I. IDJTIHAD DAN TAQLID
II
Daم am Qur'an, Sunnah dan Idjma' sahabat, begitu djuga pendapat imam mazhab empat, terdapat banjak keterangan-keterangan, jang menundjukkan bahwa idjtihad itu untuk orang-orang jang memenuhi sjarat mudjtahid wadjib hukumnja, dan tak boleh ditinggalkan. Demikian pendapat umum dalam dunia Islam.
Jang didjadikan alasan untuk mewadjibkan itu diantara lain ialah ajat Qur'an. jang bunjinja : "Gunakanlah pikiranmu, wahai orang jang mempunjai akal" (Al-Hasjar, 59), dan aat Qur'an jang berbunji : "Djika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnja" (AnNisa', 59). Dalam Sunnah terdapat keterangan jang lebih njata. diantara lain sabda Nabi : "Beridjtihadlah kamu, segala sesuatu jang didjadikan Tuhan mudah adanja" (Amadi, Al-Ahkam, III : 170), sabdanja : "Apabila seorang hakim hendak mendjatuhkan suatu hukum dan ia beridjtihad, kemudian ternjata hukumnja itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternjata bahwa hukumnja itu salah, maka ia mendapat suatu pahala" (BuchariMuslim). Dan banjak lagi hadis-hadis jang lain, jang menjuruh menuntut ilmu, jang menerangkan, bahwa ulama itu amanat Rasul, pelita bumi, pengganti nabi-nabi atau ahli waris nabi-nabi, jang semuanja mengandjurkan berfikir, mentjari ilmu dan beridjtihad.
Chalifah Abu Bakar pernah melakukan idjtihad mengenai perkara warisan kalalah dan Chalifah Umar bin Chattab pun banjak kali beridjtihad, sambil berkata : "Umar tidak tahu, apakah ia mentjapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan idjtihad" (Amdi dan Imam Al-Ghazali).
Menurut Ibn Qajjim Abu Hanifah dan Abu Jusuf pernah berkata : "Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan perkataan kami. hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu." Mu'in bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : 'Aku ini hanja seorang manusia, dapat berbuat salah dan dan dapat djuga berbuat jang benar. Lihatlah kepada pendapatku. djika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, gunakanlah pendapat itu, tetapi djika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalkanlah pendapat itu." Imam Sjafi'i pernah berkata : "Meskipun aku sudah mengatakan pikiranku, tetapi djika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka jang benar adalah utjapan Nabi, dan djanganlah engkau bertaqlid kepadaku. Apabila ada sebuah Hadis jang menjalani perkataanku dan Hadis itu shah, ikutilah Hadis :tu, ketahuilah, bahwa itulah mazhab ku." Djuga Imam Ahmad bin Hambal, seorang Imam jang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin menghindarkan dirinja dari menggunakan pikiran, berkata kepada muridnja : "Djangan kamu bertaqlid kepadaku, djangan kepada Malik, djangan kepada Sjafi'i dan djangan pula kepada Sauri, ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka menqambil pikiran itu."
Dari semua uraian diatas ternjata, bahwa taqlid buta, taqlidul a'ma dalam agama dilarang, dan bahwa beridjtihad itu wadjib hukumnja bagi orang alim jang berkuasa. Uraian itu menundjukkan djuga, bahwa seorng mudjtahid mungkin mengalami sa'ah dan benar. Mereka berfikir setjara merdeka. Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, jang berkata bahwa tiap-tiap mudjtahid jang menggunakan akalnja pasti benar, dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa jang tidak sanggup diperbuatnja. Tentu hal ini tidak diperkenankan pada siara', dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tuhan Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sekuasanja" (AlBaqarah, 286).
Disamping wadjib beridjtihad dan haram taqlid ada satu perkara jang harus diperhatikan, jaitu bahwa seorang mudjtahid atau qadi tidak terikat kepada keputusn idjihadnja dimasa jang telah lampau, apabila keputusan ternjata kurang benar. Dalam hal ini Umar ibn Chattab pernah memperingatkan dalam suratnja kepada Abu Musa Al-Asj'ari sbb. : "Tidak ada sesuatu jang dapat mentjegahkan engkau memeriksa kembali keputusan idjtihadmu dalam sesuatu hukum. Mudah-mudahan engkau beroleh petundjuk dan engkau pulang kepada jang hak. karena hak itu asli (qadim), tidak dapat dibathalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada jang hak lebih baik dari pada berpegang kepada jang bathil" (Mawardi, Al-Ahkamus Sulthanijah, dll.).
Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hudjdjah jang diwadjibkan. tidak diperkenankan bagi orang jang berkuasa beridjtihad. Taqlid hanja dibolehkan kepada orang jang tidak sanggup beridjtihad, jaitu orang awam. orang jang belum mengetahui apa-apa, murid jang belum dapat beridjtihad. Bagi mereka berlaku hukum : fatwa untuk orang djahil sama kekuatannja dengan idjtihad bagi mudjtahid, atau fatwa mudjtahid untuk orang awam sama dengan dalil sjara' bagi orang mudjtahid. Demikian tersebut dalam kitab Al-Djami' dan Al-Muwafaqat.
Pendapat ini masuk diakal, karena hidup bermasjarakat sosia dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinja ahli dalam hukum fiqh dan usul. Orang jang sematjam itu dibolehkan mengikuti perkataan mudjtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tanjaiah kepada orang alim djika kamu sendiri tidak mengetahui !" (An-Nahal, 43).
Demikianlah perkembangan tjara berfikir dalam dunia ulama Ahli Sunnah. Sekarang mari kita tindjau pendirian golongan Sji'ah, jang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu, ketjuali mengenai idjtihad, jang oleh Sji'ah dianggap tetap terbuka selama-lamanja. Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian ulama Ahlus Sunnah.
Tentang mengubah sesuatu idjtihad, sebagaimana pendapat Umar bin Chattab, tidak sadja terdjadi dalam golongan Sji'ah, tetapi djuga dalam golongan Ahli Sunnah. Ingat akan mazhab Sjafi'i, jang mempunjai dua aliran berfikir, jang biasa dikenal dengan Qaul Qadim masa Baghdad, dan Qaul Djadid masa Mesir.
Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan idjtihad dalam mazhab Sji'ah Isna Asjar Imamijah lebih luas dari Ahli Sunnah. Pada mereka pintu idjtihad itu selamanja terbuka sampai zaman sekarang ini. Mereka melekatkan penghargaannja kepada idjtihad lebih tinggi dari Idjma' dan Qijas. Imam pada mereka berkedudukan sebagai kepala mudjtahid, sajjidul mudjtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama. Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan; berlainan sekali dengan kedudukan seorang chalifah dalam kalangan Ahli Sunnah (Falsafat dst., hal. 141).
Tentu sadja Imam itu boleh beridjtihad dalam hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu jang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah.
Menurut Sji'ah tiap-tiap orang Islam jang mukallaf diwadjibkan mengerdjakan segala hukum Islam jang dipikulkan kepadanja dengan jakin, dan jakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah stftu djalan idjtihad, taqlid dan ihtijath. Pengertian ketiga matjam djalan ini didjelas-kan dalam kiab-kitab Sji'ah sebagai berikut.
Idjtihad jaitu menetapkan hukum sjara' dengan pendapatnja jang sudah ditetapkan. Taqlid jaitu berpegang kepada fatwa seorang mudjtahid dalam mengerdjakan segala amal ibadat. Ihtijath jaitu beramal dengan suatu tjara jang jakin dari kebiasaan jang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara jang sebenarnja.
Bagi orang-orang Sji'ah beridjtihad itu wadjib kifajah dan apabila ada segolongan manusia mengerdjakan pekerdjaan ini, terbebaslah manusia jang lain dari pada kewadjiban itu, tetapi apabila tidak ada jang sanggup melakukan idjtihad itu, maka seluruh masjarakat Islam berdosa kepada Tuhan. Orang jang sanggup melakukan idjtihad dinamakan mudjtahid. Mudjtahid itu ada dua matjam, pertama mudjtahid mutlak dan kedua mudjtahid muttadjiz. Jang dinamakan mudjtahid mutlak ialah orang Islam jang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh, sedang mudjtahid muttadjiz ialah orang jang berkuasa menetapkan sesuatu hukum sjara' dalam beberapa hukum furu' fiqih. Seorang mudjtahid mutlak diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja. Ia boleh djuga beramal setjara ihtijath. Mudjtahid muttadjiz djuga diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja djika ia mungkin dalam mentjiptakan hukum furu'. Tetapi djika ia tidak mungkin, maka ia dihukum bukan mudjtahid, dan boleh ia memilih salah satu djalan antara taqlid dan beramal dengan ihtijath.
Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti tjara berfikir seseorang mudjtahid karena tidak sanggup beridjtihad sendiri. Amal seorang awam jang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtijath dianggap bathal. Orang, jang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbahagi atas dua bahagian, pertama awam sematamata, jaitu seseorang jang tidak mengenal sama sekali hukum sjara'. Kedua muqallid berilmu, jaitu seseorang jang mempunjai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnja, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan idjtihad.
