Iman dan Kufur (bagian2)

Iman dan Kufur (bagian2)0%

Iman dan Kufur (bagian2) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

Iman dan Kufur (bagian2)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Markaz Al Risalah
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 3259
Download: 2855

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3259 / Download: 2855
Ukuran Ukuran Ukuran
Iman dan Kufur (bagian2)

Iman dan Kufur (bagian2)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

IMAN DAN KUFUR

Markaz Risalah

PENGANTAR PENERBIT

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Rasul-Nya yang terpercaya, Muhammad Al-Mushthafa dan keluarganya yang suci a.s.

Pembahasan mengenai iman bukanlah pembahasan ulangan yang menjemukan sebagaimana isu-isu yang disebarkan oleh kaum materialis yang saat kini sedang berada dalam masa keemasannya dan sedang membangun asas tersendiri. Karena itu isu-isu tersebut secara langsung berhadapan dengan nilai dan tuntunan-tuntunan iman yang tinggi. Kesimpulan ini diambil dari pengalaman-pengalaman hidup yang membuktikan bahwa propaganda-propaganda mereka hanya terbatas pada ide yang tidak memiliki realita.

Karena itu mereka ingin menciptakan manusia yang bukan manusia yang ada sekarang ini atau mereka menyangka bahwa agama hanyalah khayalan belaka. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa kenyataan bukan seperti yang mereka bayangkan, mereka menyadari selama ini mereka hidup dalam khayalan. Mereka mengatakan bahwa manusia hanyalah sekumpulan daging, darah dan tulang yang hanya hidup di alam ini.

Pemikiran semacam ini dengan sendirinya akan hancur menghadapi realita bahwa manusia adalah makhluk dwi-dimensi dan tidak mungkin mematikan salah satu dimensinya.

Atas dasar ini, iman bukanlah khayalan belaka, akan tetapi iman adalah sebuah realita yang membahas alam manusia dan mengisi kehidupannya.

Dari sisi lain, ketika berbicara tentang iman, Al Qur’an membahasnya dari berbagai sisi dan dimensi, dan tidak menjadikan imam hanya sekedar sarana yang hanya digunakan hari ini demi ketenangan di hari esok sebagaimana keyakinan para pengikut aliran sufi.

Al Qur’an ―pada satu sisi― mengungkapkan bahwa iman adalah sebuah alat individu untuk bertemu Tuhannya dan kebahagiaan di kehidupan akhirat. Allah swt berfirman :

﴿إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات اولئك هم خير البرية﴾

(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka adalah yang paling baik)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

﴿أفمن کان مؤمنا کمن کان فاسقا لا يستوون﴾

(Apakah manusia yang beriman sama seperti orang fasiq? Tentu mereka tidak sama)

﴿کنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنکر و تؤمنون بالله﴾

(Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan demi man usia. (Tugas kamu adalah) amar ma’ruf - nahi munkar dan beriman kepada Allah)

Dan Al Qur’an pada sisi yang lain mengungkapkan bahwa iman adalah perangkat masyarakat dan umat yang memiliki peranan penting dalam merancang masa depannya dan membangun eksistensinya di muka bumi ini. Allah berfirman:

﴿ولو استقاموا علی الطريقة لأسقيناهم ماء غدقا﴾

(Seandainya mereka istiqamah memegang jalan (agama) ini, niscaya Kami akan memberikan minuman mereka air yang sejuk)

﴿ولو أن اهل القری آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم برکات من السماء والأرض ولکن کذبوا فأخذناهم بما کانوا يکسبون﴾

(Jika penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan menurunkan berkah yang berlimpah kepada mereka dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan, lalu Kami siksa mereka karena ulah mereka sendiri)

Begitu juga ia membahas iman sebagai norma-norma kemanusiaan agung yang menjamin terbentuknya sebuah masyarakat ideal. Allah berfirman:

﴿تلك الدّارُ الآخرة نجعلها ببذين لايريدون علوا في الأرض ولا فسادا والعاقبة للمتقين﴾

(Itulah kediaman (abadi) di akhirat. Kami peruntukkan kediaman itu untuk orang-orang yang tidak menyombongkan di muka bumi ini dan tidak berbuat kerusakan. Akibat (kemenangan terakhir) akan dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa)

Ini adalah gambaran, hakekat dan dimensi-dimensi iman menurut Al Qur’an.

Iman bukanlah sekedar “cinta sufi” yang menganjurkan setiap manusia menyembunyikan dirinya di puncak-puncak gunung yang tinggi (untuk beribadah) dan bukan sekedar kata-kata yang manis diucapkan. Iman adalah sebuah cakrawala luas yang meliputi pemikiran, suluk dan hubungan manusia dengan sesamanya. Iman adalah sebuah lautan dalam yang sui it untuk diselami, apalagi mengungkapkannya. Iman adalah rahasia kebangkitan dan berkembangnya sebuah umat, sedang kufur adalah rahasia kehancuran dan kemusnahannya.

Atas dasar ini, ketika kita mempelajari hakekat iman dan kufur, bukan hanya sekedar untuk menggembirakan jiwa kita dengan harapan-harapan dan menakut-takutinya dengan siksaan-siksaan, sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Akan tetapi, tujuan kita sebenarnya adalah untuk menyeimbangkan kehidupan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.

