T H A W A F .
Macam2 Thawaf pada Syi'ah.
Syi'ah, sepakat dengan Ahlus Sunnah, mengakui bahwa dalam Agama Islam ada perintah mengerjakan : "Thawaf Qudum" bagi orang yang masuk Mekkah, semacam Sembahyang dua rakaat Tahiyat Masjid.
Oleh karena itu thawaf ini kadang-kadang dinamakan thawaf tahiyat.
Semua Mazhab menganggapnya sunat, jika ditinggalkan membayar dam seekor kambing.
Thawaf Ziarah, yang dinamakan juga Thawaf Ifadhah.
Thawaf ini dilakukan oleh orang haji sesudah ia di Mina melempar Jumrah Uqbah, penyembelihan dan menggunting rambut, kemudian ia kembali ke Mekkah serta thawaf.
Dinamakan Thawaf Ziarah, karena orang haji meninggalkan Mina dan ziarah ke BaituIIah.
Dan dinamakan Thawaf Ifadhah, karena orang haji kembali (afadha) dari Mina ke Mekkah.
Kadang-kadang dinamakan Thawaf Haji, karena ia merupakan rukun dari pada rukun haji.
Dengan mengerjakan semua thawaf ini halallah bagi orang yang Ihram haji itu semuanya, sampai kepada mendekati isterinya, kecuali Imamiyyah yang menerangkan, bahwa bagi mereka ini belum halal mendekati isterinya, sebelum ia Sa'i, antara Safa dan Marwah, dan Thawaf lagi yang kedua kali, yang oleh mereka dinamakan thawaf wanita (Thawaf Nisa').
Ketiga Thawaf Wida', yaitu apa yang dikerjakan orang haji, pada waktu ia pulang dari Mekkah, jika ditinggalkan harus membayar dam satu kambing.
Syi'ah menyetujui ketiga macam Thawaf ini, tetapi mereka berpendapat bahwa thawaf Ziarah adalah rukun daripada rukun-rukun haji, jika ditinggalkan batal-lah hajinya.
Adapun Thawaf Qudum mereka menganggap sunat, sedang Thawaf Wida' mereka dengan Mazhab Maliki menganggap sunat.
Orang-orang Syi'ah menambahkan satu Thawaf lagi, yaitu yang mereka namakan Thawaf Nisa' atau Thawaf Wanita, dan menganggap wajib thawaf ini, tidak boleh ditinggalkan pada Umrah Mufradah, atau dalam haji semua macamnya, baik Tamattu', Qiran atau Ifrad, tidak boleh ditinggalkan kecuali pada Umrah Tamattu', yang hanya dicukupkan dengan Thawaf Wanita saja yang melengkapi haji Tamattu'.
Orang-orang penganut Ahlus Sunnah mengatakan, bahwa tidak ada Thawaf Haji lagi yang wajib, dan sesudah Thawaf Haji itu halal-lah semua, meskipun mendekati isterinya.
Tetapi Syi'ah menerangkan : Wajib bagi orang yang mengerjakan haji sesudah Thawaf Haji dan Sya'i yang diperlukan, ialah Thawaf lagi berikutnya satu kali, dan thawaf yang kedua ini ialah Thawaf Nisa atau Thawaf Wanita.
Dan mereka menerangkan pula, bahwa apabila seorang naik haji meninggalkan thawaf ini pada akhirnya, bagi mereka masih diharamkan mendekati wanita, dan melakukan nikah, sampai ia melakukan lagi haji ini sendirinya atau digantikan oleh orang lain, jika ttdak dikerjakan, kewajiban ini wajib kepada walinya sesudah ia mati.
Bahkan orang Syi'ah menerangkan, bahwa jikalau seorang anak yang mumayyiz naik haji, tetapi pada akhirnya tidak thawaf wanita, meskipun karena lupa atau bodoh, maka tidak halal baginya mendekati wanita sesudah baligh, dan tidak sah nikahnya lagi, kecuali jika ia mengerjakan haji atau digantikan Ibadah haji itu oleh orang lain dan thawaf wanita pada akhirnya untuk menghalalkannya.
