sji'ah

sji'ah0%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 13001
Download: 3658

Komentar:

sji'ah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 13001 / Download: 3658
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

6. HUSAIN DAN KARBALA.

Orang bertanja kepada ketua Mahkamah Sjar'ijah Agung Dja'farijah di Beirut, Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah, jang pada waktu ini merupakan tokoh penting dalam mazhab Sji'ah mengapa perajaan Karbala itu dichususkan untuk memperingati Imam Husain sadja, mengapa tidak neneknja Muhammad atau ajahnja Ali, apakah Husain itu lebih penting daripada neneknja dan ajahnja itu.

Dalam djawaban Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah, jang dimuat pandjang lebar dalam madjalah „Risalah Al-Islam" tahun 1959, Djuli, dengan kepala „Sjiah dan Hari Asjura", didjelaskan duduk perkaranja jang sebenarnja menurut paham Sji'ah. Orang2 Sjiah tidak melebihi seorang djuapun lebih daripada Rasulullah. Mereka menganggap Nabi Muhammad itu dalam Islam se-baik2 machluk Tuhan dengan tidak ada ketjualinja. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada jang lebih mulia daripada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib itu pernah membanggakan dirinja dengan berkata : „Aku adalah seorang tukang tambal sepatu Rasulullah" Dan ia berkata : „Apa bila peperangan sudah selesai, maka kegembiraan jang sebesar-besarnja bagi kami ialah bergaul dengan Rasulullah". Memang Sji'ah Imamijah menganggap bahwa Muhammad itu tidak ada jang menjainginja dalam keagungan, malaikat tidak, rasul2 lainpun tidak, bahwa Ali bin Abi Thalib hanjalah chalifah jang berhak sesudah ia wafat, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah keluarganja dan sahabatnja jang terbaik. Adapun penghormatan Husain pada tiap2 tahun selama sepuluh hari berturut-turut di Karbala, jang terkenal dengan Asjura, tidak lain maksudnja ialah untuk mempertahankan dan mengabadikan pendirian itu serta melaksanakannja dalam bentuk tindakan jang kelihatan.

Hal ini akan lebih djelas, djika diketahui rahasia2 jang dikandung peringatan tersebut, sebagai berikut.

1: Sebagaimana diketahui Rasulullah kawin tatkala dia berumur 25 tahun dan wafat pada waktu berumur 63 tahun. Setahun Rasulullah tidak beristeri setelah wafatnja Chadidjah. Kemudian ia kawin dan banjak istrinja, sehingga ia pernah mengalami perkawinan dengan sembilan isteri dalam suatu masa hidup. Masa perkawinan itu tidak kurang dari 37 tahun. Dari perkawinan dengan Chadidjah ia beroleh dua orang anak laki2, jang tjantik dan sutji, seorang bernama Qasim dan seorang bernama Abdullah, ke-dua2nja mati diwaktu masih ketjil. Dari perkawinan dengan Chadidjah itu djuga dia beroleh-empat anak -perempuan,--masing2 bernama Zainab, Ummu Kalsum, Ruqajjah dan Fatimah. Semuanja masuk Islam, semuanja kawin dan semuanja wafat dikala hiddupnja, ketjuali hanja tinggal seorang mainan mata dan kenangan kepada keluarganja jang sudah tidak ada jaitu Fatimah. Memang Rasulullah dikurniai lagi seorang anak laki" dari isterinja jang bernama Marijah Qubtijah jang diberi nama Ibrahim, anaknja inipun diwaktu ketjil diambil Tuhan, ia meninggalkan ajahnja dalam keadaan sepi dan sunji itu, dalam keadaan ia mentju-tjurkan air mata karena sedihnja, berpulang kerahmatullah dalam umur hanja setahun sepuluh bulan dan delapan hari. Tidak ada lagi tunasnja, tidak ada lagi keturunannja, jang dapat menghiburkan dia dalam keluarga, jang menjambungnja dalam keturunan, ketjuali dengan Fatimah dan dua orang anaknja jang diperolehnja dari perkawinan dengan Ali jaitu Hassan dan Husain. Merekalah jang merupakan keluarganja, merekalah jang merupakan harapan dan kemenangan, mainan mata dan hiasan rumah tangganja.

Fatimah, Ali, Hasan dan Husain itulah satu2 empat tunggal keturunan Nabi, satu2nja ketenangan dan kebanggaan kaum muslimin sesudah wafat Nabi. Jang lain tidak ada, tidak ada keluarganja dan tidak ada keturunan jang ditinggalkan dalam bentuk rumah tangganja jang sebenarnja. Tetapi Fatimah wafat pula, hanja sesudah 72 hari ajahnja kembali kepada Tuhan. Tinggallah rumah tangga Nabi jang gelap gulita itu, djika tidak diterangi oleh tiga sumber tjahaja dan sumber hiasan, jaitu Ali, Hasan dan Husain. Kemudian Ali dibunuh orang pula, dan hanja tinggal dua „Ketjantikan", dua Hasanah. Ketjintaan kaum Muslimin berkumpul pada kedua anak ini, dahulu mereka dapat menumpahkan tjinta dan ichlas kepada Nabinja jang mulia, sekarang tak ada lagi salurannja ketjuali kepada tjutjunja itu, kepada kedua tjutjunja, jang hanja merupakan keturunan dan jang hanja merupakan Ahli Baitnja.

