• Mulai
  • Sebelumnya
  • 19 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4967 / Download: 3519
Ukuran Ukuran Ukuran
Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (4)

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (4)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi

Al- Huda

PENGANTAR EDITOR

Kehidupan manusia sejak kecil adalah meniru orang-orang yang di sekitamya. Seorang anak akan menjadikan kedua orang-tuanya sebagai contoh pertama dalam dalam menjalani hidupnya. Apa yang dilakukan dan diajarkan orang-tua bagi seorang anak akan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apabila orang-tuanya mengajarkan kehidupan dengan akhlak yang buruk, maka kehidupan selanjutnya (walaupun tidak selalu) bagi si anak akan dijalani dengan akhlak yang buruk pula.

Namun, apabila orang-tuanya mengajarkan cinta dan kasih sayang pada anaknya, maka anaknya akan tumbuh pula dengan jiwa kasih sayangnya. Begitu pula dengan ajaran keimanan yang diberikan orang-tuanya, akan menjadikan kehidupan anak itu penuh dengan keimanan pula. Kekuatan iman yang telah tumbuh dalam dirinya selanjutnya akan tumbuh menciptakan dunia cinta. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Ali, Rasulullah saw menjawab pertanyaan tentang berkasih sayang sesama mereka (orang-orang beriman) (QS. Al-Fath:29) dengan berkata, “Jiwa yang paling disayangi Allah adalah yang kukuh dalam agama, suci dalam iman, dan baik hati terhadap orang-orang beriman.”

Menumbuhkan kekuatan keimanan sehingga berbuah akhlak yang mulia adalah adalah persoalan yang sulit. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan akhlak adalah dengan metode mencontoh seperti yang dilakukan oleh anak kecil itu. Cara lainnya adalah dengan memahami konsep tentang akhlak mulia dan menjalaninya. Agama Islam mengajarkan bahwa Nama-nama Allah (Asma-ul Husna) itu merupakan konsep tentang akhlak yang mulia.

Adalah Laleh Bakhtiar, pakar Psikologi Konseling dari Institute for Traditional Psychoethics yang menulis sebuah buku Moral Healing through the Most Beatiful Names, yang isinya menyatakan bahwa kunci penyembuhan jiwa secara moral bagi pesuluk (pejalan ruhani) adalah dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna. Setidaknya ada dua ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk berakhlak dengan Asma-ul Husna ini. Dua ayat al-Quran itu adalah surat al-A’raf ayat 180 dan surat Thâhâ ayat 8, yang berbunyi, Hanya milik Allah Asma-ul Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu, dan, Dia mempunyai Asma-ul Husna. Dua ayat itu dengan jelas memerintahkan manusia untuk meneladani Asma-ul Husna agar dapat menyempurnakan jiwanya untuk dapat meraih cinta Ilahi.

Perjalanan meraih cinta Ilahi tidaklah mudah. Berbagai perjuangan batin harus dilaluinya untuk mendapatkannya. Karena dengan ‘jiwa’ ini manusia dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak bebasnya; manusia dapat bertindak adil dan terpuji atau buruk dan merusak. Dalam hal ini, perjuangan manusia untuk memilih tindakan adil dan terpuji sehingga berbuah akhlak mulia merupakan tindakan yang penuh perjuangan dan penderitaan. Memang bukan hal mudah untuk melawan godaan hawa nafsu yang menjauhkannya dari sifat kesempurnaan (baca:yang sesuai dengan Asma-ul Husna).

Untuk meraih sifat kesempurnaan itu, kita terlebih dahulu harus mengenal apa yang disebut dengan ‘jiwa’, sehingga kita dapat mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan. Jiwa pada prinsipnya berbeda dengan tubuh dan ia berdiri sendiri. Jiwa itu baru atau tidak bersifat kadim. Untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami jiwa hanya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui daya nalar kognitif atau persepsi mental, dengan mengamati kegiatan yang berasal dari jiwa tersebut. Jiwa terjelma dalam keadaan yang terus-menerus berubah, sehingga perlu dipusatkan agar sifatnya dapat disempurnakan.

Pada dasarnya jiwa mempunyai fungsi untuk menangkap hal-hal yang bersifat imaterial dengan esensinya sendiri dan mengatur serta mengendalikan tubuh fisik dengan menggunakan fakultas dan organ. Jiwa bukanlah tubuh, tidak bersifat fisik, dan tidak dapt ditangkap oleh indra. Jiwa mencakup jiwa nabati (fakultas nutritif, fakultas augmentatif, dan fakultas yang mengalami pertumbuhan san kehancuran), jiwa hewani (fakultas persepsi san motivasi), san jiwa manusiawi, yang mengandung empat aspek utama: ruh (rûh), hati (qalb), akal (‘aql), dan hawa nafsu atau aspek irasional jiwa.

