3. MENGAPA ALI DITJINTAI SJI'AH
Abdul Halim Mahmud dalam bukunja "At-Tafkirul Falsafi fil Islam" (Mesir, 1955) menerangkan, bahwa ketaatan Sji'ah kepada Ali tidaklah bertentangan dengan adjaran Islam umum, jang mewadjibkan taat kepada Allah, taat kepada Rasulnja dan taat kepada Ulil Amri, sehingga golongan Sji'ah ini memasukkan sebagai salah satu kejakinannja, bahwa mentaati imam itu adalah salah satu rukun jang wadjb dalam Islam.
Sebab-sebab terdjadinja kejakinan Sji'ah ini sudah berlaku sedjak zaman Rasulullah. Perdjalanan hidup Rasulullah baik sebelum maupun sesudah mendjadi Nabi tidak terlepas daripada kepribadian Ali bin Abi Thalib. Ketika mentjeriterakan asal kedjadian Sji'ah, Abdul Halim Mahmud menerangkan, bahwa orang tidak boleh lupa hubungan kekeluargaan antara Muhammad dengan Abi Thalib, bahkan dengan Abdul Muttalib. Kita batja sedjarah, apa jang diperbuat oleh Abdul Muttalib terhadap Muhammad, apa jang diperbuat oleh Abi Thalib terhadap kehidupan dan pembelaan atas diri Muhamad, bagaimana memelihara Muhammad itu lebih daripada anaknja sendiri Ali, ketika ia mengawinkannja dengan Chadidjah, beban kekeluargaan ini hampir-hampir tidak terpikul olehnja. Achirnja Muhammad, sesudah berumah tangga dan berpenghidupan, segera meringankan beban itu dengan mengambil Ali, jang diakui adiknja, dan Abbas mengambil tanggung djawab tentang Dja'far.
Tatkala Nabi diangkat mendjadi Rasul, Ali masih berumur dua belas tahun, dan Nabi melihat bahwa Ali belum pernah dahinja kotor karena sudjud kepada berhala, karena berbuat sesuatu kemaksiatan, sebagaimana jang terdjadi dengan anak-anak Quraisj jang lain. Ali memeluk agama Islam setjara jang sangat murni dan bersih.
Mundur madju Ali sebelum memasuki Islam, semalam-malaman ia berpikir, sehingga tidak dapat memedjamkan matanja. Achirnja ia memutuskan dan menerangkan kepada Nabi memeluk agama Islam, dengan tidak bermusjawarat lebih dahulu dengan ajahnja. Katanja : "Memang Tuhan sudah mentakdirkan tidak berunding lebih dahulu, karena tidak ada keperluan bermusjawarat dalam beribadat kepada Tuhan." Ibn Hisjam mentjeritakan, tatkala Rasulullah keluar ke Sji'ab Mekkah mau sembahjang, Ali bin Abi Thalib mengikutinja dengan diam-diam. dengan tidak setahu ajahnja, paman-pamannja dan seluruh keluarganja, lalu sembahjang berdua dengan Nabi Muhammad. Sesudah selesai dan istirahat sebentar, kembali pulang berdua-dua (Sirah, hal. 263).
Tatkala turun ajat jang berbunji : "Berilah chabar pertakut kepada keluargamu jang terdekat," Nabi Muhammad mengundang keluarganja makan dirumahnja dan berbitjara dihadapan mereka itu, mengadjak menerima adjaran Tuhan. Abu Lahab memutuskan pembitjaran Nabi, dan mengadjak pengikutnja meninggalkan pertemuan itu. Nabi Muhammad mengadakan lagi esok harinja undangan makan. Sesudah habis makan, Nabi berkata : Tidak ada kuketahui orang-orang jang lebih baik daripada kamu ditanah Arab, jang datang pada hari ini. Moga-moga ketabahanmu itu membawa kebadjikan dunia achirat. Sesungguhnja Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk mengadjak kamu sekaliannja kepada adjarannja. Siapakah diantara kamu jang akan membantuku (Juwasiruni) aku dalam meneruskan pekerdjaan ini? Sunji senjap, tidak ada sahutan, tidak ada djawaban jang dapat menampungnja. Semua mereka itu membalik kebelakang, meninggalkan pertemuan itu. Tetapi Ali lalu bangun tegak berdiri berkata dengan lantang : "Aku ja Rasulullah jang akan membantumu. Aku sedia memerangi siapa jang akan memerangimu !" Bani Hasjim jang hadir itu semuanja tertawa terbahak-bahak, pandangan mereka itu berpindah dari Abu Thalib kepada anaknja jang masih ketjil. Kemudian mereka itupun meninggalkan tempat itu sambil mengedjek (Dr. Haikal, Hajat Muhammad, hal. 140).
