Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab28%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 12688 / Download: 3478
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh

ILMU FIQH ISLAM DALAM LIMA MAZHAB.

PENDAHULUAN.

Dalam karangan saya Serie Perbandingan Mazhab „Ahlus Sunnah Wal Jama'ah", bahagian Filsafat perkembangan hukum dalam Islam, penerbitan Yayasan „Baitul Mal", Jakarta 1969, sebenarnya sudah saya mulai membicarakan dasar-dasar pemikiran, yang melahirkan empat Mazhab Fiqh dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, dan dalam karangan saya, „Syiah Rasionalisme dalam Islam", yang terbit di Semarang, 1962, juga sudah saya singgung Sejarah lahirnya Mazhab „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang lebih tua umurnya dari pada aliran-aliran dalam Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah sudah banyak dibicarakan perbandingan ilmu fiqh dalam bermacam-macam mazhab, seperti „Bidayatul Mujtahid" karangan Ibn Rusyd, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan baik oleh , Bulan Bintang", selanjutnya kitab „Bughyatul Mustarsyidin" dan „Kitab Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Arba-'ah," karangan Al-Jaza'iri, yang selalu saya gunakan pada waktu saya memberikan pelajaran Ilmu Fiqh pada Perguruan-perguruan Tinggi.

Kemudian, tatkala saya menerima dari Baghdad, dan meminjam dari Perpustakaan „Islamic Research Institute", kepunyaan keluarga A.H. Shahab, Blora, Jakarta, terdapat beberapa buku, karangan seorang alim besar Syi'ah, Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, yaitu pertama bernama „Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Khamsah" (Bairut, 1967) dan „Al-Ahwalusy Syakhshiyyah 'alal Mazahibil Khamsah", yang didalamnya terdapat perbandingan hukum fiqh dan Mu'amalat dalam lima Mazhab.

Lalu timbullah pikiran saya, alangkah baiknya, jika dari semua buku yang tersebut diatas itu saya perbuat keringkasan untuk masyarakat Islam kita, agar mereka tahu perbedaannya antara satu sama lain aliran, meskipun masing-masing memegang mazhab yang disukainya.

Sayang saya harus menambah kitab, „Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab" dengan sebuah sambungan, dimana nanti dikupas perbandingan kelima mazhab Islam itu, dengan persoalan-persoalan Mu'amalat, seperti mengenai perkawinan, perdagangan, dan sebaginya.

Mazhab mana yang saya pilih untuk kelima itu. Mazhab Zaydiyah, fiqhnya adalah fiqh mazhab Ahmad Ibn Hambali, Mazhab Salf tidak mempunyai kitab yang khusus berfiqh, mereka hanya mengenai „Fatwa" (lih. Ibn Taimiyah dan Tuan A. Hassan dari Persatuan Islam" Maka oleh karena itu saya ambillah sebagai mazhab yang kelima ialah „Isna'asyar Imamiyyah" atau „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang terdekat dengan amal kekeluargaan Nabi Muhammad s.a.w., sebagai yang dipuji oleh Syaikhul Azhar Syaltut, seperti yang pernah saya bentangkan.

Kita sudah sebutkan disana-sini, bahwa sejak tahun-tahun yang silam sudah berdiri di Mesir suatu badan „Darut Taqrib bayna! Mazahibil Islamiyah," dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, doctor Al-Bahy dan Al-Qummi dan lain-lain.

Suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian dan pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.

Majallahnya „Risalatul Islam" memuat tidak saja karangan-karangan yang mendalam tentang prinsip-perinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan kearah persatuan itu.

Hasilnya sangat baik, diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di universitas Al-Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.

Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeichul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota dari badan Darut Taqrib itu. Begitu juga gurunya Syeich Abdulmajid Salim.

Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan yang berharga dan pikiran-pikiran persahabatan, guna mempelajarj lebih dalam fiqh Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.

Hasil dari pada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (yajuzut ta'abbud) dengan mazhab Ja'fari suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan diucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.

Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah „Al-Irfan", suatu majallah resmi gerakan Syi'ah, juz ke VII, jilid. 51. Ramadhan 1383 H hal. 735 dan seterusnya.

Sepanjang sejarah jarang orang-orang dari Ahli Sunnah menyelidiki mazhab Syi'ah ini dari sumbernya, dari kitab-kitab yang ditulis oleh anak-anak Syi'ah sendiri dan melihat serta mempelajari dalam pergaulan dengan mereka.

Kecaman-kecaman terhadap Syi'ah yang terdapat dalam kitab-kitab pengarang Ahli Sunnah kebanyakan berasal dari ungkapan-ungkapan mereka sendiri yang sambung-menyambung dikupas dan dibicarakan, jarang yang mau mempelajari benar tidaknya sesuatu tuduhan dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri dan mencocokkan keterangan-keterangan itu dengan Qur'an dan Sunnah Rasul.

Berlainan sekali dengan sikap Mahmud Syaltut, yang mendasarkan fatwanya betul-betul dari pengenalannya yang benar dan keyakinannya yang sudah dibuktikan, ditambah dengan keikhlasannya sebagai seorang pemimpin Islam yang ingin mempersatukan kembali umat yang sudah pecah-belah itu hanya karena perbedaan perbedaan mazhab ibadat.

Fatwa Syeikh Mahmud Syaltut itu dikeluarkan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadanya, bahwa orang Islam untuk melancarkan ibadat dan mu'amalatnya secara yang sah harus bertaqlid kepada salah satu mazhab empat yang masyhur, tidak termasuk mazhab Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah.

Orang bertanya, apakah pada pendapatnya benar dalam masalah taqlid itu disingkirkan mazhab Syi'ah Imamiyah Isna 'Asyariyah.

Maka lalu dijawabnya : „Bahwa Islam tidak mewajibkan kepada penganutnya untuk mengikuti salah satu mazhab yang tertentu.

Tetapi dapat kami katakan, bahwa seorang Muslim yang baik berhak bertaqlid kepada pokok-pokok pendirian sesuatu mazhab dari mazhab-mazhab yang diakui sah oleh umum, dan yang penetapan-hukum-hukumnya telah tercantum kepada mazhab semacam itu berhak pula berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lama yang diakui sahnya, tidak ada kesukaran yang diwajibkan kepadanya berpegang teguh kepada satu mazhab saja.

Kemudian kami berfatwa, bahwa mazhab Ja'fariyah, yang terkenal sebagai salah satu mazhab Syi'ah Imamiyah Isna'asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan beribadat dengan mazhab itu pada syariat.

Sebagaimana dengan mazhab-mazhab yang lain dari pada Ahli Sunnah.

Maka hendaklah semua orang Islam mengetahui sungguh-sungguh pendirian ini, dan melepaskan dinnya dari pada nashabiyah berpegang dengan tidak ada hak kepada sesuatu mazhab yang tertentu.

Agama Tuhan Allah tidaklah disyanatkan menjalankannya dengan mengikuti mazhab atau menentukan sesuatu mazhab.

Semua mujtahid diterima pada sisi Allah, mereka yang tidak ahli dalam mengambil sesuatu keputusan atau berijtihad (an-nazar wal ijtihad) diperbolehkan bertaqlid kepada mujtahid itu dan beramal dengan hukum-hukum fiqh yang ditetapkannya, meskipun ada perbedaan-perbedaan yang dijumpainya mengenai ibadat dan mu'amalat" (hal. 736).

Fatwa ini diserahkan dengan resmi oleh Syeikh Mahmud Syaltut kepada Ustad Muhammad Taqyul Qummi, sekretaris umum dari Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah, dengan perintah agar fatwa membolehkan beribadat dengan mazhab Syi'ah Imamiyah ini disiarkan secara luas.

Dari segala karangan itu Syaltut memberikan pandangannya secara luas dan secara rationalistis.

Meskipun demikian, dari segala jasanya, saya anggap yang terbesar ialah ikhtiarnya memperdekatkan aliran Syi'ah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam suatu badan kerja sama „Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah" yang membuahkan masuknya fiqh Ja'-fariyah kedalam mata pelajaran yang diwajibkan pada Universitas „Al-Azhar" dan mengeluarkan fatwa yang membolehkan beribadat yajuzut ta'abbud) dengan fiqh Syi'ah itu, sehingga dengan demikian menghilangkan silang sengketa yang telah berabad-abad adanya antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Mudah-mudahan dengan do'a dan bantuan saudara dapat buku itu saya selesaikan dengan segera.

Saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga M. Asad dan Ahmad Shahab, terutama Habib Ali Al-Habsyi, yang memberikan sepatah kata penghargaan, yang dapat menghilangkan letih dan lelah saya dalam mempersembahkan amal saleh ini, kepada pegawai Percetakan „Islamic Research Institute dan teman-teman saya yang lain, diantaranya Ny. Sahrijah Supandi, yang banyak membantu dalam urusan ketikan, dikte dan koreksi.

Mudah-mudahan semua mendapat ganjaran dari Tuhan.

W a s s a 1 a m,

H. Aboebakar Atjeh

1

TARIKH TASYRI'.

PENGERTIAN SYARI'AT ISLAM.

( I )

Kebanyakan orang menggunakan Syari'at Islam itu untuk Fiqh Islam pada hal Syari'at Islam itu lebih luas artinya dari pada hanya ilmu Fiqh, pengertian terakhir ini sudah dikenal orang dalam bahasa Arab jauh lebih dahulu, sedang kalimat Fiqh waktu itu belum dikenal dalam bahasa Arab, sepanjang pengertian yang kita kenal sekarang ini, yaitu sesudah lahir Agama Islam.

Ibn Khaldun menerangkan dalam kitabnya yang terkenal.Muqaddimah"-nya sebagai berikut :

„ bahwa sahabat-sahabat Nabi semuanya bukanlah ahli fatwa, dan bukanlah seluruh agama itu diambil dari mereka, tetapi sahabat-sahabat itu adalah pendukung Al-Qur'an, yang sangat paham dengan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mutasyabihah dan muhakkamah, dan seluruh dalil-dalil dan alasan yang mereka dapat dari Nabi kita Muhammad s.a.w., atau dari orang yang mendengar keterangan-keterangan itu.

Mereka didengar bacaannya dan diikuti, artinya mereka yang membaca Al-Qur'an itu, karena orang Arab pada waktu itu adalah ummiyah.

Demikianlah keadaanya dalam masa hari-hari kelahiran Islam.

Tetapi daerah Islam itu makin lama makin bertambah luas.

Orang Arab itu mulai belajar membaca dan menulis, terutama dengan menggunakan Al-Qur'an, yang didorong oleh perintah membaca dan keinginan mendapat pahala dari pembacaan Qur'an itu.

Kemajuan bertambah dan pada akhirnya sampailah mereka kepada kesanggupan menetapkan hukum, lalu terjadilah semacam ilmu-ilmu hukum dalam Islam, yang dinamakan Fiqh, peraturan beribadat, muamalat, munakahat, hukum warisan, hukum perang dan damai, dan lain-lain.

Juga pengetahuan yang mereka peroleh itu akhirnya tumbuh mengenai ekonomi, sosial, dan ilmu-ilmu yang lain.

