• Mulai
  • Sebelumnya
  • 14 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4629 / Download: 3163
Ukuran Ukuran Ukuran
Hakikat Wahyu, pengalaman keagamaan atau Irfan

Hakikat Wahyu, pengalaman keagamaan atau Irfan

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hakikat Wahyu, Pengalaman Keagamaan Atau

Pengalaman Irfan

Ringkasan Makalah

Dalam makalah ini, kami mencoba untuk menganalisa hakikat wahyu menurut perspektif pengalaman keagamaan dan irfan.

Pada bagian pertamanya -sebagai pendahuluan- kami akan mengetengahkan empat pandangan mengenai hakikat wahyu:

1. Psikologi,

2. Sosiologi,

3. Filsafat,

4. Teologi.

Kemudian, kami pun akan mengkaji dan mengkritisi pandangan yang mempresentasikan wahyu sebagai pengalaman keagamaan.

Dalam menyanggah pandangan ini, kami akan memaparkan beberapa teori yang tidak dapat dibenarkan yang merupakan konsekuensi dari pandangan tersebut.

Bagian kedua dari makalah ini, akan menyoroti pandangan para urafa’ akan hakikat wahyu, dimana menurut mereka wahyu adalah sebuah pengalaman, namun bukan pengalaman keagaman akan tetapi pengalaman uluhi yang istimewa yang berakar dari alam ‘uqul, maqam wâhidiyat dan shâdir awwal.

Untuk lebih jelasnya silahkan menyimak uraian dibawah

ini!

Pendahuluan

Manusia beserta seluruh inderanya yang senantiasa bersentuhan dengan alam materi akan merasa kesulitan dalam menalar dan mengenal alam non materi (metafisik), oleh karena itu, ia cenderung menolak perkara-perkara gaib yang dibawa oleh para Nabi, dan selalu saja menuntut bukti dan saksi akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menjadi dakwa para Nabi.

Masalah “Wahyu”[1] dan bagaimana hubungan seorang Nabi dengan alam gaib hingga ia dapat menerima wahyu, merupakan perkara yang metafisik yang hakikatnya sulit diketahui manusia.

Menurut ucapan Muhammad Hasan Qadrdan[2] : Para urafa’ yang telah berhasil mencapai Wâdy Gaib dalam perjalanan Sair Suluk-nya, menyatakan kelemahan mereka dalam Allamah Thabathaba’i mengenal hakikat wahyu.

menyebut wahyu dengan “Syu’ur Marmuz” (perasaan yang misterius) yang dijadikan sebagai judul buku tulisannya.

Imam Khomaini mengatakan: Mengenal hakikat wahyu bagi manusia merupakan sesuatu yang impossible.[3]

Faktor ketidakmanpuan ini sangatlah jelas, karena memang manusia akan selalu kewalahan dalam mendeteksi perkara yang tidak pernah dijamahnya.

Namun walaupun demikian, akal manusia yang selalu aktif bekerja terus mendorongnya untuk mengkaji dan mengenal hakikat wahyu, dan dengan modal premis dan basis pengetahuannya ia pun akan berupaya menafsirkan hakikat wahyu.

Disini secara ringkas kami mencoba mengkaji beberapa analisa yang ada, kemudian secara lebih terpirinci kami akan menyoroti dan membandingkan antara pengalaman keagamaan (religius) dan wahyu.

Beberapa Pandangan Mengenai Hakikat Wahyu

1. Pandangan Psikologi

Sebagian Oreintalis mengatakan bahwa wahyu adalah buah dari keyakinan-keyakinan yang terkandung dalam jiwa dan batin para Nabi.

Para Nabi yang memiliki pribadi yang luhur dan hati yang bersih sangat berkeinginan membimbing dan memberi petunjuk kepada umat manusia, benak mereka senantiasa terobsesi untuk mencari solusi yang tepat guna menyelamatkan manusia dari penyembahan berhala dan segala kecenderungan hawa nafsu dan duniawi.

Dengan berlalunya masa, kondisi tersebut semakin menguat dan pada akhirnya para Nabi mengimajinasikan bahwa ada pesan atau perintah suci yang turun kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.

Akar sejarah pandangan di atas kembali ke masa keemasan ilmu psikologi dan metafisik yang mencuat di barat.

Farid Wajdi memaparkan dalam Dairatul Ma’arifnya bahwa hingga abad enam belas para ilmuan barat percaya akan wahyu serta kemetafisikannya, namun dengan maraknya empirisme dan filsafat materialis, mereka mulai mengingkari segala sesuatu yang metafisik seperti hipnotis, meramal (tenung), wahyu dan lainnya, akan tetapi dengan maraknya ilmu-ilmu yang berbau metafisik -seperti ilmu yang berkenaan dengan ruh, ilmu tenung, dan lainnya- yang mencuat pada tahun 1848 M, telah memaksa mereka untuk merevisi kembali pandangannya tentang wahyu, namun meskipun demikian mereka tetap saja menafsirkannya sesuai dengan doktrin empirisme dan psikologi.[4]

2. Pandangan Sosiologi

Kelompok ini menggangap bahwa wahyu bukanlah hasil bisikan (ilham) dan kondisi kejiwaan serta ego manusia, akan tetapi ia merupakan hasil karya dan intuisi sebagian orang-orang jenius.

