Cerita-Cerita Hikmah Bab1

Cerita-Cerita Hikmah Bab10%

Cerita-Cerita Hikmah Bab1 pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Buku Umum

Cerita-Cerita Hikmah Bab1

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhamad, Muhamadi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 1781
Download: 1905

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 28 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1781 / Download: 1905
Ukuran Ukuran Ukuran
Cerita-Cerita Hikmah Bab1

Cerita-Cerita Hikmah Bab1

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

CERITERA - CERITERA HIKMAH

Bab 1

Muhammadi, Muhammad

Sekapur Sirih

ACAPKALI gagasan atau hikmah yang terkandung dalam sebuh tulisan acap terasa begitu sulit dicerna. Lebih-lebih jenis tulisan ilmiah yang selalu disesaki istilah teknis yang rumit dan membingungkan. Kesulitan ini diperparah dengan minimnya contoh-contoh kasus yang diajukan. Jadilah kemudian buku tersebut buku vampir yang menyedot habis energi pembacnya.

Ada sebuah kalimat bijak, “Sebuah kisah enteng jauh lebih baik dari paparan panjang lebar yang serius, prestisius, dan berbobot sekalipun.” Sebuah tulisan akan jauh lebih hidup, dialogis, dan menggelitik benak pembacnya pabila di sana-sini diselipkan kisah-kisah menarik dan penuh hikmah. Apapun jenis tulisannya; Tapi kisah yang bagaimana?

Sebuah kisah yang handal adalah kisah Yang bersahaja, diungkapkan dengan bahasa sehari-hari (vernakulistis), namun punya makna yang amat bertenaga. Sebuah kisah dapat dimaksudkan untuk menghibur, tapi juga untuk direnungkan. Tentunya secara moral, kisah yang kedua disebutkan jauh lebih bermakna tinimbang lainnya. Namun begitu, dalam metode penyajiannya, kedua maksud tersebut bisa digabungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah yang witty; renyah, “enteng”, jenaka, menggelitik, sekaligus menukik dan menghujamkan makna yang cerdas ke lubuk hati pembacnya. Buku kisah bernuansa keagamaan ini kirnya ingin berbuat seperti itu.

Dalam buku kisah-kisah religius ini, pembaca akan diajak bolak-balik dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman nabi-nabi atau Rasul ke zaman berikutnya atau sekarang, balik lagi ke zaman nabi-nabi atau Rasul, begitu seterusnya. Gaya ini menjadikan pembaca mampu merajut kesinambungan konteks antarkisah, sekalipun satu dengan lainnya terpisah jarak waktu ratusan bahkan ribuan tahun.

Kisah-kisah dalam buku ini disusun sedemikian rupa agar mudah dikunyah pemahaman setiap orang. Sehingga para pembaca dapat menemukan makna atau hikmah yang melambari masing-masingnya. Terus terang, kisah-kisah religius yang disuguhkan dalam buku ini sebagian besarnya memiliki daya kejut dan daya bongkar terhadap pemahaman kita selama ini mengenai ihwal kehidupan beragama yang ideal.

Semoga saja setelah membaca rangkaian kisah dalam buku ini, para pembaca memperoleh wawasan dan kesadaran baru yang lebih jenius perihal bagaimana menempuh arung kehidupan ini. Sekali lagi, semoga....

BAB I

Kemurahan Allah Tiada Batas

Nabi Ibrahim as adalah pribadi yang amat senang menerima tamu. Suatu hari seorang Majusi mengunjingi rumah Nabi Ibrahim as dan berharap diterima sebagai tamunya. Nabi Ibrahim as berkata kepadanya, “Kalau engkau menerima Islam (yakni menerima agama hanîf-ku) maka aku akan menerimamu. Kalau tidak, aku tak akan menerimamu sebagai tamuku.”

Allah Swt berfirman kepada beliau: Wahai Ibrahim! Engkau mengatakan kepada orang Majusi itu, bahwa jika ia enggan menerima Islam, maka engkau tidak layak menjadi tamumu dan memakan makananmu, padahal selama 70 tahun ia dalam keadaan mengingkari-Ku (kufur kepada-Ku), dan Aku senantiasa memberinya rezeki dan makanan. Apa beratnya jika semalam saja engkan memberinya makan?

Nabi Ibrahim as merasa amat amat menyesal dan bergegas mengejar orang Majusi itu setelah mencari ke sana ke mari, akhrinya belau menemukannya. Dengan penuh rasa hormat, beliau meminta orang Majusi itu untuk bersedia menjadi tamunya orang Majusi mennyakan kepada Nabi Ibrahim as, gerangan apa yang terjadi setelah kepergiannya. Beliau pun menceritakan wahyu yang diterima dari Allah Swt.

Orang Majusi berkat, “Apakah benar Allah Swt sedemikian murah hati kepadaku? Jika demikian, jelaskanlah kepadaku Islam itu aku akan menerimnya.” Kemudian ia pun menerima dan memeluk Islam.

Keberanian Lelaki Tak Dikenal

Yazid mengeluarkan perintah untuk membunuh Muslim bin Aqil serta Hani bin Urwah. Setelah syahid, kepala keduanya dipisahkan dari tubuh masing masing. Lalu sekelompok orang yang tidak berperikemanusiaan mengikat jasad Muslim bin Aqil, dan diseret keluar-masuk lorong-lorong di Kufah.

Salah seorang pengikut Imam Husain yang gagah berani bernama Hanzhalah bin Murrah Hamdani yang tengah menunggang kuda, menyaksikan pemandangan amat mengenaskan itu. Ia lalu bertanya kepada orang-orang itu, “Wahai warga Kufah! Apa kesalahan yang telah dilakukan lelaki ini (Muslim bin Aqil) sehingga kalian menyeretnya semacam itu?”

Mereka menjawab, “Orang ini adalah khâriji. Ia telah menentang perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.”

Hanzhalah berkata, “Demi Allah, siapakah nama orang ini?”

Mereka menjawab, “Muslim bin Aqil anak paman Imam Husain?”

Hanzhalah menjawab, “Celakalah kalian yang mengetahui bahwa ia adalah anak paman Imam Husain as. Lalu, mengapa kalian membunuhnya dan jenazahnya kalian seret ke sana ke mari?”

Kemudian Hanzhalah turun dari kudnya, mengeluarkan pedang dari sarungnya, dan menyerang mereka seraya menjerit, “Duhai Tuanku, sama sekali tak ada kebaikan dalam hidupku sepeninggalmu!”

