Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab0%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11996
Download: 3102

Komentar:

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11996 / Download: 3102
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

T A Y A M M U M

Bertayammum dilakukan jika tidak ada air, dengan tanah yang suci, dan boleh juga pada waktu dalam perjalanan atau sakit,.

Karena tidak boleh melakukan Sembahyang, jika tidak suci.

Tidak syah tayammum dengan tidak berniat, menyapu seluruh muka, termasuk janggut, menyapu kedua tangan sampai kesiku.

Tepukkan tanah yang pertama menyapu seluruh muka, sedang tepukkan tanah yang kedua menyapu dua tangan mulai dari ujung jari-jari sampai kesiku.

Wajib tertib, sehingga jika didahulukan menyapu tangan dari muka, tayammumnya batal.

Tayammum itu sebelum masuk sembahyang.

Jika sesuatu tayammum dikerjakan sebelum waktu sembahyang untuk sesuatupekerjaan yang mewajibkan tayammum, boleh digunakan untuk sembahyang.

Sebuah tayammum boleh untuk dua kali Sembahyang.

Jika terdapat air sebelum masuk waktu Sembahyang, Tayammum itu batal.

Tayammum dapat digunakan ganti kewajiban mandi.

Imamiyyah menerangkan dalam mengupas ayat Qur'an yang mengenai tayammum, bahwa diperkenankan Tayammum karena menyentuh (lamasya) seorang perempuan tetapi diarükan, bahwa Jima atau campur dengan isteri bukan sentuh (lamasya).

Yang dikehendaki dengan "Sha'id" ialah tanah, pasir dan debu padang pasir.

Menyapu muka tidak usah seluruhnya, dan menyapu kedua tangan hendaklah sampai kesiku.

S H A L A T

SHALAT ATAU SEMBAHYANG.

Shalat itu terbagi atas dua jenis, yang wajib dan yang sunnat.

Sembahyang yang paling penting daripada segalanya ialah Sembahyang 5 waktu sehari semalam.

Seluruh ulama Islam sepakat, bahwa orang yang menentang wajibnya atau ragu-ragu terhadap kewajiban itu, bukanlah orang Islam, meskipun ia sudah mengucapkan dua kalimat Shahadat, karena Sembahyang itu adalah dari rukun Islam, dan kewajibannya ditegaskan dalam agama, tidak ada tentang Sembahyang itu kesempatan berfikir mempertimbangkan atau ijtihad, atau taqlid dan soal jawab.

Semua mazhab sepakat tentang hukum orang yang meninggalkan Sembahyang karena malas, atau karena meringan-ringankan tentang keyakinan wajibnya, menurut Syafi'i, Maliki, dan Hambali dibunuh, tetapi menurut Hanafi hanya dipenjarakan sampai dia mau Sembahyang.

Menurut Imamiyyah, bahwa tiap-tiap orang yang meninggalkan kewajiban Islam, seperti Sembahyang, membayar zakat, mengeluarkan Humus, Haji dan Puasa dibayar sebagaimana yang pantas pada pendapat hakim, jika menurut dibiarkan jika tidak dihardik lagi, jika taubat dibiarkan, jika melawan dihajar lagi, jika terus-menerus dia meninggalkan kewajiban tersebut pada tingkat yang keempat ia dibunuh ("Kasyful Dhithe'", karangan Syeikh Kabir, hal. 79, eet. 1317 H.).

Sunnat Rawatib.

Imamiyyah melakukan Sunnat Rawatib ini dalam sehari semalam tiga puluh empat rakaat, dekpan rakaat sebelum Zhohor, delapan rakaat untuk Isya, Sunnat Witir, delapan rakaat Shalatul Lay dan dua rakaat sebelum Asyar empat raka'at sesudah Maghrib dua raka'at untuk Isya, Sunnat Witir, delapan rakaat Shalatul Lail dan dua rakaat Shalat Safaat, dan dua rakaat sebelum Subuh, yang dinamakan Salat Fajar.

Sebelum Sembahyang Ferdhu.

Pembahasan dimulai dengan Shalat zhohor, karena Sembahyang inilah yang mula-mula ditentukan dalam sejarahnya, kemudian Sembahyang Asyar, kemudian embahyang Maghrib, kemudian Sembahyang Isya dan kemudian Sembahyang Subuh menurut tertib.

Sepakat ulama, bahwa Sembahyang lima waktu ini diwajibkan di Mekkah pada malam Isyra' (Qur'an, Al-Isyra', ayat 78).

Semua Sembahyang itu dilakukan pada waktunya.

Imamiyyah mengatakan, bahwa Sembahyang Zhohor itu waktunya sesudah Jawal matahari, Asyar, akhir hari, apabila sempit waktu dibolehkan Jama' antara dua Sembahyang ini.

Waktu Maghrib tatkala masuk matahari, dan waktu Isya sesudah akhir separoh malam, dan antara dua Sembahyang ini boleh dilakukan Jama'.

Waktu Subuh dimulai dengan keluar fajar sadiq sampai keluar matahari.

Arah Qiblat.

Semua ulama dan mazhab sependapat bahwa Ka'bah itu adalah Qiblat dan kalau Sembahyang dekat Ka'bah hendaklah kelihatan Ka'bah itu.

Pada tempat yang jauh yang ditujukan adalah arah tempat terletak Ka'bah bukan 'ain Ka'bahnya.

Tetapi ada juga ulama Syafi'I dan Imamiyyah yang berpendapat, wajib menghadap Ka'bah, baik dari jauh atau dekat, mengenai 'ainnya.

Jika tidak cukup zat saja.

Jika seseorang tidak mengetahui arah Qiblat, boleh Sembahyang kearah manapun ia suka dan tidak usah mengulang Sembahyang itu kembali.

Imamiyyah menegaskan, bahwa jika ia diberitahukan arah Qiblat ditengah-tengah Sembahyang, wajib ia memutarkan badannya kearah yang ditujukan itu.

Menutup Badan Ketika Sembahyang.

Menutup badan wajib dalam Sembahyang, bagi laki-laki ada batasnya dan bagi wanita ada batasnya.

Jika tidak ada yang lihat dan tidak ada pakaian, jika pada suatu tempat yang sunyi tidak dilihat orang, tidak haram dan tidak makruh Sembahyang dengan tutup badan yang ada.