Perjalanan sejarah dan kondisi sosial banyak menelurkan orang-orang jenius dalam barbagai aspek, para Nabi tidak lain adalah bagian dari para jenius tersebut yang dengan kecerdasan yang tinggi dan penguasaan terhadap kondisi sosial, mereka mampu merumuskan serentet undang-undang sosial dan individu demi memberi petunjuk kepada umat manusia, undang-undang inilah yang kemudian disebut dengan “agama”.

Kebanyakan sosiolog barat menginterpretasikan agama dan wahyu secara materialistis.

Emil Durchym megatakan: Pemikiran Lahut (keagamaan) yang ada dalam benak masyarakat berakar dari masyarakat itu sendiri.[5]

3. Pandangan Filosofis

Para Filosof meyakini bahwa selain alam materi terdapat alam lainnya yang disebut dengan alam Aql dan alam Mitsal (berdasarkan teori filsafat Iluminasi) dimana seluruh fenomena yang ada di dunia ini terlukiskan secara abstak di alam tersebut, dikarenakan substansinya yang berbeda dengan alam duniawi ia sangat jauh dari jangkauan manusia, namun dengan kedudukan yang tinggi, seorang Nabi dapat mancapainya.

Jiwa manusia dengan melepaskan belenggu materi dan penyucian diri, ia akan mampu berinteraksi dengan alam Aql dan alam Mitsal dan menagkap perkara dan berita gaib yang tersimpan di dalamnya, menyaksikan Malaikat dan mendengar ucapannya dapat terjalin dengan kekuatan nalar dan imajinasi seorang Nabi.

Dengan menyaksikan wujud Aqli dan Mitsali Malaikat, seorang Nabi dengan kekuatan imajinasinya dapat melihat jelmaan Malaikat serta mendengar ucapannya.[6]

4. Pandangan Teologi

Pandangan yang tersohor dalam teologi Islam dan teologi Nasrani menyatakan bahwa wahyu adalah lafazh (kata-kata), pesan dan wejangan yang diturunkan dari Tuhan -baik secara langsung maupun melalui Malaikat- kepada seorang Nabi.

Diyakini pula bahwa seorang Nabi diharuskan untuk menyampaikan pesanpesan Ilahi tersebut.

Selain itu menurut pandangan ini (khususnya teologi Islam) wahyu yang diturunkan kepada Nabi Saw (al-Qur'an) seratus persen lafazh-lafazhnya sesuai dengan apa yang telah dituturkan dan Nabi Saw sama sekali tidak menambahkan atau mengurangi satu kata atau kalimat pun darinya, berbeda dengan apa yang diyakini sebagian orang bahwa al-Qur'an turun kepada Rasul Saw hanya berupa pemahaman dan makna, Rasul sendirilah yang telah meletakkan lafazh-lafazh dan kalimat-kalimat yang ada.

Wahyu dan Pengalaman Keagamaan

Pandangan kelima -yang akhir-akhir ini tersebar dan banyak dibicarakan- menganggap bahwa wahyu merupakan pengalaman keagamaan dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam gaib.

Sebelum menelusuri pandangan ini lebih dalam lagi, di sini kami akan memaparkan definisi pengalaman keagamaan serta dua pembagian intinya.

Definisi Pengalaman Keagamaan dan Pembagiannya

Pengalaman (experience) merupakan sebuah daya nalar dan perasaan, dimana dengan pengalaman - keagamaan- yang dijalaninya, manusia dapat berinteraksi dan menyaksikan sesuatu yang metafsikal.

Contoh yang jelas ialah sesuatu yang dialami manusia didalam dirinya dan segala apa yang berkaitan dengan jiwa manusia, seperti perasaan gembira dan sedih, haus dan lapar dan lainnya.

Perasaan-perasaan semacam ini adalah pengalaman yang masih berbau meteri, ada model pengalaman lain yang dialami manusia saat ia telah keluar melewati batas alam materi, jiwanya akan merasakan sesuatu yang metafisik sehingga ia memiliki keterikatan yang erat dengannya.

Model pengalaman semacam ini disebut dengan “pengalaman keagamaan”[7] yang memiliki subtansi yang sama antara agama-agama di dunia ini, yang di dalam agama-agama langit disebut dengan “Tuhan”, di dalam agama Budha “Nirwana” dan di dalam agama Hindu disebut “Brahmana”.

Contoh yang jelas dari pengalaman keagamaan ialah kondisi Kasf wa Syuhud (penyingkapan dan penyaksian) yang dialami oleh para urafa’ yang ada di setiap agama, pada kondisi ini para urafa dapat menyaksikan ghayah (tujuan) dan mutiara agamanya bahkan mereka pun dapat berinteraksi dengannya, dan setelah ia keluar dari kondisi yang dialaminya, ia akan mengabarkan apa-apa yang ia alami dan saksikan.