Maka sejak itu perlahan-perlahan tidak digunakan lagi nama pembaca atau pendukung Al-Qur'an, tetapi diganti dengan ahli dan ulama fiqh (Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 446, eet. Bairut). Dalam kitab „Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah" (Cairo, 1967) Dr. Ahmad Al-Ghanburi menerangkan asal perkataan Syari'ah dalam bahasa Arab, yaitu mata air, yang diminum oleh manusia dan binatang.

Kemudian perkataan ini digunakan kepada segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada hambanya mengenai bermacam-macam hukum (hal. 3), Maka lalu orang menggunakan kata syari'ah untuk membuat sesuatu hukum, sebagaimana firman Allah s.w.t. : „Bagi tiap-tiap bangsamu kami ciptakan hukum (syara'atan) dan cara-caranya" (Al-Ma'idah, 48), kata Allah : „Kemudian kami ciptakan menurut hukum-hukum itu (syari'ah), yang harus kamu ikuti "(Al-Ja'iyah, 18) dan pada tempat lain Tuhan berkata: „Iya menciptakan (syar'a) bagimu agama, sebagaimana yang pernah diwasiatkan kepada Nuh " (Asy-syura, 12).

Jadi nyatalah arti istilah daripada syari'at itu yaitu apa yang diturunkan Allah bagi hambanya dari pada hukum melalui lidah Rasul-Rasulnya yang mulia, untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap kepada terang bercahaya dengan izinnya, dan memberi petunjuk kepada mereka akan jalan yang lurus.

Dimaksudkan dengan agama ittu adalah cara hidup umum, yang dinamakan din, yang kedalamnya termasuk millah, yaitu agama atau ibadat.

Syari'at Islam itu diwahyukan Allah kepada hambanya berupa hukum-hukum dan peraturan, melalu lidah Junjungan kita Muhammad s.a.w., baik dia merupakan Qur'an, atau merupakan Sunnah perjalanan Rasulullah, mengenai ucapannya, perbuatannya atau penetapannya.

Menurut kebiasaan syari'at Islam itu disebut dalam bahasa sehan-hari Fiqh Islam.

PEMBAHAGIAN SYARI'AT ISLAM.

(II)

Peraturan-peraturan atau hukum yang diturunkan Allah untuk hambanya kepada Nabi Muhammad dapat kita bahagi atas tiga bahagian.

Bahagian Pertama.

Bahagian yang pertama ini ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan pokok dalam Islam, yaitu yang harus di imani dengan sesungguh-sungguhnya, tidak boleh bercampur sakwasangka, seperti hukum-hukum yang bertali dengan keyakinan terhadap Zat Allah dan Sifat-nya, Imam kepada Allah, Iman kepada Rasulnya dan Malaikatnya, dan Iman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan daripada Allah, Iman kepada hari-Akhirat, dan apa yang akan diperoleh pada hari itu dari pada nikmat dan azab, kemudian Iman dengan qadar, baik dan buruknya berasal dari Allah.

Bahagian ini dinamakan Ilmul 'Aqidah, atau Ilmul Tauhi'd, atau Ilmul Kalam.

Bahagian Kedua.

Kedalam bahagian ini termasuk peraturan-peraturan mengenai pendidikan jiwa, membersihkan dan menyempurnakannya, seperti peraturan-peraturan meng-amalkan sifat-sifat keutamaan, seperti jujur dan benar, memenuhi janji dan dapat dipercayai, serta menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina, seperti berdusta dan berhianat.

Ilmu-ilmu yang bertali dengan perkara pembentukan jiwa ini dinamai Ilmul Akhlaq.

Bahagian Ketiga.

Kedalam bahagian ini termasuk hukum-hukum mengenai pengaturan antara manusia dengan manusia, mengenai hubungan antara manusia dan Tuhannya, yaitu yang dinamakan ibadat, yang tidak syah kecuali dengan niat, seperti mengenai Shalat, Zakat, Siam dan Haji.

Dan setemsnya yang mengatur hubungan antara manusia sesame manusia, serta segala apa yang terjadi antara manusia itu, berupa amal dan muamalat, dinamakan ilmul Fiqh, yang sama dengan arti qanun peraturan dalam istilah ahli-ahli hadis.

MENGAPA HUKUM-HUKUM ISLAM BERBEDA ?

(III)

Prof. Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnya „Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut. 1962), mengatakan sebab-sebab adanya perbedaan paham dalam menetapkan hukum-hukum Islam furu' sebagai berikut:

„Kenyataan dalam sejarah, bahwa pandangan hidup masyarakat itu berubah-rubah dengan berubah zaman dan tempatnya.

Dan oleh karena syari'at dan hukum Islam merupakan gambaran dari pada masyarakat-masyarakat kaum muslimin itu, tak dapat tidak ia berbekas juga dalam kehidupan mereka.

Pengaruhnya ternyata dalam perbedaan paham tentang Syari'at Islam dan memahaminya karena berbeda masa dan Negara-negara, sehingga kita lihat umat-umat itu berbeda coraknya, karena berbeda adat dan kebiasaannya, lebih lanjut berbeda cita-citanya dan semangatnya.

Atas dasar ini terjadilah perbedaan paham. terutama dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an serta bermacam-macam Sunnah, untuk menetapkan hukum furu'.

Perbedaan paham ini dalam Syari'at Islam memang banyak, yang kemudian melahirkan Mazhab-Mazhab, Mazhab 'Iyatikad dalam ilmu kalam, Mazhab Akhlaq dan Adab, dan Mazhab Fiqh 'serta Mazhab dalam Tasawwuf, yang dinamakan Tharikat.

Meskipun demikian ada perdekatan antara satu sama lain disebabkan dasarnya bersamaan.

Ibn Khaldun, dalam muqaddimahnya, cetakan Mesir pada beberapa halaman, menjelaskan, bahwa pergaulan manusia itu paling pokok.

Ahli-ahli filsafat tidak dapat tidak menganggap penting memperhatikan masyarakat, yang kadang-kadang sudah campur aduk antara penduduk kota dan pendudu desa, sehingga berlain-lain keperluannya.

Manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan bermasyarakat dan tolong-menolong antara satu sama lain dalam mencari makan dan barang-barang yang dibutuhkan.

Mereka terpaksa bekerja sama, Muamalat, dan mencari apa keperluannya, kadang-kadang sampai kepada tabiat hewan, berbuat da'lim dan bermusuh-musuhan satu sama lain, bahkan sampai kepada bunuh-membunuh.

Maka tidak mungkin mereka akan hidup terus kecuali diadakan peraturan dan hukum bagi mereka untuk menjaga keadilan dan ketenteraman, hukum-hukum yang telah berpilin dengan adat sukunya.

Dengan agama dan keyakinannya, dengan adat dan akhlaqnya, yang oleh Islam diberi kemerdekaan, asal tidak membawa kemusyri'kan.

Maka dengan demikian terjadilah perbedaan sedikit-sedikit dalam hukum furu', karena dalam penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim. keadaan alam dan tempat, adat kebiasaan dan lain-lain.

Apakah hukum usul yang sudah ada dapat diubah kalau perlu untuk keperluan umat bermacam-macam, sebagai tersebut diatas ?

Ibn Khaldun berkata : „Bahwa keadaan alam, umat, adat istiadatnya, bermacam-macam kejakinannya, tidak tetap dan kekal, tetapi berubah-rubah menurut hari dan zamannya, dan berpindah keadaannya dari suatu corak kepada corak yang lain".

Kalau bertentangan dengan hukum pokok dalam Islam, apakah dapat diubah (taghyirul ahkam) ?

Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya berubah, karena berubahnya kemaslahatan manusia, dan karena kemaslahatan manusia itu adalah dasar tiap-tiap syari'at agama, adalah masuk diakal bahwa dapat dilakukan perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman.

Ibnul Qayyim tepat sekali memberikan keputusannya, bahwa perubahan fatwa dan perbedaan pendapat dapat dilakukan karena perubahan masa, tempat, hal-ihwal, dan adat-istiadat.

Ia mengatakan seterusnya, bahwa tindakan ini nyata, dan tidak dikerjakan orang karena mereka tidak paham tentang ini, adalah kesalahan besar dalam Syari'at lalu mewajibkan kesukaran-kesukaran dan memberatkan sesuatu yang tidak ada dasarnya, karena tidak mengetahui bahwa syari'at (Islam) yang gilang-gemilang itu, sudah sampai kepada puncak nya dalam memberikan sesuatu hukum sesuai dengan kemaslahatan umat (melalui Falsafatut Tasyri', hal. 151-153) Mahmassani mengambil keputusan selanjutnya mengenai perubahan hukum dan perbedaan ïhtihad serta perubahan nash, berkata demikian :

„Pokok-pokok yang kami sebutkan diatas, (mengenai perubahan Dan sebagainya.) terdapat dalam sejarah agama-agama yang lama dan agamaagama yang baru, dan didalam peraturan-peraturan zaman sekarang berjalan dengan tidak dapat dibendung.

Apabila ada suatu nash, maka nash itu harus diubah dengan nash yang lain, sedapat-dapatnya yang derajatnya setingkat, misalnya ayat Qur'an dengan ayat Qur'an, Sunnah dengan Sunnah".

Katanya pula : „Adapun dalam kalangan orang Islam, ahli Fiqh dan Mujitahid kebanyakannya menerima qa'idah perubahan hokum (taghyirul ahkam), tetapi mereka berbeda paham dalam memboleh-kan perubahan ini, yaitu apabila adalah sesuatu perbuatan mempunyai nash yang jelas dari Qur'an dan Sunnah, sukarlah dalam hal yang demikian itu kembali kepada sifat syari'at Islam dan kepada nash yang suci.

Maka apabila adalah nash itu untuk perkara agama dan ibadat hal uu tetap tidak boleh diubah, selama adanya bumi dan langit' karena usuluddin dan qa'idah tauhid dan iman adalah hakikat kebenaran yang satu pada ajali dan abadi, wajib dilaksanakan dan dipegang nasn-nya. Karena agama itu wajib bagi tiap-tiap yang hidup dan anak beranaknya sampai had kiamat, diseluruh permukaan bumi' maka tidaklah dapat perubahan hukum dilakukan, karena perubahan zaman dan tempat, tidak pula karena berubah keadaan.

Apa yang tetap wajib tetap demikian pada tiap-tiap tempat pada tiap-tiap masa dan pada tiap-tiap keadaan tetapi apabila nash itu mengenai urusan muamalat duniawi, maka pokoknya dalam perubahan itu melihat kepada maksudnya dan kepada sebab-sebabnya ada hokum untuk itu Demikian semua ulama fiqh setuju.

Hanya mereka berbeda paham dalam mengubah sesuatu hukum yang telah tetap dan ditetapkan dengan nash-nya.

Pendapat yang berlaku dalam kalangan ulama fiqh adalah bahwa tidak diterima sesuatu perubahan yang ada nash dari Qur'an dan Sunnah tidak dibolehkan mengubahnya dengan sebab berubah keadaan.

