Pengaruh Iman atas Kehidupan Individu
Islam adalah titik pennulaan kelahiran satu generasi baru yang cinta akan nilai-nilai luhur dan hikrnah, mengarungi samudra ilmu dan pengetahuan, tampil dengan penuh percaya diri dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Perubahan drastis ini tidak timbul dari kehampaan dan secara kebetulan, akan tetapi hal itu didasari oleh tuntunan-tuntunan iman yang menyimpan nilai-nilai peradaban yang tinggi. Dalam kesempatan ini selayaknya kita membahas tuntunan-tuntunan yang tersimpan dalam iman melalui pengaruhnya yang besar dalam beberapa segi dan dimensi kehidupan manusia.
1. Pengaruh ilmiah (intelektual)
Dengan cahayanya yang cemerlang, Islam telah berhasil membuka pintu-pintu ilmu dan pengetahuan yang tertutup rapat di hadapan masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal ilmu dan pengetahuan samawi.
Islam telah membentuk cara berpikir masyarakat yang positif. Ia merangsang mereka untuk merenungkan segala kekuatan dan rahasia alam yang tersembunyi di dunia yang luas ini.
Hal ini dilandasi oleh tujuan-tujuanyang bermacam-macam. Yang terpenting adalah mengenal Allah Ta’ala dan keberadaan-Nya melalui apa yang dapat dirasakan dan dilihat oleh manusia. Begitu juga, dengan perenungan tersebut, agar mereka dapat mengungkap hukum dan aturan-aturan yang mengatur alam semesta ini dengan teliti dan jitu. Hal ini membantu tumbuhnya satu gerakan ilmiah yang dapat dimanfaatkan oleh ulama dan para ilmuwan ilmu alam dari sejak munculnya Islam hingga sekarang ini.
Pengaruh iman tidak hanya terbatas sampai di sini. Terdapat pengaruh-pengaruh iman dalam bidang ekonomi, politik, ilmu sosial, sejarah, filsafat dan teologi yang digunakan oleb para ahli sebagai bahan rujukan dalam penelitian-penelitian mereka.
Lebih dari itu, Alquran juga memiliki aturan, perintah dan hukum-hukum politik yang tersusun secara teliti.
Ringkasnya, peradaban Islam yang dikagumi oleh bangsa-bangsa Eropa selama beberapa abad terakhir, muncul oleh dinamisme iman yang merangsang para pengikutnya untuk selalu berusaha keras dalam menimba ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam usaha membasmi buta huruf semenjak Islam berkembang. Rasulullah saw meminta dari para tahanan perang Badar agar mengajar muslimin jika mau bebas.
Hal ini dikarenakan buta huruf adalah wahab penyakit yang dapat menghancurkan satu umat. Oleh karena itu, telah sampai kepada kita himbauan Islam agar orang-orang pintar bersedia mengajar orang-orang bodoh.
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Allah tidak memerintahkan orang-orang bodoh untuk belajar kecuali sebelum itu telah memerintahkan orang-orang alim untuk mengajarkan ilmunya”.
Dan satu sisi, Islam juga menganjurkan para pengikutnya untuk menambah ilmu yang bermanfaat dan dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.
Rasulullah saw bersabda: “Jika aku berada di suatu hari dan pada hari itu aku tidak dapat menambah ilmu yang dapat mendekatkan diriku kepada Alia Ta’ala, maka hari itu bukanlah hari yang memiliki berkah bagiku”.
Dalam sebuah hadits, Imam Ali a.s. menyebutkan hasil-hasil positif iman dan peran pentingnya dalam kemajuan dan kebahagiaan manusia. Beliau berkata : “Tuntutlah ilmu, niscaya ilmu tersebut akan memberikan kehidupan kepada kalian”.
Menurut Islam, ilmu memiliki peran yang sangat penting (dalam segala bidang). Atas dasar ini, ilmu lebih utama dari ibadah.
Rasulullah saw bersabda: “Keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaanku dibanding dengan orang yang terendah derajatnya dari kalian”.
Abu Hamzah meriwayatkan dari Abu Ja’far a.s., beliau berkata: “Seorang alim yang bermanfaat ilmunya lebih utama dari tujuh puluh orang ahli ibadah”.