Michael Peterson saat mendefinisikan pengalaman keagamaan menuliskan: Pengalaman keagamaan tidak seperti pengalaman atau eksperimen lainnya, ia bersifat pribadi dan obyeknya adalah kehadiran sesuatu yang metafisikal (yaitu wujud Tuhan dan manifestasi-Nya pada suatu tindakan) atau memandang suatu keberadaan yang memiliki keterikatan dengan Tuhan (seperti manifestasi Tuhan atau pribadi seperti Maryam 'Udzarâ), atau menyangka itu sebagai puncak hakikat yang tidak dapat disifati, seperti perkara absolut dan tidak ada duanya, Brahma atau Nirwana.[8]

Pengalaman keagamaan tidak memiliki definisi yang akurat, karena selain tidak ada konsensus akan definisi agama itu sendiri, pengalaman keagamaan pun tidak dapat dialami dan dirasakan semua orang, oleh kerena itu mendifinisikannya pun sangatlah sulit bahkan mustahil, menurut istilah Wayne ProudFoot “pencarian tanpa hasil”.[9]

Pengalaman keagamaan memiliki definisi yang bergama seperti “sejenis perasaan”, “perasaan yang berbasiskan persepsi sensasi” dan “penjelasan akan sesuatu yang metafisik” dan lainnya dimana pembahasannya memerlukan ruang tersendiri.[10]

Di sini kami akan menyoroti dua analisa penting atas penafsiran pengalaman keagamaan yang merupakan jawaban dari pertanyaan ini: Apakah pengalaman religius yang beragam memiliki kesatuan esensi?

1. Tesis esensialis[11] :

Menurut pandangan ini, seluruh pengalaman keagamaan yang dimiliki oleh para urafa’, Nabi dan pribadi lainya, secara esensial adalah satu, dan sebagaimana yang tampak dalam sebutannya, kelompok ini meyakini adanya kesatuan esensi dan substansi yang sama bagi seluruh pengalaman keagamaan yang disebut menemui perkara uluhi (the numinous) atau menuju “dzat mutlak”.

Para pendukung pendapat ini meyakini bahwa pengalaman irfani adalah murni, tidak terpengaruh dan terefek oleh bahasa, budaya, dan pra konsepsi sang pemilik pengalaman; akan tetapi ia mirip seperti pengalaman indera lainnya yang senantiasa memberikan pengetahuan dan informasi.

Mereka menganggap bahwa fondasi dan subtansi agama adalah pengalaman agama pribadi seseorang mutaalih dan mereka tidak memandang pesan-pesan wahyu yang terkandung dalam agama-agama langit, prinsip-prinsip rasional dalam ketuhanan rasionalis serta teori akhlak Kant dalam mengenal Tuhan.

Para pendukung pandangan ini antara lain Schleiermacher[12] , Rudolf Otto, William James[13] dan Sty’s[14] .

Sehubungan dengan ini Barbour menuliskan: Inovasi yang muncul pada awal-awal abad kesembilan belas ini, berakar pada pemikiran Schleiermacher, dimana menurut pandangannya fondasi agama bukanlah prinsip-prinsip wahyu, juga bukan rasio yang membuahkan makrifat dan juga bukan norma dan akhlak akan tetapi ia (fondasi agama) adalah kesadaran keagamaan (religious awareness) yang berbeda dengan apa yang telah disebutkan di atas.

Agama adalah pengalaman yang selalu hidup, bukan keyakinan-keyakinan resmi yang mati.[15]

2. Tesis konstruktif[16] :

Pandangan kelompok ini berseberangan dengan pandangan di atas, selain mengingkari adanya kesatuan esensi bagi beragam pengalaman keagamaan, kelompok ini pun meyakini bahwa pengalaman keagamaan merupakan pengaruh dari basis pengetahuan, keyakinan, budaya dan sosial.

Dapat dikatakan bahwa pengusung pandangan ini atara lain ialah Wittgenstein, John Hick, Ninian Smart, Winn Rite dan Steven Katz.[17]

Kelompok pertama meyakini bahwa wahyu merupakan suatu bentuk pengalaman keagamaan yang subtansinya dapat ditemukan pada diri para urafa, sufi dan para pertapa.

Dalam pengalaman ini, sebagai ganti dari turunnya malaikat pembawa wahyu dan kitab suci, dengan sendirinya seorang yang memiliki pengalaman keagamaan mampu menyaksikan Tuhan atau manifestasi keberadaan-Nya.

Dengan kata lain, Tuhan memanifestasikan dan menampakkan atas nabi mazhar dan manifestasi-Nya dalam pengalaman keagamaan; kemudian nabi setelah pengalaman ini dan telah sadar serta kembali kepada kondisi biasa, akan mengabarkan dan menafsirkan penyingkapan (Kasyf) serta pengalaman yang dialaminya.

Singkatnya, hakikat wahyu tidak lain adalah pengalaman keagamaan dan interpretasi para nabi atas mukasyafah yang dialaminya.

Manusia dikarenakan pengaruh keagungan jiwa dan ruhnya dalam mukasyafah (pengalaman keagamaan), ia akan mencapai suatu maqam dimana manifestasi dari Haq Ta’ala akan tampak pada dirinya.

Namun apakah peyingkapan, penafsiran dan penjelmaan ini benarbenar berasal dari sisi Tuhan?

Pada saatnya kami akan menjawab pertanyaan ini.

Wahyu Dalam Teologi Kristiani

Dalam teologi kristiani banyak terdapat indikasi yang menyatakan bahwa wahyu berakar dari pengalaman keagamaan.

Para Pendeta Nasrani meyakini bahwa Tuhan tidak menurunkan pesan-pesan dan wahyu kepada Nabi Isa as, akan tetapi ruh suci Ilahi telah menjelma pada diri al-Masih, dan diri al-Masih sendiri adalah wahyu yang diturunkan.

