Cerita-Cerita Hikmah Bab5

Cerita-Cerita Hikmah Bab50%

Cerita-Cerita Hikmah Bab5 pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Buku Umum

Cerita-Cerita Hikmah Bab5

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhamad, Muhamadi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 1374
Download: 2008

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 40 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1374 / Download: 2008
Ukuran Ukuran Ukuran
Cerita-Cerita Hikmah Bab5

Cerita-Cerita Hikmah Bab5

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

CERITERA - CERITERA HIKMAH

Muhammadi, Muhammad

Sekapur Sirih

ACAPKALI gagasan atau hikmah yang terkandung dalam sebuh tulisan acap terasa begitu sulit dicerna. Lebih-lebih jenis tulisan ilmiah yang selalu disesaki istilah teknis yang rumit dan membingungkan. Kesulitan ini diperparah dengan minimnya contoh-contoh kasus yang diajukan. Jadilah kemudian buku tersebut buku vampir yang menyedot habis energi pembacnya.

Ada sebuah kalimat bijak, “Sebuah kisah enteng jauh lebih baik dari paparan panjang lebar yang serius, prestisius, dan berbobot sekalipun.” Sebuah tulisan akan jauh lebih hidup, dialogis, dan menggelitik benak pembacnya pabila di sana-sini diselipkan kisah-kisah menarik dan penuh hikmah. Apapun jenis tulisannya; Tapi kisah yang bagaimana?

Sebuah kisah yang handal adalah kisah Yang bersahaja, diungkapkan dengan bahasa sehari-hari (vernakulistis), namun punya makna yang amat bertenaga. Sebuah kisah dapat dimaksudkan untuk menghibur, tapi juga untuk direnungkan. Tentunya secara moral, kisah yang kedua disebutkan jauh lebih bermakna tinimbang lainnya. Namun begitu, dalam metode penyajiannya, kedua maksud tersebut bisa digabungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah yang witty; renyah, “enteng”, jenaka, menggelitik, sekaligus menukik dan menghujamkan makna yang cerdas ke lubuk hati pembacnya. Buku kisah bernuansa keagamaan ini kirnya ingin berbuat seperti itu.

Dalam buku kisah-kisah religius ini, pembaca akan diajak bolak-balik dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman nabi-nabi atau Rasul ke zaman berikutnya atau sekarang, balik lagi ke zaman nabi-nabi atau Rasul, begitu seterusnya. Gaya ini menjadikan pembaca mampu merajut kesinambungan konteks antarkisah, sekalipun satu dengan lainnya terpisah jarak waktu ratusan bahkan ribuan tahun.

Kisah-kisah dalam buku ini disusun sedemikian rupa agar mudah dikunyah pemahaman setiap orang. Sehingga para pembaca dapat menemukan makna atau hikmah yang melambari masing-masingnya. Terus terang, kisah-kisah religius yang disuguhkan dalam buku ini sebagian besarnya memiliki daya kejut dan daya bongkar terhadap pemahaman kita selama ini mengenai ihwal kehidupan beragama yang ideal.

Semoga saja setelah membaca rangkaian kisah dalam buku ini, para pembaca memperoleh wawasan dan kesadaran baru yang lebih jenius perihal bagaimana menempuh arung kehidupan ini. Sekali lagi, semoga....

BAB V

Kerendahan Hati Marja’ Taqlid di Hadapan Ahlul Bait Nabi

Almarhum Ayatullah Sayyid Syihabuddin al-Mar’asyi al-Najafi adalah seorang marja’ taqlid (ahli hukum Islam yang layak diikuti fatwa-fatwanya―peny.) besar dan berperan cukup besar dalam mengembangkan Hauzah Ilmiyah Qum dan dunia tasyayyu’. Beliau dilahirkan pada subuh hari Kamis, 20 Safar 1318 Hijriah, di Najaf al-Asyraf dan wafat di Qum, pada 8 Safar 1411 Hijriah. Beliau dimakamkan di tepi jalan masuk perpustakaan umum beliau di Qum.

Di antara kepribadian beliau adalah rasa cinta yang cukup mendalam terhadap Ahlul Bait Nabi saww. Beliau menyatakan dirinya sebagai “pembantu ilmu-ilmu Ahlul Bait dan pengemis di depan pintu mereka.” Secara teoritis dan praktis, beliau memang semacam itu.

Di antara wasiatnya, “Setelah saya meninggal dunia, letakkanlah jenazah saya di depan makam bibi Fathimah al-Ma’shumah. Ikatlah ujung surban saya ke jeruji makam suci (Fathimah al-Ma’shumah) dan ujung yang lain ke kerandaku (sebagai permohonan syafaat). Lalu bacakanlah kisah perpisahan Imam Husain dengan keluarganya yang suci di hari Âsyûrâ’.” Wasiat inipun mereka laksanakan.

Nilai Ucapan yang Benar

Pada suatu hari, Sufyan al-Tsauri yang merupakan orang yang cukup terkenal di masa Imam Ja’far al-Shadiq, menemui Imam al-Shadiq. Saat itu ia mendengar sebuah ucapan dari beliau yang begitu indah dan mendalam. Sufyah al-Tsauri dibuatnya tercengang. Ia berkata, “Wahai putera Rasulullah, demi Allah, ucapan anda itu adalah permata.”

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Bahkan lebih indah dari permata. Bukankah permata itu hanya sebuah batu?”

Lewat jawaban itu, Imam Ja’far al-Shadiq hendak memberi pelajaran kepada kita semua bahwa sebagaimana kita menganggap permata merupakan suatu yang bernilai (berharga), maka seyogianya kita menghargai ucapan dan nasihat yang benar. Namun, permata hanyalah sebuah benda padat yang tidak bergerak. Adapun ucapan yang benar akan membangun, mendidik, dan mengantarkan manusia pada kesempurnaan.

Mengaku Tuhan, Diam Seribu Bahasa

Pada masa Imam Ja’far al-Shadiq, hidup seseorang yang bernama Ja’d bin Dirham. Ia seorang penetang Islam dan pencetak berbagai bidah. Namun begitu, ia punya banyak pengikut. Akhirnya, lantaran kelakuannya itu, ia dijatuhi hukuman mati pada hari Idul Adha.

Suatu hari, ia memasukkan sedikit tanah dan air ke dalam botol. Selang beberapa hari, muncullah beberapa ekor serangga dan ulat dalam botol itu. Ia lalu berkata, “Sayalah yang menciptakan serangga dan ulat ini. Karena sayalah yang menyebabkannya ada.”

Mereka menceritakan kejadian itu kepada Imam Ja’far al-Shadiq. Imam berkata, “Tanyakan kepadanya, berapa jumlah serangga dalam botol itu? Berapa jumlah jantan dan betinanya? Kalau benar penciptanya, ia harus dapat menjawabnya. Dan tanyakan juga berapa beratnya? Kalau memang penciptanya, ia pasti dapat memerintahkan serangga itu menjelma dalam bentuk yang lain.”