Maka dari itu, ketika kami memilih tema ini sebagai bahan kajian, bukan berarti kami telah mengkaji seluruh tema tersebut dari segala sisi dan dimensinya. Paling tidak kami telah menambah khazanah dalam pembahasan keimanan dan sedikit menyingkap hakekatnya.

Tujuan sebenarnya bukan untuk memperluas wawasan pembaca dalam bidang ini, ataupun membebani pikiran dengan pembahasan yang ―sebenarnya― berat, akan tetapi tujuan utama kami adalah supaya pengetahuan tersebut menjadi sebuah penggerak yang dapat mewarnai kehidupan manusia, baik secara individu atau sosial masyarakat dengan tuntunan-tuntunan iman yang murni.

Akhirnya hanya Allahlah tempat kita meminta pertolongan, dan Ialah satu-satunya penunjuk ke jalan yang lurus.

Mu’assasah Ar-Risalah

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah yang telah menanam benih iman dalam hati hamba-hamba-Nya dan menghiasai hati mereka dengannya serta memberikan rasa benci terhadap kekufuran, kefasikan dan maksiat. Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Penunjuk jalan dan kiblat mukminin, pembasmi orang-orang kafir dan para pengikut mereka, Muhammad Al-Musthafa dan keluarganya yang suci.

Amma ba’du. Iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab dan para rasul-Nya adalah inti akidah yang hak dan agama yang mulia ini. Keyakinan ini harus direalisasikan oleh muslimin dalam setiap masa dan generasi dan hendaknya mereka menjadikan iman sebagai tolok ukur hakiki dalam mengukur keistimewaan seseorang, bukan tolok ukur lain yang tidak ada nilainya menurut penilaian Al Qur’an.

Iman bukanlah sekedar syi’ar yang hanya enak digembar-gmborkan. Akan tetapi iman adalah suluk, tata krama dan akhlak yang harus diterjemahkan dalam kehidupan individu yang menghendaki kebaikan dan membenci kejelekan.

Jika bayi yang baru dilahirkan mempunyai keimanan secara fitrah akan tetapi ayah-ibunyalah yang memiliki peranan utama menjadikannya pengikut agama Yahudi, Kristen atau Majusi, fitrah semata tidak cukup dengan sendirinya untuk mengantarkan manusia mencapai tujuan iman seperti yang telah digariskan oleh Alquran, selama tidak disertai dengan pengajaran yang benar dan pendidikan yang tepat.

Jika tidak demikian, tuntunan-tuntunan iman yang tinggi ini akan musnah secara perlahan dan tidak akan membekas dalam sanubari manusia.

Sara tidak menemukan orang berakal yang tidak meyakini peranan iman dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat. Jika kita menengok kemenangan dan keberhasilan umat-umat terdahulu dalam bidang materi, seperti menundukkan alam, kedokteran dan industri, hal ini adalah bukti terbaik atas apa yang kami katakan itu. Karena kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan itu, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif dalam jiwa mereka, dan akibatnya, mereka tidak akan menemukan ketenanganjiwa dan kedamaian sejati hingga masa kita.sekarang ini.

Oleh karena itu, mereka akan menghadapi gelombang keraguan, kebimbangan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan yang menyebabkan mereka lari dari realita atau bunuh diri yang merupakan fenomena hangat yang sedang dihadapi oleh masyarakat Barat. Oleh karena itu, para pemikir telah membunyikan lonceng bahaya sebagai peringatan atas bahaya yang sedang mengancam ini.

Begitu juga, kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan secara materi ini, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif bagi sisi etika mereka. Hal ini dapat kita lihat dati menggejalanya dekadensi moral, meningkatnya kriminalitas dan penggunaan obat-obat terlarang secara bebas yang menimpa mayoritas negara dunia ini.

Lebih dari itu, tidak adanya gambaran yang benar bagi manusia mengenai tujuan wujud dan kehidupannya adalah hasil negatif lain dari keberhasilan-keberhasilan tersebut.

Yang sangat menakjubkan adalah munculnya model-model kekufuran baru yang didukung oleh yayasan-yayasan bergengsi, yang berusaha memerangi Islam, memusnahkan tuntunan-tuntunan dan menyimakan kedudukannya. Dengan bermunculannya golongan-golongan baru yang tersebar di seantero dunia, ruang lingkup kekufuran ini makin meluas dan secara terang-terangan mengajak manusia untuk meyembah syetan.

Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, mereka menciptakan ritus-ritus keagamaan baru dan tempat-tempat peribadatan khusus yang dilengkapi dengan sarana-sarana media massa modem yang digunakan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.

Atas dasar ini, kita sangat perlu membahas problema iman dan kufur, karena problema ini adalah salah satu problema hayati dan primer yang semestinya harus kita perhatikan.

Betul, ada sebagian orang yang sempit pemikirannya dan tidak memiliki hasrat untuk membahas problema iman dan kufur (secara tuntas). Karena mereka menganggap problema ini sebagai problema sampingan yang tidak penting. Mereka menganggap di dunia ini ada problema-problema lain yang lebih penting dan hayati.

Mereka lupa bahwa problema iman dan kufur adalah salah satu problema yang menentukan masa depan individu dan sebuah masyarakat. Lebih-lebih, karena iman adalah sumber kebaikan dan kufur adalah sumber kerusakan bagi manusia.

Kekufuran telah memenuhi akal manusia dengan khurafat, memusnahkan etika dan mendatangkan permusuhan dan percekcokan.