Ia terus bertempur melawan mereka, Hasilnya, empat orang dari mereka (yang menyeret jenazah Muslin―peny.) terbunuh. Ia akhirnya dikepung dari berbagai penjuru dan dijemput kesyahidan. Mereka lalu mengikat kakinya dan menyeret jasadnya sampai ke alun-alun Kunasah di Kufah dan dibiarkan tergeletak disana.

Isteri Maitsam al-Tammar yang Gagah Berani

Maitsam al-Tammar adalah salah seorang sahabat Imam Ali bin Abi Thalib as. Ia adalah sosok yang amat mulia dan gagah berani. Atas perintah Ibnu Ziyad, sepuluh hari menjelang kedatangan Imam Husain as ke Karbala, ia dibunuh dan digantung.

Ia memiliki seorang isteri pemberani dan teramat tegar di jalan Islam. Inilah cuplikan salah satu keberaniannya.

Sesuai perintah Ibnu Ziyad, jenazah Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah, dan Hanzhalah bin Murrah (yang kisahnya telah disebutkan) tanpa dimandikan dan dikafani dibiarkan tergeletak di alun-alun Kunasah di Kufah. Tak seorang pun yang berani mengambil dan menguburkan jasad mereka.

Isteri Maitsam yang pemberani itu, memutuskan menguburkan mereka. Di tengah malam, tatkala orang-orang tengah tidur terlelap, diam-diam ia membawa ketiga jenazah itu ke rumahnya. Malam itu juga, jenazah-jenazah itu di bawa ke samping Masjid Agung Kufah. Di situ, ia menguburkan mereka dalam keadaan bersimbah darah suci. Tak seorang pun yang mengetahui kejadian ini selain tetanggnya, yakni isteri Hani bin Urwah.

Betapa mulia wanita pemberani itu ia benar layak menjadi isteri M Maitsam. Ya, pribadi semacam Maitsam, selayaknya memiliki isteri yang punya keberanian semacam itu. Inilah hasil dari usaha keras sang suami dalam membina mendidik dan menjadikan isternya begitu cerdas dan bertanggung jawab.

Rasa Hormat Ayatullah Burujurdi terhadap Imam Khomeini

Pada masa awal kedatangan Imam Khomeini di kota Qum, Ayatullah Burujurdi memerintahkan mencari seseorang yang mampu menulis dengan indah untuk dijadikan sekretris beliau; menulis dan menghapus sebagian tulisan-tulisan beliau.

Para sahabat lalu sibuk mencari orang yang layak untuk itu. Sampai pada suatu hari, mereka berhasil menemukan orang yang tulisannya indah dan membawnya ke hadapan Ayatullah Burujurdi untuk diperkenalkan kepada beliau. Kebetulan, saat itu hadir pula ImamKhomeini

Ternyata, Ayatullah Burujurdi menolak orang yang tulisannya indah itu sebagai sekretarisnya. Sebagian orang bertanya kepada Sayyid Ahmad Khomeini, tentang alasan Ayatullah Burujurdi menerima orang itu sebagai sekretarisnya.

Sayyid Ahmad Khomeini menjawab, “Tatkala orang itu menghadap Ayatullah Burujurdi, Imam Khomeini berada disana.

Ayatullah Burujurdi marah dan berkata, ‘Siapa saja yang duduk lebih tinggi dari Ayatullah Khomeini, tak ada glinnya bagiku.’”

Yakni, orang yang tidak menjaga sopan santun dan rasa hormat terhadap pribadi semacam Imam Khomeini, dianggap tak layak menjadi sekretaris beliau. Peristiwa ini menjelaskan betapa besarnya rasa hormat Ayatullah Burujurdi kepada Imam Khomeini. Itu terjadi sekitar 10 tahun sebelum kebangkitan Imam Khomeini melawan Rezim Syah.

Rahasia Penyembuhan

Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita yang telah bertahun-tahun tidak melahirkan anak. Ia tahu bahwa isteri nya mandul. Kemudian ia membawnya ke dokter dan menuturkan kejadian yang sebenarnya. Ia berharap dokter dapat memberinya jalan keluar.

Wanita itu tergolong gemuk dan penuh lemak. Tatkala memeriksa denyut nadinya dan mengukur tekanan darahnya, dokter itu tahu bahwa jantungnya terbungkus lemak yang cukup tebal. Ia tahu sebab mengapa ia mandul; ia mengalami kegemukan. Lalu ia berbisik ke telinga sang suami dengan intonasi yang dapat didengar sangisteri, “Isterimu tak akan hidup lebih dari 40 hari.” Wanita itupun mendengar bisikan dokter. Ia lalu tenggelam dalam kesedihan siang dan malam. Ia merasa sedih dan gelisah, sehingga enggan makan dan minum. Itu menyebabkan hari demi hari tubuhnya semakin kurus. Namun, setelah empat puluh hari berlalu, ternyata ia masih tetap hidup. Setelah dua bulan, suaminya menemui dokter itu dan berkata, “Alhamdulillah, isteriku tidak mati, sekalipun telah lebih dari 40 hari, yakni dua bulan sejak kedatangan kami kepada Anda.”

Dokter berkata, “Sekarang gaulilah isterimu. Niscaya Anda memperoleh anak. ”

Lelaki itu bertanya, “Mengapa begitu? Setelah bertahun-tahun mandul, mungkinkah isteriku dapat melahirkan anak?”

Dokter menjawab, “Pada waktu itu, ia teramat gemuk dan penuh lemak. Sekarang ia kurus. Saat itu lemaknyalah yang menghalanginya untuk hamil.”

Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kegemukan dan kelebihan berat badan merupakan faktor utama yang memicu munculnya berbagai penyakit. Perhatikan berita ini. Seorang wanita mengidap 14 jenis penyakit sebagai berikut; mudah sakit kepala dan cepat lelah; tidak bergairah untuk bekerja dan beraktivitas; gampang merasa gelisah dan tertekan; perasanya sensitif; pelupa dan lemah daya ingatnya; selalu merasa malas; sedih dan hilang semangat; tak punya semangat hidup; selalu takut dan khawatir; tidak dapat tidur malam; iri dengki dan egois; pemalu; sebagian anggota tubuhnya suka gemetaran; dan syaraf tangan dan kakinya mati rasa.

Berat badan wanita itu 90 kilogram. Setelah 36 hari melakukan diet khusus, berat badannya berkurang 18 kilogram. Maka semua penyakitnya itu lenyap seketika.

Kharisma Imam Musa al-Kazhim

Nafi’ al-Anshari tengah berdiri samping istana Harun al-Rasyid (khalifah kelima Dinasti Abbasiah). Tiba-tiba ia melihat seseorang dengan menunggang keledai sedang mendekati istana. Tatkala penjaga istana melihatnya, ia langsung menghormat dan menyambutnya. Penjaga itu segera masuk ke dalam istana dan meminta izin. Tak lama, penunggang keledai itu masuk ke dalam istana.

