1. SJI'AH IMAMIJAH
Salah satu daripada mazhab Sji'ah jang terdekat kepada mazhab Sunnah ialah mazhab Sji'ah Imamijah atau Dja'farijah. Perbedaannja diantara lain terletak dalam kewadjiban beriman dan imam itu harus ma'sum, jaitu terpelihara dari segala perbuatan ma'siat, ketiga jang terachir dan terpenting ialah kewadjiban memegang kepada nash, jaitu Qur'an dan Hadis sebagai sumber hukum, dan kemudian menggunakan akal untuk beridjtihad, jang menurut kejakinan mereka tidak pernah tertutup pintunja sampai sekarang.
Sam'ani mentjeriterakan, bahwa Imamijah itu merupakan suatu golongan Sji'ah dan kuat, mereka dinamakan demikian karena mereka itu menumpahkan iman atau kepertjajaan jang sepenuhpenuhnja kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknja, begitu djuga mereka mempunjai i'tikad jang teguh bahwa manusia itu tidak boleh tidak harus mempunjai imam atau menantikan seorang imam, jang akan lahir pada achir masa, membawa keadilan jang penuh untuk dunia ini. Pengarang Sji'ah jang terkenal, Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam kitabnja A'janusj Sji'ah (Beirut, 1960 M.) menerangkan bahwa Imamijah atau Isna 'Asjarijah tidaklah sebagaimana jang dituduh orang demikian fanatiknja kepada Ahlil Bait, sehingga mereka memasukkan kejakinan itu kedalam pekerdjaan ubudijah, tetapi kejakinan itu hanja merupakan suatu tjitatjita mazhabnja, jang tidak termasuk bertentangan dengan usul Islam, jang tiga, jaitu tauhid, nubuwah dan ma'ad, hanja merupakan adjaran furu' dalam mazhabnja, jang kebebasannja tidak menolak prinsip ke-Islaman.
Mazhab Imamijah ini menurut Al-Amin masih terbagi pula dalam beberapa aliran lain, jang tidak sama pendiriannja antara satu sama lain. Imamijah itu umumnja dapat dibagi atas Isna' 'Asjarijah, jang sedjarahnja dan perkembangan adjaran kejakinannja terbanjak akan kita bitjarakan dalam risalah ini, tetapi dapat kita simpulkan bahwa mereka mejakini kesutjian dua belas orang imam, jaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan anak Ali bin Abi Thalib, Husain anak Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain atau Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Dja'far Shadiq, Musa al-Kazim, Ali Ridha, Muhammad al-Djawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja anak tjutju dan tjitjit dari Ali bin Abi Thalib.
Àliran Kisanijah, (jang kini sudah tidak ada lagi) jang mendjatuhkan pilihan imam Muhammad bin Hanafiah, semua mereka itu sahabat2nja, jang digelarkan djuga Kisan. Diantara aliran itu ialah Zaidijah, jang memilih imamnja Zaid bin Ali bin Husain, dengan alasan dialah jang terberani dan selalu keluar dengan pedang, dan dialah anak dari Ali dengan Fathimah, satu2 imam jang alim dan berani. Maqrizi menambahkan sebab2 pemilihan Zaidijah djatuh kepadanja ialah karena Zaid itu mempunjai enam perkara pada dirinja, jaitu ilmu, zuhud. berani, kebadjikan, berbuat baik dan tidak ada kedjahatan.
Aliran jang lain ialah aliran Ismailijah, jang mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Ismail anak Dja'far Shadiq, sesudah bapaknja, golongan ini kebanjakan terdapat di India, sangat banjak amalnja, diantaranja membuat asrama-srama bagi orang miskin, orang mengerdjakan hadji dan orang jang datang ziarah dari djauh-djauh. Mereka itu berlainan dengan aliran, jang dinamakan Ismailijah Bathinijah, pengikut Aga Khan.
