Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan

Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan0%

Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Al Qur'an Al Karim

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4361 / Download: 3176
Ukuran Ukuran Ukuran
Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan

Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Mengupas Ayat-ayat Kepimpinan

Oleh

Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai

Pengertian Ulil Amri dalam Al-Qur’an

“Wahai Orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu" (An-Nisa;59).

Kajian Al-Qur'an

Setelah Allah menyerukan beribadah kepada Zat Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, menyebarkan ihsan kepada seluruh peringkat orang-orang yang beriman, dan menghinakan orang-orang yang mencela jalan yang terpuji ini atau yang benar-benar menyimpang dariNya, maka Dia memerintahkan orang-orang yang beriman kembali kepada suatu dasar, yang darinya membuahkan cabang-cabangnya, dengannya masyarakat Islam menjadikan dasar hukum, yaitu mengajak dan mencintai persatuan dan kesatuan antara mereka, dan menghilangkan setiap perselisihan dengan cara kembali kepada Allah dan RasulNya.

Tidaklah patut untuk meragukan bahwa firman Allah SWT,"Taatilah Allah dan taatilah Rasul", merupakan suatu kalimat untuk memgembalikannya kepada Allah dan Rasulnya ketika terjadi perselisihan kerana perkara ini merupakan asas dari seluruh syariat dan hukum Ilahi. Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firmanNya:

"Maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan RasulNya".

Kemudian perhatikan firman Allah SWT seperti berikut:

"Apakah kamu tidak perhatikan orang-orang yang

mengaku.."(An-Nisa:60).

Dalam Surah an-Nisa: 64, Allah SWT berfirman:

"Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah".

Dalam Surah an-Nisa: 65, Allah SWT berfirman:

"Maka demi Tuhanmu tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan".

Dua Segi Ketaatan Kepada Rasulullah SAW

Tidak perlu diragukan bahwa mentaati Allah SWT itu adalah mentaati ilmu-ilmu dan syariatNya yang wahyukan melalui RasulNya. Sedangkan Rasulullah SAWA mempunyai dua segi:

Pertama:

Syariat (selain al-Qur'an ) yang diwahyukan Tuhan kepadanya, yaitu

penjelasan yang beliau terangkan kepada manusia tentang perincian makna

Ijmali (keseluruhan) yang terkandung dalam al-Qur'an, dan sesuatu yang

berkaitan dengannya, sebagaimana firman Allah SWT,

"Dan Kami turunkan

kepadamu az-Zikr agar kamu memperjelas kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka"(an-Nahl:44).

Kedua:

Ketetapan yang beliau pandang benar yaitu ketetapan yang berkaitan

dengan pemerintahan dan keadilan. Sebagaimana Allah SWT menyatakan dalam firmanNya,"

Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang diwahyukan kepadamu" (an-Nisa:105).

Ini adalah ketetapan yang menjadi dasar hukum undang-undang keadilan di antara manusia, dan Rasulullah SAWA menjadikannya dasar hukum dalam perkara-perkara yang diinginkan. Allah SWT memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil suatu pendapat. Allah SWT berfirman,

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam perkara itu, kemudian kamu membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah" (Ali Imran:159).

Dan perkara ini diperintahkan bermusyawarah dengan mereka dan menyatukan keinginan yang kukuh.

Setelah anda mengetahui hal ini, maka anda akan mengetahui bahwa taat kepada Rasul mempunyai makna tertentu, dan taat kepada Allah juga mempunyai mempunyai makna tertentu. Taat kepada Rasulullah pada hakikatnya taat kepada Allah karena Allah yang menetapkan syariat wajibnya ketaatan kepada RasulNya. Karena itu manusia wajib mentaati Rasulullah SAW yakni seluruh penjelasannya tentang wahyu dan ketetapan yang beliau tetapkan.

Allah Maha Mengetahui maksud pengulangan perintah ketaatan dalam firmanNya,

"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul".

Para mufassir tidak menyebutkan bahwa pengulangan perintah ketaatan adalah taukid (penguat) dan seandainya maksud daripada taukid itu dapat dicapai tanpa adanya pengulangan kata itu seperti seandainya dikatakan,

"Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul".

Telah menunjukkannya dan lebih mendekatinya, karena mentaati Rasulullah pada hakikatnya mentaati Allah, dan dua ketaatan ini pada hakikatnya satu. Jika demikian, maka sia-sialah setiap pengulangan yang menunjukkan taukid.

Perlu diketahui bahwa Ulil Amri itu tidak menerima wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat. Ketetapan dan pendapat mereka itu wajib ditaati jika sejalan dengan ketetapan dan sabda Rasulullah SAW. Justeru itu ketika Allah menyebutkan keharusan pengembalian dan kepatuhan, Dia tidak menyebutkan mereka tetapi dikhususkan kepada Allah dan RasulNya sebagaimana Allah SWT berfirman,

"Maka jika kamu berbantah-bantah tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir"(an-Nisa:59).