Tidak berapa lama kemudian Hasan pergi pula menemui Tuhannja, sehingga dari Ahli Baitnja hanja tinggal satu2nja jaitu Husain. Seluruh bentuk rumah Rasulullah kembali kepada kepribadiannja. Satu'nja tempat melihat Nabi ialah Husain, satu2nja jang dapat merupakan kenang2an kepada keluarganja ialah Husain, hanja Husain jang dapat menampung seluruh ketjintaan kaum Muslimin karena dialah satu2nja jang mewakili Ahli Bait Nabi, jang mewakili Nabi, jang mewakili Ali, jang mewakili Hasan dan jang nrewakili dirinja sendiri. Tjinta akan tidak dapat terpentjar kepada jang lain. sebagaimana seluruh kenangan2 kepada keluarga Nabi akan berpusat kepadanja ....

Tjobalah kenangkan djika saudara mempunjai lima orang anak jang sama ditjintai kemudian mati satu persatu sehingga tinggal seorang sadja. Akan tak dapat tidak tjinta kepada jang seorang itu berlipat ganda, karena kepadanja berkumpul seluruh tjinta kepada jang sudah tidak ada itu.

Djika kita mengerti jang demikian itu, barulah, kita paham akan utjapan Zainab. jang meratapi saudaranja Husain, dikeluarkan pada hari jang kesepuluh dalam bulan Muharram : „Pada hari ini wafat nenekku Rasulullah, pada hari ini pula mati ibuku Fatimah, pada hari ini ajabku Ali dibunuh dan pada hari ini saudaraku Hasan diratjuni". Dengan pengertian diatas itu djuga baru dapat kita memahami apa jang pernah diutjapkan Husain, beberapa saat sebelum djiwanja ditjabut musuh katanja kepada tentara Jazid : „Demi Tuhan tidak ada lagi ditimur dan dibaratpun putera anak perempuan lagi ketjuali aku jang berdiri didepanmu, tidak pula ada keturunannja didepan orang selain kamu semua."

Pintu rumah Rasulullahpun tertutuplah dengan pembunuhan atas diri Husain, tidak ada lagi tinggal dari keluarganja barang seorangpun, sedang ia itu merupakan perlambang bagi rumah Nabi seluruhnja dan kenang'an hidupnja kepada semua umat Islam.

2. Matinja keturunan Nabi ini tak dapat tidak merupakan suatu kedjahatan besar jang tidak ada taranja. Hari itu tidak dapat diartikan hari peperangan dan hari pembunuhan jang biasa, hari itu adalah hari pertumpahan darah dan hari pembasmian seluruh keluarga Nabi besar dan ketjil. Dari seluruh pendjuru diadakan serangan, dari seluruh pendjuru dihadapkan dendam jang dipuaskan sepuas-puasnja kepada keluarga Nabi. Mereka diboikot makan dan minum berhari2 dengan tidak ada rasa belas kasihan kepada manusia. Tatkala keluarga Nabi itu sudah dilumpuhkan, karena mereka laki2 dan perempuan lebih mengutamakan mati kelaparan dan dahaga daripada menjerah diri kepada musuh jang kotor, diserbulah dari segala djurusan dengan pelepasan panah, pelemparan beling dan batu, ditetak dan ditjentjang dengan pedang dan ditikam ditusuk dengan tombak sepuasanja dengan kedjamnja. Tatkala semua sudah djatuh kepalanja lalu dipenggal, badannja disuruh indjak2 dengan kaki kuda, diseret kesana dan kemari sebagai mainan. Kekedjaman ini belum memuaskan tentara Jazid, sebelum anak2 ketjil jang mendjerit2 karena kematian ibunja diindjak2 perutnja, sebelum mereka dengan tempik sorak kegembiraan melemparkan api jang me-njala2 ke-tengah2 perempuan jang panik dan tidak berdaja itu.

Kita tidak mengetahui, apakah pekerdjaan ini dianggap baik oleh orang jang mentjintai Nabinja, dapat disetudjui oleh orang jang membesarkan Nabinja serta keluarganja itu. Apakah hal itu tidak menegakkan buluroma menghadapi kedjadian itu dengan penuh ketakutan. Kedjadian jang berlumuran darah ini tak akan dapat dilupakan selama hajat dikandung badan.

Tatkala Jazid membasmi pemberontakan Husain itu dengan menggunakan pedang terhunus, ada seorang utusan Kaesar Masehi datang kepadanja dan berkata : „Ditempat kami masih terdapat seorang tukang mengurus keledai Isa, jang sampai sekarang kami biarkan dia hidup bahagia. Dari seluruh sudut bumi orang datang ziarah kepadanja, pergi melepaskan nazar dan mengantarkan hadiah. Kami menghormati tukang keledai itu sebagaimana kamu menghormati kitab sutjimu. Sekarang nampaklah padaku bahwa kamu itu berada diatas djalan jang salah". Mughnijah mengatakan moga2 Tuhan mendjadikan kedjadian di Karbala ini suatu kedjadian jang tersebar dalam sedjarah, suatu kedjadian jang abadi, jang pernah dikenal oleh kitab2 tarich dibumi, karena kedjadian itu memang merupakan kedjahatan jang sangat menghinakan dan menjakitkan diantara kedjahatan jang pernah berlaku diatas muka bumi ini.

Husain dalam kalangan Sji'ah dan orang2 arif jang bidjaksana, jang mengetahui sedjarah dan maksud tjutju Rasulullah tidaklah merupakan suatu nama orang sadja. Husain merupakan bagi mereka simbul dan perlambang jang lebih dalam, simbul kepahlawanan, kemanusiaan dan kesempurnaan tjita2, suluh dan penerangan bagi agama dan sjari'at, tjontoh perlawanan dan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam pada itu adalah Jazid bagi golongan Sjji'ah tidak lain daripada suatu perlambang kedjahatan, perbudakan dan pendjadjahan, tjontoh jang kedji dan rendah, tjontoh kerusakan budi jang tidak ada taranja dari satu pihak kedjahatan, kerendahan budi, kehantjuran kehormatan, pertumpahan darah manusia, kesombongan dan keangkuhan, perampasan hak dan pelanggaran hukum, semua itu adalah nama Jazid dan perbuatannja. Sebaliknja ketenangan, keichlasan, keagungan dan keutamaan, ketinggian budi, inilah nama Husain dan prinsip hidupnja. Seorang penjair Sji'ah memudji Husain dalam gubahannja dan mengatakan, bahwa tiap tempat itu Karbala dan tiap zaman itu Asjura untuk kenang'an kepada Husain.