Hadits-hadits di atas memberikan gambaran kepada kita betapa Islam selalu mendorong setiap individu untuk berlomba-lomba dalam menggali ilmu pengetahuan. Karena pengetahuan adalah satu kepandaian dan kearifan, dan kepandaian adalah satu kekuatan.
2. Pengaruh amaliah
Pengaruh iman dapat dilihat dengan jelas dalam akhlak dan perilaku seorang mu’min. Orang kafir akan menggunakan segala cara dan perantara tanpa mempertimbangkan nilai dan norma-norma akhlak untuk menggapai satu tujuan. Sedangkan orang mu’min, demi mencapai tujuannya, ia akan meniti jalan yang dilandasi oleh norma-norma akhlak yang mulia.
Atas dasar ini, orang yang sempurna imannya, akan sempurna pula akhlaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya”.
Oleh karena itu, kita melihat tuntunan-tuntunan etik tersebar luas di dalam ajaran-ajaran agama kita, hal itu tak lain karena adanya hubungan antara iman dan akhlak.
Atas dasar ini, orang-orang yang hidup di dalam masyarakat yang tak beriman, akan mengalami dekadensi moral yang dahsyat (dengan tercerabutnya rasa malu dari hati mereka). Karena rasa malu adalah cabang iman, bahkan dalam hadits Nabi saw: “Rasa malu dan iman adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satunya musnah, maka yang lainnyapun akan musnah”.
Di samping itu, iman menganjurkan setiap individu untuk beramal dan bekerja yang halal. Iman mencegah setiap pengikutnya untuk bermalas-malasan dan menengadahkan tangan kepada orang lain.
Di antara wasiat Imam Ash-Shadiq a.s. kepada muslimin secara umum dan kepada pengikut beliau: “Janganlah kalian malas untuk mencari rezeki demi kehidupan kalian. Karena kakek-kakek kami giat dalam mencari rezeki (demi memakmurkan kehidupan mereka)”. Beliau telah merealisasikan wasiatnya tersebut dalam bentuk amal.
Al-Faudlail bin Abi Qurrah berkata: “Kami masuk ke rumah Abu Abdillah a.s. dan beliau sedang bekerja di halaman. Kami berkata berkata beliau: ‘Biarlah kami atau pembantu yang mengerjakannya untuk anda!” Beliau menyanggah seraya berkata: ‘Jangan! Biarlah aku yang mengerjakannya. Karena aku ingin Allah melihatku bekerja dengan kedua tanganku dan mencari rezeki halal dengan jalan melelahkan diriku”.
Selain menuntun para pengikutnya dengan perkataan, Imam Ash-Shadiq a.s. juga menuntun mereka melalui praktek amaliah. Inilah metode mendidik yang digunakan oleh Ahlul Bayt a.s. Hal ini dikarenakan praktek amaliah memiliki peranan yang besar dalam membentuk arah pandang dan kepribadian (seseorang), di samping itu, amal dan praktek amaliah lebih kuat pengaruhnya dari perkataan.
Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa iman mampu mendorong setiap individu untuk berperilaku ideal yang terjelmakan dalam akhlak yang terpuji dan amal saleh.
3. Pengaruh rohani (kejiwaan)
Ketika seorang mu’min mengingat Allah dan mengadakan interaksi dengan kekuatan Ilahi yang agung, maka akan sirnalah rasa takut dan kelemahannya, dengan demikian hatinya menjadi tenang.
Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram”. Dalam ayat yang lain Ia juga berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan petunjuk”.
Iman membawa ketenangan jiwa dan memusnahkan rasa takut seseorang ketika cobaan-cobaan hidup datang silih berganti.
Dalam sejarah, banyak kita temukan bukti-bukti kesimpulan ini. Qanbar, pembantu yang sangat mencintai Amirul Mu’minin a.s., selalu membuntuti beliau dari belakang secara diam-diam sambil menenteng pedang.