Aurat wanita seluruh badannya, kecuali sesama wanita dan mahrimnya.

Aurat laki-laki pada Imamiyyah ialah menutup kubul dan dhubur, terhadap bukan mahrimnya seluruh badan. Bagi anak laki-laki sebelum umur tujuh tahun, tidak ada aurat.

Tetapi anak yang sudah balig wajib menutup auratnya. Menurut hadis riwayat Ahlil Bait boleh melihat aurat anak-anak sebelum sampai umur 6 tahun.

Semua ulama dari mazhab berpendapat bahwa suara wanita azanabi bukan aurat, artinya tidak haram mendengar, kecuali kalau suara itu terlalu sedap atau bisa menimbulkan fitnah.

Tiap yang boleh dilihat, boleh disentuh dan tiap yang haram dilihat haram disentuh.

Imamiyyah menerangkan, bahwa boleh menyentuh badan mahrim atau mahrimah dengan tak ada sahwat dan merasa enak.

Boleh melihat bagian badan manusia yang sudah tua, yang tidak diingini mengawininya lagi kecuali kehormatannya.

Imamiyyah menerangkan, bahwa wajib menutup aurat seseorang perempuan atau laki-laki pada waktu Sembahyang, apa yang diwajibkan diluar Sembahyang.

Kesucian yang sudah dikemukakan pada waktu bersuci berlaku juga untuk Sembahyang.

Tidak syah Sembahyang bagi laki-laki dengan memakai sutera, atau kain yang tersulam dengan emas atau memakai perhiasan emas.

Begitu juga tidak syah Sembahyang dengan memakai pakaian kulit binatang yang tidak dimakan dagingnya, meskipun sudah disamak.

Tempat Sembahyang.

Imamiyyah menerangkan, bahwa batal Sembahyang pada tempat atau dengan memakai pakaian yang dirampas, meskipun dibolehkan Sembahyang diatas tanah yang luas yang tidak diperoleh izin.

Tempat yang suci itu buat sembahyang dimaksudkan ialah tempat meletakkan kepala dan tempat sujud, meskipun disekitarnya bernajis.

Tidak syah Sembahyang diatas binatang tunggangan, kecuali jika sangat perlu.

Dibolehkan Sembahyang dalam Ka'bah, baik Sembahyang ferdhu atau Sembahyang Sunnat.

Dalam Sembahyang berkumpul antara laki-laki dan perempuan pada satu tempat, sedang perempuan ada didepan atau bersamaan barisnya, dan tidak ada dinding atau tidak lebih jauh dari sepuluh hasta.

Jika perlu tidak batal Sembahyang orang yang datang kemudian dibelakang atau disamping perempuan itu.

Imamiyyah menegaskan, bahwa tidak dibolehkan sujud kecuali diatas tanah dan tidak diatas tumbuh-tumbuhanan yang tidak dimakan atau tidak dijadikan pakaian, seorang Sembahyang tidak sujud diatas kulit berbulu, diatas kapas yang empuk atau diatas barang tambangan.

Dibolehkan sujud diatas sepotong kertas.

A z z a n .

Tidak ada dalam agama Azzan kecuali untuk Sembahyang lima waktu saja, disunatkan untuk sembahyang yang dikadho, yang dilakukan secara tunai, berjamaah atau sendiri-sendiri, dalam perjalanan atau boleh bagi wanita atau laki-laki.

Dan tidak dibolehkan Azzan itu bagi Sembahyang yang lain, baik secara sunnat atau wajib.

Pada Sembahyang Gerhana dan dua hari Raya, orang cuma mengucapkan : "Asy-Shalah !", yang diulang tiga kali.

Tidak dibolehkan Azzan untuk Sembahyang lima waktu sebelum Shalat fajar.

Selain lafat Azzan yang sama, belum masuk waktunya, kecuali Sembahyang Subuh, didahulukan sebelum Shalat fajar.

Selain lafat Azzan yang sama, Imamiyyah menambah dalam Azzan dan dalam Iqamat, sesudah "Hayya Alas Salah, Hayya Alal Falah", suatu seruan yang berbunyi "Hayya Ala Hairil Amal".

Begitu juga Imamiyyah tidak mau memasukkan dalam Azzannya "As-Salatu Hairum minan naum !", karena tidak ada dalam masa Nabi dan Sahabat (lihat Bidayatul Mujitahid I : 103) atau Al-Fiqh Alal Mazahibil Hamzah, hal. 119, dan Nuut.

Iqamat.

Disuratkan Iqamat pada Sembahyang lima waktu sehari-hari, baik buat laki-laki maupun buat wanita.

Hukumnya sama dengan hokum Azzan, hendaklah mualat, tertib dan dalam bahasa Arab.

Dibolehkan bagi orang yang musafir dan orang yang sedang sibuk memadakan dengan salah satu daripada Azzan atau Iqamat.

Rukun Sembahyang.

Sembahyang itu baru syah, jika suci daripada hadas besar dan kecil, dari najis, dalam waktunya, menghadap Qiblat, berpakaian yang bersih, yang semuanya itu dinamakan sarat Sembahyang. Adapun rukun Sembahyang banyak, diantaranya ialah :

N ia t.

Hakikat niat ialah menyengajakan Sembahyang karena mentaati Tuhan, sambil menentukan fardhu atau tidaknya Sembahyang itu Sunnat apa tidaknya, tunai apa pembayaran kembali.

Uraian tentang niat dapat dibagi dua bahagian pertama tokoh fiqih terbesar, yaitu Ibnal Kayim, dan kedua tokoh ulama Imamiyyah, yaitu Sayyid Muhammad, pengarang Al-Mudarid.

Yang pertama berkata niat itu tidak usah dilafatkan, karena Nabi tidak berbuat demikian.

Sayyid Muhammad dalam kitab "Mudarikul Ahqam" mengatakan, bahwa niat itu pada awal Sembahyang, maksudnya ialah menyengajakan ibadah Sembahyang untuk mentaati Allah.

Niat itu tidak diucapkan dengan lidah.

Takbiratut Ihram.

Tidak sempurna Sembahyang kecuali dengan mengucapkan Takbiratul Ihram, yaitu "Allahu Akbar", dengan bahasa Arab dan tidak boleh ditukar dengan susunan kata yang lain.