Peryataan ini sesuai dengan lahiriah sebagian ayat perjanjian baru yang mengatakan: “Tuhan dalam diri Masih”.

Para teolog liberal Nasrani mengatakan bahwa wahyu adalah kehadiran dan manifestasi Tuhan dalam kehidupan al-Masih dan seluruh Nabi Bani Israil, dengan ini mereka telah mengingkari wahyu yang berbentuk lafazh dan kata-kata (pengiriman kitab samawi).

Berkaitan dengan ini Barbour mengatakan: Para teolog liberal menyatakan: tidak dapat dipungkiri bahwa kitab suci (Injil) bukanlah wahyu yang diturunkan secara langsung namun ia telah ditulis oleh manusia dan dengan antusias mereka membacanya.

Sebagai ganti dari pengingkaran terhadap wahyu, sebagian dari mereka (teolog liberal) mengungkapkan persepsi baru mengenai wahyu: Tuhan telah menurunkan wahyu, namun bukan dengan mendikte sebuah kitab suci, akan tetapi dengan kehadiran-Nya dalam kehidupan al-Masih dan Nabi-Nabi Bani Israil, oleh karenanya kitab suci bukanlah wahyu secara langsung, namun ia merupakan bukti atas refleksi wahyu dalam pengalaman keagamaan manusia.[18]

Bart menyatakan bahwa wahyu yang sebenarnya adalah pribadi al-Masih itu sendiri, kalimat dalam bentuk manusia.

Kitab suci adalah hasil tulisan manusia yang memberi kesaksian akan keyataan wahyu ini.[19]

Pandangan ini merebak luas dalam teologi Protestan pada abad kedua puluh, dimana mereka mendakwa bahwa pembaharu agama Nasrani abad keenam belas seperti Luther dan Calhoun, bahkan lebih dari itu dalam perjanjian baru dan gereja pertama telah dinyatakan bahwa kredibilitas wahyu terdapat pada diri Masih sendiri bukan pada kitab suci.[20]

Pandangan Sebagian Pemikir Muslim Kontemporer

Sebagian Pemikir Muslim menerima interpretasi di atas, Syekh Muhammad Abduh setelah menukil definisi wahyu yang umum dikenal dengan “Pesan Tuhan”, ia mengemukakan pendapatnya seraya mengatakan: Adapun pendapat kami -tentang wahyu- kami katakana bahwa ia adalah pengetahuan ('irfân) yang didapati seseorang dalam jiwanya dengan dibarengi keyakinan bahwa ia datang dari sisi Tuhan, baik dengan perantara ataupun tidak, adapun yang pertama (yang dengan perantara) dengan perantara suara yang sampai ke pendengarannya atau dengan lainnya.[21]

Muhammad Iqbal adalah salah satu pemikir kontemporer Ahlus Sunnah yang selain menerima pendekatan empiris terhadap permasalahan makrifat[22] , penafsiran hakikat agama, dan memprkenalkan filsafat (filsafat Yunani dan akal murni), menyambut penafsiran pengalaman keagamaan dalam bentuk berseberangan dengan al-Qur'an.[23]

Ia mengistilahkan wahyu dengan “kondisi batin” dan “kesadaran batin” yang memiliki kesatuan esensi dengan pengalaman agama dan pengalaman batin lainnya.

Selanjutnya ia menuturkan:

Dapat dikatakan bahwa seorang Nabi memiliki kesadaran dan pemahaman batin semacam ini dimana pada kondisi ini "pengalaman kesatuan" mempunyai kecenderungan padanya melewati batasannya.[24]

Dari sisi kualitas pengalaman batin tidak berbeda dengan pengalaman kenabian.[25]

Iqbal menganggap bahwa basis wahyu dan pengalaman keagamaan berasal dari kekuatan insting yang juga dapat ditemukan -dengan berbeda- pada tumbuhan dan binatang.

Keterkaitan dengan sumber keberadaan ini sama sekali tidak hanya terbatas untuk manusia.

Penggunaan kata wahyu dalam al-Qur'an melaporkan bahwa kitab ini menganggap wahyu sebagai tahap kehidupan tertentu dan sudah barang tentu kriteria dan polanya adalah berbeda berdasarkan tingkatan keragaman kesempurnaan kehidupan.[26]

Menurutnya (Iqbal) landasan dan basis wahyu adalah dorongan insting dan kekuatan jiwa di masa kanak-kanak yang tetap kokoh saat berhadapan dengan beragam hambatan seperti akal dan kehidupan duniawi.

Pada masa kanak-kanak, kekuatan jiwa dapat mencuatkan sesuatu yang kami sebut dengan “Kesadaran Kenabian” yang dengan perantaranyalah pandangan dunia seseorang dan jalan kehidupan dapat terpelihara dengan cara mengikuti perintah-perintah, prinsip-prinsip serta memilih petunjuk dan hidayah yang telah ada dan tersedia.[27]

Doktor Surus mengatakan: Kenabian adalah sejenis pengalaman dan kasyf... Nabi juga adalah manusia, agama adalah konklusi pengalamanpengalaman individul dan sosialnya, sekarang ini pada masa kegaiban (ketiadaan) Nabi, pengalamanpengalaman dalam (batin) dan di luar dirinya pun harus terus berlanjut.[28]

Mujtahid Syubastary mengatakan: Wahyu adalah semacam pengalaman keagamaan.[29]

Sebagian lainnya menuliskan: Wahyu adalah bagian dari pengalaman keagamaan... menurut prinsip agamaagama Tauhid, wahyu memiliki satu arti yaitu “Pengalaman Ketuhanan”, oleh karena itu minimal ia dapat dikatakan sebagai salah satu misdak dari pengalaman keagamaan.[30]

Justifikasi Ayat-Ayat al-Qur'an.