Oleh karena itu, supaya dapat menyampaikan apa yang menjadi tujuan kami (dari penulisan buku ini), kami membagi pembahasan buku ini dalam empat pasal.

Kami berharap semoga buku kecil ini dapat membantu pembaca dalam membedakan kekufuran dan iman serta pengaruh-pengaruhnya atas kehidupan individu dan masyarakat. Setidaknya ini sebagai satu langkah yang penuh berkah ―insya-Allah― demi menguatkan dan menjaga fitrah manusia yang condang kepada iman dan tidak terjerumus ke dalam jurang kehidupan material dan menuntun mukminin untuk mencapai faktor-faktor yang dapat menguatkan iman dan mengangkat derajat mereka.

Akhirnya kepada Allah swt kami memohon pertolongan dan taufik.

PASAL II

KUFUR DAN TANDA-TANDANYA

Arti Kufur

Imam Ash-Shadiq a.s. mengartikan kufur sebagai berikut: “Setiap maksiat kepada Allah yang timbul dari pendustaan, pengingkaran dan peremehan terhadap segala sesuatu yang datang dari-Nya, baik berupa urusan kecil atau besar. (Oleh karena itu), setiap orang yang melakukan maksiat tersebut, dari aliran dan agama mana pun, ia adalah kafir”.[1]

Imam Al-Baqir a.s. juga menetapkan tolok ukur pemisah antara iman dan kufur. Beliau berkata: “Segala sesuatu yang timbul dari pengakuan dan pasrah diri secara mutlak adalah iman, dan segala sesuatu yang timbul dari pengingkaran dan pendustaan (terhadapNya) adalah kufur”.[2]

Faktor-faktor Kekufuran

Jika kita meneliti hadits-hadits Ahlul Bayt a.s., kita akan mendapatkan ahwa aktor-faktor ekufuran dalah hal-hal berikut:

1. Ragu Terhadap Allah dan Rasul-Nya

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Barang siapa yang ragu terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah kafir”. Manshur bin Hazim berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: ‘Apa hukumnya orang yang ragu terhadap Rasulullah saw?’ ‘Ia adalah kafir’, jawab beliau”[3] .

2. Mengingkari dan tidak melaksanakan ibadah wajib

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah-ibadah wajib kepada hamba-Nya. (Oleh karena itu), barang siapa yang meninggalkan satu kewajiban saja dan mengingkarinya, ia telah kafir”.

Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “(Jurang pemisah) antara iman dan kufur adalah shalat”.[4]

3. Penyelewengan Akidah

Di antara penyelewengan-penyelewengan akidah yang menyebabkan kekufuran adalah:

a. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya

Imam Ar-Ridla a.s. berkata: “Barang siapa yang menyifati Allah dengan wajah sebagaimana wajah makhluk-Nya, maka ia telah kafir”.[5]

b. Keyakinan jabr dan tafwidl

Imam Ar-Ridla a.s. berkata: “Orang yang meyakini jabr adalah kafir. Dan orang yang meyakini tafwidl adalah musyrik”.[6]

c. Keyakinan tanasukh (penitisan ruh satu makhluk kepada makhluk lain)

Imam Ar-Ridla a.s. berkata: “Barang siapa yang meyakini tanasukh, maka ia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Agung, mendustakan surga dan neraka”.[7]

4. Mengaku sebagai imam

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Barang siapa yang mengaku sebagai imam sedangkan ia bukan ahlinya, maka ia telah kafir”.[8]

5. Membenci Ahlul Bayt a.s.

Imam Al-Baqir a.s. berkata kepada Zaid bin Syaham: “Wahai Zaid, cinta kepada kami adalah iman dan benci kepada kami adalah kufur”.[9]

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang mengaku beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa sedangkan ia membenci Ali, maka ia bohong dan bukan mu’min”.[10]

Faktor kelima ini telah kita bahas panjang lebar dalam pembahasan hakekat iman.

Macam-macam Kufur

Alangkah banyaknya macam dan warna kekufuran, dan alangkah banyaknya pula jalan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam kekufuran. Sebagian dari jalan-jalan itu jelas, tapi sebagian yang lain samar sehingga manusia yang berjalan di atasnya tidak merasa jika ia sedang melangkah menuju ke jurang kesesatan.

Imam Ash-Shadiq a.s. dengan bersandarkan kepada ayat-ayat Alquran telah menunjukkan kepada kita macam dan wanta-wanta kufur itu. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr Az-Zubaidi, ia berkata: “Saya berkata kepada Imam Ash-Shadiq a.s.: ‘Terangkanlah kepadaku macam-macam kufur yang terdapat di dalam Al Qur’an!” Beliau berkata: “Kufur di dalam Al Qur’an ada lima macam: kufur pengingkaran dan pendustaan (juhud), dan kufur ini terbagi menjadi dua, kufur karena meninggalkan perintah Allah, kufur bara’ah dan kufur nikmat. Adapun kufur juhud jenis pertama adalah pengingkaran atas ketuhanan Allah. (Jika ada) orang yang meyakini tidak ada Tuhan, surga dan neraka, (maka ia memiliki kufur ini). Kufur ini adalah keyakinan sebagian orang-orang Zindiq yang dikenal dengan sebutan Dahriyah dan berkata: ‘Tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.[11] Sebenarnya ini adalah sebuah agama yang mereka rekayasa sendiri tanpa penelitian dan perenungan sebelumnya. (Sebagai bukti adanya kufur jenis ini) Allah berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman’.[12] Artinya orang-orang yang kafir atas keesaan Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu macam kufur juhud.