Siapa jang menolong djiwa Nabi pada waktu hidjrah ke Madinah ? Rasulullah menjuruh Ali pada malam hidjrah itu tidur diatas tempat tidurnja, dan berselimut dengan selimutnja burdah hadrahmi jang hidjau, dan menjuruh dia tinggal beberapa waktu di Mekkah ?
Di Madinah Nabi mempersaudarakan sahabat-sahabatnja Muhadjirin dengan Anshar, agar tidak tjanggung dan merasa asing, agar bersatu dalam kekeluargaan sebagai saudara kandung sebiran tulang, tjinta mentjintai, setia dan kasih sajang. Maka terdjadilah persaudaraan jang belum pernah dikenal sedjarah manusia, ikatan kekeluargaan jang lebih daripada saudara kandung. Nabi mengambil tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata kepada umum : "Ini saudaraku !" Maka mendjadilah pula persaudaraan antara Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib (Ibn Hisjam, Sirah, hal 18).
Memang bukan ikatan lahir sadja jang memperkokohkan hubungan antara Rasulullah dengan Ali, tetapi djuga ikatan bathin jang tidak bisa dipetjah tjeraikan antara satu sama lain. Rasulullah mendidik Ali itu sedjak ketjil, dan Ali itu hidup dirumahnja sebagai salah seorang anaknja. Ali adalah orang laki-laki jang mula-mula masuk Islam, saudaranja, menantunja jang dikawinkan dengan anaknja Fathimah jang sangat ditjintainja. Ali seorang jang perkasa dan berani, seorang pembela Rasulullah jang tidak ada taranja, seorang jang ichlas, seorang jang takwa, seorang zahid jang tidak usah diperpandjangkan lagi tjeritanja. Tiap mata orang Islam, baik dahulu dan sekarang, baik ia pernah mendjadi sahabat Nabi atau hanja mengenal kehidupan Nabi dalam sedjarah hidupnja mengakui jang demikian itu.
Inilah jang menjebabkan Dr. Thaha Husain berkata dengan segala kebenaran : "Djikalau ada orang Islam sesudah wafat Nabi mengatakan, bahwa Ali itu adalah orang jang terdekat kepadanja, seorang asuhannja, seorang chalifah dalam bentuk adjaran jang dituangnja, seorang saudaranja jang ditjap demikian, seorang menantunja, seorang bapak pengikutnja, seorang petugas jang kebanjakan kali membawa pandji-pandjinja, seorang kepala rumah tangganja, seorang jang dipanggil Rasulullah dalam Hadisnja bahwa ia mengambil tempat kedudukan kepadanja sebagai Harun terhadap Musa, djikalau orang-orang Islam itu berkata terang-terangan jang demikian itu semua dan memilih Ali sebagai chalifah jang tepat sesudah Nabi Muhammad, mereka jang berkata itu tidak memutar balikkan apa jang terdjadi" (Usman, hal. 152).