Nafi’ al-Anshari bertanya kepada Abdul Aziz (salah seorang yang kebetulan ada di sana), “Siapakah orang yang mendapat penghormatan luar biasa itu? ”

Abdul Aziz menjawab, “Ia adalah kepala dari putera Abu Thalib dan pemimpin keturunan Muhammad saww; Musa bin Ja’far al-Kazhim.”

Nafi’ berkata, “Saya tidak pernah menjumpai orang yang lebih lemah dan lebih hina dari para penjaga pintu gerbang istana Harun; mereka menghormati sedemikian rupa orang yang dapat meruntuhkan kerajaan. Ketahuilah jika nantinya ia (Imam Musa al-Kazhim) keluar, aku akan bersikap kepadanya sedemikian rupa; sehingga ia nampak kecil dan hina.”

Abdul Aziz berkata kepada Nafi’, “Janganlah engkau lakukan itu. Sebab, ia adalah keturunan Rasul saww. Sedikit sekali orang yang berbuat jahat kepadanya lalu tidak merasa malu dan menyesal. Rasa malu itu terus dirasakannya sampai akhir hayat.”

Namun Nafi’ begitu egois dan sombong. Ia tidak mengindahkan nasihat Abdul Aziz dan memutuskan untuk tetap melecehkan Imam Musa saat keluar dari istana.

Tatkala Imam Musa al-Kazhim keluar dari istana, Nafi’ dengan penuh angkuh menghampiri beliau dan menarik tali kendali keledai beliau seraya berkata, “Hei! Siapa kamu?” Imam menjawab, “Hei! Jika kamu bertanya tentang nasab dan keturunanku, aku adalah putera Muhammad kekasih Allah, putera Ismail sembelihan Allah (dzabîhullâh), putera Ibrahim kekasih Allah. Jika engkau bertanya tentang tanah airku, aku adalah penduduk tempat di mana Allah mewajibkan seluruh muslimin―jika kamu salah satunya―untuk melakukan ibadah haji. Aku adalah penduduk Mekah. Jika kamu bertujuan menyombongkan diri, demi Allah, kaumku yang musyrik (Quraisy) tidak menganggap kaummu yang beriman sebagai tandingan dan sepadan dengan mereka. Bahkan dalam perang Badar mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Utuslah ke medan perang kami orang-orang yang sepadan dengan kami dari Quraisy!’ Dan jika maksudmu adalah sebutan dan nama, ketahuilah bahwa aku adalah orang-orang yang Allah mewajibkan (manusia) dalam shalatnya untuk bersalawat kepada kami dan engkau harus mengucapkan Allâhumma shallî ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad; kami adalah keluarga dan keturunan Muhammad. Sekarang lepaskan tali kekang keledai ini!”

Tubuh Nafi’ gemetar setelah mendengar perijelasan mantap Imam Musa al-Kazhim. Dengan penuh rasa malu, ia melepaskan tali kekang keledai yang dipeganginya itu dan langsung ngeloyor pergi. Abdul Aziz melihat Nafi’ dan berkata kepadanya, “Tidakkah aku sudah katakan bahwa engkau tak dapat begitu saja meremehkan mereka (anak keturunan nubuwwah).”

Nafi’ kemudian melantunkan syair:

Pelita yang dihidupkan Yang Mahasuci

Membakar janggut orang yang meniupnya

Kisah Imam Khomeini

Imam Khomeini bercerita bahwa setelah dipastikan bebas dari penjara dan akan berada di bawah pengawasan Rezim Syah tahun 1945 beliau dibawa ke hadapan para agen Syah yang ada di penjara. Sewaktu beliau hendak meninggalkan pertemuan itu, salah seorang dari mereka berkata, “Hai Tuan, politik adalah kebohongan, tipu muslihat, dan kejahatan. Biarkan saja itu untuk kami.” Beliau menjawab, “Politik semacam itu memang politik milik Anda....”

Jelas, politik yang mereka maknai itu hanyalah kebohongan, tipu muslihat, kejahatan, perampokan masyarakat, penguasaan harta dan jiwa masyarakat. Politik semacam ini sama sekali tak ada hubungannya dengan politik Islam. Itu adalah politik setan. Namun politik yang bermakna bimbingan dan pembinaan masyarakat, akan menunjukkan jalan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat ini sebagaimana tercantum dalam hadis Rasulullah saww yang menyertakan kata politik (sâsah, ahli-siyâsah). Dalam berbagai doa Ziyârah al-Jâmi’âh, (berkaitan dengan para imam suci) terdapat sebuah ungkapan, “Sâsah al-‘ibâd” (para politikus para hamba).”[1]

Dalam riwayat itu juga disebutkan bahwa Rasul mulia saww diutus dan bertanggung jawab untuk mengemban politik (pemerintahan)umat.

Beban Derita Kematian

Nabi Yahya as putera Nabi Zakaria as adalah nabi yang hidup semasa Nabi Isa as. Ia amat dekat dari bersahabat dengan Nabi Isa as. Nabi Yahya meninggal dunia. Selang beberapa waktu, Nabi Isa as berziarah ke kuburnya dan memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali. Doanya terkabul. Nabi Yahya hidup kembali dan keluar dan liang kubur. Ia berkata kepada Nabi Isa as, “Apa yang engkau inginkan dariku?” Nabi Isa as menjawab, “Aku menginginkan sebagaimana engkau di dunia dekat denganku. Sekarang engkau juga dekat denganku dan menjadi sahabat karibku.”

Nabi Yahya as menjawab, “Sampai saat ini, rasa pedih dan pahitnya kematian, masih belum lenyap dari diriku, dan engkau menginginkan aku kembali lagi ke dunia. Itu sama saja engkau menginginkan agar sekali lagi aku merasakan pedih dan pahitnya kematian.” Saat itu juga ia meninggalkan Nabi Isa as dan masuk kembali ke liang kubur.

Seorang Zuhud yang Dungu

Seorang zuhud meninggalkan kehidupan masyarakat dan pergi ke padang pasir untuk menyibukkan diri beribadah di sebuah tempat yang sunyi. Ia memutuskan mengucilkan diri dan tidak masuk ke kota serta berkumpul dengan masyarakat.

Dalam ibadahnya, ia memohon kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah rezekiku yang telah Engkau tentukan bagiku.” Seminggu telah berlalu. Namun makanan yang diharapkan tak kunjung datang. Waktu itu rasa lapar sudah hampir membunuhnya. Ia lalu memohon kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah bagian rezekiku. Jika tidak, cabutlah nyawaku.” Tiba-tiba terdengarlah suara, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku tak akan memberimu rezeki sampai engkau kembali ke kota, dan berhubungan dengan masyarakat.” Lalu ia pun terpaksa kembali ke kota. Sesampainya di kota, seseorang memberinya makan dan yang lainnya memberinya minum, sampai akhirnya ia kekenyangan.