Dalam hati inilah terdapat ruh yang tak memiliki jumlah, kuantitas, atau ukuran. Ruh adalah sumber dari Asma-ul Husna yang akan diberikan kepada hati, agar hati dapat menjalani kehidupan, mendapatkan pengetahuan, dan kemampuan kognitif. Hal ini merupakan berkah bagi hati, karena sebagai pusat kesadaran tentang Allah, hati dapat mengantarkan jiwa menuju kesempurnaan. Hati disebut qalb yang berarti ‘berbolak-balik’. Pada kenyataannya hati memang senantiasa berbolak-balik antara dua dunia —material dan spiritual.

Menjaga hati agar terus dalam kondisi menuju kesempumaan jiwa memang tidak mudah. Menurut Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Laleh, ada tiga cara agar manusia dapat memperoleh pengetahuan jiwa. Pertama, pengetahuan tentang makna Asma-ul Husna sebagai ayat-ayat Allah di ufuk dan di dalam jiwa dapat melalui penyaksian dan penyingkapan. Kedua, dengan memuliakan dan menghormati sifat-sifat ini, yang ingin dimiliki pesuluk agar ia bertambah dekat dengan-Nya dalam arti kualitas bukan tempat. Sedangkan yang ketiga adalah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, pesuluk mengosongkan diri dari semua hasrat kecuali untuk Allah.

Dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna ini, maka manusia dapat menyucikan hatinya, sehingga Cahaya fitrah yang terkandung dalam dirinya dapat mewujud. Melalui bimbingan Cahaya fitrah ini, maka hati akan mengikuti akal budi menuju nilai spiritual, dan menjauhi hawa nafsu dan dunia materi. Wujud dari bimbingan Cahaya fitrah itu adalah seorang pesuluk dapat mengaplikasi Asma-ul Husna dalam pergaulannya di masyarakat dengan mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji.

Dengan terhujam dan menyatu Asma-ul Husna dalam dirinya, maka seorang pesuluk akan menjelmakannya menjadi kepatutan moral seorang yang saleh dan cerdas. Ia akan mengenali tujuan hidupnya adalah untuk menyempurnakan dirinya. Tanpa moralitas, tak akan ada kesempurnaan. Tanpa disiplin diri tak akan ada moralitas. Dalam kesehariannya seorang pesuluk akan bersifat penyantun, tidak tergesa-gesa menghakimi sesama. Kepatutan moral menyebabkan ia merenungkan apa yang dianggapnya agung mengenai dirinya, dan menjauhi dirinya dari hal yang dapat menuntun dirinya kepada kesombongan, keangkuhan, dan takabur kepada sesama.

Seorang pesuluk akan memperkuat imannya sebagai ahli tauhid yang saleh dan cerdas, dan ia dapat menjadi penutup kesalahan orang lain dan bersyukur kepada Allah atas berkahnya. Ia akan menjalankan sifat kedermawanan terhadap sesama demi Allah semata. Dalam kehidupannya, seorang pesuluk adalah pengemban amanat Allah untuk alam semesta. Ia menjadi kuat dan kukuh dalam mengalahkan musuh dan menjadi teman untuk ‘teman-teman’ (baca:pengikut) Allah. Dalam ibadahnya ia menjadi yang paling awal, dan yang terakhir dalam menegur kesalahan sesamanya dengan terlebih- dahulu menegur kesalahan dirinya.

Pada puncak ruhaninya, seorang pesuluk akan menjelmakan dalam kehidupannya, yakni pengetahuan, perasaan dan perilakunya sebagai Cahaya Allah. Sehingga seorang pesuluk merupakan petunjuk bagi sesama, dan selalu menyibukkan dirinya dengan amal-amal saleh dengan penuh kesabaran. Akhlak mulia dan terpuji itu merupakan buah dari proses riyadhah (penyucian diri) yang dilakukan seorang pesuluk dalam meraih cinta Ilahi.