Demikian kata Dr. Thaha Husain, bukan dalam mempertahankan pendirian Sji'ah, tetapi dalam mendjelaskan kebenaran jang terkandung dalam kejakinannja, apa sebab orang-orang Sji'ah itu mentjintai Ali demikian rupa, sehingga ketjintaan itu termasuk kedalam adjarannja. Kata Dr. Abdul Halim Mahmud, bahwa jang demikian itu tidak mengherankan, karena semua sahabat Nabi melihat bahwa Ali bin Abi Thalib lebih mulia dari Abu Bakar, Umar dan lain-lain. Jang berpendapat demikian itu diantara lain ialah Ammar, Salman Farisi, Djabir bin Abdullah, Abbas dan anaknja, Ubaj bin Ka'ab, Hanifah dan lain-lain. Ini dapat dibatja orang dengan djelas dalam kitab Fadjarul Islam pada hal. 327. Ketjintaan ini berubah mendjadi fanatik, tatkala orang jang merupakan mutiara dalam mata Rasulullah dan sahabat-sahabat terkemuka itu dibunuh oleh Ibn Muldjam setjara kedji, dan anak tjutjunja ditjela dan dihinakan setjara kotor.
Memang pergeseran ini sudah terasa djuga oleh Ali sendiri pada waktu perundingan memutuskan memilih Abu Bakar mendjadi chalifah ganti Nabi. Sudah kelihatan ketika itu bahwa Ali merasa dirinja lebih berhak. Kedjadian ini ditjeriterakan dalam sebuah hadis jang diriwajatkan oleh Buchari dari Jahja bin Budiair dari Aisjah, jang menerangkan bahwa Fathimah anak Nabi mengirimkan seorang utusannja kepada Abu Bakar untuk memintakan bahagiannja dari peninggalan Rasulullah di Madinah dan di Fadak, begitu djuga ketinggalan pembajaran chumus daripada rampasan chaibar. Abu Bakar mendjawab, bahwa Rasulullah pernah berkata : "Kami Nabi2 tidak waris-mewarisi, apa jang kami pernah berkata: "Kami Nabi2 tidak waris-mewarisi, apa jg. kami tinggalkan adalah sedekah". Dan oleh karena itu Abu Bakar menetapkan : "Demi Tuhan, aku tidak berani mengubah sesuatu daripada kedudukannja sedekah Rasulullah itu, begitu keadaannja dizamannja, begitu pula aku laksanakan sekarang ini. Abu Bakar tidak memberikan apa-apa kepada Fathimah, sehingga kedjadian itu menimbulkan rasa sedih hati Fathimah terhadap Abu Bakar jang tidak habis-habis. Ia meninggalkan Abu Bakar tidak berbitjara dengan dia lagi sampai ia mati. Enam bulan Fathimah hidup sesudah wafat Nabi, kemudian ia meninggal dunia. Ia dikuburkan oleh suaminja Ali dengan tidak memberi tahukan kepada Abu Bakar. Kelihatan kepada orang- perobahan air muka Ali tatkala ia menjembahjangkan isterinja. Kemudian menghendaki bi'at terhadap keangkatan Abu Bakar, tetapi Ali tidak mau melakukannja. Kita tidak tahu. apakah jang terdjadi, djika Abu Bakar tidak mendatangi Ali dan berkata : "Kami akui kemuliaanmu, kami melihat apa jang diberikan Tuhan kepadamu, kami tidak iri hati melihat kebadjikan jang pernah dikaruniakan Allah kepadamu, tetapi engkau bersifat keras kepada kami, kami termasuk keluarga Rasulullah jang menerima nasib sematjam ini." Abu Bakar mengeluarkan air matanja tatkala mendengar utjapan jang sedih itu, seraja berkata : "Demi Allah, sesungguhnja keluarga Rasulullah itu lebih aku tjintai daripada keluargaku sendiri. Adapun perasaan jang tumbuh antaramu dengan daku mengenai harta benda itu, tidaklah merusakkan kebadjikan. Aku tidak akan meninggalkan mengerdjakan suatu perkara jang kulihat dikerdjakan oleh Rasulullah sendiri." Maka kata Ali kepada Abu Bakar, bahwa ia akan menangguhkan bi'atnja. Setelah Abu Bakar sembahjang lohor, ia lalu naik kemimbar menghadapi umum, menerangkan keadaan Ali jang mengundurkan bai'at, dan meminta kepada umum mengundurkan diri. Kemudian ia mengutjapkan istighfar. Tatkala itu Ali bangkit dan mengutjapkan bi'at sumpah setia, sehingga naiklah kembali kebesaran dan kekuasaan Abu Bakar itu. Keterangan Ali, bahwa ia tidak menghilangkan kebesaran Abu Bakar. Dan tidak iri hati terhadap kelebihan jang dikurniakan Allah kepadanja, tetapi Ali melihat untuk dirinja memang telah mendjadi nasib sebagai keluarga Nabi, membuat orang2 Islam jang hadir ketika itu bergembira sangat, sambil berkata : "Kebenaran disampingmu, dan orang muslimin menjusun diri kepada Ali, sehingga kembalilah Ammar Ma'ruf sebagai biasa."
