Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah0%

Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah pengarang:
Kategori: Kajian
Halaman: 8

Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

pengarang: Muhammad Ridha Jabbariyan
Kategori:

Halaman: 8
Pengunjung: 10007
Download: 505

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 8 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 10007 / Download: 505
Ukuran Ukuran Ukuran
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

pengarang:
Indonesia
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah


:قَالَ رَسُول الله صلّ الله عليه وَ آله
اِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ الله،ِ وَ عِتْرَتِي اَهْلَ بَيْتِي، مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا، وَانَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَت?ّ يرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka, Kitabullah dan Itrah (Ahlul Bait), selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Dan keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di telaga Haudh.
(Sahih Muslim, jilid 7, hal. 122; Sunan Darami, jilid 2, hal. 432; Musnad Ahmad, jilid 4, hal. 14, 17, 26, 59, jilid 4, hal 466, 471, jilid 5, hal. 182; Mustadrak Hakim, jilid 4, hal. 109, 148, 533 dan..)


Diterjemahkan dari Al-Ghadir az Didgâh-e Ahli Sunnat
Karya Muhammad Ridha Jabbariyan
Terbitan Ansariyan - Qum
Cetakan Kedua 2005 M
Penerjemah: A. Kamil
Penyunting: Abu Ali Akbar

Diterbitkan Oleh Era of Appearance Foundation

Kuwait 2006

1
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Daftar Isi
Iftitah
Sekapur sirih dari penulis
Bag Pertama: Kisah al-Ghadir
" Ghadir
" Ghadir Khum
" Laporan dari Hajjatul Widâ'
" Seremoni Ucapan Selamat
" Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Ghadir
" Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah
" Kandungan Hadits al-Ghadir
1. Istidlâl Ummu Aimmah, Fatimah az-Zahra As
2. Istidlâl Imam Hasan al-Mujtaba As
3. Istidlâl 'Ammar Yasir
4. Istidlâl Ashbagh bin Nabatah
5. Istidlâl Istri Darami
6. Istidlâl Pemuda tak dikenal
7. Istidlâl 'Amru bin Ash
8. Istidlâl 'Umar bin 'Abdul 'Azis
9. Istidlâl Makmun, Khalifah Bani Abbasiyah

Bag. Kedua Khilâfah dan Wishâyah
" Khalifah yang memerintah dengan Kebenaran
1. Pemerintah Lahir
2. Pemerintah Maknawi
" Dalil-dalil Tegas atas Khilafah Imam 'Ali As
1. Hadits Yaum ad-Dâr
2. Hadits Manzilat
3. Hadits Wishâyah dan Wirâtsah
4. Ali adalah Wali Mukminin
5. Hasil-hasil Kepemimpinan 'Ali dalam Sabda Nabi Saw
6. Khilafah Intishâbi 'Ali As

Bag. Ketiga: Kriteria-kriteria
1. Kecintaan
1.1. Kecintaan kepada 'Ali As adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
1.2. Mencintai 'Ali mendatangkan kebahagiaan
1.3. Mencintai 'Ali adalah sebuah amal shaleh
1.4. Tidak mencintai 'Ali membuat seluruh amalan ditolak
1.5. Kebencian kepada 'Ali tidak akan bersatu dengan kecintaan kepada Rasulullah Saw
1.6. Kebencian kepada 'Ali tidak akan bersatu dengan iman
1.7. Kebencian kepada 'Ali adalah kekafiran
1.8. Kecintaan kepada 'Ali adalah alamat keimanan dan kebencian kepadanya adalah alamat kemunafikan
2. Menyakiti 'Ali adalah menyakiti Rasulullah Saw
3. Mencela 'Ali adalah mencela Rasulullah Saw
4. Meninggalkan 'Ali meninggalkan Rasulullah Saw
5. Memerangi 'Ali adalah memerangi Rasulullah Saw
6. Panji hidayah
7. 'Ali bersama kebenaran
8. Kebenaran bersama 'Ali
9. 'Ali, haq dan al-Qur'an
10. 'Ali dan al-Qur'an
11. Ali adalah laksana Ka'bah
12. 'Ali adalah Gerbang Ampunan
13. Mizan iman
14. Pembeda antara hak dan batil
15. Tanda Keimanan
16. Pembagi surga dan neraka
17. Surat Izin untuk Melintansi Sirath
18. Kemenangan dengan mengikuti 'Ali
19. Para Syi'ah (Pengikut) 'Ali di Surga
20. Partai yang Meraih Kemenangan
21. Mengikuti 'Ali; terpuji dan ridha
22. Dzikir 'Ali adalah Ibadah
23. Memandang Wajah 'Ali adalah ibadah
24. 'Ali adalah Gerbang Surga
25. Benderangnya 'Ali di Surga
26. Ali adalah Bapak Kaum Muslimin
27. Mentaati 'Ali
28. Penjaga Rahasia Rasulullah Saw
29. 'Ali adalah Kepala bagi Rasulullah Saw
30. Gelar-gelar Imam 'Ali As

