi’ah.[18]

Tradisi peringatan Tabut itu di Indonesia lebih sering disebut sebagai tradisi Muharram karena dilakukan pada bulan Muharram.

Beberapa daerah di Indonesia yang sampai saat ini masih melestarikan tradisi ini antara lain, Bengkulu, Pariaman, Solok, Padang Panjang Sumatera Barat, Pidie Aceh, Gresik dan Banyuwangi Jawa Timur.

Tradisi Muharram oleh masyarakat Jawa disebut Syuroan sementara masyarakat Aceh menyebutnya bulan Hasan dan Husein.[19]

1.3.Waktu dan Tempat Penyelenggaraan

Sering dipahami bahwa penyelenggaraan upacara Tabot di Kota Bengkulu berlangsung selama 10 hari, yaitu dari tanggal 1 sampai 10 Muharram. Hal itu dikarenakan orang hanya melihat prosesi yang bersifat massal atau melibatkan masyarakat umum.

Namun sesungguhnya rangkaian acaranya sudah dimulai sebelum tanggal 1 Muharram dan berakhir pada tanggal 13 Muharram setiap tahunnya.[20]

Kegiatan upacara perayaan Tabot sebelum tanggal 1 Muharram dan setelah tanggal 10 Muharram lebih bersifat internal keluarga Tabot (keturunan Imam Senggolo) saja, sehingga jarang diketahui publik.

2. Upacara Tabot sebagai Tradisi

Menjadi pertanyaan tentunya, mengapa tradisi Tabot yang berakar dari tradisi kaum Syi’ah ini dapat diterima secara luas di Bengkulu, mengingat mayoritas umat Islam yang ada di Indonesia khususnya di Bengkulu menganut aliran Sunni.

Sementara kita juga tahu bahwa sejak lama kelompok Sunni tidak sefaham dengan kelompok Syi’ah, bahkan di beberapa tempat di Indonesia misalnya di Sampang Madura terjadi penyerangan fisik terhadap kelompok Syi’ah.[21]

Padahal kelompok agama Islam aliran Syi’ah di Sampang tidak menunjukkan sikap atraktif dalam mengekspresikan identitas maupun ajaran Syi’ahnya seperti kelompok Tabot di Kota Bengkulu.

Sebenarnya bibit-bibit konflik antara Islam Syi’ah dengan Islam Sunni di Indonesia ada sejak bulan Maret 1984 ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa yang isinya agar waspada terhadap ajaran Syi’ah.[22]

Yang terbaru adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Timur pada tanggal 21 Januari 2012 yang mengeluarkan fatwa tertulis dengan nomor : Kep-01/SKF MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syi’ah.[23]

Lalu muncul pertanyaan lanjutan, mengapa perayaan Tabot yang semula merupakan ritual agama Islam aliran Syi’ah yang bertujuan memupuk rasa permusuhan kepada keluarga klan Bani Umaiyah[24] yang telah membunuh Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib menjadi berkembang dalam fungsi membina kerukunan sosial dan mengintegrasikan masyarakat Kota Bengkulu, perayaan festival Tabot di Kota Bengkulu tidak tampil dengan bentuk yang menggambarkan layaknya sebuah ritual peringatan belasungkawa.

Namun sebaliknya peringatan gugurnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib di Kota Bengkulu dikemas dalam festival budaya yang didalamnya masing-masing suku yang ada di Kota Bengkulu seperti suku Jawa, Tionghoa, Minang, Lampung turut serta ambil bagian memeriahkan festival tersebut.

Sehingga dalam perkembangannya fungsi ini masuk dalam tatanan sosial-budaya masyarakat Kota Bengkulu yang bahkan sekarang ini menjadi aset wisata andalan pemerintah Propinsi Bengkulu.

Dalam konteks yang lebih luas, mayoritas masyarakat Kota Bengkulu sudah tidak mempersoalkan asal-usul Tabot, apakah bersumber dari paham Syi’ah atau Sunni. Dimata kelompok Syi’ah di Kota Bengkulu yang di wakili Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) perayaan Tabot merupakan bukti bahwa ajaran Syi’ah pernah berkembang di Kota Bengkulu.

Walaupun mereka mengakui saat ini sangat sedikit sisanya khususnya dalam hal ajaran fiqih Syi’ah. Sementara dalam pandangan Keluarga Tabot (keturunan Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo) lebih menempatkan tradisi Tabot dalam konteks yang lebih umum tanpa dibatasi oleh sekat-sekat aliran keagamaan Syi’ah atau Sunni.