Bahkan diharamkan berfatwa dengan sesuatu yang menyalahi nash, dengan membawa perubahan 'uruf, memudahkan yang sukar dan mermgankan yang berar pada masalah-masalah yang tidak ada Demikianlah yang terakhir ini pendapat Imam Abu Hanifah sahabatnya Muhammad, Imam Syafi'i, Daud Zahili.

Tetapi umar bin Hatab dalam tindakannya banyak sekali mengadakan perubahan hukum dan nash, misalnya dalam perkara pembahagian zakat pada mualaf, dalam perkara talaq, dalam perkara menjual budak, dalam perkara potong tangan, dalam perkara zina, dalam perkara ta'zir dan lain-lain (lihat Falsafatul Tasyri' fil islam, halaman 149-164).

Dengan demikian terjadilah banyak mazhab-mazhab yang berlainlaman pahamnya dalam menetapkan hukum Islam.

PENGERTIAN FIQH ISLAM.

(IV)

Menurut Bahasa Arab perkataan Fiqh itu berarti ilmu, kecerdasan dalam memahami sesuatu perkara secara mutlak.

Dalam Al-Qur'an kita bertemu sebuah ayat, yang menerangkan arti Fiqh semacam ini :

„Mengapakah golongan itu hampir-hampir tidak dapat memahami pembicaraan orang ? " (An-Nisa, 78).

Dan berkata Rasulullah s.a.w. :

„Barang siapa dikehendaki Allah mengurniai kebajikan, niscaya ia dikurniai memahami (yufaqqihu) persoalan agama".

Dengan demikian terjadilah bentuk perkataan faqih (kata banyak : fuqaha'), yaitu ahli fiqh, ulama yang mengerti hukum-hukum sara' yang musti dilakukan oleh orang Islam yang mukallaf.

Fiqh Islam itu berarti Ilmu mengenai hokum-hukum Allah tentang perbuatan seorang mukallaf, mengenai wajib atau haram dan sebagainya.

Dari pada hukum-hukum Islam, agar ia dapat membedakan antara pekerjaan yang wajib dikerjakan dan pekerjaan yang tidak boleh dikerjakan, pekerjaan yang harus diperbuatnya dan ditinggalkannya.

Perkataan Fiqh itu berarti hukum-hukum, yang dapat dipahami dari Qur'an dan Sunnah dengan ihtihad, terbagi dua ada yang mengbendaki kepada pandangan dan ada yang menghendaki kepada perbandingan alasan-alasan hukum.

Ibn Khaldun berkata dalam Muqqaddimah-nya :

„Fiqh itu ialah mengenai hukum-hukum Allah Ta'ala mengenai pekerjaan seorang yang dianggap mukallaf, mengenai wajib, haram, sunat, makruh dan dibolehkan, semua itu dipetik dari Qur'an dan Sunnah, untuk dipermudah menjadi Fiqh.

Penetapan-penetapan itu berasal daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, yang jika kurang jelas lalu diperjelaskan dengan fiqh, yang tidak lain daripada mengeluarkan hukum-hukum dari pada dalil dan nash tersebut ".

Orang-orang Salaf mengeluarkan hukum-hukum Islam daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, meskipun ada perbedaan paham antara mereka satu sama lain, Sumber dalil yang penting itu dinamakan nash, sepakat semua mereka, meskipun dalam menarik pengertian hokum dari nash itu mereka berlain-lainan cara berpikirnya.

ISI ILMU FIQH.

( V )

Ilmu Fiqh Islam itu mengandung hukum-hukum dan peraturan-peraturan sebagai berikut.

Pertama

Pertama yang menjadi isinya ialah hukum-hukum, yang dapat mendekatkan manusia itu kepada Tuhannya, dan dapat menanam kedalam hatinya kebesaran Tuhan, yang dapat mengawasinya dan dapat memimpin kerohaniannya, seperti uraian tentang salat, tentang zakat, tentang puasa, tentang haji, yang biasanya dinamakan ibadat.

Dengan sungguh-sungguh melakukan riadhah ibadat ini, manusia itu dapat mencapai kebahagiaan dunia akhirat. „Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasulnya, ia akan jaya sejaya-jayanya".(Al-Qur'an).

Kedua

Kedua kandungan ilmu Fiqh itu ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keturunan manusia, hukum perkawinan,- apa yang wajib mengenai mahar, apa yang diatur mengenai nafakah, hak-hak dan kewajiban suami istri.

Selain dari pada itu juga cara menyelesaikan perselisihan, cara menjatuhkan Talaq, cara fasakh, kemudian apa yang bersangkutpaut 'idah, dengan urusan pemeliharaan anak, penyusuan anak, hak-hak anak, pembahagian pusaka, mengenai wasiat, yang semua itu dinamakan ahwal siyah dalam kalangan ahli hadis.

Karena hukum-hukum ini masuk dalam hukum-hukum muamalat, yang diatur oleh mujitahid.

Semua hukum ini termasuk fiqh.

Ketiga

Ketiga juga termasuk kedalam ilmu fiqh pembicaraan tentang hukum-hukum yang ada sangkut pautnya dengan harta benda dan hak milik, perjanjian dan kerja sama antara manusia satu sama lain, yang bersangkut paut dengan jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, dagang bersama dan lain-lain, yang termasuk kedalam urusan harta benda antara peribadi dan kekeluargaan, kewalian, yang biasa dinamakan juga mu'amalat.

Keempat

Dalam rombongan ini termasuk pembicaraan hukumhukum pidana, dan akibat-akibatnya dari pada hukum itu mengenai had dan penahanan penjara.

Kelima

Kelima hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang mengenai peradilan, mengenai tugas-tugas qadhi, pengaduan dan penyelesaiannya, tuduhan dan cara menyelesaikannya, dan lain-lain. yang dapat menyelamatkan hak-hak manusia, yang biasa dinamakan murafa'at.

Keenam

Termasuk juga dalam Ilmu Fiqh peraturan-peraturan yang bertali dengan peperangan antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu suku dengan suku yang lain, dan peraturan-peraturan damai, begitu juga perjanjian-perjanjian, lebih lanjut cara mengatur hubungan umat Islam dengan umat yang lain, untuk mencegah peperangan dan permusuhan.

Dengan demikian kita lihat bahwa Fiqh Islam itu mengandung bermacam-macam hal dan peraturan untuk mengatur hidup manusia, membantu hukum-hukum pemerintah, mengenai administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban.

Islam itu bukanlah hanya memberikan keyakinan agama saja, tetapi mengurus juga kayakinan dan syari'at, agama dan kerajaan, yang memperbaikinya semua itu dan berlaku tiap zaman dan tempat.

Dan barang siapa yang mengikuti Fiqh yang berdasarkan A l -Qur'an dan Sunnah, pasti ia mendapati bahwa bagi tiap-tiap macam (iqh itu ada ayat-ayat Qur'an yang merupakan dasar pokok dalam mengaturnya, begitu juga mengenai ibadat umum tidak kurang dari pada seratus empat puluh ayat sumbernya.

Mengenai peraturan keturunan atau ahwal syaksiyah, tidak kurang dari tujuh puluh ayat, mengenai mu'amalat tujuh puluh ayat, mengenai hukum pidana tiga puluh ayat, mengenai pengadilan dua puluh ayat, dan didapati juga ayat-ayat yang berhubungan dengan politik antara kerajaan-kerajaan Islam dan antara kerajaan Islam dengan lain Islam.

Dan bagi tiap-tiap macam perkara yang disebutkan itu ada penjelasan yang lebih luas dalam hadis-hadis RasuluIIah, yang sebahagian menguatkan apa yang tersebut dalam Al-Qur'an, dan sebahagian menguraikan lebih jauh, atau menjelaskan jika dalam Qur'an tidak tersebut luas.

Maka adalah hadis itu merupakan komentar dan tafsir bagi nash-nash yang disebutkan dalam Qur'an yang suci mengenai seluruh keperluan dan hajat hidup bagi orang Islam.

HUKUM SYARA'.

(VI)

Ada dua macam hukum dalam Islam, yang di Indonesia masih dicampur adukkan pengertiannya.

Pertama bernama hukum Syara

Pertama bernama hukum Syara yaitu hukum yang didasarkan kepada firman Allah, ditujukan kepada manusia, untuk dikerjakan, dipilih atau ditetapkan.

Contoh yang pertama

Contoh yang pertama tentang hukum ini terdapat misalnya dalam contoh firman Allah : „Dirikanlah Sembahyang dan keluarkanlah Zakat" (Al- Muzammil, 20), merupakan perintah musti dikerjakan, oleh karena itu menunaikan Sembahyang dan mengeluarkan Zakat wajib hukumnya.

Begitu juga, mengenai larangan Allah yang ditujukan kepada umum sebagai perintah, seperti : „Jangan kamu dekati (jangan kamu kerjakan) zina" (Al-Isra', 32), yang berisi perintah meninggalkan perbuatan zina itu, sekaligus mengharamkan perbuatan itu.

Contoh yang kedua

Contoh yang kedua ialah boleh memilih untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan, seperti firman Allah : „Apabila kamu sudah tahallul (melepaskan diri dari pada kewajiban ihram waktu mengerjakan haji), maka boleh kamu berburu" (Al-Ma'idhah 2), menunjukkan kepada kita niat orang berburu, yang boleh ia pilih, mengerjakan atau meninggalkannya.

Macam hukum syara' ketiga

Macam hukum syara' ketiga, ialah menetapkan dari sebab-sebab sesuatu menjadi perintah wajib atau larangan wajib, yaitu sesuatu keterangan dari Qur'an yang dijadikan sebab bagi sesuatu hukum, seperti firman Allah : „(Adapun hukum) seorang pria dan seorang wanita yang mencuri, potonglah kedua tangannya" (Al-Ma'idah, 38), menunjukkan bagi kita, bahwa mencuri itu menyebabkan lahirnya hukum potong tangan. Hal ini menunjukkan perintah.

Tetapi ada juga hukum penetapan atau wadha' itu berarti melarang, seperti Sabda Rasulullah : „Tidak diterima Allah Sembahyang orang yang tidak dalam keadaan sudah bersuci," yang menunjukkan kepada kita, bahwa bersuci itu merupakan syarat bagi Sembahyang.

Contoh yang berikut ialah hadis Rasulullah: „Tidak dapat mewarisi pembunuh itu sesuatu warisanpun", yang menunjukkan kepada kita, bahwa pembunuhan itu menolak orang yang membunuh menerima warisan dari pada orang yang dibunuhnya.

Dengan contoh-contoh itu ternyata bagi kita, bahwa hukum syara' itu, yang biasa di Indonesia dinamakan „hukum Islam" terbagi atas dua bahagian.

Pertama hukum taklifi, yaitu hukum yang diperintahkan dalam Islam mengerjakannya, atau meninggalkannya, atau memilih diantara keduanya.

Kedua Hukum Wadh'i, yang dijadikan sebab, atau syarat bagi hukum yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan.

Hukum taklifi ada dua macam, pertama harus dikerjakan dengan tidak ada kecuali, seperti Sembahyang orang yang bermukim, dinamakan azimah, kedua yang boleh berubah daripada hukum asli, karena ada uzur, seperti Sembahyang seorang yang sedang musafir, dinamakan rukhsah.