Dikarenakan tidak menyadari kebijakan Ilahi, dalam benaknya terlintas, “Mengapa justru masyarakat yang memberiku makan sementara Allah tidak memberikan apapun?” Ia lalu mendengar suara, “Apakah engkau menginginkan untuk berzuhud dengan cara yang keliru, dan mengingkari kebijakan-Ku? Apakah engkau tak tahu bahwa aku memberi rezeki hamba-hamba-Ku melalui tangan hamba-hamba-Ku juga? Cara semacam itu jauh lebih aku sukai ketimbang aku memberikannya secara langsung lewat tangan (kekuasaan)-Ku sendiri.”

Isteri Habib bin Mazhahir yang Ikhlas dan Berani

Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir adalah orang tua yang berasal dari satu keluarga (famili), yakni Bani Asad. Mereka berdua tinggal di Kufah. Semasa pemerintahan Imam Ali as, keduanya merupakan sahabat setia beliau.

Tatkala Muslim bin Aqil memasuki Kufah sebagai utusan Imam Husain, kedua orang ini berusaha keras membantu Muslim bin Aqil agar masyarakat membaiat Imam Husain. Sampai akhirnya Ubaidillah bin Ziyad memasuki Kufah dan melancarkan teror demi menakut-nakuti masyarakat tentang pemerintahan Yazid. Masyarakat pun pergi meninggalkan Muslim bin Aqil sendirian. Akhirnya, dalam pertempuran yang tidak seimbang ia ditawan sesuai perintah Ibnu Ziyad, ia pun bunuh. Dalam kondisi sulit ini, Muslim bin ‘Ausajah dan Habib bin Mazhahir diam-diam berangkat ke padang Karbala dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Di situ, keduanya mereguk kesyahidan.

Usia Habib bin Mazhahir saat itu lebih dari 75 tahun. Ia termasuk salah seorang sahabat Rasul saww. Selama tinggal di Kufah, ia bertaqiah seraya menunggu kesempatan yang tepat untuk keluar dari Kufah dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as.

Ia memiliki seorang isteri yang bertakwa dan pemberani, yang sangat bergembira pabila suaminya menjadi penolong Imam Husain. Habib bin Mazhahir, gerilyawan tua ini, berusaha agar tempat persembunyiannya tidak diketahui orang lain. Ia juga ingin keputusannya untuk bergabung dengan pasukan Imam Husain as tidak diketahui siapapun. Bahkan ia tidak menceritakan niatnya itu kepada isterinya sendiri. Itu dimaksudkan agar isterinya tidak menceritakannya kepada orang lain.

Imam Husain bersama rombongannya berangkat meninggalkan Mekah menuju Irak. Saat itu, Imam Husain menulis surat untuk Habib bin Mazhahir yang kemudian di bawa salah seorang utusan.

Pada suatu hari, Habib berada di samping isterinya. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Habib beranjak dari duduknya dan berdiri dibalik pintu. Ia melihat orang yang membawa surat dari Imam Husain. Setelah menerima surat itu dan kembali ke samping isterinya, ia membaca isinya sebagai berikut:

“Surat ini dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, untuk orang yang pandai, Habib bin Mazhahir. Amma ba’du. Wahai Habib, Anda mengetahui hubungan kekeluargaanku dengan Rasulullah saww, dan Anda adalah orang yang mengenalku dengan baik. Anda adalah orang yang merdeka dan peka (terhadap Islam). Karenanya, janganlah Anda enggan menolongku, di mana di hari kiamat kakekku Rasulullah saww akan mengganjarAnda pahala.”

Habib berpikir jangan sampai seorangpun mengetahui isi surat dan keputusannya untuk berangkat menolong Imam Husain. Sehingga para mata-mata tidak sampai mengetahui peristiwa yang terjadi. Keluarganya sempat bertanya kepadanya setelah ia menerima surat, “Sekarang apa yang hendak kamu lakukan?” Ia bertaqiah dan menjawab, “Aku sudah tua, aku tak dapat melakukan apapun.” Isterinya menyangka Habib enggan membantu Imam Husain. Ia berkata, “Tampaknya engkau enggan berangkat ke padang Karbala dan menolong Imam Husain.” Habib hendak menguji isterinya seraya berkata, “Ya, aku tak punya untuk itu.”

Isterinya menangis dan berkata, “Duhai Habib! Apakah engkau lupa akan sabda Rasulullah saww tentang pribadi Imam Husain as, ‘Kedua anakku ini adalah penghulu penghuni surga dan keduanya adalah imam; baik ia diam ataupun bangkit....’ Engkau telah menerima surat Imam Husein. Lalu mengapa engkapa engkau enggan menolongnya?

Habib menjawab, “Aku khawatir jika anak-anakku menjadi yatim dan engkau mejadi janda.” Isterinya menjawab, “Kami akan meneladani wanita-wanita, puteri-puteri, dan yatim-yatim Bani Hasyim, dan cukuplah Allah sebagai pelindung kami.”

Tatkala Habib melihat isterinya benar-benar telah siap, ia pun mengatakan yang sebenarnya isterinya pun berdoa untuknya.

Tatkala Habib akan bertolak, isterinya berkata, “Aku perlu satu perkara.”

“Apa itu?”

“Tatkala engkau sampai di hadapan Imam Husain as, ciumlah tangan dan kakinya untuk mewakiliku, dan sampaikan salamku, ”pinta isterinya.

“Baiklah,” jawab Habib.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa demi berhati-hati, Habib berkata kepada istrinya, “Aku sudah tua dan apa yang dapat dilakukan orang-orang yang sudah lanjut usia?”

Dengan penuh rasa sedih dan marah, isterinya bangkit dan melepas kerudung di kepalnya lalu meletakannya di kepala Habib bin Mazhahir, seraya berkata, “Sekarang bila engkau enggan pergi, tinggallah di rumah seperti kaum wanita.” Kemudian ia berteriak, “Wahai Husain! Seandainya aku seorang lelaki, aku akan datang ke pangkuamu, berjuang bersamamu, dan kupersembahkan jiwaku untukmu. ”

Tatkala Habib mengetahui kecintaan isteririya terhadap Imam Husain, hatinya menjadi tenang dan berkata “Isteriku! Tenanglah! Aku akan membuatnya bergembira dan janggut yang memutih ini akan kuwarnai dengan darah dileherku. Tenangkanlah dirimu!”