Demikian ini hadis Buchari tersebut. Bagaimanapun disembunjikan, kelihatan ada apa-apa antara Ali dan Abu bakar pada waktu menetapkan chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi. Sebagai orang Sunnah dapat kita memahami, bagaimana kesulitan Abu Bakar ketika itu tak ubah sebagai menating minjak penuh, dari satu sudut ia ingin melakukan kebidjaksanaan menerima dirinja diangkat dan disetudjui oleh orang Anshar dan Muhadjirin, cari lain sudut ia mengakui kehormatan ada pada keluarga Nabi, dan dari lain sudut pula sukar memenuhi permintaan Fathimah dan Ali mengenai harta pusaka, karena ia hendak mendjalankan sepandjang wasiat Nabi. Tetapi orang-orang Sji'ah lebih dahulu melihat hal-hal jang merusakkan perasaan keluarga Nabi jang terdekat, dan oleh karena itu sebagai manusia barang pasti ia berpihak kepada Ali.
Dengan demikian Ali memberikan sumpah setianja kepada Abu Bakar sebagai seorang mu'min jang ichlas, jang imannja benar, jang ketaatannja dalam segala urusan Islam dapat diudji. Dengan menekan perasaan ia mendjalankan hidupnja sebagai jang terdapat pada pembawaannja, ia tetap zahid, ia tetap takwa, ia tetap mempergunakan pikiran sebagai seorang jang melimpah-limpah ilmunja, ia tetap hidup wara', tulus ichlas dalam mendjalankan agamanja. Ali tetap menundjukkan tjontoh jang tinggi dalam mentjapai keridhaan Allah lebih daripada kepentingan dirinja.
Masa berdjalan terus. Abu Bakar wafat, pimpinan berpindah dan chalifah beralih kepada Umar. Dan Umar mendjalankan tugasnja dengan segala kekuatan jang ada padanja untuk mentjapai keridhaan Tuhan. Ali tetap sebagaimana nasibnja dalam masa Abu Bakar, tetapi ia tetap pula memantjarkan sinarnja jang gemilang serta memberikan tjontoh jang utama.
Tidak ada jang lebih lajak diserahi chalifah sesudah Umar melainkan Ali. Suasana menantikan kedjadian ini, karena ia termasuk ahli kerabat Nabi, karena ia termasuk orang-orang jang mula-mula masuk Islam, karena kedudukan Ali dalam mata kaum muslimin, dan kalau dilihat pertjobaan-pertjobaan atas dirinja dalam menempuh djihad fi sabilillah, kalau dilihat perdjalanan hidupnja jang belum pernah menjimpang, kesungguhan dalam melakukan agama, keistimewaannja dalam memegang kitab dan sunnah, ketetapan hatinja dalam menghadapi segala kesukaran. Dalam segala keadaan ia terkemuka, dalam segala suasana ia melebihi orang lain. Tetapi meskipun demikian banjaklah suara untuknja, dipilih orang djuga Abu Bakar, karena dianggap lebih tinggi kedudukannja pada Nabi karena dianggap dialah salah satu sahabat setia dalam gua Hira', dan karena dialah jang diperintahkan Nabi mengimami salat untuk kaum muslimin beberapa saat sebelum Nabi wafat. Meskipun ia dikemukakan lebih dari Umar, Umar djuga jang diangkat djadi chalifah, karena ia dianggap lebih tjakap dan karena wasiat jang ditinggalkan Abu Bakar untuk memilih Umar itu.