Adapun jenis kedua dari kufur juhud adalah seseorang mengingkari kebenaran sedang ia tahu bahwa itu adalah benar. (Sebagai bukti adanya kufur jenis ini) Allah berfirman: ‘Dan mereka mengingkari ayat-ayat itu karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya’.[13] Dan Allah juga berflrman: ‘... Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. Maka ketika datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu mengingkarinya. Maka laknat Allahlah atas orang-orang yang ingkar itu’.[14]

Macam ketiga dari kufur adalah kufur nikmat. Sebagai bukti adanya macam kufur ini di dalam Alquran, A!lah berfirman : ‘... Ini adalah karunia Allah untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengkufuri (karunia itu). Dan barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya, dan barang siapa yang ingkar (kufur), sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia’. Dan Ia juga berfirman: ‘... Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.[15] Allah juga berfirman: “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku danjangan kamu mengingkari-Ku”.[16]

Macam keempat dari kufur, meninggalkan segala perintah Allah. Sebagai bukti adanya kufur ini di dalam Alquran, Allah berfirman: ‘Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (Bani Israil, yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang lain), dan tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu menyaksikannya, (akan tetapi) kamu (setelah perjanjian itu), membunuh dirimu (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu sendiri dari kampung halamannya dan kamu saling membantu yang lain dalam dosa dan pelanggaran (janji ini).

(Ini semua adalah pelanggaran janji yang telah kamu laksanakan). Akan tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu akan memberi fidyah sebagai tebusan mereka, padahal mengusir itu adalah perbuatan yang terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab langit dan ‘mengingkari’ (mengkufuri) sebagian yang lain?

Tiadalah balasan orang yang melakukan hal itu (mengerjakan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian yang lain), kecuali kenistaan dalam kehidupan dania, dan. siksa yang sangat pedih di hari kiamat kelak. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat’.[17]

Macam kelima dari kufur adalah kufur bara’ah (membebaskan diri dari sesuatu). Allah berfirman: ‘Kami mengingkari (kafarnaa) kamu dan telah nyata permusuhan antara kami dan kamu buat selama-lamanya hingga kamu beriman kepada Allah semata’. Arti ‘kafarnaa’ adalah kami membebaskan diri dari kalian (dan kekufuran kalian). Allah juga berfirman mengenai sifat iblis pada hari kiamat kelak: ‘... Sesungguhnya aku tidak membenarkan (‘kafartu’) perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dulu’. Allah juga berfirman: ‘Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian yang lain dan sebagian kamu melaknati sebagian yang lain’. Yakni sebagian dari kamu membebaskan diri dari yang lain”.[18]

Termasuk kufur yang besar, mengingkari para nabi, mendustakan segala yang mereka bawa dari sisi Allah dan telalt sampai kepada kita secara mutawatir atau beriman kepada sebagian mereka dan mengingkari sebagian yang lain. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kajir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian (dari mereka) dan mengkufuri sebagian yang lain’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) untuk mengambil jalan lain antara (kufur dan iman), merekalah orang-orang yang kafir sesungguhnya”.[19]

Termasuk golongan orang-orang kafir, para pemeluk agama-agama lain yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad saw, keuniversalan misinya dan mengingkari beliau sebagai penutup para nabi.

Ketika menceritakan perihal orang-orang Yahudi yang mengetahui bahwa kenabian Nabi Muhammad adalah benar dan kemudian mengingkarinya, Allah berfirman: “... Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya”.[20]

Begitu juga orang-orang yang mengingkari bahwa Alquran datang dari sisi Allah termasuk golongan orang-orang kafir. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Bagaimana pendapatmu jika (Al Qur’an) itu datang dari sisi Allah kemudian kamu mengingkari...”.[21]

Yang perlu diperhatikan di sini, kufur bukanlah sifat asal manusia (dzatiy). Akan tetapi kufur adalah sifat yang tambahan yang dapat melemah dan menguat. Jika kufur ini menguat, ia akan menutupi cahaya iman, akan tetapi tidak membinasakannya. Sebagai bukti atas hal ini, sebagian orang-orang kafir mungkin ia beriman kembali dengan bertaubat atau Allah menganugerahkan hidayah kepadanya.[22]

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan kemungkinan menguatnya kekufuran. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Muslim. ia berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdillah a.s. tentang ayat:

﴿عتل بعد ذلك زنيم﴾

Beliau menjawab: “Al-‘utull adalah kekufuran yang besar dan az-zaniim adalah orang yang bangga dengan kekafirannya”.[23]

Dari sisi lain, (sebagai bukti kedua atas kenyataan tersebut di atas), kita menemukan sebagian orang yang menyembunyikan kekufurannya dan menampakkan imannya. Mereka tak ubahnya bagaikan bunglon yang selalu merubah warna kulitnya sesuai dengan warna tempat di mana ia menginjakkan kakinya.

Salah satu contoh dari mereka dalam sejarah Islam dan yang kemunafikannya telah menyusup di kalangan muslimin karena kepandaiannya mengenalkan diri sebagai muslim, adalah Mu’awiyah dan para pengikutnya.

