Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab0%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 12016
Download: 3106

Komentar:

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 12016 / Download: 3106
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM.

( I )

Jadi kita-kita, bahwa dalam pembinaan hukum Islam (tarikh tasyrï) untuk perkembangan Ilmu Fiqh penting sekali.

Sudah kita singgung, bahwa dasar hukum (adillatul akhkam) bagi Ahlus Sunnah itu, yang terpokok adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi untuk menyesuaikan dan memperluaskan dasar hokum ini, diperkenankan Ijtihad, yaitu bersungguh-sungguh memperluas dasar hukum itu dengan ijma' dan qiyas.

Bahkan selain apa yang tersebut mujtahid-mujtahid itu masing-masing mempunyai dasar berfikir sendiri, seperti Imam Abu Hanifah dengan istihsan, mengambil dasar hukum yang lebih baik untuk zamannya, Malik bin Anas muslahatul masdlah, yaitu mengistimewakan dalam sesuatu hukum kepentingan umum lebih dahulu, Imam Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal, lebih banyak, menggunakan istidlal, mengutamakan dalil dari Qur'an dan Sunnah, lebih suka dari pada qiyas, dan ada juga yang menggunakan istishabul hal, dalam keadaan ragu-ragu kembali kepada hukum asal, dan ada juga yang menggunakan zahir ayat, seperti yang banyak dilakukan oleh Imam Dawud Az-Zahiri, dan lain-lain.

Mengenai ijtihad dan taqlid, sudah panjang lebar saya kemukakan dalam filsafat perkembangan hukum dalam Islam, dalam seri perbandingan Mazhab, "Ahlus Sunnah wal Jama'ah". Ringkasannya saya ulang disini sebagai berikut.

Oleh karena hukum Islam itu adalah syari'at ketuhanan, yang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum yang sudah ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, yang hanya diterima untuk diamalkan, atau seperti ijma', qiyas dan istihsan, yang kemudian dipikirkan sebagaj dasar tambahan, adalah ijtihad itu suatu jalan untuk menetapkan hokum yang berkembang dalam masyarakat pergaulan manusia.

Ijtihad merupakan usaha yang berfaedah sekali dalam sejarah perkembangan hokum Islam.

Orang yang melakukan ijtihad, mujtahid, menetapkan sesuatu hukum dengan nash Qur'an dan Hadis apabila ia berhasil memperolehnya, juga menetapkan dengan pikirannya, ra'yi, apabila ia tidak mendapati nash itu.

Kadang-kadang ia memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara yang sudah terjadi, qiyas, memilih hukum yang lebih baik dan lebih cocok dengan masa dan tempat, istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu kemaslahatan, muslahatul mursalah.

Semua jalan-jalan yang ditempuh ini tidak sama, dan dengan demikian hasilnyapun berlain-lainan, sehingga terjadilah perbedaan pendapat dalam ijtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab terutama dalam zaman keemasan Abbasiyah, dalam zaman mana sebagai yang kita kenal lahirlah empat buah mazhab Ahli Sunnah, yang besar sekali kemajuannya dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.

Perbedaan paham dan kemerdekaan berpikir serta debat mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh.

Tetapi sayang kemajuan ini berakhir tatkala Baghdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam pertengahan abad ke-VII H. atau abad ke-XIII M, sesuatu penyerbuan yang kejam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudayaan Islam yang dibentuk berabad-abad.

Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa yang merugikan Islam, mungkin juga alasan karena lainnya, ulama-ulama Sunnah menyatakan pintu ijtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap cukup beramal dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh empat Mazhab besar, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'I dan Hambali, dalam urusan ibadat dan mu'amalat.

Banyak orang menyayangkan, bahwa dengan tertutup pintu ijtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan orang Islam, sehingga umat Islam itu menjadi beku dalam segala bidang dan segi kehidupan.

Dr. Sohibi Mahmassani termasuk seorang yang menyatakan kekecewaan tentang kebekuan itu.

Hal ini dijelaskan panjang lebar dalam kitabnya "Filsafatut Tasyri' Fil Islam" (Beirut 1952).

Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya banyak taqlid banyak bid'ah yang berdasarkan atas kebodohan dan syak-wasangka, dan tersiarlah khurafat bikin bikinan dari zaman kezaman, yang membuat Islam yang bertaqlid kepada perkara-perkara agama dalam ibadat, yang sudah diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.

Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran dari Barat, yang menyelidiki Islam pada waktu yang akhir, menetapkan bahwa Islam itu dalam syarat-syaratnya sudah mundur dan tidak dapat lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.

Kita ketahui demikian Mahmassani lebih lanjut, bahwa dalam abad ke-XIX lahirlah gerakan pada beberapa tempat, yang berikhtiar akan mempcrbaiki cara berfikir dalam kehidupan Islam itu.

Maka lahirlah yang dinamakan Mazhab Salaf dengan tujuan mempropagandakan untuk tidak berpegang kepada salah satu mazhab tertentu, begitu juga ia menyeru umat Islam untuk mempersatukan mazhab-mazhabnya dan kembali kepada pokok hukum Syari'at serta semangatnya yang sebesar-besarnya, agar umat Islam maju dalam peradabannya.

Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat umum dalam dunia Islam tidaklah ijtihad itu diperbolehkan bagi sembarang orang tetapi seorang mujtahid yang ingin menetapkan sesuatu hokum istinbath, atau menetapkan dalil-dalil bagi sesuatu kejadian, istidlal, harus mempunyai beberapa syarat, yaitu cerdas, berakal, adil, bersifat dengan sifat-sifat yang akhlak yang baik, alim dalam hukum dengan mengetahui alasan-alasan syara', mengetahui benar.