Para pendukung pandangan di atas dengan beragam cara berupaya menjustifikasi ayat-ayat al-Qur'an yang secara gamblang berbicara akan turunnya lafazh-lafazh al-Qur'an dan dengan jelas memposisikan Nabi Saw sebagai lawan bicara.

Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya saat manjadi lawan bicara ayat-ayat tersebut, Nabi Saw berada di alam mimpi, beliau merasakan kondisi sedemikian rupa seakan-akan ada seseorang yang sedang mengajaknya bicara dan dialog, setelah terbangun, beliau pun menuturkannya sebagai bentuk wahyu.

Sehubungan dengan ini Surus menuliskan: Bahwasanya ayat-ayat al-Qur'an telah diwahyukan kepada Nabi atau Nabi hanya merasakan ada seseorang yang mengajaknya bicara, hal ini tidak perlu lagi dibahas.

Nabi-nabi, bahkan pribadi-pribadi biasa (bukan Nabi) juga dapat mengalami perasaan semacam ini, dimana mereka merasakan ada seseorang yang berbicara kepadanya, berdialog, memerintah dan melarang, hal ini bukanlah suatu yang aneh, ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Kita hanya berkenaan Nabi mempunyai pandangan lain dalam masalah ini dikarenakan kita memandang dia sebagai nabi.

Seandainya kita tidak memandang dia sebagai seorang Nabi maka kita akan katakan: Bahwa wahyu yang didakwanya tidak lebih hanya khayalan biasa yang dilakukan oleh semua orang, namun dikarenakan kita memandangnya sebagai seorang Nabi maka kita berkeyakinan bahwa ia telah mengalami kondisi tertentu yang berada di bawah pangawasan, bimbingan dan petunjuk Ilahi.[31]

Analisa Pandangan di Atas

Pandangan di atas memiliki beberapa poin yang urgen dipikirkan secara mendalam:

1. Mendegradasikan wahyu sama denga pengalaman biasa: Interpretasi di atas telah merendahkan wahyu dan Syuhud para Nabi hingga setara dengan pengalaman religius yang biasa dialami oleh seseorang, dimana para Nabi dengan orang-orang lain adalah setara dalam prinsip dan tipe pengalaman, padahal pengalaman wahyu para Nabi sangatlah berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami manusia, karena maqam wahyu yang mereka dapatkan bukanlah semata hasil penyucian jiwa (tahdzib an-Nafs), akan tetapi iapun ditopang oleh karunia Ilahi yang hanya diberikan kepada sebagian manusia, seperti maqam kenabian yang dikaruniakan kepada Nabi Isa As disaat ia masih bayi sama sekali bukan hasil penyucian diri dan pengalaman keagamaan.

2. Campur tangan Nabi dalam wahyu: Pandangan di atas menganggap wahyu adalah hasil penafsiran seorang Nabi yang dipahami dari pengalaman keagamaan yang dialaminya, dengan demikian interpretasi seorang Nabi tidak lebih seperti interpretasi lainnya dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya pun tidak akan memiliki keistimewaan.

Akhirnya kebenaran atas apa yang disaksikan dan ditafsirkan seorang Nabi pun dapat diragukan, dan lebih dari itu, dengan campur tangan pribadi Nabi, wahyu yang disampaikannya pun akan tersisipi oleh perkara lainnya.

Kemestian dari pandangan di atas selain akan menganggap prinsip-prinsip agama sebagai karya manusia, iapun akan menjadikan esensi agama (wahyu) sebagai ciptaan manusia yang tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.

3. Pengingkaran terhadap wahyu: Dengan pandangan diatas, kebenaran wahyu, pengalaman keagamaan, mukasyafah dan penjelmaan (tajally) Tuhan akan kembali dipertanyakan, karena ada kemungkinan pesan yang ditarik dari pengalaman keagamaan tidak memiliki fakta di luar, akan tetapi ia hanya sebuah konklusi dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya atau hasil pengaruh faktor eksternal lainnya.

Jika demikian halnya, pendapat yang menyatakan bahwa wahyu adalah hasil pengalaman keagamaan sangat dekat dengan perspektif psikologi -yang penjelasannya telah berlalu-.

Minimal para pendukung pandangan di atas tidak akan mampu membuktikan eksistensi wahyu dan tajally Tuhan.

4. Mengingkari al-Qur'an sebagai kitab Samawi: Salah satu konsekuensi pandangan di atas ialah menganggap kitab-kitab suci bukan merupakan kitab-kitab Samawi.

Mungkin bagi umat Yahudi dan Nasrani, anggapan ini bukan sesuatu yang aneh dan mustahil, karena sejarah mambuktikan bahwa Injil dan Taurat adalah hasil tulisan tangan seseorang dan juga sudah mengalami perubahan (distorsi).

Namun bagi umat Islam anggapan ini sama sekali tidak dapat diterima, mereka sepakat mensifati al-Qur'an (wahyu) sebagai kitab Samawi dan Kalam Ilahi.

