Tanda-tanda Mu’min
Tanda-tanda pokok yang membedakan seorang mu’min dari selainnya, dapat digolongkan ke dalam empat bagian:
1. Praktek ritual
Ibadah adalah realisasi hakiki iman seorang mu’min. Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada Allah, secara otomatis ia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan ritus-ritus keagamaan sebagai ungkapan atas rasa penghambaan dan terima kasihnya yang dalam terhadap Penciptanya.
Ibadah yang paling utama sebagai jelmaan iman adalah melaksanakan semua kewajiban yang telah Allah bebankan di atas pundaknya, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lainnya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Tiada ibadah yang paling utama dari melaksanakan fara’idl (kewajiban-kewajiban yang telah Allah bebankan kepada manusia)”.
Abu Abdillah a,s. juga berkata: “(Suatu hari) malaikat Jibril turun kepada Nabi saw (dengan membawa wahyu dari Allah) seraya berkata: ‘Wahai Muhammad, hamba-Ku tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Ku kecuali dengan melaksanakan fara’idl. Dan ketika ia juga melaksanakan ibadah-ibadah sunnah (di samping fara’idl tersebut), Aku akan lebih mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang ia mendengar (segala sesuatu) dengannya, menjadi matanya yang ia melihat (segala sesuatu) dengannya dan menjadi tangannya yang ia melaksanakan segala sesuatu dengannya”.
Antara iman dan ibadah terdapat hubungan yang sangat kokoh. Ketika iman seorang hamba bertambah, ia akan lebih tekun beribadah, dan sebaliknya. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam sejarah hidup Ahlul Bayt a.s. sebagai lambang utama dalam melaksanakan ibadah.
Ketika waktu shalat tiba, badan mereka gemetar dan pucat pasi karena takut kepada Allah. Sebagai contoh, Abu Abdillah Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ayahku (Imam Al-Baqir a.s.) berkata: ‘Ketika Ali bin Husein berdiri untuk mengerjakan shalat, ia bak sebatang kayu kering berdiri tegak tak bergerak kecuali (pakaiannya) berderai bergerak ditiup angin”.
Ibadah yang sejati dapat menimbulkan keajaiban-keajaiban dan menganugerahi seorang mu’min karamah serta hati yang bersih. Kadang-kadang ibadah tersebut dapat memberikan kemampuan kepadanya untuk mengetahui isi hati orang lain.
Marilah kita simak bersama cerita di bawah ini yang mengungkapkan sebagian karamah yang dimiliki oleh Imam Musa Al-Kadzim a.s. (Cerita ini tertulis dalam buku-buku hadits Ahlus Sunnah).
Syaqiq Al-Balkhi berkata: “Pada tahun 149 H. aku melaksanakan ibadah haji. Ketika aku sampai di Al-Qadisiyah, aku melihat manusia yang begitu banyak dan berpakaian mewah. Tiba-tiba mataku tertumpu pada seorang pemuda berwajah tampan, berjubah kulit dan duduk menyendiri. Aku berkata dalam hatiku: Pemuda ini adalah pengikut aliran sufi yang hanya menjadi beban masyarakat. Aku akan menghampiri dan menasehatinya’.
Ketika aku telah dekat darinya, ia berkata kepadaku: ‘Wahai Syaqiq, Jauhilah kebanyakan pransangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa’.
Kemudian ia meninggalkanku sendirian. Aku terperanjat dan berkata dalam hatiku: ‘Kejadian ini amatlah aneh. Ia telah mengungkapkan apa yang terlintas dalam benakku dan menyebut namaku. Sungguh ia adalah seorang hamba yang saleh. Aku harus mengejarnya demi memohon darinya untuk meminta maaf atas prasangka jelekku itu’.
Aku sepat-cepat membututinya. Akan tetapi aku tidak dapat mengejarnya. Ia seakan-akan raib tertelan bumi.
