PENDAHULUAN.
Dalam karangan saya Serie Perbandingan Mazhab „Ahlus Sunnah Wal Jama'ah", bahagian Filsafat perkembangan hukum dalam Islam, penerbitan Yayasan „Baitul Mal", Jakarta 1969, sebenarnya sudah saya mulai membicarakan dasar-dasar pemikiran, yang melahirkan empat Mazhab Fiqh dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, dan dalam karangan saya, „Syiah Rasionalisme dalam Islam", yang terbit di Semarang, 1962, juga sudah saya singgung Sejarah lahirnya Mazhab „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang lebih tua umurnya dari pada aliran-aliran dalam Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah sudah banyak dibicarakan perbandingan ilmu fiqh dalam bermacam-macam mazhab, seperti „Bidayatul Mujtahid" karangan Ibn Rusyd, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan baik oleh , Bulan Bintang", selanjutnya kitab „Bughyatul Mustarsyidin" dan „Kitab Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Arba-'ah," karangan Al-Jaza'iri, yang selalu saya gunakan pada waktu saya memberikan pelajaran Ilmu Fiqh pada Perguruan-perguruan Tinggi.
Kemudian, tatkala saya menerima dari Baghdad, dan meminjam dari Perpustakaan „Islamic Research Institute", kepunyaan keluarga A.H. Shahab, Blora, Jakarta, terdapat beberapa buku, karangan seorang alim besar Syi'ah, Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, yaitu pertama bernama „Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Khamsah" (Bairut, 1967) dan „Al-Ahwalusy Syakhshiyyah 'alal Mazahibil Khamsah", yang didalamnya terdapat perbandingan hukum fiqh dan Mu'amalat dalam lima Mazhab.
Lalu timbullah pikiran saya, alangkah baiknya, jika dari semua buku yang tersebut diatas itu saya perbuat keringkasan untuk masyarakat Islam kita, agar mereka tahu perbedaannya antara satu sama lain aliran, meskipun masing-masing memegang mazhab yang disukainya.
Sayang saya harus menambah kitab, „Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab" dengan sebuah sambungan, dimana nanti dikupas perbandingan kelima mazhab Islam itu, dengan persoalan-persoalan Mu'amalat, seperti mengenai perkawinan, perdagangan, dan sebaginya.
Mazhab mana yang saya pilih untuk kelima itu. Mazhab Zaydiyah, fiqhnya adalah fiqh mazhab Ahmad Ibn Hambali, Mazhab Salf tidak mempunyai kitab yang khusus berfiqh, mereka hanya mengenai „Fatwa" (lih. Ibn Taimiyah dan Tuan A. Hassan dari Persatuan Islam" Maka oleh karena itu saya ambillah sebagai mazhab yang kelima ialah „Isna'asyar Imamiyyah" atau „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang terdekat dengan amal kekeluargaan Nabi Muhammad s.a.w., sebagai yang dipuji oleh Syaikhul Azhar Syaltut, seperti yang pernah saya bentangkan.
Kita sudah sebutkan disana-sini, bahwa sejak tahun-tahun yang silam sudah berdiri di Mesir suatu badan „Darut Taqrib bayna! Mazahibil Islamiyah," dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, doctor Al-Bahy dan Al-Qummi dan lain-lain.
Suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian dan pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.
Majallahnya „Risalatul Islam" memuat tidak saja karangan-karangan yang mendalam tentang prinsip-perinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan kearah persatuan itu.
Hasilnya sangat baik, diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di universitas Al-Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.
Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeichul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota dari badan Darut Taqrib itu. Begitu juga gurunya Syeich Abdulmajid Salim.
Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan yang berharga dan pikiran-pikiran persahabatan, guna mempelajarj lebih dalam fiqh Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.
Hasil dari pada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (yajuzut ta'abbud) dengan mazhab Ja'fari suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan diucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.
Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah „Al-Irfan", suatu majallah resmi gerakan Syi'ah, juz ke VII, jilid. 51. Ramadhan 1383 H hal. 735 dan seterusnya.
Sepanjang sejarah jarang orang-orang dari Ahli Sunnah menyelidiki mazhab Syi'ah ini dari sumbernya, dari kitab-kitab yang ditulis oleh anak-anak Syi'ah sendiri dan melihat serta mempelajari dalam pergaulan dengan mereka.