Maka oleh karena itu orang2 Sji'ah menganggap, bahwa menghidupkan kepahlawanan Husain serta mengabadikan djihad nja dan prinsip hidupnja sama dengan menghidupkan kebenaran, kebadjikan dan kemerdekaan, pengorbanan dirinja, keluarganja dan sahabat'nja terhadap kezaliman Jazid dan teman2nja adalah wadjar.

Anak Muawijah itu hendak menghantjjurkan Ahli Bait Nabi dan memadami tjahaja Tuhan serta menggunakan Kalimatul Ulja untuk menaburkan kedjahatan dan kezaliman dan dia menjangka bahwa dia akan menang serta hendak menjudahi tampuk kemenangannja itu dengan membunuh "Husain, ketahuilah bahwa kemenangannja itu gagal dan hantjur. Disamping kehantjuran Bani Umajjah, timbul peringatan Karbala dan peringatan Husain jang berdjalan sampai hari kebangkitan. Demikian pendirian Sji'ah.

Hal ini sudah diperingatkan Zainab kepada Jazid tatkala ia berpidato menerangkan : „Hai Jazid, engkau menjangka bahwa engkau dengan memangkas diri kami akan menguasai bumi Tuhan jang luas dan langit Tuhan jang membumbung keangkasa dan dengan menghinakan kami sebagai engkau menghinakan tawanan2, bahwa kami akan dihinakan Tuhan dan engkau akan dimuljakannja ? Tidak, tjamkanlah. Tuhan tidak akan mengubak ketjuali dagingmu. Meskipun pidatomu ber-api2, aku tidak merasa ketjil menjerahkan diri kepada kekuasaanmu, engkau tidak akan dapat membesarkan perkosaan, engkau tidak dapat merampas kami. Kemegahanmu boleh engkau perbesarkan, kekajaanmu boleh engkau timbun2 dan perlawanan boleh engkau perbesar dan engkau perkuat, tetapi demi Tuhan engkau tidak dapat menghilangkan semangat jang ada pada kami, engkau tidak dapat menghilangkan djiwa kami, engkau tidak dapat merendahkan kami dari pada kedudukan kami. Pendapatmu hanja merupakan chajal, zaman kekuasaanmu hanja merupakan bilangan hari dan kesatuanmu hanja merupakan kekuatan sementara."

Utjjapan Zainab ini segera terbukti. Jazid dan chalifahnja djatuh satu persatu. Dinasti Umajjah tidak ada setengah abad sesudah pembunuhan Husain hantjur lebur. Orang2 Islam melaknatkan Jazid, dan berkumpul memperingati Imam Husain pada hari pembunuhannja dan hari kelahirannja pada tiap2 tahun. Mesir bangkit memukul rebananja pada hari lahir Imam dan hari wafat Imam Husain dan hari lahir saudaranja sebagai pahlawan2 Karbala. Bukanlah hanja orang2 Sji'ah sadja jang merajakan peringatan Husain itu, tetapi semua orang Islam, baik Adjam atau Arab, pada tiap sempat dan tempat. Kadang2 berlainan tjaranja, tapi tudjuan dan maksudnja satu dan bersamaan.

Mughnijah mentjeritakan, bahwa ia pernah membatja dalam madjalah „Al-Ghadi", jang terbit di Mesir, Pebruari tahun 1959, sebuah karangan jang berkepala „Maulid Sajjidah (Zainab dan hari-hari besar umat Arab".

7. BANI MARWAN DAN IBN ZUBAIR

Dengan hantjurnja Jazid hantjur pulalah keturunan Bani Sufjan dan berpindah pemerintahan Bani Umajjah kedalam tangan Bani Marwan, jang dimulai dengan Marwan bin Hakam, jang pemerintahannja berumur hanja sembilan bulan. Sementara ia sibuk menjelesaikan peperangannja, dari satu pihak melawan sisasisa Bani Sufjan, dari lain pihak menentang perlawanan Ibn Zubair, diteruskannja sikap Mu'awijah dan Jazid memusuhi Ali dan pengikutnja dengan setjara tjutji maki diatas mimbar dan menjuruh algodjonja menghukum ulama-ulama Sji'ah, seperti Sulaiman bin Sjarad Al-Chuza'i, Hasib bin Nudjban Al-Chuzari, Abdullah Al-Azdi d.U. pengikutnja jang tidak kurang dari lima ribu orang terbunuh.

Sebagaimana ajahnja, begitu djuga anaknja Abdul Malik jang memerintah Sjam tidak sedikit membasmi orang-orang Sji'ah dan menggunakan Ubaidillah bin Zijad melawan dan merantai pengikut-pengikut Ali itu, kebanjakan sampai mati.

Begitu Abdul Malik diangkat mendjadi radja, ia segera menulis surat kepada Al-Hadjdjadj : "Pelihara darah Bani Abdul Muttalib, kalau perlu lindungi, karena kulihat, bahwa keturunan Abu Sufjan dikala mereka menelan habis, mereka sendiri mendjadi susut kehabisan." Demikian amanat Abdul Malik hanja mentjegah pertumpahan darah Bani Abdul Muttalib, karena ketakutan tertumbang singgasananja, sedang darah keturunan Ali halal ditumpahkan.