Ayat ini menunjukkan bahwa perintah kembali di sini ditujukan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana ditegaskan pada awal ayat,"Wahai orang-orang yang beriman". Dan tidak perlu diragukan bahwa perselisihan itu adalah perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu tidak boleh terjadi antara orang-orang yang beriman dengan Ulil Amri disebabkan mereka wajib ditaati. Jadi, yang dimaksudkan perselisihan dalam ayat itu adalah perselisihan yang terjadi di antara mereka orang-orang yang beriman bukan dengan Ulil Amri tetapi perselisihan di antara orang-orang yang beriman tentang pemahaman terhadap hukum Allah, yang hal ini ditunjukkan dengan oleh qarinah (hubungan) ayat-ayat berikutnya yang mencela orang yang kembali kepada thagut, tidak kepada hukum Allah dan RasulNya. Ia adalah hukum yang mewajibkan mengembalikan setiap perselisihan tentang hukum agama yang dijelaskan dan ditetapkan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an dan Sunnah merupakan dua hujjah yang qat'i bagi orang yang memiliki pemahaman hukum yang luas dari keduanya. Ketetapan Ulil Amrilah yang sesuai dengan hukum al-Qur'an dan Sunnah dan sebagai hujah yang qat'i karena ayat itu menetapkan kewajiban mentaati mereka tanpa syarat dan batas, yang semuanya itu hakikatnya kembali al-Qur'an dan Sunnah.

Dari sini jelaslah bahwa Ulil Amri itu bukan mereka yang membuat hukum baru dan menghapus hukum yang sudah kukuh dan kekal di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Jika tidak demikian, maka tidaklah wajib mengembalikan sumber-sumber perselisihan kepada al-Qur'an dan Sunnah atau mengembalikan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana makna yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT,"Dan tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.

Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata" (al-Ahzab:36).

Perintah Ketaatan Mutlak

Dengan demikian maka ketetapan Allah adalah ketetapan syariat dan RasulNya baik dalam masalah ini mahupun masalah yang lebih umum. Maka karena itulah mereka harus menghadapkan pandangannya kepada masalah kelangsungan wilayah atau kepimpinan, dan menggali rahasia hukum Allah dan RasulNya tentang masalah ini dan masalah-masalah yang lain.

Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi mereka Ulil Amri tentang

ketetapan-ketetapannya kecuali apa yang ada pada Allah dan RasulNya yakni hukum yang ada dalam al-Qur'an dan Sunnah. Allah tidak menyebutkan mereka ketika menyebutkan pengembalian, sebagaimana dalam firmanNya,

"Sekiranya kamu berbantah-bantah tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul".

Ini menunjukkan satu ketaatan kepada Allah dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan Ulil Amri, karena itu Allah SWT berfirman,

"Taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".

Tidak perlu diragukan bahawa perintah ketaatan dalam firmanNya,

"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul"

Merupakan ketaatan yang mutlak tanpa disyaratkan dengan suatu syarat, dan dibatasi oleh suatu batasan. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu yang bertentangan dengan hukum Allah, jika tidak demikian, maka kewajiban taat kepadanya bertentangan dengan Allah SWT, dan hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan kemaksuman Rasulullah SAW.

Demikian juga kemaksuman itu harus dimiliki oleh Ulil Amri di samping kekuatan ismah yang ada pada diri Rasulullah ketika memaparkan hujah-hujah aqli dan naqli. Orang yang ragu menyatakan ayat ini tidak menunjukkan adanya kemaksuman karena ia mengatakan bahawa Ulil Amri tidak wajib maksum dan ayat ini tidak menunjukkan pada makna itu.

Pandangan seperti itu menjelaskan bahawa ayat ini menetapkan suatu hukum untuk kemaslahatan ummat dan keterpeliharaan masyarakat Islam dari perselisihan dan perpecahan sesama ummat Islam sehingga kepimpinan itu ditetapkan oleh ummat dan masyarakat kemudian dipilihlah salah seorang dari mereka untuk meneruskan kewujudan Islam dan ia wajib dipatuhi. Sementara mereka tahu bahwa pemimpinnya mungkin bermaksiat dan mungkin salah dalam menetapkan hukum tetapi jika ia telah diketahui jelas menentang undang-undang maka ia tidak boleh ditaati dan harus dinasihati atas kesalahannya. Jika tidak jelas kesalahannya, tetap dilangsungkan ketetapan hukumnya. Jika kesalahannya ternyata jelas, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi kemaslahatan persatuan masyarakat dan keterpeliharaan pemerintahan dari perpecahan.

Pendapat tadi menyatakan inilah kenyataan kedudukan Ulil Amri dalam ayat ini yang wajib ditaati. Allah mewajibkan orang-orang beriman mentaati mereka. Jika mereka menyalahi al-Qur'an dan Sunnah, maka mereka tidak boleh ditaati dan tidak boleh dilaksanakan keputusan mereka karena Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak boleh mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta".

