Pengkhianatan Seorang Kerabat
Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Isma'il diundang oleh sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun perihal keadaan Musa bin Ja'far.
Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu, beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, "Ke manakah kau hendak pergi?"
Ali bin Isma'il menjawab, "Ke Baghdad".
Imam berkata, "Untuk keperluan apa kau ke sana?".
Ia menjawab, "Aku terlilit hutang, barangkali dengan kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar hutangku itu".
Imam berkata lagi, "Aku yang akan membayar seluruh utangmu itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu".
Tetapi Isma'il menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata,
"Aku tetap akan pergi dan aku meminta nasihat darimu".
Imam berkata padanya, "Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah perintahku, bahwa engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan darahku, karena akibatnya buruk untukmu kelak".
Isma'il bertanya, "Apa maksud perkataan Anda ini?"
Ia mendesak Imam untuk memberinya nasihat.
Imam kembali mengulangi perkataannya kepada Isma'il.
Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.
Isma'il beranjak pergi meninggalkan Imam.
Beliau memberikan tiga ratus Dinar padanya dan berkata, "Ini untuk anak-anakmu".
Isma'il mengambil uang tersebut dan pergi.
Setelah kepergian Isma'il, Imam menyampaikan pesan kepada orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu.
Beliau berkata, "Demi Allah, kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku yatim".
Para hadirin bertanya-tanya, "Wahai putra Rasulullah, jika Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja membantunya?!".
Beliau menjawab, "Datukku Rasulullah bersabda, 'Jika seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya".
Isma'il tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya Barmaki.
Setelah itu, bersama Yahya pergi menjumpai Harun.
Ia menyampaikan laporannya kepada Harun.
Katanya, "Wahai Harun! Musa bin Ja'far telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh orang-orangnya dari berbagai tempat.
Ia telah mengambil keputusan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu".
Harun senang mendapatkan laporan dari Isma'il itu dan memberi uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya.
Isma'il dengan senang hati menerima uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.
Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan mati seketika di tempat itu pula.
Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.
Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah.
Sepulangnya dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke Basrah.
Imam as. dipenjarakan selama satu tahun di sana. ketika itu kota Basrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Barmaki.
Selama di penjara, akhlak, budi luhur dan perilaku Imam meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya.
Kesan itu memaksanya untuk menulis surat kepada Harun, "Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun pada diri Musa bin Ja'far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan.
Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan dia pergi".
Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl.
Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as. dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau.
Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik, seorang yang bengis dan kejam.
Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat, puasa, ibadah dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah swt.