5. Banyak bermunculan agama: Dengan mengatakan bahwa wahyu yang dibawa oleh para Nabi adalah hasil pengalaman keagamaan mereka pribadi (bukan dari sisi Tuhan), maka semua orang pun juga dapat mengalami hal demikian dimana mereka dapat mencapai tingkatan pengalaman keagamaan yang dimiliki para Nabi.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian mereka bahwa esensi agama adalah pengalaman kegamaan yang dimiliki seseorang, maka konsekuensinya adalah jumlah agama bahkan esensi agama akan menjadi banyak sesuai dengan jumlah orang-orang yang memiliki pengalaman keagamaan.

6. Meluasnya maqam kenabian, konsekuensi lainnya dari pandangan di atas ialah meluasnya cakupan kenabian hingga dapat dimiliki oleh manusia biasa.

Sebagaimana yang mereka yakini bahwa wahyu ialah hasil pengalaman keagamaan dimana pengalaman ini juga dapat dialami semua atau kebanyakan orang, maka dengan memiliki pengalaman keagamaan, seseorang dapat memperoleh wahyu, ini berarti ia telah mendapatkan maqam kenabian, tidak peduli apakah itu sebelum kenabian Muhammad Saw atau setelahnya.

Jelas keyakinan seperti ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang menegaskan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir umat manusia -yang akan kami bahas selanjutnya-.

Selain itu maqam kenabian hanya dapat dicapai dengan dua syarat, pertama adalah kelayakan seorang Nabi dan yang kedua adalah pilihan dari sisi Allah, para penggagas pandangan di atas telah melupakan syarat yang kedua.

Berkaitan dengan maqam kenabian, Doktor Surus mengatakan: Harus diakui mungkin saja seseorang dapat menjadi Nabi bagi dirinya sendiri dimana ia dapat merasakan perasaan tertentu dan memiliki insting yang kuat, namun jika ada seseorang yang mempublikasikan hal ini maka dunia Islam akan menyikapinya dengan keras.[32]

Selanjutnya saat menjustifikasi hadits Nabi Saw yang berbunyi “Tidak ada Nabi setelahku”, ia (Surus) mengatakan: Dalam hadits ini Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menutup pintu kenabian dan jangan lagi percaya ucapan seseorang yang mengaku Nabi dan kepada orang-orang yang juga merasakan hal demikian, beliau bersabda “janganlah kalian mepublikasikan apa yang kalian alami”.[33]

Seharusnya Doktor Surus konsisten dengan apa yang dijelaskanya dan membuktikan keabsahan kenabian setelah Rasul Saw dengan tinjauan luar agama, bukan malah bersandar dengan bukti teks agama, selain itu ia juga tidak menyebutkan referensi hadits yang dinisbahkan kepada Nabi yang berbunyi “janganlah kalian mempublikasikan kenabian yang kalian rasakan” sehingga dapat dianalisa sanad dan dilalahnya.

Setelah mencari -melalui komputer- dari kitab-kitab hadits standar Ahlusunnah dan Syi’ah, penulis tidak menemukan hadits tersebut, malah yang didapati adalah hadits-hadits yang bertolak belakang dengan apa yang diucapkan, contohnya, dalam beberapa tempat terdapat nukilan hadits dari Nabi Saw yang menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku Nabi sepeningal beliau, maka ia telah menciptakan bid’ah dalam agama, dan tempat baginya dan juga pengikutnya adalah neraka, di dunia ia harus dihukum mati, seperti sabda beliau “Wahai manusia tidak ada nabi setelah aku dan tidak ada sunnah selain sunnahku, barang siapa yang mengaku sebagai Nabi, maka ajarannya dan bid’ahnya adalah neraka, perangilah ia! Barang siapa yang mengikutinya, maka ia pun di neraka”.[34]

Lebih dari itu, bahkan Rasul Saw menyebut orang-orang yang mengaku Nabi setelah beliau sebagai “pendusta” (Kadzzâb), sabda beliau:

“Akan datang setelah ku para pendusta, mereka mengaku sebagai Nabi dan aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku”.[35]

Yang menarik untuk diperhatikan, dari sekitar delapan ratus riwayat hadits yang mengatakan “La nabiyya ba’di” (tidak ada Nabi setelahku), terlihat ada upaya dari para pemalsu hadits untuk menambahkan teks hadits tersebut menjadi “La nabiyya ba’di illa an yasyâ’ “ (Tidak ada nabi setelah kecuali jika Ia menghendaki), pemalsuan hadist ini dapat dilihat dengan jelas oleh para Ahli hadist.[36]

Adapun justifikasi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “La nabiyya ba’di” adalah menampakkan atau mempublikasikan kenabian yang dimiliki, bertentangan dengan zahir dan teks hadits.

Hadits di atas dengan jelas meniscayakan inti dan hakikat keberadaan Nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), bukannya berarti boleh ada nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), hanya saja tidak memiliki hak untuk mempublikasikannya.