Makna ini diriwayatkan oleh dua golongan dan dengan makna ini terbatasi kemutlakan ayat itu. Jika kesalahan dan pelanggaran itu diketahui, maka harus dikembalikan kepada kebenaran yaitu hukum al-Qur'an dan Sunnah. Jika kesalahan itu tidak jelas, maka hukumnya tetap dilangsungkan seperti tidak ada kesalahan, dan tidak ada masalah dengan kewajiban menerima dan mentaati hukum yang berbeda dengan hukum qat'i dalam bentuk ini, karena kemaslahatan terpeliharanya persatuan ummat, kejayaan dan keharmonisan dapat memperbaiki perbedaan ini. Dan hal seperti ini dapat merujuk kepada keadah usul fiqh tentang hujah cara-cara lahiriah.

Demi kukuhnya kedudukan hukum dalam kenyataan dan jika dalam kenyataannya perbedaan ini mengarah kepada kerusakan yang lazim, maka dapat diperbaiki dengan cara kemaslahatan.

Pandangan Yang Membataskan Ketaatan Mutlak

Jika berdasarkan pendapat tadi maka mentaati Ulil Amri itu wajib walaupun mereka tidak maksum, memungkinkan berbuat kesalahan dan dosa. Maka jika mereka berbuat dosa maka mereka tidak boleh ditaati. Jika mereka berbuat kesalahan maka mereka harus kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah jika dalam hal itu mereka ketahui, dan jika kesalahannya tidak diketahui maka ketetapan hukumnya tetap berlaku. Tidak ada larangan melaksanakan apa yang berbeda dengan hukum Allah dalam hakikat bukan dalam lahiriah, demi kemaslahatan Islam dan ummatnya dan keterpeliharaannya kesatuan Islam.

Jika anda berfikir tentang keterangan yang telah kami paparkan tadi, maka anda akan mengetahui betapa lemahnya dasar keraguan ini karena hal ini dapat mendekatkannya dan mendorong kita membatasi kemutlakan ayat itu dengan suatu kefasikan lalu menyebutkan sabda Rasulullah SAW,"

"Tidak boleh mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta".

Selanjutnya untuk menerapkan makna ini, maka menyebutkan ayat-ayat al-Qur'an seperti

"Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perbuatan yang keji" (al-A'raf:28).

Dan juga ayat-ayat lain yang senada maknanya.

Dan demikian juga, bahkan kenyataannya membuat ketetapan seperti hujah lahiriah tadi, seperti kewajiban mentaati pemimpin-pemimpin perang yang diangkat oleh Rasulullah SAW, demikian juga pemimpin-pemimpin yang dilantik untuk memimpin negeri seperti Makkah dan Yaman, atau mereka yang diangksebagai pengganti di Madinah ketika Nabi SAW pergi ke medan perang, dan seperti pendapat seorang mujtahid dan muqalidnya. Namun demikian, hal ini tidak dapat membatasi ayat itu. Maka suatu masalah yang benar adalah suatu perkara, adapun masalah yang ditetapkan berdasarkan lahiriah al-Qur'an adalah perkara lain.

Dengan demikian maka ayat itu menunjukkan kewajiban mentaati Ulil Amri tanpa ada batasan yang membatasinya dan suatu syarat yang mensyaratinya. Tidak ada satu pun ayat-ayat al-Qur'an yang membatasi ayat ini dalam "madlulnya" sehingga makna firman Allah SWT:

"Dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu", tidak dapat kita fahami, misalnya:"Taatlah kamu kepada Ulil Amri kamu selagi mereka tidak memerintahkan kemaksiatan atau selagi kesalahan mereka belum diketahui. Jika mereka memerintahkan kemaksiatan maka kalian tidak boleh mentaatinya, dan jika kalian telah mengetahui kesalahan mereka maka hendaklah kalian mengembalikan hal itu kepada al-Qur'an dan Sunnah". Semua itu bukan makna firman Allah SWT:""Dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".

Sehubungan dengan masalah ketaatan yang berbeda dengan ketaatan yang diwajibkan dala masalah Imamah, Allah menjelaskan batasan ketaatan dengan sejelas-jelasnya dalam firmanNya:

"Dan Kami mewajibkan manusia berbuat kebaikan kepada kedua orang tua. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang hal itu, maka janganlah kamu mentaati keduanya"(al-Ankabut:8).

Sedangkan dalam ayat yang mengandungi asas agama (an-Nisa:59), yang hal ini merupakan dasar dari seluruh kebahagian manusia di sana tidak ada satu pun batasan yang membatasinya sedangkan ayat ini menggabungkan antara Rasulullah dan Ulil Amri, dan menyebutkan untuk keduanya dalam satu perintah ketaatan. Perhatikan firman Allah SWT,"Dan taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di kalangan kamu".

Dan Rasul tidak boleh memerintahkan kemaksiatan atau salah dalam menetapkan hukum. Jika hal ini dibolehkan bagi Ulil Amri, maka tiada lain kecuali menyebutkan batasan yang ditujukan kepada mereka. Sementar tidak ada satu pun dalil yang dapat membatasi ayat mutlak tanpa satu pun batasan, sedangkan kewajiban ismah bagi Ulil Amri sama dengan Rasulullah SAW tanpa perbedaan.

Pengertian Ulil Amri

Kemudian yang dimaksudkan dengan kata "Amr" dalam "Ulil Amri" adalah suatu perkara yang merujuk kepada agama orang-orang yang beriman yang menjadi objek perintah ini, atau dunia mereka sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah SWT,

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"(Ali Imran:159),

Dan firman Allah SWT dalam memuji orang-orang yang bertaqwa,

"Sedang urusan mereka disyurakan di antara mereka"(asy-Syura:38).