Perayaan Tabot lebih dilihat sebagai media untuk penyiaran agama Islam. Tradisi Tabot merupakan warisan leluhur yang wajib untuk dilaksanakan setiap tahun tanpa harus mendalami latar-belakang tradisi ini apakah berasal dari Syi’ah atau Sunni. Hal ini hampir sama dengan apa yang disimpulkan oleh Strehlow yang mengatakan :

Ketika penduduk primitif ditanya tentang apa persisnya mereka menyelenggarakan upacara-upacara ini, secara umum mereka menjawab : karena para leluhur memang melaksanakan demikian. Itu sebabnya kami melaksanakannya dengan cara begini bukan dengan cara lain .[25]

Banyak nilai-nilai universal yang dapat digali dari 13 fase kegiatan upacara Tabot, dimulai dari Do’a Mohon Keselamatan, Mengambil Tanah, Duduk Penja, Malam Menjara, Meradai, Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, Arak Seroban, Hari Gam, Tabot Naik Pangkek, Arak Gedang, Soja, Arak Gedang Tabot Tebuang dan Mencuci Penja.

Nilai-nilai universal itu antara lain memupuk solidaritas, gotong-royong, kesederhanaan dan mencintai sesama. Mungkin saja jika tokoh-tokoh Syi’ah yang membawa tradisi upacara Tabot di Bengkulu lebih menonjolkan sisi ideologis dari faham Syi’ah dalam upacara Tabot maka belum tentu masyarakat umum dapat menerimanya.

Dengan lebih menonjolkan upacara Tabot sebagai sebuah Tradisi, ajaran Syi’ah yang terdapat pada ritual upacara Tabot menjadi tidak begitu menonjol, terbukti tidak terdengar kata-kata dari peserta upacara Tabot yang menolak Imam selain Imam Ali.

Sebaliknya yang ada hanya kata-kata yang memuliakan Imam Ali dan Ahlulbaitnya. Selain itu juga terlihat pengaruh tradisi lokal dalam upacara Tabot ini, misalnya penggunaan sesajian berupa bubur merah dan bubur putih, sirih, gula merah, rokok nipah, air serobat atau air santan kelapa, kopi pahit, air dadih yang terbuat dari susu sapi mentah, air putih, air selasih, air cendana dan kemenyan menunjukkan sisi kebudayaan lain diluar ideologi Syi’ah.

Tentu para pembawa tradisi Tabot ke Kota Bengkulu seperti Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin sudah mempertimbangkan untuk tidak menunjukkan sikap eksklusif dan menutup diri dari pengaruh unsur budaya lokal dalam perayaan Tabot ini karena jika hal itu terjadi maka tradisi Tabot akan mengalami benturan dengan budaya lokal yang sudah lebih dulu hidup di Kota Bengkulu.

Sehingga dengan demikian terlihat jelas bahwa dalam perkembangan upacara Tabot mengalami berbagai penyesuaian dengan budaya lokal Melayu Bengkulu. Hal itu disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara pembawa budaya Tabot dengan pelaku budaya setempat yang sudah lebih dulu eksis di Bengkulu. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengemukakan :

“wujud kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri, sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi” .[26]

Tentu antara agama dengan kebudayaan sangat berkaitan erat sebagaimana yang dikatakan oleh Bassam Tibi bahwa Agama merupakan sistem budaya dan oleh karena itu bersifat simbolik; sebagai model untuk realitas, agama pun tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental tetapi hanya secara interpretatif.[27]

Kebudayaan pada dasarnya adalah suatu hal yang cukup rumit untuk dirumuskan secara definitive. Para ahli merumuskan kebudayaan berbeda-beda dan rumit yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.

Dilihat dari cakupan diatas maka dapat dikatakan bahwa ritual perayaan Tabot di Kota Bengkulu yang secara teologis berakar dari kepercayaan dan ajaran Islam aliran Syi’ah yang semula bertujuan untuk menghormati Imam Husein yang syahid[28] di Padang Karbala adalah merupakan bagian dari aktifitas keagamaan Islam.

Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat dan kelompok penduduk tertentu.

Tradisi, Sosial Budaya dan Ritual

a. Tradisi

Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan pada sebuah komunitas. Dalam Islam, tradisi disebut al-urf yaitu apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia, mereka tunduk kepadanya dalam persoalan hidup, sehingga mereka merasa tidak asing dengannya dan mereka menerimanya dengan jiwa yang tenang.[29]

Awal mulanya dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu, kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran, para pengikutnya percaya, jika tradisi itu ditinggalkan akan mendatangkan bencana. Demikian juga di masyarakat Bengkulu terdapat berbagai tradisi yang teraplikasikan di antaranya tradisi Tabot.[30]

Penduduk Kota Bengkulu awalnya adalah suku bangsa Melayu yang telah memiliki tradisi yang meliputi adat-istiadat, kesenian, sastra, seni arsitektur, sistem kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan sosial kemasyarakatan mereka sehari-hari termasuk dalam upacara-upacara adat, baik adat perkawinan, adat waris dan sistem keturunan.