Bag. Keempat: Selangit Keutamaan
1. Kesamaan Substansi dengan Rasulullah Saw
2. Tarbiyah Imam 'Ali As
3. Latar belakang dalam Islam
4. Ilmu dan Pengetahuan
5. Pengorbanan dan Pembelaan terhadap Islam
6. Kekerabatan
7. Zuhud

Bag. Kelima: Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
" Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
1. Menutup Semua Pintu
2. Perhatian Khusus
3. Berbisik dengan Tuhan
4. Gelar Amirul Mukminin
5. Penyampaian Surat Taubah
6. Pembawa Panji Rasulullah Saw
7. Pernikahan dengan Fatimah As

Bag. Keenam: Adab-adab dan Kebiasaan Pada Hari Ghadir
" Sejarah Iedul Ghadir di Kalangan Muslimin
" Adab-adab dan Amalan 'Iedul Ghadir
" Adab-adab 'Iedul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum
" Amal Saleh
" Menggemarkan Ibadah
" Berpuasa
" Shalat
" Berziarah
" Berbuat Kebajikan
" Merayakan dan Memeriahkan
" Doa
" Fokus Doa-doa Ghadir
" Persaudaraan Islam
" Pengaruh Persaudaraan Islam
" Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir
" Pengaruh Akad Persaudaran
" Akad Persaudarian di antara Wanita

Catatan Kaki
Daftar Pustaka



2
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Iftitah
عليكم بعلي بن أبي طالب فإنه مولاكم فأحبوه ، وكبيركم فاتبعوه ، وعالِمكُم فأكرموه ، وقائدكم إلى الجنة فعززوه ، فإذا دعاكم فأجيبوه ، وإذا أمركم فأطيعوه ، أحبوه بحبي ، وأكرموه بكرامتي ، ماقلت لكم في علي إلا ماأمرني به ربي جلّت عظمته

Rasulullah Saw bersabda:
"Hendaklah kalian bersama Ali bin Abi Thalib, lantaran ia adalah pemimpin dan maula kalian, cintailah ia. Ia adalah orang besar di antara kalian, ikutilah ia. Dan merupakan orang alim di antara kalian muliakanlah ia. Pemimpin kalian menuju firdaus, agungkanlah ia. Tatkala ia menyerumu penuhilah seruannya, ketika ia memerintahmu taatilah. Sebagaimana kalian mencintaiku, cintailah ia. Sebagaimana kalian memuliakanku, muliakanlah ia. Aku tidak berkata sesuatu apapun tentang Ali bin Abi Thalib kecuali menjalankan perintah Tuhanku."