Kami mengutarakan hal ini bukan tanpa dalil. Amirul Mu’minin a.s. menggunakan kata-kata sumpah sebelum menerangkan perihal mereka. Beliau berkata: “Demi Dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan makhluk, mereka tidak memeluk Islam. Akan tetapi mereka berpura-pura memeluk Islam dan menyembunyikan kekufuran. Ketika mereka mendapatkan pengikut, niscaya mereka akan menampakkan kekufuran mereka”.[24]

Inilah salah satu contoh orang-orang yang berbeda antara lahiriah dan batin mereka. Kekufuran jenis inilah yang paling berbahaya atas eksistensi Islam. Islam menekankan keserasian antara lahiriah dan batin. Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam Ash-Shadiq a.s. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Haitsam At-Tamimi berkata: “Wahai Haitsam, ada suatu kaum yang beriman secara lahiriah dan kafir secara batin. Mereka itu tidak akan mendapatkan manfaat dari iman tersebut. Dan ada satu kaum lagi yang beriman secara batin dan kafir secara lahiriah. Merekapun tidak akan mendapatkan faedah dari iman tersebut, (Yang benar, hendaknya iman meliputi keduanya); iman lahiriah hendaknya disertai oleh iman secara batin dan iman secara batin hendaknya disertai oleh iman lahiriah)”.[25]

Maksud dari perkataan Imam: “Dan ada satu kaum lagi yang beriman secara batin dan dan kajir secara lahir. Merekapun tidak akan mendapatkan faedah dari iman tersebut”, adalah mereka yang tidak mengerjakan segala amalan yang merupakan konsekuensi dari iman itu, baik berupa ibadah atau non ibadah. Dengan kala lain, mereka yang mengingkari untuk taat kepada segala perintah Allah.

Kami menafsirkan perkataan Imam itu demikian, karena ada beberapa ayat Alquran yang menegaskan kemu’minan orang-orang yang menyimpan iman mereka di dalam hati dan menampakkan kekufuran karena taqiyah. Di antara ayat-ayat tersebut, Allah berfirman: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman, (ia akan mendapat kemurkaan dari-Nya). Kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya masih beriman”.[26]

Sudah disepakati bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Ammar bin Yasir dan teman-temannya ketika mereka dipaksa oleh musyrikin Quraisy untuk menyatakan kekafirannya. Sebagian mereka tunduk dan sebagian yang lain enggan. Maka turunlah ayat tersebut menyatakan keimanan golongan pertama dengan syarat hatinya masih beriman.

Atas dasar ayat di atas, Ahlul Bayt a.s. menolak pendapat yang menyatakan kekufuran Abu Thalib.

Pencetus keraguan tersebut adalah Mu’awiyah yang kemudian disebarkan oleh pengganti singgasana kerajaan dan para pengikutnya. Berkenaan dengan hal ini, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Abu Thalib tidak ada bedanya dengan Ashhabul Kahfi yang menyembunyikan iman dan menampakkan kemusyrikan mereka. Oleh karena itu, Allah telah memberikan pahala kepada mereka dua kali lipat”.[27]

Berpuluh-puluh buku yang membahas keimanan Abu Thalib a.s. telah ditulis, bagi yang ingin mengetahui perrnasalahan tersebut lebih luas, hendaknya menelaah buku-buku tersebut.

Tingkatan-tingkatan Kafir

Kafir memiliki tingkatan yang berbeda. Ada sebagian orang-orang kafir yang menutup pintu akal dan sanubari yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya dan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang batil, seperti masyarakat jahiliyah yang tetap bersikeras menyembah berhala batu atau kurma yang dibuat oleh tangan mereka sendiri. Begitu pula mereka berpegang teguh dengan kekuatan jin dan sihir serta mengikuti segala kehendak harus nafsunya dan lupa akan mass depan yang sedang menunggu mereka.

Berkenaan dengan hal di atas. Allah berfirman: “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka”.[28]

Ada sebagian orang-orang kafir yang masih beriman kepada Allah, akan tetapi mereka rela menjual ayat-ayat-Nya dengan harga yang murah, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan mengingkari semua yang telah dibawa oleh penutup para rasul saw.

Berkenaan dengan karakter-karakter mereka ini Allah berfirman: “Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa suatu (keyakinan) yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu berlagak sombong; sebagian dari mereka kamu dustakan dan sebagian yang lain kamu bunuh? Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup’. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman”.[29]

Ada sekelompok muslimin yang acuh tak acuh terhadap ajaran-ajaran Islam sehingga mereka hampir terjerumus ke dalam jurang kekufuran. Mereka itu adalah:

Pertama, kelompok yang fanatik memegang bid’ah

Hal ini dikarenakan mereka menciptakan bid’ah yang bertentangan dengan agama dan secara fanatik ia menganggapnya sebagai satu hal yang harus diyakini oleh setiap orang. Lebih dari itu, ia meyakini bahwa hal itu tidak boleh dibantah dan dipertanyakan lagi.