Adat istiadat yang mendominasi pelaku-pelaku sosial Kota Bengkulu sejak dulu adalah adat Melayu, yang telah dijunjung tinggi dan coba dipertahankan oleh suku bangsa asli daerah ini sejak awal perkembangannya hingga sekarang.

Dalam perkembangannya, berangsur-angsur Kota Bengkulu didatangi oleh berbagai suku, antara lain : suku Jawa, Minang, Aceh, Palembang, Lampung, Tionghoa dan sebagainya.

Komunitas ini terbawa dan beradaptasi dengan penduduk lokal, dengan tidak membedakan agama dan keyakinannya, masing-masing mereka saling menghormati.

Sepanjang sejarah di Kota Bengkulu belum pernah ada konflik horizontal maupun konflik terbuka antar suku, atau konflik antar aliran keagamaan. Bahkan sampai saat ini kelompok Ahmadiyah dapat tumbuh dan berkembang di Bengkulu tanpa ada gangguan.

Karena mereka menyadari akan pentingnya arti persaudaraan dan toleransi yang akhirnya akan bermuara pada kerukunan antar masyarakat. Situasi harmonis ini oleh pemerintah, tokoh masyarakat, dan semua elemen masyarakat dipertahankan dengan berbagai macam aktivitas lokal yang spesifik dan unik, antara lain turut berperan serta dalam “Perayaan Upacara Tabot”.

b. Sosial Budaya dan Ritual

Tabot saat ini menampilkan wajah ‘bermuka dua’, di satu sisi ritual yang sarat dengan tuntunan hidup dan di sisi lain merupakan tontonan (sekuler), namun kenyataan ini tidak perlu dirisaukan.

Karena gejala semacam ini wajar terjadi, di tengah derasnya pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Proses modernisasi dan perubahan sosial masyarakat akan berdampak pula pada prilaku dan nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat tersebut.

Mengingat bahwa masyarakat senantiasa bergerak dinamis seiring dengan proses kehidupannya. Namun demikian seni budaya tradisional harus mampu menyesuaikan dirinya sesuai tuntutan zaman, sebab kalau tidak, justru tradisi itu lama-kelamaan akan musnah dan ditinggalkan oleh pengikutnya.[31]

Apabila dilihat dari perspektif sejarahnya, substansi budaya Tabot itu merupakan simbolisasi dari seluruh keprihatinan sosial.[32]

Pengulangan drama tragedi Karbala yang ditampilkan lewat tradisi perayaan Tabot sesungguhnya mewakili keprihatinan sosial saat peristiwa itu terjadi.

Tragedi Karbala yang menyebabkan ratusan orang meninggal termasuk perempuan dan anak-anak adalah potret dimana kekejaman dengan motif politik dibungkus agama dipraktekkan tanpa pelakunya merasa bersalah.

Tentu masyarakat sekarang dapat mengambil hikmah dan pelajaran penting dari peristiwa Karbala tersebut. Dengan demikian, sebagai produk budaya manusia secara tidak langsung lewat tahapan-tahapan prosesi yang ada itu, perayaan Tabot juga mengusung simbol-simbol solidaritas sosial atau merupakan simbolisasi kearifan sosial yaitu sebuah praktek saling hormat-menghormati, tolong menolong dan toleransi.

Hal ini dapat terlihat sebelum dan selama hari pelaksanaan upacara, di sejumlah kampung tempat Keluarga Tabot (keturunan Imam Senggolo) bermukim, mereka saling membantu dalam mengerjakan bangunan Tabot, dalam suasana akrab.

Bahkan tidak hanya mereka yang keturunan keluarga Tabot saja yang turut berpartisipasi dalam pembuatan Tabot, ambil contoh di Kelurahan Teluk Sepang Kecamatan Kampung Melayu sebelah selatan Kota Bengkulu yang berjarak sekitar 26 km dari Pusat Kota Bengkulu.

Sekalipun di Kelurahan Teluk Sepang sudah bermukim beragam suku seperti Minang, Melayu, Batak namun setiap tiba waktu perayaan Tabot masyarakat Kelurahan Teluk Sepang sibuk mempersiapkan Tabot guna memeriahkannya. Wilayah Teluk Sepang merupakan pemukiman baru, yang disiapkan pemerintah pada tahun 1998.