Buku Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi yang sedang Anda baca ini memaparkan bahwa dalam meraih cinta Ilahi itu tidaklah mudah. Buku ini banyak menjelaskan mengenai bagaimana kita dapat beriman kepada Allah dan menumbuhkan cinta kepada-Nya sehingga berbuah akhlak yang mulia sebagaimana tercermin dalam Asma-ul Husna-Nya. Berbagai pengertian yang sering terdapat dalam istilah akhlak juga dijelaskan dalam buku ini seperti taubat, itsar, qalb, hawa nafsu, zikir, dan lain-lain dengan penjelasan yang mudah dipahami. Buku ini merupakan buku kedua dari kumpulan tulisan Buletin Jumat yang diterbitkan oleh Islamic Culture Centre melalui divisi penerbitannya Al-Huda. Adapun buku pertamanya adalah Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, yang telah mendapat sambutan baik dari pembaca.

Penerbitan buku ini didukung oleh tim redaksi Buletin Jumat yakni Ahmad Subandi, Arif Mulyadi, Ali Alatas, Andito, dan Irman Abdurrahman. Namun demikian, seluruh tulisan ini merupakan tanggung jawab saya selaku editor dan penanggung jawab Buletin Jumat. Begitu pula dengan Ahmad Rivai yang mengerjakan proses produksinya. Tak lupa saya haturkan terima kasih kepada seluruh staf Al-Huda yang dengan caranya masing-masing telah membantu penerbitan buku ini. Terakhir buku ini saya persembahkan kepada anak saya, Dewi Nadya Maharani, yang menjadi penguat hati saya dalam menjalani kehidupan yang kadang penuh dengan cobaan.

Semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari karya sederhana ini, yang merupakan sumbangan al-Faqir bagi perkembangan dakwah Islam. Semoga pula Allah meridhai apa-apa yang menjadi amal saleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Amien.

Depok, Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M

Rudhy Suharto

BAB IV: TAUBAT DAN RAHMAT ALLAH

Taubat dan Rahmat Allah

Pada sebuah hadis Bukhari dan Muslim diriwayatkan tentang betapa Allah Swt adalah Maha Penerima taubat. Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan al-Khudriy, Nabi saw bersabda, “Sebelum kalian, ada seorang laki-laki membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk sekitar tentang seorang alim, maka ia ditunjukkan kepada seorang Rahib (pendeta Bani Israil). Setelah mendatanginya, ia menceritakan bahwa ia telah membunuh 99 orang, kemudian ia bertanya, “Apakah ia bisa bertaubat?” Ternyata rahib itu menjawab, “Tidak”. Maka rahib itupun dibunuh sehingga genaplah jumlahnya seratus.

Kemudian ia menemui lagi seorang alim yang lain. Setelah menghadapnya ia bercerita bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, dan bertanya, “Apakah bisa ia pertaubat?” Orang alim itu menjawab, “Ya, Siapakah yang akan menghalangi orang bertaubat? Pergilah ke kota ini (menunjukkan ciri-ciri kota dimaksud), sebab di sana terdapat orang-orang yang menyembah Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke kotamu, karena kotamu kota yang jelek!”

Lelaki itupun berangkat, ketika menempuh separuh perjalanan, maut menghampirinya. Kemudian timbullah perselisihan antara malaikat Rahmat dengan malaikat Azab, siapakah yang lebih berhak membawa jiwanya. Malaikat Rahmat beralasan bahwa “Orang ini datang dalam keadaan bertaubat, dan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Sedangkan malaikat Azab beralasan bahwa “Orang ini tidak pernah melakukan amal baik”. Kemudian Allah mengutus malaikat yang menyerupai manusia mendatangi keduanya untuk menyelesaikan masalah itu, dan berkata, “Ukurlah jarak kota tempat ia meninggal antara kota asal dengan kota tujuan. Manakah yang lebih dekat, maka itulah bagiannya.” Para malaikat mengukur, ternyata mereka mendapati si pembunuh meninggal dekat kota tujuan, maka malaikat Rahmatlah yang berhak membawa jiwa orang tersebut.

Riwayat ini menggambarkan bahwa dalam bertaubat yang harus dilihat adalah aspek ruhani dari orang tersebut. Secara lahir, orang tersebut telah membunuh 100 nyawa, namun Allah tetap memberikan ampun padanya. Ini berarti ada suatu nilai yang amat tinggi yang menjadi pemberat timbangan kebaikan. Inilah yang disebut dengan taubat yang sesungguhnya. Taubat yang mampu memberikan perubahan aspek ruhani sehingga melahirkan perbuatan kebaikan.

