Iman dan Kufur (bagian1)

Iman dan Kufur (bagian1)0%

Iman dan Kufur (bagian1) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

Iman dan Kufur (bagian1)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Markaz Al Risalah
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 4796
Download: 2647

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4796 / Download: 2647
Ukuran Ukuran Ukuran
Iman dan Kufur (bagian1)

Iman dan Kufur (bagian1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Penambah Iman

Ada beberapa faktor penting yang dapat mengantarkan manusia menuju puncak keimanan, antara lain:

1. Ilmu dan pengetahuan

Ilmu adalah puncak segala keutamaan yang dapat digunakan sebagai tangga pengantar menuju derajat dan kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, ilmu merupakan hal yang dicari oleh seorang mu’min

Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman: “... Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan”.[47]

Ilmu adalah perantara menuju kemuliaan. “Tidak ada kemuliaan seperti ilmu”, kata Amirul Mu’minin a.s.[48]

Dalam hadits yang lain beliau berwasiat agar ilmu disertai dengan akhlak. Beliau berkata: “Wahai mu’min, ilmu dan akhlak adalah harga dirimu. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam mempelajari keduanya. Ketika kualitas ilmu dan akhlakmu bertambah, nilai dan kedudukanmu juga alan bertambah. Karena dengan ilmu kamu alan mendapat petunjuk menuju Tuhanmu dan dengan akhlak kamu dapat memperbaiki cara berkhidmat kepada-Nya”.[49]

Menurut hadits di atas, bertambah tingginya kedudukan dan derajat seseorang tergantung kepada kualitas iman dan akhlaknya. Atas dasar ini, orang ‘alim lebih dekat. kedudukannya dengan kedudukan kenabian. Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling dekat dengan kedudukan kenabian adalah ulama dan mujahid.

Karena ulamalah yang dapat menunjukkan manusia kepada tuntunan dan ajaran-ajaran para rasul, dan mujahidlah yang membela tuntunan dan ajaran-ajaran tersebut dengan pedangnya”.[50]

Dalam kesempatan yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan menuntut ilmu, kedudukannya di sisi Allah seperti kedudukan para nabi, hanya saja ia tidak memiliki wewenang kenabian”.[51]

Di dalam Alquran pun terdapat beberapa ayat yang menjelaskan peran dan pentingya ilmu dalam membentuk iman manusia kepada Allah, kitab, malaikat dan para rasul-Nya. Di antara ayat-ayat Alquran yang secara tegas mengungkapkan hal ini adalah ayat yang berbunyi: “Hanya hamba-hamba Allah yang ‘alim yang takut kepada-Nya”.[52]

Oleh karena itu, kerap kali Rasulullah saw dan para imam berwasiat (kepada para pengikutnya) untuk menuntut ilmu. Imam Ali a.s. berkata: “Belajarlah ilmu. Karena mempelajarinya adalah hasanah (kebaikan), menelaah (dan mendiskusikannya) adalah tasbih, mencarinya dalah jihad dan engajarkannya kepada orang yang bodoh adalah sedekah. Ilmu adalah perantara hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan ilmu, Allah alan mengangkat derajat suatu kaum dan menjadikan mereka sebagai pemuka dalam mengerjakan segala kebaikan”.[53]

2. Amal Saleh

Amal saleh adalah faktor kedua yang dapat mengantarkan seorang mu’min menuju puncak iman. Allah berfirman: “Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman (dan) telah beramal saleh, mereka itulah orang-orang yang memiliki derajat-derajat yang tinggi (di sisi Tuhan)”.[54]

Jika iman menganugerahkan kepada seorang mu’min pandangan dunia yang benar, pemikiran yang jitu dan keyakinan yang murni, maka amal saleh sebagai syi’arnya mampu menumbuhkan daya kreasinya untuk selalu giat bekerja sehingga ia dapat meni’mati kehidupan sejahtera. Allah berfirman: “Barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki atau wanita sedangkan ia beriman, maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan sejatera dan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan”.[55]

Oleh karena itu, Islam tidak menginginkan seorang mu’min hidup menyendiri terpencil dari masyarakat dan hanya menjaga imannya tanpa merealisasikannya dalam bentuk amal ―sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang―, akan tetapi Islam menginginkannya untuk merealisasikan iman tersebut dalam bentuk amal saleh.

Perlu diingat, yang penting adalah kualitas amal, bukan kuantitasnya. Oleh sebab itu, Allah dalam ayat:

﴿ويستخلفکم في الأرض فينظر کيف تعلمون﴾

“... Dan Dia menjadikanmu khalifah di muka bumi ini demi melihat ‘bagaimana’ perbuatanmu”[56] menggunakan kosa kata کیف (bagaimana ― yang mengarah kepada arti kualitas), bukan kosa kata کم (berapa ― yang mengarah kepada kepada arti kuantitas).

Oleh karena itu tidurnya Imam Ali a.s. di atas ranjang Rasulullah saw pada malam peristiwa Lailatul Mabit) yang berhasil menyelamatkan beliau dan missi beliau, dan ayunan pedang beliau di Perang Khandaq menyamai ibadah penduduk langit dan bumi.