Uraian tentang hukum Syar'i dan Hukum Wadh'i ini terdapat lebih luas dibicarakan dalam pendahuluan kitab „Al-Mu'amalat fisy syari'atil Islamiyah", karangan Syeikh Ali Al-Khafis, dan dalam kitab „Al-Fiqhul Islami", karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, dan kitab, „Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah", karangan Dr. Ahmad Al-Ghanduri.

CORAK HUKUM ISLAM

(VII)

Hukum Islam asli, yang belum berubah dengan salah satu uzuryang lain, diberi bertingkat, sebagai berikut.

Wajib

wajib yaitu perintah yang harus dikerjakan, dengan jaminanberhak menerima pahala. bagi yang mengerjakannya, dan 1 akanmenerima dosa bagi yang meninggalkannya.

Misalnya puasa bulanRamadhan itu wajib, karena kalau dikerjakan dapat pahala dan kalauditinggalkan berdosa, atas perintah Tuhan : „Wahai sekalian merekayang ber-iman ! Diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkankepada umat-umat sebelum kamu." (Al-Qur'an).

Haram

Haram, yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan meninggalkannya,dan kalau ditinggalkan dapat pahala serta kalau dikerjakanberdosa, seperti berzina, makan bangkai, darah dan daging babi.

Mandauw

Mandauw, yang berbuat dapat pahala dan yang meninggalkannyatidak disiksa. Perkataan lain untuk tingkat ini ialah Sunat, dan mushab.

Makruh

Makruh. Segala pekerjaan, dan ibadat, yang kalau dikerjakantidak mendapat siksaan, tetapi kurang baik, dan kalau ditinggalkanmendapat pahala, seperti melarang sembahyang ditengah jalan.

Mubah

Mubah, Segala pekerjaan yang boleh dipilih, untuk dikerjakannyaatau ditinggalkannya, tidak ada pahala kalau dikerjakan dan juga tidakada dosa kalau ditinggalkan, seperti firman Allah : „Makanlah kamudan minumlah !" (Al-Qur'an).

Inilah yang diminta dalam agama Islam kepada penganutnya yangsudah mukallaf untuk melakukan perintah itu, mengerjakannya ataumeninggalkannya sesuai dengan perintah Tuhan dan Rasul-nya.

Apabilaseorang Islam mengerjakan dengan baik segala rukun dan syaratnya,agama menganggap perbuatan itu syak. Dan kalau tidak dikerjakanmenurut rukun dan syaratnya, maka Islam menganggap tidaksyah.

Adapun yang dinamakan syah, segala perbuatan yang dilakukanmenurut perintah Allah dan Rasul-nya sepanjang sara'.

Apabilaseorang mukallaf mengerjakan sembahyang sempurna rukun dan syarat-nya, yang wajib, maka amalnya itu diterima dan kewajibannya sudah dianggap sudah dilakukannya dan sak atau syahi.

Yang dianggap tidak syah, yaitu sesuatu perbuatan atau ibadah tidak dikerjakan menurut dasar agama daripada rukun dan syaratnya, seperti sembahyang dengan tidak ada ruku', atau sembahyang tidak dalam waktunya, atau sembahyang tidak dengan wudu', maka tidaklah syah ibadatnya itu.

PERBEDAAN ANTARA SYARI'AT DAN FIQH.

(VIII)

Adapun yang dinamakan Syari'at Islam atau Hukum Islam ialah pokok-pokok umum dan peraturan-peraturan keseluruhan hokum yang didasarkan kepada Qur'an dan Sunnah Rasul-nya.

Pandangannya mudah dan tidak sukar, sebagaimana firman Allah : „Allah menghendaki untukmu bermudah-mudah, dan tidak menghendaki untukmu bersukar-sukar" (Al-Baqarah, 140).

Untuk keterangan ayat-ayat Qur'an itu digunakan Sunnah Nabi, yang mengulas pandangan keseluruhan, dan pokok-pokok umum yang dijadikan dasar peraturan mu'amalat.

Seluruh pandangan pokok hukum dari Qur'an dan Sunnah itu tetap berlaku bagi tiap masa dan tempat, tidak menentukan untuk keturunan-keturunan khusus, tetapi merupakan agama untuk semua keturunan, semua masyarakat, semua kerajaan atau pemerintahan, yaitu Agama Umum bagi seluruh Alam.

Naskh Syari'at yang dipetik dengan jelas dari kedua sumber itu tidak dapat diubah untuk selama-lamanya.

Adapun Fiqh Islam, yaitu hukum-hukum perincian, yang ditetapkan oleh ulama-ulama Islam ahli Fiqh, dari Qur'an dan Sunnah Rasul-nya, ditambah dengan ijtihad menurut fikirannya, baik diciptakan bersama-sama atau sendiri-sendiri, yang karena penetapanpenetapan itu menyebabkan banyak perbedaan pendapat.

Sebab-sebab yang membuat ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukum-hukum itu, ialah perbedaan paham ahli fiqh baik mengenai pendapat atau pembawaannya, perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam memahami bahasa, perbedaan paham ahli fiqh dalam menguatkan dan dalam menolak sesuatu masalah, dan hal-hal yang bergantung kepada keperibadian mujitahid, serta kefanatikan mazhab-nya.

Hal ini kadang-kadang membawa keputusan-keputusan mereka keluar dari hukum-hukum dan peraturan keseluruhan, yang diletakkan oleh Syari'at Islam dalam Qur'an dan Sunnah Nabi.

Maka dengan demikian kita dapati banyak pendapatan yang berbeda-beda dalam fiqh ini menurut Mazhab-nya masing-masing, seperti dalam Mazhab Syalafiyah, Mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah atau Hanafi, Mazhab Syafi'i, Mazhab Daud Az-Zahiri Mazhab Syi'ah, Mazhab Sufi, dan lain-lain yang kadang-kadang lempar-lemparkan serangan antara satu sama lain dan ejek-mengejek, sehingga umat Islam, walaupun tidak berpecah belah, tetapi menjadi berbondongbondong, yang masing-masing mempertahankan mazhab-nya.

Perbedaan paham ini terkadang-kadang demikian besarnya, sehingga penetapan hukum-hukum itu keluar dari Usuluddin, sumber-sumber pokok dan keyakinan dalam Agama Islam.

Pada salah satu kitab saya, saya jelaskan, bahwa keinsyafan umat Islam dalam abad ke-20 ini telah demikian besar, sehingga kebanyakan dari mereka ingin mempersatukan kembali mazhab-mazhab itu.

Lalu didirikanlah di Mesir suatu badan yang dinamakan „Darut Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah", dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, Dr. Al-Baby dan Al- Qummi dan lain-lain suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.

Majallahnya „Risalatul Hlam" memuat tidak saja karangan yang mendalam tentang prinsip-prinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasanpembahasan kearah persatuan itu.

Hasilnya sangat baik diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di Universitas Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.

Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeikhul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota badan Darut Taqrib itu.

Begitu juga gurunya Syeikh Abdulmajid Salim. Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan berharga dan pikiranpikiran persahabatan, guna mempelajari lebih dalam fiqh Al-Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.

Hasil daripada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (jadjuzat ta' abbud) dengan mazhab Al-Jafa'ri, suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan di ucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.

Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah „Al-Irfan", suatu majalah resmi gerakan Syi'ah juz ke VII, jilid 51, Ramadhan 1383 H , hal. 735 dan seterusnya.

Imam Mtihammad Abduh pernah mengecam pembicaraan-Fiqh yang berlarut-larut dan sukar memahaminya.

Katanya, bahwa ia pernah membaca lebih dari dua puluh buah syarah (komentar), untuk memahami cara berfikir ulama-ulama fiqh terakhir tentang tayammum, didapatinya semua pembicaraan itu sangat mendalam dan berliku-liku, sedang nash Qur'an demikian jelas pengertiannya, sehingga jika orang mengikutinya, ia tidak memerlukan lagi komentar yang berpanjang-panjang itu.

SUMBER SYARI'AT ISLAM DAN FIQH.

(IX)

I Al-Qur'anul Karim.

Prof. Sobhi Mahmassani berkata dalam kitabnya "Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut, 1952), bahwa kitab suci Al-Qur'an itu ialah sumber yang pertama bagi penetapan hukum syari'at Islam.

Tidak ada sebuah Mazhab Islampun yang berbeda paham tentang sumber pertama ini, baik Mazhab Ahlus Sunnah, maupun Syi'ah, bahkan Mu'tazilah, dan jika ada perbedaan paham, hal itu terdapat dalam mengartikan dan mentafsirkan setengah daripada ayat Qur'an itu:

Ta'rif Al-Qur'an yang terlengkap, sebagaimana pernah saya kemukakan dalam karangan saya „Filsafat perkembangan hokum dalam Islam", dari S.E.R.I.E Ahlus Sunnah wal Ja'maah, diberikan oleh Dr. Ma'ruf Ad-Dawalibi kepada Al-Qur'an yaitu sebuah kitab suci yang merupakan pokok pertama dan sumber azas untuk hokum-hukum Syariat Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur pada malam tujuh belas Ramadhan, dikala umurnya 41 tahun sampai 9 Zulhidjah tahun kesepuluh Hijrah, dikala umurnya 63 tahun.

Qur'an itu turun kepadanya sebahagian demi sebahagian, seayat atau beberapa ayat, menurut keadaan masa dan kebutuhan masyarakat.

Qur'an itu terbagi atas bahagian-bahagian yang dinamakan Surat, dan jumlah semua Surat dalam Al-Qur'an itu adalah 114 buah banyaknya, dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan disudahi dengan Surat An-Nas.

Surat-Surat itu tersusun dari pada ayat-ayat, yang jumlahnya 6342 buah banyaknya, 500 ayat diantaranya berhubungan dengan hukum-hukum.

Baca diantaranya kitab Jalaluddin As-Suyuthi, „Al-Iklil fi Instinbathit Tanzil" (t. tp. 1373 H.).

II. Sunnah Nabi.

Adapun Hadis atau Sunnah Nabi ialah sumber kedua sesudah Qur' an, yang bersifat menafsirkan dan menyempurnakan pengertian Al-Qur'an.

Sunnah itu disampaikan dari Nabi oleh sahabat-sahabatnya, ada yang merupakan "Sunnah Qauliyah", yaitu ucapan langsung dari Rasulullah sendiri, dan dinamakan juga „Al-Hadis", „Sunnah fil'liyah", mengenai perbuatan Nabi, atau „Sunnah taqririyah".

Pada hari-hari pertama Rasulullah tidak memperkenankan menulis Sunnah itu, sebagaimmana orang disuruh menulis dan menghafal Al-Qur'an, bahkan dilarang : „Jangan kamu menulis dari saya, dan barang siapa yang menulis selain Qur'an, hendaklah dihapusnya".(Muslim).

Pada hari-hari kemudian terpaksa orang mengumpulkan Sunnah itu, yang termasyhur diantaranya ialah yang dinamakan „Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal", yang sekaligus telah merupakan susunsn kitab Fiqh.