Namun demikian, ada manusia yang tetap tidak bertaubat. Mereka ini adalah orang tidak mendapatkan petunjuk Allah yang langsung ke qalbu, karena qalbunya terkunci, tertutup oleh noda-noda dosa. Ini terjadi jika dengan sadar ataupun tanpa sadar kita merelakan diri kita untuk diatur oleh hawa nafsu dan syahwat. Allah berfirman,

Mereka itulah yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Muhammad: 16)

Dalam ayat lain disebutkan,

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS. al-Furqan:43-44)

Dosa inilah yang menghambat manusia dalam menuju pertaubatan kepada Allah. Dosa, menurut Imam al-Ghazali, ibarat asap yang menggelapkan dan mengotori kaca qalbu. Dan seiring dengan terus-menerus melakukan dosa bertambah teballah dosa menutupi qalbu. Sehingga qalbu itu hitam dan gelap. Dan secara keseluruhan qalbu itu menjadi buta, terhijab dari Allah. Jika kondisi buta ini terbawa ke alam kubur ketika ajalnya, maka keberadaanya di alam kubur yang asing dalam kondisi buta, merupakan kegelapan di atas kegelapan. Jauh lebih tersesat jalannya. Lebih-lebih jika kondisi butanya terbawa ke alam akhirat. Allah berfirman,

Dan barangsiapa yang buta (qalbunya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat jalannya. (QS. al-Isrâ:72)

Dosa-dosa ini pula yang sesungguhnya yang menghalangi seorang hamba untuk dapat diterima Allah. Padahal keselamatan itu hanya di sisi Allah dan bersama Allah! Seandainya ada sesuatu yang menghalangi diri kita dengan Allah, dan dengan rahmat-Nya, maka tiada tempat lain kecuali kecelakaan yang besar. Allah berfirman,

Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah:81)

Sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. (QS. Yunus:17)

Dengan demikian, tiada lain untuk dapat membersihkan qalbu dari noda-noda dosa, kita sangat membutuhkan rahmat (pertolongan) Allah. Hanya karena rahmat-Nya, seseorang dapat kembali suci qalbunya, sehingga ia selamat dari siksa kubur dan neraka yang menghadang. Dan pintu rahmat Allah, hanya akan terbuka apabila kita terus menerus dengan takzim mengetuknya dengan ketukan “taubatan nasûha”. Ketakziman, kerinduan dan semangat kita untuk mendapatkan rahmat-Nya itulah yang akan menyebabkan pintu rahmat-Nya terbuka.

Allah sangat bergembira terhadap hamba-hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Kegembiraan Allah terhadap orang-orang yang bertaubat, digambarkan melebihi kegembiraan orang yang mendapatkan untanya kembali setelah hilang pergi ke gurun pasir yang luas.

Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshariy berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya yang hilang di padang luas.” (Hadis Riwayat Bukhari)

Dan sebesar apapun dosa yang dibawa, selama seorang hamba dengan sungguh-sungguh ingin kembali (bertaubat) kepada-Nya, maka ampunan Allah lebih besar daripada itu. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ariy bahwa Nabi saw. bersabda,

“Sesungguhnya Allah itu membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk taubat orang yang berbuat dosa siang hari. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang, untuk taubat orang yang berbuat dosa di malam hari. Hingga matahari terbit dari timur.” (Hadis Riwayat Muslim)

Keutamaan Bertaubat

Manusia dalam hidupnya tak luput dari kesalahan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyataan elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi.

Oleh karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Apalagi jika manusia itu terbenam dalam kesalahan yang terus-menerus tentu saja tidak disukai oleh manusia dan juga Allah. Namun, jika manusia sudah terlanjur berbuat kesalahan ada jalan untuk menyesalinya yakni dengan bertaubat.

Dalam hal ini taubat tak hanya diperuntukkan bagi orang yang mempunyai kesalahan saja, taubat juga dilakukan bagi orang yang telah demikian taat menjalankan syariat, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin, namun tetap ia memerlukan taubat. Di antara kaum mukminin ada yang bertaubat dari dosa-dosa besar, jika ia telah melakukan dosa besar itu. Di antara mereka ada yang bertaubat dari dosa, dosa kecil, dan sedikit sekali orang yang selamat dari dosa-dosa macam ini. Dari mereka ada yang bertaubat dari melakukan yang syubhat. Dan orang yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan nama baiknya. Dan di antara mereka ada yang bertaubat dari tindakan-tindakan yang dimakruhkan. Dan di antara mereka malah ada orang yang melakukan taubat dari kelalaian yang terjadi dalam hati mereka. Dan dari mereka ada yang bertaubat karena mereka berdiam diri pada maqam yang rendah dan tidak berusaha untuk mencapai maqam yang lebih tinggi lagi

Namun untuk melakukan taubat, bukan perkara mudah bagi sebagian manusia. Karena dalam diri manusia terdapat rasa sombong yang menjauhkannya dari kehendak untuk bertaubat itu. Padahal jika kita menyimak ayat al-Quran, banyak sekali dorongan dan anjuran untuk bertaubat. Al-Quran berbicara,

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. al-Baqarah:222)

Maka orang yang bertaubat akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi dengan mendapatkan kasih sayang Allah.