Sementara Abdul Malik membunuh orang-orang jang sudah menjerah, atas perintah Ibn Zubair, Mas'ab membunuh golongan jang dinamakan muchtarin, tidak kurang tudjuh ribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak ketjil. Wanita-wanita pahlawan ini sampai kepada saat terachir menjalakan kesetiaannja kepada Ali bin Abi Thalib. Keberanian orang-orang Sji'ah dikagumi. Muhammad bin Hanifah berani menaiki mimbar dan menolak keluar Ibn Zubair jang sedang mentjatji maki keluarga Rasulullah, dan meneruskan chotbahnja dengan mentjatji maki Ibn Zubair, dan achirnja mendjadi korban pula. Abdul Malik menggunakan Al-Hadjdjadj sebagai pelaksana dendamnja jang kedjam. Tidak ada seorang Sji'ah jang aman dalam tangannja, meskipun sudah menjerah, dan hukumannja diluar prikemanusiaan, seperti potong lidah, potong tangan dan kaki dan disula hidup-hidup. Qambar, pelajan Saidina Ali disembelihnja seperti menjembelih kambing dan Kumail bin Zijad, seorang Sji'ah jang saleh dan sudah terlalu tua, dikedjar diuber-uber achirnja dibunuh. Sa'id bin Zubair seorang Tabi'in jang zahid, ahli ibadat, ahli Ilmu tafsir, murid Imam Zainul Abidin, ditangkap oleh Qusri dan dikirimkan kepada Al-Hadjdjadj, jang dihukum bunuh, hanja karena menerangkan bahwa Abubakar dan Umar masuk sorga sebagai chalifah. Ibn Asir menerangkan, bahwa Sa'id bin Zubair dikala kepalanja putus dari badannja, masih kedengaran mulutnja mengutjapkan sjahadat. Pada malam hari Al-Hadjdjadj bermimpi, bahwa Sa'id bertanja kepadanja : "Apa salahku engkau bunuh, wahai musuh Allah ?"

Al-Hadjdjadj djuga merusakkan kehormatan wanita-wanita bangsawan. Ia pernah memaksakan dengan pedangnja gadis Asma anak kepala suku Bani Fazarah dan gadis Sa'id bin Qais AlHamdani, radja Al-Jamanijah, dengan Abdullah bin Hani, seorang pesuruhnja jang biasa, seorang jang berlaku buruk dan djelek mukanja. Baik Al-Mas'udi, maupun Ibn Asir mengetjam Al-Hadjdjadj habis-habisan atas kekedjamannja dan durhakanja.

Apa jang diperbuatnja atas Ibn Zubair di Mekkah, semua orang dapat membatja dalam sedjarah Islam. Dan kekedjamannja itu dilakukan disekitar Masdjidil Haram dan disaksikan oleh Ka'bah, ditanah Haram, dimana menurut adjaran Islam seekor semutpun tidak boleh dibunuh.

Sesudah selesai dengan Ibn Zubair, ia meneruskan kekedjamannja ke Madinah dan menghabiskan sisa-sisa Sahabat dan Anshar Nabi, diantaranja Djabir bin Abdullah Al-Anshari dan Sanal bin Sa'ad (Thabari).

Menurut Ibn Mas'ud dalam kitabnja "Murudjuz Zahab" (1948 III: 175) selama Al-Hadjdjadj mendjadi panglima perang dua puluh lima tahun ia telah membunuh rakjat biasa sebanjak dua puluh ribu orang, tidak termasuk kedalam djumlah ini orang-orang jang terbunuh dalam peperangan dan pemberontakan dimana-mana. Tatkala Al-Hadjdjadj mati, masih didapati orang lima puluh ribu tawanan perempuan, jang diantara mereka enam belas ribu telandjang bulat. Kebiasaan Al-Hadjdjadj menawan laki2 dan perempuan dalam sebuah pendjara, jang terbuka musim panas dan dingin dan tidak ketahuan makan dan minumnja.

Mughnijah menerangkan : "Ini adalah tjontoh-tjontoh ketjil daripada kezaliman Al-Hadjdjadj, jang disebut-sebut oleh ahli sedjarah dalam kitab-kitabnja. Apa jang aku batja dan aku dengar tentang Al-Hadjdjadj ini, memperbuat aku memperbandingkannja dengan Nero, jang pernah menjuruh membakar kota Roma, kemudian ia duduk terbahak-bahak, melihat kepada lidah-lidah api jang menjala-njala membakar wanita-wanita, orang-orng tua dan anak2 jang putus asa lari kesana-kemari. Al-Hadjdjadj adalah musuh Allah dan prikemanusiaan pada umumnja dan musuh Nabi Muhammad serta keturunannja pada chususnja. Hari-hari pemerintahannja adalah hari-hari jang merupakan azab jang tersukar bagi golongan Sji'ah, dalam masa pemerintahan Mu'awijah dan Jazid, ketjuali hari-hari ketenangan dibelakangnja. Bagaimana tidak, karena Al-Hadjdjadj lebih suka menamakan Ali itu zindiq dan kafir daripada menamakannja Sahabat. Hanja karena keturunan Ali ini sadja Sji'ah dianggap orang djahat dan berhak dihukum berat (Asj-Sji'ah wal Hakimun, 1962, hal. 98—99).

Meskipun agak tenang mengenai permusuhan, sikap Walid bin Abdul Malik mentjemaskan, karena ketika itu jang diangkat mendjadi gubernur di Mekkah ialah Chalid bin Abdullah Al-Qusri, jang masih mempermainkan nama chalifah diatas mimbar. Chalid menjuruh membawa air sungai Eufrat ke Mekkah untuk menilai dengan air zam-zam. Diantara edjekan-edjekannja ialah, bahwa ia memudji-mudji chalifah Walid dari Bani Marwan dan mengatakan, bahwa djika perlu akan dipindahkannja Ka'bah ke Sjam, atas perintahnja, dan bahwa chalifahnja itu mulia pada Allah daripada Nabi-Nabinja.