Sekapur sirih dari Penulis
Tanpa syak kepribadian Ali bin Abi Thalib As merupakan kepribadian agung dan unggul setelah Rasulullah Saw yang dengan kehadirannya seluruh alam semesta menjadi indah.
Kepribadian nurani Ali bin Abi Thalib As sedemikian cerlang menyinari kemanusiaan sehingga akal manusia sepanjang perjalanan sejarah terheran, terperanjat berdecak kagum. Jalan untuk mencapai kepribadian agung Rabbani tersebut, betapapun seluruh akal dan tabiat menstimulirnya, akan tetapi jalan selain cinta tidak dapat melintasinya.
Apa yang telah diberi ulasan oleh pena dan lisan para ahli cinta dan fadilah terlewatkan oleh keindahan nuraninya. Pada hakikatnya derajat makrifat kitalah yang tidak berada pada arsy untuk mengenal derajat kepribadian manusia agung tersebut. Kita dengan pengakuan dan iktiraf pada keluasan tanpa batas ruh kudusnya, berusaha meneladani hadits nabawi dan berupaya untuk menemukan sejumput jalan supaya dapat mendekat kepada derajatnya yang suci.
Kendati tujuan utama dari penulisan buku ini adalah ingin membuktikan bahwa hari ghadir merupakan hari raya (ied) dan memberikan penjelasan sebagian dari adab-adab hari penuh berkah ini.
Dan sejalan dengan ritual-ritual yang lain, kami berupaya menyingkap dengan mengulas kepribadian agung Imam 'Ali dan bercermin dari sabda Rasulullah Saw sehingga dapat melongok keindahan 'Ali bin Abi Thalib As yang mempesona.
Harapan semoga kami dan para pembaca yang budiman dapat meraup dan menuai keberuntungan dari perjalanan maknawi ini.
Pada akhir buku ini, kami memandang perlu untuk menyebutkan beberapa poin. Kebanyakan tema dari buku ini bersandar dari kitab-kitab muktabar Ahli Sunnah.
Kami tidak lupa menyebutkan sumber setiap hadits atau peristiwa yang kami jadikan sandaran, dengan menyebutkan jilid, halaman, penerjemah, penerbit dan percetakannya, tahun dan tempat penerbitannya.
Dalam masalah yang kurang mendapatkan perhatian oleh Ahli Sunnah dalam kitab-kitab mereka, kami merujuk kepada kitab-kitab muktbar Syi'ah dan kitab-kitab itu telah diperkenalkan dengan teliti sebagaimana kitab-kitab Ahli Sunnah.
Dalam hal di bawah sebuah hadits yang dinukil dengan menyebutkan satu atau beberapa referensi yang telah dipandang memadai, tidaklah berarti bahwa hadits tersebut tidak dijumpai dalam sumber-sumber lain; akan tetapi lantaran sempitnya kesempatan yang menjadi sebab tidak termuatnya seluruh referensi yang ada.
Kami memuat matan hadits-hadits tanpa perubahan, memberikan penjelasan pada hal-hal yang dipandang perlu.
Karena buku ini disusun dalam bahasa Persia, kami berupaya untuk menerjemahkan hadits-hadits yang tertuang dalam buku ini. Dan menukil matan-matan (teks-teks) hadits yang dipandang perlu.
Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dan bagian-bagian itu sebagai berikut:
Bagian pertama : Kisah Ghadir
Bagian kedua : Khilafah dan Wishayah
Bagian ketiga : Kriteria-kriteria
Bagian keempat: Selangit Keutamaan
Bagian kelima : Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Bagian keenam :Adab-adab dan Kebiasaan-kebiasaan Iedul Ghadir
Kami berharap dengan hadirnya riset singkat ini, tetesan samudra keutamaan Ghadir dapat mengucur pada diri kita.


