Hikmah Kesabaran
Dalam sebuah riwayat diceritakan ada seorang penjual pakaian yang buta huruf, akan tetapi kedudukan keilmuannya telah mencapai suatu tingkatan di mana ilmunya masih terus dimanfaatkan hingga sekarang. Dialah, Ibn Sirin, seorang yang diceritakan Husain Mazhahiri dalam kitab Jihad an-Nafs, membuat kagum banyak orang khususnya dalam masalah ta’bir mimpi.
Diceritakan, seorang wanita datang kepada penjual pakaian ini (Ibn Sirin) dan membeli sejumlah pakaian. Ketika Ibn Sirin membawakan pakaian yang telah dibeli kepada wanita tersebut, dia diajak oleh wanita tersebut untuk melakukan maksiat. Supaya dia selamat dari siksa neraka Hawiyah yang menghinakan, dia berpura-pura minta izin untuk pergi ke WC. Lalu, dia pun pergi ke WC dan mengotori seluruh tubuhnya, dari atas kepala hingga ujung kaki, dengan kotoran. Akhirnya wanita tersebut terpaksa mengeluarkannya dari rumahnya. Tubuh lahir Ibn Sirin najis, akan tetapi dirinya tidak menjadi najis, bahkan bercahaya dengan cahaya Allah. Ketika dia menyucikan tubuhnya, dan kemudian pulang ke rumah, dia merasakan sebuah cahaya meliputi dirinya.
Kisah Ibn Sirin mirip dengan dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf as. Allah kemudian menganugerahkan karamah mengenai tafsir mimpi kepada Ibn Sirin, seperti salah satu karamah Nabi Yusuf as adalah tafsir-tafsir mimpinya. Karamah itu diberikan Allah kepada Ibn Sirin karena ia tetap dalam kesabaran dan menjaga hawa nafsunya walaupun pesona dunia ada di hadapannya.
Hal ini dapat terjadi, menurut Husain Mazhairi, karena Islam mengajarkan dengan menjauhi dosa akan menguatkan keinginan, dan memperkuat dimensi spiritual seorang manusia. Pada keadaan itu seorang manusia mampu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi di hadapan syahwat dan gharizah, dan mampu memenangkan peperangan batin (al-harb ad dakhili) yang terhitung sebagai sebesar-besamya peperangan yang dihadapi manusia. Karena itu, memenangkan peperangan ini adalah suatu perkara yang sulit sekali, dan membutuhkan kesabaran. Sehingga untuk bisa memperoleh kemenangan kita harus menghadapkan wajah kita ke arah Islam. Allah berfirman,Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Al-Quran banyak sekali berbicara seputar manusia yang berbuat dosa. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan untuk kita memperhatikan sejarah mengenai orang yang berbuat dosa untuk diambil pelajaran. Al-Quran mengatakan,
Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
(QS. Ali ‘Imran:137)
Dusta dalam ayat tersebut dinyatakan sebagai sebuah dosa. Sesungguhnya dusta adalah dosa besar. Akan tetapi, karena manusia telah terbiasa berkata dusta, maka ketakutan terhadapnya telah tercabut dari hati mereka. Satu dusta saja, sangat membahayakan kita. Begitu juga dengan mengumpat. Imam Khomeini, di dalam sebuah bukunya mengenai mengumpat, mendefinisikan perbuatan mengumpat sebagai berikut, “Anda menyebutkan di belakang saudara Anda, sesuatu yang tidak disukainya.” Mengatakan suatu perkara di belakang seseorang, yang jika perkara itu di hadapannya maka dia tidak suka, inilah yang disebut dengan mengumpat. Jika seseorang mempunyai sifat buruk, lalu Anda mengatakannya di belakang dia, maka ini juga perbuatan mengumpat. Akan tetapi, jika dia tidak mempunyai sifat buruk sebagaimana yang Anda katakan, maka ini namanya ‘fitnah’. Oh, sungguh celaka karena dosa fitnah itu lebih besar daripada dosa membunuh.
Al-Quran mengatakan bahwa kehidupan seorang manusia yang berdosa rawan tertiup angin. Dia tidak mempunyai kehidupan yang tenang dan bahagia. Rumah baginya tidak ubahnya seperti penjara, masyarakat baginya adalah sumber keresahan dan kegelisahan, dan pada akhimya dia mempunyai penyakit lemah syaraf dan senantiasa tertimpa bencana hingga meninggal dunia. Allah berfirman,
Dan orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan- amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang.
(QS. Ibrahim:18)
Perumpamaan kehidupan manusia berdosa yang terdapat di dalam ayat itu, adalah merupakan penyerupaan pada hal-hal yang rasional (al-ma’qulat) dengan hal-hal yang bisa diindera (al-mahsusat). Artinya, tatkala al-Quran hendak menjelaskan suatu perkara yang bersifat maknawi, al-Quran meletakkannya dalam tataran sesuatu yang bersifat inderawi. Misalnya, ini dapat kita bayangkan jika kita berada di tengah padang pasir, dan di sana kita mengumpulkan angin kencang, maka tentu rumput-rumput kering itu beterbangan tertiup angin.
Allah menyerahkan urusan orang yang berdosa kepada dirinya. Oleh karena itu kehidupannya menjadi gelap. Al-Quran memberikan perumpamaan mengenai orang yang berdosa,
Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
(QS. al-Hajj:31)
Jika seseorang jatuh dari langit ketujuh ke bumi, be tapa tubuhnya akan bercerai berai. Apalagi jika dia jatuh dari pesawat terbang ke tempat yang tidak diketahui oleh seorang pun. Al-Quran mengatakan bahwa demikianlah keadaan orang yang berdosa. Al-Quran mengatakan bahwa dosa menjatuhkan manusia ke tempat yang paling bawah dan mencerai-beraikan tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit. Syirik yang disebutkan di dalam ayat ini bukanlah syirik karena menyembah berhala melainkan syirik karena dosa dan mengikuti hawa nafsu.
Al-Quran berkata kepada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bahwa mereka itu musyrik,
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.
(QS. al-Jatsiyah:23)
Ayat ini mengatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu dianggap sebagai penyembah berhala, dan berhalanya itu adalah hawa nafsunya.
Akibat dari perbuatan dosa bukan hanya akan meliputi diri kita saja, tetapi juga akan membuat genting masyarakat. Suatu bangsa akan menjadi punah, tidaklah oleh datangnya gempa bumi, melainkan sesuatu yang paling banyak menghancurkan suatu bangsa dan mendatangkan ketegangan syaraf di kalangan komponen bangsa tersebut adalah hilangnya iman dan rusaknya akhlak; dan yang lebih fatal lagi daripada itu ialah munculnya hawa nafsu pikiran. Al-Quran mengatakan,
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya.
(QS. al-Isra’:16)
Dengan demikian, menjauhi dosa akan sangat bermanfaat jika kita menginginkan kemenangan di dalam pertempuran ini, pertempuran melawan hawa nafsu. Demikian pula hubungan dengan Allah akan memperkuat keinginan dan mendatangkan kehidupan yang bahagia bagi kita. Hubungan dengan Allah akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita, juga keluarga dan masyarakat kita.