Selain itu, keutamaan yang lebih besar dari orang yang bertaubat itu adalah mendapatkan ampunan dari Allah, hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan? Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah berfirman,

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia- lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar:53)

Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun.

Di antara keutamaan lain bagi orang-orang yang bertaubat adalah Allah menugaskan para malaikat muqarrabin untuk ber-istighfar bagi mereka serta berdoa kepada Allah agar Allah menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Allah berfirman,

(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang,orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan?) Kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS.Ghâfir:7-9).

Terdapat banyak ayat dalam al-Quran yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus. Dengan kemurahan karunia Allah, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar, Allah menerima taubat mereka. Seperti dalam firman Allah,

Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (QS. at-Taubah:104)

Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba- hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan. (QS. asy-Syûrâ:25)

Dan dalam menyifatkan Dzat Allah,

Yang mengampuni dosa dan menerima taubat. (QS. Ghâfîr: 3)

Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah dalam masalah pria dan wanita yang mencuri,

Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah:39)

Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-An’am:54)

Kemudian, sesungguhnya Tuhan-mu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl:119)

Demikian pula pujian bagi Allah dengan nama-Nya “at- Tawwab” (Maha Penerima Taubat) terdapat dalam al-Quran, seperti dalam doa Ibrahim san Ismail as,

Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah:128).

Juga seperti dalam sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi,

Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah:54)

Allah berfirman kepada Rasul-Nya,

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)

Itulah ayat~ayat yang menggambarkan bahwa Allah adalah Maha Penerima Taubat dan Allah telah memerintahkan kaum Mukminin untuk bertaubat.

Kekuatan Kelapangan Dada

Salah satu kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai kesulitan adalah mempunyai hati yang lapang seperti lautan. Al-Quran sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kelapangan dada, bahkan al-Quran menganggap penerimaan Islam bergantung kepada kelapangan dada, Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.

Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang memiliki kelapangan dada, maka Allah akan menyalakan cahaya di dalam hatinya, dan kemudian dia pun dapat memperoleh kemenangan di dalam “peperangan dalam”. Akan tetapi, jika dia tidak mampu menghadapi berbagai kesulitan, dan kehilangan keseimbangan diri menghadapi salah satu gharizah, dalam pandangan al-Quran merupakan suatu kecelakaanlah bagi dia. Kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak luas seperti lautan. Dan kecelakaanlah bagi orang yang hatinya tidak memiliki kelapangan dada. Karena, dosa yang menumpuk telah merebut kelapangan dada darinya.

Kelapangan dada adalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia. Kelapangan dada sangat penting bagi semua orang. Kelapangan dada berarti hati harus luas seperti laut, sehingga seorang manusia mampu mencema berbagai kesulitan dan kepayahan di dalam dirinya. Dia tidak ubahnya seperti laut yang mampu mencerna air yang tidak mengalir (air yang najis) namun tidak tercemar dengan percampuran itu. Dia berdiri kokoh di hadapan berbagai tarikan, sentakan, dan badai, dan tidak mempedulikan sesuatu apa pun. Jika seorang manusia ingin menang melawan nafsu ammarah-nya dan mampu mengatasi berbagai kesulitan maka hatinya harus seperti laut, yang senantiasa kokoh di dalam menghadapi air yang najis maupun air yang suci.

Dalam masyarakat, sungguh merupakan musibah jika sebuah kedudukan (jabatan) dipegang oleh seseorang yang tidak memiliki kelapangan dada. Karena dia akan menyakiti orang lain dengan bentuk yang bermacam-macam. Orang ini, dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, menjadi lupa diri; sekiranya dia telah mencapai kedudukan (padahal tidak seberapa), dia sudah tidak mau lagi menjawab salam, dan sibuk mengunakan kedudukannya bagi tujuan-tujuan pribadinya.

Akan tetapi masyarakat akan senang, jika dipimpin oleh seseorang yang bersifat tenang dan memiliki kemampuan mengendalikan diri, karena akan mampu menghadapi semua kesulitan dengan tabah, dan bangkit menyelesaikan kesulitan- kesulitan itu dengan penyelesaian yang sesuai, serta tidak ada yang diperhatikannya ketika itu kecuali Allah. Orang seperti ini menganggap ilmu dan kedudukannya sebagai sesuatu yang berasal dati sisi Allah, dan menganggap dirinya tidak mempunyai andil di dalamnya.

