MAZHAB SYAFI'I
(IV)
Mazhab ini dimasukkan oleh golongan Syi'ah kedalam Mazhab Ahlil Baid, karena pendiri dari pada Mazhab ini, Muhammad bin Idris, ialah seorang Qurais dari keturunan ayahnya, dalam silsilah bertemu dengan Nabi pada diri Abdu Manaf.
Ibunya dari suku Azdiyah, yang berpusat di Yaman. Pada suatu kali tatkala ayahnya pergi berdagang ke Syam, ia dilahirkan di Ghuzzah atau Asqalan pada tahun 150 H.
Sesudah ayahnya meninggal dibawanya ibunya pindah ke Mekkah pada waktu Muhammad bin Idris berumur dua tahun.
Ia dan ibunya termasuk keluarga yang miskin, seperti yang pernah diterangkan olehnya sendiri.
Katanya : „Saya adalah anak yatim dalam asuhan ibu saya, yang tidak mempunyai harta benda apa-apa. Guruku sayang kepada ibuku, dan oleh karena itu ia membantu aku dalam pelajaran.
Sesudah menghafal Qur'an, aku mulai belajar dalam Masjid. Aku belajar pada beberapa orang ulama, menghafal Hadis dan mempelajari persoalan-persoalan yang dikemukakan orang. Rumah kami pada waktu itu terletak di Syi'ib Al-Khaif.
Aku menulis pada tulang-belulang, dan penulisan itu kemudian aku kumpulkan dalam sebuah kantong besar".
„Kemudian aku keluar dari Mekkah dan bergaul dengan orangorang dari suku Huzail disebuah desa, saya belajar bahasa Arab dan kesusasteraan pada orang-orang itu, karena mereka berbahasa Arab yang baik", katanya pula.
Pergaulan Asy Syafi'i dengan suku Qurais ini besar sekali faedahnya dalam kemajuannya berbahasa dan bersyair Arab, yang dapat melancarkan memahami ma'na Qur'an dan Sunnah.
Kemudian ia mempelajari Hadis dan Fiqh, yang pernah diambilnya di Mekkah pada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Azi-Zanji, dan sesudah menghafal kitab Muwattha' ia pergi mimpelajari lagi kitab itu pada Malik bin Anas, serta mempelajari banyak juga padanya hukum-hukum fiqh sampai Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.
Kemudian barulah ia keluar ke Yaman, diantara sebab-sebabnya atas panggilan Gubernur Yaman untuk mengambilnya bekerja padanya.
Ia dituduh memihak golongan Syi'ah, cuma yang tidak ketahuan, manakala tuduhan itu dilancarkan kepadanya, pada waktu ia di Yaman kah atau sesudah pulang ke Hejaz, yang menurut Abdul Bar, ia kelihatan rapat bekerja sama dengan golongan Alawi di Hejaz, tetapi menurut Ibn Hajar di Yaman, karena ia dari sini diperintahkan menghadap Harun Ar-Rasyid.
Syafi'i dapat membela dirinya, lalu diampuni oleh Sulthan Harun Ar-Rasyid (Ahmad Amin, "Dhuhal Islam", II : 220). Kejadian ini berlaku pada tahun 184 H, sedang umur Syafi'I pada waktu itu 34 tahun.
Dari sini ia berangkat ke Baghdad pada tahun 195 H, dan tinggal disana dua tahun, kemudian kembali Iagi ke Mekkah, yang sesudah itu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H serta tinggal disana beberapa bulan, sebelum ia berangkat ke Mesir pada tahun 199 H, dan tinggal disana sampai ia wafat pada tahun 204 H.
Pada waktu ia tinggal di Iraq ia berhubungan dengan Muhammad bin Hasan, teman dan tokoh dari Abu Hanifah, padanya ia ambil banyak fiqh menurut Mazhab orang-orang Iraq. Kata Ibn Hajar : „Penghabisan pelajaran Fiqh Syafi'i di Madinah, ia ambil dari pada Malik bin Anas.