Tentang bahasa Arab, ahli dalam tafsir Qur'an, mengetahui sebab-sebab turunnya Qur'an mengetahui sejarah-sejarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dalam Hadis, mengetahui ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, sebagaimana yang telah dibicarakan oleh Asy-Syathibi dalam kitabnya ,,A1-Muwafaqat" IV : 106.

Syarat-syarat yang dkemukakan itu terutama bagi orang yang dinamakan mujtahid mutlak, yang ingin berijtihad dalam seluruh masalah fiqh, tidak diwajibkan bagi mujtahid macam lain mujtahid yang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah agama, cukup baginya sebagai syarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh yang empat itu dan mengetahui sungguh-sungguh akan perkara yang dihadapinya.

Mujtahid mutlak atau yang dinamakan juga mujtahid dalam hukum syara', adalah orang yang istimewa keahliannya dalam sesuatu mazhab atau jalan tertentu imam-imam dari mazhab empat.

Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti imamimam mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Zahiri, Ath-Thabari, Imam Ja'far As-Shadiq dan lain-lain.

Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang tidak menciptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnya menyalahi imam yang diikutinya dalam ijtihadnya mengenai beberapa perkara pokok atau cabang hukum Islam.

Sebagai contoh kita sebutkan Abu Yusup dan Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Syafi'i, yang keputusan-keputusan ijtihadnya tidak selalu sejalan dengan cara berfikir imam-imamnya.

Mujtahid mazhab ialah orang yang berijtihad dalam sesuatu masalah yang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok umum bagi sesuatu mazhab.

Misalnya Thahawi dan Zarkhasi dalam mazhab Hanafi Imam Ghazali dalam Mazhab Syafi'i, mereka berijtihad dan menetapkan hukum sesuatu masalah yang tidak menyalahi pokokpokok asal dari pada mazhab yang dianutnya.

Mujtahid muqayyid ialah orang yang mengikatkan sesuatu penetapan hukum dengan cara berpikir Salaf dan mengikuti ijtihad mereka, kemudian menyatakan hukum ini untuk diamalkan.

Dengan sendirinya mujtahid ini keluar dari pada cara berpikir mazhab yang ada, dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan yang dinamakan Ashab Takhrij, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat mazhab yang sudah diakui kekuasaannya, mengistimewakan pahampaham Salaf, menjelaskan perbedaan riwayat yang kuat dan dhaif, riwayat yang umum dan riwayat yang jarang tersua, dan dengan demikian menciptakan sesuatu hukum baru dalam sesuatu persoalan.

Sebagai contoh kita sebutkan Al-Karakhi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, yang dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam mazhabnya, lalu berpegang kepada cara-cara berpikir orang Salaf.

IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM.

(II)

Dalam Qur'an, Sunnah dan Ijma' Sahabat, begitu juga pendapat imam mazhab empat, terdapat banyak keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa ijtihad itu untuk orang-orang yang memenuhi syarat mujtahid wajib hukumnya, dan tak boleh ditinggalkan.

Demikian pendapat umum dalam dunia Islam.

Yang dijadikan alasan untuk mewajibkan itu diantara lain ialah ayat Qur'an yang berbunyi : „Gunakanlah pikiranmu, wahai orang yang mempunyai akal" (Al-Hasyar, 59), dan ayat Qur'an yang berbunyi : „Jika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnya" (An-Nisa, 59).

Dalam Sunnah terdapat keterangan yang lebih nyata, diantara lain sabda Nabi : „Berijtihadlah kamu, segala sesuatu yang dijadikan Tuhan mudah adanya" (Ahmadi, Al-Ahkam, IÏI : 170), sabdanya : „Apabila seorang hakim hendak menjatuhkan sesuatu hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata hukumnya itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternyata bahwa hukumnya banyak lagi Hadis-Hadis yang lain, yang menyuruh menuntut ilmu, yang menerangkan, bahwa ulama itu amanat, pelita bumi, pengganti Nabi-Nabi atau ahli waris Nabi Nabi, yang semuanya menganjurkan berfikir, mencari ilmu dan berijtihad.

Khalifah Abu Bakar pernah melakukan ijtihad mengenai perkara warisan kalalah dan Khalifah Umar bin Khattab-pun banyak kali berijtihad, sambil berkata : „Umar tidak tahu apakah ia mencapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan ijtihad" (Ahmadi dan Imam Al-Ghazali).

Menurut Ibn Qayyim, Abu Hanifah dan Abu Yusuf pernah berkata : „Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan perkataan kami, hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu".

Mu'in bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : „Aku ini hanya seorang manusia, dapat berbuat salah dan dapat berbuat yang benar.

Lihatlah kepada pendapatku, jika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, gunakanlah pendapat itu, tetapi jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalkanlah pendapat itu".

Imam Syafi'i pernah berkata : „Meskipun aku sudah menyatakan pikiranku, tetapi jika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka yang benar adalah ucapan Nabi, dan janganlah engkau bertaqlid kepadaku.

Apabila ada sebuah Hadis yang menyalahi perkataanku dan Hadis itu sah, ikutilah Hadis itu, ketahuilah bahwa itulah mazhabku".

Juga Imam Malik bin Anas, seorang Imam yang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin menghindari dirinya dari menggunakan pikiran.

Berkata kepada muridnya : „Jangan kamu bertaqlid kepadaku, jangan kepada Malik, jangan kepada Syafi'i dan jangan pula kepada Abu Tsauri, ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka mengambil pikiran itu".

Dari semua uraian diatas ternyata bahwa taqlid buta, taqlidul a'ma, dalam agama dilarang, dan bahwa berijtihad itu wajib hukumnya bagi orang alim yang berkuasa.

Uraian itu menunjukkan juga. Bahwa seorang mujtahid mungkin mengalami salah dan benar.

Mereka berpikir secara merdeka.

Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, yang berkata

bahwa tiap-tiap mujtahid yang menggunakan akalnya pasti benar, dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa yang tidak sanggup diperbuatnya.