Atas dasar ini, hanya kualitas amal seseorang yang akan mengangkat derajatnya. Ahlul Baytpun telah berusaha untuk membudayakan dua budaya berharga ini (iman dan amal) di tengah-tengan masyarakat. Imam Ali a.s. berkata: “Janganlah kamu seperti seseorang yang mengharap (pahala) akherat, akan tetapi tidak mau beramal, ia mengaku mencintai orang-orang saleh, akan tetapi ia tidak pernah meniru kelakuan mereka”.[57]

Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat, sebagian orang mencari kedudukan sosial di mata masyarakat dengan mengandalkan keturunannya yang mulia. Akan tetapi, Imam Ali a.s. menjadikan amal sebagai tolok ukur utama dalam mencapai kesempurnaan dan ketinggian derajat. Beliau berkata: “Barang siapa yang meremehkan amal, maka nasab dan keturunannya tidak akan ban yak membantunya”.[58]

Meskipun para imam Ahlul Bayt a.s. memiliki nasab keturuan yang mulia dan kedudukan sosial yang tinggi di mata masyarakat, akan tetapi dalam beramal dan berkreatifitas mereka adalah sUfi tauladan yang pantas ditiru. Sebagai bukti, Imam Ali a.s. pernah memerdekakan budak yang tak terhitung jumlahnya, mewakafkan tanah yang telah beliau makmurkan kembali dan sumber-sumber air yang telah beliau gali dengan tangan beliau sendiri.[59]

Tradisi ini diteruskan oleh anak cucu beliau sepeninggal beliau. Mereka memikul kantong-kantong beras yang berisi tepung dan makanan untuk disumbangkan kepada para fakir miskin. Mereka bekerja di bawah terik matahari yang menyengat hanya karena Allah dan cinta bekerja, sehingga ada sebagian sahabat yang memprotes kebiasaan ini.

Abu Abdillah As-Shadiq a.s. berkata: “Muhammad bin Al-Munkadir sering berkata: ‘Aku tidak pernah melihat seorang dari keturunan Ali bin Husein a.s. yang mewarisi keistimewaan beliau, sehingga suatu hari aku melihat putera beliau, Muhammad bin Ali Al-Baqir a.s.

Ketika aku melihatnya, hatiku tergerak untuk menasehatinya, tapi malah aku yang dinasehatinya.

Sahabat-sahabatnya bertanya: ‘Nasehat apa yang ia hadiahkan kepadamu?’ Ia menjawab: ‘Di suatu hari yang panas menyengat, aku pergi ke pinggiran kota Madinah. Di sana aku melihat Muhammad bin Ali yang berbadan gemuk bekerja dengan dibantu dua orang pembantu atau budaknya yang berkulit hitam. Aku berkata kepada diriku:

‘Seorang pemuka Qurasiy masih sempat mencari harta dunia di bawah terik matahari yang menyengat ini. Akan kunasehati dia’. Aku mendekat dan mengucapkan salam kepadanya.

Dalam keadaan bercucuran keringat ia menjawab salamku. Aku memulai pembicaraan: ‘Pantaskah salah seorang pembesar Quraisy mencari harta dunia di bawah terik matahari yang menyengat ini? Sekiranya maut menjemputmu, sedangkan kamu dalam keadaan seperti ni, (apa yang dapat kamu jadikan alasan di hadapan Allah)?’

Ia memisahkan diri dari kedua pembantunya itu lalu bersandar dan berkata: “Demi Allah, sekiranya maut menjemputku sedangkan aku dalam keadaan seperti ini, niscaya aku meninggal dunia dalam keadaan melaksanakan taat kepada Allah. Karena dengan bekerja ini, aku dapat mencukupi diriku dan tidak bergantung padamu dan pada orang lain. Yang aku takutkan, jika maut menjemputku sedangkan aku dalam keadaan melakukan maksiat”. Aku berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu. Sebenarnya aku datang ingin menasehatimu, tapi malah engkau yang menasehatiku”[60] .

3. Lebih mementingkan orang lain

Rasa peduli dan lebih mementingkan orang lain adalah sebuah sifat mulia yang dapat mengantarkan manusia menuju puncak iman. Orang yang telah berhasil mengalahkan ego dan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadinya, tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah tanda-tanda kesempurnaan iman dan si penyandangnya berhak untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.

Allah swt telah memuji orang-orang yang telah berhasil mengalahkan ego dan menjunjung tinggi martabat manusia dengan jalan lebih memperdulikan urusan-urusan mereka atas urusan pribadinya eskipun ia dalam keadaan kekurangan. Allah berfirman: “Dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”.[61]

Rasulullah saw sangat memperhatikan karakter tersebut, sehingga diriwayatkan bahwa beliau sering melalui hari-harinya dalam keadaan lapar. Tradisi ini berlanjut hingga beliau wafat. Seandainya beliau menghendaki, beliau tidak akan pernah menahan lapar seperti itu.[62]

Imam Ali a.s., washi beliau, juga telah mencapai puncak rasa peduli dan mementingkan orang lain. Dalam peristiwa lailatul mabit, ketika beliau tidur di atas ranjang Rasulullah saw (sehingga Rasulullah saw dapat dengan tenang hijrah ke Madinah), penduduk langit sangat menghargai pengorbanan tersebut.

Allah berfirman kepada Malaikat Jibril dan Mikail: “Aku menjadikan kalian berdua bersaudara. Umur salah satu dari kalian lebih panjang dari yang lain. Siapakah di antara kalian yang siap hidup pendek dan merelakan yang lain hidup lebih lama?” Mereka berdua tidak mau mengalah dan memilih untuk hidup lebih panjang dari yang lainnya. Akhirnya Allah berfirman: “Apakah kalian tidak ingin seperti Ali bin Abi Thalib? Aku menjadikannya sebagai saudara Muhammad. Akan tetapi ia rela tidur di atas ranjangnya demi mengorbankan jiwanya untuk Muhammad sehingga ia bisa hidup lebih lama”. Kemudian Allah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang rela mengorbankan dirinya demi mencari keridlaan Allah.

Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.[63]

Atas dasar ini, rasa peduli dan lebih mementingkan orang lain adalah salah satu karakter yang dapat mengantarkan menusia menuju puncak iman, sebagaimana hal tersebut terealisasikan dalam diri Imam Ali a.s. sehingga Allah memujinya di hadapan para malaikat-Nya.