Mendengar pertanyaan itu, Ja’d bin Dirham diam seribu bahasa dan lari tunggang langgang.

Imam Ja’far al-Shadiq Tidak Menghiraukan Abu Hanifah

Abu Hanifah (Nu’man) adalah salah seorang tokoh dari tempat mazhabAhlusunah. Sekalipun seluruh ilmu yang dimilikinya semata-mata berasal dari ajaran Imam Ja’far al-Shadiq, ia menentang beliau dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa Imam Ja’far al-Shadiq.

Suatu hari, ia datang ke rumah Imam Ja’far al-Shadiq. Imam menemuinya dengan bertumpu di atas sebuah tongkat.

Abu Hanifah bertanya, “Tongkat itu untuk apa? Padahal orang seusia Anda masih belum layak memegang tongkat?”

Imam menjawab, “Benar, saya tidak memerlukan tongkat, tapi karena tongkat ini kenang-kenangan dari Rasulullah saww yang masih tersisa, saya ingin bertabaruk (mengambil berkah) dari tongkat ini.”

Abu Hanifah berkata, “Kalau saya tahu bahwa tongkat itu milik Rasulullah saww, saya akan menciumnya.”

Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sungguh mengherankan!” Lalu beliau menyingsingkan lengan bajunya dan berkata, “Hai Nu’man! Demi Allah, engkau tahu bahwa kulit, rambut, dan lengan saya ini adalah kulit, rambut, dan lengan Rasulullah saww, namun engkau tidak menciumnya (engkau melakukan penentangan terhadapku).”

Abu Hanifah bangkit dan hendak mencium lengan Imam. Namun beliau menurunkan kembali lengan bajunya dan tidak menghiraukan sikap Abu Hanifah yang hanya berpura-pura.

Alasan Sa’ad bin Abi Waqas Tidak Mencemooh Imam Ali

Sa’ad bin Abi Waqas merupakan salah seorang panglima perang terkenal di masa awal Islam. Semasa pemerintahan Imam Ali, ia menarik diri hidup tanpa tidak berpihak kepada siapapun (baik kepada Imam Ali maupun Muawiyah).

Saat Muawiyah berkuasa, ia memaksa seluruh muslimin mengutuk Imam Ali. Namun Sa’ad bin Abi Waqas sama sekali tidak bersedia mengutuk beliau.

Suatu hari Muawiyah berjumpa dengan Sa’ad dan bertanya, “Mengapa engkau enggan mengutuk Abu Turab (julukan Imam Ali)?”

Sa’ad menjawab, “Aku teringat tiga perkara yang disabdakan Rasulullah saww mengenai peribadi Ali bin Abi Thalib. Karena itulah saya enggan mengutuk dan mencemoohnya. Bila salah satu dari ketiga perkara itu ada pada diri saya, maka itu jauh lebih berharga dari semua unta merah.”

“Pertama, saya mendengar Rasulullah saww, pada perang Tabuk, menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai wakil beliau saww di Madinah, sementara beliau saww sendiri yang berangkat ke Tabuk bersama kaum muslimin. Wwaktu itu Ali menemui Rasulullah saww dan berkata, ‘Wahai Rasulullah saww, apakah Anda akan membiarkan saya tinggal diam di madinah bersama para wanita?’ Rasulullah saww menjawab, ‘Tidakkah engkau merasa senang bila kedudukanmu di sisiku tak ubahnya kedudukan Harun di sisi Musa, namun tak ada nabi setelahku?’”

“Kedua, pada peristiwa perang Khaibar. Saya mendengar Rasulullah saww bersabda, ‘Aku akan berikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia dicintai Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian beliau saww memerintahkan memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepada Ali yang kemudian berhasil menaklukkan Khaibar.”

“Ketiga, menurut ayat mubâhalah, Ali dianggap sebagai jiwa Rasulullah saww. Dalam peristiwa ketika para utusan Nasrani berdialog dengan Rasulullah saww namun mereka tetap enggan memeluk Islam, maka sesuai perintah Allah, Rasulullah saww mengajak mereka melakukan mubâhalah (beliau saww menyabdakan kepada mereka untuk membentuk dua kelompok yang saling berhadap-hadapan dan saling mengutuk, sehingga Allah menurunkan azab-Nya kepada kelompok yang sesat dan menyimpang) sebagaimana diabadikan dalam al-Quran; ‘Marilah kita memangil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’ (Âli Imrân:16) Lalu Rasulullah saww membawa Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ke padang pasir untuk bersama-sama melakukan mubâhalah, seraya menegaskan, ‘Mereka adalah Ahlul Bait (keluarga)ku.’

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah saww menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai diri dan nyawa beliau sendiri.”

Terputus dari Makhluk, Terikat kepada Allah

Di antara kepribadian Imam Khomeini adalah kuatnya keterikatan dan ketergantungah kepada Allah. Beliau senantiasa menganjurkan orang lain untuk bersikap semacam itu. Imam Khomeini berpesan kepada anaknya, Sayyid Ahmad Khomeini, “Anakku! Berusahalah sekuat tenaga, agar hatimu terikat kuat kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa tak ada daya upaya melainkan seizin-Nya.”

Semasa beliau mengajar di Hauzah Ilmiyah Qum, saat membuka pelajaran, beliau selalu membaca doa Sya’baniyah; doa yang biasa dibaca Imam Ali bin Abi Thalib dan para imam lainnya. Petikan doa itu sebagai berikut:

“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keterputusan sempurna (total) dari segala sesuatu selain-Mu. Terangilah penglihatan hati kami dengan cahaya penglihatan-Mu, sehingga pengihatan hati kami dapat merobek tirai cahaya dan sampai ke sumber keagungan. Ya Ilahi, dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, karuniakanlah kami keterputusan sempurna dari segala sesuatu selain-Mu.”

Sekarang marilah kita perhatikan bersama kisah berikut.

Di tahun terakhir usianya, Imam Khomeini amat mencintai cucunya, Sayyid Ali, putera Sayyid Ahmad. Dalam riwayat disebutkan bahwa pabila seseorang berada di ambang kematian dan Malaikat Izrail berada di sampingnya untuk mencabut nyawanya, sementara orang itu memiliki kecintaan kuat terhadap sesuatu, maka pada saat-saat genting tersebut, setan akan hadir di sisinya dan berusaha keras lewat perantaran sesuatu yang dicintainya itu untuk menyelewengkannya ke dalam kekafiran dan kesesatan.

Demi menjaga agar jangan sampai dipengaruhi setan, pada hari-hari terakhir usianya, Imam Khomeini memisahkan diri dari Sayyid Ali. Beliau mengeluarkannya dari kamar beliau, sehingga hati dan perhatiannya hanya tertuju semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Inilah makna nyata dari keterputusan sempurna dari selain Allah; terputus dari makhluk dan hanya terikat kepada Allah.