Dan walaupun dibolehkan memberikan makna "Amr" lawan daripada larangan, tetapi makna ini jauh dari yang dimaksudkan.

Kata "Ulil Amri" dibatasi oleh kata "minkum" dan ada zharf yang jika dilahirkan adalah,"Ulil Amri ka baina kum" (Ulil Amri di kalangan kamu) dan ini sama halnya dengan firman Allah SWT:

"Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di kalangan

mereka"(al-Jumu'ah:2).

Dan firman Allah SWT:

"Rasul-Rasul di kalangan kamu yang menceritakan kepada kamu ayat-ayatKu"(al-A'raf:35).

Kritik Terhadap Pandangan Ar-Razi dan Tafsir Al-Manar Tentang Pengertian Ulil Amri

Dengan dasar ini tertolaklah apa yang telah dipaparkan oleh sebagian mufassir bahawa pembatasan "Ulil Amri" dengan kata (minkum) menunjukkan seorang dari mereka yakni manusia biasa seperti kita, dan mereka dari kita, sedang kita adalah orang-orang yang beriman yang tidak mempunyai keistimewaan ismah Ilahiyyah.

Kemudian bahawa "Ulil Amri" adalah Isim Jamak yang menunjukkan banyak dan menghimpun mereka yang kemudian mereka dinamakan Ulil Amri. Hal ini tidak ada keraguan, tetapi yang diragukan adalah dasar pandangan yang menyatakan bahwa mereka adalah satu kesatuan pemimpin perkara, yang masing-masing mereka menyandang kewajiban ditaati, sehingga wajibnya ketaatan kepada mereka dinisbahkan kepada kata itu dan menggunakannya seperti kita mengatakan:

"Laksanakanlah kewajiban-kewajibanmu, dan taatilah

pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar bangsamu".

Yang mengherankan lagi pendapat ar-Razi bahwa makna ini mengharuskan kandungan makna jamak terhadap mufrad. Pendapat ini bertentangan dengan lahiriah kata itu. Ar-Razi lupa bahwa makna ini sudah umum digunakan dalam bahasa. Penggunaan seperti ini banyak terdapat dalam al-Qur'an seperti firman Allah SWT,

"Maka janganlah taat kepada orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)"(al-Qalam:8).

"Maka jangan taati orang-orang yang kafir"(al-Furqan:52).

"Sesungguhnya kami telah taati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami" (al-Ahzab:67).

"Dan janganlah kamu mentaai perintah orang-orang yang melampaui batas"(as-Syuara:151).

"Peliharalah solat-solatmu"(al-Baqarah:238).

Dan firman Allah SWT,"Dan berendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman" (al-Hijr:88).

Dan ayat-ayat yang lain dalam bentuk yang bermacam-macam, kalimat positif, kalimat negatif, kalimat berita dan kalimat perintah dan larangan.

Adapun yang bertentangan "kandungan makna jamak terhadap mufrad" dengan lahiriah kata itu" adalah penggunaan kata jamak tetapi yang dimaksudkan satu dari kesatuan itu, bukan dari segi ketetapan suatu hukum terhadap jamak, yakni berlakunya hukum-hukum sesuai dengan jumlah kesatuan itu. Seperti kita mengatakan:"Muliakan ulama negerimu, yakni muliakan orang alim ini dan muliakan orang alim itu".

Tidak jelas pula pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan seperti Ulil Amri - mereka yang mempunyai kaitan dengan ketaatan yang diwajibkan - seluruh lembaga tertentu masing-masing kakitangannya termasuk Ulil Amri, yakni orang yang mempunyai pengaruh di kalangan manusia dan urusan mereka, seperti para panglima perang, ulama, para pemimpin negara dan tokoh-tokoh bangsa. Bahkan Tafsir al-Manar menyatakan bahawa Ulil Amri itu adalah Ahlul Halli wal Aqdi iaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu boleh terdiri dari ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslahatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi akhbar yang Islami dan para pelopor kemerdekaan. Inikah yang dimaksudkan dengan Ulil Amri? Apakah Ulil Amri itu Ahlul Halli wal Aqdi? Apakah mereka itu para pemimpin lembaga-lembaga sosial umum? Pengertian seperti ini bererti telah menutupi kandungan makna ayat yang sempurna dengan pengertian yang tidak jelas.

Ayat ini menunjukkan - sebagaimana yang anda ketahui - adanya ismah Ulil Amri tetapi para mufassir yang mempunyai pendapat seperti tadi memaksakan diri untuk menerima makna ini.