Tentu hal ini tidak diperkenankan pada syara' dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : „Tuhan Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sekuasanya" (Al- Baqarah, 268).

Disamping wajib berijtihad dan haram taqlid ada satu perkara yang harus diperhatikan, yaitu bahwa seorang mujtahid atau qadi tidak terikat kepada keputusan ijtihadnya dimasa yang telah lampau, apabila keputusan itu ternyata kurang benar.

Dalam hal ini Umar ibn Khattab pernah memperingatkan dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari sebagai berikut : „Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah engkau memeriksa kembali keputusan ijtihad dalam sesuatu hukum.

Mudah-mudahan engkau beroleh petunjuk dan engkau pulang kepada yang berhak, karena hak itu asli (qadim), tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada yang hak lebih baik dari pada berpegang kepada yang bathil". (Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaniyah, dan lain-lain).

Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hujjah yang diwajibkan tidak diperkenankan bagi orang yang berkuasa berijtihad, Taqlid hanya dibolehkan kepada orang yang tidak sanggup berijtihad, yaitu orang awam, orang yang belum mengetahui apa-apa, murid yang belum dapat berijtihad.

Bagi mereka berlaku hukum; fatwa untuk orang jahir sama kekuatannya dengan ijtihad bagi mujtahid, atau fatwa mujtahid untuk orang awam sama dengan dalil syara' bagi orang mujtahid.

Pendapat ini masuk diakal, karena hidup bermasyarakat social dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinya ahli dalam hokum fiqh dan usul.

Orang yang semacam itu dibolehkan mengikuti perkataan mujtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : „Tanyalah kepada orang alim jika kamu sendiri tidak mengetahui!" (An- Nahal, 43).

Demikian perkembangan cara berfikir dalam dunia ulama ahli Sunnah.

Sekarang mari kita tinjau pendirian golongan Syi'ah, yang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu, kecuali mengenai ijtihad yang boleh Syi'ah dianggap tetap terbuka selamalamanya.

Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian ulama Ahlus Sunnah.

Tentang mengubah sesuatu ijtihad, sebagaimana pendapat Umar bin Khattab, tidak saja terjadi dalam golongan Ahli Sunnah.

Ingat akan mazhab Syafi'i, yang mempunyai dua aliran berfikir, yang biasa dikenal dengan Qaul Qadim masa Baghdad, dan Qaul Jadid masa Mesir.

Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan ijtihad dalam Mazhab Syi'ah Isna Asyar Imamiyyah lebih luas dari Ahli Sunnah.

Pada mereka pintu ijtihad itu selamanya terbuka sampai zaman sekarang ini.

Mereka melekatkan penghargaan kepada ijtihad lebih tinggi dari Ijma' dan Qiyas.

Imam pada mereka berkedudukan sebagai kepala mujtahid, sayyidul mujtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama.

Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan, berlainan sekali dengan kedudukan seorang khalifah dalam kalangan Ahli Sunnah (Filsafat dan seterusnya, hal. 144).

Tentu saja Imam itu boleh berijtihad dalam hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu yang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah.

IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM.

(III)

Menurut Syi'ah tiap-tiap orang Islam yang mukallaf diwajibkan mengerjakan segala hukum Islam yang dipikulkan kepadanya dengan yakin, dan yakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah satu jalan ijtihad, taqlid dan ihtiyath.

Pengertian ketiga macam jalan ini dijelaskan dalam kitab-kitab Syi'ah sebagai berikut.

Ijtihad

Ijtihad yaitu menetapkan hukum syara' dengan syaratnya yang sudah ditetapkan.

Taqlid

Taqlid yaitu berpegang kepada fatwa seorang mujtahid dalam mengerjakan segala amal ibadat.

Ihtiyath

Ihtiyath yaitu beramal dengan sesuatu cara yang yakin dari kebiasaan yang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara yang sebenarnya.

Bagi orang-orang Syi'ah berijtihad itu wajib kifayah dan apabila ada segolongan manusia mengerjakan pekerjaan ini, terbebaslah manusia yang lain dari pada kewajiban itu.

Tetapi apa bila tidak ada yang sanggup melakukan ijtihad itu, maka seluruh masyarakat Islam berdosa kepada Tuhan.

Orang yang sanggup melakukan ijtihad dinamakan mujtahid, yaitu ada dua macam, pertama mujtahid mutlak dan kedua mujtahid muttajiz.

Mujtahid Mutlak

Yang dinamakan mujtahid mutlak ialah orang Islam yang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh.

Mujtahid Muttajiz

Sedang mujtahid-muttajiz ialah orang yang berkuasa, menetapkan sesuatu hukum syara' dalam beberapa hukum furu' fiqh.

Seorang mujtahid mutlak diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya.

Ia boleh juga beramal secara ihtiyath. Mujtahid muttajiz juga diwajibkan beramal dengan hasil ijtihadnya jika ia mungkin dalam menciptakan bukan furu'.

Tetapi jika ia tidak mungkin maka ia dihukum bukan mujahid, dan boleh ia memilih salah satu jalan antara taqlid dan beramal dengan ihtiyath.

Keadaan ini hampir bersamaan dengan pendirian Ahli Sunnah.

Dalam dunia hukum Ahli Sunnah dikenal : Mujtahid Muttah, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Fatwa dan Mujtahid Tarjih.

Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti cara berfikir seseorang mujtahid karena tidak sanggup berijtihad sendiri.

Amal seorang awam yang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtiyath dianggap batal.

Orang yang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbagi atas dua bahagian, pertama awam semata-mata, yaitu seseorang yang tidak mengenai sama sekali hukum syara'.

Kedua muqallid berilmu yaitu seorang yang mempunyai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnya, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan ijtihadnya.

Dalam bertaqlid disyaratkan dua perkara sebagai berikut :

Pertama amalnya sesuai dengan fatwa mujtahid yang diikutinya dalam beraqlid.