Dalam bertaqlid disjaratkan dua perkara sebagai berikut : pertama amalnja sesuai dengan fatwa mudjtahid jang diikutinja dalam bertaqlid, kedua benar kasad ibadatnja untuk berbakti kepada Tuhan dengan setjara jang diputuskan mudjtahid itu.
Seorang muqallid dapat mentjapai fatwa mudjtahid jang diikutinja dengan salah satu dari pada tiga djalan : pertama ia mendengar langsung hukum sesuatu masalah pada mudjtahid itu sendiri, kedua bahwa ada dua orang jang adil dan dapat dipertjajai menjampaikan fatwa mudjtahid itu kepadanja, boleh djuga hanja oleh seorang sadja ang dipertjajainja sungguh-sungguh dan dapat menteramkan kejakinannja, ketiga ia membatja sebaran tertulis, dimana diuraikan fatwa mudjtahid itu dan keputusan itu hendaknja dapat menenteramkan djiwanja tentang sahnja dan benarnja penetapan hukum tersebut.
Apabila seorang mudjtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinja melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid jang sesuai dengan mudjtahid jang wafat itu sah dalam taqlidnja. Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara jang berlainan, asal iang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan jng dapat diampuni dalam agama karena uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengutjapkan tasbih, jang fatwanja berbeda antara mudjtahid pertama jang sudah mati dengan mudjtahid jang dibelakangnja. jang berlaku fatwanja dalam masa itu. Djadi berlainan djumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mudjtahid tidak merusakkan sahnja sembahjang seorang muqallid dalam mazhab Sji'ah.
Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mudjtahid jang lebih alim dari jang lain. Djika ia mendengar utjapan dua jang berlainan dari dua orang mudjtahid, dan orang tundjukkan kepadanja, bahwa mudjtahid jang seorang itu lebih alim dari jang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mudjtahid jang alim itu. Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mudjtahid jang diikutinja, itu mati sebelum sampai umurnja, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanja dengan tidak usah memilih mudjtahid jang lebih alim.
Orang-orang jang dibolehkan bertaqlid kepadanja, harus mempunjai sjarat-sjarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang jang teguh imannja (dalam hal ini dimaksudkan Sji'ah penganut-penganut mazhab isna Asjarijah), adil. bersih keturunannja. ahli agama, mempunjai kekuatan ihtijath dan masih hidup. Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnja kepada mudjtahid jang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnja adalah seorang mudjtahid jang lebih adil dari jang lain.
Dalam memilih mudjtahid jang lebih alim ditentukan dua buah sjarat. Djika ada seorang mudjtahid mengadjarkan perselisihan pendapat dalam fatwanja, baik setjara garis besar atau setjara perintjian. seorang muqallid wadjib memilih mudjtahid jang lebih alim.
Djika seorang mudjtahid dalam memberikan fatwa tidak mengadjarkan perselisihan faham sama sekali, kepadanja dibolehkan taqlid dengan tidak usah mentjahari orang lain jang lebih alim. Djika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mudjtahid jang sanggup memberikan fatwa itu kepadanja, meskipun ada disampingnja mudjtahid lain jang lebih alim.
Ihtijath artinja boleh mengerdjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu amal jang tidak diketahui tjaranja tetapi dijakini dapat melepaskannja dari suatu perintah agama. Jang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum jang diragu-ragui antara wadjib dan tidak haram, mazhab Sji'ah dalam keadaan jang demikian memerintahkan mengerdjakannja. Mengenai matjam kedua, djika diragu-ragui antara perintah dan tidak wadjib, ihtijath dalam hal ini menghendaki agar pekerdjaan jang demikian itu ditinggalkan dan djangan dikerdjakan. Dalam perkara jang ketiga misalnja mengenai suatu hukum jang diragu-ragui wadjibnja mengenai dua matjam ibadat, seperti pertanjaan, apakah sem bahjang jang dilakukannja harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtijath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali setjara qasar dan sekali setjara tamam atau lengkap.
Mungkin terdjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan tjara ihtijath sematjam itu, misalnja karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar. Ihtijath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh matjam itu. Djika orang awam itu mempunjai air jang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannja ihtijath, jaitu berwudhu' atau mandi dengan air itu. Boleh djuga ia tajammum djika ia mungkin melakukan pekerdjaan ini.
Demikianlah beberapa tjontoh jang kita ambil dari kitab Sji'ah sendiri, jaitu kitab "Al-Masa'il al-Muntachabah" (Nedjef, 1382 H), karangan seorang ulama Sji'ah terkenal Sajjid Abui Qasim Al-Chu'i.