Justifikasi Ayat-Ayat al-Qur'an.
Para pendukung pandangan di atas dengan beragam cara berupaya menjustifikasi ayat-ayat al-Qur'an yang secara gamblang berbicara akan turunnya lafazh-lafazh al-Qur'an dan dengan jelas memposisikan Nabi Saw sebagai lawan bicara.
Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya saat manjadi lawan bicara ayat-ayat tersebut, Nabi Saw berada di alam mimpi, beliau merasakan kondisi sedemikian rupa seakan-akan ada seseorang yang sedang mengajaknya bicara dan dialog, setelah terbangun, beliau pun menuturkannya sebagai bentuk wahyu.
Sehubungan dengan ini Surus menuliskan: Bahwasanya ayat-ayat al-Qur'an telah diwahyukan kepada Nabi atau Nabi hanya merasakan ada seseorang yang mengajaknya bicara, hal ini tidak perlu lagi dibahas.
Nabi-nabi, bahkan pribadi-pribadi biasa (bukan Nabi) juga dapat mengalami perasaan semacam ini, dimana mereka merasakan ada seseorang yang berbicara kepadanya, berdialog, memerintah dan melarang, hal ini bukanlah suatu yang aneh, ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Kita hanya berkenaan Nabi mempunyai pandangan lain dalam masalah ini dikarenakan kita memandang dia sebagai nabi.
Seandainya kita tidak memandang dia sebagai seorang Nabi maka kita akan katakan: Bahwa wahyu yang didakwanya tidak lebih hanya khayalan biasa yang dilakukan oleh semua orang, namun dikarenakan kita memandangnya sebagai seorang Nabi maka kita berkeyakinan bahwa ia telah mengalami kondisi tertentu yang berada di bawah pangawasan, bimbingan dan petunjuk Ilahi.
Analisa Pandangan di Atas
Pandangan di atas memiliki beberapa poin yang urgen dipikirkan secara mendalam:
1. Mendegradasikan wahyu sama denga pengalaman biasa: Interpretasi di atas telah merendahkan wahyu dan Syuhud para Nabi hingga setara dengan pengalaman religius yang biasa dialami oleh seseorang, dimana para Nabi dengan orang-orang lain adalah setara dalam prinsip dan tipe pengalaman, padahal pengalaman wahyu para Nabi sangatlah berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami manusia, karena maqam wahyu yang mereka dapatkan bukanlah semata hasil penyucian jiwa (tahdzib an-Nafs), akan tetapi iapun ditopang oleh karunia Ilahi yang hanya diberikan kepada sebagian manusia, seperti maqam kenabian yang dikaruniakan kepada Nabi Isa As disaat ia masih bayi sama sekali bukan hasil penyucian diri dan pengalaman keagamaan.
2. Campur tangan Nabi dalam wahyu: Pandangan di atas menganggap wahyu adalah hasil penafsiran seorang Nabi yang dipahami dari pengalaman keagamaan yang dialaminya, dengan demikian interpretasi seorang Nabi tidak lebih seperti interpretasi lainnya dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya pun tidak akan memiliki keistimewaan.
Akhirnya kebenaran atas apa yang disaksikan dan ditafsirkan seorang Nabi pun dapat diragukan, dan lebih dari itu, dengan campur tangan pribadi Nabi, wahyu yang disampaikannya pun akan tersisipi oleh perkara lainnya.
Kemestian dari pandangan di atas selain akan menganggap prinsip-prinsip agama sebagai karya manusia, iapun akan menjadikan esensi agama (wahyu) sebagai ciptaan manusia yang tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.
3. Pengingkaran terhadap wahyu: Dengan pandangan diatas, kebenaran wahyu, pengalaman keagamaan, mukasyafah dan penjelmaan (tajally) Tuhan akan kembali dipertanyakan, karena ada kemungkinan pesan yang ditarik dari pengalaman keagamaan tidak memiliki fakta di luar, akan tetapi ia hanya sebuah konklusi dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya atau hasil pengaruh faktor eksternal lainnya.
Jika demikian halnya, pendapat yang menyatakan bahwa wahyu adalah hasil pengalaman keagamaan sangat dekat dengan perspektif psikologi -yang penjelasannya telah berlalu-.
Minimal para pendukung pandangan di atas tidak akan mampu membuktikan eksistensi wahyu dan tajally Tuhan.
4. Mengingkari al-Qur'an sebagai kitab Samawi: Salah satu konsekuensi pandangan di atas ialah menganggap kitab-kitab suci bukan merupakan kitab-kitab Samawi.