Chalid Al-Qusri ini adalah seorang kafir zindiq, ibunja adalah seorang Nasrani, ia memasukkan banjak adjaran-adjaran Nasrani kedalam Islam. Tatkala ia mendjadi gubernur di Kufah, ia mendirikan sebuah geredja untuk ibunja didepan mesdjid (Terich Datotafctl Artobijàh, hal. 319).

8. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SJI'AH,

Diantara kekedjaman Bani Umajjah terhadap Sji'ah ialah apa jang dinamakan mala'nat atau mengutuk Ali diatas mimbar dan dalam chotbah-chotbah Djum'at jang mula pertama dimulai oleh Mu'awijah bin Abi Sufjan sendiri, kemudian diikuti oleh Jazid, Marwan, Abdul Malik dan Walid, jang lalu merupakan instruksi umum diseluruh keradjaan Bani Umajjah. Segala isi dada dan dendam kepada Ali bin Abi Thalib ditjurahkan dalam segala matjam susunan kalimat jang kedji. Walid pernah menjebut nama Ali dengan menjusulkan dibelakangnja kutukan "la'natullah", "anak pentjuri", sehingga orang mendjadi heran, apakah utjapan jang demikian itu lajak ditudjukan kepada kemenakan dan menantu Nabi serta seorang sahabat besar daripada chulafaur rasjidin (M. Djawad Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, Beirut 1962, hal. 105).

Mughnijjah mentjeriterakan djuga, bahwa Chalid bin Abdullah al-Qusri, salah seorang ulama besar Bani Umajjah djuga pernah melantjarkan kata-kata jang kedji kepada Ali di Mesdjid Mekkah sebagai do'a dalam chotbahnja : "Ja Tuhanku, la'natilah Ali bin Abi Thalib anak Abdul Muttalib anak Hasjim, menantu Nabi, ajah Hasan dan Husain !" Semua orang jang hadir meneteskan air mata dan menekan perasaan ketika mendengar kata2 jang tidak lajak dalam chotbah itu, karena orang tahu! bahwa membeda-bedakan sahabat Nabi, apalagi mentjatji-makinja didalam chotbah Djum'at, tidak lajak diutjapkan oleh mulut seorang Islam.

Chotbah ini membuat Ubaidillah Assahmi menjerang dengan sjair-sjairnja jang berirama sbb. :

Tuhan mela'nat pengutuk Ali,

Pentjatji maki anak tjutjunja,

Sedangkan neneknja tali-temali,

Hubungan bapak serta pamannja.

Demikian kelakuan bangsawan,

Kotor hati serta mulutnja,

Mentjintai burung terbang diawan,

Tetapi mendendam keluarga nabinja.

Indah budimu wahai djundjungan,

Serta keturunan semuanja,

Selalu mengeluarkan kata sandjungan.

Mengutjapkan salam tanja menanja.

(Dala'ilus Shidiq, karangan Ibn Abil Hadid djuz III, hal. 476, djuz I. hal. 366).

Kazaliman Bani Umajjah itu, meskipun digunakan sebagai topeng politik, berachir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, jang melarang menggunakan chotbah Djum'at untuk serang-menjerang. Sebaliknja dialah jang mula-mula memperdekatkan kembali antara Bani Umajjah dan Sji'ah serta menghapuskan suasana permusuhan antara dua keturunan jang sebenarnja satu mojang dan seasal.

Perubahan sikap Umar bin Abdul Aziz bukan tidak ada latar belakangnja. Sedjak ia mendjadi gubernur di Madinah, ia sudah menundjukkan pembawaan bentji kepada kezaliman dan atjapkali mengeluh tentang kekedjaman Al-Hadjdjadj.

Tetapi saja berpendapat, bahwa bukan pembawaannja sadja jang mempengaruhi sifatnja, tetapi djuga pendidikannja. Meskipun ia seorang pangeran keturunan Bani Umajjah jang. hidup dalam istana, dimasa ketjil ia menerima pendidikan dari seorang ulama jang baik, tjutju dari Ibn Mas'ud, sahabat Nabi jang terkenal itu.

Umar -bin Abdul Aziz mentjeriterakan pengalamannja dengan gurunja itu sbb. :

"Aku beladjar membatja Qur'an pada anak Utbah bin Mas'ud. Pada suatu hari sedang aku bermain-main dengan anak-anak lain dan sedang sibuk, kami mengutuk Ali, ia lalu dekat aku dengan muka jang masam tidak menegur, terus masuk kedalam mesdjid. Melihat sikapnja jang kurang senang itu, aku tinggalkan anak-anak sepermainan segera aku datanginja untuk menerima peladjaran. Tatkala ia melihat aku, ia terus berdiri sembahjang, dan diperpndjangkannja sembahjang itu seolah-olah ia hendak menghindarkan pertemuannja dengan aku, sehingga akupun merasakan sesuatu dalam hatiku. Kutunggu sampai ia selesai sembahjang. Dan sesudah ia selesai, ia menghadapi daku dengan mukanja jang murung. Aku bertanja kepadanja mengapa ia bersikap demikian menghadapi daku. Ia mendjawab : "Karena engkau mela'nati Ali, bukankah demikian ?" Sahutku : "Ja, benar". Maka iapun berkata : "Apakah engkau mengetahui bahwa Allah pernah marah kepada pengikut perang Badar dan peserta Sumpah Ridwan, sesudah Tuhan mengurniai mereka keridhaannja ?" Kataku: "Apakah Ali seorang dari pedjuang Badar ?" Djawabnja : "Tjis. semua kemenangan Badar atas usahanja !"

