PENGANTAR EDITOR
Kehidupan manusia sejak kecil adalah meniru orang-orang yang di sekitamya. Seorang anak akan menjadikan kedua orang-tuanya sebagai contoh pertama dalam dalam menjalani hidupnya. Apa yang dilakukan dan diajarkan orang-tua bagi seorang anak akan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apabila orang-tuanya mengajarkan kehidupan dengan akhlak yang buruk, maka kehidupan selanjutnya (walaupun tidak selalu) bagi si anak akan dijalani dengan akhlak yang buruk pula.
Namun, apabila orang-tuanya mengajarkan cinta dan kasih sayang pada anaknya, maka anaknya akan tumbuh pula dengan jiwa kasih sayangnya. Begitu pula dengan ajaran keimanan yang diberikan orang-tuanya, akan menjadikan kehidupan anak itu penuh dengan keimanan pula. Kekuatan iman yang telah tumbuh dalam dirinya selanjutnya akan tumbuh menciptakan dunia cinta. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Ali, Rasulullah saw menjawab pertanyaan tentang berkasih sayang sesama mereka (orang-orang beriman) (QS. Al-Fath:29) dengan berkata, “Jiwa yang paling disayangi Allah adalah yang kukuh dalam agama, suci dalam iman, dan baik hati terhadap orang-orang beriman.”
Menumbuhkan kekuatan keimanan sehingga berbuah akhlak yang mulia adalah adalah persoalan yang sulit. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan akhlak adalah dengan metode mencontoh seperti yang dilakukan oleh anak kecil itu. Cara lainnya adalah dengan memahami konsep tentang akhlak mulia dan menjalaninya. Agama Islam mengajarkan bahwa Nama-nama Allah (Asma-ul Husna) itu merupakan konsep tentang akhlak yang mulia.
Adalah Laleh Bakhtiar, pakar Psikologi Konseling dari Institute for Traditional Psychoethics yang menulis sebuah buku Moral Healing through the Most Beatiful Names, yang isinya menyatakan bahwa kunci penyembuhan jiwa secara moral bagi pesuluk (pejalan ruhani) adalah dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna. Setidaknya ada dua ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk berakhlak dengan Asma-ul Husna ini. Dua ayat al-Quran itu adalah surat al-A’raf ayat 180 dan surat Thâhâ ayat 8, yang berbunyi, Hanya milik Allah Asma-ul Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu, dan, Dia mempunyai Asma-ul Husna. Dua ayat itu dengan jelas memerintahkan manusia untuk meneladani Asma-ul Husna agar dapat menyempurnakan jiwanya untuk dapat meraih cinta Ilahi.
Perjalanan meraih cinta Ilahi tidaklah mudah. Berbagai perjuangan batin harus dilaluinya untuk mendapatkannya. Karena dengan ‘jiwa’ ini manusia dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak bebasnya; manusia dapat bertindak adil dan terpuji atau buruk dan merusak. Dalam hal ini, perjuangan manusia untuk memilih tindakan adil dan terpuji sehingga berbuah akhlak mulia merupakan tindakan yang penuh perjuangan dan penderitaan. Memang bukan hal mudah untuk melawan godaan hawa nafsu yang menjauhkannya dari sifat kesempurnaan (baca:yang sesuai dengan Asma-ul Husna).
Untuk meraih sifat kesempurnaan itu, kita terlebih dahulu harus mengenal apa yang disebut dengan ‘jiwa’, sehingga kita dapat mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan. Jiwa pada prinsipnya berbeda dengan tubuh dan ia berdiri sendiri. Jiwa itu baru atau tidak bersifat kadim. Untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami jiwa hanya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui daya nalar kognitif atau persepsi mental, dengan mengamati kegiatan yang berasal dari jiwa tersebut. Jiwa terjelma dalam keadaan yang terus-menerus berubah, sehingga perlu dipusatkan agar sifatnya dapat disempurnakan.
Pada dasarnya jiwa mempunyai fungsi untuk menangkap hal-hal yang bersifat imaterial dengan esensinya sendiri dan mengatur serta mengendalikan tubuh fisik dengan menggunakan fakultas dan organ. Jiwa bukanlah tubuh, tidak bersifat fisik, dan tidak dapt ditangkap oleh indra. Jiwa mencakup jiwa nabati (fakultas nutritif, fakultas augmentatif, dan fakultas yang mengalami pertumbuhan san kehancuran), jiwa hewani (fakultas persepsi san motivasi), san jiwa manusiawi, yang mengandung empat aspek utama: ruh (rûh), hati (qalb), akal (‘aql), dan hawa nafsu atau aspek irasional jiwa.
Dalam hati inilah terdapat ruh yang tak memiliki jumlah, kuantitas, atau ukuran. Ruh adalah sumber dari Asma-ul Husna yang akan diberikan kepada hati, agar hati dapat menjalani kehidupan, mendapatkan pengetahuan, dan kemampuan kognitif. Hal ini merupakan berkah bagi hati, karena sebagai pusat kesadaran tentang Allah, hati dapat mengantarkan jiwa menuju kesempurnaan. Hati disebut qalb yang berarti ‘berbolak-balik’. Pada kenyataannya hati memang senantiasa berbolak-balik antara dua dunia —material dan spiritual.