Al-Halabi berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: ‘Apakah yang menyebabkan seorang hamba menjadi kafir?’ Beliau menjawab: ‘Ketika ia menciptakan sebuah bid’ah, memegangnya erat-erat dan enggan berhadapan dengan orang yang membantahnya”.[30]

Fanatisme terhadap bid’ah sangat berbahaya bagi orang yang memegangnya erat-erat. Karena hal itu akan menjerumuskannya untuk berbohong atas nama syariat dan memutar balikkan fakta. Akibatnya, ia akan mewajibkan sesuatu yang dilarang oleh syariat.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ali a.s. berkata: “... Yang menyebabkan seorang hamba menjadi kafir adalah ketika ia meyakini larangan-larangan Allah sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya. Dengan ini ia menyangka telah menyembah Allah semata, padahal pada hakekatnya ia menyembah syetan”.[31]

Imam Ar-Ridla a.s. juga pernah berkata: “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah musyrik dan barang siapa yang meyakini larangan-Nya sebagai perintah-Nya, maka ia telah kafir”.[32]

Kedua, kelompok yang menyimpang dari tuntunan-tuntunan akhlak

Iman tidak mungkin dipisahkan dari akhlak. Mu’min yang tidak memiliki akhlak yang baik, seperti berbohong, berkhianat, mengingkari janji, tidak menghiraukan kehormatan orang lain dan menghitung-hitung kesalahannya, ia telah menginjakkan kakinya di tangga kufur yang terendah meskipun ia telah mengucapkan dua kalimat syahadah.

Imam Al-Baqir a.s. berkata: “Seorang hamba telah mendekati kekufuran ketika ia menghitung kesalahan-kesalahan saudara seimannya dengan tujuan untuk menjatuhkan namanya pada suatu hari, meskipun ia telah menjalin hubungan persaudaraan dengannya atas dasar agama”.[33]

Penopang Kekufuran

Jika kita meneliti reverensi-reverensi keislaman, akan kita dapati bahwa kekufuran berdiri tegak di atas tiga tiang yang tak terpisahkan. Ketiga tiang tersebut adalah kesombongan, sifat tamak dan iri hati.

Kesombongan telah mencegah iblis untuk bersujud di hadapan Adam a.s. Ia berani melanggar perintah Allah tersebut karena ia merasa bangga dengan jati dirinya yang telah diciptakan dari api dan merasa labih mulia dari Adam yang diciptakan dari tanah. Dengan ini Allah masih memanjangkan umurnya hingga hari akhir kelak dengan tujuan supaya lebih bertambah banyak dosa-dosanya dan karena janji yang telah Allah janjikan kepadanya untuk memanjangkan umurnya hingga hari itu.

Sedang sifat tamak adalah faktor utama pada setiap periode dan generasi yang merangsang manusia untuk menguras harta dunia yang tak berharga. Sifat ini dapat menyebabkan kufur ni’mat, ragu setelah yakin dan putus asa setelah mengambil keputusan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

Telah sampai kepada kits hadits-hadits yang mencela sifat tamak dan memerintahkan manusia untuk berlepas diri darinya. Karena sifat hina ini memiliki efek-efek negatif, baik di dunia maupun di akherat.

Abu Abdillah Ash-Shadiq a.s. berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah tidak pernah menangis (mengingat dosa), kekerasan hati, tamak dalam mencari dunia dan melakukan dosa secara terus menerus”.[34]

Ada beberapa hadits yang dengan tegas menyebutkan tiang penyangga kekufuran selain yang telah disebutkan di atas, dan pada hakekatnya semua itu kembali kepada penyakit-penyakit hati yang dapat menjauhkan manusia dari iman.

Tanda-tanda Orang Kafir

Alquran telah menyebutkan beberapa tanda orang kafir dengan seksama. Antara lain:

1. Kebodohan

Kebodohan adalah sumber segala kejelekan dan kehinaan. Orang kafir karena memiliki karakter ini tidak mungkin diharapkan untuk mendapat petunjuk, baik melalui ilmu atau nasehat. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang kafir, baik kamu memberi peringatan kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman”.[35]

Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Seandainya seorang hamba ketika tidak mengetahui (tentang sesuatu) mau berhenti (sejenak untuk berenung dan berpikir), niscaya ia tidak akan terjerumus pada kekafiran dan kesesatan”.[36]

Atas dasar ini, kebodohan adalah faktor utama kekufuran. Orang-orang kafir karena kebodohannya, mengalami kevakuman jiwa bagaikan batang kurma kering yang tidak akan menghasilkan sebutir buahpun. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan Nabi klta saw untuk menjauhi mereka. Ia berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang agar mengerjakan kema’rufan, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.[37]

2. Mencintai Thaghut

Meskipun para mufassir berbeda pandangan dalam mendefinisikan thaghut; sebagian dari mereka berpendapat bahwa thaghut adalah syetan, sebagian yang lain mengartikannya dunia, dan kelompok ketiga mengartikannya penguasa yang lalim, yang jelas mencintai thaghut dan mengikutinya akan menjauhkan manusia dari kebenaran. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindung mereka adalah thaghut yang akan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan”.[38]

Lebih dari itu, mereka tidak hanya mencintai thaghut, bahkan siap untuk mengorbankan jiwa dan harta mereka di jalannya. Allah berfirman: “Dan orang-orang kajir berperang di jalan thaghut”.[39]

3. Berlebihan dalam melampiaskan hawa nafsu

Berlebihan dalam melampiaskan hawa nafsu adalah salah satu karakter pembeda antara orang kafir dan mu’min Tujuan utamanya dalam hidup adalah melamplaskan hawa nafsunya seakan-akan ia diciptakan hanya untuk itu. Allah dalam hal ini berfirman: “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan sebagaimana binatang makan”.[40]