Aliran jang lain lagi dinamakan Fathahijah, jang mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Abdullah al-Al-Fath, anak Imam Djafar Shadiq jang menurut mereka berhak mendjadi imam sesudah bapaknja. Ada aliran djuga jang bernama Waqifah, jang ingin melihat pemilihan imam hanja djatuh kepada Ali al-Kazim. Adapun aliran Nawusijah menurut Sjahrastani dalam bukunja Al-Milal wal Nihal, adalah suatu golongan jang berkejakinan, bahwa pemilihan imam hanja tertentu bagi Dja'far bin Muhammad Shadiq, dan kata Nawusijah berasal dari nama desa Nawusa. Penganut-penganut aliran ini berkejakinan, bahwa Shadiq itu belum mati dan tidak akan mati, ia akan lahir kembali dibumi ini dan akan mengatur masjarakat, dan dialah jang berhak digelarkan Al-Mahdi.
Semua aliran-aliran itu sudah tidak ada lagi, aliran-aliran jang tinggal sekarang ini dari Sji'ah Imamijah itu hanjalah aliran Isna 'Asjarijah, jang terbanjak djumlahnja, aliran Zaidijah dan aliran Ismailijah Bathinijah dari Aga Khan.
Dalam mazhab Isna'asjarijah ada dua perkara jang terpenting kita ketahui, jang bagi mazhab ini merupakan pokok kejakinannja.
Pertama mengenai usul atau kejakinan dasar, jaitu kejakinan harus mempunjai imam, imamah, sehingga tiap penganut aliran Sji'ah ini diwadjibkan mengakui kedua belas orang jang tersebut diatas. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan kejakinan terhadap kedua belas imam itu, baik sesudah mengetahui atau tidak, disengadja atau tidak disengadja, meskipun ia iman kepada tiga pokok adjaran atau usul Islam, jaitu tauhid, nubuwwah dan ma'ad, menurut mazhab ini, ia bukan orang Sji'ah, hanja orang Islam biasa. Djadi kejakinan kepada imam itu menentukan, apa seorang oleh aliran ini dianggap seorang muslim biasa atau muslim Sji'ah, Orang Sji'ah aliran ini mendasarkan kewadjiban ini kepada sebuah hadis Nabi, jang berbunji : "Ahli Bait-ku adalah sebagai kapal, barangsiapa menumpang kapal itu ia akan djaja tetapi barangsiapa jang tidak ikut ia akan tenggelam."
Kedua pokok jang terpenting bagi aliran ini, ,jang mengenai furu' atau tjabang Islam, ialah tidak menjeleweng dan ta'assub, wadjib ada saksi pada waktu mendjatuhkan talak, dan terbuka bab idjtihad, dan lain-lain masaalah jang tidak terdapat pada aliran Islam jang lain. Mengenai persoalan ini ditetapkan, bahwa barangsiapa jang menentang hukum furu' itu dengan mengetahui sungguh-sungguh adanja hukum itu dalam mazhab Sjij'ah, maka ia keluar dari Sji'ah.
Dengan keterangan diatas ini djelaslah, bahwa Sji'ah Isna 'Asjarijh ini tidak pernah menolak hukum-hukum jang tersebut dalam kitab-kitab hadis, jang sahih, dan tidak pernah menolak kitab-kitab fiqh jang dikarang oleh ulama-ulama Islam jang lain, ketjuali beberapa masaalah jang tersebut diatas. Tidak ada sebuah kitabpun, jang dijakini kebenarannja oleh Imamijah itu benar dari awal sampai keachirnja ketjuali Qur'an dan tidak ada hadis jang chusus jang dijakini benarnja oleh orang Sji'ah aliran ini ketjuali jang termuat dalam kumpulan kitab-kitab hadis biasa. Tentu sadja tiap pribadi Sji'ah jang memenuhi sjarat2 idjtihad merdeka memilih ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis itu untuk menetapkan sesuatu hukum, karena pintu idjtihad itu tidak pernah tertutup menurut prinsip alirannja.
