Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab0%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11997
Download: 3102

Komentar:

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11997 / Download: 3102
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

T H A W A F .

Macam2 Thawaf pada Syi'ah.

Syi'ah, sepakat dengan Ahlus Sunnah, mengakui bahwa dalam Agama Islam ada perintah mengerjakan : "Thawaf Qudum" bagi orang yang masuk Mekkah, semacam Sembahyang dua rakaat Tahiyat Masjid.

Oleh karena itu thawaf ini kadang-kadang dinamakan thawaf tahiyat.

Semua Mazhab menganggapnya sunat, jika ditinggalkan membayar dam seekor kambing.

Thawaf Ziarah, yang dinamakan juga Thawaf Ifadhah.

Thawaf ini dilakukan oleh orang haji sesudah ia di Mina melempar Jumrah Uqbah, penyembelihan dan menggunting rambut, kemudian ia kembali ke Mekkah serta thawaf.

Dinamakan Thawaf Ziarah, karena orang haji meninggalkan Mina dan ziarah ke BaituIIah.

Dan dinamakan Thawaf Ifadhah, karena orang haji kembali (afadha) dari Mina ke Mekkah.

Kadang-kadang dinamakan Thawaf Haji, karena ia merupakan rukun dari pada rukun haji.

Dengan mengerjakan semua thawaf ini halallah bagi orang yang Ihram haji itu semuanya, sampai kepada mendekati isterinya, kecuali Imamiyyah yang menerangkan, bahwa bagi mereka ini belum halal mendekati isterinya, sebelum ia Sa'i, antara Safa dan Marwah, dan Thawaf lagi yang kedua kali, yang oleh mereka dinamakan thawaf wanita (Thawaf Nisa').

Ketiga Thawaf Wida', yaitu apa yang dikerjakan orang haji, pada waktu ia pulang dari Mekkah, jika ditinggalkan harus membayar dam satu kambing.

Syi'ah menyetujui ketiga macam Thawaf ini, tetapi mereka berpendapat bahwa thawaf Ziarah adalah rukun daripada rukun-rukun haji, jika ditinggalkan batal-lah hajinya.

Adapun Thawaf Qudum mereka menganggap sunat, sedang Thawaf Wida' mereka dengan Mazhab Maliki menganggap sunat.

Orang-orang Syi'ah menambahkan satu Thawaf lagi, yaitu yang mereka namakan Thawaf Nisa' atau Thawaf Wanita, dan menganggap wajib thawaf ini, tidak boleh ditinggalkan pada Umrah Mufradah, atau dalam haji semua macamnya, baik Tamattu', Qiran atau Ifrad, tidak boleh ditinggalkan kecuali pada Umrah Tamattu', yang hanya dicukupkan dengan Thawaf Wanita saja yang melengkapi haji Tamattu'.

Orang-orang penganut Ahlus Sunnah mengatakan, bahwa tidak ada Thawaf Haji lagi yang wajib, dan sesudah Thawaf Haji itu halal-lah semua, meskipun mendekati isterinya.

Tetapi Syi'ah menerangkan : Wajib bagi orang yang mengerjakan haji sesudah Thawaf Haji dan Sya'i yang diperlukan, ialah Thawaf lagi berikutnya satu kali, dan thawaf yang kedua ini ialah Thawaf Nisa atau Thawaf Wanita.

Dan mereka menerangkan pula, bahwa apabila seorang naik haji meninggalkan thawaf ini pada akhirnya, bagi mereka masih diharamkan mendekati wanita, dan melakukan nikah, sampai ia melakukan lagi haji ini sendirinya atau digantikan oleh orang lain, jika ttdak dikerjakan, kewajiban ini wajib kepada walinya sesudah ia mati.

Bahkan orang Syi'ah menerangkan, bahwa jikalau seorang anak yang mumayyiz naik haji, tetapi pada akhirnya tidak thawaf wanita, meskipun karena lupa atau bodoh, maka tidak halal baginya mendekati wanita sesudah baligh, dan tidak sah nikahnya lagi, kecuali jika ia mengerjakan haji atau digantikan Ibadah haji itu oleh orang lain dan thawaf wanita pada akhirnya untuk menghalalkannya.

Ringkasnya bagi orang Syi'ah diwajibkan kepada orang yang naik haji Tamattu' tiga macam thawaf, pertama untuk Umrah, yang dianggap rukun dari padanya, kedua untuk haji, yang juga dianggap rukun baginya, dan ketiga untuk Wanita, yaitu satu bahagian kewajiban, tidak seperti rukun Fatihah dalam Sembahyang.

Umar dan Haji Mut'ah.

Ada riwayat, bahwa Umar pernah mengatakan : „Ada dua Mut'ah pada zaman Rasulullah, yang saya haramkan kedua-duanya dalam hukum.

Mut'ah yang pertama ialah Mut'ah wanita, artinya perkawinan yang ditentukan waktu cerai pada waktu nikah dan yang kedua yaitu Mut'ah Haji.

Keterangan ini lebih jelas dimaksudkan, bahwa Ahlus Sunnah membolehkan mengumpulkan orang yang naik haji dalam satu ihram, dengan niat yang satu antara haji dan Umrah, seperti keadaan dalam haji Qiran, tetapi orang-orang Ahli Sunnah sepakat dengan Syi'ah dalam kesemuanya itu, kecuali Syi'ah menolak keras keadaan ini dan mewajibkan bagi tiap haji dan Umrah dilakukan Ihram sendiri-sendiri.