Ketika kami sampai di Waqishah, aku melihatnya sedang melaksanakan shalat. Semua anggota badannya gemetar dan air matanya mengalir deras. Aku berkata dalam hatiku: ‘Inilah orang yang kucari. Aku akan mohon darinya untuk menghalalkan prasangka jelekku itu’. Aku menunggunya sehingga ia menyelesaikan shalatnya.
Ketika aku mendekat, ia berkata kepadaku: ‘Wahai Syaqiq, bacalah “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh kemudian tetap di jalan yang benar”.
Setelah berkata begitu ia meninggalkanku sendirian. Aku berkata dalam hatiku: ‘Pemuda ini adalah pemuda istimewa. Ia telah mengungkap apa yang terlintas dalam benakku untuk kedua kalinya’.
Ketika kami sampai di Mina, aku melihat pemuda itu berdiri di samping sumur dan tangannya memegang timba dari kulit siap untuk menimba air. Tiba-tiba timba itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam sumur. Saat itu ia memandang ke langit seraya berkata: ‘Engkaulah Tuhanku jika aku kehausan, dan pemberi rizkiku jika aku kelaparan. Wahai Tuhanku, wahai tuanku, Engkau mengetahui bahwa aku tidak memiliki alat lain kecuali timba itu. Maka janganlah Kau binasakan aku karenanya’.
Demi Allah, aku lihat air sumur meluap ke atas. Lalu ia mengambil timba yang jatuh tersebut dan memenuhinya dengan air. Selanjutnya ia berwudlu’ dari air timba tersebut dan mengerjakan shalat empat rakaat. Setelah itu, ia mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke dalam timba itu, lalu setelah ia menggerak-gerakkan timba yang berisi air bercampur pasir itu, dan ia meminum air timba tersebut. Kemudian aku menghampiri dan mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku. Aku berkata kepadanya: ‘Berilah aku seteguk air yang telah Allah anugerahkan kepadamu itu’. Ia berkata: ‘Wahai Syaqiq, nikmat Allah selalu bersama kami, baik nampak atau tidak. Oleh karena itu, janganlah berburuk sangka kepada Tuhanmu’. Kemudian ia memberikan timba itu kepadaku. Aku meminumnya. Alangkah lezat dan manisnya air itu. Demi Allah, aku tidak pernah meminum air selezat dan seharum air itu. Aku merasa kenyang dan tidak merasa kehausan selama beberapa hari. Oleh karena itu, aku tidak nafsu makan dan minum.
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihatnya lagi sehingga kami sampai di Mekah. Pada suatu hari di tengah malam, aku melihatnya kembali sedang melakukan shalat dengan penuh khusyu’ dan cucuran air mata di samping Qubbatusy Syaraab hingga malam lewat. Ketika fajar menyingsing, ia duduk di tempat shalatnya dan bertasbih. Kemudian ia melaksanakan shalat shubuh. Setelah mengucapkan salam, ia bangkit dan melaksanakan thawaf tujuh kali.
Selesai melaksanakan thawaf, ia berjalan keluar Masjidil Haram. Aku membuntutinya. Ternyata ia memiliki harta yang melimpah, tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Ia dikerumuni khalayak yang mengucapkan salam kepadanya. Aku bertanya kepada salah seorang yang berdiri dekat dariku: ‘Siapakah pemuda itu?’ Ia menjawab: ‘Pemuda ini adalah Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husein a.s.’. Aku berkata dalam hatiku: Aku sudah menyangka sebelumnya bahwa kejadian-kejadian aneh yang aku alami itu, pasti berhubungan dengan keluarga ini”.
Perlu diingat, ibadah tidak hanya terbatas pada shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban lainnya. Terdapat ibadah lain yang lebih tinggi dan mulia dari ibadah-ibadah di atas yang mengungkap kedalaman iman seseorang, seperti tafakkur dan berdzikir.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Berpikir tentang ni’mat-ni’mat Allah adalah ibadah yang terbaik”.
Dalam kesempatan yang lain, beliau juga berkata: “Berpikir tentang malakut langit dan bumi adalah ibadahnya mukhlashin (orang-orang yang disucikan oleh Allah)”.