Berdiri adalah wajib dalam Sembahyang, sejak Takbiratul Ihram sampai kepada ruku', tidak boleh bertumpu kepada salah satu yang lain.

Apabila tidak dapat berdiri boleh duduk, boleh berbaring kesebelah kanan dan menghadap Qiblat, dan boleh juga mengisyaratkan dengan angguk kepala.

Dan jika tidak Sembahyang itu dikerjakan dalam hati saja, dengan menggerakkan lidah untuk zikir dan bacaan.

Q i r a a t.

Suatu perbedaan paham dalam mazhab Islam ialah, apakah wajib membaca Fatihah pada tiap-tiap rakaat, atau pada dua rakaat yang pertama, atau pada semua rakaat ? Apakah membaca "Bismillah" itu wajib pada Fatihah atau dapat ditinggalkan ?" Apakah semua bacaan itu nyaring atau dalam hati wajibkah atau mustahab ?

Apakah membaca surat sesudah Fatihah pada dua rakaat yang pertama itu wajib atau tidak ? Apakah bacaan „Tasbih" dapat menggantikan surat ?

Imamiyyah menerangkan; Membaca Fatihah itu hanya ditentukan pada dua rakaat pertama tiap-tiap Sembahyang, tidak dapat diganti dengan bacaan yang lain.

Tidak diwajibkan membacanya pada rakaat yang ke-tiga Sembahyang Mahrib atau pada dua rakaat terakhir daripada Sembahyang empat rakaat, tetapi boleh dipilih membaca Fatihah itu atau membaca Tasbih, seperti "Subhanallah, Walhamdulillah, Wa Ilaha Ualah Walahu Akbar" 3X tetapi boleh sekali saja, pembacaan surat pada dua rakaat pertama wajib penuh, membaca Bismillah itu sebahagian dari pada surat, tidak boleh ditinggalkan, membacanya wajib keras, kecuali bacaan yang berupa zikir, pada Sembahyang Subuh, pada dua rakaat pertama Sembahyang Maghrib dan Isya, sedang pada dua rakaat Sembahyang Zhohor dibaca perlahan kecuali Bismillah.

Membaca keras pada dua rakaat pertama Sunnat, begitu juga pada rakaat yang ke-tiga Maghrib, dan dua rakaat yang terakhir pada Isya.

Disunatkan membaca Qunut pada semua Sembahyang 5 waktu, dan tempatnya pada rakaat yang pertama sesudah membaca surat dan sebelum ruku', sekurang-kurang keras membacanya, hendaklah didengar oleh orang yang terdekat, sekurang-kurang ringan bacaannya dapat didengar sendiri.

Wanita tidak boleh mengeraskan bacaan menurut semua mazhab, tetapi dibaca secara berbisik, tetapi syah kalau untuk kepentingan pengajaran.

Menurut Imamiyyah haram mengucapkan "Amin", dan batal Sembahyang dengan ucapan keras itu, baik Sembahyang sendiri atau menjadi Imam atau menjadi Makmun, karena Amin itu adalah ucapan manusia, yang tak layak disebutkan dalam Sembahyang.

Sedang mazhab empat dari Ahlus Sunnah menganggap sunat, karena mereka mengambil alasan dari hadis yang diriwayatkan dari pada Rasulullah, yang berkata : "Apabila Imam sampai bacaannya kepada : Ghairil makdhubi 'alaihim wa laddalin, maka katakanlah bersama : Amin !".

Tetap; Imamiyyah menganggap hadis ini tidak syahih.

Imamiyyah menerangkan, bahwa menggerak-gerakkan tangan dalam Sembahyang membatalkan Sembahyang dan haram hukumnya.

Ruku'

Ruku' itu wajib dalam Sembahyang dan harus dilakukan dengan thuma'ninah, artinya dengan keterangan seluruh anggota badan.

Membaca tasbih dalam ruku' itu wajib.

Disunatkan sesudah Tasbih salawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.

Pada waktu bangkit kembali diwajibkan tenang.

Sujud,

Sujud itu wajib dua kali pada tiap-tiap rakaat atas tujuh anggota badan secara sempurna.

Tasyahhud.

Tasyahhud Baik Tasyahhud awal, maupun tasyahhud akhir dianggap oleh Imamiyyah kedua-duanya wajib.

Imamiyyah mempunyai tasyahhud pendek tersendiri.

Taslim,

Taslim yaitu mengucapkan salam pada penutupan Sembahyang, setengah ulama Imamiyyah mengatakan wajib dan setengahnya mengatakan mustahab. Yang terakhir ini diucapkan diantara lain oleh Syakh At-Tusi dan Al-Hilli.

Imamiyyah mempunyai dua macam salam, pertama: "Assalamu Alaina wa ala ibadilahis salihim", dan yang kedua "Assalamu Alaikum wa rahmattullahi wa barakatuhu".

Yang wajib mengucapkan satu kali, adapun mengucapkan yang kedua kali itu sunnat.

Tertib,

Tertib ini wajib diantara bahagian-bagian Sembahyang.

Maka wajib mendahulukan Takbiratul Ihram atas qiraat, dan qiraat atas ruku', dan ruku' atas sujud, dan selanjutnya.

Mualad,

Mualad pun wajib, artinya melakukan bahagian-bagian Sembahyang itu berturut-turut, menurut tertib dengan tidak menjauh-jauhkan waktunya.

Syahwi dan Syak dalam Sembahyang.

Barang siapa melupakan salah satu kewajiban dalam Sembahyang, batal Sembahyangnya, tetapi apabila ia terlupa atau lupa dengan tidak disengaja hendaklah ia melakukan sujud Syahwi.

Begitu juga jika ia Syak pada salah satu perbuatannya. Tidak dihitung Syak sesudah orang pindah kepada perbuatan atau bacaan yang lain.

Tetapi kalau masih dalam perbuatan atau bacaan, diulangi.

Sujud Syahwi dikerjakan karena melebihi rukun sembahyang atau menguranginya tetapi kalau meninggalkan niat, takbir itu haram, berdiri, ruku', mengumpulkan dua sujud dalam satu rakaat, batal Sembahyangnya.

Tiap tiap ketinggalan bahagian Sembahyang sesudah lupa tidak wajib sesudah selesai Sembahyang diulang kembali, kecuali sujud dan tasyahud, yang keduanya menyebabkan qadha Sembahyang dengan sujud syahwi.