Lalu aku berkata : "Wahai tuan guru, aku tidak akan ulangi lagi." Ia bertanja kepadaku : "Apakah engkau berdjandji dengan nama Allah bahwa engkau tidak mengulanginja kutuk terhadap Ali ?" Aku mendjawab, bahwa aku berdjandji dan sedjak itu aku tidak pernah lagi mela'nati Abi bin Abi Thalib."

Latar belakang jang lain adalah sbb. : Umar bin Abdul Aziz mentjeriterakan, bahwa ia pernah hadir, tatkala ajahnja berchotbah di Madinah pada hari Djum'at. Ia lihat ajahnja mengatjau dalam chotbahnja dengan menjerang dan mengutuk Ali, jang membuat ia heran. Pada suatu hari ia berkata kepada bapaknja : "Ajah, engkau seorang chatib jang paling baik dan paling fasih, tjuma djika engkau sudah mulai mengutuk orang dalam chotbahmu, mungkin djauh nilaimu dalam mata orang." Ajahnja berasa bahwa anaknja melihat jang demikian itu, lalu udjarnja : "Hai anakku djika penduduk Sjam dan orang2 lain mengetahui tentang keutamaan Ali, sebagaimana jang kita ketahui, pasti seorangpun tidak ada jang mengikuti kita, semuanja akan meninggalkan kita dan menjebelah kepihak tjutju Ali." Umar menerangkan, bahwa keterangan bapaknja itu termasuk dalam hati ketjilnja, sebagaimana telah melekat kepadanja utjapan gurunja pada waktu ia masih ketjil. Katanja : "Aku lalu berdjandji dengan Tuhan, akan mengubah keadaan ini, djika pada suatu masa aku dianugerhi Tuhan memegang kendali pemerintahan" (Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, hal. 106).

Umar menepati djandjinja dan melenjapkan penggunaan kutuk dan serangan terhadap Ali dalam chotbah. Ditempat orang mengutjapkan kutuk dan ketjaman, diperintahkan membatja ajat Qur'an, jang berbunji : "Tuhan Allah menjuruh berbuat adil dan menjuruh berbuat kebadjikan dan menjuruh mentjintai sanak kerabat dan menjuruh mentjegah perbuatan jang kedji dan, munkar serta segala kedjahatan. Tuhan Allah memperingatkan hal itu kepadamu, semoga engkau mengingatnja" (Qur'an).

Perintah ini disiarkan keseluruh keradjaan Bani Umajjah dan semua mesdjid menerima dengan rasa sjukur, sehingqa umat manusia memudji-mudji sikap Umar Ibn Abdul Aziz atas kebidjaksanaannja (Ibn Asir, Hawadis Sanah 69).

Memang dalam sedjarah Islam dua Umar jang terpudji. Umar ibn Chattab, Chalifah jang kedua dan Umar bin Abdul Aziz. dari Bani Umajjah, kedua-duanja adalah pentjipta daripada keradjaan Islam jang adil, dimana rakjat hidup makmur dan damai.

Pernah kita mendengar tjeritera bahwa Umar bin Abdul Aziz memerintahkan sekretarisnja untuk membagi-baai zakat kepada oran2 miskin dalam pemerintahannja. Sebulan lamanja sekretaris itu keliling, tetapi tidak ada seorangpun jang merasa berhak menerima zakat itu dengan alasan : "Kami sudah mendjadi kaja karena keadilan Umar bin Abdul Aziz".

Sikap Umar jang bidjaksana itu tak dapat tidak didorong dan dipupuk oleh gurunja Ibn Utbah bin Mas'ud, seorang jang teguh imannja dan mendalam tjintanja kepada Allah dan Rasulnja serta ahli rumahnja. Beberapa waktu ketjintaan ini disembunjikan, karena berbahaja djika dilahirkannja tetapi dimana ada kesempatan dimasukkannja adjaran jang baik itu kepada Umar bin Abdul Aziz, jang menurut penglihatannja mempunjai pembawaan kearah damai. Usaha ini tidak sia-sia, dan Umar bin Abdul Aziz mendjadi seorang besar dalam sedjarah Islam. Keutamaan Umar kembali kepada gurunja jang merahasiakan niat baiknja dari detik-kedetik, dan menelan air mata dari tetes-ketetes tatkala mendengar tjutji maki terhadap Ali.

Tetapi sajang rahasia ini kemudian terbuka, dan dengan tuduhan, bahwa ia kaki tangan Sji'ah, ia dihukum bunuh dan dikubur kan hidup-hidup.

9. BANI ABBAS DAN SJI'AH.

Sebenarnja Bani Abbas lebih dekat kepada Sji'ah daripada Bani Umajjah, Tetapi kekuasaan dan keduniaan jang djatuh ketangannja membuat mereka tamak, ditambah pula oleh fitnah2 jang dimasukkan oleh manteri-manteri dan pembesar-pembesarnja. Mereka mendjadi hasad dan mendendami golongan Sji'ah, terutama dalam masa Abul Abbas As-Safah (749—754 M.) dalam masa Abu Dja'far Al-Mansur (754—775 M.), dimana kaum Sji'ah di Hedjaz mulai memberontak menentang kekuasaan Abbassijah. Pada masa Musa Al-Hadi (785—786 M.) terdjadi lagi pemberontakan kaum Alawijjin di Hedjaz, dibawah pimpinan Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Oleh penduduk Madinah Husain diangkat mendjadi chalifah. Tetapi Husain dengan para pengikutnja dapat dikalahkan oleh tentara Abbasijjah di Wadi Fuch, antara kota Madinah dan Mekkah.