Manusia yang selalu berpikir tentang ciptaan dan ni’mat-ni’mat Allah, secara otomatis ia akan merealisasikan hasil renungannya itu dalam bentuk dzikir yang penuh dengan pujian bagi-Nya dan kandungan irfan yang dalam. Ini adalah jelmaan iman yang paling nyata.
Oleh karena itu, pikiran manusia yang terjelmakan dalam perkataan dan amal-amalnya akan menyingkap kepribadian dan keyakinannya. Dalam kaitannya dengan ini para ahli psikologi berkata: “Katakanlah kepada kami apa yang kau pikirkan, niscaya kami akan dapat menebak siapa kamu”.
Atas dasar ini, Islam menganggap bahwa budaya berpikir adalah penyulut utama berkobarnya api iman. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ibadah itu bukan hanya dengan memperbanyak shalat dan puasa, alan tetapi ibadah itu adalah berpikir dan merenungkan tentang urusan Allah (ciptaan-Nya misalnya)”.
Ibu Abu Dzar pernah ditanya tentang ibadah putranya. Ia berkata: “Seluruh waktunya ia habiskan dalam merenungkan satu segi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia”.
2. Tanda-tanda mental dan jiwa
Perbedaan seorang mu’min dengan selain mu’min dapat dilihat dari karakter-karakter jiwa dan sikap yang dimilikinya. Karakter-karakter tersebut antara lain:
a. Teguh dan kokoh
Seorang mu’min akan selalu kokoh dalam setiap perilaku bagaikan gunung menjulang yang tidak akan tergoyahkan oleh angin yang bertiup. Dengan kesadaran dan hati pasrah terhadap segala ketentuan Allah, ia menghadapi segala kesulitan, selalu bersyukur kepada Tuhannya dan menerima segala rezeki yang dianugerahkan kepadanya.
Ia lebih mementingkan ketentraman orang dari pada ketentraman dirinya, bak pohon rindang yang tumbuh di tengah-tengah padang pasir yang panas menyengat menaungi orang-orang yang berteduh di bawahnya.
Imam Ash-Shadiq a,s. berkata: “Hendaknya seorang mu’min memiliki delapan karakter di bawah ini: tenang dalam menghadapi segala problema, sabar menghadapi segala cobaan, bersyukur ketika makmur, menerima segala rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tidak menzalimi para musuhnya, tidak membebani rekan-rekannya di atas kemampuan mereka, selalu aktif (membantu orang lain) dan orang lain merasa tentram hidup bersamanya”.
Yang perlu diperhatikan di sini, seorang mu’min di samping teguh dan tidak kenal kompromi dalam memegang imannya, ia juga bersikap lemah lembut terhadap orang lain bak padang rumput lembut yang bergerak seirama dengan gerakan angin sepoi akan tetapi tidak terbinasakan oleh angin topan. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Seorang mu’min tidak kenal kompromi dalam memegang agama, bersikap tegas dalam kelemah lembutan dan beriman dengan dasar keyakinan
.
b. Memegang teguh kebenaran
Seorang mu’min tidak akan mengikuti kehendak hatinya yang dapat menjauhkannya dari kebenaran. Begitu juga, ia akan menghadapi segala cobaan dan rintangan tanpa didasari oleh kemarahan yang terpendam dalam jiwanya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam jurang kebatilan. Sebaliknya, ketika ia memiliki kekuasaan dan kekuatan, ia tidak akan bertindak sewenang-wenang.
Karakter ini dapat kita lihat dalam diri Amirul Mu’minin a.s. Beliau memandang bahwa mengambil secuil kulit gandum secara paksa dari mulut seekor semut adalah sebuah kesewenang-wenangan dan perbuatan yang dapat menjauhkan seseorang dari kebenaran.
Beliau berkata: “Demi Allah, jika aku diberi tujuh langit beserta bintang-bintangnya supaya aku mencabut secuil kulit gandum secara paksa dari mulut seekor semut, niscaya aku tidak akan melakukan hal itu”.