Jadi mengumpulkan antara Haji dan Umrah dalam Ihram yang satu dengan niat yang satu, kemudian difasakh hajinya untuk kembali kepada Umrah, orang-orang Syi'ah tidak dapat memperkenankannya, mereka membenarkan pendapat Umar (lihat Tafsir Ar-Razi, Surat Al-Baqarah ayat 186, Al-Mugni, jz. III, Fathui Bari, jz. IV).

Pada waktu masuk Mesjid Mekkah.

Disunatkan buat orang yang masuk Mekkah mandi, memasukinya dari pihak atas, dari „Bab Bani Syaibah" (Babus Salam), dan mengangkat kedua tangannya tatkala melihat Ka'bah, serta membaca takbir dan berdoa dengan do'a yang baik, atau yang mudah dihafalnya, kemudian pergi ke Hajar Aswad, menciumnya atau mengusapnya atau mengisyaratkan dari jauh dengan tangannya.

Imamiyyah mengistimewakan memasuki Mekkah dengan mengulum semacam pohon yang baunya harum, jika tidak ada membersihkan mulut, sampai bersih daripada bau busuk.

Syarat2 haji.

Imamiyyah menetapkan, bahwa diantara syarat haji ialah bersuci dari pada hadas dan najis, sebagai syarat dalam thawaf yang wajib, menutup aurat dengan pakaian yang suci, yang tidak dirampas.

Pakaian itu hendaknya jangan dari pada kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, tidak dari sutera, tidak pakai emas, seperti yang terdapat pada Sembahyang.

Bahkan untuk thawaf harus lebih diistimewakan dari pada Sembahyang, seperti yang kita ketahui banyak pelanggarannya yang disuruh bayar dengan dam.

Juga bagi wanita tidak dibolehkan memakai sutera dan emas.

Imamiyyah menerangkan juga diantara syarat haji ialah Thawaf dan sudah berkhitan.

Tidak sah thawaf, bagi anak-anak maupun laki-laki yang belum dikhitani (Al-Jawahir, Al-Hada'iq).

Kaifiyat Thawaf.

Wajib ditentukan niat, bahwa ia berjalan Thawaf, jika lemah boleh berkendaraan, seperti tersebut dalam kitab "Al-Kafi" dan kitab "Man La Yahduruhul Faqih".

Jadi bagi Imamiyyah syarat Thawaf sebagai berikut :

1. Niat,

2. Thawaf berjalan atau berkendaraan.

3. Dimulai Thawaf pada Hijir Aswad.

Kemudian diteruskan thawaf dengan Ka'bah disebelah kiri, disudahi pada akhir kali, thawaf yang ketujuh, pada Hijir Aswad dengan tidak melebihi dan mengurangi.

4. Dalam perjalanan thawaf harus dijaga, bahwa Ka'bah selalu terletak disebelah kiri.

5 dan Hijir Ismail termasuk dalam thawaf, karena ia merupakan " sebagian daripada Ka'bah pada masa dahulukala, sehingga jika ada orang yang memotong jalan thawaf melalui Hijir Ismail batal-lah thawafnya.

6 Bahwa hendaklah thawaf itu dilakukan diluar Ka'bah bukan didalamnya.

Dalam Qur'an disebut : "Hendaklah mereka thawaf keililing Baital Atiq", bukan didalamnya. Yang dimaksud dengan Baital Atiq ialah Ka'bah.

7. Hendaklah orang yang thawaf itu melalui antara Ka'bah dan Maqam Ibrahim, atau batu (Sakarah), tempat Nabi Ibrahim membuat Ka'bah, dahulu dalam sebuah gubuk, sekarang sudah terletak diluar.

8. Bahwa dengan tujuh kali keiiling Ka'bah haruslah disempurnakan thawaf itu, tidak berlebih dan berkurang.

Apabila sudah selesai thawaf wajib sembahyang dua rakaat dibelakang maqam Ibrahim, meskipun manusia sesak padat tidak mungkin dipindahkan ketempat lain, kecuali jika perlu betul jatuh dalam Masjidil Haram.

Tidak boleh melakukan thawaf kedua, kecuali sesudah Sembahyang dua rakaat itu.

Jika ia lupa, ulang kembali Sembahyangnya, jika uzur, diqada, apabila thawaf itu thawaf wajib, dan apabila thawaf itu thawaf sunat boleh dikerjakan sembahyang dua rakaat itu,. kapan suka (At-Tazkirah, Al-Jawwahir, Al-Hadaiq).

Imamiyyah memutuskan sunat mengusap Hajar Aswad dan Rurun yang lain (Rukun Yamani).

Begitu juga menganggap wajib muwalah.

Yang sunat dikerjakan pada thawaf.

Terpetik dari kitab "Al-Lam'ah Ad Damsyiqiah" Muhammad Jawwad Mughniyah menerangkan, bahwa daripada sunat thawaf (dari Imamiyyah) yaitu berdiri tentang Hajar Aswad, membaca do'a menghadapinya dan mengangkat dua belah tangan, membaca "Surat Al- Qadar", Zikrullah, tenang pada waktu berjalan, mengusap Hijir Aswad, dan menciuminya kalau mungkin, baunya harum atau member isyarat dengan tangan kanan dari jauh, melakukan istilam pada rukun-rukun lain atau menciumnya, terutama pada thawaf kali ketujuh, dan pada akhirnya mendekati Ka'bah dan pintunya, serta makruh kalau berbicara ditengah-tengah thawaf, kecuali mengucapkan zikir dan Qur'an.

