Mencapai Keberkahan Rezeki
Salah satu persoalan yang menjadi kebutuhan penting manusia adalah memenuhi kebutuhan hidup materinya. Bayangkan jika dalam hidup ini, kita kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok kita seperti makan, pakaian dan papan. Maka kita mungkin akan mengalami tekanan jiwa sehingga menimbulkan kegelisahan dan kedukaan dalam batin kita.
Tapi jika kita perhatikan masyarakat kita sekarang ini ada orang yang kaya, tapi juga tidak mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam batinnya. Padahal kekayaannya cukup untuk membeli apa yang dia inginkan. Mau beli tempat tinggal yang megah, baju baru yang mahal, bepergian ke berbagai tempat, semuanya dapat ia lakukan dengan mudah. Namun, semua itu tidak memberikan dia ketenangan dalam hidupnya.
Jadi persoalan rezeki materi yang kita dapat besar dan kecil bukanlah ukuran untuk menjadikan kita bahagia dan tenang dalam menjalani hidup ini. Lalu bagaimana rezeki yang dapat membawa kita pada kebahagiaan? Persoalan ini harus kita cari jawabnya, sebab kalau tidak kita akan mempunyai persepsi yang keliru tentang hakikat mencari rezeki ini.
Rezeki yang dapat memberikan kebahagiaan adalah rezeki yang berkah. Rezeki yang berkah itu pertama akan membawa ketenangan dalam hidup orang tersebut. Jika seorang mendapatkan rezeki itu karena perbuatan mencuri atau merampas hak orang lain pasti rezeki itu tidak akan membawa ketenangan. Ia akan gelisah kalau barang curian itu akan ketahuan, atau basil rampasan akan diambil kembali dengan paksa oleh pemiliknya.
Coba kita perhatikan orang-orang yang mendapat rezeki dengan cara merampas milik orang lain. Pasti hasilnya adalah untuk berfoya-foya, dan bahkan pada sebagian orang digunakan untuk berjudi dan membeli Narkoba. Ia akan mendapatkan ketenangan semu dalam menjalani kehidupannya itu. Begitu pula dengan pejabat yang mendapatkan kekayaan dengan cara KKN, ia tidak akan tenang menjalani hidup ini.
Yang kedua, rezeki yang berkah itu adalah memberikan rasa cukup pada diri kita. Cukup di sini tidak identik dengan banyak. Walaupun banyak belum tentu rezeki itu memberikan rasa cukup pada diri kita. Misalnya, orang kaya yang terlihat secara fisik sudah amat kaya, punya rumah mewah dan mobil mewah, tapi ia ingin mendambakan mempunyai pesawat terbang pribadi. Orang seperti ini walaupun mempunyai kekayaan yang amat banyak, pasti tidak akan mempunyai rasa cukup. Tapi ada orang yang hanya mempunyai rumah sederhana dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya untuk pendidikan, namun ia sudah merasa cukup akan kebutuhan materinya itu.
Sedangkan yang ketiga rezeki yang berkah itu tidak memberikan kehinaan pada diri kita, atau dengan kata lain menjadikan diri kita terhormat. Walaupun kita mempunyai kekayaan yang banyak clan dengan cara yang halal namun kita kikir terhadap masyarakat maka harta kita itu menjadikan diri kita terhina di masyarakat. Masyarakat akan mencemooh diri kita dan akan mengucilkan kita dari pergaulan. Dan di mata Tuhan orang yang seperti ini adalah orang yang terhina.
Tentu saja kita tidak ingin terhina baik di mata Tuhan maupun manusia. Salah satu jalannya adalah dengan kesabaran dan bersyukur. Karena dengan kesabaran ini kita menjadi lebih mawas terhadap tingkah laku kita sehingga tidak terjerumus dengan kesombongan. Begitu pula dengan bersyukur, maka kita akan selalu merasa bahagia dengan harta yang telah kita miliki dan tidak menjadi kikir, dengan berapapun jumlah harta yang kita miliki.
Salah satu riwayat tentang kesabaran yang patut disimak adalah kisah Sama’ah bin Mihran ketika ditanya oleh Imam Musa al-Kazhim as. “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.”
Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.”
Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kuburya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan. ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.” Hadis ini menunjukkan bahwa dengan sabar kita disuruh untuk memperhatikan orang lain yang lebih kekurangan dari kita. Dan dengan rezeki kita, kita tebarkan kasih sayang kepada seluruh manusia.
Imam Jafar ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui mencampakan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun memiliki kapasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dari menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan, maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.”
Dengan demikian, dalam menjalani hidup ini kita hendaknya mendapatkan rezeki yang berkah dan sabar dalam melakukan perilaku kehidupan, kemudian kita bersyukur atas, apa yang kita miliki. Maka jalan kehidupan yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan terbentang, itulah jalan bagi orang yang sabar dan bersyukur dengan mendapatkan rezeki yang berkah.
Meraih Kemuliaan Ramadhan
Memasuki Ramadhan tahun ini (2002), kaum Muslimin sedang dihadapi dengan cobaan. Salah satu cobaan yang besar adalah tudingan akan cap teroris yang ingin dialamatkan kepada kaum Muslimin. Tudingan ini merupakan suatu hal yang jauh panggang dari api. Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw merupakan ajaran yang cinta damai, dan tidak mengajarkan kekerasan sebagai jalan untuk mendapatkan tujuan.
Nilai kemanusiaan ajaran Islam ini, salah satunya dapat kita lihat dari puasa Ramadhan yang sedang kita jalani sekarang ini. Pada bulan yang suci ini kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Dalam menempuh perjalanan menuju Allah, ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga, telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt.
Dalam menempuh perjalanan yang sukar itu adalah kebodohan jika kita tidak mempersiapkan diri. Berbagai bekal itu yang harus dipersiapkan adalah berupa benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.
Memang jika telusuri makna puasa (shiyam) dalam al-Quran, maka kita akan menemukan bahwa al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara,
Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun.
(QS. Maryam:26)
Demikian ucapan Maryam as yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa as). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”. Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.
Bagi kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum –bagi manusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran” dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 10, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Dalam surat al-Quran disebutkan tujuan dari puasa adalah agar kamu bertakwa
(QS. al-Baqarah:183).Juga, Supaya kamu bersyukur
(QS. al-Baqarah:185).
Inilah tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan puasa Ramadhan. Sehingga merupakan keharusan bagi kita untuk memahami makna takwa itu dengan benar, sebagai orientasi dari puasa kita.
Kata takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah.” Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada.” Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
(a)
Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hokum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, “Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,” “Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana”, atau “Api panas, dan membakar”, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
(b)
Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa, “Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt.”
Secara jelas al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendak diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi saw, misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.” Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan.”
Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt setiap saat, “bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya”. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah kepada Allah dan supaya manusia meneladani Allah Swt melalui contoh teladan Rasulullah saw dalam menggapai kemuliaan Ramadhan.