Dalam sujud syahwi ini dibacakan : "Bismillah wa billa, Alahuma Salli ala Muhammadin wa Alei Muhammaddin".

Kemudian ia membaca tasyahud dan melakukan salam.

Imamiyyah menetapkan, bahwa apabila syak datang pada salat dua rakaat, seperti salat Subuh, salat Musyafir, salat Jum'at, salat Hari Raya, salat Gerhana atau salat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama salat Isya, dan Zhohor, semua salat itu batal.

Boleh ia salat Ikhtiyath kalau syaknya itu lebih rakaatnya.

Hal ini mengenai salat wajib.

Adapun salat sunnat, terserah kepada yang melakukannya.

SHALAT JUM'AT.

Tentang Kewajibannya.

Seluruh mazhab mewajibkan orang Islam melakukan Shalat Jum'at, karena firman Tuhan : "Wahai orang yang ber-Iman ! Apa bila kamu dipanggil Sembahyang pada hari Jum'at, segeralah kamu datang untuk melakukan Shalat itu, dan tinggalkan semua daganganmu".

Begitu juga banyak keterangan yang mewajibkan Sembahyang Jum'at dalam hadis-hadis yang digunakan oleh Ahlus Sunnah atau Syi'ah.

Tinggal perbedaan paham, apakah disaratkan wajib melakukan Jum'at itu dalam sesuatu negri yang ada Sultan atau wajib pada segala tempat dan segala hal.

Imamiyyah menghukumkan, bahwa Jum'at itu wajib kalau dalam sesuatu negeri tempat melakukannya ada terdapat sultan atau wakilnya, sedang jika sultan dan wakilnya itu tidak ada, maka Jum'at dalam negeri itu tidak wajib.

Dan Imamiyyah mensyaratkan pula untuk wajib Jum'at dalam negerinya, bahwa sultan itu harus adil, jika tidak adil sama dengan tidak ada sultan.

Kata ulamanya pula, bahwa syah Jum'at dalam sesuatu negeri yang tidak didapati sultan atau wakilnya tetapi, didapati seorang ulama fiqih yang adil, dalam negeri yang seperti itu terserah kepada ummat Islam, yang mau mengerjakan atau yang ingin meniggalkan Sembahyang Jum'at itu.

Syarat-syaratnya.

Semua mazhab sepakat untuk menetapkan syarat-syarat pada shalat Jum'at sebagai mana yang ditetapkan pada Sembahyang yang lain, seperti bersuci, berpakaian, menghadap qiblat, waktunya sudah condong matahari ke Barat, didirikan dalam masjid atau diluar masjid.

Sembahyang Jum'at itu menurut semua mazhab wajib kepada laki-laki dan tidak wajib kepada wanita.

Barang siapa sudah melakukan Jum'at tidak wajib lagi melakukan zhohor.

Sembahyang Jum'at itu tidak wajib untuk orang buta, tidak syah malainkan dengan ber-jama'ah, mengerjakan beramai-ramai, sedang bilangannya ditetapkan ber-lain-lainnan oleh macam-macam mazhab.

Imamiyyah menetapkan sekurang-kurangnya seorang Imam dan empat makmun.

Semua ulama sepakat bahwa tidak dibolehkan bepergian dari sesuatu negeri, jika orang yang akan bepergian itu wajib Jum'at atasnya, memenuhi syarat-syarat, dan sudah condong matahari.

Dua Hutbah jum'at.

Dua hutbah Jum'at itu disyaratkan syahnya Jum'at, dan tempatnya sebelum Sembahyang Jum'at.

Imamiyyah mewajibkan Hatib yang mengucapkan Hutbah itu berdiri pada waktu mengucapkan Hutbah pertama dan Hutbah kedua.

Imamiyyah menerangkan, wajib berisi pada tiap-tiap Hutbah Tahmid, dan tsana' kepada Tuhan, Selawat kepada Nabi dan keluarganya, Wa'az atau nasihat, dan membaca sesuatu daripada ayat Qur'an.

Pada Hutbah yang pertama selain yang tersebut diatas ditambah lagi dengan Istighfar, dan do'a buat orang mukmin pria dan wanita.

Imamiyyah mewajibkan hatib menceraikan antara dua Hutbah dengan duduk sebentar.

Imamiyyah menerangkan, bahwa bahasa Arab itu tidak menjadi syarat syahnya Hutbah Jum'at.

Kafiat Shalat.

Shalat Jum'at itu dua rakaat seperti Shalat subuh. Imamiyyah menganggap sunat sesudah membaca Fatihah pada rakaat pertama membaca surat Al-Jum'ah dan pada rakaat yang kedua sesudah Fatihah surat "Al-Munafiqin".

Shalat Dua Hari Raya.

Ulama-ulama fiqh berselisih paham tentang dua Shalat hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, apakah wajib atau sunnat ?

Imamiyyah sama dengan Mazhab Hanafi menganggap kedua hari raya itu fardhu 'Ain dengan syarat2 yang ada pada Shalat Jum'at.

Tetapi apabila syarat-syarat itu tidak ada, maka Shalat kedua hari raya itu tidak wajib.

Cuma Imamiyyah berkata, bahwa jika syarat-syarat yang mewajibkan Sembahyang ini tidak penuh, Sembahyang hari raya dilakukan juga sunnat, baik bersama meskipun sendiri-sendiri, baik dalam perjalanan atau dalam kampung sendiri.

Waktunya sejak terbit matahari sampai zhohor.

Kemudian Imamiyyah mewajibkan pula dua Hutbahnya lengkap seperti pada Sembahyang Jum'at.

Tempatnya sesudah Sembahyang.

Imamiyyah menerangkan, bahwa Sembahyang kedua hari raya itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri atau berjamaah.

Shalat ini dimulai dengan takbiratul Ihram, membaca Fatihah dan salah sebuah Surat dari Al-Qur'an, kemudian melakukan lima kali Takbir, kemudian ruku' dan sujud.

Pada rakaat yang kedua dibaca Fatihah dan salah sebuah Surat dari Al-Qur'an, Takbir empat kali, dan do'a pada tiap-tiap Takbir, kemudian ruku' dan menyempurnakan Shalat.

SHALAT KUSUF DAN KHUSUF.