Ada sebagian hadits yang menegaskan bahwa berkata benar meskipun membahayakan seseorang, lebih baik dari berkata bohong meskipun mendatangkan manfaat baginya. Amirul Mu’minin a.s. berkata: “(Di antara tanda-tanda) iman adalah hendaknya kamu berkata benar meskipun membahayakan dirimu dan jangan berkata bohong meskipun mendatangkan manfaat bagimu”.[64]

4. Akhlak yang terpuji

Sebagaimana yang tercantum di dalam sebuah hadits Rasulullah saw, dengan akhlak yang terpuji, seorang hamba akan dapat mencapai tingkatan dan kedudukan yang tinggi di akherat, meskipun ibadahnya sedikit.[65]

Imam Abu Ja’far a.s. berkata: “Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling terpuji akhlaknya”.[66] Amirul Mu’minin a.s. berwasiat: “Didiklah diri kalian untuk berahklak yang terpuji. Karena dengan akhlak yang terpuji seorang hamba akan dianugerahi derajat orang yang puasa dan beribadah malam”.[67]

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak yang terpuji adalah salah satu faktor bertambahnya iman yang dengannya si mu’min dapat mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.

Oleh sebab itu, Amirul Mu’minin a.s. pernah berwasiat: “Hendaknya kalian berakhlak yang terpuji, karena akhlak yang terpuji adalah sebuah kemuliaan. Dan janganlah kalian berakhlak yang jelek, karena akhlak yang jelek itu akan menghinakan orang yang mulia”.[68]

Macam-macam Iman

Iman jika dilihat dari segi kemantapan atau tidaknya dalam hati, dibagi ke dalam tiga bagian:

1. Iman fitri

Iman ini tidak akan tergoncangkan oleh keraguan dan rayuan-rayuan syetan, karena Allah telah mematri kokoh dalam sanubari manusia, seperti iman para nabi dan washi mereka a.s.

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan para nabi untuk mengemban tugas kenabian, dan mereka tidak pernah menolak tugas tersebut. Ia telah menciptakan para washi untuk mengemban wasiat-wasiat (tugas-tugas) yang telah dibebankan oleh para para nabi kepada mereka, dan mereka tidak pernah menolak tugas tersebut. Dan Allah telah menciptakan sebagian mu’minin untuk teguh memegang iman, dan mereka tidak akan berpaling dari iman tersebut. Akan tetapi ado sebagian mu’minin yang hanya dipinjami iman. Jika mereka tekun berdoa supaya imannya ditetapkan, mereka akan meninggal dunia dalam keadaan memegang iman tersebut”.[69]

2. Iman al-mustawda’ (tak tetap)

Iman ini tidak kokoh dan mudah digoncangkan oleh angin keraguan dan rayuan-rayuan syetan. Oleh karena itu, iman ini juga diberi nama iman al-mustawda’ (pinjaman). Sebagaimana seseorang yang meminjam baju kemudian memakainya. Tidak lama berselang ia harus melepaskannya karena harus mengembalikan baju tersebut kepada pemiliknya.

Al-Fadl bin Yunus meriwayatkan sebuah hadits dari Abul Hasan a.s., beliau berkata: “Perbanyaklah membaca doa:

اللهم لاتجعلنی من المعارين ولاتخرجني من التقصير[70]

Para imam a.s. meminta dari para pengikut mereka untuk sering membaca doa tersebut. Hal ini dikarenakan ada sebagian sahabat yang goyah imannya oleh keraguan dan panggilan syahwatnya.

Sebagai bukti, Ja’far bin Marwan berkata: “Ketika Rasulullah wafat, Zubair berdiri di depan khalayak dengan menghunus pedang seraya berkata: ‘Aku tidak akan memasukkan pedangku ini ke dalam sarungnya selama aku belum membaiat Ali’. (Setelah masa berlalu), ia menghunus pedang tersebut untuk memerangi Ali.

Berdasarkan bukti ini, Zubair termasuk golongan orang-orang yang dipinjami iman. (Dalam beberapa masa) ia berjalan di atas cahaya imannya dan kemudian Allah mencabut cahaya iman tersebut darinya.[71]

Ayat Alquran yang berbunyi:

﴿وهو الذي انشاکم من نفس واحدة فمستقر ومستودع﴾

“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari satu jiwa, maka bagimu ada tempat tetap dan tempat simpanan”,[72] menunjukkan adanya dua macam iman di atas. Begitu pula pernyataan Amirul Mu’minin yang berbunyi: “Ada sebagian iman yang kokoh dan terpatri dalam sanubari dan sebagian yang lain hanya menetap di dalamnya hingga masa tertentu seperti sarang pinjaman.[73]

3. Iman kasbi

Iman ini dapat dikembangkan kualitasnya hingga mencapai puncaknya dan menjadi iman yang tetap dan kokoh terpatri dalam sanubari sebagaimana iman fitri. Oleh karena itu, iman memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Di antara wasiat Amirul Mu’minin kepada Kumail: “Wahai Kumail, ketahuilah iman itu ada yang kokoh terpatri (dalam sanubari) dan ada yang pinjaman. Hati-hatilah jangan sampai kamu termasuk golongan orang-orang yang dipinjami iman. Jika kamu mengikuti jalan lurus yang tidak akan menjerumuskanmu ke dalam jurang kesesatan, maka kamu telah memiliki iman yang kokoh itu”.[74]

Perlu diketahui, iman akan berdiri kokoh di atas empat pondasi. Dalam kaitannya dengan ini, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Iman memiliki empat pondasi: tawakkal kepada Allah, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, pasrah terhadap ketentuan-Nya dan melaksnakan segala perintah-Nya azza wa jalla”.[75]

Begitu juga iman memiliki empat pilar penyangga. Imam Ali a.s. berkata: “Iman dapat berdiri tegak di atas empat pilar: sabar, yakin, adil dan jihad”.[76]

Di samping itu, iman juga memiliki simpul-simpul kuat dan kokoh. Barang siapa yang berpegang teguh kepada tali-tali tersebut, ia akan terselamatkan dati kesesatan. Di antara tali-tali itu adalah takwa, cinta dan benci karena Allah, ber-wilayah kepada para wali-Nya dan berlepas diri dati musuh-musuh-Nya.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda: “Tali-tali iman yang paling kokoh adalah berwilayah, cinta dan benci karena Allah”.[77]