Juga Imamiyyah menetapkan, bahwa sunat melakukan thawaf 360 X, kalau tidak sanggup, 36 kali.

Hukum Thawaf.

Berkata Imamiyyah selanjutnya : Jika seorang wanita Haid ditengah-tengah thawaf, maka diputuskan, bahwa jika haid itu datang sesudah thawaf empat kali keiiling, lalu melakukan sa'i pada masa yang lampau sa'i itu dilakukan diluar Mesjid, dan boleh dalam keadaan wanita berhaid.

Tetapi, tempat sa'i itu sekarang sudah masuk kedalam Mesjid, jadi thawaf dan sa'i sudah sama-sama dilakukan dalam Masjidil Haram, penyalin". (Sambungan thawaf dilakukan sesudah wanita itu bersih.

Kita catat disini, bahwa Mazhab Hanafi membolehkan seorang wanita yang sedang berhaid melakukan thawaf, dengan tidak disyaratkan, mesti suci dari pada haid.

Kitab "Fathui Qadir", dari Mazhab Hanafi, menerangkan : Barang siapa yang memutuskan thawaf Jiarah (Ifadha ?), wajib membayar dam seekor kambing, dan barang siapa meninggalkan thawaf empat kali keiiling, batal thawafnya, sehingga ia thawaf lagi.

Imamiyyah berkata : Apabila seseorang sesudah menyelesaikan thawaf, datang syak dalam hatinya, apakah yang sudah dilakukannya sudah memenuhi hukum, tidak ada lebih dan tidak ada kurang, Imamiyyah memutuskan, bahwa purbasangka.ini tidak berbekas dan thawafnya sah.

Thawaf ini dilakukan sesudah memakai Ihram dari pada amal Umrah Mufradah atau Umrah Tamattu'.

Adapun amal thawaf dari haji, yang sudah melakukan hajinya di Mina, ada cara lain.

SA'I DAN POTONG RAMBUT.

Semua Mazhab sepakat, bahwa Ibadah sa'i itu dilakukan sesudah thawaf, dan sesudah Sembahyang dua rakaat, yang dilakukan untuk thawaf.

Barang siapa sa'i sebelum thawaf, haruslah ia ulang kembali, ia thawaf kemudian ia sa'i.

Cara mèlakukan.

Semua Mazhab sepakat, bahwa ibadah sa'i dikerjakan dengan berjalan atau berlari antara bukit Safa dan bukit Marwah, dan merupakan rukun haji pada Imamiyyah.

Semua Mazhab juga sepakat, bahwa bilangan sa'i itu tujuh kali, dimulai dengan Safa dan diakhiri dengan Marwah, yang terletak dekat „Babus Salam" atau „Babu Bani Syaibah", jalan masuk ke Mesjid, yang kuasa berjalan, yang tidak kuasa boleh berkendaraan atau diusung.

Ibadah sa'i itu, sesudah istilam, berjalan dari Safa menghadap Marwah, dan kembali dari Marwah menghadap Safa.

Imamiyyah menurut kitab „Al-Jawahir", menetapkan sa'i itu dikerjakan sesudah selesai thawaf, sunat istilam kepada Hazar Aswad, minum air zamzam, mengemukakan Hazar Aswad, dahulu bernama „Babus Safa", naik keatas bukit Safa menghadap ke Ka'bah (Rukun Al-Iraqi), membaca tahmid, berhenti sejenak dibukit Safa, bertakbir tujuh kali, bertahlil, yang diulang-ulang tiga kali dan berdo'a dengan do'a yang ma'tsur, Hampir semua Mazhab bersamaan.

Muhammad Jawwad Mughniah menerangkan, bahwa tidak seorang Imam Fuqaha' yang mewajib kan bersuci untuk sya'i daripada hadas besar dan kecil, dan dari pada najis.

Cuma yang ada berlari kecil, sekarang pada tempat yang diberi tanda.

Hukum Sa'i.

Barang siapa yang tidak sanggup melakukan sa'i, meskipun dengan kendaraan, boleh diwakilkan kepada orang lain dan sah hajinya.

Dalam melakukan sa'i dengan sengaja lebih daripada tujuh kali, batal sa'inya, tetapi tidak batal kalau lupa.

Begitu juga kalau sah, dilakukan pada yang yakin, atas bilangan ini.

Memotong rambut.

Imamiyyah menetapkan, bahwa boleh dipilih antara menggunting sedikit rambut, kumis, rambut kepala, atau mengerat kuku.

Tetapi menetapkan bahwa „taqsir" itu wajib dan bukan hukum, sama dengan memberi salam penutup pada waktu Sembahyang.

Taqsir itu atau mencukur kepala seluruhnya hanya wajib satu kali pada Umrah Mufradah dan dua kali pada Umrah Tamattu'.

Taqsir pada Umrah.

Kata Imamiyyah : Apabila seorang yang ber-umrah Tamattu' melakukan sa'i, berniat akan taqsir (gunting sebahagian) tidak boleh mencukuri seluruh kepala.

Dan apabila sudah taqsir, halal baginya apa yang haram.

Dan apabila dia mencukur seluruh kepala, wajib membayar dam seekor kambing.

Imamiyyah menerangkan, bahwa apabila seseorang selesai melakukan sa'i, boleh memilih antara mencukuri kepala atau menggunting rambut sebahagian.