Kedua benar qasad ibadatnya untuk berbakti kepada Tuhan dengan secara yang diputuskan mujtahid itu.

Seorang muqallid dapat mencapai fatwa yang diikutinya dengan salah satu dari pada tiga jalan :

Pertama ia mendengar langsung hokum sesuatu masalah pada mujtahid itu sendiri.

Kedua bahwa ada dua orang yang adil dan dapat dipercayai menyampaikan fatwa mujtahid itu kepadanya, boleh juga hanya oleh seorang saja yang dipercayainya sungguh-sungguh dan dapat menerangkan keyakinannya, ketiga ia membaca sebaran tertulis, dimana diuraikan mujtahid itu dan keputusan itu hendaknya dapat menenteramkan jiwanya tentang sahnya dan benarnya penetapan hukum tersebut.

Apabila seorang mujtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinya melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid yang sesuai dengan mujtahid yang wafat itu sah menurut Syi'ah.

Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara yang berlainan, asal yang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan yang dapat dianggap uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengucapkan tasbih, yang fatwanya berbeda antara mujtahid yang sudah mati dengan mujtahid yang dibelakangnya, yang berlaku fatwanya dalam masa itu.

Jadi berlainan jumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mujtahid tidak merusakkan sahnya sembahyang seorang muqallid dalam mazhab Syi'ah.

Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mujtahid yang lebih alim dari yang lain.

Jika ia mendengar ucapan dua yang berlainan dari dua orang mujtahid, dan orang tunjukkan kepadanya, bahwa mujtahid yang seorang itu lebih alim dari yang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mujtahid yang alim itu.

Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mujtahid yang diikutinya itu mati sebelum sampai umurnya, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanya dengan tidak usah memilih mujtahid yang lebih alim.

Orang-orang yang dibolehkan bertaqlid kepadanya, harus mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang yang teguh imannya (dalam hal ini dimaksudkan Syi'ah penganut-penganut Mazhab Isna Asyariyah), adil, bersih keturunannya, ahli agama, mempunyai kekuatan ihtiyath dan masih hidup.

Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnya kepada mujtahid yang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnya adalah seorang mujtahid yang lebih adil dari yang lain.

Dalam Mazhab Ahlus Sunnah hal ini diperbolehkan.

Dalam memilih mujtahid yang lebih alim ditentukan dua buah syarat.

Jika ada seorang mujtahid mengajarkan perselisihan pendapat dalam fatwanya, baik secara besar atau secara perinci, seorang muqallid wajib memilih mujtahid yang lebih alim.

Jika seorang mujtahid memberikan fatwa tidak mengajarkan perselisihan paham sama sekali, kepadanya dibolehkan taqlid dengan tidak usah mencari orang lain yang lebih alim.

Jika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mujtahid yang sanggup memberikan fatwa itu kepadanya, meskipun ada disampingnya mujtahid lain yang lebih alim.

Ihtiyath artinya boleh mengerjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu yang tidak diketahui caranya, tetapi diyakini dalam melepaskannya dari suatu perintah agama.

Yang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum yang diragu-ragui antara wajib dan tidak haram, mazhab Syi'ah dalam keadaan yang demikian memerintah kan mengerjakannya.

Mengenai macam kedua, jika diragu-ragui antara perintah dan tidak wajib, ihtiyath dalam hal ini' menghendaki agar pekerjaan yang demikian itu ditinggalkan dan jangan dikerjakan.

Dalam perkara yang ketika misalnya mengenai suatu hukum yang diragu-ragui wajibnya mengenai dua macam ibadat, seperti pertanyaan, apakah sembahyang dilakukannya harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtiyath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali secara qasar dan sekali secara tamam atau lengkap.

Mungkin terjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan cara ihtiyath semacam itu, misalnya karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar.

Ihtiyath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh macam itu.

Jika orang awam itu mempunyai air yang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannya ihtiyath, yaitu berwudhu' atau mandi dengan itu.

Boleh juga ia tayammum jika ia mungkin melakukan pekerjaan ini.

Demikian beberapa contoh yang kita ambil dari kitab Syi'ah sendiri, yaitu kitab „Al-Masa'il Al-Muntakhabah" (Nejef, 1382 H), karangan seorang ulama Syi'ah terkenal Sayyid Abdil Qasim Al-Khu'i.

IV

FIQH MENURUT LIMA MAZHAB

T H A H A R A H

B E R S U C I .

Bersuci itu (At-thaharah) pada istilah fiqh mengangkat hadas besar dan kecil pada badan manusia, menghilangkan najis, yaitu najis yang berupa benda, seperti darah, kencing dan tahi, dan najis maknawi, yang menyebabkan manusia belum boleh melakukan sembahyang, yaitu, melakukan wudu', mandi junub atau tayammum.

Bersuci dari hadas itu tidak berhasil, jika tidak dengan niat beribadah dan ta'at kepada perintah Tuhan.

Melakukan bersuci terhadap pergelangan tangan, pakaian dan barang-barang, seperti bejana dari pada najis, cukup dengan melakukannya, tidak usah berniat.

Dasar wajib bersuci ini adalah dari firman Tuhan, yang menyuruh menggunakan air atau tayammum.

Tuhan Allah berkata : „Ia menurunkan air dari langit, agar kamu dapat menggunakannya untuk bersuci" (Al-Anfal).

Dan firmannya : "Kami turunkan dari langit air yang suci" (Al-Furqan : 48).

Yang dikatakan suci itu adalah air yang suci dan dapat menyucikan yang lain.

Air yang demikian itu terbagi atas dua bahagian :

Air mutlak

Air mutlak Yang dinamakan air mutlak ialah air yang tetap menurut sifatnya, sebagaimana air itu turun dari langit, atau terpancar dari gunung, sehingga namanya menurut sifatnya tetap disebut air.