Mukjizat Rasulullah

Seorang Arab badui (tinggal di padang pasir) berhasil menangkap seekor rusa dan mengika lehernya, lalu membawanya ke Madinah.

Rasulullah saww yang sedang berada di luar kota Madinah mendengar suara panggilan, “Wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saww menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun beliau saww tidak melihat seorang pun. Untuk kedua kalinya, beliau saww mendengar panggilan itu. Beliau pun menoleh. Namun beliau tak melihat orang yang memanggilnya. Akhirnya beliau melihat seorang Arab badui sedang membawa seekor rusa. Beliau saww tahu bahwa panggilan itu berasal dari rusa tersebut.

Rasulullah mendekati rusa itu dan bertanya, “Apa keperluanmu?”

Rusa itu menjawab, “Saya punya dua anak yang masih menyusui dan berada di balik gunung itu. Saya berharap sudilah kiranya Anda menjadi jaminan bagi kebebasanku, agar aku dapat pergi menyusui mereka dan kembali lagi.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah engkau pasti akan kembali?” Rusa menjawab, “Jika saya tidak kembali, semoga Allah menyiksaku dengan siksaan orang-orang yang memakan riba.”

Lalu Rasulullah saww membicarakan soal pembebasan rusa dengan Arab badui itu. Ia menerimanya. Rasulullah saww melepaskan rusa itu yang langsung berlari ke balik gunung demi menemui anak-anaknya. Selang beberapa jam, rusa itu kembali.

Kejadian ini membuat Arab badui tersadar. Ia berkata kepada Rasulullah saww, “Saya akan memenuhi apapun yang Anda inginkan.” Rasulullah saww bersabda, “Lepaskanlah rusa ini.”

Arab badui itu melepaskan sang rusa dan berlari ke padang pasir seraya berkata, “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Tuhan yang Mahaesa, dan engkau (Hai Muhammad) adalah utusan Allah.”

Kedermawanan dan Kemuliaan Imam Husain

Seorang muslim Madinah berutang kapada seseorang. Namun ia tak mampu melunasinya. Di sisi lain, si pemberi utang memaksanya melunasi utangnya.

Orang malang ini menemui Imam Husain guna menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Setibanya di hadapan Imam Husain, ia ingin langsung mengungkapkan hajatnya. Namun Imam Husain telah mengetahui maksud kedatangannya. (Demi menjaga harga dirinya) beliau berkata kepada lelaki itu, “Jagalah harga dirimu dari meminta secara berhadap-hadapan. Tulislah permintaanmu di atas secarik kertas. Dengan seizin Allah, saya akan memberimu (sejumlah uang) yang akan menggembirakan hatimu.”

Dalam suratnya, ia menulis, “Wahai Abu Abdillah, saya berutang kepada fulan sebesar 500 dinar, dan ia memaksa saya melunasi piutangnya. Tolong Anda berbicara dengannya agar memberi saya kesempatan sampai saya memiliki sejumlah uang.”

Setelah membaca suratnya, Imam Husain masuk ke dalam rumah. Lalu beliau ke luar dengan membawa sebuah kantong berisikan uang sebanyak 1.000 dinar. Beliau menyerahkan kantong uang itu kepada lelaki tersebut seraya berkata, “Dengan 500 dinar ini, engkau melunasi hutangmu, dan dengan 500 dinar lainnya, engkau gunakan untuk keperluan hidupmu. Janganlah engkau mengungkapkan keperluanmu selain kepada tiga orang;

1. Orang yang beragama dan dijaga agamanya.

2. Orang dermawan dan dikarenakan kedermawanannya itulah ia merasa malu.

3. Orang yang berasal dari keluarga terhormat, di mana ia menyadari bahwa engkau tak ingin dipermalukan oleh kebutuhnmu, dan ia pun akan menjaga kehormatanmu serta memenuhi keperluanmu.”

Tulisan di Sayap Belalang

Diriwayatkan, Imam Husain bercerita bahwa beliau dan dua saudaranya, al-Husain dan Muhammad Hanafiah beserta tiga anak pamannya Abdullah Qutsam, dan Fadl (anak-anak dari Abbas [paman Rasul saww]), pada suatu hari duduk mengelilingi hidangan dan menikmati makanan. Tiba-tiba seekor belalang masuk ke rumah dan jatuh ke dalam hidangan. Abdullah mengambil belalang itu dan bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Junjunganku! Apa yang tertulis di sayap belalang ini?”

Imam hasan menjawab bahwa dirinya telah menanyakan hal itu kepada ayahnya yang memberi jawaban, “Aku telah menanyakan pertanyaan itu kepada kakekmu, Rasulullah saww yang kemudian menyabdakan, ‘Di sayap belalang tertulis; tak ada sesembahan melainkan Tuhan yang Mahaesa, Yang memelihara dan memberi rezeki belalang; Aku adalah Allah; kapanpun Aku menghendaki, Aku akan mengutusmu (belalang) sebagai rezeki manusia, dan kapanpun Aku menghendaki, Aku akan mengutusmu sebagai bencana bagi mereka.’”

Abdullah bin Abbas bangkit dan mencium kepala Imam Hasan kemudian berkata, “Demi Allah, ini berasal dari ilmu yang tersembunyi.”

Tujuan Pemerintahan

Ibnu Abbas berkata, “Saya tiba di kawasa Dzi Qar (dekat kota Bashrah) untuk menemui Imam Ali. Sesampainya di hadapan beliau, saya melihat beliau tengah menjahit sandalnya.

Beliau lalu bertanya kepadasaya, ‘Adakah harga bagi sepatu ini?’ Saya menjawab, ‘Sama sekali tidak ada harganya?’ Beliau berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku lebih menyukainya ketimbang kepemimpinan atas kalian kecuali jika aku mampu menghidupkan kebenaran dan menyingkirkan kebatilan.’”

Banyak Omong

Seseorang menemui Rasulullah saww dan banyak berbicara. Lalu Rasulullah saww bertanya kepadanya, “Lisanmu itu memiliki berapa pintu?” Ia menjawab, “Dua pintu; bibir dan gigi-gigi.” Rasulullah saww bersabda, “Apakah pintu-pintu itu tidak mampu menahan sebagian omonganmu?”

Kebaikan Dunia dan Akhirat

Seseorang menulis surat kepada Imam Husain. Dalam surat itu, ia menulis, “Wahai Junjunganku, apakah kebaikan dunia dan akhirat itu? Terangkanlah kepadaku.”