Dengan terbukanja pintu idjtihad ini baginja, terdjadilah hukum-hukum fiqh sebagaimana jang terdjadi dengan mazhab-mazhab jang lain, seperti Hanafi,, Sjafi'i, Maliki, Hanbali; dan sebagainja, dan lahirlah pula kitab-kitab fiqh, baik jang ringkas maupun jang pandjang lebar, lengkap dengan bahagian ibadat dan mu'amalat, dan persoalan-persoalan jang lain.
Dengan demikian kita bertemu dalam aliran Sji'ah Imamijah ini kitab-kitab pokok jang dikarang oleh Muhammad al-Kulaini. Muhammad as-Sadiq dan Muhammad at-Thusi, seperti kitab AlIstibsar, Man la jahdhuruhul Faqih, Al-Hafi, dan At-Tahzàb, jang bagi mereka merupakan kitab-kitab Sahih seperti dalam golongan Sunnah.
Seorang ulama besar Sji'ah Dja'far Kasjiful Ghitha' (mgl. 1228 H), dalam kitabnja, bernama Kasjful Ghitha', hal. 40, berkata tentang kitab-kitab ini sebagai berikut : "Ketiga Muhammad itu bukan kepalang bersungguh-sungguh mengumpulkan ilmu tentang riwajatnja antara hadis itu, tetapi masih ragu-meragui tentang riwatnja antara satu sama lain..........Pada permulaan keempat kitab itu mereka terang tidak mengatjuhkan ketjurigaan, jang mendjadi pokok baginja mentjari hadis jang dapat didjadikan hudjdjah antaranja dengan Tuhan atau sekedar ang dapat ditegaskan dengan ilmu bukan dengan sangkaan belaka, karena penegasan jang lahir tidak membuahkan ilmu pada pendapat kami, ilmu mereka jang demikian itu tidak menggagalkan pengetahuan kami."
Djika ahli pengetahuan sebagai mereka keempat itu demikian pendapatnja mengenai dalil pengambilan sanad hadis, bagaimanakah mengenai diri mereka jang sama sekali tidak pertjaja kepada Sji'ah.
Apabila seorang penulis ingin berpegang kepada pokok dan tjabang hukum (usul dan furu') sesuatu mazhab, hendaklah ia mengetahui sungguh-sungguh tiap kata, tiap istilah dan tjara ulama mazhab itu menetapkan usul atau furu' hukum, kemudian memperbandingkan kejakinan mazhab itu dengan tidak ada rasa sentimen dengan pendapat mazhab lain. Pada ketika itu barulah djelas kepadanja, bahwa usul hukum mazhab Sji'ah Imamijah itu tidak hanjak didasarkan kepada perkataan rawi ini dan rawi itu sadja, setjara dungu dan setjara sentimen, tetapi melalui djalan-djalan jang sah dan sudah ditentukan.
Sebagai tjontoh kita kemukakan, bagaimana seorang Sji'ah mengupas sesuatu hukum Islam, misalnja mengenai ta'rif agama Islam sendiri, Sjech Dja'far tersebut pada hal. 398 dari kitabnja jang sudah kita perkenalkan, berkata : "Diperoleh hakikat Islam itu dengan mengutjapkan "Asjhadu an lailaha illallah, Muhammadun Rasulullah" atau dengan utjapan jang sama maksudnja dalam bahasa apapun djuga dan dengan susunan pengakuan jang demikian itu, ia telah dianggap masuk Islam, dengan tidak usah ditanja tentang keadaan sifat Tuhan, baik mengenai Subutijah maupun mengenai Salbijah, dan tidak diminta dalil-dalil tauhid atau alasan-alasan kenabian" (lihat djuga Risalatul Aqaid AlDja'farijah).