Suatu hari Rasulullah saw pernah bertanya kepada sahabat beliau: “Apakah tali iman yang paling kokoh?” Sebagian mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui hal itu”. Sebagian yang lain berkata: “Shalat”. Dan sebagian yang lain lagi berkata: “Zakat”. Rasulullah saw akhirnya berkata: “Semua yang kalian sebutkan itu memiliki keistimewaan dan keutamaam tersendiri. Akan tetapi tali iman yang paling kokoh bukan itu. Tali iman yang paling kokoh adalah cinta dan benci karena Allah, berwilayah kepada para wali-Nya dan berlepas diri dari para musuh-Nya”.[78]

Ahlul Bayt a.s. adalah salah satu dari tali-tali kokoh yang akan menyelamatkan orang yang berpegang teguh kepada mereka dari kesesatan itu. Oleh sebab itu, Amirul Mu’minin sering mengulang-ulangi ucapan berikut: “Aku adalah tali Allah yang kokoh, tempat berpegangan (menuju) Allah yang kuat dan kalimah-Nya”.[79]

Beliau sering mengulang-ulangi ucapan tersebut bukan ingin membanggakan diri, akan tetapi ingin mengingatkan manusia bahwa Ahlul Bayt a.s. adalah tali Allah yang kokoh.

Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang ingin berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak kenal putus, hendaknya ia berpegang teguh dengan tali wilayah saudara dan kekasihku, Ali bin Abi Thalib. Karena orang yang mencintai dan berwilayah kepadanya, ia tidak akan celaka, dan orang yang membenci dan memusuhinya, ia tidak akan selamat”.[80]

Tanda-tanda Mu’min

Tanda-tanda pokok yang membedakan seorang mu’min dari selainnya, dapat digolongkan ke dalam empat bagian:

1. Praktek ritual

Ibadah adalah realisasi hakiki iman seorang mu’min. Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada Allah, secara otomatis ia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan ritus-ritus keagamaan sebagai ungkapan atas rasa penghambaan dan terima kasihnya yang dalam terhadap Penciptanya.

Ibadah yang paling utama sebagai jelmaan iman adalah melaksanakan semua kewajiban yang telah Allah bebankan di atas pundaknya, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lainnya.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Tiada ibadah yang paling utama dari melaksanakan fara’idl (kewajiban-kewajiban yang telah Allah bebankan kepada manusia)”.[81] Abu Abdillah a,s. juga berkata: “(Suatu hari) malaikat Jibril turun kepada Nabi saw (dengan membawa wahyu dari Allah) seraya berkata: ‘Wahai Muhammad, hamba-Ku tidak akan dapat mendekatkan diri kepada-Ku kecuali dengan melaksanakan fara’idl. Dan ketika ia juga melaksanakan ibadah-ibadah sunnah (di samping fara’idl tersebut), Aku akan lebih mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang ia mendengar (segala sesuatu) dengannya, menjadi matanya yang ia melihat (segala sesuatu) dengannya dan menjadi tangannya yang ia melaksanakan segala sesuatu dengannya”.[82]

Antara iman dan ibadah terdapat hubungan yang sangat kokoh. Ketika iman seorang hamba bertambah, ia akan lebih tekun beribadah, dan sebaliknya. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam sejarah hidup Ahlul Bayt a.s. sebagai lambang utama dalam melaksanakan ibadah.

Ketika waktu shalat tiba, badan mereka gemetar dan pucat pasi karena takut kepada Allah. Sebagai contoh, Abu Abdillah Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ayahku (Imam Al-Baqir a.s.) berkata: ‘Ketika Ali bin Husein berdiri untuk mengerjakan shalat, ia bak sebatang kayu kering berdiri tegak tak bergerak kecuali (pakaiannya) berderai bergerak ditiup angin”.[83]

Ibadah yang sejati dapat menimbulkan keajaiban-keajaiban dan menganugerahi seorang mu’min karamah serta hati yang bersih. Kadang-kadang ibadah tersebut dapat memberikan kemampuan kepadanya untuk mengetahui isi hati orang lain.

Marilah kita simak bersama cerita di bawah ini yang mengungkapkan sebagian karamah yang dimiliki oleh Imam Musa Al-Kadzim a.s. (Cerita ini tertulis dalam buku-buku hadits Ahlus Sunnah).

Syaqiq Al-Balkhi berkata: “Pada tahun 149 H. aku melaksanakan ibadah haji. Ketika aku sampai di Al-Qadisiyah, aku melihat manusia yang begitu banyak dan berpakaian mewah. Tiba-tiba mataku tertumpu pada seorang pemuda berwajah tampan, berjubah kulit dan duduk menyendiri. Aku berkata dalam hatiku: Pemuda ini adalah pengikut aliran sufi yang hanya menjadi beban masyarakat. Aku akan menghampiri dan menasehatinya’.

Ketika aku telah dekat darinya, ia berkata kepadaku: ‘Wahai Syaqiq, Jauhilah kebanyakan pransangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa’.[84] Kemudian ia meninggalkanku sendirian. Aku terperanjat dan berkata dalam hatiku: ‘Kejadian ini amatlah aneh. Ia telah mengungkapkan apa yang terlintas dalam benakku dan menyebut namaku. Sungguh ia adalah seorang hamba yang saleh. Aku harus mengejarnya demi memohon darinya untuk meminta maaf atas prasangka jelekku itu’.

Aku sepat-cepat membututinya. Akan tetapi aku tidak dapat mengejarnya. Ia seakan-akan raib tertelan bumi.

Ketika kami sampai di Waqishah, aku melihatnya sedang melaksanakan shalat. Semua anggota badannya gemetar dan air matanya mengalir deras. Aku berkata dalam hatiku: ‘Inilah orang yang kucari. Aku akan mohon darinya untuk menghalalkan prasangka jelekku itu’. Aku menunggunya sehingga ia menyelesaikan shalatnya.