Sedangkan orang mu’min menganggap hawa nafsu dan kelezatan dunia sebagai perantara untuk tujuan yang lebih mulia. Oleh karena itu, Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Aku tidak diciptakan hanya untuk mengenyangkan perut seperti binatang ternak yang diikat di kandangnya, yang tujuan hidupnya hanyalah melahap rumput yang dihidangkan di hadapannya, atau seperti hewan liar yang bebas berkeliaran melahap rumput sesuka hatinya, Hewan-hewan ini tidak tahu untuk apa diciptakan”.[41]

Dalam kesempatan lain beliau juga berkata: “Duka cita dan usaha orang kafir hanya untuk dunianya dan tujuannya hanya hawa nafsunya”.[42]

4. Khianat, tipu daya dan berbohong

Di antara karakter-karakter utama orang kafir adalah berkhianat, tipu daya dan berbohong. Hal ini karena mereka tidak memiliki satu kekuatan yang dapat mencegahnya dari berbuat hal-hal tersebut di atas. Berkenaan dengan hal ini Imam Ali a.s. berkata: “Orang kafir adalah penipu yang mengacaukan ketenteraman orang lain dengan tipu dayanya, curang, pengkhianat dan bangga dengan kebodohannya”.[43] Berkenaan dengan sifat bohongnya Allah berfirman: “Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (Alquran)”. Dalam ayat lain Ia juga berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan; hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”.[44]

Atas dasar ini, orang kafir akan selalu berbohong dan berkhianat. Oleh karena itu kita tidak akan mungkin percaya kepada perkataan dan kelakuannya. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian berbohong. Karena bohong akan membasmi iman”. Dalam kesempatan yang lain beliau juga bersabda: “Setiap sifat (yang dimiliki oleh seseorang) bisa dimiliki oleh orang mu’min kecuali sifat khianat dan bohong”.[45]

Al-Hasan bin Mahbub berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: ‘Mungkinkah seorang mu’min kikir?’ ‘Ya’, jawab beliau. ‘Mungkinkah ia berbohong?’, tanyaku lagi. Beliau menjawab: ‘(Orang mu’min itu) tidak akan berbohong dan berkhianat’. Kemudian beliau berkata: ‘Orang mu’min bisa memiliki semua sifat dan watak kecuali khianat’.[46]

Yang pantas diperhatikan di sini, seorang mu’min mungkin berbohong. Akan tetapi ia berbohong karena satu maslahat yang memaksa. Adapun orang kafir, kebohongannya didasari oleh rasa ingin menghancurkan kemakmuran orang lain.

Ketika kita meneliti reverensi-reverensi keislaman, akan kita dapati bahwa berbohong karena suatu maslahat yang sangat penting, disukai oleh Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Rasulullah pernah berwasiat kepada Imam Ali a.s.: “Wahai Ali, sesungguhnya Allah menyukai berkata bohong jika mendatangkan maslahat dan membenci berkata benar jika menyebabkan kekeruhan”. Dalam kesempatan yang beliau juga pernah bersabda: “Wahai Ali, dalam tiga kondisi berbohong itu baik: mengatur taktik perang, mengancam isterimu dan mendamaikan dua orang yang bertengkar”.[47]

Ketika orang-orang kafir menghadapi argumen-argumen orang mu’min yang menyingkap kepalsuan klaim-klaim mereka, mereka akan gentar dan kehilangan kontrol. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menuduh orang-orang mu’min tersebut berkata bohong.

Hal inilah yang pernah dilakukan oleh penduduk Madyan ketika menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu’aib a.s. Alquran mengatakan: “Penduduk Aikah telah mendustakan para rasul. Ketika Syu’aib berkata kepada mereka: ‘Mengapa kalian tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah rasul yang dapat dipercaya (yang diutus) kepada kalian. Maka bertakwalah dan taatilah aku. Dan aku sekali-kali tidak meminta upah darimu atas ajakan ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kalian merugikan hak-hak manusia, dan berjalan di atas bumi ini sambil berbuat kerusakan. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dan umat-umat yang terdahulu’, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir, dan kamu adalah seorang manusia seperti kami, dan kami yakin bahwa kamu termasuk orang-orang pendusta”.[48]

Hal serupa dilakukan oleh Zulaikha, isteri seorang pembesar Mesir. Ketika ia tergila-gila oleh ketampanan Yusuf a.s., ia berusaha untuk membujuknya berbuat perbuatan yang tidak terhormat. Akan tetapi Yusuf menolak bujukan tersebut. Akhirnya Zulaikha menuduhnya (di hadapan suaminya) telah memaksanya berbuat hal itu. Yusuf berhasil menepis tuduhan itu dengan perantara saksi dari keluarga Zulaikha. Sebagaimana yang diceritakan oleh Alquran saksi itu berkata: “Jika baju gamisnya loyal di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang pendusta. Dan jika baju gamisnya loyal di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Ketika suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf loyal di belakang, ia berkata: ‘Sesungguhnya kejadian itu adalah di antara tipu dayamu. Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar”.[49]

Wanita ini telah menuduh Yusuf a.s. berbohong demi membebaskan dirinya dari kehinaan. Akan tetapi Allah telah membebaskan Yusuf a.s. dari segala tuduhan bohong tersebut.