Mengenal iman didjelaskannja, bahwa iman itu "membenarkan dengan hati dan lidah bersama-sama, tidak tjukup dengan salah satu daripada keduanja", (Muhammad Djawad Mughnijah, Ma'asj Sji'ah Imamijah, Beirut, 1956).
Seperkara jang atjapkali sukar dipahami mengenai kejakinan aliran ini ialah tentang pengertian Ismah. Biasa disebut orang ismah itu berarti terpelihara daripada semua dosa, dan orang jang demikian itu dinamakan ma'sum. Orang bertanja, apakah bisa manusia itu selain dari Nabi, ma'sum ?
Orang Sji'ah aliran ini mempunjai beberapa penqertian jang chusus mengenai perkataan ismah itu. jang djika diikuti dengan seksama, akan ternjata, bahwa kwalifikasi ini dapat diterima akal.
Ada ulama Sji'ah jang mengartikan ma'sum itu artinja mengerdjakan taat dengan tidak ada kemampuannja mengerdjakan ma'siat, sehingga ia terpaksa mengerdjakan perbuatan jang baik dan meninggalkan jang buruk. Ada ulama Sji'ah jang menerangkan, bahwa ma'sum itu ialah suatu naluri jang mentjegah seseorang membuat sesuatu kema'siatan, seperti pembawaan keberanian mentjegah seseorang lain dari perkelahian, naluri kemurahan tangan mentjegah seseorang dari memberi hadiah. Nasiruddin at-Thusi dalam kitabnja "At-Tadjrid, hal 228 mengatakan: "Ma'sum itu artinja berkuasa berbuat ma'siat, karena djika tidak berkuasa jang demikian itu, maka seseorang tidak dipudji dikala ia meninggalkan ma'siat itu, dan tidak diberi pahala, karena djika memang dia tak berkuasa, maka ia sudah keluar daripada sesuatu hukum taklif". Nasiruddin at-Thusi adalah seorang ulama besar dalam mazhab Imamijah, djuga seorang ahli filsafat jang terkemuka, (mgl. 672 H).
Sjeich Al-Mufid, salah seorang ulama Imamijah jang lain, (mgl. 413 H, dalam kitabnja "Sjarh Aqaid as-Sudduq", menerangkan tentang ismah itu sebagai berikut : "Ismah itu tidak dapat mentjegah kekuasaan mengerdjakan jang buruk, tidak pula dapat mendorong mengerdjakan jang baik, dan oleh karena itu ma'na ismah dalam aliran Imamijah ialah, bahwa orang jang ma'sum itu berbuat jang wadjib dengan ada kebenarannja meninggalkannja, meninggalkan jang haram dengan ada kekuasaannja melakukannja, dengan demikian orang jang ma'sum itu tidak meninggalkan jang wadjib dan tidak memperbuat jang diharamkan."
Pengarang Tafsir Mudjma'ul Bajan, dalam mengulas ajat 68, surat Al-An'am, menerangkan : "Imamijah itu tidak dibolehkan lupa atau lengah terhadap kepada pengikut-pengikutnja dalam menjampaikan perintah Allah ta'ala, adapun selain daripada itu, artinja selain dari perintah Tuhan, mereka diperkenankan lupa atau terlengah, selama tidak menjeleweng daripada akal jang benar. Bagaimana tidak diperkenankn jang demikian itu kepadanja? Karena semua orang tidak dianggap berdosa karena ketiduran atau pitam, meskipun ini adalah merupakan permulaan lupa. Maka inilah jang membuat orang-orang menuduh jang bukan-bukan terhadap kepada sjarat jang ditentukan bagi imam Sji'ah. jaitu ma'sum". Tafsir tersebut memang sebuah tafsir Qur'an jang terbesar dan jang terhebat, jang pernah sampai ketangan saja. Saja sebagai pemeluk mazhab Sunnah kagum melihatnja. Pengarangnja ialah At-Tabrasi, salah seorang ulama Sji'ah Imamijah jang terbesar, (mgl. 548).