Imam Husain menjawab surat itu, “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amma ba’du. Orang yang menginginkan keridhaan Allah, sekalipun menyebabkan ketidakridhaan manusia, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia, dan orang yang menginginkan keridhaan manusia namun menyebabkan murka Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”

Pernyataan Nabi Isa kepada Para Pendosa

Sekelompok orang yang melakukan perbuatan dosa berkumpul di suatu tempat. Untuk menghapus dosa-dosanya itu, mereka menangis. Nabi Isa as lewat di dekat mereka dan bertanya, “Mengapa mereka menangis?” Dijawab, “Mereka menangis dikarenakan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.” Nabi Isa as berkata, “Hendaklah mereka meninggalkan dosa-dosa itu, dan mereka pun akan diampuni.”

Pembantaian di Masjid Guharsyad

Di antara keburukan pemerintahan Syah Reza Khan Pahlevi (ayah raja [Syah] yang digulingkan Imam Khomeini―penerj.)adalah menerapkan kebijakan “menyingkapkan hijab”. Sekaitan dengannya, orang-orang Syah dengan keras dan paksa melepas dan mencabut kerudung serta hijab yang dikenakan para wanita. Lebih lagi, Syah mengharuskan mereka menanggalkan hijabnya tatkala keluar rumah.

Ulama dan masyarakat di seluruh pelosok negeri bangkit menentang perintah itu. Di antaranya adalah sekelompok penentang yang berkumpul di Masjid Guharsyad yang terletak di dekat makam suci Imam Ali al-Ridha. Mereka saat itu sedang mendengar ceramah seorang ruhaniawan pejuang bernama Buhlul. Dalam ceramahnya, ia dengan berapi-api mengutuk dan menentang aturan kerajaan itu.

Panglima tentara kota Masyhad, Irej Mathbui’ (yang pada tahun 1979 dijatuhi hukuman mati) melaporkan peristiwa itu kepada Reza Khan, yang kemudian memerintahkan pasukannya memasuki makam suci Imam Ali al-Ridha dan mengintimidasi mereka. Sekiranya mereka tidak segera keluar, pasukan kerajaan diperintahkan untuk langsung mnembaki mereka. Saat itu juga Reza Khan mengutus Panglima Alborz ke Masyhad. Berdasarkan perintah Mathbu’i dan Alborz, pasukan kerajaan memasuki halaman makam Imam Ali al-Ridha dan melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang sedang mendengarkan ceramah.... Dalam peristiwa ini, 25 orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka.

Inilah kekejaman Reza Khan terhadap mereka yang berlindung di makam suci Imam Ali al-Ridha; mereka dibantai lantaran membela dan mempertahankan ajaran Islam.

Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah al-Zahra

Seorang lelaki berkata kepada isterinya, “Pergilah menemui Sayyidah Fathimah dan tanyakanlah apakah beliau menerima diriku sebagai Syiah (pengikut setia)nya?” Sang isteri berangkat menemui Sayyidah Fathimah al-Zahra. Setelah bertemu, ia pun menyampaikan pesan suaminya. Sayyidah Fathimah menjawab, “Sampaikan kepada suamimu bahwa, jika ia mengamalkan apa yang telah kami perintahkan dan meninggalkan apa yang kami larang, maka ia adalah Syiah kami. Jika tidak, maka tidak (termasuk Syiah kami).”

Sang isteri pulang menemui suaminya dan menyampaikan jawaban Sayyidah Fathimah al-Zahra. Begitu mendengar jawaban itu, si suami merasa bersedih dan menjerit, “Celakalah aku! Siapakah yang tidak terkotori dosa. Kalau tidak segera menyucikan diri dari dosa, saya bukanlah seorang Syiah. Dan kalau saya bukan Syiah, maka saya akan kekal dalam neraka.

Celakalah aku!”

Melihat kondisi suaminya yang hanyut dalam kesedihan semacam itu, sang isteri segera kembali menemui Sayyidah Fathimah al-Zahra dan menceritakan peristiwa yang disaksikannya.

Sayyidah Fathimah al-Zahra berkata kepada wanita itu, “Katakanlah kepada suamimu, ‘Bukan sebagaimana yang engkau bayangkan, para Syiah kami adalah orang-orang baik dan penghuni surga. Namun jika ia berdosa, maka berbagai bencana dan musibah yang menimpa mereka, kesulitan yang mereka hadapi di padang Mahsyar, di hari kiamat, akan menghapus dosa-dosa itu. Tatkala mereka masih berada di atas api neraka, dosa-dosanya akan berguguran. Karenanya, mereka akan bersih dan suci dari berbagai dosa. Setelah itu, kami akan menyelamatkan mereka (dari api neraka) dan membawanya ke surga.”

Mimpi Imam Khomeini

Isteri Imam Khomeini mengisahkan bahwa sekitar satu bulan setengah sebelum Imam Khomeini dioperasi (yang setelah itu beliau wafat), Imam Khomeini berkata kepadanya, “Saya bermimpi indah dan akan saya ceritakan kepadamu. Namun saya tidak rela jika selama saya masih hidup, kamu menceritakan mimpi ini kepada orang lain. Dalam mimpi itu, saya meninggal dunia dan Imam Ali datang serta memandikan, mengafani, dan menyalati jenazahku. Lalu beliau meletakkan jasadku di liang kubur, seraya bertanya, ‘Apakah sekarang kamu merasa nyaman?’ Saya menjawab, ‘Saya telah merasa nyaman, namun di sebelah kanan saya ada segenggam tanah liat yang membuat saya tidak nyaman.’ Kemudian Imam Ali mengambil gumpalan tanah liat itu seraya mengusapkan tangannya ke bagian tubuh saya yang sakit. Saat itu pula, rasa sakit saya lenyap dan saya merasa nyaman.”

Imam Khomeini dan Orang-orang Berkedok Islam

Imam Khomeini semasa diasingkan di Najaf al-Asyraf―kurang lebih, selama 15 tahun beliau hidup di pengasingan―menghadapi berbagai rintangan dan siksaan dari penguasa zalim dan orang-orang yang tidak punya komitmen terhadap Islam (kaum Islam liberal) dan para pembangkang seperti orang-orang Khawarij yang hidup di masa Imam Ali; mengenakan pakaian agama, tapi memusuhi dan menghalangi perkembangan agama.

Umum diketahui bahwa Imam Khomeini merupakan pencetus gagasan pemerintahan Islam. Dalam berbagai pelajaran yang beliau sampaikan, beliau senantiasa membahas masalah wilâyah al-faqîh dan pemerintahan Islam. Pembahasan tersebut bahkan beliau tuangkan ke dalam sebuah buku bertajuk “Hukûmat-e Islâmî wa Welâyat-e Faqih” (Pemerintahan Islam dan Wilâyah al-Faqih).

Sekelompok orang yang mengesankan diri sebagai ruhaniawan dan tokoh agama, mendatangi rumah Imam Khomeini. Mereka memohon dengan paksa agar Imam Khomeini memberi mereka buku yang beliau tulis itu, untuk dicetak dan disebarkan di Bagdad, Bashrah, dan kota-kota lainnya. Lalu mereka membawa buku itu.