5. Mencemooh dan mengolok-olok orang lain

Karena kebodohan orang kafir dan ketidak mampuannya untuk menundukkan mu’minin dengan argumen dan dalil yang kuat, maka untuk menutupi kelemahannya ini mereka mencemooh dan memperolok-olokkannya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Kehidupan dunia dijadikan indah di mala orang-orang kafir, dan mereka memandang hina kepada orang-orang yang beriman”.[50]

Ini adalah salah satu sifat orang kafir di setiap masa dan tempat. Ia selalu mencemoohkan orang-orang saleh dan menuduh mereka bodoh, terbelakang dan ortodoks.

Sebagai contoh, ketika Allah memerintahkan Nabi Nuh a.s. untuk membuat kapal laut, melihat beliau sebagai tukang kayu, orang-orang kafir terheran-heran dan mencemoohnya. Berkenaan dengan realita sejarah ini Allah berfirrnan: “Dan mulailah Nuh membuat bahtera.

Dan setiap kali sekelompok dari kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Nuh berkata: ‘Jika kalian mengejek kami, maka kamipun akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami”.[51]

Penduduk Madyan tidak beriman kepada Allah dan menyembah selain-Nya. Kebiasaan mereka ketika mereka menjual barang, adalah curang dalam timbangan. Oleh karena itu, Allah mengutus rasul-Nya, Syu’aib a.s. untuk mengajak mereka menyembah-Nya, meninggalkan kebiasaan jelek itu, berbuat adil dan mengingatkan mereka akan akibat buruk kezaliman.

Sebagai jawabannya, mereka menolak ajakan itu dan mencemoohkannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman: “Mereka berkata: ‘Wahai Syu’aib, apakah shalatmu menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau kami berbuat sesuka hati kami dengan harta-harta kami?”.[52]

Sikap semacam inilah yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat petunjuk. Karena setiap mereka mendengar nasehat dari seseorang, mereka akan menafsirkannya secara negatif dan mencemoohkannya.

Dalam sebuah ayat Allah mengutarakan kemunafikan mereka seraya berfirman: “Dan ketika mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‘Kami beriman’, dan ketika mereka kembali kepada syetan-syetan mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian. Kami (melakukan itu) hanyalah demi mengolok-olokkan (mereka)”.[53]

6. Bangga diri dan sombong

Bangga diri dengan kekuatan dan enggan menerima kebenaran adalah karakter utama orang kafir. Mereka terlena, lalai dan lupa akan amarah Allah yang dahsyat, sehingga mereka menyangka bahwa kekuatan yang mereka miliki tidak akan musnah dan sima. Alquran mengejek rasa bangga dan mimpi-mimpi indah mereka ini. Allah berfirman: “Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam keadaan tertipu”.[54]

Oleh karena itu, ketika orang-orang yang beriman membuktikan kehampaan impian mereka dan akan sirnanya kekuatan yang mereka miliki itu, mereka tidak mau terima dan menentang hal itu. Dalam kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman: “Sebenarnya orang-orang kafir itu selalu sombong dan menciptakan permusuhan”.[55]

Berkaitan dengan karakter yang dimiliki oleh orang kafir ini, kisah orang yang memiliki dua kebun besar adalah salah satu contoh indah yang terdapat di dalam Alquran.

Ia adalah orang kaya yang terlena oleh kekayaan yang dimilikinya. Ia selalu membanggakan dirinya dengan harta dan pembantu-pembantu yang dimilikinya di hadapan kawannya yang mu’min dan miskin.

Dari cara penyampaian kisah itu dapat dipahami bagaimana syetan berhasil membuai orang-orang kaya dan menjerurnuskan mereka ke lembah kehancuran, dan bagaimana iman meninggikan orang-orang mu’min dan menjanjikan kepada mereka kesejahteraan di dunia dan akherat.[56]

Perhatikanlah kisah berikut ini. “Dan berikanlah kepada mereka (mu’minin dan kafirin) perumpamaan dua orang laki-laki. Kami berikan kepada salah seorang dari mereka (yang kafir) dua petak kebun anggur. Kami kelilingi kedua kebun tersebut dengan pohon-pohon karma dan di antara dua kebun tersebut Kami buatkan ladang. Kedua petak kebun itu menghasilkan buah dan buahnya tidak kurang sedikitpun. Di celah-celah kedua petak kebun tersebut Kami alirkan sungai. Pemilik kebun itu memiliki kekayaan yang besar.

Maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min ) ketika ia bercakap-cakap dengannya: ‘Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat’. Dan ia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya. Ia berkata: ‘Aku yakin kebun ini tidak akan binasa selama-selamanya dan aku tidak mengira kiamat itu akan datang. Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari kebun-kebun ini’. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya: ‘Apakah kamu kafir kepada Allah yang telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu ia menjadikanmu seorang laki-laki yang sempurna? Akan tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa ketika kamu memasuki kebunmu kamu tidak mengatakan masya-Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap harta dan anakku lebih sedikit dari (harta dan anak)-mu, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberikan kepadaku apa yang lebih baik dari kebunmu, dan mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu sehingga kebun itu rata dengan tanah, atau airnya surut ke dalam tanah yang kamu tidak akan dapat menemukannya lagi’. Dan harta kekayaannya binasa, lalu ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) atas segala harta yang ia belanjakan untuk itu semua. Pohon-pohon (kebunnya) roboh bersama para-paranya dan ia berkata: ‘Aduhai, kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku!’ Dan tidak ada lagi baginya kelompok yang menolongnya selain Allah, dan ia sekali-kali tidak akan dapat membela diri”.[57]