Ketika aku mendekat, ia berkata kepadaku: ‘Wahai Syaqiq, bacalah “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh kemudian tetap di jalan yang benar”.[85]

Setelah berkata begitu ia meninggalkanku sendirian. Aku berkata dalam hatiku: ‘Pemuda ini adalah pemuda istimewa. Ia telah mengungkap apa yang terlintas dalam benakku untuk kedua kalinya’.

Ketika kami sampai di Mina, aku melihat pemuda itu berdiri di samping sumur dan tangannya memegang timba dari kulit siap untuk menimba air. Tiba-tiba timba itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam sumur. Saat itu ia memandang ke langit seraya berkata: ‘Engkaulah Tuhanku jika aku kehausan, dan pemberi rizkiku jika aku kelaparan. Wahai Tuhanku, wahai tuanku, Engkau mengetahui bahwa aku tidak memiliki alat lain kecuali timba itu. Maka janganlah Kau binasakan aku karenanya’.

Demi Allah, aku lihat air sumur meluap ke atas. Lalu ia mengambil timba yang jatuh tersebut dan memenuhinya dengan air. Selanjutnya ia berwudlu’ dari air timba tersebut dan mengerjakan shalat empat rakaat. Setelah itu, ia mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke dalam timba itu, lalu setelah ia menggerak-gerakkan timba yang berisi air bercampur pasir itu, dan ia meminum air timba tersebut. Kemudian aku menghampiri dan mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku. Aku berkata kepadanya: ‘Berilah aku seteguk air yang telah Allah anugerahkan kepadamu itu’. Ia berkata: ‘Wahai Syaqiq, nikmat Allah selalu bersama kami, baik nampak atau tidak. Oleh karena itu, janganlah berburuk sangka kepada Tuhanmu’. Kemudian ia memberikan timba itu kepadaku. Aku meminumnya. Alangkah lezat dan manisnya air itu. Demi Allah, aku tidak pernah meminum air selezat dan seharum air itu. Aku merasa kenyang dan tidak merasa kehausan selama beberapa hari. Oleh karena itu, aku tidak nafsu makan dan minum.

Setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihatnya lagi sehingga kami sampai di Mekah. Pada suatu hari di tengah malam, aku melihatnya kembali sedang melakukan shalat dengan penuh khusyu’ dan cucuran air mata di samping Qubbatusy Syaraab hingga malam lewat. Ketika fajar menyingsing, ia duduk di tempat shalatnya dan bertasbih. Kemudian ia melaksanakan shalat shubuh. Setelah mengucapkan salam, ia bangkit dan melaksanakan thawaf tujuh kali.

Selesai melaksanakan thawaf, ia berjalan keluar Masjidil Haram. Aku membuntutinya. Ternyata ia memiliki harta yang melimpah, tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Ia dikerumuni khalayak yang mengucapkan salam kepadanya. Aku bertanya kepada salah seorang yang berdiri dekat dariku: ‘Siapakah pemuda itu?’ Ia menjawab: ‘Pemuda ini adalah Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husein a.s.’. Aku berkata dalam hatiku: Aku sudah menyangka sebelumnya bahwa kejadian-kejadian aneh yang aku alami itu, pasti berhubungan dengan keluarga ini”.[86]

Perlu diingat, ibadah tidak hanya terbatas pada shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban lainnya. Terdapat ibadah lain yang lebih tinggi dan mulia dari ibadah-ibadah di atas yang mengungkap kedalaman iman seseorang, seperti tafakkur dan berdzikir.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Berpikir tentang ni’mat-ni’mat Allah adalah ibadah yang terbaik”.[87] Dalam kesempatan yang lain, beliau juga berkata: “Berpikir tentang malakut langit dan bumi adalah ibadahnya mukhlashin (orang-orang yang disucikan oleh Allah)”.[88]

Manusia yang selalu berpikir tentang ciptaan dan ni’mat-ni’mat Allah, secara otomatis ia akan merealisasikan hasil renungannya itu dalam bentuk dzikir yang penuh dengan pujian bagi-Nya dan kandungan irfan yang dalam. Ini adalah jelmaan iman yang paling nyata.

Oleh karena itu, pikiran manusia yang terjelmakan dalam perkataan dan amal-amalnya akan menyingkap kepribadian dan keyakinannya. Dalam kaitannya dengan ini para ahli psikologi berkata: “Katakanlah kepada kami apa yang kau pikirkan, niscaya kami akan dapat menebak siapa kamu”.

Atas dasar ini, Islam menganggap bahwa budaya berpikir adalah penyulut utama berkobarnya api iman. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ibadah itu bukan hanya dengan memperbanyak shalat dan puasa, alan tetapi ibadah itu adalah berpikir dan merenungkan tentang urusan Allah (ciptaan-Nya misalnya)”.[89]

Ibu Abu Dzar pernah ditanya tentang ibadah putranya. Ia berkata: “Seluruh waktunya ia habiskan dalam merenungkan satu segi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia”.[90]

2. Tanda-tanda mental dan jiwa

Perbedaan seorang mu’min dengan selain mu’min dapat dilihat dari karakter-karakter jiwa dan sikap yang dimilikinya. Karakter-karakter tersebut antara lain:

a. Teguh dan kokoh

Seorang mu’min akan selalu kokoh dalam setiap perilaku bagaikan gunung menjulang yang tidak akan tergoyahkan oleh angin yang bertiup. Dengan kesadaran dan hati pasrah terhadap segala ketentuan Allah, ia menghadapi segala kesulitan, selalu bersyukur kepada Tuhannya dan menerima segala rezeki yang dianugerahkan kepadanya.

Ia lebih mementingkan ketentraman orang dari pada ketentraman dirinya, bak pohon rindang yang tumbuh di tengah-tengah padang pasir yang panas menyengat menaungi orang-orang yang berteduh di bawahnya.