Suatu malam Imam Ali a.s. melihatnya sedang membuntutinya. Beliau bertanya: “Wahai Qanbar, apa yang sedang kau lakukan?” Ia menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, aku ingin mengawal anda dari belakang. Karena masyarakat ―sebagaimana yang anda ketahui―, memusuhi anda. Aku khawatir akan keselamatan anda”. Beliau bertanya kembali: “Apakah kamu ingin menjagaku dari bahaya penghuni langit atau penghuni bumi?” “Dari bahaya penghuni bumi”, jawabnya. Beliau berkata: “Sesungguhnya penghuni bumi tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap diriku tanpa izin Allah azza wa jalla dari langit. Karena itu, pulanglah!”.
Ya’Ia bin Murrah berkata: “Sudah menjadi kebiasaan Imam Ali a.s. keluar malam menuju ke masjid untuk melaksanakan shalat sunnah. Kami datang berkumpul untuk menjaga beliau. Setelah beliau selesai melaksanakan shalat, beliau menghampiri kami seraya berkata: “Mengapa kalian duduk di sini?” “Kami sedang menjaga anda”, jawab kami. “Apakah kalian menjagaku dari (bahaya) penghuni langit atau penghuni bumi?”, tanya beliau kembali. “Kami menjaga anda dari (bahaya) penghuni bumi”, jawab kami. Beliau berkata: “Tidak akan terjadi suatu peristiwa di bumi kecuali jika sudah ditentukan di langit. Setiap orang dijaga oleh dua malaikat yang selalu menyertainya hingga datang ajalnya. Jika ajalnya telah tiba, mereka akan pergi darinya. Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan sebuah perisai kokoh kepadaku. Jika ajalku telah tiba, Allah akan mencabutnya dariku... Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sehingga ia meyakini bahwa sesuatu yang telah ditentukan akan menimpanya, tidak akan meleset dan sesuatu yang telah ditentukan tidak akan menimpanya, hat itu tidak akan terjadi alas dirinya”.
Iman akan mendorong orang mu’min untuk pasrah penuh terhadap qadla’ dan qadar IIahi. Dengan itu, jiwanya akan teramankan dari perasaan takut dan khawatir.
Atas dasar ini, iman adalah satu unsur penting yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa. Hal ini telah diakui oleh mayoritas ahli psikologi, antara lain Dr. Ernest Adolf, seorang asisten dosen di universitas Sant Jhon’s, Amerika Serikat.
Ketika ia ditanya tentang faktor-faktor utama stres ia berkata: “Faktor-faktor utama penyakit ini adalah rasa berdosa atau bersalah, dengki, takut, khawatir, kesedihan, kebimbangan, keraguan dan kejemuan.
Yang sangat disayangkan, para ahli pengobatan penyakit jiwa sebetulnya mampu mendeteksi faktor-faktor kegoncangan jiwa yang menyebabkan stres itu, akan tetapi mereka gagai total dalam usaha mengobatinya. Hal ini dikarenakan mereka tidak menanamkan keimanan pada Tuhan di dalam sanubari para penyandang penyakit ini ketika mengobatinya”.
Atas dasar ini, poin penting yang dapat membantu penyembuhan penyakit-penyakit jiwa seseorang adalah kita harus membantunya untuk mengakui kesalahan-kesalahannya. Karena mengakui semua kesalahan yang pernah dilakukannya akan mengembalikan keseimbangan dan ketenangan kepada jiwanya yang goncang itu.
Secara teori, Alquran mengakui keabsahan cara pengobatan ini. Akan tetapi Alquran menegaskan supaya pengakuan tersebut dilakukan di hadapan Tuhan di saat seseorang menyendiri dengannya, bukan di hadapan orang lain.
Ketika seseorang berkata dalam qunut shalatnya:
﴿ربّنا ظلمتا أنفسنا وأن لم تغفر لنا وترحمنا لنکوتنّ من الخاسرين﴾
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi”.
ia akan merasa lega dan terbebas dari tekanan perasaan berdosa.
Alquran telah menukil beberapa pengakuan dari hamba-hamba saleh dan para nabi. Seperti pengakuan Nabi Musa a.s. ketika beliau membunuh seseorang tanpa sengaja:
﴿رب انی ظلمت نفسی فاغفرلی﴾
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu, ampunilah aku”.
Lebih dari itu, keyakinan manusia bahwa ia tidak sendiri dan Allah selalu menyertainya, akan menimbulkan suatu ketenangan dan rasa percaya diri serta membasmi rasa takut, bimbang dan kesendirian darinya. Hal ini dikarenakan Allah sendirilah yang menenangkannya.