Partisipasi masyarakat luas juga terlihat pada ritual yang disebut dengan Meradai yang artinya meminta sumbangan sukarela dari rumah ke rumah, dana yang terkumpul akan dipergunakan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Para pengumpul dana terdiri dari anak-anak berumur 10-12 tahun. Anak-anak ini disebut dengan Jola, kegiatan ini dilaksanakan tanggal 6 Muharram dimulai pukul 07.00-17.00, orang-orang yang lewat-pun menyumbang secara sukarela. Hal ini menunjukkan, bahwa ritual Tabot didukung oleh semua elemen masyarakat Bengkulu tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterlibatan masyarakat yang non muslim dalam menyukseskan perayaan Tabot, karena mereka menyadari ritual Tabot bukan hanya milik orang Melayu muslim Bengkulu saja, melainkan semuanya merasa memiliki.

Pada saat festival Tabot tahun 2010, etnis Tionghoa menyumbangkan sebuah pertunjukkan warisan leluhur mereka yaitu Barongsai.[33]

Memang tradisi memberikan sumbangan melalui ritual Meradai yang dilakukan oleh anak-anak yang disebut Jola saat ini tidak lagi sama dengan kondisi dulu. Tradisi Meradai selain bermaksud secara langsung dari rumah-kerumah memberitahu kepada publik bahwa perayaan Tabot sudah datang, juga memiliki latar-belakang agar masyarakat luas member dukungan khususnya materi untuk biaya penyelenggaraan perayaan Tabot. Namun kondisi saat ini tentu saja berbeda, pemberitahuan atau lebih tepatnya pengumuman bahwa perayaan Tabot telah tiba lebih efektif menggunakan media cetak dan elektronik. Pun demikian pula dengan sumbangan, dulu perayaan Tabot hanya sebuah acara kecil namun sekarang berubah menjadi sebuah acara besar, maka pembiayaannya tentu tidak bisa hanya dengan mengandalkan penggalangan dana-dana publik melalui ritual Meradai.

Subsidi dari pemerintah bukanlah bermaksud untuk menjauhkan keikutsertaan masyarakat umum dalam turut membantu biaya penyelenggaran Tabot, namun merupakan bentuk tanggung-jawab pemerintah dalam rangka menjaga keberlangsungan tradisi Tabot ini. Namun tradisi Meradai tidak dapat ditinggalkan sekalipun hanya sedikit sumbangan publik yang didapat dari ritual Meradai itu. Karena Meradai juga memiliki dimensi untuk melatih dan mengasah kepekaan masyarakat umum dalam upaya turut serta memberikan dukungan pada perayaan ini. Anak-anak kecil yang disebut Jola sebenarnya juga merupakan simbol anak-anak yatim piatu yang orang tuanya gugur dalam tragedi Karbala. Dengan demikian masyarakat juga didorong untuk peduli pada kehidupan anak-anak yatim piatu dilingkungan sekitarnya.

Dalam perjalanannya melalui proses asimilasi, akomodasi dan interaksi budaya yang cukup intens antara ritual Tabot yang bernuansa Syi’ah dengan budaya-budaya lokal Bengkulu, maka Tabot mengalami metamorphose budaya. Makanya walaupun awalnya Tabot digelar dalam kerangka melaksanakan tradisi Syi’ah sebagai faham/ideologi tetapi berubah menjadi sebuah kearifan lokal atau sekedar sebagai praktik Syi’ah kultural. Dalam konteks ini perayaan upacara Tabot bukan lagi dipandang sebagai praktek faham dan ideologi keagamaan, tetapi lebih dimaknai sebagai tradisi.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Tradisi upacara perayaan Tabot yang berakar dari tradisi dari kaum Syi’ah dapat menjadi salah-satu faktor pendukung kerukunan antar-masyarakat di Kota Bengkulu yang sebagian besar beraliran Sunni.

2. Masyarakat Kota Bengkulu yang sebagian besar beraliran Sunni dapat menerima perayaan Tabot yang berakar dari tradisi Syi’ah.

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji fungsi upacara Tabot sebagai salah satu media pencipta kerukunan sosial di Kota Bengkulu.

2. Mengkaji sikap masyarakat Kota Bengkulu yang heterogen dan sebagian besar beraliran Sunni yang dapat menerima perayaan Tabot yang berakar dari tradisi Syi’ah.

D. Hipotesis

Perayaan upacara Tabot adalah ritual agama Islam aliran Syi’ah yang bertujuan melestarikan dendam atau memelihara permusuhan atas gugurnya Imam Husein ternyata dalam fungsinya dapat berkembang menjadi alat pembina kerukunan sosial dan mengintegrasikan masyarakat Kota Bengkulu yang sebagian besar penduduknya beraliran Sunni karena upacara Tabot tampil sebagai sebuah tradisi secara publik bukan sebagai ritual agama Islam aliran Syi’ah dan pada perkembangannya upacara ini dapat berdampak positif bagi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.