Ada sebuah hadis mengatakan, “Ilmu itu ada tiga tingkat. Barangsiapa yang baru masuk ke dalam tingkat pertama maka dia akan bersikap takabur; barangsiapa yang masuk ke dalam tingkat kedua maka dia akan bersikap tawadu, serta barangsiapa yang telah masuk ke dalam tingkat ketiga maka dia akan tahu bahwa sesungguhnya ia tidak mengetahui apa-apa.” Manusia yang sampai pada tingkat ketiga inilah yang sesungguhnya ia telah sampai merasakan kelapangan dada.

Kisah Nabi Musa dan Raja Mesir waktu itu, Fir’aun, dapat menjadi contoh bagaimana kekuatan kelapangan dada itu. Ketika melaksanakan misinya, Nabi Musa as tidak meminta bala tentara dan kekuasaan dari Allah, melainkan Nabi Musa hanya berkata,Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (QS. Thâhâ:25). Jelas kiranya bahwa kelapangan dada lebih penting daripada bala tentara yang lengkap dengan senjata. Dan dengan kelapangan dada inilah maka seluruh urusan akan menjadimudah.

Demikian pula orang yang mempunyai kelapangan dada akan memiliki kemauan yang kuat dan mampu menyatakan perkataan-perkataannya di hadapan semua orang, serta perkataan itu didengar mereka. Orang yang memiliki kelapangan dada jika ditanya tentang sesuatu, jika dia mengetahuinya maka dia akan menjawabnya dengan penuh ketenangan; dan apabila dia tidak mengetahuinya maka secara terus terang dia mengatakan bahwa ‘saya tidak tahu’.

Selanjutnya seorang manusia yang memiliki kelapangan dada, dia tidak akan lemah menghadapi berbagai kesulitan. Dia tidak akan kehilangan jati dirinya ketika berada di dalam kesenangan dan kegembiraan. Seluruh pekerjaannya menjadi mudah, kehendaknya menjadi kuat, dan dia tidak akan dihinggapi kegagalan di dalam berbicara. Dia dapat berbicara dengan baik. Yang lebih penting dari itu ialah kata-katanya di dengar orang dan tertanam kuat di hati-hati manusia.

Dalam sejarah Nabi sawada kisah yang dapat menjadi contoh tentang sikap kelapangan dada. Ketika Rasulullah saw diutus untuk menyeru manusia kepada agama yang benar, beliau shalat bersama Ali as dan Khadijah, istrinya di Kabah. Ketika itu Kabah penuh sesak dengan manusia. Sebagian dari mereka ada yang sedang duduk-duduk, sebagian lagi ada yang sedang melakukan thawaf, ada yang menari, dan sebagian yang lain lagi ada yang sedang bermain. Rasulullah saw mengerjakan shalat dengan penuh ketenangan. Orang-orang Arab itu memandangi mereka, dan mengatakan, “Apa yang dilakukan oleh mereka?” Jelas, ketiga orang ini bukanlah manusia biasa. Mereka tidak merasa takut di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela. Mereka adalah orang yang memiliki kelapangan dada.

Berbagai penderitaan yang dialami Rasulullah saw pada masa awal kenabian, sama sekali tidak memberikan pengaruh kepada diri Rasulullah saw. Inilah arti kelapangan dada. Inilah pengertian bahwa hati manusia harus seperti lautan, yang tidak berkeluh kesah menghadapi berbagai kesulitan dan tidak sombong menikmati berbagai kesenangan, melainkan justru berdiri kokoh dalam menghadapi berbagai kesenangan, serta bersyukur di hadapan berbagai nikmat dan kebajikan.

Jika pada diri kita tidak terdapat kelapangan dada maka ini merupakan kecelakaan. Karena ketiadaan kelapangan dada akan mengundang dosa demi dosa bagi kita. Dan ketika dosa datang menghitamkan hati, maka hati pun kehilangan kelapangannya. Sungguh kecelakaanlah bagi hati yang seperti ini.

Ada sebuah doa yang patut disimak mengenai kelapangan dada ini. Ya Tuhanku, demi kemuliaan dan ketinggian-Mu kami bersumpah kepada-Mu, karuniakanlah kepada kami kesadaran dan sifat-sifat yang baik, yaitu sifat ‘kelapangan dada’; dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk beribadah kepada-Mu dan kemampuan untuk menjauhi maksiat-Mu. Karuniakanlah kepada kami sifat-sifat insani. Wa Shallallahu ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammad.