Djika sekiranja Ali dipilih dan diangkat ketika itu, pasti orang tidak mendapat kesukaran, karena Umar sendiri telah menjatakan kepentingan tersebut, dan karena kedudukan pribadi Ali sendiri dalam mata umat membenarkannja. Apalagi djika ditjindjau dari sudut tjinta suku dan asabijah Arab umum, tjinta suku-suku Quraisj, jang melebihkan kedudukannja daripada Abdurrachman bin Auf. Ali lebih dapat diterima oleh Quraisj, Ali lebih dapat diterima oleh Mudhar, Ali lebih dapat diterima oleh Rabi'ah, Ali lebih dapat diterima oleh suku-suku Jaman, karena ada hubungan keluarga dengan bermatjam-matjam kabilah itu. Djika Ali menduduki singgasana chalifah sebelum ada terdjadi perpetjahan, pasti ia akan merupakan seorang tokoh jang dapat memperdekatkan rasa dari suku2 Arab jang djauh itu, pasti Ali dapat mengumpulkan semua suku-suku itu untuk mentaatinja dan membawa suku2 itu kepada kedjajaan. Tetapi sebagaimana kata Umar ada sebab2nja orang tidak memilih dia mendjadi chalifah : pertama ketakutan Quraisj, bahwa kechalifahan itu akan tetap dimonopoli oleh Bani Hasjim, djika dimulai dengan salah seorang dari tokoh Bani Hasjim itu. Padahal kenjataan menundjukkan, bahwa jang demikian itu tidak akan terdjadi, sebagaimana Umar, Alipun akan mengikuti djedjak Nabi, jang tidak akan mendjadikan chalifah itu pangkat warisan.
Dan dengan alasan-alasan itu Ali tidak djadi dipilih mendjadi chalifah, jang diangkat orang lain lagi, jaitu Usman bin Affan Ali tetap dalam keadaannja, dalam keadaan murni, dalam keadaan menekan diri mengikuti petundjuk dan memberi tjontoh utama.
Suasana makin sehari-makin mendjadi katjau. Perasaan suku-suku bangsa Arab timbul meluap-luap, jang achirnja berkesudahan dengan suatu pembunuhan kedjam atas diri Usman. Barulah orang sadar mentjari suatu tokoh jang dapat mengatasinja, barulah orang melihat kembali kepada kedudukan Ali dan pengaruhnja. Memang Ali diangkat mendjadi chalifah, dan meskipun tidak diangkat mendjadi chalifah, akan terdjadi dengan sendirinja karena suasana, tetapi kekatjauan sudah memuntjak.
Meskipun sebagai chalifah, Ali tidak berubah pembawaannja. Sebagaimana ia hidup sebelum kemenangan-kemenangan Islam, begitu djuga ia hidup sesudah kemenangan-kemenangan itu. Ia hidup demikian sederhananja, hingga mendekati hidup kemiskinan dan djelata. Tidak ada keluasaan, tidak ada kemakmuran dalam rumah tangganja. Apa jang diperoleh dari usahanja di Janbu'.
itulah jang merupakan satu-satu penghidupannja, tidak berlebih dan tidak bertambah. Tatkala ia mati, ia tidak meninggalkan ribuan, djika dibanding dengan orang lain jang meninggalkan harta pusakanja lipat sepuluh, lipat seratus dan lipat miliunan. Orang besar ini dikala wafatnja hanja meninggalkan untuk keluarganja sebagaimana keterangan Hasan anaknja dalam chotbah, hanja tudjuh ratus dirham, jang disediakan untuk membeli seorang budak jang akan dimerdekakannja.