Berlainan dengan mazhab lain, Imamiyyah menetapkan bahwa Shalat kusuf (gerhana matahari) dan salat khusuf (gerhana bulan) adalah ferdhu 'ain untuk tiap-tiap mukallaf.

Kata Imamiyyah, bahwa Shalat karena gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi, sekalian ketakutan yang ditimbulkan alam, seperti kegelapan, atau kemerahan alam, atau angin taufan, semuanya menyebabkan wajib shalat dan ferdhu 'ain.

Apabila dilakukan bersama, Imamiyyah diwajibkan membaca Fatihah dan Surat-surat.

Waktu gerhana matahari dan gerhana bulan dimulai pada waktu remang-remang, jika tidak dilakukan Sembahyang pada waktu itu, hendaklah di Qadha.

Adapun gempa bumi dan lain-lain yang menakutkan dan menggentarkan jiwa manusia, wajib segera dilakukan.

Shalat ini dilakukan dengan Takbiratul Ihram, membaca Fatihah dan satu Surat dari Al-Qur'an, kemudian ruku', kemudian mengangkat kepala kemudian membaca Fatihah lagi dan Surat dari Al-Qur'an, dan kemudian ruku', demikianlah sampai lima kali, kemudian sujud' sesudah ruku' yang kelima dua kali sujud. Kemudian bangun lagi untuk rakaat ke-dua, lalu membaca Fatihah dan sebuah Surat dari Al-Qur'an, kemudian ruku', demikianlah sampai ruku' yang kelima daripada rakaat yang kedua, kemudian sujud dua kali, kemudian mem baca tasyahud dan memberi salam. Jadi jumlahnya sepuluh ruku', dua kali sujud sesudah ruku', kelima dari rakaat pertama dan dua' kali sujud sesudah ruku' kelima daripada rakaat kedua.

SHALATUL ISTISQA !

(Sembahyang minta hujan)

Shalatul Istisqa' atau Sembahyang minta hujan ini ada perintahnya dalam Islam dengan keterangan dari Qur'an, dari Sunnah dan Ijma , misalnya ayat yang mengenai Nabi Musa minta hujan untuk kaumnya, dan keterangan bahwa sesudah perintah meminta ampun kepada Tuhannya, Tuhan menurunkan hujan dari langit.

Ceritera lebih jauh diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa orang-orang Madinah berobah musim kemarau.

Tatkala itu Rasulullah berhutbah.

Kesana datang seorang laki-laki dan berkata bahaya untuk lapangan dan wanita, ya, Rasulullah pintalah kepada Tuhanmu agar dicurahkan hujan ya untuk kami.

Maka Rasulullah mengangkat kedua belah tangannya dan berdo'a.

Kata Anas langit pada waktu itu terang benderang seperti kaca, tetapi dengan tiba-tiba datanglah angin, bergumpal-gumpallah awan dan langitpun mencurahkan hujannya, hingga kami keluar semuanya dari tempat kami mengambil air dan mambawa kerumah kami.

Hujan itu turun sampai hari Jum'at berikutnya.

Maka datang pula seorang laki-laki kepada Rasulullah sambil berkata : "Ya, Rasulullah ! Hancurlah rumah-rumah dan kendaraan-kendaraan tidak dapat keluar.

Mohon engkau berdo'a supaya hujan itu terhenti.

Rasulullah tersenyum, kemudian ia berkata berdo'a menghentikan hujan itu sampai menengadah kelangit.

Sembahyang ini dikerjakan kalau hujan tidak datang, bahkan dilakukan Sembahyang ini berulang-ulang, orang-orang puasa tiga hari, orang-orang keluar Sembahyang dengan rasa khusu' dan tadara' kepada Tuhan, semuanya keluar, baik wanita, baik anak-anak, baik orang tua, baik kakek-kakek, atau nenek-nenek dan binatang-binatang, dan kemudian berdo'a kepada Tuhan.

Semua mazhab sepakat bahwa Sembahyang ini syah dikerjakan secara berjama'ah, secara sendiri, tidak ada Azan dan tidak ada Iqamat, sunnat bagi Imam akan berhutbah sesudah Sembahyang.

Kaifiyatnya adalah dua rakaat dilakukan seperti Sembahyang Hari Raya.

Imamiyyah menganggap sunnat membaca do'a pada tiap-tiap takbir, dengan isi yang melembutkan hati, memohon rahmat Tuhan untuk menurunkan hujan.

SHALAT QADHA.

Apa Qadha Shalat itu wajib ?

Semua mazhab sepakat mengatakan pada umumnya, bahwa barang siapa yang telah meninggalkan Sembahyang fardhu, wajib melakukan Qadha Sembahyang itu, baik yang ia meninggalkan Sembahyang itu dengan sengaja, atau lupa, atau karena bodohnya, atau karena tidur.

Tidak ada qadha Shalat untuk perempuan yang haid

dan nifas.

Jika Sembahyang bukan fardhu tidak wajib qadha. Bermacam-macam paham ulama tentang wajib qadha bagi orang gila, orang pitam dan orang-orang mabuk.

Imamiyyah menerangkan, bahwa wajib qadha secara mutlak bagi orang yang mabuk karena minuman keras, baik yang minum karena mengetahui, atau tidak mengetahui, minum secara suka rela atau terpaksa.

Adapun orang gila dan pitam tidak wajib qadha.

Kafiat Qadha.

Pada Imamiyyah ditetapkan, barang siapa meninggalkan atau ketinggalan Sembahyang fardhu, harus diqadhanya sebagaimana corak Sembahyang yang ditinggal itu dengan tidak mengubah atau menggantikannya.

Barang siapa meninggalkan Sembahyang yang sempurna dan ingin mengkhodonya, sedang ia dalam perjalanan, harus dilakukan Sembahyang qasar dalam perjalanan, ia menginginkan diqadha ditempatnya, harus dilakukan qadha itu secara qasar, begitulah dengan Sembah yang yang dikeraskan bacaannya atau tidak dikeraskan.

Apabila mengQada Isya pada siang hari haruslah secara jahar, dan apabila ia qadha zohor pada malam hari haruslah secara sir atau bacaan berbisik.

Melakukan qadha Sembahyang itu hendaklah secara tertib, yang ditinggalkan harus didahulukan daripada yang kemudian.