Pemuda Tak Dikenal di Medan Tempur

Dalam perang Shiffin (peperangan antara Imam Ali dengan Muawiyah), Abbas bin Ali bin Abi Thalib sudah berusia empat belas tahun. Namun ia seorang pemuda yang matang. Setiap orang yang memandangnya menyangka ia telah berusia tujuh belas atau dua puluh tahun.

Pada suatu hari, tatkala peperangan masih berlangsung sengit, ia meminta izin kepada ayahnya untuk maju ke medan laga demi melawan musuh. Imam Ali menutupi wajahnya dengan kain, sehingga ia tidak dikenali musuh. Di medan perang, ia bertempur dengan gagah berani seraya berkeliling ke segenap penjuru, memperlihatkan seolah-olah semua wilayah sudah berada di bawah kekuasaannya. Pasukan Syam menyaksikan kegigihan dan keberanian pemuda tak dikenal ini. Para penasihat militer Muawiyah lalu bermusyawarah untuk mencari jalan keluar guna meredam serangan bertubi-tubi ysng dikomandoi pemuda tak dikenal itu. Namun mereka telah dihinggapi rasa takut sehingga tidak berani mengambil keputusan apapun. Akhirnya Muawiyah memanggil salah seorang prajuritnya yang paling berani, Ibnu Sya’tsa’. Ia disebut-sebut sanggup melawan 10 ribu pasukan berkuda. Muawiyah berkata, “Terjunlah ke medan laga dan hadapilah pemuda tak dikenalitu!”

Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Wahai Pemimpinku! Masyarakat mengenalku bahwa aku adalah pejuang yang melawan 10 ribu tentara. Layakkah aku berperang melawan anak itu?”

Muawiyah bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

Ibnu Sya’tsa’ menjawab, “Aku punya tujuh orang anak lelaki, dan salah satu dari mereka akan kuperintahkan untuk menghadapi dan membunuhya.” Muawiyah menyetujui usulannya.

Ibnu Sya’tsa’ mengutus salah seorang anaknya maju ke medan tempur. Namun tak berapa lama, ia mati di tangan pemuda tak dikenal itu. Kembali ia mengutus anak keduanya. Ia pun terbunuh. Lagi-lagi ia mengutus anak ketiga, keempat, sampai yang ketujuh. Namun semunya tewas di tangan pemuda tak dikenal itu.

Kemudian Ibnu Sya’tsa’ maju ke medan perang dan menyeru, “Hai pemuda, engkau telah membunuh semua anakku. Demi Allah, aku akan membunuh ayah dan ibumu.”

Sekonyong-konyong ia menyerang pemuda itu. Keduanya saling mengayunkan pedang. Tiba-tiba sang pemuda memukulkan pedangnya ke tubuh Ibnu Sya’tsa’ sampai terbelah dua. Tak pelak, Ibnu Sya’tsa’ pun tewas menyusul anak-anaknya. Mereka yang menyaksikan kejadian itu terkagum-kagum terhadap keberanian pemuda itu. Saat itu pula, Amirul Mukminin berteriak, “Wahai anakku! Kembalilah, aku khawatir engkau terkena mata musuh.” Ia pun kembali. Amirul Mukminin menyambut kedatangannya, membuka penutup wajahnya, dan mencium di antara kedua matanya. Para musuh menyaksikan bahwa pemuda tak dikenal itu adalah Qamar Bani Hasyim (bintangnya Bani Hasyim), Abbas bin Ali bin Abi Thalib .

Tertawa Tidak pada Tempatnya Berakibat Dosa

Seorang penduduk padang pasir menemui Rasulullah saww dengan menunggangi anak untanya. Ketika berjumpa dengan Rasulullah saww, in pun memberi salam. Ia ingin mendekat dan bertanya kepada Rasullulah saww. Namun untanya malah berbalik ke belakang dan berlari menjauh. Jadinya, ia pun semakin jauh dari dari Nabi saww. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai tiga kali.

Pemandangan semacam ini menyebabkan sebagian sahabat tertawa (yang tidak pada tempatnya; bukannya menolong orang Arab itu agar dapat menyampaikan pertanyaannya, mereka malah tertawa). Tawa mereka dan ulah untanya menjadikan orang itu gusar. Dengan sekali pukulan keras, ia membunuh untanya.

Pra sahabat berkata kepada Rasulullah saww, “Orang Arab itu membunuh untanya.”

Rasulullah saww bersabda, “Dan mulut kalian penuh dengan darahnya (unta).” (Yakni tawa kalianlah yang menyebabkan orang Arab bodoh itu gusar dan berbuat seperti itu. Kalian juga ikut andil dalam pembunuhan unta lemah itu. Mengapa kalian bersikap semacam itu?)

Hukum Tidak Mengenal Kekerabatan

Ummu Salamah adalah salah seorang isteri, Nabi saww. Ia memiliki budak wanita yang melakukan pencurian. Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah saww. Ummu Salamah memohon agar budaknya dimaafkan (mengingat hubungan kekerabatan yang ada, ia mengharap tangan budak itu tidak dipotong).

Rasullah saww bersabda kepada Ummu Salamah, “Hai Ummu Salamah, ini adalah salah satu hukum dari hukum-hukum Allah, dan tidak dapat digagalkan.” Kemudian, Rasulullah saww, memerintahkan tangan budak wanita itu dipotong lantaran telah mencuri.

Imam Ali Mencari Kerja

Suatu hari, kondisi kehidupan Imam Ali teramat sulit. Kelaparan pun menyelimuti kehidupan Imam Ali. Lalu, beliau keluar rumah untuk mencari pekerjaan agar upahnya dapat digunakan untuk mengusir rasa laparnya. Di Madinah, beliau tidak menemukan lowongan kerja dan memutuskan untuk pergi ke luar Madinah (sebuah perkebunan yang terletak sekitar delapan kilometer di luar kota Madinah).

Di situ, beliau melihat seorang wanita yang tengah mencangkul tanah dan mengumpulkannya di suatu tempat. Beliau berpikir, “Barangkali wanita ini sedang membutuhkan seorang pembawa air, dan tanah itu akan dicampur air sehingga menjadi tanah liat yang dapat digunakan untuk membuat bangunan.” Imam Ali as menghampiri wanita itu. Jelas, wanita itu memang sedang menunggu kedatangan seseorang yang akan membantunya membawakan air.

Setelah berbincang dengannya, terjalinlah kesepakatan; Imam Ali menimbakannya air dari sumur. Untuk setiap timbaan, beliau mendapat upah sebutir kurma. Beliau sudah menimba air sebnyak enam belas kurma. Tangan beliau pun melepuh. Sesuai kesepakatan, air itu beliau tuangkan di atas gundukan tanah tersebut.