Diantara kitab-kitab yang banyak digunakan dalam kalangan Ahlus Sunnah ialah yang dinamakan Kitab Enam, dua buah diantaranya dinamakan Syahih, karangan Bukhari (194-256H), dan karangan Muslim (meninggal 206-261 H). Termasuk kitab enam yang lain yaitu karangan Ibn Majah, (meninggal 273 H), Abu Daud (meninggal 275 H), Tarmizi (meninggal 275 atau 279 H), Nasa'i (meninggal 302 H). Disamping itu banyak kitab-kitab hadis yang lain, seperti karangan Daraquthni (meninggal 385 H), karangan Baghawi (meninggal 512 atau 516 H), Baihaqi dan lain-lain.

Sumber-sumber Sunnah yang banyak digunakan oleh Mazhab Syi'ah ialah yang dinamakan Kitab Empat, yaitu „Al-Kafi", karangan Kulaini (meninggal 328 H), kitab "Man la Yahdhuruhul Faqih" karangan Babuaih (meninggal 381 H), „Al-Istibshar fi ma Ikhtalafa minal Akhbar" dan „Tahzibil Ahkam", kedua-duanya karangan Ath-Thusi (meninggal 411 H).

Kemudian ditulis orang juga beberapa ilmu untuk memudahkan penggunakaan hadis ini guna penetapan hukum, seperti ilmu „Musthalah Hadis", mengenai hadis yang dapat digunakan dan tidak dengan penilaian hadis-hadis itu, seperti sejarah hidup perawi-perawi-nya, dan lain-lain.

III. Ijma'.

Untuk menetapkan hokum-hukum untuk Fiqh Islam, kemudian diperlukan orang juga mencari sumber lain, yaitu Ijma' dan Qiyas, terutama yang terdapat dalam masa sahabat.

Ulama-ulama Fiqh sepakat menetapkan sebagai sumber ketiga ialah Ijma', yang berarti kesepakatan, ada yang menganggap kesepakatan sahabat, tetapi banyak juga Mujtahid-Mujtahid Islam yang menganggap cukup kesepakatan ulama fiqh saja.

Golongan yang terakhir ini mendasarkan pendapatnya kepada ayat Qur'an: „Barang siapa masih menyusahkan Rasul, sesudah jelas apa yang diajarkan sebagai petunjuk, kemudian mengikuti jalan selain jalan orang mu'min, kami tinggalkan dia dan kami hubungkan dia dengan neraka jahanam, sebagai tempat kembali yang buruk" (An-Nisa, IV : 115).

IV. Q1YAS.

Qiyas artinya memperbandingkan sesuatu kejadian yang timbul dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi dalam zaman Salaf, yaitu zaman Nabi, zaman Sahabat dan kalau perlu zaman Tabi'in dan seterusnya.

Karena meluasnya daerah Islam dan penganutnya, sukar sekali untuk menetapkan sesuatu hukum, karena telah berlainan zaman dan tempat serta suasana.

Ulama-ulama Fiqh mencari jalan keluar dengan mengakui Qiyas sebagai dasar hukum yang keempat.

Hampir semua mereka menerima dasar usul, bahwa seluruh hukum Islam itu sesuai dengan tujuan dan ke-maslahatan.

Selain daripada terbuka secara luas Qiyas ini sebagai salah satu daripada dasar hukum Islam yang empat, Qiyas inilah yang merupakan sebab-sebab perbedaan paham antara satu dengan lain mazhab.

Oleh karena itu setengah mazhab, seperti Syi'ah Imamiyyah dan Daud As-Zahiri, tidak mau menggunakan Qiyas itu. Tetapi kebanyakan ulamaulama fiqh menerimanya, begitu juga Syi'ah Zaidiyah (lihat kitab-kitab „Hillil Uqul, halaman 53, Al-Ahkam, karangan Ibn Hazam, juz V : 5356, dan „Nihayatus Sual, kar. Asnawi, III : 8).

Selain dari pada dasar perbedaan paham, seperti tersebut diatas, ada lagi yang menyebabkan perlainan penetapan hukum itu, yaitu kebijaksanaan Imam-Imam Mazhab Fiqh, seperti Hanafi dengan dasar istihsan, Maliki dengan masalihul musalah, Syafi'i dengan istidal, dan dasar istishabul hal, dan lain-lain.

II

SEJARAH HIDUP MUJTAHIDIN

MAZHAB AL-JA'FARI.

(Imamiyah)

( I )

Mazhab ini didirikan oleh Imam Jafar Shadiq, seorang Tabi'in tokoh besar, ahli hadis dan mujtahid mutlak, menurut Kulayni antara 83 — 148 H. sebagai yang sudah kita ceriterakan.

Ibunya bernama Farwah anak Al-Qasim anak cucu dari Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah I sesudah Nabi.

Konon itu sebabnya maka Ja'far memakai nama dibelakangnya Sadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.

Bahkan pernah ia berkata, sepanjang yang diriwayatkan Sayuti : „Aku berlepas tangan dari orang-orang yang mengatakan sesuatu sesudah Nabi tentang Abu Bakar dan Umar kecuali yang baik (Sayuti Tarikhul Khulafa).

Konon pula itulah sebabnya, maka ia tidak pernah diganggu oleh khalifah Umayyah, seperti Hteyam, Walid, Ibrahim dan Marwan dan oleh Khalifah Abbasiyah, seperti As-Safah dan Al-Mansur.

Baik Syi'ah maupun Ahli Sunnah menghormati Ja'far Sadiq.

Dalam masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan inilah lahir Imam Ja'far Shadiq.

Ia lahir pada malam Jum'at, bulan Rajab, tahun 80 H , dikala umat Islam mengalami kekacauan dalam hukum dan pemerintahan, dikala pemerintah dan pembesar-pembesarnya melakukan kezaliman dengan sewenang-wenang, tidak ada jiwa terjamin, tidak ada kemerdekaan berpikir dan berbicara dihormati, siapa yang kuat memang dan siapa yang kalah hancur.

Keadaan umat Islam pada waktu itu dibandingkan dengan masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, seperti siang dengan malam, sedang daerah Islam yang luas dengan umatnya yang banyak menanti-nanti hukum Islam yang terkenal adil dan lengkap itu dalam segala bidang.

Imam Ja'far Shadiq lahir sebagai suatu bantuan Tuhan kepada umat Islam yang bingung itu.

Ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir dan kakeknya Zainal Abidin, dua belas tahun lamanya merasakan asuhan kakeknya A l i bin Husain.

Dari orang-orang besar inilah beroleh pengajaran dan pendidikan, terutama dalam pembentukan jiwanya.

Tidak dapat disangkal bahwa kakeknya Zainal Abidin adalah anggota Bani Hasyim yang utama dan tokoh terpenting dari Ahlil Bait, seorang yang sangat alim, war'a, dan sangat dipercaya perkataannya dan mempunyai akhlak dan budi pekerti yang bersih.

Sesudah mati kakeknya ini ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir, seorang yang luas pengetahuannya dan salih yang oleh orang Syi'ah dianggap salah seorang Imam Dua Belas.

Sembilan belas tahun ia bergaul dengan ayah dan kakeknya.

Ia hidup ketika itu dalam bersembunyi dengan ketakutan, tetapi dengan segala kegiatan dikumpulkan ilmu-ilmu dari ayah, kakek dan moyangnya dan disiarkannya kepada umum dalam masa perpecahan, kezaliman, zindiq dan ilhad itu.

Yang paling menderita kezaliman ketika itu ialah keluarga rumah tangga Rasulullah, keturunan Ali dan pembantu-pembantunya, dan oleh karena itu mereka jarang, kelihatan dalam mesjid-mesjid, karena khotbah-khotbah Jum'at itu isinya tidak lain dari kecaman dan caci-maki terhadap mereka.

Ja'far Shadiq hidup secara sederhana, tetapi orang tahu dan umat Islam secara diam-diam berduyun-duyun datang kepadanya untuk mengambil ilmunya dan mengakuinya sebagai Imam.

Diantara peralihan pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas, orang menaksir muridnya tidak kurang dari empat ribu orang, Rumahnya merupakan perguruan tinggi untuk ulama-ulama besar dalam ilmu hadis, tafsir, filsafat dan lain-lain ilmu pengetahuan, ulama ulama yang kemudian memimpin mazhab-mazhab dan perguruan yang ternama dalam Islam. Murid-murid itu yang merupakan rawi-rawi hadis yang terpenting, berasal dari Ghathafan,Ghiffar, Al-Azdi, Khuza'ah, Kha'zam, Makhzum, Bani Dhabbah, Quraisy, Banil Haris dan Banil Hasan.

Semua mereka itu mengambil hadis dan ilmu dari pada Imam Ja'far, dan kemudian menjadi guru-guru besar, dan imam-imam mazhab yang terpenting, seperti Yahya ibn Sa'id al-Anshari, Ibn Juraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Uyaynah, Abu Hanifah, Syu'bah, Abu Ayyub As-Sajastani dan lain-lain, yang kemudian mendapat kehormatan dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu dari pada Imam Ja'far As-Shadiq (Asad Haidar, I : 9-30).

Golongan Ja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamiyyah Itsna Asyariyah, yaitu suatu golongan Syi'ah yang mengaku, bahwa imam mereka yang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana yang sudah kita sebutkan dalam pembicaraan mengenai golongan Syi'ah ini.

Prof. T. M Hasbi As Shiddieqy dalam kitabnya "Hukum Islam" (Jakarta, 1962) banyak menulis tentang Syi'ah, dan berkata tentang Ja'far Sadiq sbb. : „Orang-orang Syi'ah yang menobatkan dia menjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanya, karena ia tidak menghendaki dan tidak menyukai dirinya dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama yang sangat berbakti kepada Allah.

Ia tidak suka diperbudak-budakan kaum Syi'ah.

Lantaran demikan, ia dapat mengarungi samudera hidupnya dengan aman dan tenang, tidak menjadi kebencian khalifah-khalifah yang menguasai negeri.

Dan yang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan pentasis fiqh Syi'ah yang kemudian pecah kepada beberapa mazhab". .

Tentang fiqh dan hukumnya, Hasbi menerangkan sebagai berikut. :

Fiqh Syi'ah walaupun berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah juga, namun melaini fiqh jumhur dari beberapa jurusan.

a. Fiqh mereka berdasar kepada tafsir yang sesuai dengan pokok pendirian mereka.

Mereka tidak menerima tafsir orang lain, dan tidak menerima Hadis yang diriwayatkan oleh selain Imam ikutannya.

b. Fiqh mereka berdasarkan Hadis, Qaedah, atau Furu' yang mereka terima dari imam-imamnya.

Mereka tidak menerima segala rupa qaedah yang dipergunakan oleh djumhur Ahli Sunnah.

c. Fiqh mereka tidak mempergunakan Ijma' dan tidak mempergunakan qiyas.

Mereka menolak ijma', adalah karena lazim dari pengikutpengikut ijma', mengikuti faham lawan, yaitu Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ittabi'in.