Menggantikan berpuasa dan Sembahyang untuk orang yang hidup tidak syah, tetapi syah dilakukan bagi orang yang sudah mati.

Imamiyyah mewajibkan atas anak melakukan qadha untuk ayahnya yang ditinggalkan daripada Sembahyang dan puasa, meskipun persoalan ini pecah dua dalam kalangan ulamanya, apakah yang wajib diqadha itu yang ditinggalkan dengan sengaja atau yang ditinggalkan karena sakit.

SHALAT JAMA'AH.

Semua mazhab sepakat bahwa Shalat Jama'ah itu adalah dari syi'ar dan tanda Islam.

Rasulullah dengan sahabat-sahabtnya senantiasa melakukan Shalat Jama'ah itu.

Cuma timbul persoalan, apakah sembah yang Jama'ah itu wajib atau sunnat ?

Imamiyyah menerangkan, bahwa Sembahyang Jema'ah itu bukan ferdhu 'ain atau ferdhu kifayah, tetapi sunnat muakkad.

Sembahyang Jama'ah itu diperintahkan pada semua sembahyang wajib, tidak pada sembahyang sunat, kecuali pada sembahyang minta hujan dan sembahyang dua hari raya.

Syarat-syaratnya.

Disyaratkan untuk Sembahyang berjama'ah ialah Islam, berakal, adil, laki-laki, tidak boleh wanita menjadi Imam, balig, bilangan banyak, sekurang-kurangnya dua orang, seorang Imam dan seorang Makmun.

Tidak boleh bermakmun pada Imam yang sedang Sembahyang lain, misalnya zohor kepada Asyar, tetapi boleh Sembahyang zohor qadha dibelakang Imam yang Sembahyang zohor ada (tunai).

Mengikut Sembahyang.

Boleh menjadi makmum yang berwudhu dengan air mengikuti Imam yang tayammum dengan tanah, asal dalam bacaan, tasbih ruku' dan sujud dan sebagainya bersamaan coraknya.

Makmum tidak boleh berdiri didepan, dan jangan terlalu jauh dari Imam, tidak berdiri antara makmum dan Imam, dapat dilihat orangnya kecuali wanita, yang diperkenankan ikut Imam laki-laki dengan berdinding kain.

Imamiyyah menerangkan, bahwa qiraat tidak wajib pada dua rakaat yang pertama, tetapi wajib pada rakaat yang ketiga Maghrib, dan dua rakaat yang terakhir zohor dan asyar membaca Fatihah itu.

Makmum wajib mengikuti Imamnya dalam segala perbuatannya.

Arti mengikut itu tidak boleh pekerjaan Makmum, seperti ruku' dan sujud lebih dahulu daripada Imam, dan tidak pula boleh terlalu terakhir.

Masbuq.

Orang yang mazbuq syah Jama'ahnya, jika ia mendapati salah satu bahagian dari rakaat Imam, kecuali ruku' terakhir.

Imam.

Macam-macam sifat Imam yang dikemukakan oleh berbagai mazhab, umumnya yang melebihi dari pada Makmum tentang Ilmunya, tentang keturunannya, kedudukannya, tentang bacaannya dan sebagainya.

Imamiyyah menerangkan, bahwa tidak penting untuk Imam mendahulukan sifat- sifat keduniaan, yang terpenting ialah mendahulukan seseorang Imam yang alim tentang fiqh, kemudian yang fasih tentang bacaan, kemudian yang lebih tua, dan lain-lain. sepanjang sara'.

SHALATUL MUSAFIR.

(Sembahyang dalam bepergian).

Dalam perjalanan boleh Sembahyang yang empat rakaat dipendekkan (qasar), jika Sembahyang ferdhu.

Maka Sembahyang Zohor itu, begitu juga Asyar dan Isa jadi dua rakaat seperti Subuh.

Syarat-syaratnya.

Diantara syaratnya menurut Imamiyah adalah beberapa farsah jalan kaki Satu farsah jauhnya 5 km. dan 40 m.

Dan Imamiyyah menetapkan boleh fasak kalau perjalanan itu jauhnya empat puluh km. dan tiga ratus dua puluh km.

Imamiyyah menetapkan pula, bahwa perjalanan yang dibolehkan qasar sesudah meninggalkan rumah dan tidak mendengar lagi Azan.

Imamiyyah tidak menetapkan sebagai syarat harus ber Imam kepada sesama orang yang fasak Sembahyang, tidak boleh kepada orang mukim kalau seorang mukim Sembahyang dibelakang musyafir yang sedang qasar Sembahyangnya, ia Sembahyang hanya dua rakaat.

Niat fasak tidak menjadi syarat pada wajib fasak, meskipun tidak diniat qasar wajib ia menyempurnakan Sembahyangnya, karena pada waktu ia syafar, ia sudah berniat.

Seseorang musyafir yang ingin tinggal pada sesuatu tempat boleh ia teruskan qasar, tetapi kalau sudah dimulainya Sembahyang sempurna, harus dilakukan yang demikian terus menerus.

Tinggal pada suatu tempat yang dapat menjalankan qasar pada Imamiyyah adalah sepuluh hari, tetapi apabila ia tidak niat tinggal lama karena masih memerlukan untuk pekerjaannya yang tidak tentu lamanya dia tetap qasar sampai tiga puluh hari.

Shalat Jama'.

Dibolehkan Jama' (mengumpulkan dua shalat) antara Zohor dan Asar dan antara Maghrib dan Isya, didahulukan atau dita'khirkan karena uzur bepergian.

Imamiyah menerangkan, bahwa orang yang Sembahyang lengkap atau sempurna dalam perjalanannya dengan sengaja, batal sembahyangnya, harus diulangi jika masih ada waktu Sembahyang atau diqadha jika waktu sudah habis.

Barang siapa sembahyang karena bodoh tak mengenai hukumnya dengan wajib qasar, maka Shalat qasarnya itu tidak diulangi baik masih ada waktunya atau sudah habis.

Apabila seseorang menyempurnakan Shalatnya dalam perjalanan, kemudian teringat ia dalam perjalanan itu dan waktunya masih ada, haruslah diulangi, dan apabila teringat diluar waktu tidak diulangi.

Barang siapa yang berada dalam waktu Sembahyang, dikampungnya, kemudian ia bepergian sebelum ia Sembahyang, wajib ia Sembahyang qasar.