Atas dasar ini, seseorang telah menjadi mu’min sejati jika ia sudah sampai pada tingkat spiritual yang tinggi, sehingga dalam kondisi bagaimanapun ia tidak akan pernah menyeleweng dari jalan kebenaran yang lurus.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Abu Hamzah meriwayatkan, Fatimah puteri Imam Husein berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang memiliki tiga sifat ini, maka telah sempurnalah imannya: jika ia rela, kerelaannya tidak akan menjerumuskannya ke dalam jurang kebatilan, jika ia marah, kemarahannya tidak akan menyesatkannya dari jalan kebenaran dan jika ia berkuasa, ia tidak akan mengambil apapun yang bukan haknya”.
Kekuatan dan kekuasaan yang sejati adalah kekuatan yang dibentuk oleh iman dan ditempa oleh keyakinan. Kekuatan itulah yang membedakan orang mu’min dari lainnya. Dengan kekuatan tersebut, ia akan mampu mengontrol gejolak jiwanya. Imam Ash-Shadiq a.s. meriwayatkan sebuah had its dari ayah dan kakek beliau, beliau berkata: “(Suatu hari) Rasulullah saw melewati satu kaum yang berlomba mengangkat batu. Ia berkata: ‘Untuk apa kalian melakukan ini?’ Mereka menjawab: ‘Dengan ini kami mengetahui orang yang paling kuat di antara kami’. Rasulullah kembali bertanya: ‘Maukah kuberitahukan siapa yang terkuat dari kalian?’ ‘Ya, wahai Rasulullah’, jawab mereka. Rasulullah bersabda: “Orang yang paling kuat di antara kalian adalah jika ia rela, kerelaannya tidak akan menjerumuskannya ke dalam jurang dosa dan kebatilan, ketika ia marah, kemarahannya tidak akan menyerongkannya dari berkata benar dan ketika ia berkuasa, ia tidak akan mengambil apa yang bukan haknya”.
c. Ceria dan lapang dada
Keceriaan akan selalu menghiasi wajah seorang mu’min walaupun sebenarnya ia memendam kesusahan dalam hatinya. Di samping itu, ia selalu lapang dada dalam menghadapi segala cobaan.
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seorang mu’min selalu ceria wajahnya dan memendam kesusahan di dalam hatinya, lapang dada, merasa hina diri (di hadapan Allah), tidak menyukai popularitas, selalu susah (memikirkan dosa-dosanya), banyak diam, tidak banyak nganggur, selalu bersyukur, sabar, selalu berpikir, sedikit kebutuhannya, lemah lembut dan mulia budi pekertinya. Jiwanya lebih teras dari batu cadas, sedangkan (di hadapan Allah) ia merasa lebih hina dari seorang budak”.
Abi Abdillah a.s. berkata: “Seorang mu’min pasti memiliki ‘du’abah’”. Saya bertanya: “Apakah ‘du’abah’ itu?” Beliau berkata: “‘Du’abah’ adalah senda gurau”.
Atas dasar ini, hendaknya keceriaan wajah selalu menghiasi wajah seorang mu’min Keceriaan wajah inilah yang mengungkap segala apa yang terpendam di hatinya. Dengan itu, ia akan membahagiakan mu’minin yang lain.
Lain halnya dengan orang munafik yang selalu memendam amarah dan kedengkian atas mu’minin. Secara otomatis, perasaan tersebut akan tampak di wajahnya.
Rasulullah saw bersabda:
المؤمِنُ دَعِبٌ لعِبٌ والمُنَافِقَ قطِبٌ غضِبٌ
“Orang mu’min senang bersenda gurau. Sedang orang munafik selalu marah dan mengerutkan dahi”.