Imam Ash-Shadiq a,s. berkata: “Hendaknya seorang mu’min memiliki delapan karakter di bawah ini: tenang dalam menghadapi segala problema, sabar menghadapi segala cobaan, bersyukur ketika makmur, menerima segala rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tidak menzalimi para musuhnya, tidak membebani rekan-rekannya di atas kemampuan mereka, selalu aktif (membantu orang lain) dan orang lain merasa tentram hidup bersamanya”.[91]

Yang perlu diperhatikan di sini, seorang mu’min di samping teguh dan tidak kenal kompromi dalam memegang imannya, ia juga bersikap lemah lembut terhadap orang lain bak padang rumput lembut yang bergerak seirama dengan gerakan angin sepoi akan tetapi tidak terbinasakan oleh angin topan. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Seorang mu’min tidak kenal kompromi dalam memegang agama, bersikap tegas dalam kelemah lembutan dan beriman dengan dasar keyakinan[92] .

b. Memegang teguh kebenaran

Seorang mu’min tidak akan mengikuti kehendak hatinya yang dapat menjauhkannya dari kebenaran. Begitu juga, ia akan menghadapi segala cobaan dan rintangan tanpa didasari oleh kemarahan yang terpendam dalam jiwanya sehingga ia tidak terjerumus ke dalam jurang kebatilan. Sebaliknya, ketika ia memiliki kekuasaan dan kekuatan, ia tidak akan bertindak sewenang-wenang.

Karakter ini dapat kita lihat dalam diri Amirul Mu’minin a.s. Beliau memandang bahwa mengambil secuil kulit gandum secara paksa dari mulut seekor semut adalah sebuah kesewenang-wenangan dan perbuatan yang dapat menjauhkan seseorang dari kebenaran.

Beliau berkata: “Demi Allah, jika aku diberi tujuh langit beserta bintang-bintangnya supaya aku mencabut secuil kulit gandum secara paksa dari mulut seekor semut, niscaya aku tidak akan melakukan hal itu”.[93]

Atas dasar ini, seseorang telah menjadi mu’min sejati jika ia sudah sampai pada tingkat spiritual yang tinggi, sehingga dalam kondisi bagaimanapun ia tidak akan pernah menyeleweng dari jalan kebenaran yang lurus.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Abu Hamzah meriwayatkan, Fatimah puteri Imam Husein berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang memiliki tiga sifat ini, maka telah sempurnalah imannya: jika ia rela, kerelaannya tidak akan menjerumuskannya ke dalam jurang kebatilan, jika ia marah, kemarahannya tidak akan menyesatkannya dari jalan kebenaran dan jika ia berkuasa, ia tidak akan mengambil apapun yang bukan haknya”.[94]

Kekuatan dan kekuasaan yang sejati adalah kekuatan yang dibentuk oleh iman dan ditempa oleh keyakinan. Kekuatan itulah yang membedakan orang mu’min dari lainnya. Dengan kekuatan tersebut, ia akan mampu mengontrol gejolak jiwanya. Imam Ash-Shadiq a.s. meriwayatkan sebuah had its dari ayah dan kakek beliau, beliau berkata: “(Suatu hari) Rasulullah saw melewati satu kaum yang berlomba mengangkat batu. Ia berkata: ‘Untuk apa kalian melakukan ini?’ Mereka menjawab: ‘Dengan ini kami mengetahui orang yang paling kuat di antara kami’. Rasulullah kembali bertanya: ‘Maukah kuberitahukan siapa yang terkuat dari kalian?’ ‘Ya, wahai Rasulullah’, jawab mereka. Rasulullah bersabda: “Orang yang paling kuat di antara kalian adalah jika ia rela, kerelaannya tidak akan menjerumuskannya ke dalam jurang dosa dan kebatilan, ketika ia marah, kemarahannya tidak akan menyerongkannya dari berkata benar dan ketika ia berkuasa, ia tidak akan mengambil apa yang bukan haknya”.[95]

c. Ceria dan lapang dada

Keceriaan akan selalu menghiasi wajah seorang mu’min walaupun sebenarnya ia memendam kesusahan dalam hatinya. Di samping itu, ia selalu lapang dada dalam menghadapi segala cobaan.

Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seorang mu’min selalu ceria wajahnya dan memendam kesusahan di dalam hatinya, lapang dada, merasa hina diri (di hadapan Allah), tidak menyukai popularitas, selalu susah (memikirkan dosa-dosanya), banyak diam, tidak banyak nganggur, selalu bersyukur, sabar, selalu berpikir, sedikit kebutuhannya, lemah lembut dan mulia budi pekertinya. Jiwanya lebih teras dari batu cadas, sedangkan (di hadapan Allah) ia merasa lebih hina dari seorang budak”.[96]

Abi Abdillah a.s. berkata: “Seorang mu’min pasti memiliki ‘du’abah’”. Saya bertanya: “Apakah ‘du’abah’ itu?” Beliau berkata: “‘Du’abah’ adalah senda gurau”.[97]

Atas dasar ini, hendaknya keceriaan wajah selalu menghiasi wajah seorang mu’min Keceriaan wajah inilah yang mengungkap segala apa yang terpendam di hatinya. Dengan itu, ia akan membahagiakan mu’minin yang lain.

Lain halnya dengan orang munafik yang selalu memendam amarah dan kedengkian atas mu’minin. Secara otomatis, perasaan tersebut akan tampak di wajahnya.

Rasulullah saw bersabda:

المؤمِنُ دَعِبٌ لعِبٌ والمُنَافِقَ قطِبٌ غضِبٌ

“Orang mu’min senang bersenda gurau. Sedang orang munafik selalu marah dan mengerutkan dahi”.[98]

Perlu diingat, senda gurau yang dianggap salah satu tanda-tanda iman adalah canda gurau sehat yang tidak melampui batas yang ditentukan oleh agama. Rasulullah saw selalu bersenda gurau dengan para sahabat dan Ahlul Baytnya suka membahagiakan orang lain. Akan tetapi hal itu melalui jalur yang benar yang sekiranya tidak menghilangkan kewibawaan dan kehormatan.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ash-Shadiq s.a. meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda:

کثرة المزاج يذهب بماء الوجه وکثرة الضّحك يمحو الإيمان

“Bergurau yang melampui batas akan menghilangkan kewibawaan, dan tertawa yang melampaui batas akan membinasakan iman”.[99]