Barang siapa yang berada dalam waktu Sembahyang sedang dia dalam bepergian, dan tidak Sembahyang sampai kekampungnya sehingga sepuluh hari lamanya wajib ia Sembahyang sempurna.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN

SEMBAHYANG.

Diantara yang membatalkan Sembahyang ialah bcrbicara dengan sekurang-kurangnya kalimat yang terdiri dari dua huruf, baik ada artinya atau satu huruf yang ada artinya, seperti "qi", karena qi itu adalah fiil amar dari "waqinya, yang artinya pelihara.

Tidak membatal kan Sembahyang mengucapkan suatu kalimat karena lupa, asal sedikit jangan banyak.

Dan tidak batal Sembahyang karena daham, karena ada keperluannya atau tidak.

Dibolehkan berdo'a ditengah Sembahyang, meminta kebajikan dan ampunan dari Allah Ta'ala.

Dan tidak batal Sembahyang dengan mengucapkan tasbih.

Menurut Imamiyyah seorang yang sedang Sembahyang mendengar orang memberi salam, wajib ia membalas dengan salam, tidak dengan ucapan dunia yang baru, seperti "selamat pagi" dan lain-lain.

Disyaratkan bahwa salam itu harus sempurna dan tidak diubah-ubah seperti "Salamun 'alaikun", dan jawabnya „Assalamu'alaikum."

Makan dan minum tentu saja membatalkan Sembahyang.

Tetapi Imamiyyah menerangkan, bahwa makan dan minum yang membatalkan Sembahyang itu jika betul- betul seperti orang makan dan teratur.

Selanjutnya Imamiyyah menerangkan, bahwa yang membatalkan Sembahyang adalah ria, berulang-ulang dalam mengucapkan niat, niat memutuskan Sembahyang, niat menukarkan Sembahyang dengan salah satu sembahyang lain, menambah banyak takbiratul Ihram, menambah rukun, kena najis yang tidak dimaafkan, tayammum dan Sembahyang dan pada tengah Sembahyang ada air buat berwudhu, kekurangan pakaian yang menutup aurat atau keadaan tempat yang dirampas, kentut, membalikkan badan seluruhnya kebelakang, atau kekanan atau kekiri, sehingga tidak menghadap qiblat lagi, sengaja berbicara dan menangis karena perkara dunia, tertawa terbahak-bahak, berbuat sesuatu yang merusakkan Sembahyang, makan minum, yang sebenar-benarnya, melebihi atau mengurangi bahagian Sembahyang dengan sengaja, meninggalkan sebuah dari lima rukun sengaja atau lupa, dan lima rukun itu ialah niat, takbiratul Ihram, berdiri, ruku', dua sujud dari rakaat pertama atau kedua, semua ini dengan pengatahuan bahwa niat itu adalah qasad yang penting dalam Sembahyang tidak mungkin ditambah atau dikurangi.

Dilalui orang.

Sepakat semua fuqaha', bahwa jika ada seseorang lalu didepan orang yang sedang Sembahyang, Sembahyang orang itu tidak batal, tetapi perbuatan orang yang berjalan didepan orang yang Sembahyang itu adalah haram hukumnya.

Imamiyyah menerangkan, tidak haram melewati orang Sembahyang, tetapi sunat bahwa orang yang Sembahyang itu mengadakan sitr sitr itu boleh terdiri dari tiang, dinding, atau sesuatu barang yang diletakkan didepan tempat sujud orang Sembahyang).

Tidak haram itu jika tidak ada sitr dihadapan orang yang Sembahyang, yang dapat menceraikan antara orang yang Sembahyang dengan orang yang lewat, dan antara hadapan orang yang Sembahyang kepada Tuhannya.

Imam Syafi'i menerangkan, bahwa haram melewati hadapan orang yang sedang Sembahyang, jika orang yang sedang Sembahyang itu tidak meletakkan dihadapan tempat sujudnya sitr.

Adapun kalau sitr itu ada dan orang melewati juga hadapan orang Sembahyang itu maka apa kala ia lewati diluar sitr itu tidak haram dan tidak makruh.

S H I A M

PERKARA PUASA.

Shiam atau shaum.

Shiam atau Shaum ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan puasa, yaitu puasa wajib dalam bulan Ramadhan atau puasa sunat.

Dirumah-rumah sakit digunakan juga perkataan puasa, tetapi bukan sebagai yang dimaksudkan dalam Islam.

Begitu juga tirakat yang terdapat dalam kalangan orang Jawa, semua itu tidak dapat dinamakan Shiam atau Shaum, yang dimaksudkan oleh Agama Islam.

Muqaddimah.

Shiam dalam bulan Ramadhan adalah rukun dari beberapa rukun Agama dan kewajibannya telah ditetapkan didalam Al-Qur'an, seperti ketetapan wajib Shalat.

Shiam ini mula pertama diwajibkan dalam bulan Sya'ban tahun ke-II Hijrah, dan ia itu adalah fardhu 'ain untuk tiap-tiap Mukallaf, dan tidak dibolehkan tidak berpuasa kecuali karena salah satu sebab yang berikut.

Pertama : ,

Tidak diwajibkan puasa wanita yang berhaid dan nifas. Kalau seseorang wanita haid atau nifas tidak sah puasanya.

Kedua :

Sakit. Imamiyah menerangkan, bahwa tidak dibolehkan berpuasa seseorang yang sakit, atau karena puasanya menambah lebih parah sakitnya, atau melambatkan sembuhnya, karena penyakit itu adalah suatu bahaya dan karena bahaya itu mengerjakan puasa diharamkan.

Jika orang yang demikian puasa juga, tidak sah puasanya.

Adapun orang yang ghaib dilihat kepada keadaannya. Sebab yang mewajibkan berbuka puasa ialah sakit, bukan ghaib, bukan kesukaran.

Ketiga :

Apabila seorang wanita yang dekat akan melahirkan, atau sudah melahirkan kalau ia puasa akan membahayakan anaknya, wajib berbuka dan tidak dibolehkan puasa, karena darurat itu diharam kan berpuasa.

Semua mazhab mengatakan wanita itu kemudian harus qadha puasanya dan membayar fidiyah satu mud makanan, apabila dianggap kalau dia berpuasa terus adalah mudarat bagi anaknya.