Jika yang dimaksud dengan Nabi dalam justifikasi di atas adalah makna irfannya yang biasa di sebut “wali Kâmil” (wali sempurna) oleh para urafa, maka kita katakan: Pertama, seharusnya penulis mengungkapkan apa yang dimaksudnya dengan gamblang dan jelas. Kedua, para urafa tidak menggunakan istilah kenabian dan wahyu bagi semacam itu (untuk wali Kamil), akan tetapi yang mereka gunakan adalah istilah “ilham” dan “Nubuwwa at-ta’rify” -lawan dari “Nubuwwa at-tasyri’i” yang dimilik oleh seorang Nabi-.

7. Wahyu dapat digapai dengan pengalaman keagamaan: Jika kita menilai secara obyektif dan mengatakan bahwa maksud dari pengalaman keagamaan adalah bahwa dengan kesucian jiwa mereka, para nabi akan sampai satu fase irfani dimana Haq Ta’ala akan hadir dan bertajalli pada diri mereka, dengan demikian wahyu dan pesan Tuhan akan turun dan sampai kepada mereka.

Dari sisi ini, pengalaman keagamaan dan tingkatan syuhud para Nabi juga dapat dimiliki manusia biasa, walaupun secara gradual terdapat perbedaan diantaranya.

Untuk menganalisa hal ini, kita harus akui bahwa memang apa yang diucapkan di atas secara global memiliki kesamaan dengan pandangan para urafa dan filosof, namun penyucian hati adalah salah satu syarat untuk mendapatkan wahyu, bukan syarat tunggal sehingga dapat kita katakana bahwa seseorang cukup dengan pengalaman keagamaan, ia akan mencapai maqam kenabian, karena turunnya wahyu dan syariat juga memiliki syarat lain yaitu pilihan atau karunia dari Allah Swt, dan malaikat akan turun membawa wahyu hanya kepada para Nabi yang dipilih oleh Allah Swt.

Namun jika maksud dari ucapan mereka -wahyu adalah pengalaman keagamaanadalah bahwa sebenarnya seseorang yang memiliki pengalaman, tidak berinteraksi dengan hakikat Ilahi, akan tetapi apa yang disampaikannya hanya semata hasil khayalan, maka kita katakan bahwa anggapan ini bukan saja telah merendahkan wahyu hingga pada batas terendah dari pengalaman keagamaan bahkan iapun telah memposisikan wahyu sejajar dengan khalayan.

8. Meruntuhkan norma dan prinsip sosial: Tujuan inti agama adalah memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, berdasarkan pandangan di atas, wahyu dan agama diturunkan sesuai perasaan dan selera pribadi.

Dengan perasaan dan pengalaman yang dimilikinya, setiap orang dapat menafsirkan pengalaman keagamaan yang dianggap sebagai agama itu sendiri.

Dengan demikian, mereka dapat menghapus atau merubah doktrin-doktrin sosial bahkan seluruh ajaranajaran yang ada didalamnya.

Padahal inti misi wahyu dan agama yang dibawa oleh Nabi adalah member hidayah kapada umat manusia serta membawa mereka kepada kebahagian yang abadi.

Jika wahyu adalah hasil karya seseorang, maka ia sama sekali tidak akan memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan manusia, karena setiap orang akan membawa prinsip dan aturan sosial yang berbeda yang akan menimbulkan kekacauan dalam tubuh masyarakat, dengan kata lain konsekuensi pandangan di atas ialah munculnya sekularisme dalam Islam dan ini jelas bertentangan dengan prinsip agama Islam.[37]

Sampai di sini tampak jelas bahwa wahyu tidak dapat ditafsirkan sebagai pengalaman keagamaan, dimana pandangan seperti ini mengakibatkan pengingkaran terhadap wahyu atau paling tidak mengkhususkannya pada perasaan-perasaan tertentu yang sama sekali tidak sesuai dengan wahyu yang dimaksud oleh al-Qur'an dan hadits.

Hakikat Wahyu Menurut Para Urafa’

Para urafa’ juga memandang hakikat wahyu sebagai pengalaman keagamaan, namun pangalaman keagamaan yang mereka utarakan memiliki beberapa perbedaan dengan apa yang dikatakan para ilmuan barat.

Untuk mengenal lebih dalam, kita akan menyoroti poin-poin berikut:

1. Para urafa’ membatasi wujud hakiki hanya pada Dzat Ilahi dan segala keberadaan selain-Nya hanya merupakan manifestasi dari keberadaan-Nya yang hakiki.[38]

Mereka menyebut Dzat Allah Ta’ala yang murni dari asma’ dan sifat dengan “Maqam Ahadiyat”, “Gaib Maghib” dan “Maqam ‘Ama’”.

Setelah "Maqam Ahadiyat" adalah “Maqam Wâhidiyat” dimana pada tingkatan ini asma’ dan sifat Ilahi menjadi sorotan dan perhatian, alam ini disebut dengan “A’yan Tsâbitah”, “Hadhrat Ilmiah” dan “Syahadah Mutlaqah”.

Dalam alam ini -secara abstrak- terdapat inti keberadaan alam lainnya yang sebenarnya alam ini merupakan pemberi dan penganugerah keberadaan bagi alam Imkan, oleh karena itulah ia disebut dengan “Faidh Aqdas”, namun sesuai dengan kaidah “Al-wâhidu la yashduru ‘anhu illa al-wâhid” (Sesuatu yang satu tidak akan muncul darinya kecuali yang satu pula) maka ia adalah makhluk tanpa perantara yang disebut “Aql Awwal” menurut para filosof atau “Wujud Munbasit wa ‘Aam” menurut istilah urafa’.[39]

Wujud mumkin pertama ini juga merupakan penganugrah keberadaan bagi wujud lainnya, dimana antara satu dengan alam lainnya memiliki hubungan sebab dan akibat.