Ia berfirman: “Dan Ia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Ringkasnya, iman akan memadamkan api ketakutan, kebimbangan dan kegundahan seseorang. Sebagai gantinya, iman tersebut akan memberikan kesehatan jiwa dan jasmani kepadanya.
Psikologi menegaskan bahwa ketika manusia ditimpa oleh ketakutan, kesusahan atau kemarahan, akan terjadi perubahan dan kegoncangan-kegoncangan psikologis yang berbahaya baginya jika hal itu telah kronis.
Kegundahan yang telah mengeras dan kontinyu kadang-kadang bisa menyebabkan luka lambung atau usus dua betas jari. Sedang kebencian yang terpendam dalam waktu yang panjang dapat menyebabkan tekanan darah.
Di samping itu, iman juga mendatangkan ketentraman dan ketenangan bagi jiwa seseorang sehingga ia tidak pernah merasa hidup sendiri. Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Ya Allah, Engkau adalah teman yang terbaik bagi para kekasih-Mu. Jika mereka mereka dilanda kesepian, mereka akan tenteram dengan mengingat-Mu. Dan ketika mereka ditimpa musibah, mereka akan berlindung di bawah naungan-Mu. Karena mereka meyakini bahwa tali kendali segala urusan ada di tangan-Mu”.
4. Pengaruh iman dalam membentuk kepribadian seorang mu’min
Iman adalah titik tolak manusia untuk mencapai kemuliaan. Karena iman membekalinya dengan etika dan budi pekerti yang luhur, dan membantunya untuk selalu percaya diri dan berjalan menuju tujuan akhirnya dengan langkah yang pasti.
Lukman Al-Hakim pernah ditanya: “Bukankah kamu pembantu keluarga orang itu?”
“Ya”, jawabnya. Kemudian ia ditanya kembali: “Apakah yang menyebabkan kamu sampai kepada derajat yang kau miliki sekarang ini?”
Ia menjawab: “Berkata benar, memegang amanat, meninggalkan sesuatu yang tidak kubutuhkan, menjaga mataku (dari melihat hal-hal yang dilarang), menjaga mulutku, dan makan yang halal. Barang siapa yang mengerjakan sebagian dari apa yang telah aku sebutkan itu, maka ia berada di bawahku. Barang siapa yang melakukan lebih dari itu, niscaya ia berada di atasku. Dan barang siapa yang mengerjakan segala apa yang telah kusebutkan tadi, maka kedudukannya seperti kedudukanku”.
Iman akan memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada manusia, dan dengan itu, kehinaan tidak akan pernah menghampirinya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mu’min. Tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui”. Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyerahkan kepada orang mu’min semua urusannya (yakni, ia bisa melakukan segala yang ia sukai). Akan tetapi, Allah tidak rela jika ia hina”.
Iman juga menjadikan seseorang berwibawa sehingga orang lain akan memandangnya dengan penuh hormat dan pengagungan. Seseorang pernah berkata kepada Imam Hasan bin Ali a.s.: “Anda memiliki keagungan”. Beliau membalas: “Tidak! Aku memiliki kemuliaan. Allah berfirman: ‘Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan mu’minin”.
Iman juga menimbulkan satu revolusi besar dalam kehidupan manusia yang dapat membebaskannya dari perbudakan maksiat menuju ketaatan. Dari iman itu ia akan mencapai anugerah-anugerah Ilahi yang tidak dapat diperkirakan harganya.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Ketika Allah azza wa Jalla telah menyelamatkan seorang hamba dari perbudakan maksiat menuju kemuliaan takwa, maka Allah telah membuatnya kaya tanpa harta, memuliakannya tanpa kerabat dan menenteramkannya tanpa manusia lain”.
Atas dasar ini, penghambaan kepada Allah adalah sumber kemuliaan, kebanggan dan ketinggian derajat. Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Tiada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada Islam dan tiada kemuliaan yang lebih mulia dari takwa”. Ketika bermunajat kepada Allah, beliau berkata:
الهي، کفی بي عزّا أن أکون لك عبدا وکفی بي فخرا أن تکون لي ربّا
“Ya Tuhanku, alangkah mulianya aku ketika aku sebagai hamba-Mu, dan alangkah bangganya aku ketika Engkau sebagai Tuhanku”.