Wanita itu memberi Imam Ali enam belas butir kurma sebagai upahnya. Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menceritakan kisahnya kepada Rasulullah saww. Lalu keduanya duduk bersama seraya menikmati buah kurma tersebut. Rasa lapar keduanyapun sirna.

Perintah Imam Ali Membunuh Tiga Teroris

Shalat subuh berjamaah di awal waktu di Masjid Nabi saww usai dilaksanakan. Kaum muslimin masih tinggal di sana. Rasulullah saww menghadap ke arah para hadirin seraya bersabda, “Wahai manusia! Aku telah menerima wahyu bahwa terdapat tiga orang kafir yang bersumpah atas nama berhala latta dan ‘uzza untuk membunuhku. Siapakah di antara kalian yang dengan sukarela siap menghadapi mereka dan membinasakan mereka sebelum tiba di Madinah?”

Masing-masing hadirin saling bertatapan dan diam seribu bahasa. Mereka tidak menjawab seruan Rasulullah saww.

Rasulullah saww melanjutkan, “Aku yakin Ali bin Thalib tak ada di tengah kalian.”

Salah seorang dari mereka yang bernama ‘Amir bin Qutadah berdiri seraya menjawab, “Malam ini, Ali menderita demam. Karena itulah ia tak ikut serta dalam shalat berjamaah. Ijinkanlah saya menemuinya dan menyampaikan seruan anda.”

Rasulullah saww mengizinkannya. Lalu ‘Amir menemui Imam Ali dan menceritakan peristiwa yang terjadi.

Imam Ali keluar dari rumah dengan leher tertutup lengan bajunya dan langsung menemui Rasul saww. Beliau menanyakan peristiwa yang terjadi, “Wahai Rasulullah saww, gerangan apa yang terjadi?”

Rasulullah saww menjawab, “Utusan Allah (Jibril) datang kepadaku dan memberitakan bahwa sekarang ini ada tiga orang kafir yang bersumpah untuk datang ke mari dan membunuhku, demi Tuhan Kabah, usaha mereka tak akan berhasil. Saat ini diperlukan seorang yang menghalangi kedatangannya.”

Imam Ali berkata, “Saya sendiri siap mencegah kedatangan mereka. Saya minta izin beberapa saat untuk mengenakan pakaian perang saya. ”

Rasul mulia saww bersabda, “Inilah pakaian besi dan pedangku, ambillah dan gunakanlah.” Kemudian Rasul mulia saww mengenakan pakaian besinya ke tubuh Imam Ali, melilitkan surban beliau ke kepala Imam Ali, menyerahkan pedang beliau ke tangan Imam Ali, mengambilkan kudanya dan membantu Imam Ali menaikinya, lalu mengutusnya menemui ketiga orang tersebut yang sudah berada beberapa kilometer dari Madinah.

Imam Ali keluar dari Madinah setelah tiga hari berlalu tak ada kabar tentang keadaan Imam Ali; baik dari langit (melalui Malaikat Jibril) maupun bumi. Sayyidah Fathimah merasa khawatir. Beliau lalu menggandeng al-Hasan dan al-Husain pergi menemui Rasulullah saww. “Saya kira dua anak ini telah menjadi yatim,” kata Sayyidah Fathimah. Mendengar ucapan ini, tanpa sadar Rasulullah saww meneteskan air mata. Lalu beliau saww bersabda, “Siapa saja yang membawa berita tentang keadaan Ali, aku akan memberinya imbalan surga.”

Muslimin bersungguh-sungguh mencari Imam Ali bin Abi Thalib. Sebab mereka sadar bahwa Rasulullah saww benar-benar menganggap penting dan amat menegaskan secara khusus masalah ini.

Sampai akhirnya ‘Amir bin Qutadah menyampaikan kabar kepada Rasulullah saww bahwa Imam Ali bin Abi Thalib dalam keadaan selamat dan akan segera kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan.

Rasulullah saww bergegas menyambut kedatangan Imam Ali. Beliau saww menyaksikan Imam Ali datang membawa dua tawanan, sepenggal kepala, tiga ekor unta, dan tiga ekor kuda. Saat itu Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Mana yang kamu sukai; aku yang menceritakan peristiwa yang engkau alami; ataukah engkau sendiri?” Kemudian beliau saww bersabda, “Sebaiknya engkau sendiri yang menjelaskannya agar disaksikan kaum yang ada.”

Kemudian Imam Ali memulai kisahnya, “Di tengah padang pasir, saya melihat tiga orang tengah menunggang unta ke arah saya. Sewaktu melihat saya, mereka berteriak, ‘Siapa kamu?’ Saya jawab, ‘Aku Ali bin Abi Thalib, anak paman utusan Allah (rasulullah) saww.’ Mereka berkata, ‘Kami tidak mengenal orang yang menjadi utusan Allah, dan bagi kami tak ada bedanya membunuhmu atau membunuh Muhammad.’”

“Pemilik kepala terpenggal ini langsung menyerang saya. Saat itu pula, berhembus angin merah. Lalu saya mendengar suara anda bersabda, ‘Pakaian besinya di bagian leher telah aku singkap, tebaslah urat lehernya,’ saya pun menebas urat lehernya dan membiarkannya.”

“Kemudian berhembus angin kuning. Saya mendengar suara anda di antara tiupan angin itu, ‘Baju besinya di bagian paha tersingkap, pukullah bagian pahanya,’ saya pun memukul bagian pahanya. Ia pun tersungkur. Saya lalu memisahkan kepalnya dari tubuhnya. Tatkala saya membunuhnya, kedua tawanan ini menghampiri saya dan berkata, ‘Temanku yang engkau bunuh ini berkemampuan membunuh seribu pasukan berkuda. Sekarang kami menyerahkan diri kepadamu. Kami mendengar Muhammad adalah orang yang pemurah dan berhati lembut. Janganlah engkau membunuh kami. Bawalah kami ke hadapan Muhammad hidup-hidup agar ia memutuskan hukuman yang layak kami terima.’”

Rasulullah saww bersabda, “Wahai Ali! Suara pertama yang engkau dengar adalah suara Jibril dan suara kedua yang engkau dengar adalah suara Mikail, sekarang bawalah kepadaku salah seorang tawanan itu.” Imam Ali membawa seorang tawanan menghadap Rasulullah saww. Kemudian Rasulullah saww bersabda kepadanya, “Ucapkanlah Tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh).” Tawanan itu menjawab, “Memindahkan gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada harus mengucapkan kalimat itu.”

Rasulullah saww bersabda, “Bawalah ia dan tebaslah lehernya.” Kemudian Imam Ali melaksanakan perintah Rasulullah saww.

