PASAL I
IMAN DAN TANDA-TANDA MUKMIN
Arti dan Maksud Iman
Asal arti iman adalah membenarkan dan meyakini suatu kebenaran. Akan tetapi, kosa kata iman ini telah menjadi lambang khusus syari’at Nabi kita Muhammad saw.
Oleh karena itu, setiap mazhab dan aliran Islam berbeda pendapat dalam mengartikan kosa kata tersebut.
Mu’tazilah, Khawarij, Zaidiyah dan Ahlul Hadits meyakini bahwa iman adalah nama untuk pekerjaan-pekerjaan hati dan anggota badan yang disertai pernyataan lisan, dan iman meliputi ketaatan kepada Allah dan mengenal-Nya disertai dengan argumen-argumen aqli dan naqli. Oleh sebab itu, mengingkari salah satu dari hal-hal di atas menyebabkan kekufuran.
Abu Hanifah dan (Abul Hasan) Al-Asy’Ari meyakini bahwa iman dapat dicapai dengan keyakinan hati dan pernyataan lisan.
Kelompok ketiga meyakini bahwa iman cukup dengan keyakinan hati. Dari pendapat ini, muncul pendapat yang lebih ekstrim, yang hanya membatasi iman hanya dalam ruang lingkup mengetahui Allah dalam hati semata. Atas dasar ini, barang siapa telah meyakini Allah (denganinya) kemudian mengingkari-Nya dengan lisannya saja lalu ia mati, maka ia mati sebagai mu’min yang sempurna imannya.
Golongan keempat meyakini bahwa iman cukup dengan pengakuan lisan semata. Dari golongan ini muncul kelompok cabang yang meyakini bahwa iman di samping pengakuan lisan, harus disertai pula dengan mengetahui (Allah) di dalam hati.
Akan tetapi, kalau kita meneliti ayat-ayat Alquran, kita akan menemukan hakekat iman yang berbeda dengan arti-arti yang telah disebut di atas. Iman bukanlah sekedar memiliki pengetahuan tentang sesuatu dan meyakini kebenarannya. Karena betapa banyak orang yang telah mengetahui dan meyakini kebenaran Islam, akan tetapi hal itu justru menjerumuskan mereka ke dalam jurang pengingkaran, kekufuran, menghalangi-halangi orang lain untuk berjalan di atas jalan Allah dan penentangan terhadap Rasulullah saw.
Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman:
﴿إن الذين ارتدوا علی أدبارهم من بعد ما تبين لهم الهدی إن الذين کفروا وصدوا عن سبيل الله وشاقوا الرسول من بعد ما تبين لهم الهدی﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekufuran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syetan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa)...”, “Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta memusuhi Rasulullah setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudlarat kepada Allah sedikitpun...”.
Bahkan ada sebagian dari mereka yang disesatkan oleh Allah. Allah berfirman:
﴿وأضله الله علی علم﴾
“Dan Allah menyesatkannya dengan pengetahuan yang dimilikinya”.
Oleh karena itu, pengetahuan dengan sendirinya tidak cukup untuk dijadikan tolok ukur iman selama tidak disertai oleh keyakinan hati yang mantap dan kemudian direalisasikannya dalam bentuk perilaku dan amal.
Pernyataan “iman hanyalah amal belaka” juga tidak dapat dibenarkan. Karena amal bisa tercampur dengan kemunafikan, bahkan orang-orang munafik mengenal kebenaran secara argumentatif. Meskipun demikian, orang munafik tidak termasuk golongan orang-orang beriman.
Berkenaan dengan ini, telah sampai kepada kita hadits-hadits shahih yang mengartikan iman secara tepat dan menyatakan bahwa iman dapat ditegakan dengan tiga pilar utama: keyakinan, pernyataan lisan dan amal.
Amirul Mu’minin a.s. pernah ditanya tentang definisi iman. Beliau menjawab:
الإيمان معرفة بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالأرکان
“Iman adalah keyakinan hati, pernyataan lisan dan amal.”
Imam Al-Baqir a.s. ketika membedakan antara Islam dan iman berkata:
الإيمان إقرار وعمل والإسلام إقرار بلا علم
“Iman adalah pengakuan dan amal, sedangkan Islam adalah pengakuan tanpa amal”.
Imam Ash-Shadiq a.s. menekankan keserasian antara perkataan dan amal demi terealisasikannya iman (dalam diri manusia). Beliau berkata:
ليس الإيمان بالتحلي ولا بالتمني، ولکن الإيمان ما خلص في القلب وصدقته الأعمال
“Iman bukanlah sekedar pakaian untuk berhias dan angan-angan. Akan tetapi, iman adalah keyakinan yang mantap di dalam hati yang kemudian dibenarkan oleh amal”
Salam Al-Ja’fi berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah a.s. tentang iman. Beliau berkata: “Iman adalah taat kepada Allah dan tidak melanggar (perintah dan larangan-Nya)”
Dari hadits-hadits di atas dan yang sejenisnya, jelas bahwa Ahlul Bayt a.s. menolak iman yang hanya pernyataan lisan, keyakinan hati atau kedua-keduanya (selama tidak disertai oleh amal). Pemahaman iman semacam ini adalah pemahaman yang sangat dangkal. Iman selama tidak disertai oleh ketaatan mutlak kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya adalah iman yang tidak memiliki rub dan kehidupan.