Ringkasnya bagi orang Syi'ah diwajibkan kepada orang yang naik haji Tamattu' tiga macam thawaf, pertama untuk Umrah, yang dianggap rukun dari padanya, kedua untuk haji, yang juga dianggap rukun baginya, dan ketiga untuk Wanita, yaitu satu bahagian kewajiban, tidak seperti rukun Fatihah dalam Sembahyang.
Umar dan Haji Mut'ah.
Ada riwayat, bahwa Umar pernah mengatakan : „Ada dua Mut'ah pada zaman Rasulullah, yang saya haramkan kedua-duanya dalam hukum.
Mut'ah yang pertama ialah Mut'ah wanita, artinya perkawinan yang ditentukan waktu cerai pada waktu nikah dan yang kedua yaitu Mut'ah Haji.
Keterangan ini lebih jelas dimaksudkan, bahwa Ahlus Sunnah membolehkan mengumpulkan orang yang naik haji dalam satu ihram, dengan niat yang satu antara haji dan Umrah, seperti keadaan dalam haji Qiran, tetapi orang-orang Ahli Sunnah sepakat dengan Syi'ah dalam kesemuanya itu, kecuali Syi'ah menolak keras keadaan ini dan mewajibkan bagi tiap haji dan Umrah dilakukan Ihram sendiri-sendiri.
Jadi mengumpulkan antara Haji dan Umrah dalam Ihram yang satu dengan niat yang satu, kemudian difasakh hajinya untuk kembali kepada Umrah, orang-orang Syi'ah tidak dapat memperkenankannya, mereka membenarkan pendapat Umar (lihat Tafsir Ar-Razi, Surat Al-Baqarah ayat 186, Al-Mugni, jz. III, Fathui Bari, jz. IV).
Pada waktu masuk Mesjid Mekkah.
Disunatkan buat orang yang masuk Mekkah mandi, memasukinya dari pihak atas, dari „Bab Bani Syaibah" (Babus Salam), dan mengangkat kedua tangannya tatkala melihat Ka'bah, serta membaca takbir dan berdoa dengan do'a yang baik, atau yang mudah dihafalnya, kemudian pergi ke Hajar Aswad, menciumnya atau mengusapnya atau mengisyaratkan dari jauh dengan tangannya.
Imamiyyah mengistimewakan memasuki Mekkah dengan mengulum semacam pohon yang baunya harum, jika tidak ada membersihkan mulut, sampai bersih daripada bau busuk.
Syarat2 haji.
Imamiyyah menetapkan, bahwa diantara syarat haji ialah bersuci dari pada hadas dan najis, sebagai syarat dalam thawaf yang wajib, menutup aurat dengan pakaian yang suci, yang tidak dirampas.
Pakaian itu hendaknya jangan dari pada kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, tidak dari sutera, tidak pakai emas, seperti yang terdapat pada Sembahyang.
Bahkan untuk thawaf harus lebih diistimewakan dari pada Sembahyang, seperti yang kita ketahui banyak pelanggarannya yang disuruh bayar dengan dam.
Juga bagi wanita tidak dibolehkan memakai sutera dan emas.
Imamiyyah menerangkan juga diantara syarat haji ialah Thawaf dan sudah berkhitan.
Tidak sah thawaf, bagi anak-anak maupun laki-laki yang belum dikhitani (Al-Jawahir, Al-Hada'iq).
Kaifiyat Thawaf.
Wajib ditentukan niat, bahwa ia berjalan Thawaf, jika lemah boleh berkendaraan, seperti tersebut dalam kitab "Al-Kafi" dan kitab "Man La Yahduruhul Faqih".
Jadi bagi Imamiyyah syarat Thawaf sebagai berikut :
1. Niat,
2. Thawaf berjalan atau berkendaraan.
3. Dimulai Thawaf pada Hijir Aswad.
Kemudian diteruskan thawaf dengan Ka'bah disebelah kiri, disudahi pada akhir kali, thawaf yang ketujuh, pada Hijir Aswad dengan tidak melebihi dan mengurangi.
4. Dalam perjalanan thawaf harus dijaga, bahwa Ka'bah selalu terletak disebelah kiri.
5 dan Hijir Ismail termasuk dalam thawaf, karena ia merupakan " sebagian daripada Ka'bah pada masa dahulukala, sehingga jika ada orang yang memotong jalan thawaf melalui Hijir Ismail batal-lah thawafnya.