Ia datangi Malik di Madinah, bergaul dan belajar dan mengambil banyak cara penetapan Fiqh padanya.
Di Iraq penghabisan pengajarannya dicapai menurut Fiqh Abu Hanifah, Syafi'i mengambil dari sahabatnya Muhammad bin Hasan sebahagian besar, terutama di kumpulkannya pengetahuan-pengetahuan Mazhab yang hidup pada waktu itu dinamakan Ahlur Ra'yi.
Dan Ilmu Ahlul Hadis, sehingga ia mendapati dasar-dasar penetapan hukum usul, membuat kaidah-kaidah, dan mulailah dijelaskannya kesepakatannya dan perbedaan pahamnya, sehingga namanya mashur orang sebutkan disana sini, dan diakui oranglah kedudukannya sebagai Mujitahid Mazhab" (Tawalit Ta'sis, hal. 54).
Gambaran Ilmu Fiqh Imam Syafi'i yang sangat jelas adalah dalam kitabnya bernama „Al-Umm", yang diwasiatkan sebelum ia wafat dan yang terjadi pada bulan Syafar 203 H, sebagai berikut : „Kitab mi ditulis oleh Muhammad bin Idris Ibn Abbas Asy Syafi'i, untuk anaknya Abul Hasan (Ibn Asy Syafi'i,) yang digunakan uangnya sebanyak 400 Dinar oleh ayahnya, untuk ongkos mentashihannya dalam wasiat itu juga ia berdoa agar anaknya digantikan Tuhan harta bendanya itu.
Juga diwasiatkan kepada anaknya untuk beramal, diantaranya merawat yang baik bekas budak-budaknya.
Dalam menyelesaikan kitab ini banyak dibantu oleh murid-muridnya, seperti oleh Buwaithi'.
Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir.
Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash.
Mazhab Syafi'i di Iraq biasa dinamankan Mazhab Qadim, dan Mazhab Syafi'i di Mesir, biasa disebut orang Mazhab Jadid.
Mereka yang berguru kepadanya di Iraq adalah Az-Za'farani, Al-Karabisi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Lughawi, sedang pengikutnya di Mesir yang terkenal ialah Al-Buwaithi, Al-Majani, Ar-Rabi' Al-Muradi.
Baik di Mesir atau di Madinah banyak ia pelajari cara menetapkan hukum oleh Malik bin Anas dan oleh teman-teman Abu Hanifah, dan yang mendalam dipelajarinya ialah kitab-kitab karangan sahabat Abu Hanifah Muhammad bin Hasan, serta cara orang menetapkan hukum oleh Iraq.
Ia berpendapat tidak semuanya cara ini dapat digunakan, tetapi tidak juga ditinggalkan semuanya.
Cara menggunakan Qas adalah cara yang benar, tetapi menurut pandangan Syafi'i tidaklah demikian mutlaknya penggunaan itu, sehingga ketinggalan dibelakang, Hadis- Hadis yang sahid, sampai kepada hadis Ahad.
Juga dipelajarinya cara memisahkan hukum atau mengadakan persoalan baru dari pada usul, dianggapnya suatu cara yang baik, begitu juga yang terdapat pada mereka kebiasaan berjidal (berdebat), istiklal, (mengambil dalil lebih dahulu dengan keadilan dan kemuslahatan), menghubungkan ayat Mutasabih dengan Mutasabih, dan sesuatu usul yang berlainan dengan yang bersamaan, bermunajarah, menulisi adlil-dalil dalam persoalan, dilihatnya sesuatu yang baik.
Oleh karena itu ia mempersiapkan dirinya memasuki persoalan-persoalan itu, dan mengatasi kesukarankesukarannya, sehingga ia beroleh cara yang terindah dari cara yang dilihatnya di Iraq itu.
Kemudian bertambah lagi keistimewaannya dalam menggunakan bahasa, sastra, hadis dan ijma''-ahli Madinah dan cara ulama-ulama Hejaz dalam menetapkan hukum.