Adapun halal dari pada ihram, terserah kepada macam haji dan Umrah.

Taqsir pada ha'ji. '

Taqsir kedua sesudah mengerjakan haji bergantung kepada macam Hajinya, Tamattu', Ifrad atau Qiran, dan dilakukan sesudah memotong di Mina.

Sepakat mazhab untuk memilih, apakah orang haji itu memilih taqsir atau mengutamakan bersukur.

Imamiyah mewajibkan bagi mereka yang tidak ada rambut, melakukan pisau cukur pada kulit kepala.

Cukur di Mina atau memotong rambut atau kumis dsb. di Mina itu wajib.

Apabila seseorang bangkit dari Mina, sebelum cukur atau menggunting, wajib dia kembali, baik lupa atau sengaja.

Menggunting atau memotong rambut tidak berarti seseorang boleh mencampuri isterinya, sebelum thawaf Nisa, yaitu thawaf khusus untuk menghasilkan segala sesuatu dengan isteri, dan halal Aqad Nikah, pada Imamiyyah.

Tidak boleh berburu.

WUQUF DI ARAFAH.

Amal yang kedua dalam Haji.

Amal Haji dimulai dengan Ihram, lengkap se-lengkap-lengkapnya seperti pada Umrah.

Adapun amal yang kedua, sesudah Ihram, adalah amal yang dianggap Rukun Haji, yaitu wukuf di Arafah, dengan tidak dibedakan, apakah Haji itu diperbuat secara Tamattu', Ifrad atau Haji Qiran.

Orang-orang yang datang ke Mekkah sesudah Ihram pada Miqatnya.

Thawaf di Mesjidil Haram, dan sebelum keluar ke Arafah juga thawaf, seperti sunat Tahiyat Masjid bagi Sembahyang.

Sebelum wuquf di Arafah.

Semua orang haji yang keluar dari Mekkah disunatkan pada hari Tarwiyah, tanggal 8 Zhulhijjah, pergi menghadapi Mina, yang terletak dijalan. ke Arafah.

Imamiyyah menerangkan, bahwa sunat bagi orang yang mau keluar ke Arafah, tidak keluar dari Mekkah, sebelum Sembahyang Zhuhur.

Tetapi dibolehkan keluar bersegera ke Arafah sehari atau dua sebelum hari Tarwiyah, khusus buat orang sakit, orang tua dan wanita, dan orang yang takut tidak kebagian tempat, begitu juga boleh keluar pada pagi hari yang kesembilan, agar ia hadir di Arafah pada waktu condong matahari.

Tidak ada Mazhab yang menerangkan wajib menginap di Mina pada malam Arafah, tetapi menginap malam Arafah di Mina tidak sunat, hanya sebagai istirahat saja.

Waktu Wuquf di Arafah.

Semua Mazhap menerangkan, bahwa waktu Wukuf di Arafah itu adalah pada hari kesembilan bulan Zhulhijjah, cuma yang ada perselisihan pahamnya adalah pada waktu permulaan dan penghabisan hari kesepuluh Zhulhijjah.

Imamiyyah menetapkan, bahwa waktu Arafah itu berlaku dari pada condong hari tanggal Sembilan sampai kepada masuk matahari pada hari itu bulan Zulhijjah bagi mereka yang leluasa, tetapi boleh dipanjangkan sampai keluar matahari hari berikutnya, yaitu tanggal Sepuluh Zulhijjah bagi orang yang terpaksa.

Sebelum Wuquf di Arafah itu disunatkan mandi yang sempurna, seperti mandi Jum'at, dan tidak ada amal lain di Arafah itu kecuali hadir dan berada pada salah satu tempat dalam lingkungan Arafah itu, baik dalam keadaan jaga atau tidur, maupun dalam keadaan berkendaraan, duduk atau berjalan-jalan.

Orang biasa menggunakan waktu yang baik dan Mustajab ini untuk berdo'a, membaca Qur'an, atau mendengar ceramah dan sebagainya.

Lingkungan daerah Arafah

Lingkungan lapangan Arafah itu ialah seluruh daerah, yang dinamakan Arafah sekarang ini, termasuk Namrah sampai kepada Zul Majaz.

Pada garis dan diluar wilayah ini tidak diperkenankan Wukuf, karena daerah lapangan Arafah itu tidak masuk Arafah.

Jikalau Wuqub didaerah luar itu batal hajinya.

Semua daerah Arafah sebelah dalam boleh digunakan sebagai tempat Wuquf, ditempat manapun jua didaerah itu dibolehkan oleh semua mazhab.

Kata Imam As-Sadiq, bahwa Rasullullah Wuquf di Arafah, kemudian turutlah orang banyak ketempat itu sehingga berdesak-desak dengan ontanya.

Rasullullah berkata : "Semua tempat ini adalah tempat Wuquf."

Syarat-syarat Wuquf.

Tidak disyaratkan bersuci lebih dulu untuk Wuquf di Arafah.

Menurut Imamiyyah, bahwa yang diwajibkan ialah berniat dan bermaksud Wuquf di Arafah.

Selanjutnya Imamiyyah menerangkan, bahwa untuk Wuquf itu ada dua keadaannya : Suka rela dan terpaksa.

Yang pertama dimulai tanggal 9 sesudah condong matahari sampai matahari masuk.

Dan yang kedua mulai dari keluar matahari tanggal 10 Zulhijjah, boleh sampai condong matahari atau sampai masuk matahari.