Ringkasnya, iman akan meninggikan kedudukan manusia (di mata manusia) dan mengangkat tingkat spiritualitasnya yang tercennin dalam kekokohan dan keagungan pribadinya.
5. Pengaruh-pengaruh iman yang lain:
a. Memperkuat kontrol diri
Iman dapat memberikan kemampuan kepada seseorang untuk mengontrol dirinya sehingga ia mampu menyembunyikan segala musibah, kesusahan, penyakit yang menimpanya dan amal-amal baik yang pernah dilakukannya karena takut riya’.
Allah swt memuji orang-orang yang dapat menguasai diri dan memendam amarahnya. Ia berfirman: “... Dan orang-orang yang menahan amarahnya”.
Begitu juga iman akan memberikan kemampuan kepadanya untuk mengontrol lidahnya sehingga ia tidak akan mengucapkan sesuatu yang mengundang amarah Allah, karena ia hidup dengan penuh perhitungan, baik dalam perkataan atau amal.
Berbeda dengan orang kafir. Dalam sebuah hadits termaktub: “Lidah orang mu’min berada di belakang hatinya. Jika ia ingin mengucapkan sesuatu, ia akan merenungkannya terlebih dahulu kemudian mengucapkannya. Dan lidah orang munafik berada di depan hatinya. Jika ia ingin mengucapkan sesuatu, ia akan mengucapkannya tanpa perenungan sebelumnya”.
b. Keteguhan dan Keberanian
Iman dapat menwnbuhkan keberanian dan keteguhan dalam diri orang mu’min ketika ia berada di medan jihad. Dengan keberanian dan keteguhan itu, ia akan mampu menguasai hawa nafsunya yang condong kepada kehidupan dunia dan tidak mau sulit.
Pada peristiwa perang Badar, muslimin yang berjumlah sedikit, dengan bekal dan persenjataan yang tidak memadai mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap dengan kekuatan iman mereka.
Seorang orientalis modern, Jack Reizler, penulis buku Yaqdhatul Islam (Kebangkitan Islam) dan Al-Hadlarah Al-‘Arabiyah (Peradaban Arab) yang telab dicetak di Perancis pada tabun 1962 M menulis: “Dengan munculnya agama Islam, peradaban Arab mulai berkembang pesat. Perkembangan dan tersebaruya peradaban ini (di seantero dunia) disebabkan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah meningginya semangat spiritual di dada muslimin sebagai hadiah agama baru ini.
Semangat spiritual inilah yang memberikan keberanian kepada mereka sehingga mereka tidak takut mati dijalan Allah”.
c. Waspada dan mawas diri
Iman dapat memberikan kepada seseorang suatu kemampuan untuk memandang kehidupan di sekitarnya dengan teliti.
Ia tidak akan tertipu oleh rayuan-rayuan dunia yang menggiurkan. Ia akan mencari harta dunia hanya sekedar dapat hidup dan tidak tergiurkan oleh kekayaan (yang menjadi dambaan mayoritas manusia).
Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Orang mu’min memandang dunia demi mengambil pelajaran (‘ibrah), berbekal harta dunia hanya sekedar dapat hidup dan (dalam sanubari) ia tidak mencintai dunia sedikitpun”.
Suwaid bin Ghaflah berkata: “Setelah Amirul Mu’minin dibai’at menjadi khalifah, aku bertamu ke rumah beliau. (Ketika aku masuk), beliau sedang duduk di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Aku tidak melihat perabotan lain dalam rumah itu selain tikar tersebut.
Aku berkata (dengan penuh keheranan): ‘Wahai Amirul Mu’minin, harta Baitul Mal ada di tangan anda, tapi aku tidak melihat perabotan di rumah ini yang layak dimiliki oleh sebuah rumah!’. Beliau menjawab: ‘Wahai putera Ghaflah, orang yang berakal dan cerdik tidak akan memenuhi rumah sementaranya dengan perabotan yang berwarna-warni. Kami memiliki satu rumah abadi nan tenteram dan kami telah memindahkan perabotan yang terbaik ke rumah tersebut, dan tidak lama lagi kami akan pergi menuju ke sana”.