Mereka tidak menerima qiyas se-kali-kali, karena qiyas itu fikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnya, serta imam-imam yang mereka ikuti sehaja.

d. Fiqh mereka tidak memberi pusaka kepada perempuan kalau yang dipusakai itu tanah dan kebun. Perempuan itu hanya mempusakai benda yang dapat dipindah-pindah sahaja.

Lebih lanjut diterangkan, bahwa : Terkadang-kadang apabila disebut golongan Syi'ah, maka yang dikehendaki, Imamiyah. Imamiyyah ini berkembang di Iran dan Irak, mazhab mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asy-Safi'i walaupun mereka dalam beberapa masalah menyalahi Ahlus Sunnah yang empat.

MAZHAB HANAFI.

(II)

Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja.

Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum.

Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.

Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan.

Bahkan konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu Hanifah dan gurunya Ja'far Shadiq, yang berkata : „Wahai Abu Hanifah tidaklah usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah.

Pada waktu Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau boleh menjawab : Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakan kepadaku, mengapa aku menetapkan hukum yang maksudnya berbeda dengan Qur'an, aku akan menjawab : ,,Ta' sampai akalku untuk memahami wahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat kutetapkan" (baca Syi'ah, karangan H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965).

Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah : 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah 3. Al-Ijma', 4. Al- Qiyas, dan 5. Al-Istihsan.

Apa artinya al-istihsan ? Menurut Hasan Sya'ab : Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan hukumnya (Al-Hiwar, „Rayi fil Ijtihad fil Islam 1966, hal. 99).

Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mula-mula menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia belajar memperdalami ilmu agama Islam.

Pelajarannya terutama memakai dasar ra'yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Kitab yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah „Mukhtasar" dari Khuduri (meninggal 1036).

Dalam kehidupannya beliau pernah mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti.

Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya.

Ketika Khalifah Al-Mansur mendirikan kota Bagdad (767 -771) ia turut bekerja dalam usaha pembangunan kota itu.

Khabar tentang kematiannya bermacam-macam.

Yang satu menerangkan, bahwa ia itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur.

Yang lain menerangkan, bahwa Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.

Dan yang lain lagi menerangkan, bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767.

Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa' Al-Kufi.

Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir.

Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu.

Malah pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi.

Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing.

Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sulthan-sulthannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah.

Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i dan Maliki.

Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah.

Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah kota Cairo.

Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain.

Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.

Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi.

Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi.

Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja.

Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i.

Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli).

Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan.

Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa.

Adapun Abu Hanifah An-Nu'man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M .

MAZHAB MALIKI.

(UI)

Berbeda sekali pendirian Abu Hanifah ini dengan pendirian Malik bin Anas, yang menyusun dasar-dasar untuk penetapan hukum sebagai berikut : Nas Al-Qur'an, Zahir Al-Qur'an, mafhum pengertiannya yang cocok, dan dalil yang tidak cocok, Tanbih Al-Qur'an Nas Al-Hadis, Zahir Al-Hadis, Mafhum Al-Hadis, Dalil Al-Hadis, Tanbih Al-Hadis, Ijma, Qiyas, pekerjaan ulama Madinah, ucapan-ucapan sahabat, istihsan, upaya menutup keburukan memelihara akhlak, istihsan maslahatul mursalah dan syariat umat-umat yang terdahulu.

Kita lihat, bahwa Imam Malik ini mempunyai luas sekali dasar penetapan sesuatu hukum untuk mazhabnya.

Yang demikian itu karena ia di Madinah dan Mekkah dengan mudah ia mencari keterangan-keterangan mengenai Al-Qur'an dan Sunnah, karena dengan masanya masih terdapat banyak sahabat terkumpul dan masih hidup disana.

Menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, perbedaan mazhab Maliki dengan mazhab-mazhab yang lain ialah bahwa Imam Malik menjadikan amal orang-orang Madinah jadi hujjah hukum fiqhnya, karena pada pendapatnya orang-orang di Madinah itu bersih mengerjakan amal ibadat sebagaimana yang dilihat pada Nabi dan sahabat-sahabat serta orang-orang Islam sekitar kota suci itu.

Ia mendahukan amal orang Madinah itu dari pada qiyas dan dari pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seseorang rawi saja, yang biasa dinamakan khabar uhad.

Ulama-ulama fiqh yang lain tidak ada yang menjadikan amal orang-orang Madinah itu menjadi hujjah agama.

Perbedaan yang lain pada Malik bin Anas ini kita dapati dalam dasar penetapan hukumnya, yang dinamakan maslahatul mursalah, yang artinya menurut Hasan Sya'ab dalam karangannya tersebut diatas ialah membina sesuatu hukum atas dasar kemashlahatan umum (104), seperti membolehkan orang memukul pencuri agar ia mengaku kesalahannya.

Ulama lain tidak membolehkan pekerjaan itu.

Lain dari pada itu Imam Malik juga menjadikan hujjah hukum fatwa-fatwa sahabat besar, manakala sanad riwayatnya itu sab, bahkan mendahulukan fatwa-fatwa itu atas qiyas.

Pekerjaannya ini sangat mendapat bantahan dari Imam Al-Ghazali, sebagaimana disebut dalam kitab Al-Mustasyfa Seperkara lagi yang agak berlainan pendirian Malik bin Anas ini dengan ulama lain, terutama ulama-ulama Hanafi, ialah bahwa ia tidak menjadikan syarat baik sesuatu hadis dengan sifatnya masyhur, bahkan ia acap kali menggunakan juga istihsan sebagai Abu Hanifah dan mengutamakan riwayat Hadis dari penduduk Hejaz.

Malik bin Anas, yang membentuk Mazhab Maliki, hidup di Madinah antara tahun 710 — 795.

Disitu ia belajar dan disitu pula ia mengajar.

Beberapa lama ia menjabat pekerjaan Mufti dan ahli hukum Islam.

Beberapa sikapnya dalam memberi fatwa menyebabkan Pem-Abbasiyah mencurigai dia, sehingga ia pernah merasai penyiksaan dan penderitaan.

Kitabnya yang terpenting ialah „Al-Muwattha".

Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara (kecuali Mesir) dan Afrika Tengah.

Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab Maliki ialah kitab-kitab „Mudawana", karangan Ibnul Qasim (meninggal 806) dan „Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab (meninggal 1365).

Jika kaum Oriëntalisten Belanda gemar mempelajari hokum-hukum mazhab Syafi'i, maka sebaliknya Oriëntalisten Perancis dan Italia gemar menyelidiki hukum-hukum Islam menurut mazhab Maliki.

Sebagaimana Mazhab Syafi'i begitu juga Mazhab Maliki berdasarkan empat pokok : „Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.

Diantara orang-orang yang mula-mula memperkenalkan kitab-kitab fiqh mazhab Imam Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di Alexandria pada tahun 786.

Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin.

Pengaruh Mazhab Maliki ini suram, tatkala ke Mesir masuk pula mazhab Syafi'i.

Sesudah Mazhab Maliki masuk ke Andalus, yang dibawa oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi, yang acapkali digelar orang Syaibthun, maka Mazhab Auza'i yang sudah lebih dahulu disana, mulai terdesak dan tidak diperhatikan lagi.

Mazhab Maliki masuk Sepanyol, yaitu dalam masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman (793-820).

Sebagaimana di Mesir begitu juga di Andalus dalam zaman pemerintahan Hisyam ini Abdurrahman terutama yang mendapat pangkat yang baik dalam jabatan kehakiman, ialah ulama-ulama Maliki, sehingga dengan demikian aliran mazhab ini bertambah maju.

Yang memasukkan Mazhab Maliki ke Afrika kita sebutkan saja nama Sahmun bin Sa'id Al-Tanukhi, yang menggantikan qadhi Asad bin Furad, dan lalu disiarkannya paham Mazhab Maliki.

Sesudah Ma'az bin Badis menjadi Mufti di Afrika Utara, pada tahun 1029, maka tanah Maroko pun tunduk kepada Mazhab Maliki.

Kitab-kitab Maliki yang banyak terpakai di Andalus ialah umpamanya sesudah kitab Muwattha, yaitu kitab "Wadhihah", karangan Abdul Malik bin Habib, kitab "Atabiyah" yang dikarang oleh Atabi murid Ibnu Habib.

Diantara kitab-kitab yang masyhur di Afrika ialah kitab "Asadiyah", karangan Asad bin Furad dan juga kitab karangan Sahnun, kemudian boleh kita sebutkan juga Kitab „Tanbih" karangan Abu Sa'id Al-Baradi'i.

Ditimurpun Mazhab Maliki itu mendapat tempat, umpamanya di Bagdhad, tetapi kemudian terdesak oleh Mazhab Abu Hanifah, di Basrah sampai abad ke-V untuk sementara waktu di Hejaz, Palestina, Yaman, Kuwait, Kotter dan Bahrain.

MAZHAB SYAFI'I

(IV)

Mazhab ini dimasukkan oleh golongan Syi'ah kedalam Mazhab Ahlil Baid, karena pendiri dari pada Mazhab ini, Muhammad bin Idris, ialah seorang Qurais dari keturunan ayahnya, dalam silsilah bertemu dengan Nabi pada diri Abdu Manaf.

Ibunya dari suku Azdiyah, yang berpusat di Yaman. Pada suatu kali tatkala ayahnya pergi berdagang ke Syam, ia dilahirkan di Ghuzzah atau Asqalan pada tahun 150 H.

Sesudah ayahnya meninggal dibawanya ibunya pindah ke Mekkah pada waktu Muhammad bin Idris berumur dua tahun.

Ia dan ibunya termasuk keluarga yang miskin, seperti yang pernah diterangkan olehnya sendiri.

Katanya : „Saya adalah anak yatim dalam asuhan ibu saya, yang tidak mempunyai harta benda apa-apa. Guruku sayang kepada ibuku, dan oleh karena itu ia membantu aku dalam pelajaran.

Sesudah menghafal Qur'an, aku mulai belajar dalam Masjid. Aku belajar pada beberapa orang ulama, menghafal Hadis dan mempelajari persoalan-persoalan yang dikemukakan orang. Rumah kami pada waktu itu terletak di Syi'ib Al-Khaif.

Aku menulis pada tulang-belulang, dan penulisan itu kemudian aku kumpulkan dalam sebuah kantong besar".

„Kemudian aku keluar dari Mekkah dan bergaul dengan orangorang dari suku Huzail disebuah desa, saya belajar bahasa Arab dan kesusasteraan pada orang-orang itu, karena mereka berbahasa Arab yang baik", katanya pula.

Pergaulan Asy Syafi'i dengan suku Qurais ini besar sekali faedahnya dalam kemajuannya berbahasa dan bersyair Arab, yang dapat melancarkan memahami ma'na Qur'an dan Sunnah.

Kemudian ia mempelajari Hadis dan Fiqh, yang pernah diambilnya di Mekkah pada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Azi-Zanji, dan sesudah menghafal kitab Muwattha' ia pergi mimpelajari lagi kitab itu pada Malik bin Anas, serta mempelajari banyak juga padanya hukum-hukum fiqh sampai Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.

Kemudian barulah ia keluar ke Yaman, diantara sebab-sebabnya atas panggilan Gubernur Yaman untuk mengambilnya bekerja padanya.