Apakah yang mempunyai sifat ismah adalah para pemimpin lembaga-lembaga itu, kemudian masing-masing mereka itu maksum, sehingga keseluruhan mereka itu maksum? Jika demikian semua mereka itu maksum. Tetapi yang jelas belum pernah terjadi di tengah-tengah atau kalangan ummat ini, di suatu zaman, para Ahlul Halli wal Aqdi berkumpul, yang semua mereka itu maksum dalam mengatur seluruh urusan ummat. Sedangkan di sisi lain mustahil Allah SWT memerintahkan sesuatu tanpa mempunyai misdaq di luar, atau mustahil ismah ini - sifat yang hakiki dimiliki oleh lembaga-lembaga yang kakitangannya bukan orang-orang yang maksum. Bahkan mereka ini sangat memungkinkan berbuat kemusyrikan dan kemaksiatan sebagaimana yang terjadi pada manusia umumnya. Maka, pendapatnya memungkinkan salah dan mengajak kepada kesesatan serta kemaksiatan. Berbedakah hal ini dengan pendapat lembaga tadi karena ismahnya? Hal ini mustahil, bagaimana mungkin menyifatkan subjek i'tibari dengan sifat yang hakiki, yakni menyifatkan lembaga sosial dengan ismah.

Atau ismah lembaga ini bukan sifat kakitangan-kakitangannya dan bukan sifat lembaga itu sendiri, tetapi hakikatnya Allah memelihara lembaga ini dari memerintahkan kemasiatan atau berpendapat dengan pendapat yang salah, sebagaimana bahwa berita yang mutawatir itu terpelihara dari kedustaan. Sehubungan dengan hal ini, ismah itu bukan sifat dari masing-masing pembawa berita itu dan bukan pula sifat lembaga sosial tetapi hakikatnya bahwa pada umumnya hal ini terhindar dari kedustaan. Dengan pengertian lain Allah SWT memelihara berita yang keadaannya seperti ini, dari kesalahan dan kedustaan,

sehingga pendapat Ulil Amri terhindar dari kesalahan walaupun kakitangannya

dan lembaga itu tidak memiliki sifat ismah tetapi berita itu sebagai berita

yang mutawatir terpelihara dari kedustaan dan kesalahan.

Apakah pengertian seperti ini yang dimaksudkan ismah dalam Ulil Amri? Ayat ini tidak menunjukkan bahawa pendapat mereka yang paling banyak dokongan adalah tidak salah. Tetapi yang benar adalah yang sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah. Dialah yang telah mendapat pemeliharaan Allah SWT untuk ummatnya. Telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

"Ummatku tidak akan bersepakat atas kesalahan".

Jika riwayat ini sahih walaupun terasingnya sumber, maka ia menafikan

kesepakatan ummat atas kesalahan, dan tidak menafikan kesepakatan Ahllul Halli wal Aqdi yang di antara mereka berada di atas kesalahan. Ummat mempunyai makna tersendiri dan Ahlul Halli wal Aqdi mempunyai makna lain. Dan tidak ada dalil untuk menghendaki makna kedua dari kalimat yang pertama. Demikian juga riwayat ini tidak menafikan kesalahan dari kesepakatan ummat tetapi ia menafikan kesepakatan atas kesalahan. Dua pengertian ini berbeda.

Makna riwayat ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam suatu masalah tidak berarti kesalahan ummat tetapi di kalangan mereka itu harus ada orang yang selalu berdiri di atas kebenaran sama ada keseluruhan mereka atau sebagiannya walaupun yang maksum satu orang. Maka pengertian inilah yang sesuai dengan makna ayat-ayat al-Qur'an dan riwayat-riwayat Hadith yang menyatakan bahwa agama Islam, agama yang hak tidak akan musnah dari bumi ini bahkan ia kekal sampai Hari Qiamat. Allah SWT berfirman:

"Jika orang-orang (Quraisy) mengingkari Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali kali tidak akan mengingkarinya"(al-An'am:89)

"Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya" (az-Zukhruf:28).

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan az-Zikr dan sesungguhya Kami benar-benar memeliharanya"(al-Hijr:9).

"Dan sesungguhnya al-Qur'an adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan (ketika menerimanya) maupun dari belakang (ketika menyampaikannya)"(Fusilat:41-42).

Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada ummat Muhammad, bahkan riwayat-riwayat yang sahih menunjukkan adanya perselisihan ummat, yaitu riwayat-riwayat yang bersumber dari banyak jalur dari Nabi SAW, yang menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi terpecah kepada 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan ummat Islam menjadi 73 golongan, semuanya itu binasa kecuali satu. Riwayat ini telah kami kutip dalam kajian riwayat tentang ayat 103, Surah Ali Imran.

Sehubungan dengan hal ini, kami tidak akan membicarakan tentang matan yang telah terasingkan dari sumber perbicaraan, walaupun sanadnya sahih tetapi di sini kami akan membicarakan tentang makna ismah Ahlul Halli Wal Aqdi ummat ini, jika makna inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT:"Ulil Amri minkum" .