Tetapi permulaannya dinamakan Wuquf dan ketinggalan bagian hari dinamakan wajib bukan rukun.

Apabila seseorang keluar dari Arafah sebelum condong matahari, wajib kembali mengerjakan lagi, jika tidak ia harus membayar kifarat seekor anak onta, jika dia tidak dapat mengerjakannya, ia harus puasa delapan belas hari berturut-turut.

Tetapi jika keluar dari Arafah sebelum condong matahari karena lupa, tidak teringat kecuali sesudah habis waktunya, tidak ada apa-apa.

Ia mendapat Wuquf di Mes'aril haram pada waktunya.

Akhirnya disunatkan bagi orang yang Wuquf di Arafah bersuci yang sempurna, senantiasa menghadap Qiblat, memperbanyak istighfar memperbanyak do'a serta khusyuk', khudhu' dan hudhur hati.

WUQUF DI MUZDALIFAH.

Wuquf di Muzdalifah adalah amal haji yang berikutnya sesudah Wuquf di Arafah.

Semua orang haji yang datang dari Arafah menghadap ke Muzdalifah, sebagaimana yang disebutkan dalam Qur'an :

„Apabila sudah selesai pekerjaan di Arafah, berzikirlah kamu untuk Allah pada Masy'aril Haram, sebagaimana berzikir yang diajarkan kepadamu".

Semua Mazhab sepakat bahwa disunatkan mengakhirkan Shalat Maghrib pada malam Hari Raya sampai dj Muzdalifah.

Pengarang At-Tazkirah (Kitab Syi'ah) berkata : „Apabila sudah masuk matahari di Arafah, maka ia teruskan Sembahyangnya di Masy'aril Haram dan ia berdo'a dengan do'a yang baik."

Kata pengarang Kitab Al-Mughni : „Bahwa sepanjang sunnah Nabi, adalah sunat bagi orang yang sudah berangkat dari Arafah, tidak Sembahyang Maghrib kecuali di Muzdalifah.

Disana ia men jama' Salat Maghrib dan Isya, sebagaimana Nabi telah memperbuatnya.

Dan oleh karena itu Imamiyyah mengganggap sunat meniru perbuatan nabi itu dengan Jama' Shalat.

Barang siapa Shalat Maghrib lebih dahulu sebelum sampai di Mazdalifah, dan tidak menjama' antara dua Shalat, Shalat Maghribnya itu sah, meskipun Abu Hanifah menganggap tidak mendapat pahala atas perbuatannya.

Batas lingkungan Muzddlifah.

Sebagaimana tersebut dalam Kitab „At-Tazkirah" dan Kitab „Al-Mughni", bahwa Muzdalifah itu mempunyai tiga nama, yaitu Muzdalifah, Jama' dan Masy'aril Haram. Batasnya dari Ma'jami sampai Al-Hivadh, sampai kepada Wadi Mahsyar.

Seluruh Mu'aliyat itu adalah tempat Wuquf seperti padang Arafah.

Tiap bahagiannya boleh digunakan.

Menurut kitab „Al-Mudharid" (Syi'ah), bahwa jika terlalu mendesak manusia, bahkan dibolehkan Wuquf dia tas gunung, yang termasuk dalam garis Muzdalifah.

Tidur dan Wuquf di Muzdalifah.

Apakah bermalam atau tidur di Muzdalifah pada malam Hari Raya itu wajib ? Atau dapat dicukupkan Wuquf di Masy'aril Haram saja, meskipun sepicing sesudah keluar matahari pagi ? Yang dimaksudkan dengan Wuquf ialah bagaimana yang disukai oleh seorang haji bentuknya, ia berjalan, ia duduk atau ia berhenti sejurus diatas kendaraannya, semua itu bersama halnya dengan di Arafah.

Sementara Mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hambali, mewajibkan bermalam di Muzdalifah, dan yang tidak mengerjakannya harus membayar dam, Imamiyyah dan Mazhab Maliki tidak mewajibkan, hanya mengutamakannya dengan tidak ada akibat apa-apa atas pelanggaran itu.

Adapun Wuquf di Masy'aril Haram sesudah keluar matahari pada sepuluh Zulhijjah adalah sebuah pekerjaan sunat daripada pekerjaan-pekerjaan haji.

Imamiyyah menerangkan, bahwa wuquf di Masy'aril Haram itu ada dua macam, pertama bagi orang yang tidur uzur mentakhirkannya pada Hari Raya antara keluar pajar dan keluar matahari.

Orang yang melakukannya mengetahui dan dengan sengaja meliwati Masy'aril Haram sebelum keluar pajar, tidak batal hajinya, jika ia sudah Wuquf di Arafah cuma ia wajib membayar dam seekor kambing.

Jika ia meninggalkan karena tidak mengerti hukumnya, tidak ada kewajiban apa-apa.

Yang kedua adalah Wuquf yang berlaku untuk wanita dan untuk orang yang uzur yang tidak dapat melakukan Wuquf antara keluar fajar dan keluar matahari, sampai kepada condong matahari sesudah Hari Raya.

Bagi orang yang terpaksa, hal itu dibolehkan.

Imamiyyah menerangkan, bahwa Wuquf pada suatu tempat diantara dua waktu yang terbatas itu, adalah sebuah Rukun daripada rukun-rukun haji.