Kedalam golongan ini termasuk air hujan, air laut, air kali, air sumur dan semua air yang terpancar dari gunung, begitu juga air embun dan salju.

Air mutlak ini tetap bernama demikian, meskipun ia berubah rupanya karena tanah, karena lumpur, karena lama tergenang, karena bercampur dengan daun-daun kayu atau garam, atau barang-barang tambangan dan sebagainya yang suci pada asalnya.

Air mutlak itu suci dirinya dan membuat barang lain jadi suci pula.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa bertayammum itu lebih baik dari pada menggunakan air laut.

Tetapi Nabi pernah menyangkal dengan berkata : "Barang siapa yang tidak bersuci dengan air laut, maka ia tidak dianggap Tuhan sudah bersuci".

Air Mustamal.

Air yang pernah digunakan membersihkan najis dari badan atau pakaian atau barang perabotan dari air mutlak, kemudian air itu berpisah dengan barang yang dibersihkan itu, dinamakan air mustakmal, jadi najis pula, kalau air itu sedikit, baik berubah atau tidak dan air itu tidak dapat mensucikan najis atau mengangkat sesuatu hadas kembali.

Air yang mustakmal karena wudu' atau mandi sunat, seperti mandi taubat dan mandi Jum'at, adalah suci dan mensucikan bagi hadas dan najis, boleh dipakai untuk mandi junub, berwudu' atau menghilangkan najis.

Adapun air yang mustakmal karena mandi wajib, seperti mandi junub dan haid, bukan saja, Mazhab al-Ja'fari, tetapi semua ulamanya sepakat bahwa air itu dapat menghilangkan najis, cuma berselisih faham dalam mengangkat hadas, setengahnya membolehkan setengahnya tidak.

Sesudah membersihkan najis dan menceburkan diri kedalam air mutlak yang sedikit, air itu menjadi mustakmal tetapi dapat mengangkatkan hadas besar lagi dan tidak usah kembali mandi.

Air Dua Qullah.

Air dua qullah tidak najis. Hadis menerangkan; "Apabila air sampai dua qullah tidak dapat bemajis.

" Dua qullah itu, yang dinamakan kurs, sama dengan 1200 kg Irak.

Air yang mengalir sama dengan air banyak, meskipun alirannya itu sedikit.

Air hujan yang turun dari langit sama dengan air yang terpancar dari mata air.

PENGERTIAN NAJIS.

Termasuk najis adalah anjing.

Barang-barang yang dijilat anjing, dicuci tujuh kali, sekali dengan tanah.

Babi sama dengan anjing.

Barang-barang yang dijilatnya dicuci tujuh kali dengan air.

Bangkai selain mayat manusia, jika berdarah mengalir, najis.

Semua darah najis, kecuali darah manusia yang mati sahid, darah ikan, darah lalat.

Menurut Mazhab Imamiyyah semua darah binatang yang mengalir najis.

Imamiyyah menghubungkan mani itu najis, sedang nanah tidak najis.

Kencing manusia najis Sisa minuman burung yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan suci.

Minuman yang memabukkan najis (yang cair).

Muntah tidak najis.

Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis.

Sisa air yang diminum oleh binatang yang najis, seperti anjing dan babi najis, dan sisa air yang diminum oleh binatang yang suci tidak najis.

Membuang air kecil atau besar haram menghadap Qiblat atau membelakanginya, baik didalam kamar atau ditempat yang terbuka.

BERWUDHU' DAN HILANG WUDHU'.

Hilang wudhu' karena buang air besar, buang air kecil dan keluar kentut, tetapi tidak hilang wudhu' karena keluar mazi dan wadi.

Selain dari pada itu hilang wudhu' karena mabuk, gila atau pitam, dan tidur apabila nyenyak tidak dapat mendengar atau melihat sesuatu.

Keluar mani mewajibkan mandi, tidak mewajibkan wudhu'.

Muntah tidak menggugurkan wudhu', begitu juga keluar darah atau nanah.

Tertawa berbahak-bahak dalam sembahyang membatalkan sembahyang, tetapi tidak membatalkan wudhu.

Wanita yang berhaid, wajib wudhu.

Sembahyang fardhu dan Sunnat wajib dengan berwudhu.

Sembahyang jenazah tidak mewajibkan wudhu, tetapi sunnat, karena sembahyang ini hanya merupakan do'a saja.

Tawaff mewajibkan wudhu sama dengan sembahyang.

Sujud tilawat tidak mewajibkan wudhu, tetapi

sunnat.

Haram menyentuh Al-Qur'an dengan tidak berwudhu atau tidak berlapis kain, begitu juga kulitnya, tetapi tidak haram membacanya, menulis atau membawa Al-Qur'an, yang tertulis tidak dengan huruf Arab.

Untuk berwudhu diwajibkan niat, mencuci muka, mencuci dua tangan dengan mendahului kanan dari yang kiri, mewajibkan menyapu kepala dengan air, meskipun sebahagian, tidak cukup dengan menyapu kepala atau surban karena Allah berkata : "Sapulah (dengan air) kepala kamu" dan surban itu bukan kepala.

Kemudian mencuci atau menyapu dua belah kaki sampai kemata kaki.

Tertib dan mualad beriring-iring dan bersambungan antara satu pekerjaan wudhu dengan yang lain wajib.

Sebagai syarat wudhu hendaklah bahwa air, tempat berwudhu, cerek semuanya itu tidak boleh dari pada barang rampasan, jika barang rampasan wudhunya batal.

Yang sunnat bagi wudhu banyak sekali, yaitu diantaranya mencuci pergelangan tangan, berkumur, mencuci hidung, bersikat gigi, duduk berwudhu menghadap qiblat, berdo'a dengan do'a yang maksyur, mencuci seluruh muka, kedua belah tangan dua atau tiga kali, mencuci yang pertama wajib, yang kedua sunnat, dan yang ketiga bit'ah.