Dikala-kala Bani Abbas dalam pemerintahannja mendekati Sji'ah, seperti jang terdjadi dalam masa Abu Muslim Al-Churasani dan Harun-Ar-Rasjid (786—809 M.), tenteranja mendjadi kuat dan dengan mudah dapat menentang sisa-sisa kekuatan Bani Umajjah. Dengan demikian kita lihat kerdjasama ini pernah ditjoba setjara resmi oleh Al-Ma'mun, terutama untuk menarik hati Parsi jang kebanjakannja bermazhab Sji'ah, tetapi dalam djalan sedjarah selandjutnja selalu kita dapati hasad dan dengki terhadap golongan Sji'ah itu.

Saja tjari-tjari sebabnja. Kitab-kitab sedjarah hanja menerangkan, bahwa sebab-sebabnja itu ialah karena orang Sji'ah lebih mengutamakan agama dan kehidupan achirat, sedang Bani Abbas kebanjakannja mengutamakan kehidupan duniawi dan tamak dalam memperluaskan daerah pemerintahan Arabnja.

Tetapi apakah tidak ada sebab jang lain, jang mendjadi pokok dendam jang lebih mendalam. Apakah pokok dendam ini tidak dimulai dari masa, ketika dalam salah satu peperangan Abbas tertawan dan diikat pada sebatang tiang, dimana Ali bin Abi Thalib lalu dan mengedjeknja sebagai seorang musjrik penjembah berhala, meskipun Abbas mengemukakan djasa-djasanja dalam memperbaiki Ka'bah. Kedua bukankah hasad ini ditimbulkan karena orang-orang jang merupakan imam Sji'ah Ali itu adalah orang-orang jang sangat ditjintai oleh Sahabat-Sahabat dan Tabi'in, serta umat banjak, sehingga kehormatan jang diberikan kepada imam-imam keturunan Ali ini djauh melebihi kehormatan rakjat terhadap chalifah-chalifah Abbasijjah.

Satu diantara tjontoh jang banjak ialah kedjadian dalam masa Chalifah Ma'mum (809—833 M.), dimana Imam Ali ArRidha demikian besar kedudukannja dalam mata rakjat, sehingga mentjemaskan chalifah dan seluruh pembesarnja. Mughnijah mentjeriterakan dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimun" (Beirut, 1962, hal. 166) tentang imam Ali bin Musa bin Dja'far, jang disebut Imam Ridha, sebagai berikut :

"Imam Ali bin Musa bin Dja'far adalah manusia jang sebaikbaiknja dalam masanja, seorang jang mempunjai kedudukan tinggi dan terhormat dalam agama dan dalam pandangan manusia ketika itu. Ahli-ahli sedjarah menerangkan, bahwa Imam Ridha apabila ia melalui djalan raja berbondong-bondong manusia, rakjat dan jang berpangkat, mengikutinja. Ia diikuti oleh ulama-ulama dan ahli fiqh dengan kenderaan dan tunggangan, untuk menanjakan betmatjam-matjam masalah, jang melimpah-limpah dari ilmunja. Orang-orang mengudjinja dan memudji keturunannja. Pernah ia melalui djalan besar di Naisabur, untuk mengimami sembahjang Hari Raja. Ditempat ia berdjalan itu penuh sesak manusia, segala djalan dan lorong padat, begitu djuga tingkattingkat rumah dan atap penuh dengan laki-laki perempuan dan anak-anak. Tatkala ia melihat kelangit dan mengutjapkan takbir, seakan-akan djawaban takbirnja oleh lautan manusia itu menggontjangkan gedung-gedung langit dan bumi disekitarnja. Ketjintaan manusia kepadanja tidak dapat ditahan-tahan, jang membuat pengaruhnja begitu besar dalam kalangan umat, sehingga pengaruh jang demikian itu tidak pernah ditjapai oleh seorang radja Abbasijahpun, meskipun jang terbesar dalam sedjarahnja seperti Harunur Rasjid. Kepergiannja kesembahjang hari raja pada waktu itu disaksikan oleh Al-Fadhal bin Sahal, pembesar dari Chalifah Ma'mun, jang menjampaikan berita itu kepada madjikannja dengan penuh takdjub, sambil menjatakan pendapatnja dengan segera, bahwa, djika Imam Ridha pada hari itu dibiarkan mengimami shalat untuk lautan manusia jang sekian banjaknja, pasti akan menimbulkan fitnah sebagai akibatnja. Ia minta agar Chalifah Ma'mum segera melarang Imam Ridha meneruskan perdjalanannja dan memerintahkan balik kembali." (hal. 166).

Maka pulanglah orang besar ini dengan ta'at kepada perintah radja meninggalkan sembahjangnja, sedang rakjat disekitarnja mengikutinja dengan teriak dan tjutjuran air mata.

Bagaimanakah tidak mendjadikan hasad bagi radja-radja Abbasijah ketjintaan orang banjak jang meluap-luap kepada keturunan Ali, dan hasad ini lama-kelamaan berubah mendjadi haqad, dendam chasumat dan iri hati, jang lalu disalurkan dalam tindakan-tindakannja untuk menghantjurkan keluarga Ahlil Bait ini. Sedang sebaliknja segala tantangan itu selalu didjawab dengan lunak lembut, sopan santun penuh dengan sabar dan ta'at, sesuai dengan achlak-achlak terpudji, jang terdapat pada golongan ini.

Oleh karena Ma'mun tahu, bahwa pengaruh umum ada sama Imam Ridha, pernah ia menanjakan Imam ini pada suatu hari dengn kasar, dan pertjakapan itu kita salinkan dibawah ini.

Ma'mun : Aku ingin turun dari singgasana chalifah, dan kedudukan kehormatan ini kuserahkan kepadamu.

Ridha : Djika singgasana Chalifah itu hakmu, dan engkau menganggap dirimu tjakap untuk itu, lebih baik djangan engkau tinggalkan dan djangan engkau serahkan kepada orang lain.

Ma'mun : Mesti engkau terima penjerahan ini.