Barang siapa yang meninggalkan Wuquf seluruhnya, dengan uzur, secara sukarela atau terpaksa, dan tidak ada sama sekali Wuqufnka pada malam hari, melalui tempat-tempat ini, batal hajinya, kecuali jika ia tinggalkan itu karena uzur yang dapat diterima oleh alam.

Pada Imamiyyah Wuquf di Masy'aril Haram dianggap lebih penting daripada Wuquf di Arafah.

Dan oleh karena itu, dikatakan, bahwa barang siapa yang tidak melakukan Wuquf di Arafah, tetapi berwuquf di Masy'aril Haram, sebelum keluar matahari, dianggap sah hajinya (At-Tazkirah).

Keadaan yang sunat.

Kata Imamiyyah, bahwa disunatkan bagi orang yang meneruskan haji, melewati Masy'aril Haram (Al-Jawahir).

Dan disunatkan pada memilih kerikil di Muzdalifah, untuk digunakan melempar Jumrah di Mina, sebanyak tujuh puluh biji.

Dan disunatkan pula dalam Mazhab Imamiyyah, bahwa keadaan orang haji yang lalu itu, dalam keadaan suci, membaca tahlil, takbir dan do'a apa yang dikehendaki.

D I M I N A .

Kifarat, Fidiyah dan dam.

Semua Mazhab mempunyai kata sepakat, bahwa Ibadad Haji yang mengiringi Wuquf di Masy'aril Haram adalah manasik Mina.

Seorang haji keluar dari Muzdalifah sesudah terbit matahari dan apabila dia keluar dari sana sebelum terbit matahari dan mencapai batasnya, maka dianggap melanggar dan wajib membayar kifarat seekor kambing.

Di Mina banyak pekerjaan selama orang haji tinggal disana, yang dinamakan Hari Na'at, Hari Raya dan Hari' tanggal 13, sore 12, dan di Mina berakhirlah kewajiban haji. Tiga hari sesudah hari Raya dinamakan Hari Tasyriq.

Pada Hari Raya di Mina ada tiga macam amal Ibadat, pertama melemparkan Jumrah Uqbah, menyembelih dan mencukur kepala atau menggunting sedikit rambut.

Semua Mazhab sepakat dengan keterangan, bahwa Rasulullah melempar Jumrah lebih dahulu, kemudian baru melakukan penyembelihan dan kemudian itu mencukur kepala.

Apakah tertib ini wajib ?

Imamiyyah menerangkan, bahwa jika seseorang haji mendahulukan pekerjaan satu dari yang lain, sedang ia tahu dan sengaja, ia berdosa meskipun tidak usah diulang lagi pekerjaan itu.

MELEMPAR JUMRAH.

Jumrah Uqbah.

Wajib melemparkan Jumrah di Mina bagi tiap orang haji Tamattu', atau Qiran atau Ifrad.

Melempar Jumrah itu selama empat hari, pertama pada hari Raya, yang dilemparkannya itu Jumrah Uqbah, kedua pada Hari tanggal Sebelas Zulhijjah, dilempar berturut-turut tiga Jumrah dan ketiga juga berturut-turut Jumrah, sedang Hari yang keempat begitu juga, jika orang itu menginap di Mina pada malam tiga belas Zulhijjah.

Kalau dia tidak menginap maka tidak melemparkan apa-apa.

Jumrah hari yang kesepuluh.

Semua Mazhab sepakat, bahwa melemparkan Jumrah Uqbah itu adalah pada tanggal 10 Zulhijjah, dari terbit sampai terbenam matahari.

Tidak dibolehkan melempar Jumratul Uqbah itu sebelum fajar, kecuali disebabkan sakit, ketakutan atau uzur yang lain.

Imamiyyah menerangkan, bahwa waktu melemparkan Jum'rah ini sampai masuk matahari, apabila seseorang lupa, diqadha hari berikutnya, apabila lupa lagi, pada hari berikutnya pula, dan apabila terus-menerus lupa, wajib dipenuhi pada tahun yang akan datang, sendiri atau diwakilkan pada orang lain (AI-Hakim dan Al-Khu'i).

Syarat melempar.

Imamiyyah menjelaskan hal-hal yang mengenai syarat melempar Jumrah sebagai berikut:

1. Niat

2. Bahwa melempar itu dengan tujuh butir batu.

3. Bahwa yang dijadikan pelemparan itu adalah batu, bukan benda lain, dan tidak boleh dilempar sekaligus, tetapi satu persatu.

4. Supaya batu yang dilempar itu mengenai jumrah.

5. Agar batu itu kena Jumrah, tidak boleh diletakkan saja.

6. Bahwa yang dilempar itu betul batu, tidak boleh dilempar dengan lain batu, seperti garam, besi, tembaga, kayu, dan lain-lain.

7. Bahwa batu yang dilempar itu belum pernah digunakan untuk melempar Jumrah sebelumnya.

Imamiyyah menerangkan selanjutnya, bahwa batu yang dilempar itu besarnya sebesar kepala semut atau sebesar kacang pul, warnanya warna batu, tidak boleh merah, putih atau hitam.

Imamiyyah menerangkan, bahwa sunat bagi orang haji dalam menunaikan seluruh Ibadah Hajinya, menghadap Qiblat, kecuali melempar Jumrah Uqbah pada Hari Raya, disitu sunat menghadapi Jumrah itu saja.

Dan sunat bagi orang yang berjalan kaki, kecuali jika tempatnya terlalu jauh boleh berkendaraan.