Apabila seorang yang menunggu syak dalam mencuci salah satu anggotanya atau menyapu kepalanya, jika syak itu ditengah wudhu, kembali balik sebagai semula, jika syak itu sesudah wudhu dan sudah meninggalkan tempat sembahyang, tidak mengulang lagi.

MANDI WAJIB.

Mandi wajib itu ialah pada waktu junub, haid, nifas dan memandikan orang mati.

Semuanya wajib menurut mazhab Islam.

Imamiyyah mengatakan bahwa seorang kafir yang junub masuk Islam wajib mandi untuk junub, bukan untuk Islam.

Orang yang berjunub tidak boleh melakukan sembahyang.

Junub itu terjadi, apabila keluar mani, baik karena setubuh, baik dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat.

Kewajiban itu dipikulkan kepada orang Islam yang sudah balig dan sesudah mukalaf.

Atau yang belum balig, kepada laki-laki atau kepada perempuan, baik berlapis ataupun tidak berlapis kemaluannya, baik terpaksa atau sukarela, baik yang disetubuhi itu perempuan yang hidup atau mayat yang mati, baik binatang atau manusia.

Kewajiban mandi itu tidak boleh dilambatkan, orang yang berjunub tidak boleh lewat dalam salah satu masjid, tidak boleh membaca empat surat dalam Qur'an, yaitu surat Iqra', Wan-Nadni, Hamim Sajjadah.

Alif Lam Mim Tanjil, dan dibolehkan membaca yang lain, tetapi makruh membaca lebih dari pada 7 ayat Qur'an.

Tidak syah puasa, apabila seseorang berjunub sampai siang, sengaja apa lupa, apabila ketiduran tidak apa-apa puasanya.

Yang diwajibkan pada mandi junub adalah apa yang diwajibkan pada wudhu, baik tentang air, tentang bersuci, tentang suci badan maupun tentang melekat sesuatu pada badan yang tidak menyampaikan air.

Imamiyyah membagi junub itu atas dua bahagian, yaitu tertib dan Ihtimas.

Yang dinamakan tertib yaitu menyirami seluruh badan dengan air, dimulai dengan kepala, kemudian kanan, kemudian kiri, kalau dibalik nanti itu batal.

Ihtimas yaitu memasukkan badan seluruhnya kedalam air sekaligus, jangan ada sebahagianpun diluar air. Dengan demikian suci.

URUSAN HAID.

Yang dinamakan haid dalam Ilmu Fiqh ialah keluar darah yang tetap pada wanita pada hari-hari tertentu, dan dengan demikian mereka harus meninggalkan Ibadah.

Sekurang-kurang masa haid ditetapkan tiga hari, dan sebanyak-banyaknya sepuluh hari, yang berlainan dengan itu bukan haid.

Diharamkan atas wanita yang berhaid apa-apa yang diharamkan atas orang berjunub, seperti menyentuh Al-Qur'an, tinggal dalam Masjid, tidak diterima puasa dan Sembahyang pada hari haid, tetapi harus dikadha' puasanya dan tidak sembahyangnya.

Diharamkan mentalak wanita dalam masa haid, meskipun Talak itu syah pada mazhab fiqh yang lain, tetapi batal talak pada Imamiyyah.

Kalau seseorang setubuh dengan isterinya yang sedang haid, ia harus membayar kifayah satu dinar.

Istihadhah yaitu keluar darah pada perempuan lain pada waktu haid.

Imamiyyah membagi atas 3 bahagian;

Pertama Istihadhah kecil, yaitu keluar darah sedikit sekedar basah kapas, boleh sembahyang dengan berwudhu dan menggantikan kapasnya, tidak boleh dua kali Sembahyang dengan satu wudhu. Istihadhah.

Kedua Istihadhah menengah, yaitu apabila darahnya mengalir dan kapasnya basah semua, harus saban hari mandi satu kali, menggantikan kapas dan berwudhu tiap-tiap Sembahyang.

Ketiga Istihadhah besar, berdarah banyak dan kapas basah sama sekali harus mandi tiga kali dalam sehari dan berwudhu tiap mengganti kapas.

PERDARAHAN NIPAS.

Darah nifas yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan, karena melahirkan anak, baik bersama-sama dengan keluar anak atau sesudahnya, bukan sebelumnya.

Hukum mandinya sama dengan pada haid, tidak syah Sembahyang dan puasa, wajib kadha puasa, tidak diperkenankan bersetubuh dalam masa itu, tidak diperkenankan menyentuh kitab Al-Qur'an, tidak diperkenankan tinggal atau lewat mesjid, tidak boleh melakukan Talak.

Cara melakukan mandi seperti mandi haid.

MANDI MAYAT.

Wajib mandi karena menyentuh mayat yang sudah dingin badannya dan yang belum dimandikan menurut syariat Islam.

Apabila menyentuh mayat sebelum dingin atau baru mati, atau sesudah sempurna dimandikan, tidak apa-apa.

Kewajiban mandi karena menyentuh mayat itu tetap, baik mayat itu seorang Islam atau bukan seorang Islam, baik mayat itu besar atau kecil, meskipun anak keguguran yang sudah empat bulan, baik tersentuh karena terpaksa atau disengaja, baik mayat itu disentuh secara suka rela.

Wajib juga mandi orang yang menyentuh mayat itu gila sesudah ia baik kembali, begitu juga jika yang menyentuh itu anak kecil sebelum balig.

Bahkan Imamiyyah mewajibkan mandi karena memegang sepotong kain orang mati, menyentuh sepotong tulang, menyentuh sepotong tangan yang sudah terpisah daripada orang yang hidup atau sepotong didi, sepotong daging dan sebaginya.