Faktor apakah yang mengharuskan adanya ismah Ahlul Halli wal Aqdi ummat Islam, dalam memaparkan pendapatnya? Kelompok manusia ini yang dijadikan sebagai Ahlul Halli wal Aqdi dalam urusan-urusan ummat yang tidak hanya dikhususkan pada ummat Islam, bahkan seluruh ummat, yang besar dan kecil, suku-suku dan kelompok-kelompok manusia yang terhitung jumlahnya. Mereka mempunyai kedudukan di tengah-tengah kekuatan dan pengaruh dalam urusan-urusan umum. Jika anda mengkaji sejarah dalam peristiwa-peristiwa ummat dan generasinya pada masa lampau dan masa kita sekarang, nescaya anda menemui banyak sumber di mana Ahlul Halli wal Aqdi bersepakat dalam perkara-perkara yang penting, berdasarkan pendapat yang mereka anggap benar, kemudian mereka merealiasikan dalam perbuatan, sementara pendapat itu mungkin salah dan mungkin benar. Walaupun kesalahan yang berada pada pendapat-pendapat individu lebih banyak dari pendapat-pendapat kesepakatan, tetapi pada dasarnya pendapat-pendapat kesepakatan tidak berarti tidak menerima kesalahan. Inilah sejarah dan realita, yang telah terbukti dalam banyak sumber dan kisah.

Maka, jika pendapat kesepakatan dari Ahlul Halli wal Aqdi dalam Islam terpelihara dari kesalahan, hal ini bukan karena faktor-faktor yang biasa tetapi karena adanya faktor-faktor mukjizat yang luar biasa, yang hal ini merupakan pancaran cahaya karamah yang dikhususkan untuk meluruskan ummat ini dan memelihara mereka dari setiap keburukan yang menimpa jama'ah dan persatuan mereka. Dan berakhir dengan adanya sebab Ilahiyyah yang luar biasa ini, mereka membaca al-Qur'an , hidup dengan kehidupan al-Qur'an sehingga kehidupan ummat ini sesuai dengan kehidupan yang dikehendaki oleh al-Qur'an. Maka secara pasti al-Qur'an menjelaskan hukum-hukumnya dan keluasan kandungannya. Dengan al-Qur'an, Allah memberikan kurnia sebagaimana kurnia yang diberikan melalui al-Qur'an dan Muhammad SAW. Dan Allah menjelaskan kelompok manusia ini dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat sebagaimana Dia menjelaskan hal itu bagi Nabi SAW. Dengan al-Qur'an Nabi SAW berwasiat kepada ummatnya terutama kepada sahabat-sahabatnya yang mulia. Mereka adalah orang-orang yang sesudahnya menjadi Ahlul Halli wal Aqdi dan mereka mengurus kepimpinan perkara-perkara ummat. Dan diperjelas, apakah kelompok manusia ini dinamakan Ulil Amri, apakah hakikatnya dan apakah berbentuk satu lembaga untuk mengatur seluruh ummat Islam dan urusan umum mereka? Atau seluruh urusan ummat Islam harus mendapat kesepakatan keseluruhan Ulil Amri, kemudian mengatur seluruh jiwa, tujuan dan harta mereka? Suatu hal yang menjadi keharusan bagi ummat Islam.

Mengapa Mereka Merahasiakan Hakikat Imamah?

Hal ini adalah masalah yang sangat penting, yang harus diperhatikan oleh seluruh ummat Islam terutama para sahabat Nabi SAW untuk ditanyakan kemudian dibahaskan. Sementara mereka telah menanyakan masalah-masalah penting lainnya seperti masalah bulan sabit, infaq, dan harta rampasan, sebagaimana termaktub dalam firman Allah:

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit"(al-Baqarah:189).

"Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan"(al-Baqarah:215).

"Mereka bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan"(al-Anfal:1).

Maka mengapa mereka tidak bertanya tentang masalah Imamah? Atau mereka sudah menanyakannya kemudian dianggapnya bukan masalah penting hingga masalah ini disembunyikan kepada kita? Maka berlakulah pada mayoritas ummat Islam, masalah penting ini didasarkan pada hawa nafsunya. Mereka menganggap dalam masalah ini tidak berdasarkan hawa nafsu, tetapi kenyataannya mereka menetapkan masalah ini berdasarkan dalil yang tidak jelas, sehingga hakikat masalah penting ini ditinggalkan dan dilupakan.

Suatu hal yang harus dijadikan alasan dan bukti tentang masalah ini adalah terjadinya bermacam-macam perselisihan dan fitnah yang terjadi setelah Rasulullah SAWA wafat, yang peristiwa ini terjadi dari masa ke masa. Mengapa kenyataan-kenyataan ini dan pengaruhnya, tidak terdapat dalam hujjah-hujjah dan pandangan-pandangan mereka. Mereka menghiasi dan memperindahkan kenyataan ini tidak sedikitpun tampak dalam tulisan-tulisan dan kitab-kitab mereka? Kenyataani ini tidak ternyata di kalangan mufassir terdahulu yakni para sahabat dan tabi'in, kemudian sebagian mufassir kebelakangannya merujuk kepadanya seperti ar-Razi dan sebagian sesudahnya.