Sunat ia berdoa, yang terjamahannya : „Wahai Tuhanku, jadikanlah haji ini bagiku haji yang penuh kebajikan, dan dosa yang penuh dengan ampunan Tuhanku, bahwa inilah batuku, lindungilah aku dan angkatkan daku dalam amalku Tuhan Allah Maha Besar Tuhan jauhkanlah saitan dari padaku".

Syak.

Bagaimana hukumnya, jika seseorang Haji dalam melempar Jumrah syak, apakah batunya itu mengenai tujuan ? Jawabnya ia mengambil jumlah angka yang sedikit.

PENYEMBELIHAN.

Zabah atau Hadyu adalah kata-kata yang kita terjemahkan dengan penyembelihan.

Untuk ini digunakan juga dalam bahasa Arab, perkataan Adhiyah atau Qurban.

Hadyu ini adalah salah satu kewajiban daripada amal Haji di Mina pada Hari Raya, terbagi atas beberapa bahagian, ada yang wajib dan ada yang sunat, yang wajib biasanya dinamakan dam, diwajibkan karena melanggar salah satu yang tidak dibolehkan dalam menjalankan haji.

Hadyu yang wajib terbagi atas beberapa bahagian, pertama kepada siapa diwajibkan, kedua sifat-sifatnya, ketiga waktu dan tempat menyembelih, keempat hukum pembahagian daging, dan kelima pergantian.

Pembahagian Hadyu.

Sudah diterangkan, bahwa Hadyu itu terbagi kepada dua, pertama yang wajib dan kedua yang sunat. Yang sunat itu dinamakan Adhiyah atau Qurban, sebagaimana tersebut didalam Qur'an dan didalam Sunnah.

Adhiyah itu diwajibkan kepada Ahlil Bait pada tiap tahun, sebagaimana wajib zakat.

Imamiyyah menerangkan, bahwa hari-hari Adhiyah yang sunat itu di Mina adalah empat; Pertama Hari Raya, Kedua tiga hari berikutnya, yaitu hari-hari Tasyriq. Adapun didaerah bukan Mina, hari-hari Adhiyah itu hanya tiga, yaitu Hari Raya, tanggal 11 dan tanggal 12 Zulhijjah.

Waktunya yang utama hari penyembelihan itu ialah pada tanggal 10 Zulhijjah sesudah keluar matahari dan sesudah Shalat Hari Raya dengan dua Khutbahnya (At-Tazkirah).

Empat macam dam dengan alasan yang tertulis dalam Al-Qur'an ialah pertama Dam Tamattu', kedua Dam Halaq (tidak bercukur), ketiga Hadyul Jaza', dan keempat Hadyul Hisar (At-Tazkirah).

Selain daripada itu penyembelihan termasuk wajib karena janji, karena nazar atau karena sumpah.

Untuk siapa diwajibkan Hadyu 'itu?

Hadyu itu tidak wajib untuk orang yang mengerjakan Umrah Mufradah, dan tidak juga kepada orang yang melakukan Umrah atau haji mufradah yang bukan penduduk mekah, imamiyah tidak mewajibkan Hadyu.

Ada yang mengatakan wajib hadyu atau haji Tamattu' ini kepada mereka yang melakukannya Haji Qiran kecuali dengan Nazar, Jika seorang penduduk Mekkah naik haji tamattu yang sebenarnya Haji ini buat orang asing dari luar Mekkah wajib melalukan penyembelihan.

Penyembelehan yang wajib ini tidak termasuk Rukun Haji.

Sifat-sifat Hadyu.

Hadyu atau yang disembelih itu, hendaklah dari pada onta, sapi kambing dan biri-biri.

Bahwa binatang yang disembelih itu hendaklah jangan menderita aib, misalnya buta, pincang, sakit, dan sebaginya.

Waktu dan tempat penyembelihan.

Sudah diterangkan, waktu penyembelihan itu adalah Hari Raya dan dua hari sesudahnya.

Tidak dibolehkan mendahulukan penyembelihan dari pada tanggal 10 Zulhijjah.

Imamiyyah menerangkan, bahwa penyembelihan Nahar atau Zabah untuk Tamattu' hanya dilakukan di Mina Apa yang bersangkutpaut dengan Ihram penyembelihan itu boleh dilakukan di Mekkah.

Pembahagian daging.

Daging penyembelihan Hadyu menurut Imamiyyah harus dibagikan kepada tiga macam golongan, pertama disedekahkan kepada orang" fakir yang ber-iman, kedua, dihadiahkan kepada sembarang orang, meskipun orang kaya dan ketiga sepertiganya dimakan sendiri (Al-Jawahir).

Pergantian sembelih.

Semua Mazhab sepakat, bahwa seorang Haji, yang tidak mempunyai uang untuk membeli Hadyu atau menggantikannya dengan hewan yang lain, boleh digantikan dengan puasa sepuluh hari, tiga hari diantaranya pada hari-hari Haji dan tujuh hari yang lainnya apabila ia sudah kembali kekampungnya.

Mewakilkan menyembelih.

Penyembelihan yang utama dilakukan sendiri, tetapi boleh diwakilkan kepada orang lain, yang meniatkan Qurban itu untuk yang empunya.

Imamiyyah menganggap sunat bahwa, jika orang lain menyembelih untuknya, ia meletakkan tangannya pada tangan orang yang memotong itu, atau sekurang-kurangnya ia menghadiri penyembelihan itu.

