A. Latar Belakang
1. Perayaan Tabot
1.1. Pengertian Tabot
Tabot berasal dari kata “Tabut” yang berasal dari bahasa Arab ‘At-tabutu’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu.
Namun menurut pengertian umum di daerah Kota Bengkulu, Tabot adalah sebuah miniatur bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambah pula bentuk-bentuk lain seperti burung berkepala manusia, ikan, rumah adat dan sebagainya. Bangunan ini dihiasi kertas aneka warna dan hiasan lainnya.
Dalam prosesi upacara Tabot, miniatur bangunan yang disebut Tabot ini diarak dalam upacara peringatan terjadinya perang Karbala Irak pada bulan Muharram tahun 61 Hijriyah (681 M), upacara ini dalam rangka mengenang peristiwa gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan Imam Ketiga kaum Syi’ah.
Masyarakat Kota Bengkulu menyebutnya Tabot
, sedangkan masyarakat di daerah Pariaman Sumatera Barat menyebutnya Tabuik.
Namun karena telah berjalan cukup lama maka upacara Tabot ini telah dipengaruhi dengan masuknya berbagai unsur budaya lokal yang berasal dari kehidupan masyarakat Bengkulu.
Dan pada akhirnya upacara Tabot dengan segala ritualnya telah dianggap milik masyarakat Bengkulu, yang penyelenggaraannya selalu ditunggu setiap tahun.
Di antara jenis-jenis Tabot, ada yang divisualisasikan dalam rupa kuda sembrani dengan warna badannya hitam dan kepak sayap berwarna jingga. Di leher jenjangnya tergantung perisai warna kuning keemasan.
Rambut hitamnya terjuntai, menambah keelokan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota di atasnya. Tegak bertengger di bahu bangunan menyerupai menara masjid, kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama buroq yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad SAW saat melakukan tugas kenabiannya pada peristiwa Isra’ Mijraj, serta masih banyak lagi bentuk-bentuk bangunan Tabot.
Beraneka ragam bangunan dan variasi Tabot, mereka mempersiapkan sejak satu bulan menjelang prosesi agung tersebut.
Pada dasarnya Tabot itu melambangkan peti mati Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW yang gugur dalam pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaidillah bin Ziad Ali Bani Umayah di Padang Karbala Irak pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah (680 Masehi). Diriwayatkan bahwa Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib gugur dengan 33 tusukan tombak dan 34 luka sabetan pedang.
Menurut sejarahnya, upacara Tabot merupakan tradisi kaum Syi’ah, suatu aliran dalam Islam yang memuliakan Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Syi’ah ini adalah penganut Islam yang dianggap ekstrim oleh sebagian besar umat Islam di luar Syi’ah, karena hanya mengakui bahwa keturunan Nabi Muhammad saja yang berhak menjadi Khalifah (pemimpin) umat Islam.
Setelah nabi Muhammad SAW wafat, di kalangan para sahabat mengalami perselisihan, dalam konteks perselisihan ini para sahabat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :
(1) pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah Rasul wafat dipegang oleh ahl al-bait (keturunan nabi Muhammad),
(2) kelompok kedua menganggap bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Kelompok pertama inilah yang melahirkan aliran Syi’ah.
Ajaran Syi’ah tentang konsep ishmatul a’immah (kesucian para Imam), penolakan Syi'ah pada tiga Khalifah pertama yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan sikap Syi’ah yang hanya menerima hadits-hadits dari jalur Ahlul Bait menjadi penyebab terjadinya resistensi dari kelompok Islam di luar aliran Islam Syi’ah.
Syi’ah diambil secara langsung dari konsep ‘Syi’atu Ali’ yang berarti pengikut partai Ali. Para ‘Syi’atu Ali’ adalah orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali, sepupu sekaligus menantu nabi Muhammad, mereka biasanya diposisikan vis a vis dengan yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti bani Ummayah serta Abbasiyah.
Upacara Tabot bagi kaum Syi’ah adalah peringatan mengenang Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib yang gugur di Padang Karbala Irak.