Selang beberapa lama, diketahui bahwa buku tersebut tidak dijumpai di Bashrah, Baghdad, maupun di kota-kota lainnya. Para penipu itu membawa buku tersebut dan membuangnya ke sebuah sumur di kota Najaf atau di sungai Eufrat, demi menghalangi usaha dan perjuangan Imam Khomeini

Anda dapat saksikan, betapa buruknya kelakuan dan perbuatan orang-orang bodoh itu. Darinya, Anda dapat mengetahui dengan jelas bagaimana tantangan dan perlawanan yang dihadapi Imam Khomeini semasa 15 tahun pengasingannya. Namun begitu, beliau tetap teguh dan tegar sampai akhirnya meraih kemenangan.

Ikhlas Beramal

Pada suatu hari, sekelompok sahabat Ayatullah Burujurdi mengelilingi beliau. Mereka saling berbincang-bincang bersama. Salah seorang sahabat beliau (Ayatullah Sayyid Musthafa Khunshari) berkata, “Saya juga berada di antara mereka. Namun saya tidak berkata apapun. Lalu Ayatullah Burujurdi menghadap ke arah saya dan berkata, ‘Silahkan Anda menyampaikan sesuatu.’ Saya berkata, ‘Saya tidak memiliki bahan untuk dibicarakan, selain satu hadis dari kakek saya. Jika diperkenankan, saya akan menyampaikannya.’ Ayatullah Burujurdi berkata, “Ya, sampaikanlah.”

“Saya mengatakan bahwa kakek saya, Rasulullah saww menukil firman Allah: Ikhlaslah dalam beramal, sesugguhnya pemeriksa (amal perbuatan) memiliki penglihatan tajam.”

“Begitu saya menyampaikan hadis itu, Ayatullah Burujurdi langsung meneteskan air mata. Lalu beliau berkata, ‘Benar, jika amal perbuatan kita bukan untuk Allah, apa yang akan terjadi? Benar, pemeriksa amat jeli dan memiliki penglihatan yang tajam.’”

“Saya tidak lupa, bahwa setelah kejadian itu, setiap kali beliau memandang saya, beliau mengucapkan, ‘Ikhlaslah dalam beramal, sesungguhnya pemeriksa (amal perbuatan) memiliki penglihatan tajam, memiliki penglihatan tajam.’ Setelah mengucapkan itu, keadaan beliau pun berubah.’”

Menjaga Sopan Santun dalam Majelis Duka Cita

Salah seorang saat Ayatullah Burujurdi mengisahkan, “Pada suatu hari, di rumah Ayatullah Burujurdi, diadakan majelis duka cita demi memperingati wafatnya Sayyidah Fathimah al-Zahra. Hujjatul Islam Ahmad Thabathaba’i (anak beliau) duduk di sebelah saya. Setelah majelis usai, beliau menegur saya seraya berkata, ‘Mengapa Anda tidak membimbing Ahmad (karena saat itu anak beliau, Hujjatul Islam Ahmad Thabathaba’i tesenyum)? Apakah dalam mejelis duka cita Sayyidah Fathimah al-Zahra tidak diperlukan menjaga sopan santun?’”

Nasihat Seorang Bijak

Seorang cerdik dan bijak menemui raja pada masa itu. Raja berkata, “Berilah aku nasihat.”

Orang bijak itu mengatakan, “Memberi nasihat adalah mudah, namun mengamalkannya amat sulit. Sekarang dengarkanlah nasihat saya:

Kepala yang di dalamnya tidak terdapat akal

Seperti mata air yang tidak ada air

Setiap manusia tak punya kejantanan

Ibarat kebun yang tidak memiliki bunga

Setiap alim yang tidak bertakwa

Ibarat kuda yang tidak bertali kendali

Pemimpin yang tidak menjadikan rasa takut kepada Allah sebagai penuntunnya, dan tidak menjadikan sabar dan tabah sebagai sahabatnya, dan tidak memerintahkan orang-orang dekatnya bersikap adil dan jujur, layak mendapat murka Allah.”

Cahaya Iman di Hati Anak

Sahl Syusytari merupakan seorang arif besar. Beliau wafat di usia 80 tahun (pada tahun 283 Hijriah).

Beliau pernah bercerita, “Pada suatu waktu ketika masih berusia tiga tahun, saya melihat paman saya, Muhammad bin Siwar, bangun dari tempat tidur dan sibuk menunaikan shalat malam. Suatu hari ia berkata kepada saya, ‘Anakku apakah engkau tidak berzikir kapada allah yang menciptakanmu?’ Saya menjawab, ‘Bagaimana saya berzikir kepada-Nya?’ Ia berkata, ‘Sewaktu malam tiba, dan engkau sudah berada di atas tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur, ucapkanlah kalimat ini dari lubuk hatimu; Allah ada bersamaku, melihatku, dan aku berada di rumah-Nya.’”

“Beberapa malam saya mengucapkan kata-kata itu dalam lubuk hati. Lalu ia mengatakan kepada saya, ‘Ucapkanlah kalimat itu setiap malam sebanyak tujuh kali.’ Saya pun melakukannya. Rasa manis zikir itu meresap ke lubuk hati saya. Setelah setahun, ia berkata kepada saya, ‘Selama hayat masih dikandung badan, ucapkanlah selalu dalam lubuk hatimu, kalimat yang kuajarkan kepadamu. Karena kalimat itu akan menyelamatkanmu dalam dua kehidupan.’”

“Dengan begitu, cahaya iman dan tauhid telah menerangi hati saya sejak saya masih kanak-kanak.”

Menjaga Kehormatan

Almarhum Ayatullah Burujurdi pada mulanya mengajar di samping kubur Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri (terletak di sekitar makam Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah). Pada suatu hari, tatkala beliau sedang mengajar, beliau melihat seorang pelajar bersandar di kubur almarhum Syaikh Abdul Karim al-Hâ’iri. Lalu beliau menegurnya dengan nada tinggi, “Janganlah Anda bersandar pada kubur itu. Pribadi agung itu telah berjuang keras untuk Islam. Hendaklah Anda menghormatinya.”

Ayatullah Burujurdi amat menghormati buku-buku agama. Beliau berkata, “Sepanjang hidup, saya tak pernah tidur di suatu ruangan yang terdapat buku hadis Nabi saww, sekalipun sebuah buku yang hanya berisikan satu hadis Nabi saww saja.”