Imamiyyah menganggap wajib mandi karena menyentuh mayat itu sebagai hukum hadas kecil, dengan segala akibatnya mengerjakan sesuatu amal yang wajib berwudhu, tidak yang mewajibkan mandi sebagai mandi junub, oleh karena itu orang yang menyentuh mayat boleh masuk masjid dan tinggal didalamnya atau membaca Al-Qur'an.

Mandi karena menyentuh mayat sama keadaannya dengan mandi junub.

Mayat Yang Dimandikan.

Mayat diletakkan terlentang, dengan telapak kakinya kearah Qiblat, sehingga jika dia duduk menghadap Qiblat.

Mengarahi mayat itu ke Qiblat adalah sunnat. Setengah 'ulama Imamiyyah menerangkan hal itu wajib kifayah, seperti mandi dan mengafani.

Dalam kitab "Mazahibul Faqih", yang ditulis menurut Mazhab Imamiyyah, diterangkan, bahwa "wajib menghadapkan mayat ke Qiblat, baik mayat seorang dewasa ataupun anak-anak".

Sepakat semua ulama, bahwa orang mati sahid, yaitu orang yang mati dalam peperangan memerangi kafir, tidak dimandikan, begitu juga orang yang bukan Islam tidak harus dimandikan sama dengan anak keguguran yang belum empat bulan, kalau sudah sampai empat bulan wajib dimandikan.

Mengenai mayat yang terbakar atau dimakan binatang, Imamiyyah melihat, bahwa jika potongan yang terdapat yaitu dada dengan isinya, hukumnya seperti hukum mayat yang lengkap, yaitu wajib memandikan, wajib mengafani dan wajib menyembayangi.

Jika bukan dada, misalnya sepotong tulang, cukup dengan mencuci dan membungkus dengan sepotong kain, kemudian dikuburkan, jika bukan tulang, cukup dengan dibungkus dan dikuburkan dengan tidak dicuci.

Orang Yang Memandikan Mayat.

Jika mayat laki-laki hendaklah dimandikan oleh laki-laki , dan jika mayat itu seorang wanita hendaklah dimandikan oleh wanita.

Imamiyyah membolehkan seorang suami memandikan isterinya atau isteri memandikan suaminya, yang hukumnya berlainan dengan Mazhab Hanafi.

Seorang perempuan boleh memandikan anak kecil selama belum berumur tiga tahun, begitu juga seorang laki-laki boleh memandikan anak perempuan sebelum umurnya sekian.

Kaifiyat Memandikan.

Mayat itu dimandikan tiga kali.

Kali yang pertama airnya dicampur dengan daun sadar kali yang kedua dicampur dengan sedikit kamper, dan kali yang ketiga dengan air yang bersih.

Memandikan itu dimulai dengan menyiram air mulai dari kepala, kemudian sebelah kanan kemudian sebelah kiri.

Disaratkan syah mandi mayat dengan niat oleh orang yang memandikan, mencurahkan air, dan mengikhtiarkan kesuciannya, membuang najis yang ada pada badan mayat, tidak ada sesuatupun yang dapat mendindingi antara badan mayat dengan air.

Makruh memandikan mayat dengan air panas.

Mayat yang dimandikan dalam masa Haji tidak ditaroh kamper, sebagaimana tidak diberi berwangi-wangian.

Apabila mandi mayat tidak dapat dilakukan karena tidak ada air atau mayat itu sudah terbakar atau karena penyakit badannya itu hancur, boleh diberikan tayammum seperti tayammum orang hidup.

Imamiyyah menegaskan bahwa tayammum itu wajib dilakukan tiga kali, yang pertama ganti mandi dengan air sadar, yang kedua ganti mandi dengan air kamper dan ketiga ganti mandi dengan air yang bersih.

Kemudian memberikan kamper pada mukanya dan pergelangan tangan dan kakinya.

Mengafani mayat itu wajib, yang wajib dalam selembar kain dan yang sunnat tiga kain itu.

Imamiyyah mewajibkan tiga lapis dan bukan sunnat.

Dimulai dengan selendang, kain pinggang, baju dan selendang yang menutupi seluruh badan.

Umumnya dalam mengafani itu disaratkan dapat menutupi seluruh badan sebagaimana pada waktu Sembahyang, kain kafan jangan dari sutera atau dari binatang yang dimakan dagingnya, atau dari sulaman emas buat laki-laki dan wanita.

Ongkos mengafani mayat wanita dipikul oleh suaminya, jika ada, jika tidak punya suaminya itu tidak diwajibkan, karena perlengkapan mayat itu dapat diambil dari harta peninggalan, dari piutang, dari wasiat, dan dari harta pusaka dan dari umum.

Kafan yang wajib itu saja yang dimestikan.

Umumnya apabila mayat tidak meninggalkan sesuatu untuk mengafaninya, maka ongkos kafannya itu dipikul oleh orang Islam yang duduk disekitarnya, atau dari Baitalmal, atau dari zakat atau dari orang-orang Islam yang berpuasa.

Imamiyyah menerangkan : Barang siapa meninggal tidak meninggalkan uang atau harta benda atau orang yang dapat menyelenggarakan hal itu daripada keluarganya, tidak ada orang yang diwajibkan musti mengafaninya, karena yang diwajibkan itu ialah beramal menyelenggarakan mayat itu, termasuk menguburkannya, bukan diwajibkan mengeluarkan duit, sedang mengeluarkan belanja untuk mengafani orang yang miskin itu termasuk sunat dalam ikhsan, dan kalau tidak ada orang yang berbuat baik, boleh mayat itu dikuburkan telanjang bulat.

Menyembahyangkan (Shalat Jenazah).

SHALAT ORANG MATI SAHID.

Semua mazhab setuju bahwa Sembahyang untuk mayat itu wajib kepada semua orang Islam dan semua anak pinaknya, dengan tidak memperhatikan mazhab apa dan perkumpulan apa, karena Sembahyang itu tidak syah kecuali sesudah mayat itu dimandikan dan dikafani.