Mungkin bagi umat Yahudi dan Nasrani, anggapan ini bukan sesuatu yang aneh dan mustahil, karena sejarah mambuktikan bahwa Injil dan Taurat adalah hasil tulisan tangan seseorang dan juga sudah mengalami perubahan (distorsi).
Namun bagi umat Islam anggapan ini sama sekali tidak dapat diterima, mereka sepakat mensifati al-Qur'an (wahyu) sebagai kitab Samawi dan Kalam Ilahi.
5. Banyak bermunculan agama: Dengan mengatakan bahwa wahyu yang dibawa oleh para Nabi adalah hasil pengalaman keagamaan mereka pribadi (bukan dari sisi Tuhan), maka semua orang pun juga dapat mengalami hal demikian dimana mereka dapat mencapai tingkatan pengalaman keagamaan yang dimiliki para Nabi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian mereka bahwa esensi agama adalah pengalaman kegamaan yang dimiliki seseorang, maka konsekuensinya adalah jumlah agama bahkan esensi agama akan menjadi banyak sesuai dengan jumlah orang-orang yang memiliki pengalaman keagamaan.
6. Meluasnya maqam kenabian, konsekuensi lainnya dari pandangan di atas ialah meluasnya cakupan kenabian hingga dapat dimiliki oleh manusia biasa.
Sebagaimana yang mereka yakini bahwa wahyu ialah hasil pengalaman keagamaan dimana pengalaman ini juga dapat dialami semua atau kebanyakan orang, maka dengan memiliki pengalaman keagamaan, seseorang dapat memperoleh wahyu, ini berarti ia telah mendapatkan maqam kenabian, tidak peduli apakah itu sebelum kenabian Muhammad Saw atau setelahnya.
Jelas keyakinan seperti ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang menegaskan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir umat manusia -yang akan kami bahas selanjutnya-.
Selain itu maqam kenabian hanya dapat dicapai dengan dua syarat, pertama adalah kelayakan seorang Nabi dan yang kedua adalah pilihan dari sisi Allah, para penggagas pandangan di atas telah melupakan syarat yang kedua.
Berkaitan dengan maqam kenabian, Doktor Surus mengatakan: Harus diakui mungkin saja seseorang dapat menjadi Nabi bagi dirinya sendiri dimana ia dapat merasakan perasaan tertentu dan memiliki insting yang kuat, namun jika ada seseorang yang mempublikasikan hal ini maka dunia Islam akan menyikapinya dengan keras.
Selanjutnya saat menjustifikasi hadits Nabi Saw yang berbunyi “Tidak ada Nabi setelahku”, ia (Surus) mengatakan: Dalam hadits ini Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menutup pintu kenabian dan jangan lagi percaya ucapan seseorang yang mengaku Nabi dan kepada orang-orang yang juga merasakan hal demikian, beliau bersabda “janganlah kalian mepublikasikan apa yang kalian alami”.
Seharusnya Doktor Surus konsisten dengan apa yang dijelaskanya dan membuktikan keabsahan kenabian setelah Rasul Saw dengan tinjauan luar agama, bukan malah bersandar dengan bukti teks agama, selain itu ia juga tidak menyebutkan referensi hadits yang dinisbahkan kepada Nabi yang berbunyi “janganlah kalian mempublikasikan kenabian yang kalian rasakan” sehingga dapat dianalisa sanad dan dilalahnya.
Setelah mencari -melalui komputer- dari kitab-kitab hadits standar Ahlusunnah dan Syi’ah, penulis tidak menemukan hadits tersebut, malah yang didapati adalah hadits-hadits yang bertolak belakang dengan apa yang diucapkan, contohnya, dalam beberapa tempat terdapat nukilan hadits dari Nabi Saw yang menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku Nabi sepeningal beliau, maka ia telah menciptakan bid’ah dalam agama, dan tempat baginya dan juga pengikutnya adalah neraka, di dunia ia harus dihukum mati, seperti sabda beliau “Wahai manusia tidak ada nabi setelah aku dan tidak ada sunnah selain sunnahku, barang siapa yang mengaku sebagai Nabi, maka ajarannya dan bid’ahnya adalah neraka, perangilah ia! Barang siapa yang mengikutinya, maka ia pun di neraka”.
Lebih dari itu, bahkan Rasul Saw menyebut orang-orang yang mengaku Nabi setelah beliau sebagai “pendusta” (Kadzzâb), sabda beliau:
“Akan datang setelah ku para pendusta, mereka mengaku sebagai Nabi dan aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku”.