Ia dituduh memihak golongan Syi'ah, cuma yang tidak ketahuan, manakala tuduhan itu dilancarkan kepadanya, pada waktu ia di Yaman kah atau sesudah pulang ke Hejaz, yang menurut Abdul Bar, ia kelihatan rapat bekerja sama dengan golongan Alawi di Hejaz, tetapi menurut Ibn Hajar di Yaman, karena ia dari sini diperintahkan menghadap Harun Ar-Rasyid.

Syafi'i dapat membela dirinya, lalu diampuni oleh Sulthan Harun Ar-Rasyid (Ahmad Amin, "Dhuhal Islam", II : 220). Kejadian ini berlaku pada tahun 184 H, sedang umur Syafi'I pada waktu itu 34 tahun.

Dari sini ia berangkat ke Baghdad pada tahun 195 H, dan tinggal disana dua tahun, kemudian kembali Iagi ke Mekkah, yang sesudah itu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H serta tinggal disana beberapa bulan, sebelum ia berangkat ke Mesir pada tahun 199 H, dan tinggal disana sampai ia wafat pada tahun 204 H.

Pada waktu ia tinggal di Iraq ia berhubungan dengan Muhammad bin Hasan, teman dan tokoh dari Abu Hanifah, padanya ia ambil banyak fiqh menurut Mazhab orang-orang Iraq. Kata Ibn Hajar : „Penghabisan pelajaran Fiqh Syafi'i di Madinah, ia ambil dari pada Malik bin Anas.

Ia datangi Malik di Madinah, bergaul dan belajar dan mengambil banyak cara penetapan Fiqh padanya.

Di Iraq penghabisan pengajarannya dicapai menurut Fiqh Abu Hanifah, Syafi'i mengambil dari sahabatnya Muhammad bin Hasan sebahagian besar, terutama di kumpulkannya pengetahuan-pengetahuan Mazhab yang hidup pada waktu itu dinamakan Ahlur Ra'yi.

Dan Ilmu Ahlul Hadis, sehingga ia mendapati dasar-dasar penetapan hukum usul, membuat kaidah-kaidah, dan mulailah dijelaskannya kesepakatannya dan perbedaan pahamnya, sehingga namanya mashur orang sebutkan disana sini, dan diakui oranglah kedudukannya sebagai Mujitahid Mazhab" (Tawalit Ta'sis, hal. 54).

Gambaran Ilmu Fiqh Imam Syafi'i yang sangat jelas adalah dalam kitabnya bernama „Al-Umm", yang diwasiatkan sebelum ia wafat dan yang terjadi pada bulan Syafar 203 H, sebagai berikut : „Kitab mi ditulis oleh Muhammad bin Idris Ibn Abbas Asy Syafi'i, untuk anaknya Abul Hasan (Ibn Asy Syafi'i,) yang digunakan uangnya sebanyak 400 Dinar oleh ayahnya, untuk ongkos mentashihannya dalam wasiat itu juga ia berdoa agar anaknya digantikan Tuhan harta bendanya itu.

Juga diwasiatkan kepada anaknya untuk beramal, diantaranya merawat yang baik bekas budak-budaknya.

Dalam menyelesaikan kitab ini banyak dibantu oleh murid-muridnya, seperti oleh Buwaithi'.

Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir.

Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash.

Mazhab Syafi'i di Iraq biasa dinamankan Mazhab Qadim, dan Mazhab Syafi'i di Mesir, biasa disebut orang Mazhab Jadid.

Mereka yang berguru kepadanya di Iraq adalah Az-Za'farani, Al-Karabisi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Lughawi, sedang pengikutnya di Mesir yang terkenal ialah Al-Buwaithi, Al-Majani, Ar-Rabi' Al-Muradi.

Baik di Mesir atau di Madinah banyak ia pelajari cara menetapkan hukum oleh Malik bin Anas dan oleh teman-teman Abu Hanifah, dan yang mendalam dipelajarinya ialah kitab-kitab karangan sahabat Abu Hanifah Muhammad bin Hasan, serta cara orang menetapkan hukum oleh Iraq.

Ia berpendapat tidak semuanya cara ini dapat digunakan, tetapi tidak juga ditinggalkan semuanya.

Cara menggunakan Qas adalah cara yang benar, tetapi menurut pandangan Syafi'i tidaklah demikian mutlaknya penggunaan itu, sehingga ketinggalan dibelakang, Hadis- Hadis yang sahid, sampai kepada hadis Ahad.

Juga dipelajarinya cara memisahkan hukum atau mengadakan persoalan baru dari pada usul, dianggapnya suatu cara yang baik, begitu juga yang terdapat pada mereka kebiasaan berjidal (berdebat), istiklal, (mengambil dalil lebih dahulu dengan keadilan dan kemuslahatan), menghubungkan ayat Mutasabih dengan Mutasabih, dan sesuatu usul yang berlainan dengan yang bersamaan, bermunajarah, menulisi adlil-dalil dalam persoalan, dilihatnya sesuatu yang baik.

Oleh karena itu ia mempersiapkan dirinya memasuki persoalan-persoalan itu, dan mengatasi kesukarankesukarannya, sehingga ia beroleh cara yang terindah dari cara yang dilihatnya di Iraq itu.

Kemudian bertambah lagi keistimewaannya dalam menggunakan bahasa, sastra, hadis dan ijma''-ahli Madinah dan cara ulama-ulama Hejaz dalam menetapkan hukum.

Daripada kedua pengalaman ini Syafi'i dapat menggunakan yang terbaik, sehingga dia banyak mengarang menurut Mazhab baru, yang pernah dikemukakan di Iraq pada tahun 195 H, dan diikuti oleh setengah sahabatnya dari Baghdad seperti Abu A l i Al-Husain bin Ali Al-Karabisi, salah seorang daripada ulama Iraq yang masyhur, yang banyak mengarang, meninggal pada tahun 256 H, dan seperti Abu Tsaur Al-Kalbi, yang di Baghdad sudah mulai bersahabat dengan Syafi'i serta belajar banyak padanya, pengarang dari sebuah kitab yang berisi persoalan-persoalan yang berbeda pendapat antara Malik dan Syafi'i, Al-Kalbi ini dalam karangan-karangannya condong sekali kepada tulisan-tulisan Syafi'i.

Lain dari pada itu juga pernah mengikut Syafi'i Abu Ali Az-Za'farani, yang banyak membaca kitab-kitab Syafi'i dan mengarang tentang Mazhabnya sebelum Syafi'i dating di mesir.

Tetapi sayang Syafi'i tidak jaya dengan Mazhabnya di Iraq, terdesak oleh cara berfikir Mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan akal, sehingga Mazhab Syafi'i itu kehilangan kedudukan dan kekuasaan.

Lalu berangkatlah ia ke Mesir, mencari daerah baru, dimana ia mengharapkan Mazhabnya akan tumbuh dengan subur. Di depan Az-Za'farani ia bersyair, yang terjemahnya kira-kira sebagai berikut :

Diriku hendak melayang ke Mesir,

Dari bumi miskin dan fakir,

Aku tak tahu hatiku berdesir,

Jayakah aku atau tersingkir.

Jayakah aku ataukah kalah,

Tak ada bagiku sesuatu gambaran,

Menang dengan pertolongan Allah,

Atau miskin masuk kuburan.

Demikian Imam Syafi'i bersya'ir, tatkala ia hendak melangkahkakinya ke Mesir.

Sya'ir Arab ini diriwayatkan oleh temannya Az-Za'farani, yang menjawab bahwa kedua-duanya yang tersebut dalam sya'ir itu dicapai oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, baik kekayaan yang menghilangkan kemiskinannya, maupun kejayaan yang membuat penganut mazhabnya ratusan kali lipat ganda dari pada yang terdapat didaerah Iraq dari Mu'tazilah itu.

Untuk mencegah perselisihan paham dan menyalurkan kepada kesatuan dasar hukum, Syafi'i segera menulis "Usul Fiqh", yang mengatur cara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumbersumbernya, sehingga dengan buku ini nama Asy-Syafi'i menjadi harum sekali diantara nama-nama Mujtahid dan Ahli Mazhab ketika itu.

Orang memperbandingkan jasanya dengan usaha Aristoteles dalam menciptakan Ilmu Mantik, atau dengan Khalil bin Ahmad dalam karya Ilmu 'Arudh.

Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dilarang oleh Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, tetapi, karya ini tidak tersiar luas dan tidak beroleh nama yang popuier seperti Usul Fiqh karangan Asy-Syafi'i, yang termuat juga garis-garis besarnya dalam kitab Al-Umm (baca Syi'ah, 299).

Karangannya hampir semua termuat dalam kitab Al-Umm, yang terutama mengenai ilmu Fiqh.

Syafi'i boleh kita anggap seorang yang termasuk mula-mula meletakkan dasar tentang pengetahuan Usul Fiqh.

Mazhab Syafi'i menurut jalan hukum dapat dikatakan kedudukannya antara paham Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, jadi antara pemeluk tradisionil dan rasionil dalam memahamkan Qur'an dan Hadis.

Pada masa ini yang paling banyak terdapat pemeluk Mazhab Syafi'I itu ialah di Mesir, Syria, beberapa bahagian tanah Arab dan seluluruh Indonesia.

Dahulu lebih luas lagi daerahnya, tetapi dalam waktu yang akhir ini banya terdesak oleh paham Mazhab Hanafi.

Terutama sesudah tahun 922 M. sangat cepat kelihatan kemajuan Mazhab ini di Mesir, di Iraq, Khorasan, Daghistan, Tauran, Syam, Yaman, diaderah-daerah sungai Saihun Jaihun, Persia, Hijaz, India, sebagian dari Afrika dan Spanyol.

Pada umumnya dewasa ini penduduk Mesir itu bermazhab Syafi'I Perimbangannya dapat kita lihat dalam Azhar yaitu Perguruan Islam Tinggi di Cairo didirikan dalam tahun 969 oleh Gubernur Jauhar.

Sejak tahun 1759 sampai tahun 1909 yang menjadi Syeikh Al-Azhar adalah ulama-ulama Syafi'i.

Setelah itu barulah diganti oleh seorang Hanafi, yaitu Syeikh Muhammad Al-Mahdil Aabbasi.

Selanjutnya tidaklah ada ketentuan yang khusus kepada sesuatu mazhab.

Tetapi jabatan Syeikh Al-Azhar itu belum pernah dipegang oleh Mazhab Hambali, karena Mazhab im sedikit sekali pemeluknya di Mesir.

Kemudian jabatan Syeikh Al-Azhar itu kembali lagi kepada Mazhab Syafi'i, yaitu sejak Mahaguru Muhammad Al-Ahmadi menjadi Syeikh ,,Al-Jami" Al-Azhar.

Yang mula-mula menyiarkan Mazhab Syafi'i dinegeri Damaskus ialah Abu Zur'ah Muhammad bin Usman (wafat 826 M) sehingga mazhab itu berpengaruh disana.

Yang terkenal juga namanya dalam mengembangkan aliran itu disana, ialah Muhammad bin Ismail Al-Qaffal Al-Kabir (wafat 987).