Awalnya arak-arakan atau pawai itu bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat juang para keluarga dan orang-orang Syi’ah dalam menyebarkan syi’ar Islam.
Peristiwa tersebut mereka peringati setiap tahun, dan akhirnya menjadi suatu tradisi bagi kaum Syi’ah di mana saja mereka berada.
Tujuan dari upacara Tabot ini pada mulanya adalah untuk meningkatkan rasa cinta mereka kepada ahlul-bait (keluarga Rasulullah SAW) umumnya dan kepada Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, di samping untuk memupuk rasa permusuhan kepada keluarga klan Bani Umaiyah yang telah membunuh Imam Husein.
Dilihat dari prosesi ritual Tabot, terdapat pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mengingat kembali kekejaman pasukan Yazid bin Mu’awiyah yang telah membunuh Imam Husein secara keji misalnya pada prosesi Arak Penja atau Mengarak Jari-jari, yang menggambarkan jari-jari tangan Imam Husein yang putus karena sabetan pedang, Arak Seroban yang menggambarkan sorban Imam Husein yang terlepas dari kepalanya yang dipenggal atau Hari Gam yang menggambarkan hari duka cita karena wafatnya Imam Husein.
Sehingga dapat juga dikatakan bahwa tradisi perayaan Tabot, memang bertujuan untuk melestarikan dendam atau memelihara permusuhan atas terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Walaupun sejarah perayaan Asyura berawal dari perang Karbala (Irak sekarang) namun selama 34 tahun Saddam Husen berkuasa, ritual hari Asyura dilarang di Irak.
Sebaliknya peringatan perayaan Asyura (Tabot) lebih berkembang di Iran yang memang mayoritas menganut Islam Syi’ah dan mereka menjadikannya sebagai ritual wajib setiap tahunnya.
Prosesi perayaan Asyura (Tabot) di Iran sampai saat ini masih diwarnai praktek-praktek yang menunjukkan sikap permusuhan itu. Pada saat perayaan Asyura mereka membawa perlengkapan perang saat pawai upacara hari Asyura berlangsung.
Prosesi perayaan Asyuro yang penuh dengan praktek-praktek yang menunjukkan sikap kebencian dan permusuhan dan dendam atas terbunuhnya Imam Husein hal itu dapat dilihat dari laporan perjalanan Petro Dalawaleh seorang petualang berkebangsaan Italia yang telah dua kali menyaksikan acara peringatan Asyuro di masa Syah Abbas Pertama (996-1038 H) di Ishfahan Iran. Petro Dalawaleh menulis laporan sebagai berikut :
Kelompok-kelompok para pelaku ‘Aza (Asyura -Tabot) memanggul sejumlah Tabut yang telah ditutup dengan kain berwarna hitam dengan iringan bendera-bendera kebesaran.
Diatas tabut tersebut, diletakkan sejumlah senjata tajam yang telah diwarnai, dengan menyilang dan mendatar, dan sejumlah orang berjalan di sekelilingnya sambil melantunkan ratapan-ratapan sementara sebagiannya lagi meniupkan terompet dan memukul sejumlah alat yang dapat mengeluarkan bunyi, dan juga meneriakkan kata-kata yang sangat menakjubkan dan ajaib.
Ia menganggap tabut-tabut ini sebagai lambang dan simbol dari tabut Imam Ali AS dan juga menunjukkan sifat-sifat acara ‘Aza di hari Asyura yang disertakan dengan membawa tabut-tabut oleh para pelaku ‘Aza.
Ia juga menulis bahwa di sekeliling mereka, semuanya ditutup dengan kain berwarna hitam. Di atas setiap Tabut diletakkan sebilah pedang dan sebuah ‘amamah (sorban yang dililitkan di kepala) sementara senjata lainnya diletakkan di sekitarnya. Segala sesuatu itu diletakkan di kepala sejumlah orang lalu dengan suara keras dan nyaring mereka melompat-lompat sambil berputar
.