Abu Abdillah a.s. berkata: “Di Madinah ada seorang penganggur yang kerjanya menertawakan orang lain. Ia pernah berkata: ‘Aku tidak mampu untuk menertawakan satu orang ini’. Yang ia maksud adalah Ali bin Husein a.s. (Suatu hari) Ali bin Husein berjalan dengan diikuti oleh dua orang pembantunya. Orang tersebut mencabut jubahnya dari pundaknya (dengan maksud menertawakannya). Ali bin Husein berlalu tanpa menggubrisnya. Sahabat-sahabatnya mengejar orang tersebut untuk mengambil jubah itu darinya. Kemudian mereka m~nyelendangkan jubah itu di pundak Ali bin Husein a.s. Ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya itu: ‘Siapakah orang ini?’ ‘Ini adalah penganggur yang kerjanya hanya menertawakan penduduk Madinah’, jawab mereka. Ia menimpali: ‘Katakanlah kepadanya bahwa akan datang suatu hari yang para penganggur akan rugi pada hari itu”.[100]

d. Berkemauan keras

Ini adalah salah satu karakter seorang mu’min yang dengannya ia dapat mengendalikan kehendak-kehendak hawa nafsunya. Manusia tanpa kemauan bagaikan kapal laut tanpa kompas.

Di sini perlu kiranya disebutkan secara global karakter-karakter lain yang seharusnya terjelmakan dalam sikap dan jiwa seorang mu’min, sebagai sifat yang membedakan dari selain mu’min, antara lain: cara pandangnya yang selektif terhadap segala sesuatu yang berada di sekitarnya, banyak diam dan berdzikir, selalu memaafkan orang yang menyakitinya dan menghendaki kebaikan orang lain.

Dalam kaitannya dengan di atas, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seorang mu’min jika melihat sesuatu, ia akan mengambil pelajaran darinya, ketika diam, ia sadar (akan dosa-dosanya), ketika ia berbicara, pembicaraannya penuh dengan dzikir, ketika merasa cukup, ia bersyukur dan ketika ditimpa musibah, ia bersabar. Ia selalu memaajkan (kesalahan orang lain) dan tidak mudah marah. Ia rela dengan pemberiaan Allah walaupun sedikit dan tidak sombong ketika diberi anugerah yang berlimpah. Ia selalu berniat untuk melaksanakan kebaikan sekaligus melaksanakannya, dan sangat menyesal ketika tidak sempat untuk melaksanakan kebaikan itu”.[101]

e. Pandai menggunakan waktu

Waktu memiliki nilai yang agung. Atas dasar ini, orang mu’min selalu beriomba-lomba untuk menggunakan waktu itu sebaik-baiknya. Karena waktu itu adalah modal utamanya yang besar.

Ditinjau dari kandungan hadits-hadits yang mulia, orang mu’min hendaknya membagi waktunya dalam tiga bagian: waktu untuk beribadah, waktu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang positif dan waktu untuk memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal.

Arnirul Mu’minin a.s. berkata: “Mu’min itu memiliki tiga waktu: waktu untuk bermunajat dengan Tuhannya, waktu untuk memakmurkan kehidupannya dan waktu untuk memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal dan baik. Dan seorang yang berakal tidak akan mulia kecuali jika ia melakukan salah satu dari tiga hal berikut ini: memakmurkan kehidupannya, melangkah untuk menuju akherat atau memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan yang halal”.[102]

Atas dasar ini, salah satu karakter utama orang mu’min adalah kepandaiannya memanfaatkan waktu.

3. Tanda-tanda akhlaki

Tidak diragukan lagi, terdapat hubungan yang erat antara iman dan akhlak. Seseorang yang memiliki iman yang tinggi dan dalam, maka akhlaknyapun akan bertambah terpuji. Dari satu sisi, akhlak juga memiliki peran menjaga si mu’min supaya tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kehinaan.

Di antara wasiat-wasiat Imam Ash-Shadiq a.s. kepada sahabat beliau, hendaknya kita jangan tertipu oleh lahiriyah ibadah seseorang. Karena mungkin ia melaksanakan ibadah tersebut sebagai kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Akan tetapi, hendaknya kita melihat etika dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Dari akhlak itulah kita dapat mengetahui hakekat iman seseorang. Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Janganlah kalian terpedaya oleh panjangnya ruku’ dan sujud seseorang, karena (mungkin) hal itu adalah satu kebiasaan yang telah menjadi bagian hidupnya yang jika ia meninggalkannya, ia akan merasa bersalah karena telah meninggalkan kebiasaannya (bukan karena Allah). Akan tetapi, lihatlah perkataan dan jiwa amanatnya”.[103] Dalam kesempatan yang lain, beliau pernah berkata: “Orang mu’min tidak diciptakan untuk berbohong dan berkhianat”.[104]

Ahlul Bayt a.s. adalah contoh manusia yang konsisten menjalankan tuntunan dan ajaran-ajaran akhlak. Abu Hamzah Ats-Tsumali berkata: “Saya pernah mendengar Ali bin Husein, Sayyidus Saajidiin berkata kepada pengikut beliau: ‘Tunaikanlah amanat kalian. Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai nabi, seandainya pembunuh ayahku, Husein bin Ali bin Abi Thalib a.s. mengamanatkan pedang yang telah digunakan untuk membunuhnya kepadaku, niscaya aku akan memegang amanat tersebut”.[105] Imam Ash-Shadiq a.s. juga memiliki karakter yang dimiliki oleh kakek beliau. Beliau berkata: “Takutlah kalian kepada Allah dan tunaikanlah amanat kalian kepada orang yang memilikinya. Seandainya pembunuh Amirul Mu’minin a.s.

mengamanatkan sesuatu kepadaku, niscaya aku akan menunaikan amanat tersebut”.[106]

Selain karakter tersebut di atas, terdapat karakter-karakter akhlaki lain yang membedakan seorang mu’min dari lainnya, antara lain:

a. Malu

Rasa malu dan iman adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, jika salah satunya hilang, yang lainpun akan sirna pula. Imam Al-Baqir a.s. berkata:

الحياء والإيمان مقرونان في قرن فإذا ذهب أحدهما تبعه صاحبه

“Rasa malu dan iman adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satunya sirna, yang lainnyapun akan ikut sirna”.[107]

b. Penuh rasa kasih sayang

Rasulullah saw bersabda: “... Adapun tanda-tanda mu’min adalah rasa belas kasih, penuh pemahaman dan rasa malu”.[108]

c. Tidak dengki

Mu’min tidak akan hasud atas ni’mat yang telah Allah anugerahkan kepada orang lain. Karena ia tahu bahwa rezeki ada di tangan-Nya dan Ia akan membagikan kepada hamba-hamba-Nya berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya.