Daripada kedua pengalaman ini Syafi'i dapat menggunakan yang terbaik, sehingga dia banyak mengarang menurut Mazhab baru, yang pernah dikemukakan di Iraq pada tahun 195 H, dan diikuti oleh setengah sahabatnya dari Baghdad seperti Abu A l i Al-Husain bin Ali Al-Karabisi, salah seorang daripada ulama Iraq yang masyhur, yang banyak mengarang, meninggal pada tahun 256 H, dan seperti Abu Tsaur Al-Kalbi, yang di Baghdad sudah mulai bersahabat dengan Syafi'i serta belajar banyak padanya, pengarang dari sebuah kitab yang berisi persoalan-persoalan yang berbeda pendapat antara Malik dan Syafi'i, Al-Kalbi ini dalam karangan-karangannya condong sekali kepada tulisan-tulisan Syafi'i.
Lain dari pada itu juga pernah mengikut Syafi'i Abu Ali Az-Za'farani, yang banyak membaca kitab-kitab Syafi'i dan mengarang tentang Mazhabnya sebelum Syafi'i dating di mesir.
Tetapi sayang Syafi'i tidak jaya dengan Mazhabnya di Iraq, terdesak oleh cara berfikir Mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan akal, sehingga Mazhab Syafi'i itu kehilangan kedudukan dan kekuasaan.
Lalu berangkatlah ia ke Mesir, mencari daerah baru, dimana ia mengharapkan Mazhabnya akan tumbuh dengan subur. Di depan Az-Za'farani ia bersyair, yang terjemahnya kira-kira sebagai berikut :
Diriku hendak melayang ke Mesir,
Dari bumi miskin dan fakir,
Aku tak tahu hatiku berdesir,
Jayakah aku atau tersingkir.
Jayakah aku ataukah kalah,
Tak ada bagiku sesuatu gambaran,
Menang dengan pertolongan Allah,
Atau miskin masuk kuburan.
Demikian Imam Syafi'i bersya'ir, tatkala ia hendak melangkahkakinya ke Mesir.
Sya'ir Arab ini diriwayatkan oleh temannya Az-Za'farani, yang menjawab bahwa kedua-duanya yang tersebut dalam sya'ir itu dicapai oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, baik kekayaan yang menghilangkan kemiskinannya, maupun kejayaan yang membuat penganut mazhabnya ratusan kali lipat ganda dari pada yang terdapat didaerah Iraq dari Mu'tazilah itu.
Untuk mencegah perselisihan paham dan menyalurkan kepada kesatuan dasar hukum, Syafi'i segera menulis "Usul Fiqh", yang mengatur cara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumbersumbernya, sehingga dengan buku ini nama Asy-Syafi'i menjadi harum sekali diantara nama-nama Mujtahid dan Ahli Mazhab ketika itu.
Orang memperbandingkan jasanya dengan usaha Aristoteles dalam menciptakan Ilmu Mantik, atau dengan Khalil bin Ahmad dalam karya Ilmu 'Arudh.
Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dilarang oleh Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, tetapi, karya ini tidak tersiar luas dan tidak beroleh nama yang popuier seperti Usul Fiqh karangan Asy-Syafi'i, yang termuat juga garis-garis besarnya dalam kitab Al-Umm (baca Syi'ah, 299).
Karangannya hampir semua termuat dalam kitab Al-Umm, yang terutama mengenai ilmu Fiqh.
Syafi'i boleh kita anggap seorang yang termasuk mula-mula meletakkan dasar tentang pengetahuan Usul Fiqh.
Mazhab Syafi'i menurut jalan hukum dapat dikatakan kedudukannya antara paham Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, jadi antara pemeluk tradisionil dan rasionil dalam memahamkan Qur'an dan Hadis.
Pada masa ini yang paling banyak terdapat pemeluk Mazhab Syafi'I itu ialah di Mesir, Syria, beberapa bahagian tanah Arab dan seluluruh Indonesia.