Oleh karena itu, iman selain keyakinan hati dan pernyataan lisan harus disertai oleh amal. Kita dapat melihat peluasan ruang lingkup iman dalam hadits Imam Ash-Shadiq a.s. ketika beliau menjawab pertanyaan, ‘Ajlan bin Shalih berkenaan dengan batas-batas iman. Beliau berkata: “ (Iman adalah) bersaksi bahwa tiada tuhan seiain Allah dan Muhammad Rasulullah, meyakini (kebenaran) segala yang beliau bawa dari sisi-Nya, menunaikan shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, melaksanakan haji ke Baitullah, berwilayah kepada wali kami, memusuhi musuh-musuh kami dan bersama orang-orang yang benar”
Atas dasar ini, iman menurut pandangan Ahlul Bayt a.s. bukan semata keyakinan hati yang tidak disertai oleh amal. Iman memiliki tiga pondasi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dari yang lainnya : keyakinan hati, pernyataan lisan sebagai konsekuensi dari keyakinan hati tersebut dan amal sebagai konsekuensi dari dua pondasi itu.
Dalam kaitannya dengan ini Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Iman adalah sebuah pengakuan yang tidak dibenarkan kecuali dengan bukti. Dan bukti iman (seseorang) adalah amal dan niatnya”.
Dalam hadits di atas Imam Ash-Shadiq a.s. telah meletakkan tolok ukur paten bagi iman: pertama, tolok ukur batiniyah yang mengacu kepada niat dan keyakinan hati seseorang, dan kedua, tolok ukur lahiriah yang mengacu kepada penerjemahan keyakinan hati tersebut dalam amal. Atas dasar ini, barang siapa yang ingin memisahkan iman dan amal, ia akan terjerumus ke dalam jurang kemunafikan.
Oleh karena itu, para imam a.s. menekankan, iman adalah satu kesatuan yang terbentuk dari tiga tonggak utama yang tidak dapat dipisahkan: keyakinan hati, pernyataan lisan dan amal.
Abush Shalt Al-Hirawi berkata: “”Aku pernah bertanya kepada Imam Ar-Ridla a.s. mengenai iman. Beliau menjawab:
الإيمان عقد بالقلب ولفظ باللسان وعمل بالجوارح، ولايکون الإيمان إلا هکذا
“Iman adalah keyakinan hati, pernyataan lisan dan amal. (Hakekat) iman tidak akan dicapai oleh seseorang kecuali dengan ketiga perkara tersebut”.
Ungkapan terakhir Imam Ar-Ridla a.s. tersebut adalah bukti jelas atas pandangan Ahlul Bayt a.s. di atas.
Pandangan Ahlul Bayt ini sebenarnya bersumber dari ajaran-ajaran wahyu yang murni, bukan pandangan yang tidak berasas atau yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran teologik (yang berkembang pada masa kehidupan mereka). Ketika kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, akan kita temukan sebuah hadits yang berbunyi:
الإيمان والعمل شريکان في قرن، لايقبل الله تعالی أحدهما إلا بصاحبه
“Iman dan amal adalah dua sejoli (yang tidak dapat dipisahkan). Allah tidak akan menerima salah satunya kecuali jika disertai dengan yang lainnya”.
Ayat-ayat Alquran menguatkan pandangan bahwa iman adalah berdirinya tiga pilar tersebut. Allamah Ar-Raghib Al-Ishfahani berkata: “Iman kadang-kadang digunakaIi sebagai nama semata bagi orang yang memeluk Islam, mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai Nabi-Nya. Allah berfirman:
﴿إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئين﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi dan Shabi’in”
Ayat ini menyebutkan sifat semua orang yang menerima syari’at Allah adalah orang yang mengakui ketuhanan Allah dan kenabian Muhammad. Ayat lain menegaskan:
﴿وما يؤمن أکثرهم بالله إلا وهم مشرکون﴾
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan (dengan sesembahan-sesembahan lain)”.
Dalam arti yang lain, iman berarti keyakinan ati mengenai satu kebenaran. Arti ini memiliki tiga pondasi pokok: keyakinan hati, pengakuan lisan dan amal. Allah berfirman:
﴿والذين آمنوا بالله ورسله أولئک هم الصديقون﴾
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, mereka adalah Shiddiqin”.
Jika seseorang berkata, Allah dalam sebuah ayat berfirman :
﴿والذين آمنوا وعملوا الصالحات أولئك أصحاب الجنة﴾
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka adalah penduduk surga”.
Dalam ayat di atas Allah memisahkan iman dari amal dengan kata “dan”. Ini menunjukkan bahwa amal bukan bagian pokok dari iman.
Jawab: yang dimaksud dengan iman dalam ayat di atas adalah sekedar keyakinan dan pembenaran, sebagaimana ayat yang menceritakan peristiwa saudara-saudara Nabi Yusuf a.s.:
﴿وما أنت بمؤمن لنا ولو کنا صادقين﴾
“Dan kamu tidak akan membenarkan kami meskipun kami berkata benar”,
, Adapun iman yang sempurna hendaknya si mu’min beramal sesuai dengan tuntutan imannya, menjaga iman tersebut dari godaan hawa nafsu dan rela memikul segala kesulitan demi menjaga imannya. Semua ini dapat dicapai hanya dengan ketaatan mutlak kepada Allah swt.
Kesimpulannya, iman memiliki dua ingkatan: pertama, sekedar pengucapan dua kalimat syahadah. Ini adalah tingkatan terendah dari iman. Setiap orang yang memeluk agama Islam dan mengakui Allah dan Nabi-Nya, memiliki iman ini. Kedua, di samping keyakinan dan pembenaran dengani, iman pada tingkatan ini juga disertai dengan pernyataan lisan dan amal. Yang dimaksud dengan amal di sini adalah menjalankan seluruh hukum Islam; melaksanakan kewajiban dan menjauhi kemunkaran. Iman tingkat kedua inilah yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah, dan yang akan menjadi titik pembahasan kita di dalam buku ini.
Atas dasar ini, iman adalah program kehidupan manusia yang sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan, bukan sekedar keyakinan yang terpendam di dalam hati atau pernyataan lisan belaka.