Menjaga hati agar terus dalam kondisi menuju kesempumaan jiwa memang tidak mudah. Menurut Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Laleh, ada tiga cara agar manusia dapat memperoleh pengetahuan jiwa. Pertama, pengetahuan tentang makna Asma-ul Husna sebagai ayat-ayat Allah di ufuk dan di dalam jiwa dapat melalui penyaksian dan penyingkapan. Kedua, dengan memuliakan dan menghormati sifat-sifat ini, yang ingin dimiliki pesuluk agar ia bertambah dekat dengan-Nya dalam arti kualitas bukan tempat. Sedangkan yang ketiga adalah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, pesuluk mengosongkan diri dari semua hasrat kecuali untuk Allah.
Dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna ini, maka manusia dapat menyucikan hatinya, sehingga Cahaya fitrah yang terkandung dalam dirinya dapat mewujud. Melalui bimbingan Cahaya fitrah ini, maka hati akan mengikuti akal budi menuju nilai spiritual, dan menjauhi hawa nafsu dan dunia materi. Wujud dari bimbingan Cahaya fitrah itu adalah seorang pesuluk dapat mengaplikasi Asma-ul Husna dalam pergaulannya di masyarakat dengan mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji.
Dengan terhujam dan menyatu Asma-ul Husna dalam dirinya, maka seorang pesuluk akan menjelmakannya menjadi kepatutan moral seorang yang saleh dan cerdas. Ia akan mengenali tujuan hidupnya adalah untuk menyempurnakan dirinya. Tanpa moralitas, tak akan ada kesempurnaan. Tanpa disiplin diri tak akan ada moralitas. Dalam kesehariannya seorang pesuluk akan bersifat penyantun, tidak tergesa-gesa menghakimi sesama. Kepatutan moral menyebabkan ia merenungkan apa yang dianggapnya agung mengenai dirinya, dan menjauhi dirinya dari hal yang dapat menuntun dirinya kepada kesombongan, keangkuhan, dan takabur kepada sesama.
Seorang pesuluk akan memperkuat imannya sebagai ahli tauhid yang saleh dan cerdas, dan ia dapat menjadi penutup kesalahan orang lain dan bersyukur kepada Allah atas berkahnya. Ia akan menjalankan sifat kedermawanan terhadap sesama demi Allah semata. Dalam kehidupannya, seorang pesuluk adalah pengemban amanat Allah untuk alam semesta. Ia menjadi kuat dan kukuh dalam mengalahkan musuh dan menjadi teman untuk ‘teman-teman’ (baca:pengikut) Allah. Dalam ibadahnya ia menjadi yang paling awal, dan yang terakhir dalam menegur kesalahan sesamanya dengan terlebih- dahulu menegur kesalahan dirinya.
Pada puncak ruhaninya, seorang pesuluk akan menjelmakan dalam kehidupannya, yakni pengetahuan, perasaan dan perilakunya sebagai Cahaya Allah. Sehingga seorang pesuluk merupakan petunjuk bagi sesama, dan selalu menyibukkan dirinya dengan amal-amal saleh dengan penuh kesabaran. Akhlak mulia dan terpuji itu merupakan buah dari proses riyadhah (penyucian diri) yang dilakukan seorang pesuluk dalam meraih cinta Ilahi.
Buku Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi yang sedang Anda baca ini memaparkan bahwa dalam meraih cinta Ilahi itu tidaklah mudah. Buku ini banyak menjelaskan mengenai bagaimana kita dapat beriman kepada Allah dan menumbuhkan cinta kepada-Nya sehingga berbuah akhlak yang mulia sebagaimana tercermin dalam Asma-ul Husna-Nya. Berbagai pengertian yang sering terdapat dalam istilah akhlak juga dijelaskan dalam buku ini seperti taubat, itsar, qalb, hawa nafsu, zikir, dan lain-lain dengan penjelasan yang mudah dipahami. Buku ini merupakan buku kedua dari kumpulan tulisan Buletin Jumat yang diterbitkan oleh Islamic Culture Centre melalui divisi penerbitannya Al-Huda. Adapun buku pertamanya adalah Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, yang telah mendapat sambutan baik dari pembaca.
Penerbitan buku ini didukung oleh tim redaksi Buletin Jumat yakni Ahmad Subandi, Arif Mulyadi, Ali Alatas, Andito, dan Irman Abdurrahman. Namun demikian, seluruh tulisan ini merupakan tanggung jawab saya selaku editor dan penanggung jawab Buletin Jumat. Begitu pula dengan Ahmad Rivai yang mengerjakan proses produksinya. Tak lupa saya haturkan terima kasih kepada seluruh staf Al-Huda yang dengan caranya masing-masing telah membantu penerbitan buku ini. Terakhir buku ini saya persembahkan kepada anak saya, Dewi Nadya Maharani, yang menjadi penguat hati saya dalam menjalani kehidupan yang kadang penuh dengan cobaan.
Semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari karya sederhana ini, yang merupakan sumbangan al-Faqir bagi perkembangan dakwah Islam. Semoga pula Allah meridhai apa-apa yang menjadi amal saleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Amien.
Depok, Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M
Rudhy Suharto