Memang Ali terkenal sederhana, bahkan ia terkenal dengan hidup sufi, pada waktu ia memangku djabatan chalifah dalam waktu jang singkat itu, semua mata dapat melihat bahwa ia diantara chalifah Islam jang memakai badju kasar dan bertambal, jang mengepit kendi dan berdjalan dipasar, jang mengadjar dan mendidik keluarganja seperti pernah dilakukan oleh Umar bin Chattab. Keadaan itu semua menundjukkan kepada Umar kebenaran firasatnja, tatkala ia berkata : "Djika orang mengangkat sigundul djambang, tentu kedjajaan akan berkembang" (Usman, Thaha Husain, hal 154).
Sungguh tak dapat dipungkiri, bahwa Ali adalah tjontoh jang murni dalam agama dan achlak, orang baru melihat kemudian sesudah ia diangkat mendjadi chalifah sesudah wafat Usman, dikala keadaan sudah katjau, peraturan-peraturan sudah banjak dilanggar.
Ali disuruh menghadapi suasana jang genting itu. Dan memang Ali meskipun sudah terlambat, ingin membawa manusia itu kedjalan achirat, karena suasana ketika itu penuh dengan keduniaan jang merusakkan, ia ingin membawa manusia itu kembali kepada Tuhan, meskipun kehidupan mereka telah sangat dikuasai oleh harta benda. Masa pemerintahannja dalam arti jang sedapat-dapatnja penuh dengan sabar dan merendah diri, menentang hawa nafsu sjahwat, kegemaran kemabukan dunia. Tetapi sajang pada achir pemerintahannja ia djatuh tersungkur dalam tangan Abdurrahman bin Muldjam. Ketika itu menanglah kembali bahwa nafsu sjahwat kegemaran dunia itu bersama dengan kemenangan Mu'awijah. Dunia menang untuknja, tetapi achirat menang untuk Ali, sebagai orang jang asjik dan ditjintai Tuhan. Kemenangan ini belum pernah didapat Ali dalam masa hidupnja, barulah tatkala ia kembali kepada Tuhannja dapat beroleh kekajaan dan kemakmuran jang tidak terbatas. Sampai disaat ia dibunuh, sampai disaat ia melepaskan darah dan djiwanja jang sutji murni, ia tetap berbuat amal salih. ia tetap sutji, ia tetap bersih, ia tetap hendak mendekati Tuhan, apa jang lebih baik daripada itu baginja.
Kehidupan inilah jang membuat Sji'ah mentjintai Ali, sebagaimana Salman Farisi mentjintai sanak keluarganja Rasulullah. Kelemah-lembutan dan penderitaan Ali menjebabkan tjinta jang tidak terbatas, dan kekedjaman jang dilakukan orang terhadap dirinja menimbulkan golongan-golongan, seperti golongan Sji'ah dalam bermatjam-matjam bentuknja; jang masih dapat menahan dirinja dalam batas-batas ke-Islaman hanja mentjintainja sebagai seorang sahabat dan keluarga Nabi jang istimewa, jang tidak dapat menahan perasaannja jang meluap-luap mengangggapnja berdjiwa sutji. Maka timbullah didalam Sji'ah itu golongan-golongan itu, seperti Sji'ah Imamijah, Sji'ah Zaidijah, Sji'ah Ismailijah, Sji'ah Churabiah, Sji'ah Kisanijah dll.
Maka dalam menentukan pendirian golongan-golongan itu perlulah bagi kita pengetahuan jang luas tentang Sji'ah itu, untuk mengetahui mana golongannja jang benar, jang dekat dengan Ahli Sunnah, dan mana golongan2 jang salah, jang tidak dapat diterima i'tikadnja oleh adjaran iman dan Islam jang kita anut. Pada pendapat saja setelah mempeladjari beberapa buku Sji'ah, baik jang dikarang oleh alim ulamanja sendiri maupun jang disusun oleh pengarang-pengarang diluar aliran ini, tidak dapat begitu sadja kita mengkafirkannja seluruh aliran Sji'ah, sebagaimana jang pernah dilakukan oleh Tgk. Abdussalam Meraksa dalam bukunja "Firqah-firqah Islam", jang pernah ditjetak dengan huruf Arab dan disiarkan setjara luas di Atjeh.