Waktu dan Hidup Kita

Kita tahu dalam hidup ini, kita sering dibingungkan dengan berbagai pilihan tindakan. Misalnya, apakah kita harus memilih kerja atau kuliah, dan masih banyak lagi pilihan tindakan yang harus kita lakukan setiap hari. Kesalahan pemilihan ini bisa berakibat pada tidak efektifnya kita menjalani hidup. Ada suatu cerita yang menarik yang dapat diambil manfaatnya dari cerita berikut ini. Suatu hari, seorang ahli ‘Managemen Waktu’ berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yang tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya. Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata, “Baiklah, sekarang waktunya kuis.”

Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yang permulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”

Semua siswanya serentak menjawab, “Sudah.” Kemudian dia berkata, “Benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu-batu itu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?” Kali ini para siswanya hanya tertegun, “Mungkin belum”, salah satu dari siswanya menjawab. “Bagus!” jawabnya Kembali dia meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” “Belum!” Serentak para siswanya menjawab. Sekali lagi dia berkata, “Bagus!” Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kepada para siswanya dan bertanya, “Apakah maksud dari ilustrasi ini?” Seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, “Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya” “Bukan”, jawab si ahli, “Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali.

Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak, anakmu, suami/istrimu, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Hobimu. Waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya.

“Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir) dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yang kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu.”

Dalam tradisi sufi, hal-hal besar yang dimaksud oleh Ahli itu adalah bagaimana kita dalam hidup ini dapat mewujudkan cinta kita sepanjang hari kepada Allah, sang kekasih. Seperti Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang begitu cinta kepada Allah. Atau seperti al-Hallaj, yang begitu merindukan kebersatuan dengan Tuhannya.

Ungkapan cinta kepada Allah dalam tradisi sufi merupakan hal yang paling utama. Cinta kepada Allah ini adalah perkara yang paling tinggi sekali dan itulah tujuan kita yang terakhir. Kesempurnaan manusia itu terletak dalam cinta kepada Allah ini. Cinta kepada Allah ini hendaklah menakluki dan menguasai hati manusia itu seluruhnya. Kalau pun tidak dapat seluruhnya, maka sekurang-kurangnya cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lain.

Seberiamya mengetahui Cinta Ilahi ini bukanlah satu perkara yang ringan. Sehingga ada satu golongan orang bijak pandai agama yang langsung menafikan cinta kepada Allah atau Cinta Ilahi itu. Mereka tidak percaya manusia boleh mencintai Allah karena Allah itu bukanlah sejenis dengan manusia. Kata mereka; maksud Cinta Ilahi itu adalah semata-mata tunduk dan patuh kepada Allah saja. Sebenarnya mereka yang berpendapat demtkian itu adalah orang yang tidak tahu apakah hakikatnya agama itu. Semua orang Islam setuju bahwa cinta kepada Allah itu adalah satu tugas. Allah ada berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin, Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada Allah.

Begitu pula dalam sebuah hadis Nabi saw pernah bersabda, “Belum sempurna iman seseorang itu hingga ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih daripada yang lain.” Apabila malaikat maut datang hendak mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata, Pernahkah engkau melihat sahabat mengambil nyawa sahabat? Allah berfirman, Pernahkah engkau melihat sahabat tidak mau melihat sahabatnya? Kemudian Nabi Ibrahim berkata, Wahai Israil! Ambillah nyawaku! Doa ini diajar oleh Nabi saw kepada sahabatnya, “Ya Allah, kurniakanlah kepada ku cinta terhadap-Mu dan cinta kepada mereka yang Mencintai-Mu, dan apa saja yang membawa aku hampir kepada cinta-Mu, dan jadikanlah cinta-Mu itu lebih berharga kepadaku dari air sejuk kepada orang yang dahaga.”

Karakteristik cinta dan ibadah kepada Allah itu berkenaan dengan hati. Orang yang cinta kepada Ilahi hatinya dipenuhi dengan cinta, khususnya cinta akan watak spiritual, semisal nilai-nilai kemanusiaan, atau agama dan keyakinannya. Ia akan terbakar dengan cahaya cinta Tuhan ataupun menerima suatu pencerahan atau inspirasi dari-Nya. Syarat penting untuk penerimaan karunia Ilahi dan realisasi kemanusiaan yang autentik adalah membersihkan kuil hatinya dari setiap noda keterikatan materialistik dan membunuh semua berhala emas dan perak serta menyingkirkannya dari hatinya.