Ridha : Aku lebih bangga dan merasa beruntung dalam ibadah, dan dengan zuhud dalam dunia aku ingin terlepas dari pada kedjahatan duniawi, terbebas daripada segala jang diharamkan Tuhan, dan dengan tawadhu' aku mengharapkan tingkat jang lebih mulia pada sisi Allah.

Ma'mun : Djika engkau tidak mau menerima kedudukan chalifah ini, aku mengharap engkau terima kedudukan putera mahkota.

Ridha : Sekali-kali aku tidak akan memilih tawaran itu.

Ma'mum dengan menjindir : Sebenarnja engkau bermaksud dengan zuhudmu kedudukan duniawi dalam mata umum.

Ridha : Demi Allah aku tak pernah berdusta sedjak aku dilahirkan Tuhan, dan belum pernah aku zuhud didunia untuk kepentingan dunia. Aku tidak mengerti maksudmu.

Ma'mun : Apa jang kau maksudkan ?

Ridha : Barangkali engkau maksudkan, agar manusia berkata, bahwa Ali bin Musa ar-Ridha, tidak zuhud jang sebenarnja tetapi aku berlaku pura-pura zuhud didunia. Apakah engkau tidak melihat hal jang demikian itu, djika kesempatan mendjadi putera mahkota ini aku terima ? Maka Ma'munpun marah dan berkata dengan kedjam: Demi Allah ! Djika engkau tidak mau menerima tawaranku ini, aku akan tebaskan lehermu.

Ridha : Allah telah melarang kepadaku untuk meletakkan tanganku turut dalam kebinasaan. Djika engkau telah mempunjai niat demikian, teruskan niatmu, aku terima dengan pendirian, aku tidak menjuruh, aku tidak melarang, aku tidak bertindak dan aku tidak mengubah sesuatu.

Siapa jang menjangka, bahwa pertjakapan ini merupakan pantjingan pertentangan, jang mengakibatkan pembunuhan atas diri Imam Ridha, dengan menggunakan ratjun. Segala apa jang dapat dilakukan, telah dikerdjakan oleh imam ini sedjak pemerintahan Rasjid, ajahnja Ma'mun jang tidak kurang melakukan kekedjaman kepada Imam Ridha itu. Sajid Al-Amin dalam kitab "A'jan.usj Sji'ah" (1:60), mentjeriterakan, bahwa sesudah wafat Imam Al-Kazim, Rasjid mengirimkan suatu kekuatan tentara ke Madinah dengan perintah menghantjurkan seluruh perkampungan keturunan Abu Thalib dan merampasi semua harta benda wanitanja, meskipun sepotong kain dibadannja. Konon dikatakan, bahwa tentara itu sampai kekampung Imam Ridha, jang mengetahui kedatangannja dan mengumpulkan semua wanita-wanita itu dalam sebuah rumah, sedang ia sendiri berdiri didepan pintu rumah itu. Kepala tentara itu berkata : "Berikan kami masuk akan mengambil semua barang wanita itu." Imam tidak memberikan ia masuk, tetapi ia sendiri pergi mengambil semua harta benda dan pakaian jang ada pada diri wanita-wanita itu, jang diangkutnja untuk diserahkan kepada Rasjid.

Konon Ma'mun membawa perobahan, ia mengantjam kepada tentara itu akan membunuhnja atas perbuatan jang kedjam. Imam Ridha jang kebetulan hadir ketika itu meminta ampun untuk keselamatan kepala tentara itu.

Kelakuan-kelakuan jang seperti ini membuat rakjat dalam masa Bani Abbas lebih mentjintai keturunan Ali.

Selain daripada itu ulama-ulama hampir semuanja berpihak kepada imam itu, jang terdiri daripada orang-orang alim dan zahid, sebaliknja daripada keadaan radja-radja dan pangeran-pangeran Bani Abbas, jang terdiri daripada orang-orang jang kurang pengetahuannja tentang agama dan banjak diantaranja jang tidak mendjalankan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memusuhi ulama-ulama besar jang hidup ketika itu, hanja karena fatwa-fatwanja jang sesuai dengan hukum Islam, kelihatan seakan-akan membela pendirian Sji'ah. Kita lihat, bagaimana ulama-ulama beroleh kedudukan selama mereka ta'at kepada pemerintahan Abbasijah dan bagaimana siksaan atau hukuman jang didjatuhkan kepada mereka jang tidak mau kerdjasama dengan Bani Abbas itu, seperti Malik, Abu Hanifah, Sufjan as-Sauri, Ahmad bin Hanbal dll., jang semuanja berguru kepada ulama-ulama keturunan Ali bin Abi Thalib, seperti Imam Dja'far AshShadiq.

Saja sangka, bahwa dendam Bani Abbas kepada Sji'ah itu lebih banjak terletak dalam iri hati terhadap pengaruh jang besar dan ilmu pengetahuan jang melimpah-limpah, jang diperoleh imam-imam merupakan ketjintaan rakjat umum kepadanja, sehingga djika dibandingkan dengan pengaruh dan kekuasaan jang ditjapai oleh Bani Abbas jang memerintah itu, tidak ada artinja sama sekali. Dalam pandangan rakjat radja-radja Bani Abbas itu hanja orang-orang jang tamak kepada kekuasaan duniawi dan kepada harta benda serta kekajaan, jang dikumpulkan dari bangsa-bangsa jang ditaklukkannja dengan pertumpahan darah, baik bangsa-bangsa Arab. maupun bangsa-bangsa Parsi atau bangsa Adjam jang lain.

Dendam chasumat dari radja-radja Bani Abbas ini terhadap kepada imam-imam dan orang-orangnja akan kita bitjarakan dalam perintjian berikut ini.

IV. SJI'AH IMAMIJAH