Sehingga az-Razi menyatakan: Pendapat ini bertentangan dengan ijmak (persepakatan) karena sehubungan dengan makna Ulil Amri tidak lebih dari empat pendapat: Khulafa ar-Rasyidin, para panglima perang, ulama, dan para Imam maksum. Adapun pendapat yang kelima terkeluar dari ijmak. Kemudian ar-Razi memberikan jawaban bahwa pada hakikatnya pendapat ini merujuk kepada pendapat yang ketika (ulama), sehingga mengacaukan apa yang telah menjadi kemaslahatan. Maka semua ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak sesuai dengan pendapat ini, dan tidak dapat difahami bahwa perkara ini

adalah pemberian dan anugerah yang mulia yakni mukjizat dan karamah Islam

yang luar biasa bagi Ahlul Halli wal Aqdi ummat Islam.

Atau dengan kata lain: Bahwa ismah tidak disebabkan oleh faktor yang luar biasa, tetapi Islam membina pendidikan umum atas dasar prinsip-prinsip yang mendasar yang menghasilkan buah ini. Ahlul Halli wal Aqdi ummat Islam tidak akan salah apa yang mereka sepakati, dan pendapat mereka tidak akan

melahirkan kesalahan.

Pandangan yang tidak jelas ini batil, ia telah menolak kaedah yang umum yaitu"Pecapaian keseluruhan adalah Pencapaian seluruh bagian-bagiannya". Jika masing-masing kakitangan boleh berbuat kesalahan, maka keseluruhannya boleh berbuat kesalahan. Kemudian kembali kepada masalah Ulil Amri dalam pengertian ini. Jika mereka ini adalah orang-orang yang selalu benar dan memiliki ismah dengan faktor tadi, maka kemanakah harus dilarikan kebatilan dan kerusakan - pengaruh mereka - yang memenuhi dunia Islam?

Majlis Ahlul Halli Wal Aqdi Setelah Nabi SAW Wafat

Setelah Rasulullah SAW wafat, tidak sedikit majlis, tempat Ahlul Halli wal Aqdi berkumpul, yang sengaja mereka ciptakan untuk membenarkan pendapat-pendapat mereka. Kemudian mereka tidak menambah kecuali kesesatan, tidak menambah kebahagiaan kecuali kesengsaraan. Dan setelah Rasulullah SAW wafat, mereka tidak mengadakan majlis-majlis keagamaan kecuali mengarah kepada penguasa yang zalim dan memecah belah. Para peneliti yang kritis hendaklah mengkaji fitnah yang bertebaran setelah Rasulullah SAW wafat. Peristiwa demi peristiwa yang diikuti oleh pertumpahan darah, tujuan-tujuan yang kotor, harta-harta yang terampas dan ketentuan-kententuan hukum yang sia-sia dan terlupakan! Kemudian kaji perkembangan, dasar dan akar-akarnya! Apakah faktor-faktor penyebabnya tidak berakar kepada pendapat Ahlul Halli wal Aqdi ummat, kemudian mereka meletakkannya di atas pundak-pundak manusia?

Kenyataan inikah yang diyakini oleh orang yang mempercayai untuk dijadikan dasar pembinaan agama, yakni pendapat Ahlul Halli wal Aqdi. Wajarkah mereka ini yang dimaksudkan Ulil Amri yang maksum?

Dengan demikian, maka tidaklah berdasar pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan Ulil Amri adalah Ahlul Halli wal Aqdi. Di mana mereka ini boleh melakukan kesalahan dan boleh juga benar seperti manusia yang lain, bukan kelompok manusia yang memiliki keutamaan dan pengetahuan yang luas tentang perkara-perkara itu sebagai pendidik dan pembimbing yang kesalahanya sangat sedikit. Kemudian dalam perkara itu mereka (Ahlul Halli wal Aqdi) wajib ditaati dan bertolak-ansur terhadap kesalahannya demi kemaslahatan umum walaupun mereka menetapkan hukum yang merubah hukum al-Qur'an dan Sunnah. Mereka mengkategorikan ketetapannya sesuai dengan kemaslahatan ummat dengan menafsirkan hukum-hukum agama tidak sesuai dengan penafsiran sebelumnya atau merubah hukum yang disesuaikan dengan kemaslahatan zaman, keadaan ummat atau tuntutan dunia sekarang. Lalu mereka mengatakan ketetapan inilah yang diridhai oleh agama karena hanya menginginkan kebahagiaan dan kejayaan masyarakat dalam percaturan sosial sebagaimana hal ini nampak dan terjadi pada roda pemerintahan-pemerintahan awal Islam. Hal ini tidak menghalangi hukum-hukum yang berlaku pada zaman Nabi SAW dan tidak menetapkan hukum sebagaimana perjalanan hidup dan Sunnah-Sunnahnya kecuali karena alasan-alasan itu. Sebab hukum sebelumnya mempersempitkan hak-hak ummat, sementara kemaslahatan keadaan ummat menuntut adanya hukum yang baru yang sesuai dengan zaman dan keadaan mereka atau menetapkan suatu ketetapan yang baru sesuai dengan cita-cita mereka demi kebahagiaan hidup mereka. Sebagian dari para pengkaji menjelaskan bahawa khalifah harus berbuat sesuatu yang berbeda dengan agama yang asal demi memelihara kemaslahatan ummat.

Berdasarkan pendapat ini, maka keadaan agama Islam adalah keadaan seluruh masyarakat yang memiliki kelebihan kebudayaan kebendaan yang di dalamnya terdapat suatu kelompok manusia yang dipilih untuk menetapkan hukum dan undang-undang masyarakat sesuai dengan tuntutan keadaan dan zaman menurut pandangan dan kacamata mereka.