Dan salah satu bukti orang itu mencintai Allah, adalah dengan mencintai hamba Allah. Khususnya orang-orang miskin. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa Allah bersama orang-orang miskin itu. Sehingga dalam keadaan bangsa ini yang sedang susah, ada baiknya kita memanfaatkan waktu hidup kita untuk mencintai Allah dengan jalan membantu sesama umat manusia yang sedang ditimpa musibah dan kemiskinan.

Tanggalkan Kesedihan untuk Meraih Kesucian

Hidup manusia berayun dalam dua keadaan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Kesedihan merupakan derita jiwa yang dapat timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Biang keladinya adalah karena kita terlalu mengagungkan nilai-nilai materi, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh.

Dengan demikian hanya manusia yang menganggap bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, maka manusia yang demikian akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai atau karena gagalnya ia mendapatkan apa yang dia cari. Kalau saja manusia tahu siapa dirinya dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam itu tidak kekal, niscaya dia tak akan lagi mendambakan dan tidak lagi mencarinya. Kalau dia sudah tidak mendambakannya lagi, maka tak akan lagi dia bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Dia akan mengarahkan upayanya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.

Dengan orientasi hidup pada tujuan-tujuan suci itu, maka dia hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Dia tidak akan menimbun harta. Dia tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangannya, dia tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh orang yang berbuat seperti itu pasti dia akan tenteram, tidak gundah gulana, akan gembira tidak bersedih, akan bahagia tidak sesak dadanya. Barangsiapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, dan hilangnya sesuatu yang dia cintai.

Barangsiapa dengan berbuat baik ia merasa puas, dan dengan apa yang didapatnya tidak bersedih hati, maka dia akan gembira dan bahagia selamanya. Kalau orang meragukan, bahwa perasaan seperti ini bermanfaat, hendaknya dia merenungkan perasaan orang mengenai tujuan yang mereka upayakan dalam kehidupan mereka, dan amati bagaimana mereka berbeda-beda dalam merespon kehidupan ini berdasarkan keadaan-keadaan dan perasaan-perasaan mereka. Jika kita renungkan maka akan mengungkapkan secara jelas dan terang kehidupan mereka dalam berbagai pekerjaan dan bagaimana perasaan mereka menanggapinya.

Kalau kita perhatikan dengan seksama beragam kelas sosial yang ada. Akan terlihat bahwa kegembiraan seorang pedagang terjadi bila dia berdagang, prajurit bila dia pemberani, penjudi bila dia berjudi, manipulator bila dia manipulasi atau banci dengan kebanciannya. Tiap-tiap orang ini berasumsi bahwa orang yang tidak seperti mereka adalah orang yang tertipu dan tidak merasakan kesenangan yang mereka nikmati. Hal ini karena setiap kelompok sangat merasa bahwa cara hidupnyalah yang benar dan karena sudah lama terbiasa dengan cara hidupriya sendiri.

Demikian pula dengan seorang pencari kebajikan yang menekuni jalur hidupnya sendiri, jika perasaaannya menjadi kuat, dan jika penilainya tetap baik dan praktiknya terus berkelanjutan dia lebih berhak mengecap kegembiraan dibanding kelas-kelas sosial di atas yang tersesat dalam gelapnya kebodohan mereka sendiri. Dialah seharusnya yang paling bahagia di sisi Sang Maha Pemberi nikmat karena dia benar dan mereka salah, dia yakin dan mereka tidak yakin, dia sehat akalnya dan mereka tidak, dia bahagia mereka sengsara, dia sahabat Allah, mereka musuh-musuh-Nya.

Allah berfirman,

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ditimpa kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62)

Al-Kindi (796-873M), seorang filosof awal Muslim, mengungkapkan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya bukanlah sesuatu yang alami. Kata al-Kindi, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alaminya.”

Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pemah bersedih hati sama sekali? Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati. Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihatlah olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan dan bahwa kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruk yaitu penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami.

Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah. Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membaginya kepada orang lain dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk.

Oleh sebab itu, para filosof berkata,“Barangsiapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia penjahat!” Yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.” Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, lalu dengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan-kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita.

Dalam hal ini, dibutuhkan sebuah kesadaran akan makna hidup yang melepaskan diri dari jerat-jerat kedengkian dan rasa memiliki keduniaan yang terlalu berlebihan. Sebuah kesadaran untuk membangun orientasi hidup yang lebih mengharmonisasikan hubungan antara Allah dan sesama manusia, berupa tujuan-tujuan yang berjiwa kesucian.