Kecaman-kecaman terhadap Syi'ah yang terdapat dalam kitab-kitab pengarang Ahli Sunnah kebanyakan berasal dari ungkapan-ungkapan mereka sendiri yang sambung-menyambung dikupas dan dibicarakan, jarang yang mau mempelajari benar tidaknya sesuatu tuduhan dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri dan mencocokkan keterangan-keterangan itu dengan Qur'an dan Sunnah Rasul.
Berlainan sekali dengan sikap Mahmud Syaltut, yang mendasarkan fatwanya betul-betul dari pengenalannya yang benar dan keyakinannya yang sudah dibuktikan, ditambah dengan keikhlasannya sebagai seorang pemimpin Islam yang ingin mempersatukan kembali umat yang sudah pecah-belah itu hanya karena perbedaan perbedaan mazhab ibadat.
Fatwa Syeikh Mahmud Syaltut itu dikeluarkan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadanya, bahwa orang Islam untuk melancarkan ibadat dan mu'amalatnya secara yang sah harus bertaqlid kepada salah satu mazhab empat yang masyhur, tidak termasuk mazhab Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah.
Orang bertanya, apakah pada pendapatnya benar dalam masalah taqlid itu disingkirkan mazhab Syi'ah Imamiyah Isna 'Asyariyah.
Maka lalu dijawabnya : „Bahwa Islam tidak mewajibkan kepada penganutnya untuk mengikuti salah satu mazhab yang tertentu.
Tetapi dapat kami katakan, bahwa seorang Muslim yang baik berhak bertaqlid kepada pokok-pokok pendirian sesuatu mazhab dari mazhab-mazhab yang diakui sah oleh umum, dan yang penetapan-hukum-hukumnya telah tercantum kepada mazhab semacam itu berhak pula berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lama yang diakui sahnya, tidak ada kesukaran yang diwajibkan kepadanya berpegang teguh kepada satu mazhab saja.
Kemudian kami berfatwa, bahwa mazhab Ja'fariyah, yang terkenal sebagai salah satu mazhab Syi'ah Imamiyah Isna'asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan beribadat dengan mazhab itu pada syariat.
Sebagaimana dengan mazhab-mazhab yang lain dari pada Ahli Sunnah.
Maka hendaklah semua orang Islam mengetahui sungguh-sungguh pendirian ini, dan melepaskan dinnya dari pada nashabiyah berpegang dengan tidak ada hak kepada sesuatu mazhab yang tertentu.
Agama Tuhan Allah tidaklah disyanatkan menjalankannya dengan mengikuti mazhab atau menentukan sesuatu mazhab.
Semua mujtahid diterima pada sisi Allah, mereka yang tidak ahli dalam mengambil sesuatu keputusan atau berijtihad (an-nazar wal ijtihad) diperbolehkan bertaqlid kepada mujtahid itu dan beramal dengan hukum-hukum fiqh yang ditetapkannya, meskipun ada perbedaan-perbedaan yang dijumpainya mengenai ibadat dan mu'amalat" (hal. 736).
Fatwa ini diserahkan dengan resmi oleh Syeikh Mahmud Syaltut kepada Ustad Muhammad Taqyul Qummi, sekretaris umum dari Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah, dengan perintah agar fatwa membolehkan beribadat dengan mazhab Syi'ah Imamiyah ini disiarkan secara luas.
Dari segala karangan itu Syaltut memberikan pandangannya secara luas dan secara rationalistis.
Meskipun demikian, dari segala jasanya, saya anggap yang terbesar ialah ikhtiarnya memperdekatkan aliran Syi'ah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam suatu badan kerja sama „Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah" yang membuahkan masuknya fiqh Ja'-fariyah kedalam mata pelajaran yang diwajibkan pada Universitas „Al-Azhar" dan mengeluarkan fatwa yang membolehkan beribadat yajuzut ta'abbud) dengan fiqh Syi'ah itu, sehingga dengan demikian menghilangkan silang sengketa yang telah berabad-abad adanya antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Mudah-mudahan dengan do'a dan bantuan saudara dapat buku itu saya selesaikan dengan segera.
Saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga M. Asad dan Ahmad Shahab, terutama Habib Ali Al-Habsyi, yang memberikan sepatah kata penghargaan, yang dapat menghilangkan letih dan lelah saya dalam mempersembahkan amal saleh ini, kepada pegawai Percetakan „Islamic Research Institute dan teman-teman saya yang lain, diantaranya Ny. Sahrijah Supandi, yang banyak membantu dalam urusan ketikan, dikte dan koreksi.
Mudah-mudahan semua mendapat ganjaran dari Tuhan.
W a s s a 1 a m,
H. Aboebakar Atjeh