2. Menurut keyakinan para urafa’ dan kebanyakan filosof, Shâdir Awwal dan Wujud Munbasith adalah Ruh Rasulullah Saw yang mendapat pengagungan sebagai manifestasi pertama dan makhluk tanpa perantara Allah Swt.[40]

Setelah ruh Nabi Islam, diciptakanlah ruh para Imam suci dan Nabi sebagai Uqul Mujarradah.

Aql dan ruh malaikat termaksud Jibril diciptakan setelah ruh Nabi dan Imam yang sebenarnya adalah makhluk dan anugrah ruh suci Rasulullah Saw.[41]

Dalam alam Aql, utusan dan pembawa pesan pertama adalah ruh Rasulullah Saw yang merupakan Shâdir Awwal yang dengan menempuh perjalanan (Sair) di alam Hadhrat Ilmiah dan Maqam Wâhidiyat dapat mentransfer hakikat-hakikat asma’ dan sifat Ilahi kepada Aql lainnya termasuk Aql para Nabi dan Malaikat, dari sini jelaslah makna dan maksud dari hadits Nabi Saw yang berbunyi “Aku telah menjadi seorang Nabi (pembawa pesan) di saat Adam As berada di antara air dan tanah"[42] , "Adam As dan siapa saja selainku berada di bawah benderaku”.[43]

3. Wahyu dan pesan-pesan gaib diturunkan kepada para Nabi melaui para Malaikat dari alam Aql dan di batas akhir Aql Awwal yang tidak lain adalah ruh Rasulullah Saw yang dengan perantaraannya Allah akan menurunkan wahyu-Nya, dengan demikian jelaslah keagungan dan keistimewaan ruh Rasulullah Saw dan para Imam dibanding para Nabi lainnya serta seluruh kitab suci yang diturunkan kepada mereka, bahkan mereka (Rasul dan Imam suci) lebih mulia dibanding al- Qur'an itu sendiri karena wujud suci mereka merupakan sumber dan perantara turunnya wahyu dan al-Qur'an.[44]

4. Alam dunia dan manusia merupakan alam mumkin yang paling rendah, dimana sumber keberadaannya pun berasal dari alam Aql.

Ruh manusia juga telah ada di alam Aql dengan berbentuk wujud yang simpel dan tunggal yang kemudian turun di alam dunia yang berada di bawahnya.

Yang patut disoroti di sini adalah perpindahan ruh dari alam Aql ke alam dunia bukan berarti meniscayakan kekosongannya di alam Aql, namun keberadaan ruh manusia tetap terjaga di sana, demikian pula halnya dengan Nafs Nabawi.[45]

Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia memiliki dua sisi dan wujud.

Wujud pertama manusia adalah keberadaannya sebelum di dunia yang berupa Aql dan abstrak yang berada di alam ‘Uqul dan merupakan A’yan Tsâbitah.

Wujud kedua manusia adalah keberadaan materinya yang saat ini berada di alam materi dan terdiri dari ruh dan badan.

Nafs manusia karena ketergantungannya dengan materi -atau menurut istilah Hikmah Muta’aliyah, penemuan Nafs (non-materi) yang tadinya dari materi dikarenakan Harakah Jauhariah (gerakan substansial)-, tidak memiliki kesempurnaan metafisikal, namun ia tetap memiliki potensi untuk menggapai dan menyerap kesempurnaan-kesempurnaan tersebut.

Oleh karena itu, dengan melalui fase-fase dan empat perjalanan (Asfar Arba’ah), setiap manusia akan mampu mencapai kesempurnaannya dan tersambung dengan Ain Tsâbit-nya dan seluruh Aql lainnya.

5. Berdasarkan uraian sebelumnya jelaslah bahwa manusia membutuhkan petunjuk dan pertolongan Ilahi dengan perantara para Malaikat, namun Nafs para Nabi khususnya Nabi umat Islam hanya butuh kepada pertolongan Ilahi (tanpa perantara Malaikat).

Dengan Tahdzibu an-Nafs yang dijalani di dunia ini, Rasulullah Saw menyiapkan dirinya untuk Mi’raj dan berinteraksi dengan 'Ain Tsâbitah dan Wujud Bashit-nya, dan setelah melalui serangkaian fase, beliau akan mencapai Maqam Nubuwwah yang berada di alam ‘Uqul dan menurunkannya di alam materi.

Jadi pada hakikatnya, wahyu yang di sampaikan oleh Rasul Saw berasal dari “Hakikat Muhammadiah” dan “Wujud Munbasith”.

Dengan kata lain, wujud materi Rasulullah Saw telah tersambung dengan wujud mujarrad-nya, dan wahyu yang beliau sampaikan kepada umat adalah hakikat mujarrad yang telah menjelma menjadi uraian wahyu yang rinci dan berdimensi materi.

Kalaupun para malaikat seperti malaikat Jibril memiliki andil dalam merealisasikan tugas Nabi tersebut (menyampaikan wahyu), tidak lebih ia hanya sebagai pendamping Nafs Nabawi atau penyampai pesan dari Hakikat Muhammadiah kepada Nafs Nabawi.[46]