Demikianlah majunya mazhab ini di Baghdad disiarkan oleh Hasan bin Muhammad Al-Za'farani (wafat 860), sehingga hampir bersaingan dengan Hanafi.

Di Marw mazhab ini disiarkan oleh Ahmad bin Saiyar dan Hafiz Abdullah bin Muhammad.

Penyiar di Ghazna dan Khorasan ialah Wajihuddin Abul Fatah Al-Maruzini dan Abu Uwanah Ya'qub ibn Ishak An-Nisaburi (wafat 938) dan oleh pemeluk Syafi'i didirikan disana sebuah mesjid yang indah sekali yaitu pada tahun 1207. Dengan demikian tersebarlah mazhab ini di Timur.

Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon, Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan Iraq.

Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi'i.

Kitab-kitab Syafi'i itu banyak dan nanti akan dibicarakan pada waktu membicarakan kitab-kitab Mazhab Empat lebih lanjut.

Walaupun pokok-pokok fiqh menurut aliran, Syafi'i itu terutama terkumpul dalam kitab-kitab karangan Syafi'i sendiri, tetapi akhirakhirnya, kitab-kitab yang dikarangkan kemudian oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya juga telah mendapat pengaruh yang sekian besarnya dalam kalangan pemeluk Syafi'i, sehingga kitab-kitab yang terdahulu seakan-akan tidak dikenal orang lagi.

Sejak abad ke XVI kita dapati kitab-kitab yang semacam itu, seperti Kitab Tuhfah karangan Ibn Hajar (meninggal 1567), Kitab Nihayah, karangan Ar-Ramli (meninggal 1596), keduanya ditulis berupa uraian (syarh) dari kita Minhaj Ath-Thalibin, karangan An-Nawawi (meninggal 1277 M.).

Lebih lanjut baca Dr. Th. W. Juynboll, Handl tik v. de Moh, Wet (Leiden, 1930, hal. 173, aant. 14).

MAZHAB HAMBALI.

( V )

Pemeluk Mazhab Hanbal itu ialah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal (780-855).

Ia lahir di Baghdad dan sesudah beberapa waktu menuntut ilmu disana lalu pergi belajar ke Syam, Hejaz dan Yaman.

Diantara kitab-kitab yang dikarangnya yang termasyhur ialah "Musnad Ahmad ibn Hanbal".

Tetapi banyak sekali kitab-kitab yang lain, pernah disebut orang sampai sebanyak dua belas beban unta.

Dasar mazhabnya terletak atas empat : pertama Nas, kedua fatwa sahabat, ketiga Hadis (mursal dan dhaif) dan keempat qiyas.

Pengikutnya sangat sedikit dan kebanyakan pengikut-pengikutnya itu tidak mau berijtihad menurut mazhabnya, Ibnu Kaldun menerangkan, bahwa sebabnya Mazhab Ibn Hanbal kurang tersiar dimuka bumi, ialah karena sempitnya berijtihad dalam mazhab itu.

Mazhab ini lahir di Baghdad tempat lahirnya Imam Ahmad.

Pengaruhnya kelihatan dalam abad ke-IV H .

Di Mesir mazhab ini baru dikenal orang pada abad ke-VII.

Yang membawa mazhab ini kesana ialah pengarang kitab yang bernama „Kitabul Umbah" yaitu Al-Hafiz Abdul Ghani Al-Makdisi. Mazhab ini tidak tersebut sebagai mazhab-mazhab yang lain, cuma di Nejid saja.

Juga terdapat sedikit dari pemeluknya di Kotter dan Bahrain.

Demikian keringkasan sejarah tersiar Mazhab Empat itu.

Lebih lanjut tentang dasar-dasar untuk menetapkan sesuatu hokum fiqh itu dibicarakan dalam suatu ilmu pula, yang disebut Usul Fiqh.

Kitab yang ternama dikarangkan orang untuk menguraikan hal ini misalnya : Ar-Risalah, karangan Imam Syafi'i (meninggal. 820 M) Al- Waraqat fi usulil fiqh, karangan Imam Al-Haramain Juwaini (meninggal. 1085).

Kanzul Wusul ila Ma'arifatil Usul, terutama masyhur dalam kalangan orang Turki, karangan Ali bin Muhammad Al-Mazdawi (meninggal. 1089).

At-Tawdhih fi hilli qhawamiah at-Tanqih, sebuah syarh atas karanganya sendiri dari Sadr Asy-Syari'ah II (meninggal. 1346), yang bernama Tanqihul Usul, diterbitkan di Kassan dalam tahun 1883, bersama syarh dari seorang ulama Syafi'i, bernama Taftazani (meninggal. 1389), Djami'ul Djawami', karangan As-Subki (meninggal. 1369) disertai uraian dari Jalaluddin Al-Mahalli (meninggal. 1459) dan dari Al-Banani (meninggal. 1784). diterbitkan di Cairo, Mirkatul wusul fi'ilmil usul, karangan Maula Khusran (meninggal. 1380) dengan sebuah syarh karangannya sendiri, bernama Mir'atul Usul.

Sudah kita katakan bahwa Ibn Hanbal ini dilahirkan di Baghdad tahun 780 M , dan meninggal dalam tahun 855 M .

Dalam memperlengkapkan Musnad-nya ia giat sekali bepergian, untuk mengumpulkan ilmu Hadis, misalnya ke Syam, Hejaz, Yaman, Kufah dan Basrah, sehingga kitab Hadisnya itu menjadi penting dan masyhur.

Lain dari pada itu yang memasyurkan Ahmad Hanbal ini ialah pribadinya yang sangat salih, dan perjuangannya sangat kuat memegang nash Qur'an dan Hadis, serta menjauhkan diri sebanyak mungkin dari pada akal atau ra'yi, sehingga banyak orang memasukkan Ahmad Ibn Hanbal ini kedalam golongan Ahli Hadis dan tidak kedalam golongan Mujtahid, misalnya oleh Ibn Nadim, yang menarik Ibn Hanbal itu segaris dengan Bukhari dan Muslim, dan oleh Ibn Abdul Bar, yang tidak mau menyebutkan nama Ibn Hanbal dalam kitabnya mengenai keutamaan Imam-Imam Fiqh, Selanjutnya juga Thabari tidak ingin memasukkan nama Ibn Hanbal kedalam kitabnya : "Ikhtilaful Fuqaha'" dan begitu juga Ibn Qutaibah tidak menyebutkan sesuatu tentang Ibn Hanbal dan Mazhabnya dalam "Kitabul Ma'arif".

Tentu tidak semuanya pendapat ini dapat kita benarkan, karena mazhab Hambali itu termasuk salah satu mazhab fiq yang berdasarkan paham Ahli Sunnah wal Jama'ah, karena merupakan suatu tunttrnan mazhab, yang lengkap, mengenai persoalan usul dan furu' hokum fiqh dalam Islam.

Meskipun Ibn Hanbal pada mulanya seorang murid dari Imam Syafi'i, tetapi pada akhirnya ia telah mempunyai konsepsi sendiri mengenai hukum fiqh.

Diantara pengikut-pengikutnya Ahmad ibn Hanbal ialah Abu Bakar bin Hani', Abul Qasim Al-Karakhi (meninggal. 334 H.) Abdul Aziz bin Ja'far (meninggal. 363 H.), Ibn Qudamah (meninggal. 620 H.), Ibn Taimiyah (661-728 H.), Ibn Qayyim (meninggal. 751 H.). Semuanya mengarang kitab fiqh menurut ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam kitab "I'lamul Muwaqqi'ien", karangan Ibnal Qayyim (baca juga "Dhuhal Islam" tsb.), bahwa dasar-dasar pendirian mazhab Ahmad ibn .Hanbal ialah : Nash, yaitu Qur'an dan Sunnah, terutama Hadis, meskipun marfu' dengan tidak memperdulikan ucapan sahabat.

Diantara sebabnya ialah bahwa dikala ia hidup, banyak sekali ulamaulama mengadakan penetapan hukum menurut akal sendiri, dan oleh karena itu dengan tutup mata ia membersihkan hukum-hukum itu dengan kembali berpegang kepada Sunnah Nabi, Kita ketahui, bahwa Imam Ahmad hidupnya adalah dalam masa pengaruh Mu'tazilah yang dalam dan diluar pemerintahan sangat hebatnya.

Tingkat yang kedua baginya ialah fatwa-fatwa sahabat, yang dijadikannya hujjah atau dasar hukum, jika ia tidak melihat ada tantangan atau sanggahan dari sahabat-sahabat yang lain.

Pendapatpendapat sahabatpun, yang dekat kepada Qur'an dan Sunnah digunakannya, terutama untuk membuat sesuatu ijtihad sendiri, meskipun tidak lupa ia dalam fatwa-fatwanya itu menyebutkan perbedaan paham dan perbedaan pendapat dari golongan lain.

Dalam tingkat yang keempat Ahmad ibn Hanbal menggunakan juga Hadis mursal dan dhaif, dalam arti kata Hadis yang belum sampai ketingkat sahih, lebih diutamakan daripada qiyas.

Ia kelihatan menggunakan qiyas pada waktu-waktu sangat darurat, artinya dikala ia tidak mendapat sesuatu Hadis atau perkataan, sahabat.

Yang sangat penting kita peringatkan disini ialah sikapnya Ahmad ibn Hanbal dalam memberikan sesuatu fatwa dalam hukum.

Ia tidak sekali-kali mau mengeluarkan fatwa itu dalam sesuatu masalah, sebelum ia memperoleh keterangan dari mereka yang hidup dalam masa Salaf dengan memperhatikan Hadis-Hadis sekitarnya.

Disini letaknya kecintaan orang kepada Imam Ahmad, yang tidak saja mempertahankan kesucian Al-Qur'an dari pada serangan-serangan Mu'tazillah, tetapi juga dalam membersihkan Islam dengan mengembalikan dasar-dasar hukumnya kepada kehidupan yang bersih dalam masa Salaf.

Pengikut-pengikut, seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, penganut mazhab Ahmad Ibn Hanbal ini, menghidupkan kembali dalam abad ke-VII H. ajaran-ajaran Ahmad ibn Hanbal, yang kemudian dalam masa ke-XII H, disambung lagi dengan aktif oleh Muhammad bin Abdul Wahab, yang biasa dinamakan gerakan Wahabi, dalam abad ke-XLXH, digerakkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Syeikh Muhammad Abduh serta murid-muridnya, dengan tujuan kembali kepada dasar-dasar pendirian dan penetapan syari'at yang asli, serta menjauhkan diri dari pada bid'ah, syirik dan khurafat.

Mengenai gerakan Salaf ini akan kita bicarakan dalam sebuah kitab yang tertentu mengenai perbandingan mazhab, terdiri dari jilid ke-I : Salaf, zaman tauhid dan sosialisme yang murni dalam Islam, jilid ke-II : Kembali kepada Qur'an dan Sunnah, dan jilid ke III : Gerakan Salaf dan kebangkita ummat Islam di seluruh dunia.

III

MENGENAI IJTIHAD DAN RA'YI


3

4

5

6

7