6 Bahwa hendaklah thawaf itu dilakukan diluar Ka'bah bukan didalamnya.
Dalam Qur'an disebut : "Hendaklah mereka thawaf keililing Baital Atiq", bukan didalamnya. Yang dimaksud dengan Baital Atiq ialah Ka'bah.
7. Hendaklah orang yang thawaf itu melalui antara Ka'bah dan Maqam Ibrahim, atau batu (Sakarah), tempat Nabi Ibrahim membuat Ka'bah, dahulu dalam sebuah gubuk, sekarang sudah terletak diluar.
8. Bahwa dengan tujuh kali keiiling Ka'bah haruslah disempurnakan thawaf itu, tidak berlebih dan berkurang.
Apabila sudah selesai thawaf wajib sembahyang dua rakaat dibelakang maqam Ibrahim, meskipun manusia sesak padat tidak mungkin dipindahkan ketempat lain, kecuali jika perlu betul jatuh dalam Masjidil Haram.
Tidak boleh melakukan thawaf kedua, kecuali sesudah Sembahyang dua rakaat itu.
Jika ia lupa, ulang kembali Sembahyangnya, jika uzur, diqada, apabila thawaf itu thawaf wajib, dan apabila thawaf itu thawaf sunat boleh dikerjakan sembahyang dua rakaat itu,. kapan suka (At-Tazkirah, Al-Jawwahir, Al-Hadaiq).
Imamiyyah memutuskan sunat mengusap Hajar Aswad dan Rurun yang lain (Rukun Yamani).
Begitu juga menganggap wajib muwalah.
Yang sunat dikerjakan pada thawaf.
Terpetik dari kitab "Al-Lam'ah Ad Damsyiqiah" Muhammad Jawwad Mughniyah menerangkan, bahwa daripada sunat thawaf (dari Imamiyyah) yaitu berdiri tentang Hajar Aswad, membaca do'a menghadapinya dan mengangkat dua belah tangan, membaca "Surat Al- Qadar", Zikrullah, tenang pada waktu berjalan, mengusap Hijir Aswad, dan menciuminya kalau mungkin, baunya harum atau member isyarat dengan tangan kanan dari jauh, melakukan istilam pada rukun-rukun lain atau menciumnya, terutama pada thawaf kali ketujuh, dan pada akhirnya mendekati Ka'bah dan pintunya, serta makruh kalau berbicara ditengah-tengah thawaf, kecuali mengucapkan zikir dan Qur'an.
Juga Imamiyyah menetapkan, bahwa sunat melakukan thawaf 360 X, kalau tidak sanggup, 36 kali.
Hukum Thawaf.
Berkata Imamiyyah selanjutnya : Jika seorang wanita Haid ditengah-tengah thawaf, maka diputuskan, bahwa jika haid itu datang sesudah thawaf empat kali keiiling, lalu melakukan sa'i pada masa yang lampau sa'i itu dilakukan diluar Mesjid, dan boleh dalam keadaan wanita berhaid.
Tetapi, tempat sa'i itu sekarang sudah masuk kedalam Mesjid, jadi thawaf dan sa'i sudah sama-sama dilakukan dalam Masjidil Haram, penyalin". (Sambungan thawaf dilakukan sesudah wanita itu bersih.
Kita catat disini, bahwa Mazhab Hanafi membolehkan seorang wanita yang sedang berhaid melakukan thawaf, dengan tidak disyaratkan, mesti suci dari pada haid.
Kitab "Fathui Qadir", dari Mazhab Hanafi, menerangkan : Barang siapa yang memutuskan thawaf Jiarah (Ifadha ?), wajib membayar dam seekor kambing, dan barang siapa meninggalkan thawaf empat kali keiiling, batal thawafnya, sehingga ia thawaf lagi.
Imamiyyah berkata : Apabila seseorang sesudah menyelesaikan thawaf, datang syak dalam hatinya, apakah yang sudah dilakukannya sudah memenuhi hukum, tidak ada lebih dan tidak ada kurang, Imamiyyah memutuskan, bahwa purbasangka.ini tidak berbekas dan thawafnya sah.
Thawaf ini dilakukan sesudah memakai Ihram dari pada amal Umrah Mufradah atau Umrah Tamattu'.
Adapun amal thawaf dari haji, yang sudah melakukan hajinya di Mina, ada cara lain.