Kemudian Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Bawalah kemari tawanan kedua.” Imam Ali membawa tawanan itu ke hadapan Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda,“Ucapkanlah, Tiada tuhan selain Allah.” Ia menjawab, “Gabungkan saja aku dengan temanku.”

Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Bawalah ia juga, dan tebaslah lehernya.” Sekonyong-konyong Malaikat Jibril turun dari berkata, “Wahai Muhammad, Tuhanmu memberi salam kepadamu, dan berfirman: ‘Janganlah engkau bunuh orang itu, karena ia memiliki dua sifat yang mulia; di antara kaumnya ia adalah seorang yang dermawan dan juga memiliki budi pekerti yang baik.’”

Rasulullah saww bersabda kepada Imam Ali, “Hentikan! Utusan Allah mengatakan....” Tatkala mengetahui soal pembatalan pembunuhannya, orang kafir itu berkata, “Ya, aku bersumpah demi Tuhan, selama aku hidup bersama saudara-saudaraku aku tak pernah punya uang sedirham pun (maksudnya ia tidak menabung uang yang diperolehnya, melainkan selalu diserahkan kepada sanak kerabatnya), dan aku sama sekali tak pernah melarikan diri dari medan perang. Sekarang aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Rasulullah saww bersabda, “Ia adalah orang yang ditarik menuju surga yang penuh kenikmatan oleh budi pekertinya yang baik dan kedermawanannya.”

Membuat Lupa, Senjata Ampuh Setan

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Âli Imrân: 135)

Tatkala ayat ini diturunkan (yang menyatakan bahwa mereka bertobat dan tobatnya diterima disisi Allah), iblis merasa khawatir lalu pergi ke gunung Tsaur (gunung tertinggi di Mekah). Di situ, ia berteriak dengan suara paling lantang untuk memanggil dan mengumpulkan para sahabat dan anak-anaknya. Setelah berkumpul, mereka menanyakan alasan seruan itu.

Ia menjawab, “Telah turun sebuah ayat (berkenaan dengan tobat, yang mana itu akan membuat semua usaha yang kita lakukan sia-sia belaka). Siapakah di antara kalian yang memiliki usul dan jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Saya akan mengajak manusia melakukan dosa ini dan itu, sehingga pengaruh ayat tersebut akan berkurang.” Namun iblis menolak usul tersebut. Setan lain juga mengusulkan hal yang sama. Namun iblis lagi-lagi menolaknya. Setan ketiga, keempat, dan seterusnya memberi usulan, namun kembali ditolak oleh iblis.

Sampai akhirnya setan yang amat berpengalaman bernama al-waswâs al-khannâs datang dan berkata, “Saya akan mengatasi kesulitan ini.” Iblis bertanya, “Bagaimana carnya?” Al-khannâs menjawab, “Aku akan memberi janji-janji dan angan-angan kepada mereka sehingga mereka tercemari dosa, kemudian aku membuat mereka lupa beristigfar (maksudnya, membuatnya lupa dan menjauhkan manusia dari keinginan bertobat).”

Dalam hal ini, iblis menerima pendapat dan usulan tersebut, dan berkata, “Tugas ini untukmu.” Dan tugas ini pun dilaksankan al-khannâs sampai hari kiamat .

Di sini perlu diperhatikan bahawa kata “al-waswâs” berarti pembisik sedangkan kata “khannas” berarti lari dan bersembuyi. Ini menghingat setan akan lari bersembunyi tatkala nama Allah disebut-sebut.

Hasil Belas Kasih

Alkisah, seseorang yang saleh memiliki seorang sahabat yang sudah meninggal dunia. Selang beberapa waktu, ia melihatnya dalam mimpi. Ia bertanya kepada temannya itu, “Apa yang dilakukan Tuhan kepadamu?”

Temannya menjawab, “Aku diletakkan di sisi Tuhan dan diberi kabar gembira dengan ampunan. Lalu aku mendengar suara dari sisi Allah: Tahukah engkau mengapa Aku mengampunimu? Aku menjawab, ‘Dikarenakan amal-amal baikku.’ Muncul jawaban: Bukan. Aku menjawab, ‘Dikarenakan keikhlasanku dalam beribadah.’ Bukan. Aku menjawab, ‘Dikarenakan amalan ini dan itu.’ Bukan, semua itu bukan perkara yang menyebabkan Aku mengampunimu, tegas suara itu.”

“Aku bertanya, ‘Lalu apa yang menyebabkan Engkau mengampuniku?’ Terdengar jawaban: Apakah engkau masih ingat tatkala engkau tengah berjalan di salah satu lorong dikota Bagdad, lalu ada seekor kucing kecil yang tengah kepanasan dan berlindung di bawah dinding, kemudian engkau mengambilnya dan meletakkannya di bawah bajumu dan engkau selamatkan dirinya dari kepanasan? Aku menjawab, ‘Benar.’ Kembali muncul jawaban: Karena engkau mengasihi kucing itu; maka Akupun mengasihimu.”

Kesyahidan Utusan Imam Husain

Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju Irak. Ketika tiba di dearah bernama Hajiz, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda....”

Imam Husain menulis surat untuk para pengikut beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar Shaidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka Syiah. Dalam surat itu tertulis, “Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm, dari Husain untuk saudara seiman, assalâmu’alaîkum. Kami bersyukur kepada Allah yang Mahaesa, amma ba’du: Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan bersiap-siaplah. Insya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui kalian. Salam, rahmat, dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”

Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah, ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan ia mengeluarkan surat Imam Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.

Ibnu Ziyad, “Siapakah kamu?”

Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”

“Mengapa engkau meobek-robek surat itu?”

“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis dalam surat itu.”

“Dari siapakah surat itu dan untuk siapa?”

“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”

“Apa nama perkumpulan itu?”

“Aku tak tahu.”

Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”

Qais pun melaksankan perintah itu setelah mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain bin Ali ini adalah anak Fathimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah utusannya untuk kalian. Di Hajiz, saya berpisah dengannya. Sambutlah ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya dan memohon ampun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.

Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.

Wasiat Abu Dzar

Semasa pemerintahan Umar bin Khathab, Abu Dzar jatuh sakit. Ia pun hanya bisa terbaring d tempat tidur. Merasa waktu kematiannya tengah menjelang, ia segera berwasiat berkaitan kehidupannya. Ia memutuskan bahwa orang yang berhak menjalankan wasiatnya adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Seseorang berkata kepadanya, “Jika Amirul Mukminin Umar engkau jadikan pelaksana wasiatmu, itu jusru lebih baik dari Ali bin Abi Thalib.”

