IJTIHAD SEBAGAI DASAR HUKUM.
( I )
Jadi kita-kita, bahwa dalam pembinaan hukum Islam (tarikh tasyrï) untuk perkembangan Ilmu Fiqh penting sekali.
Sudah kita singgung, bahwa dasar hukum (adillatul akhkam) bagi Ahlus Sunnah itu, yang terpokok adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi untuk menyesuaikan dan memperluaskan dasar hokum ini, diperkenankan Ijtihad, yaitu bersungguh-sungguh memperluas dasar hukum itu dengan ijma' dan qiyas.
Bahkan selain apa yang tersebut mujtahid-mujtahid itu masing-masing mempunyai dasar berfikir sendiri, seperti Imam Abu Hanifah dengan istihsan, mengambil dasar hukum yang lebih baik untuk zamannya, Malik bin Anas muslahatul masdlah, yaitu mengistimewakan dalam sesuatu hukum kepentingan umum lebih dahulu, Imam Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal, lebih banyak, menggunakan istidlal, mengutamakan dalil dari Qur'an dan Sunnah, lebih suka dari pada qiyas, dan ada juga yang menggunakan istishabul hal, dalam keadaan ragu-ragu kembali kepada hukum asal, dan ada juga yang menggunakan zahir ayat, seperti yang banyak dilakukan oleh Imam Dawud Az-Zahiri, dan lain-lain.
Mengenai ijtihad dan taqlid, sudah panjang lebar saya kemukakan dalam filsafat perkembangan hukum dalam Islam, dalam seri perbandingan Mazhab, "Ahlus Sunnah wal Jama'ah". Ringkasannya saya ulang disini sebagai berikut.
Oleh karena hukum Islam itu adalah syari'at ketuhanan, yang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum yang sudah ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, yang hanya diterima untuk diamalkan, atau seperti ijma', qiyas dan istihsan, yang kemudian dipikirkan sebagaj dasar tambahan, adalah ijtihad itu suatu jalan untuk menetapkan hokum yang berkembang dalam masyarakat pergaulan manusia.
Ijtihad merupakan usaha yang berfaedah sekali dalam sejarah perkembangan hokum Islam.
Orang yang melakukan ijtihad, mujtahid, menetapkan sesuatu hukum dengan nash Qur'an dan Hadis apabila ia berhasil memperolehnya, juga menetapkan dengan pikirannya, ra'yi, apabila ia tidak mendapati nash itu.
Kadang-kadang ia memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara yang sudah terjadi, qiyas, memilih hukum yang lebih baik dan lebih cocok dengan masa dan tempat, istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu kemaslahatan, muslahatul mursalah.
Semua jalan-jalan yang ditempuh ini tidak sama, dan dengan demikian hasilnyapun berlain-lainan, sehingga terjadilah perbedaan pendapat dalam ijtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab terutama dalam zaman keemasan Abbasiyah, dalam zaman mana sebagai yang kita kenal lahirlah empat buah mazhab Ahli Sunnah, yang besar sekali kemajuannya dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.
Perbedaan paham dan kemerdekaan berpikir serta debat mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh.
Tetapi sayang kemajuan ini berakhir tatkala Baghdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam pertengahan abad ke-VII H. atau abad ke-XIII M, sesuatu penyerbuan yang kejam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudayaan Islam yang dibentuk berabad-abad.
Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa yang merugikan Islam, mungkin juga alasan karena lainnya, ulama-ulama Sunnah menyatakan pintu ijtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap cukup beramal dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh empat Mazhab besar, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'I dan Hambali, dalam urusan ibadat dan mu'amalat.
Banyak orang menyayangkan, bahwa dengan tertutup pintu ijtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan orang Islam, sehingga umat Islam itu menjadi beku dalam segala bidang dan segi kehidupan.
Dr. Sohibi Mahmassani termasuk seorang yang menyatakan kekecewaan tentang kebekuan itu.
Hal ini dijelaskan panjang lebar dalam kitabnya "Filsafatut Tasyri' Fil Islam" (Beirut 1952).
Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya banyak taqlid banyak bid'ah yang berdasarkan atas kebodohan dan syak-wasangka, dan tersiarlah khurafat bikin bikinan dari zaman kezaman, yang membuat Islam yang bertaqlid kepada perkara-perkara agama dalam ibadat, yang sudah diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.
Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran dari Barat, yang menyelidiki Islam pada waktu yang akhir, menetapkan bahwa Islam itu dalam syarat-syaratnya sudah mundur dan tidak dapat lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.
Kita ketahui demikian Mahmassani lebih lanjut, bahwa dalam abad ke-XIX lahirlah gerakan pada beberapa tempat, yang berikhtiar akan mempcrbaiki cara berfikir dalam kehidupan Islam itu.
Maka lahirlah yang dinamakan Mazhab Salaf dengan tujuan mempropagandakan untuk tidak berpegang kepada salah satu mazhab tertentu, begitu juga ia menyeru umat Islam untuk mempersatukan mazhab-mazhabnya dan kembali kepada pokok hukum Syari'at serta semangatnya yang sebesar-besarnya, agar umat Islam maju dalam peradabannya.
Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat umum dalam dunia Islam tidaklah ijtihad itu diperbolehkan bagi sembarang orang tetapi seorang mujtahid yang ingin menetapkan sesuatu hokum istinbath, atau menetapkan dalil-dalil bagi sesuatu kejadian, istidlal, harus mempunyai beberapa syarat, yaitu cerdas, berakal, adil, bersifat dengan sifat-sifat yang akhlak yang baik, alim dalam hukum dengan mengetahui alasan-alasan syara', mengetahui benar.
Tentang bahasa Arab, ahli dalam tafsir Qur'an, mengetahui sebab-sebab turunnya Qur'an mengetahui sejarah-sejarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dalam Hadis, mengetahui ayat-ayat yang nasikh dan mansukh, sebagaimana yang telah dibicarakan oleh Asy-Syathibi dalam kitabnya ,,A1-Muwafaqat" IV : 106.
Syarat-syarat yang dkemukakan itu terutama bagi orang yang dinamakan mujtahid mutlak, yang ingin berijtihad dalam seluruh masalah fiqh, tidak diwajibkan bagi mujtahid macam lain mujtahid yang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah agama, cukup baginya sebagai syarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh yang empat itu dan mengetahui sungguh-sungguh akan perkara yang dihadapinya.
Mujtahid mutlak atau yang dinamakan juga mujtahid dalam hukum syara', adalah orang yang istimewa keahliannya dalam sesuatu mazhab atau jalan tertentu imam-imam dari mazhab empat.
Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti imamimam mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Zahiri, Ath-Thabari, Imam Ja'far As-Shadiq dan lain-lain.
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang tidak menciptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnya menyalahi imam yang diikutinya dalam ijtihadnya mengenai beberapa perkara pokok atau cabang hukum Islam.
Sebagai contoh kita sebutkan Abu Yusup dan Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Syafi'i, yang keputusan-keputusan ijtihadnya tidak selalu sejalan dengan cara berfikir imam-imamnya.
Mujtahid mazhab ialah orang yang berijtihad dalam sesuatu masalah yang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok umum bagi sesuatu mazhab.
Misalnya Thahawi dan Zarkhasi dalam mazhab Hanafi Imam Ghazali dalam Mazhab Syafi'i, mereka berijtihad dan menetapkan hukum sesuatu masalah yang tidak menyalahi pokokpokok asal dari pada mazhab yang dianutnya.
Mujtahid muqayyid ialah orang yang mengikatkan sesuatu penetapan hukum dengan cara berpikir Salaf dan mengikuti ijtihad mereka, kemudian menyatakan hukum ini untuk diamalkan.
Dengan sendirinya mujtahid ini keluar dari pada cara berpikir mazhab yang ada, dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan yang dinamakan Ashab Takhrij, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat mazhab yang sudah diakui kekuasaannya, mengistimewakan pahampaham Salaf, menjelaskan perbedaan riwayat yang kuat dan dhaif, riwayat yang umum dan riwayat yang jarang tersua, dan dengan demikian menciptakan sesuatu hukum baru dalam sesuatu persoalan.
Sebagai contoh kita sebutkan Al-Karakhi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, yang dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam mazhabnya, lalu berpegang kepada cara-cara berpikir orang Salaf.