Adapun orang yang mati sahid tidak dimandikan dan tidak dikafani, tetapi dikuburkan dalam pakaian yang dipakainya.

Imamiyyah, sebagaimana Mazhab Hanafi, mewajibkan Sembahyang atas mayat mati sahid, sebagaimana mayat-mayat yang lain.

Sembahyang mayat untuk anak-anak tidak diwajibkan sembahyang untuk anak-anak Islam, kecuali sesudah balig dan sesudah berumur 6 tahun.

Dan Sembahyang untuk anak dibawah umur demikian adalah mustahad.

Salat Ghaib.

Tidak ada Shalat Ghaib pada waktu mayat belum dikuburkan.

Izin Wali Mayat.

Imamiyyah mengatakan, bahwah semua kewajiban yang ada sangkut pautnya dengan penyelenggaraan mayat baru syah apabila ada izin daripada mayat yang meninggal, baik dalam memandikannya, dalam mengafaninya, dalam memberikan pakaian mati, dan Sembahyang.

Barang siapa mengerjakan demikian itu dengan tidak ada izin dari wali mayat, batallah amalnya dan wajib semua penyelenggaraan mayat itu diulang kembali.

Adapun wali itu boleh turut dalam penyelenggaraan mayat, atau ia mengizinkan kepada orang lain.

Dalam mayat itu diulang kembali.

Adapun wali itu boleh ia turut dalam penyelenggaraan mayat, atau ia mengizinkan kepada orang lain.

Dalam menetapkan wali ini yang paling utama ialah suami terhadap isteri yang meninggal, dan wali-wali selain suami adalah kemudian daripada itu, sebagaimana tersebut dalam tertib pembahagian pusaka, yaitu tingkat pertama ayah dan anak lebih dahulu dari tingkat kedua saudara dan nenek, yang lebih dulu dari tingkat kedua dan ketiga yaitu paman dari pihak ayah dan paman dari pihak ibu.

Bapak adalah yang paling utama.

Apabila ada satu mayat tidak diketahui, apakah ia seorang Islam atau bukan orang Islam, jika mayat itu didapat dalam kampung orang Islam, maka dia dihukum sebagai seorang muslim, jika terdapat dalam kampung bukan Islam, tidak ada kewajiban apa-apa.

Apabila orang-orang Islam yang mati ini bercampur aduk mayatnya dengan orang yang bukan Islam, dan sukar membedakannya, dilakukan Sembahyang atas mayat dengan niat orang Islam.

KAIFIAT SHALAT JENAZAH.

Adapun tentang cara melakukan Sembahyang jenazah atau Sembahyang mayat, diterangkan sebagai berikut.

Mayat diletakkan atas belakangnya dalam kurung batang, orang yang menyembahyangkannya berdiri dibelakangnya tidak jauh dari pada mayat itu sambil mengucapkan 2 kalimat sahadat, sesudah takbir kedua mengucapkan antara orang yang Sembahyang dengan mayat, orang yang Sembahyang berdiri kecuali kalau ada uzur syara', kemudian berniat Sembahyang mayat dengan mengucapkan takbir 4 kali, sekali demi sekali berturut-turut ini umumnya semua mazhab.

Mazhab Imamiyyah mewajibkan 5 takbir sama dengan bilangan 5 kali ferdhu Sembahyang fardhu sehari, sesudah takbir pertama mengucapkan 2 kalimat sahadad, Sesudah takbir kedua mengucapkan salawat kepada Nabi, sesudah takbir yang ketiga mengucapkan do'a bagi orang mukmin peria dan wanita, dan sesudah takbir yang keempat do'a bagi mayat, bagi kedua ayahnya apa bila mayat itu kanak2, dan sesudah takbir kelima tidak ada bacaan sesuatupun.

Mengangkat kedua belah tangan pada waktu mengucapkan takbir adalah mustahab.

Umumnya mazhab mengemukakan sebagai syarat syah Sembahyang jenazah adalah bersuci (berwudhu) dan menutup aurat yang sempurna seperti pada Sembahyang 5 waktu.

Tetapi Mazhab Imamiyyah tidak mewajibkan wudhu dan tutup aurat yang penuh untuk syah Sembahyang jenazah, tetapi menghubungkannya bukanlah Sembahyang, saja.

Baik Imam Ja'far as-Sadiq, maupun Nabi, melakukan 5 takbir atas Sembahyang mayat umum orang Islam, dan melarang bertakbir Sembahyang sebanyak itu terhadap mayat orang munafik.

Sembahyang mayat dalam Mesjid hukumnya mubah, jika tidak mengotorkan Mesjid.

Dan Shalat zenajah itu dapat dilakukan pada Sembarang waktu.

Dilarang meletakkan mayat diatas muka bumi dan kemudian ditimbun dengan tanah.

Mayat harus dikuburkan dalam tanah, terletak diatas lambung kanan menghadap Qiblat, kepalanya kesebelah Barat dan kakinya sebelah Timur.

Mayat seorang perempuan diturunkan kedalam kuburan oleh suaminya atau oleh salah seorang mahrimnya, jika tidak ada orang yang demikian, oleh orang saleh yang terdekat dengan familinya. "

Orang yang mati dalam kapal ditengah lautan, jauh dengan daratan sesudah dimandikan dikafani dan di Sembayangkan, dikuburkan kedalam laut dengan memberikan pada kakinya sesuatu yang berat.

Jika sudah dekat dengan daratan dan tidak ditakuti busuk, boleh ditahan sampai kedarat.

Kuburan mayat boleh ditinggikan sedikit.

Mayat yang sudah dalam kubur tidak boleh digali lagi, baik kecil atau besar, baik berakal atau gila, kecuali jika untuk kepentingan pemeriksaan hukum.