Pahala Besar Pernikahan

Rasulullah saww sedang duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang wanita bernama Asma puteri Yazid al-Anshari yang berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah! Saya mewakili para wanita dan hendak mengajukan satu pertanyaan kepada Anda. Allah telah mengutus Anda sebagai nabi kepada seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kami beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Tapi ajaranmu memenjarakan kami, kaum wanita, di dalam rumah. Kami tidak diperkenankan ikut campur dalam masalah sosial dan politik. Kami hanya dijadikan alat pelampiasan nafsu birahi kaum lelaki dan tukang asuh anak-anak mereka. Namun kalian, kaum lelaki, lebih mulia ketimbang kami karena kalian berkumpul bersama, bersama-sama menjenguk orang sakit, hadir dalam pengurusan jenazah, melaksanakan ibadah haji, dan lebih dari itu berjuang di jalan Allah. Sebaliknya, kami tidak dibenarkan ikut serta dalam jihad tersebut. Dan tatkala kalian menunaikan ibadah haji dan berjuang di jalan Allah, kami hanya duduk di dalam rumah, menjaga harta benda kalian, menenun kain untuk pakaian kalian, menjaga dan merawat anak-anak kalian. Apakah dalam hal ini kami akan mendapat pahala sebagaimana pahala yang kalian dapatkan?”

Rasulullah saww memandangi para sahabatnya dan bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan yang lebih baik dari yang diajukan wanita ini?” Lalu beliau memandang Asma dan bersabda, “Wahai wanita, dengarkan dan sampaikanlah kepada para wanita yang mengutusmu kemari bahwa sesungguhnya menjadi isteri yang baik bagi suami, dan berusaha mencari keridhaannya, patuh pada (perintah dan larangan)nya sebanding dengan semua itu.”

Kemudian Asma kembali menemui para wanita seraya berzikir menyebut nama Allah. Sewaktu sampai di hadapan para wanita, ia menyampaikan sabda Rasulullah saww. Semunya merasa amat bergembira. Sejak itu, mereka menjadikan Asma sebagai wakil mereka dalam menghadap Rasulullah saww.

Awal Mula Munculnya Bid’ah

Para pengikut Khalifah kedua (Umar bin Khathab) dalam azannya tidak mengucapkan kalimat, “Hayya ‘alâ khairi ‘amal (marilah kita menuju sebaik-baik amal perbuatan).” Sebagai gantinya, mereka mengucapkan, “Al-shalâtu khairun min al-naum (shalat itu lebih baik dari tidur).”

Malik bin Anas, tokoh mazhab Maliki, menulis sejarah awal mula bidah ini sebagai berikut, “Pada waktu shalat subuh, muazin khalifah kedua datang menghadap Khalifah untuk memberitahu bahwa waktu shalat subuh telah tiba. Ia mendapati Khalifah sedang tidur lelap. Untuk membangunkannya, ia berteriak, ‘Shalat itu lebih baik dari tidur.’ Kemudian Khalifah Umar terjaga. Ia menyukai kalimat itu. Lalu ia memerintah agar kalimat itu dimasukkan dalam kalimat azan. Dan mereka diperintahkan mengucapkannya pada azan subuh.”

Padahal, berpuluh-puluh riwayat yang bersumber dari Ahlusunah menyatakan bahwa semasa Rasulullah saww, kalimat tersebut tak pernah dikumandangkan dalam azan!

Kepekaan terhadap Kemungkaran

Di antara kepribadian Ayatullah Burujurdi adalah memerangi berbagal khurafat dan kemungkaran. Marilah kita perhatikan dua kisah dibawah ini.

Pada suatu hari, tatkala memasuki makam suci Imam Ali al-Ridha, Ayatullah Burujurdi melihat seorang ruhaniawan bersujud memberi hormat kepada Imam Ali al-Ridha. Menyaksikan itu, beliau menjadi amat marah dan memukulkan tongkat beliau ke punggung ruhaniawan itu, seraya membentak, “Apa yang sedang Anda perbuat? Dengan berbuat ini, Anda telah melakukan dua dosa; pertama, bersujud kepada selain Allah, dan kedua, karena Anda seorang ruhaniawan, maka orang-orang akan meniru perbuatan Anda.”

Seorang ulama bercerita bihwa pada suatu hari Ayatullah Burujurdi keluar rumah. Tiba-tiba seorang lelaki tua menghampiri beliau dan langsung menunduk dan mencium kaki beliau (demi mengungkapkan rasa hormat).

Ayatullah Burujurdi mengharamkan perbuatan itu dan menganggapnya sebagai perbuatan syirik. Beliau gusar dan memukulkan tongkatnya ke pinggang lelaki itu seraya berkata, “Ini perbuatan syirik, haram....” Setelah beliau berjalan beberapa langkah, beliau memanggil lelaki tua itu. Kemudian dengan lemah lembut, beliau berkata, “Perbuatan yang telah Anda lakukan itu syirik dan menurut syariat hukumnya haram.” Kemudian beliau memberi sejumlah uang kepada lelaki itu. Saya ingat betul bahwa uang yang beliau berikan kepada lelaki itu jumlahnya cukup bnyak.

Kerendahan Ali bin Abi Thalib di Hadapan Allah

Imam Ali banyak memberi sedakah dan bantuan kepada orang-orang miskin. Seseorang yang menemui beliau berkata, “Betapa banyak Anda bersedekah! Tidakkah Anda menyisakannya untuk diri Anda sendiri?”

Imam Ali menjawab, “Benar, demi Allah, kalau saya tahu bahwa Allah telah menerima suatu perbuatan wajib yang telah saya kerjakan, maka saya tak akan berlebihan dalam bersedekah. Tapi saya tidak tahu apakan perbuatan ini diterima Allah atau tidak (karena saya tak mengetahui, maka saya akan memberi sedekah sebanyak mungkin sehingga salah satu di antaranya diterima Allah).”

Dengan cara itu dan penuh kerendahan hati, Imam Ali menyatakan bahwa dirinya tidak menghiraukan masalah diterimanya amal perbuatannya. Beliau lebih memperhatikan sisi kualitas amal perbuatan, bukan kuantitasnya. Dari sini, kita dapat menarik pelajaran dilakukan bahwa amal perbuatan kita dilakukan secara ikhlas. Inilah prasyarat utama bagi diterimnya amal perbuatan oleh Allah Swt.

Pertemuan Imam Husain dan Umar bin Sa’ad di Karbala

Imam Husain (demi menyempurnakan hujah) mengirim pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dan berbicara dengannya. Umar bin Sa’ad menerima undangan Imam Husain dirancanglah sebuah pertemuan antara kedua pasukan; Umar bin Sa’ad dengan dua puluh pasukannya dan Imam Husain dengan dua puluh sahabatnya.

Dalam pertemuan itu Imam Husain berkata kepada para sahabatnya, “Kalian keluar dari majelis ini kecuali Abbas dan Ali Akbar.”

Umar bin Sa’ad juga berkata kepada pasukannya, “Kalian keluar dari majelis ini, kecuali anakku Hafsh dan budakku.” Kemudian terjadilah dialog.

Imam Husain, “Celakalah engkau! Hai Umar bin Sa’ad, apakah engkau tidak merasa takut pada saat kembali kepada Allah, karena memerangiku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera Fathimah dari Ali.... Hai Ibnu Sa’ad! Tinggalkan mereka (orang-orang Yazid) dan bergabunglah bersama kami. Itu amat baik bagimu, dan engkau akan dekat dengan Allah.”

Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan menghancurkan rumahku.”

Imam Husain, “Kalau mereka menghancurkannya, aku akan membangunnya kembali.”

Umar bin Sa’ad, “Saya khawatir mereka akan merampas kebunku.”

Imam Husain, “Kalau mereka merampasnya, aku akan memberimu tanah yang ada di Hijaz, yang terdapat mata air yang besar; mata air yang ingin dibeli Muawiyah dengan ribuan dinar, namun tidak dijual kepadanya.”

Umar bin Sa’ad, “Saya punya anak isteri. Saya khawatir mereka akan diganggu dan disiksa.”

Imam Husain terdiam. Beliau tidak memberi jawaban. Lalu beliau bangkit dan menjauh darinya, seraya berkata, “Apa yang telah engkau perbuat? Semoga Allah membunuhmu di tempat tidurmu. Semoga di hari kiamat, Allah tidak mengampunimu. Dan semoga engkau tidak memakan gandum dari (kota) Rayy, kecuali hanya sedikit.”

Umar bin Sa’ad menjawab dengan nada mengejek, “Cukup sya’irnya saja (maksudnya, jika tidak memakan gandumnya, saya cukup dengan memakan sya’ir [sejenis gandum kualitas rendahan]-nya).”

Betapa keji Umar bin Sa’ad. Sembga Allah menimpakan siksaan yang setimpal. Jawaban terakhirnya kepada Imam Husain sungguh tidak masuk akal. Dirinya begitu takut dan khawatir terhadap nasib keluarganya (yang akan disiksa dan disakiti). Namun, hatinya tidak merasa sedih pabila keluarga Rasulullah dan puteri-puteri Fathimah disiksa dan disakiti.

Hamid bin Muslim berkata bahwa dirinya adalah teman Umar bin Sa’ad. Setelah peristiwa Karbala, ia bertemu dengan Umar dan menanyakan keadaannya. Umar menjawab, “Jangan engkau bertanya keadaanku. Tak seorang pun yang bepergian lalu kembali ke rumah dengan memikul dosa sebesar yang saya pikul; saya telah memutus hubungan keluarga dan melakukan dosa yang sangat besar (antara Umar bin Sa’ad dengan Imam Husain masih terdapat hubungan kekerabatan mengingat ayah Umar bin Sa’ad (Sa’ad bin Waqqash) adalah cucu Abdu Manaf (kakek ketiga Rasulullah saww).”

Abu Jahal Dibunuh Dua Anak-anak

Pada tahun kedua Hijriah, terjadilah peperangan antara muslimin dan musyrikin yang disebut perang Badar. Abu Jahal merupakan tokoh musyirikin yang ikut serta dalam peperangan itu. Dengan semangat berkobar, ia mendorong musyrikin bangkit melawan Rasulullah saww. Saat itu, ikut pula dua orang anak yang masih berusia sekitar 14 tahun. Keduanya sama-sama bernama Ma’adz (Ma’adz bin Umar dan Ma’adz bin Afra’) dan berhasil membunuh Abu Jahal. Kisahnya di bawah ini.

Abdurahman bin ‘Auf menceritakan bahwa dalam peperangan itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri barisan pasukan muslimin. Tiba-tiba ia melihat dirinya sudah diapit dua anak muda belia yang berasal dari keluarganya juga (kaum Anshar). Saat itu―demi kedua anak itu―ia berharap para musuh tidak menyerang ke arahnya .

Salah seorang anak itu bertanya kepadanya, “Hai Paman! Apakah Anda mengetahui, mana yang bernama Abu Jahal? Tunjukkanlah orangnya.”

Abdurrahman menjawab, “Saya tahu, wahai anak pamanku. Apa urusanmu dengan Abu Jahal?”

Ia menjawab, “Saya mendapat kabar bahwa ia telah memaki Rasulullah saww. Demi Allah yang nyawaku ada di tangan-Nya, kalau saya mengetahui Abu Jahal, saya tak akan meninggalkannya sampai salah satu dari kami mati.”

Anak yang satunya lagi juga melontarkan pertanyaan semacam itu. Abdurrahman merasa kagum atas keberanian kedua anak itu. Tak lama kemudian, ia melihat Abu Jahal berada dibarisan musuh, sedang berteriak-teriak memompa semangat juang pasukannya. Lalu Abdurrahman menunjukinya dengan mengatakan, “Itulah Abu Jahal.” Kontan mereka berdua berlari secepat kilat ke arah Abu Jahal dengan menghunus pedangnya. Keduanya menyerang Abu Jahal. Akhirnya Abu Jahal tewas di tangan keduanya. Setelah itu, mereka berdua menghadap Rasulullah saww dan menceritakan peristiwa terbunuhnya Abu Jahal.

Rasulullah saww bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang telah membunuhnya?” Masing-masing menjawab, “Saya yang membunuhnya.” Rasulullah saww bertanya, “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” Keduanya menjawab, “Belum.” Lalu Rasulullah saww melihat kedua pedang nillik mereka. Be1iau melihat keduanya diwarnai darah. Kemudian beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.”

Bersyukur kepada Allah

Pada suatu hari, Syaikh Abu Said (Seorang ‘urafâ’ yang wafat pada 440 Hijriah) melintasi jalan bersama murid-muridnya. Seorang wanita tiba-tiba melemparkan sejumlah abu dari atas rumah. Sebagian abu itu mengenai pakaian Syaikh Abu Said. Namun Syaikh tidak gusar karenanya. Lain hal dengan para muridnya yang merasa jengkel dan hendak memaki wanita itu.

Syaikh Abu Said berkata kepada para muridnya itu, “Tenang! Seorang yang layak dilempar api, namun hanya dilempar sedikit abu saja, sungguh layak bersyukur.”

Mereka terkesima oleh nasihat itu dan mengurungkan niat untuk membalas si wanita itu dan melanjutkan perjalanannya.

Menyimpa Rahasia

Pada suatu hari, seseorang datang menemui Syaikh Abu Said dan berkata, “Wahai Syaikh! Saya datang kepadamu, agar Anda mau mengajariku rahasia kebenaran.” Syaikh berkata, “Sekarang pulanglah. Besok datang lagi kemari. Saya akan memberimu sebuah pelajaran.”

Lelaki itupun pergi. Keesokan harinya, ia kembali menemui Syaikh. Sebelumnya, Syaikh memasukkan seekor tikus ke sebuah kotak tempat permata dan menutupnya rapat-rapat. Ketika lelaki itu datang, Syaikh memberi kotak itu kepadanya seraya berkata, “Bawalah kotak ini. Usahakan jangan sampai tutupunya terbuka.”