Abu Dzar menjawab, “Demi Allah! Aku telah mewasiatkan kepada Amirul Mukminin yang sesungguhnya.”

Abbas dan Kedudukan Bâb al-Hawâij (Pintu Berbagai Keperluan)

Seorang yang saleh tinggal di Karbala. Anaknya yang juga saleh, tengah jatuh sakit. Pada malam hari, ayahnya berziarah ke makam suci hazrat Abu al-Fadl Abbas, dan bertawasul kepada beliau dengan tulus dan murni seraya berharap agar beliau memohonkan kepada Allah bagi kesembuhan puteranya.

Ketika masuk waktu subuh, salah seorang teman orang saleh itu menghampirinya dan berkata, “Malam ini aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku akan menceritakannya padamu; dalam mimpiku aku melihat hazrat Abbas bin Abi bin Abi Thalib memohon kesembuhan bagi puteramu. Saat itu, datang seorang [malaikat] utusan Rasulullah saww menemui Abbas dan berkata, ‘Rasulullah saww bersabda bahwa berkaitan dengan kesembuhan anak ini janganlah engkau memberi syafaat karena ajal pasti (hatmî)-nya sudah dekat, dan usia yang telah ditakdirkan untuknya akan segera habis, dan kehidupannya akan segera berakhir.’”

“Kemudian hazrat Abbas berkata kepada malaikat itu, ‘Sampaikanlah salamku kepada Rasulullah saww dan katakan kepada beliau demi kedudukanmu di sisi Allah. Akumeminta kepadamu agar memberi syafaat dan mohonlah kepada Allah agar menyembuhkan pemuda yang sedang sakit ini.’”

“Malaikat itupun kembali dan menyampaikan salam Abbas kepada Rasulullah saww dan mengutarakan pesannya.”

“Rasulullah saww bersabda, ‘Pergi dan katakanlah kepada Abbas bahwa ajal anak lelaki itu telah tiba.’ Kemudian ia menyampaikan pesan Rasulullah saww kepada Abbas, dan Abbas pun memberi jawaban sebagaimana jawaban pertama. Dan kejadian ini berulang sampai tiga kali.”

“Akhirnya pada kali yang ketiga, wajah Abbas memucat. Ia lalu bangkit dan menemui Rasulullah saww seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah saww, tidakkan saya telah dijuluki dengan bâb al-hawâij? Dan orang-orang juga sudah mengetahuinya dan mereka bertawasul kepada saya serta memohon syafaat atas nama itu?’”

“Kemudian Rasulullah saww tersenyum dan bersabda kepada Abbas, ‘Kembalilah, Allah akan membuatmu merasa gembira. Engkau adalah bâb al-hawâij dan berilah syafaat kepada siapa yang engkau kehendaki, dan dengan berkah keberadaanmu, Allah tetap menyembuhkan pemuda yang sakit ini.’ Setelah itu saya terjaga dari tidur.”

Kecintaan Rasulullah saww Terhadap Para Penyair Ahlul Bait

Di’bil al-Khuza’î adalah seorang penyair yang bebas dan merdeka. Lewat syair-syairnya, ia membela kehormatan para imam Ahlul Bait. Jadinya, nama mereka pun senantiasa membayang di benak bnyak orang.

Anaknya Ali bin Di’bil berkata, “Saat-saat kematian ayahku tiba, aku menyaksikan ayahku akan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu wajahnya berubah mmenjadi hitam dan lidahnya kaku. Dalam keadaan inilah ia meninggal dunia. Lalu saya meragukan kebenaran Mazhab Syiah yang dianutnya; benar atau menyimpangkah? Jika benar, mengapa ayahku meninggal dalam keadaan yang buruk ini? (Itu menunjukkan akhir hayat yang buruk) Keraguan ini senantiasa menyelimuti hatiku. Sampai lewat tiga hari setelah kematian ayahku, aku melihat ayahku di alam mimpi dengan mengenakan pakaian putih dan kopiah putih seraya berkata kepadaku, ‘Anakku! Apa yang engkau saksikan di saat kematianku; wajahku menghitam dan lidahku kaku, adalah karena sewaktu di dunia aku meminum minuman keras, dan aku senantiasa berada dalam keadaan itu sampai akhirnya aku berjumpa Rasulullah saww, dengan mengenakan baju dan kopiah putih, lalu beliau saww bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau adalah Di’bil?’ Aku menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah saww.’ Beliau saww bersabda, ‘Bacakanlah syair-syair yang kamu buat berkenaan dengan anak-anakku.’ Kemudian aku membacakan dua bait syair ini:

Wahai masa semoga Allah tidak membuatmu tertawa, disaat tertawa

Dan anak keturunan Muhammad tertindas dan menderita

Diusir dan diasingkan dari rumah-rumah mereka

Seakan mereka telah melakukan kejahatan yang tak terampuni.

Kemudian Rasulullah saww bersabda, ‘Bagus!’ Dan beliau saww memberiku syafaat. Pakaian dan kopiah putih yang engkau lihat ini adalah hadiah beliau saww.”

Dua Majelis Diskusi di Tengah Malam ‘Âsyûrâ’

Sayyidah Zainab menceritakan bahwa pada pertengahan malam ‘Âsyûrâ’, beliau mendatangi kemah saudaranya, Abu al-Fadl Abbas. Beliau melihat para pemuda Bani Hasyim tengah duduk melingkar di sekelilingnya. Dan ia duduk dengan tegap sambil memancing diskusi dengan mereka. Ia berkata, “Wahai saudara-saudaraku! Wahai putera-putera pamanku! Besok, tatkala perang dengan musuh dimulai, kalian harus berada di depan dan merupakan orang pertama yang maju ke medan perang. Jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Bani Hasyim menjadikan kita sebagai penolong mereka sementara mereka lebih mengutamakan kehidupannya sendiri ketimbang kematiannya.”

Para pemuda Bani Hasyim dengan penuh semangat menjawab, “Kami patuh pada perintah Anda.”

Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib berkata, “Dari sana saya menuju kemah Habib bin Mazhahir dan melihat para sahabat (selain Bani Hasyim) duduk melingkarinya. Ia berkata kepada mereka, ‘Wahai para penolong! Besok tatkala perang dimulai, kalian harus menjadi orang pertama yang maju ke medan tempur, karena Bani Hasyim adalah para junjungan dan pembesar kita, dan kita harus berkorban untuk mereka.’ Para sahabat menjawab, ‘Benar sekali ucapanmu.’ Mereka pun menepati ucapan mereka dan bergerak maju ke medan tempur lebih dulu dari Bani Hasyim. Setelah melakukan perlawanan, akhirnya mereka gugur sebagai syuhada.”