Apabila kemudaratan itu untuk dirinya sendiri, ada yang mewajibkan berpuasa.

Keempat.

Syarat atau bepergian.

Imamiyyah menerangkan : Apabila seseorang yang akan bepergian mempunyai cukup syarat-syarat sebagaimana untuk mengqasarkan Shalat, tidak diterima Tuhan puasanya.

Jika ia puasa ia qadha dengan tidak menaruh kifarat.

Apabila ia bepergian sebelum condong matahari atau pada waktu condong matahari atau sesudah condong matahari jika ia puasa, hendaklah ia sempurnakan puasanya.

Apabila seseorang berbuka puasa dengan sengaja wajib ia membayar kifarat.

Apabila seseorang musyafir sampai kekampungnya atau ketempat tinggalnya sesudah sepuluh hari sebelum condong matahari, belum dia membuka puasanya, wajib diteruskan puasanya, dan jika ia berbuka sama ia berbuka dengan sengaja.

Kelima :

Semua mazhab bersamaan pendapatnya, bahwa seseorang yang terus-menerus haus (sakit kencing manis), dibolehkan berbuka puasa, dan kemudian apabila sanggup ia qadha puasa itu.

Imamiyyah mewajibkan kifarat satu mud makanan. Tidak dibolehkan berbuka kecuali sakit itu terus-menerus (chronis).

Keenam :

Orang tua, baik laki-laki atau perempuan, yang kesukaran tidak sanggup berpuasa, dibolehkan berbuka, dengan memberikan fidyah saban hari memberi makan orang miskin, begitu juga orang yang sakit yang tidak diharapkan lagi dapat sembuh kembali selama setahun.

Ketujuh :

Imamiyyah tidak menganggap wajib puasa bagi orang pitam atau kepalanya pusing, meskipun tidak sepuluh hari, kecuali apabila ia sebelum pitam itu berniat puasa kemudian sesudah pitam pada hari itu juga baik kembali, diteruskannya puasanya.

Hilang uzur :

Apabila seseorang hilang uzur yang membolehkan dia membuka puasa, seperti sembuh dari penyakit, atau anak kecil mencapai balig, atau sesudah pulang dari perjalanan, atau sudah suci dari haid, sunnat meneruskan puasa pada Imamiyyah dan Syafiiyah.

Syarat Puasa :

Puasa itu fardhu 'ain kepada tiap Mukallaf, yaitu orang Islam yang sudah balig dan berakal, tidak diwajibkan atas orang gila pada waktu gilanya, kepada anak kecil sebelum balig.

Lain daripada itu untuk sah puasa hendaklah beragama Islam, dan berniat seperti pada Ibadah yang lain.

Puasa tidak diterima dari orang yang bukan Islam.

Dan tidak pula wajib perempuan yang berhaid dan nifas, orang sakit dan orang yang berada dalam bepergian.

Imamiyyah menerangkan, bahwa orang yang mabuk wajib qadha puasa apabila ia sudah sadar kembali, baik mabuk karena perbuatannya atau bukan, tidak wajib puasa atas orang yang pitam, meskipun sakit pitam itu sedikit.

Buka Puasa :

Yang dianggap puasa ialah menahan diri sejak Imsak sampai kepada Maghrib.

Dan yang membathalkannya ialah sebagai berikut :

Pertama :

Makan dan minum dengan sengaja dianggap sudah membatalkan puasanya, dan wajib qadha. Kalau ia makan minum sedikit tidak wajjb qadha.

Dalam pengertian minum termasuk merokok.

Kedua :

Bersetubuh dengan wanita pada siang hari membatalkan puasa, dan mewajibkan qadha serta kifarat.

Kifarat itu yaitu memerdekakan seorang budak belian, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau member makan enam puluh orang miskin.

Menurut Imamiyyah boleh ia dalam hal ini melakukan pilihan tentang budak, tentang puasa, dan tentang orang-orang miskin yang diberi makan.

Imamiyyah menerangkan, bahwa seseorang yang berbuka puasa ditengah hari dengan benda atau perbuatan yang haram, harus dia kerjakan semua, memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut ? dan memberi makan enam puluh orang miskin.

Yang dianggap berbuka dengan yang haram itu ialah memakan barang yang dirampas atau minum khamar atau berzina ditengah-tengah hari puasa.

Adapun Jima' pada tengah hari puasa dengan isteri sendiri karena lupa, tidak membatalkan puasanya.

Ketiga :

Istimna yaitu bermain-main dengan kemaluan, baik laki-laki dengan zakarnya atau wanita dengan farajnya.

Jika hal yang demikian itu sampai mengeluarkan mani, perbuatannya itu merusakkan puasa.

Kata Imamiyyah wajib qadha puasanya dan membayar kifarat.

Keempat :

Muntah, dengan sengaja merusakkan puasa dan mewajibkan qadha pada Mazhab Imamiyyah.

Kelima :

Keluar darah dimulut merusakkan puasa dan wajib kifarat.

Keenam :

Merokok dan makan sirih membatalkan puasa.

Ketujuh :

Debu yang kotor, apabila masuk hidung sampai kekerongkongan batal puasa.

Kedelapan :

Memakai celak pada siang hari. Memutuskan niat puasa sama dengan berbekam merusakkan puasa.

Kesembilan :

Berendam, merendamkan kepala dalam air, baik bersama badan atau tidak, dapat merusakkan puasa, dan pada Imamiyyah mewajibkan qadha dan kifarat.

Kesepuluh :

Imamiyyah menerangkan, bahwa barang siapa yang dengan sengaja meneruskan junubnya dalam bulan Ramadhan sampai kepada keluar matahari, niscaya rusak puasanya, wajib qadha dan kifarat.

Kesebélas :

Imamiyyah menerangkan, bahwa barang siapa dengan sengaja mendustai Allah dan Rasulnya dalam bulan puasa, diucapkannya atau ditulisnya tentang Allah dan Rasul itu, sedangkan ia mengetahui dengan benar-benar akan ucapannya dan tulisannya, merusak puasanya, wajib qadha dan kifarat.

Setengah ulama Imamiyyah mengkafirkan orang yang mendustakan Allah dan Rasulnya semacam itu serta mewajibkan memerdekakan seorang budak belian, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.