Pendapat ini - sebagaimana - anda lihat - adalah pendapat orang yang

memandang agama adalah ketentuan sosial yang melebur dalam acuan agama. Dalam konsepnya tampak agama sebagai mahkum (yang kena hukum) oleh hukum yang ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan masyarakat manusia, yang semuanya ini berkembang dalam perkembangan-perkembangan kesempurnaan yang bertahap, dan sama halnya dengan orang yang mengatakan bahawa agama tidak cocok kecuali pada kehidupan manusia yang hidup pada zaman Nubuwwah dan zaman yang dekat dengannya.

Tuntutan ini adalah bahagian dari tuntutan-tuntutan masyarakat manusia, yang tidak layak di bahas hari ini kecuali sebagaimana para ahli geologi membahas tentang kekayaan bumi yang diperolehi dari bawah lapisan bumi.

Orang yang berpendapat seperti pendapat ini tidak termasuk ke dalam pembicaraan kita tentang ayat:"Taatlah kepada Allah, dan taatilah kepada

Rasul, dan Ulil Amri di kalangan kamu".

Hal ini karena berbicara masalah ini menjadi suatu dasar yang mempengaruhi seluruh dasar dan ketentuan agama iaitu usuluddin, akhlak, dan syariat walaupun hal ini harus menguraikan peristiwa yang terjadi di kalangan para sahabat sejak Nabi SAW sakit hingga wafatnya. Perselisihan-perselisihan yang disebabkan mereka, penyimpangan-penyimpangan para khalifah terhadap sebagian hukum dan sirah Nabi SAW, kemudian pada zaman Muawiyah dan penerusnya, kemudian para penguasa Abbasiyyah dan penguasa-penguasa berikutnya. Semua ini adalah perkara yang meragukan yang menghasilkan suatu kesimpulan yang meragukan.

Yang mengherankan adalah pendapat sebagian pengarang kitab yang menyatakan bahwa ayat:" Taatlah kepada Allah, dan taatilah kepada Rasul, dan Ulil Amri di kalangan kamu", tidak menunjukkan sedikitpun perbedaan pendapat para mufassir:

Pertama:

Karena kewajiban mentaati Ulil Amri pada dasarnya tidak menunjukkan adanya keutamaan dan keistimewaan mereka terhadap yang lain, tidak ubahnya seperti kita wajib mentaati penguasa-penguasa yang sombong dan zalim dalam keadaan terpaksa karena takut akan kejahatan mereka. Dengan demikian mereka tidak akan lebih utama dari kita di sisi Allah SWT.

Kedua:

Karena hukum yang tersebut dalam ayat ini tidak berbeda dengan seluruh hukum yang penerapannya tergantung pada tercapainya subjek-subjeknya, seperti kewajiban berinfaq kepada orang-orang faqir dan larangan menolong orang-orang yang zalim. Maka kita tidak wajib untuk mendapatkan orang faqir atau orang yang zalim sehingga kita tidak menolongnya.

Dua alasan ini jelas sekali batil, karena orang yang berpendapat demikian telah menetapkan dan memahami bahawa yang dimaksudkan Ulil Amri dalam ayat ini sebagai penguasa-penguasa dan raja-raja, sehingga tampaklah kebatilan dalam pemahaman yang tidak jelas ini.

Alasan yang pertama tadi, telah melalaikan bahwa al-Qur'an penuh dengan larangan mentaati orang-orang yang zalim, yang berfoya-foya dan orang-orang yang kafir. Sangatlah mustahil Allah memerintahkan mentaati mereka, apatah lagi menyamakan ketaatan kepada mereka itu dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, walaupun ketaatan terhadap mereka itu adalah taqiyah, yang hal ini diajarkan dan dizinkan sebagaimana firman Allah SWT:"Kecuali karena menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya" [illa an-tattaqu min-hum tuqatan](Ali Imran:28).

Tidak ada perintah mentaati mereka itu secara terang-terangan walaupun setiap yang menakutkan itu harus menjadi sesuatu yang sangat buruk dan berbahaya.

Adapun alasan yang kedua tadi didasarkan pada alasan yang pertama tentang makna ayat ini. Andainya kewajiban mentaati mereka itu karena kedudukan mereka dalam agama, maka mereka itu harus maksum sebagaimana yang telah dijelaskan secara terperinci tadi. Mustahil Allah memerintahkan suatu ketaatan kepada seseorang yang bukan misdaq (sandaran) ayat ini, atau orang yang dijadikan misdaq kesepakatan dari suatu ayat yang mengandung dasar-dasar kemaslahatan agama, dan mengatur masyarakat Islam tanpa berdasarkan hukum secara mendasar. Bukankah anda menyadari bahwa kebutuhan kepada Ulil Amri tidak ubahnya seperti keperluan kepada Rasulullah yaitu keperluan akan kepimpinan urusan-urusan ummat Islam,yang hal ini telah kami jelaskan tentang ayat muhkamah dan mutasyabihah.