Perlu diingat, senda gurau yang dianggap salah satu tanda-tanda iman adalah canda gurau sehat yang tidak melampui batas yang ditentukan oleh agama. Rasulullah saw selalu bersenda gurau dengan para sahabat dan Ahlul Baytnya suka membahagiakan orang lain. Akan tetapi hal itu melalui jalur yang benar yang sekiranya tidak menghilangkan kewibawaan dan kehormatan.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ash-Shadiq s.a. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:
کثرة المزاج يذهب بماء الوجه وکثرة الضّحك يمحو الإيمان
“Bergurau yang melampui batas akan menghilangkan kewibawaan, dan tertawa yang melampaui batas akan membinasakan iman”.
Abu Abdillah a.s. berkata: “Di Madinah ada seorang penganggur yang kerjanya menertawakan orang lain. Ia pernah berkata: ‘Aku tidak mampu untuk menertawakan satu orang ini’. Yang ia maksud adalah Ali bin Husein a.s. (Suatu hari) Ali bin Husein berjalan dengan diikuti oleh dua orang pembantunya. Orang tersebut mencabut jubahnya dari pundaknya (dengan maksud menertawakannya). Ali bin Husein berlalu tanpa menggubrisnya. Sahabat-sahabatnya mengejar orang tersebut untuk mengambil jubah itu darinya. Kemudian mereka m~nyelendangkan jubah itu di pundak Ali bin Husein a.s. Ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya itu: ‘Siapakah orang ini?’ ‘Ini adalah penganggur yang kerjanya hanya menertawakan penduduk Madinah’, jawab mereka. Ia menimpali: ‘Katakanlah kepadanya bahwa akan datang suatu hari yang para penganggur akan rugi pada hari itu”.
d. Berkemauan keras
Ini adalah salah satu karakter seorang mu’min yang dengannya ia dapat mengendalikan kehendak-kehendak hawa nafsunya. Manusia tanpa kemauan bagaikan kapal laut tanpa kompas.
Di sini perlu kiranya disebutkan secara global karakter-karakter lain yang seharusnya terjelmakan dalam sikap dan jiwa seorang mu’min, sebagai sifat yang membedakan dari selain mu’min, antara lain: cara pandangnya yang selektif terhadap segala sesuatu yang berada di sekitarnya, banyak diam dan berdzikir, selalu memaafkan orang yang menyakitinya dan menghendaki kebaikan orang lain.
Dalam kaitannya dengan di atas, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seorang mu’min jika melihat sesuatu, ia akan mengambil pelajaran darinya, ketika diam, ia sadar (akan dosa-dosanya), ketika ia berbicara, pembicaraannya penuh dengan dzikir, ketika merasa cukup, ia bersyukur dan ketika ditimpa musibah, ia bersabar. Ia selalu memaajkan (kesalahan orang lain) dan tidak mudah marah. Ia rela dengan pemberiaan Allah walaupun sedikit dan tidak sombong ketika diberi anugerah yang berlimpah. Ia selalu berniat untuk melaksanakan kebaikan sekaligus melaksanakannya, dan sangat menyesal ketika tidak sempat untuk melaksanakan kebaikan itu”.
e. Pandai menggunakan waktu
Waktu memiliki nilai yang agung. Atas dasar ini, orang mu’min selalu beriomba-lomba untuk menggunakan waktu itu sebaik-baiknya. Karena waktu itu adalah modal utamanya yang besar.
Ditinjau dari kandungan hadits-hadits yang mulia, orang mu’min hendaknya membagi waktunya dalam tiga bagian: waktu untuk beribadah, waktu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang positif dan waktu untuk memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal.
Arnirul Mu’minin a.s. berkata: “Mu’min itu memiliki tiga waktu: waktu untuk bermunajat dengan Tuhannya, waktu untuk memakmurkan kehidupannya dan waktu untuk memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal dan baik. Dan seorang yang berakal tidak akan mulia kecuali jika ia melakukan salah satu dari tiga hal berikut ini: memakmurkan kehidupannya, melangkah untuk menuju akherat atau memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan yang halal”.
Atas dasar ini, salah satu karakter utama orang mu’min adalah kepandaiannya memanfaatkan waktu.