Dahulu lebih luas lagi daerahnya, tetapi dalam waktu yang akhir ini banya terdesak oleh paham Mazhab Hanafi.
Terutama sesudah tahun 922 M. sangat cepat kelihatan kemajuan Mazhab ini di Mesir, di Iraq, Khorasan, Daghistan, Tauran, Syam, Yaman, diaderah-daerah sungai Saihun Jaihun, Persia, Hijaz, India, sebagian dari Afrika dan Spanyol.
Pada umumnya dewasa ini penduduk Mesir itu bermazhab Syafi'I Perimbangannya dapat kita lihat dalam Azhar yaitu Perguruan Islam Tinggi di Cairo didirikan dalam tahun 969 oleh Gubernur Jauhar.
Sejak tahun 1759 sampai tahun 1909 yang menjadi Syeikh Al-Azhar adalah ulama-ulama Syafi'i.
Setelah itu barulah diganti oleh seorang Hanafi, yaitu Syeikh Muhammad Al-Mahdil Aabbasi.
Selanjutnya tidaklah ada ketentuan yang khusus kepada sesuatu mazhab.
Tetapi jabatan Syeikh Al-Azhar itu belum pernah dipegang oleh Mazhab Hambali, karena Mazhab im sedikit sekali pemeluknya di Mesir.
Kemudian jabatan Syeikh Al-Azhar itu kembali lagi kepada Mazhab Syafi'i, yaitu sejak Mahaguru Muhammad Al-Ahmadi menjadi Syeikh ,,Al-Jami" Al-Azhar.
Yang mula-mula menyiarkan Mazhab Syafi'i dinegeri Damaskus ialah Abu Zur'ah Muhammad bin Usman (wafat 826 M) sehingga mazhab itu berpengaruh disana.
Yang terkenal juga namanya dalam mengembangkan aliran itu disana, ialah Muhammad bin Ismail Al-Qaffal Al-Kabir (wafat 987).
Demikianlah majunya mazhab ini di Baghdad disiarkan oleh Hasan bin Muhammad Al-Za'farani (wafat 860), sehingga hampir bersaingan dengan Hanafi.
Di Marw mazhab ini disiarkan oleh Ahmad bin Saiyar dan Hafiz Abdullah bin Muhammad.
Penyiar di Ghazna dan Khorasan ialah Wajihuddin Abul Fatah Al-Maruzini dan Abu Uwanah Ya'qub ibn Ishak An-Nisaburi (wafat 938) dan oleh pemeluk Syafi'i didirikan disana sebuah mesjid yang indah sekali yaitu pada tahun 1207. Dengan demikian tersebarlah mazhab ini di Timur.
Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon, Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan Iraq.
Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi'i.
Kitab-kitab Syafi'i itu banyak dan nanti akan dibicarakan pada waktu membicarakan kitab-kitab Mazhab Empat lebih lanjut.
Walaupun pokok-pokok fiqh menurut aliran, Syafi'i itu terutama terkumpul dalam kitab-kitab karangan Syafi'i sendiri, tetapi akhirakhirnya, kitab-kitab yang dikarangkan kemudian oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya juga telah mendapat pengaruh yang sekian besarnya dalam kalangan pemeluk Syafi'i, sehingga kitab-kitab yang terdahulu seakan-akan tidak dikenal orang lagi.
Sejak abad ke XVI kita dapati kitab-kitab yang semacam itu, seperti Kitab Tuhfah karangan Ibn Hajar (meninggal 1567), Kitab Nihayah, karangan Ar-Ramli (meninggal 1596), keduanya ditulis berupa uraian (syarh) dari kita Minhaj Ath-Thalibin, karangan An-Nawawi (meninggal 1277 M.).
Lebih lanjut baca Dr. Th. W. Juynboll, Handl tik v. de Moh, Wet (Leiden, 1930, hal. 173, aant. 14).