Abu Abdillah a.s. berkata: “Orang mu’min itu selalu ghibthah (ingin keadaan dan kondisinya seperti orang lain dengan tidak mengharapkan kemusnahan ni’mat yang dimiliki olehnya) dan tidak hasud; sedangkan munafik selalu hasud dan tidak ghibthah”.[109]

d. Tidak pernah menyakiti orang lain

Mu’min tidak akan menyakiti orang lain, sehingga harus meminta maaf. Sementara munafik kerjanya menyakiti orang lain. Oleh karena itu, ia terpaksa harus meminta maaf.

Imam Husein a.s. berkata: “Hati-hatilah. Jangan sampai kamu terpaksa harus meminta maaf dari orang lain). Orang mu’min tidak akan menyakiti orang lain sehingga ia tidak harus minta maaf. Sementara munafik setiap hari ia menyakiti orang lain sehingga ia terpaksa untuk meminta maaf”.[110]

4. Perilaku sosial

Di antara karakter-karakter yang menunjukkan kedalaman iman seseorang adalah kepeduliaannya terhadap sesama jenisnya. Ia tidak akan acuh tak acuh terhadap segala fenomena yang terjadi di masyarakatnya.

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:

المؤمن حسن المعونة وخفيف المؤونة

“Orang mu’min itu selalu suka menolong dan sedikit kebutuhan hidupnya”.[111]

Ahlul Bayt a.s. adalah satu-satunya teladan yang dapat dicontoh dalam hal ini. Mereka menolong orang lain dengan sembunyi-sembunyi dan tidak mau diketahui oleh orang yang ditolongnya. Karena mereka hanya mengharapkan pahala dari Allah, menjauhi riya’ dan pujian orang lain. Bagaikan sekuntum mawar yang tersembunyi di balik semak belukar dan menebarkan bau wangi semerbak. Setiap orang yang lewat di situ akan mencium bau semerbak wangi itu dan memujinya meskipun ia tidak tabu bau itu datang dari bunga mawar tersebut.

Dalam kitab Al-Khishal, Imam Al-Baqir a.s. berkata: “Ali bin Husein sering keluar rumah pada waktu tengah malam sambil memanggul kantong kulit yang berisi bungkusan-bungkusan dinar dan dirham. Kadang-kadang ia memanggul makanan atau kayu di atas pundaknya.

Ia mendatangi rumah demi rumah dan menyerahkan barang-barang tersebut kepada penghuninya. Ketika ia mendatangi orang miskin, ia menutupi wajahnya supaya tidak dikenal. Ketika ia meninggal dunia, mereka tidak mendengar lagi orang datang mengetuk pintu rumah mereka. Akhirnya penduduk memahami bahwa orang yang sering memberikan bantuan kepada mereka di malam yang gulita adalah Ali bin Husein a.s.

Suatu hari ia keluar rumah dengan memakai baju sutera bercampur bulu. Lalu seorang pengemis datang menghampirinya dan memegang erat baju itu. Ali bin Hussein a.s. memberikan baju tersebut kepadanya dan berlalu”.[112]

Oleh karena itu, hendaknya seorang mu’min selalu berusaha utnuk berlemah lembut lepada orang lain dan mencintanya. Di samping itu, ia juga harus berusaha dicintai oleh orang lain. Karena “orang mu’min itu pasti dicintai oleh orang lain, dan tidak ada kebaikannya orang yang tidak mencintai (orang lain) dan tidak beru-saha untuk dicintai (oleh orang lain)”,[113] kata Amirul Mu’minin a.s.

Atas dasar ini, tidak layak seorang mu’min hidup mengucilkan diri di balik tembok tinggi jauh dari masyarakatnya. Seyogyanya ia mengadakan interaksi dengan mereka, berusaha untuk menyesuaikan diri dan berlemah lembut terhadap mereka.

Rasulullah saw berdabda:

مداراة الناس نصف الإيمان والرفق بهم نصف العيش

“Menyesuaikan diri dengan orang lain adalah setengahnya iman dan berlemah lembut terhadapnya adalah setengahnya kehidupan”.[114]

Ada satu tolok ukur lain yang dapat menyingkap dan membedakan iman hakiki dari iman palsu. Tolok ukur tersebut adalah kecintaan orang mu’min kepada para tetangganya. Abu Harnzah berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah a.s. berkata: ‘Mu’min adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekan dan kejahatannya’. Aku bertanya: ‘Apakah (maksud anda dari) kejelekan dan kejahatan itu?’ ‘Kelaliman’, jawab beliau.[115]

Dalam buku-buku sejarah tertulis bahwa Rasulullah saw pernah didatangi oleh seorang Anshar. Ia berkata: “Aku telah membeli rumah di satu kabilah. Aku merasa terganggu oleh tetanggaku yang paling dekat rumahnya dengan rumahku”. Akhirnya beliau memerintahkan Ali, Salman dan Abu Dzar untuk berbicara di masjid. Mereka berkata dengan suara lantang: “Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya”.[116] Mereka mengatakan itu tiga kali.

Dalam kesempatan lain beliau juga pernah bersabda: “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya menahan lapar”.[117]