Yang menarik untuk diperhatikan, dari sekitar delapan ratus riwayat hadits yang mengatakan “La nabiyya ba’di” (tidak ada Nabi setelahku), terlihat ada upaya dari para pemalsu hadits untuk menambahkan teks hadits tersebut menjadi “La nabiyya ba’di illa an yasyâ’ “ (Tidak ada nabi setelah kecuali jika Ia menghendaki), pemalsuan hadist ini dapat dilihat dengan jelas oleh para Ahli hadist.
Adapun justifikasi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “La nabiyya ba’di” adalah menampakkan atau mempublikasikan kenabian yang dimiliki, bertentangan dengan zahir dan teks hadits.
Hadits di atas dengan jelas meniscayakan inti dan hakikat keberadaan Nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), bukannya berarti boleh ada nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), hanya saja tidak memiliki hak untuk mempublikasikannya.
Jika yang dimaksud dengan Nabi dalam justifikasi di atas adalah makna irfannya yang biasa di sebut “wali Kâmil” (wali sempurna) oleh para urafa, maka kita katakan: Pertama, seharusnya penulis mengungkapkan apa yang dimaksudnya dengan gamblang dan jelas. Kedua, para urafa tidak menggunakan istilah kenabian dan wahyu bagi semacam itu (untuk wali Kamil), akan tetapi yang mereka gunakan adalah istilah “ilham” dan “Nubuwwa at-ta’rify” -lawan dari “Nubuwwa at-tasyri’i” yang dimilik oleh seorang Nabi-.
7. Wahyu dapat digapai dengan pengalaman keagamaan: Jika kita menilai secara obyektif dan mengatakan bahwa maksud dari pengalaman keagamaan adalah bahwa dengan kesucian jiwa mereka, para nabi akan sampai satu fase irfani dimana Haq Ta’ala akan hadir dan bertajalli pada diri mereka, dengan demikian wahyu dan pesan Tuhan akan turun dan sampai kepada mereka.
Dari sisi ini, pengalaman keagamaan dan tingkatan syuhud para Nabi juga dapat dimiliki manusia biasa, walaupun secara gradual terdapat perbedaan diantaranya.
Untuk menganalisa hal ini, kita harus akui bahwa memang apa yang diucapkan di atas secara global memiliki kesamaan dengan pandangan para urafa dan filosof, namun penyucian hati adalah salah satu syarat untuk mendapatkan wahyu, bukan syarat tunggal sehingga dapat kita katakana bahwa seseorang cukup dengan pengalaman keagamaan, ia akan mencapai maqam kenabian, karena turunnya wahyu dan syariat juga memiliki syarat lain yaitu pilihan atau karunia dari Allah Swt, dan malaikat akan turun membawa wahyu hanya kepada para Nabi yang dipilih oleh Allah Swt.
Namun jika maksud dari ucapan mereka -wahyu adalah pengalaman keagamaanadalah bahwa sebenarnya seseorang yang memiliki pengalaman, tidak berinteraksi dengan hakikat Ilahi, akan tetapi apa yang disampaikannya hanya semata hasil khayalan, maka kita katakan bahwa anggapan ini bukan saja telah merendahkan wahyu hingga pada batas terendah dari pengalaman keagamaan bahkan iapun telah memposisikan wahyu sejajar dengan khalayan.
8. Meruntuhkan norma dan prinsip sosial: Tujuan inti agama adalah memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, berdasarkan pandangan di atas, wahyu dan agama diturunkan sesuai perasaan dan selera pribadi.
Dengan perasaan dan pengalaman yang dimilikinya, setiap orang dapat menafsirkan pengalaman keagamaan yang dianggap sebagai agama itu sendiri.
Dengan demikian, mereka dapat menghapus atau merubah doktrin-doktrin sosial bahkan seluruh ajaranajaran yang ada didalamnya.
Padahal inti misi wahyu dan agama yang dibawa oleh Nabi adalah member hidayah kapada umat manusia serta membawa mereka kepada kebahagian yang abadi.
Jika wahyu adalah hasil karya seseorang, maka ia sama sekali tidak akan memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan manusia, karena setiap orang akan membawa prinsip dan aturan sosial yang berbeda yang akan menimbulkan kekacauan dalam tubuh masyarakat, dengan kata lain konsekuensi pandangan di atas ialah munculnya sekularisme dalam Islam dan ini jelas bertentangan dengan prinsip agama Islam.
Sampai di sini tampak jelas bahwa wahyu tidak dapat ditafsirkan sebagai pengalaman keagamaan, dimana pandangan seperti ini mengakibatkan pengingkaran terhadap wahyu atau paling tidak mengkhususkannya pada perasaan-perasaan tertentu yang sama sekali tidak sesuai dengan wahyu yang dimaksud oleh al-Qur'an dan hadits.