Imam As-Sadiq menerangkan, bahwa Qani' dan Mu'tar adalah Qani' yaitu orang yang menerima pemberian daging dengan senang hati dan tidak mendongkol, sedang Mu'tar yaitu mereka yang dating meminta kepadamu daging itu (lihat Qur'an, surat Al-Hajj, ayat 36).

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa penyembelihan hewan itu hendaklah dengan lemah lembut.

Al-Khutsi berkata dalam kitabnya mengenai manasyik haji, bahwa boleh menghadiahkan daging penyembelihan itu kepada mereka yang bukan Muslim, dengan tidak memperhatikan fakir yang disedekahi itu beriman atau tidak, Islam atau tidak, kaya atau miskin, orang Imamiyyah atau bukan, kafir Zemmi atau bukan, teman terdekat, atau musuh dalam peperangan.

PENUTUP.

ANTARA MEKKAH DAN MINA

BEBERAPA PERKARA HAJI

Apabila seseorang sudah selesai mengerjakan manasik haji di Mina pada Hari Raya dengan menyelesaikan lempar Jumrah, penyembelihan.

kembalilah ia ke Mekkah dan melakukan Thawaf disekitar Kabah, thawaf yang dinamakan Thawaf Ziarah bagi Imamiyyah atau Thawaf Ifadhah' bagi Ahlus Sunnah namanya.

Kemudian dia Sembahyang dua rakaat, dan melakukan Ibadah Sa'i antara Safa dan Marwah.

Menurut empat Mazhab Ahlus Sunnah, calon yang sudah menjadi Haji itu boleh kembali lagi ke Mina dan halal-lah semua baginya, meskipun mendekati isterinya.

Tetapi Imamiyyah belum memperbolehkan mendekati isterinya itu, kecuali orang Haji itu melakukan Thawaf khusus, yaitu thawaf yang dinamakan Thawafun Nisa', Sembahyang dua rakaat, dan selesailah semua pekerjaan Haji.

Perkara menginap di Mina, Imamiyyah menerangkan, bahwa apabila seseorang menginap ditempat lain Mina, tidak usah membayar fidyah, misalnya di Mekkah dan melakukan amal ibadah disana.

Tetapi jika bukan di Mekkah atau lupa atau tidak mengerti hukumnya, orang itu selama dua malam itu tiap malam memotong seekor kambing (Manahijun Nasikin, karangan Sayid Al-Hakim.)

T A M M A T

B A H A N B A C A A N .

AL-QUR'ANUL KARIM. Terjemah Ustad Mahmud Junus

SUNNATUR RASUL

Kutubus Sittah : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmizi, Sunan An-Nasa'i, Sunan Ad-Darquthni, Al-Baghawi, Al-Baihaqi, dan lain-lain.

Kutubul Arba'ah : Al-Kafilil Kulaini, Man La yahdhuruhul faqih li Ibn Babuih, Al-Istibshar dan Afe-Tahzibil Ahkam l I Ja'far Ath-Thusi.

MUH. JAWAD MUGHN1YAH.

Al-Fiqh alal Mazahibil Khamsah (Beirut, (1967) „Al-Ahwalusy-Syakhsiyyah.

ASAD HAID AR.

Al-Imamus Shadiq wal Mazahibul Arba'ah, I — IV (Beirut, 1969)

DR. AHMAD AL-GHANDUR1, Al-Ibadat min Al-Qur'an was Sunnah (Mesir, 1967)

PROF. DR. SOBHl MAHMASSAN1. Falsafatut Tasyri' fil Islam (Beirut 1953)

PROF. DR. SOBHI MAHMASSAN1.

Al-Audha'ut — Tasyri' fid Duwal Al-Arabiyah (Beirut, 1952)

PR. G.F. PIJPER, Fragmenta Islamica, Leiden.

JALALUDD1N AS-SUYUTHI, Al-Iklilfi Instimbathit Tanzil, 1373 H.

THANTHAWI JAUHARI, Al-Qur'an wal 'Ulumul 'Ashriyah.

FARID DAJD1, Al-Islam fi ashil 'ilm.

PROF DR. H. ABOEBAKAR ATJEH,

Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Filsafat perkembangan hokum dalam Islam) (Jakarta, 1969)

ft. MOENAWAR CHAUL.

Kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jakarta, 1956. hal. 194-204.

DR. MUSTHAFA AS-S1BAX

As-Sunnah wa makanatuha fit tasyri'il Islami, Cairo, 1961.

ABDUL AZ1Z AL-CHULL

Mirtahus Sunnah, Mesir 1928.

AL-BAGHAWI,

Miftah as-Sunnah.

WALIJUDDIN AT-TIBRIZI.

Masyikat al-Masabih,

AL-CHUDHARl,

Tarikhut Tasyri'.

AL-MAKKI,

Manaqib Abu Hanifah.

AHMAD AMIN,

Dhuhal Islam, Mesir 1952.

DR TH.W. JUYNBOL, .

Handl. t/k de Moh. Wel, volgens. Sjafi'itishe School. Leiden, 1930.

IBN RUSYD,

Didayatul Mujtahid I-II Mesir, 1950.

ABDUR RAHMAN AL-JAZAIRI,

Kitabul Fiqh alal Mazahibil Arba'ah, M V Cairo, 1939.

O.K. RACHMAT

Serba Serbi ttg. Islam, Medan, 1959.

PROF. T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY,

Hukum Islam, Jakarta, 1962.