Lelaki itu membawa kotak tersebut. Dikarenakan rasa ingin tahu yang begitu menggelitik hatinya tentang gerangan apa yang ada dalam kotak itu, akhirnya ia membuka tutup kotak itu. Tiba-tiba ia melihat seekor tikus keluar dari kotak tersebut dan lari. Ia kembali menemui Syaikh dan berkata, “Saya menginginkan dari Anda soal rahasia Allah. Namun mengapa Anda memberi saya seekor tikus?”

Syaikh menjawab, “Hai Darwisy! Aku memberimu seekor tikus dalam kotak, dan kamu tidak mampu menyimpannya. Lalu bagaimana bila aku mengungkapkan kepadamu berbagai rahasia Allah? Mungkinkah kamu mampu menyimpannya?”

Mereka yang mengetahui rahasia al-Haq

Mereka mengunci dan menjahit mulutnya

Keikhlasan dan Kesadaran Marja’ Taqlîd

Seseorang mencetak kalender dan menaruh gambar Ayatullah Burujurdi di lembaran kalender tersebut. Lalu orang itu―untuk urusan tertentu―menemui Ayatullah Burujurdi (dengan membawa kalender tersebut dan berharap Ayatullah Burujurdi mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan kepentingan pribadinya).

Saat berjumpa dengan Ayatullah Burujurdi, ia membawa kalender itu sedemikian rupa sehingga Ayatullah Burujurdi dapat melihat gambar beliau yang terpampang di situ. Ayatullah Burujurdi berkata kepadanya, “Apakah Anda mengira bahwa dengan cara itu, Anda dapat mempermainkan saya? Tidak, sama sekali tidak!”

Dengan demikian, pribadi agung dan mulia itu, telah mengajarkan kita tentang keikhlasan, dan menjauhkan diri dari sikap bangga diri (‘ujub) dan suka pamer (riyâ’). Beliau juga telah mengajarkan kita untuk senantisa sadar dan tidak sampai termakan tipuan orang-orang yang hendak memanfaatkan kita.

Tahun yang Baik Diketahui dari Musim Seminya

Hatim al-Tha’i adalah orang yang dikenal amat dermawan. Saudaranya juga menginginkan dirinya dikenal sebagai dermawan seperti Hatim. Ibunya berkata, “Janganlah engkau melakukan usaha yang sia-sia. Engkau sama sekali tak akan mampu mencapai derajat Hatim.” Ia bertanya, “Mengapa?” Ibunya menjawab, “Sewaktu Hatim masih kanak-kanak dan menyusui, setiap kali aku hendak menyusuinya, ia menolak, sampai aku harus mendatangkan anak-anak lain yang juga masih menyusui untuk menyusu di puting susuku yang lain. Namun, sewaktu engkau masih bayi, yang terjadi justru sebaliknya; setiap kali aku menyusuimu, engkau langsung menyusu, dan jika ada anak-anak lain yang masih menyusui berada di dekatku―lantaran khawatir kalau-kalau anak itu juga ikut menyusu―engkau akan menangis sekeras-kerasnya sampai anak itu pergi.”

Ya, tanda-tanda kemuliaan dan kehinaan di masa datang, adakalanya dapat diketahui sejak seseorang masih kanak-kanak. Benar, “Suatu tahun yang baik, dapat diketahui dari musim seminya (awal tahunnya).”

Beramal untuk Akhirat Bukan untuk Dunia

Tatkala hendak menyelamatkan diri dari kejahatan Firaun, Nabi Musa as berhijrah dari Mesir ke daerah Madain. Di luar Madain, beliau melihat para pengembala sedang mengambil air dari sebuah sumur untuk minum kambing yang mereka gembalakan. Beliau melihat dua orang wanita berdiri menunggu sampai sepi untuk mengambil air bagi kambing-kambingnya.

Nabi Musa as menghampiri mereka dan membantu mengambilkan air dari sumur. Mereka berdua adalah puteri Nabi Syuaib as. Hari itu, kedua puteri tersebut lebih cepat pulang ke rumah. Keduanya lalu menceritakan bantuan seorang pemuda asing dalam mengambil air di sumur.

Nabi Syuaib as mengutus seorang puterinya untuk menemui pemuda asing itu dan mengundangnya ke rumah. Puteri tersebut pergi menemui Nabi Musa as dan berkata, “Ayahku mengundang Anda datang ke rumah kami, dan hendak memberi balasan atas jerih payah Anda.”

Nabi Musa as menerima undangan itu dan pergi ke rumah Nabi Syuaib as. Ketika masuk ke rumah itu, Nabi Musa as melihat Nabi Syuaib as sedang duduk di hadapan sebuah hidangan malam. Beliau mengajak Nabi Musa as makan bersama. Tatkala pandangannya tertuju pada pemuda asing itu, Nabi Syuaib as berkata, “Duduklah, silahkan santap makanan ini (sampai saat itu Nabi Syuaib as belum mengenal Nabi Musa as).”

Nabi Musa as menjawab, “Aku berlindung kepada Allah.”

Nabi Syuaib as bertanya, “Mengapa Anda mengucapkan kalimat itu? Apakah Anda tidak lapar?”

Nabi Musa as menjawab, “Benar, saya lapar, tapi saya khawatir makanan ini menjadi upah atas bantuan saya terhadap puteri-puteri Anda. Kami berasal dari keturunan yang sama sekali tidak akan menjual amal akhirat dengan dunia yang penuh emas sekalipun.”

Nabi Syuaib as berkata, “Wahai pemuda! Tidaklah demikian. Demi Allah, tujuan saya bukanlah balasan duniawi. Namun kebiasaan dan tradisi ayah-ayah kami adalah memuliakan dan menghormati tamu, serta memberi makanan kepada orang lain.”

Mendengar itu Nabi Musa as langsung duduk di depan hidangan dan menikmati makanan yang tersaji.

Tauhid Murni

Suatu hari, Rasulullah saw bersabda kepada sekumpulan orang, “Barangsiapa berjumpa dengan Allah, dengan ikhlas mengakui keesaan-Nya, dan kesaksiannya atas keesaan Allah itu tidak dicampuri dengan yang lain, pasti akan masuk surga.”

Imam Ali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Bagaimanakah mengucapkan kalimat ‘tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallâh)’ secara murni? Dan bersaksi atas keesaan Allah tanpa dicampuri sesuatupun? Jelaskanlah kepada kami, agar kami mengetahuinya.”

Rasulullah saww bersabda, “Benar, jika hatinya terikat dengan dunia, manusia memperolehnya (dunia) dengan jalan yang tidak dibenarkan syariat. Pembicaraan mereka adalah pembicaraan orang-orang yang luhur, namun perbuatan dan perilaku mereka, seperti perilaku orang-orang zalim; dan bila seorang yang bersaksi atas keesaan Allah [dengan mengucapkan ‘lâ ilahâ illallâh’] sementara berbagai perkara tersebut (terikat dengan dunia, memperoleh dunia dengan cara melanggar syariat, berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang zalim) tak ada pada dirinya, maka ia layak mendapatkan surga.”