Bagian Pertama: Kisah al-Ghadir
Ahli bahasa beranggapan bahwa derivasi 'ied adalah dari kata 'aud. Dan kata 'aud bermakna kembali. Oleh karena itu setiap ied adalah berarti kembali atau mudik.
Kembali secara berulang adalah sebuah gerakan setelah melintasi kausa nuzuli dan mulai beranjak naik menuju kausa su'udi. Sebagaimana kita memperingati tahun baru (nuruzz, tahun baru Persia, AK) sebagai saat-saat kembalinya kehidupan kepada tabiat (alam).
Sebuah kehidupan yang terpasung dalam tawanan suasana dingin, dan pada puncak kedinginan musim salju (winter, semiztân) dan bahkan pada batas ketiadaan - hingga seolah-olah tiada - dan kemudian lahir kembali dengan tibanya musim semi dan ibarat melodi yang mengalun naik.
Kembalinya kehidupan kepada suasana musim semi ini harus diperingati. Dan hal ini merupakan puncak semangat sebuah maktab yang dipersembahkan kepada dunia materi.
Kini apabila alegori (perumpamaan) ini kita aplikasikan pada teks-teks agama dimana seluruh semesta merupakan mukaddimah bagi wujud manusia dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah, maka hari raya harus dimeriahkan sebagai hari kembalinya kehidupan maknawi manusia.
Dalam maktab seperti ini, hari raya manusia, adalah hari kembalinya ia kepada kesejatiannya dan menemukan kembali dirinya yang hilang; Hari dimana manusia ia meninggalkan derâkât (pada hal-hal yang buruk disebut derâkât dan pada hal-hal yang baik disebut derajat, AK) kehidupan bendawi dan menuju kepada derajat kehidupan maknawi. Hari tatkala manusia menemukan taufik, topeng tanah yang merupakan roman jiwa sucinya ia hadapkan kepada Sang Pencipta.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan dimana salik (orang yang meniti jalan suluk, irfan dan tazkiyatun nafs, AK) yang berpuasa mendapatkan taufik dengan perjuangan dalam menghadapi angin-angin jahat keterikatan-keterikatan duniawi, api cinta Ilahi yang terpasung dalam peti-peti es bendawi, membara dan kembali ia nyalakan.
Dan melakukan muraqabah (menjaga api tersebut tetap menyala) hingga lisan api itu menjilat seluruh wujudnya dan meleburkan segala ketidaktulusan eksistensinya; hingga penghambaan tulus dan murni menjelma dan tujuan penciptaan mengejewantah dalam dirinya. Kemudian merayakan hari Iedul Fitri.
Ibadah haji merupakan kesempatan yang lain. Orang-orang yang melaksanakan setelah melintasi pelbagai tingkatan mendapatkan taufik, ia sembelih segala sesuatu yang selain-Nya di tempat penyembelihan hewan qurban di Mina dan membebaskan dirinya dari penghambaan diri lalu melambung melintasi kausa su'udi gerakan manusia, dan sebagai hasilnya ia mencapai derajat yang tinggi dalam penghambaan, kemudian ia merayakan hari Iedul Qurban.
Dan dari sini perbedaan antara ied dan perayaan atau festival menjadi jelas. Perayaan atau festival adalah dalih untuk mendapatkan kesenangan dan kegembiraan. Dan ied adalah ditemukannya kembali kehidupan manusia.
Dan juga atas alasan ini, ied-ied memiliki sumber syariat dan ied-ied dalam Islam telah disyariatkan, sementara perayaan atau festival tidak demikian adanya.
Oleh karena itu, hakikat ied dalam Islam adalah ditemukannya kembali kehidupan dan penetapannya berada di pundak syariat.
Kita percaya bahwa hari Ghadir juga memiliki kekhususan sebagai sebuah ied dalam Islam. Dan peletak hukum Islam, Rasulullah Saw memperkenalkan Iedul Ghadir sebagai hari raya umat Islam.
Buku yang ada di hadapan pembaca budiman ditulis dengan motivasi untuk membuktikan (itsbât) dua klaim di atas ini dan menjelaskan secara ringkas adab-adab hari bahagia ini.
Menelaah sebagian dalam tulisan ini, akan membina keyakinan bahwa hari Ghadir merupakan salah satu hari raya besar Islam. Dan bahkan termasuk hari raya yang paling besar, dan apabila kita melihatnya dengan rigoris dan researchfull, kita akan memahami bahwa hari Ghadir adalah hari raya paling besar bagi manusia.


Ghadir
Ghadir secara lughawi (leksikal) berarti telaga, kolam dan rawa. Lubang-lubang yang terletak pada sahara menanti hingga rintik air hujan atau lintasan bah yang memenuhi lubang tersebut sehingga musafir sahara yang dahaga selalu terbuka baginya dengan adekuasi dari anugerah berharga ini ramqi migirad dan kesturi kering penuh darinya, disebut ghadir.


Ghadir Khum
Musafir yang melakukan perjalanan dari kota Madinah menuju Makkah, menempuh perjalanan sepanjang 500 Kilometer. Selepas melewati 270 Kilometer, ia akan sampai pada sebuah daerah yang disebut sebagai "Rabigh".
Rabigh merupakan daerah belantara yang terletak berdampingan dengan daerah Juhfa. Dan Juhfah merupakan salah satu miqat dalam ibadah haji yang terdiri dari lima miqat; tempat dimana para haji dari Syam (Suriah) dan orang-orang yang ingin pergi ke Mekkah melalui kota Jeddah, di tempat ini mereka akan mengenakan pakaian ihram.
Jarak Juhfah ke Makkah kira-kira 250 Kilometer dan ke Rabigh kurang-lebih 26 Kilometer. Dan di tempat itu terdapat ghadir (kolam) yang airnya busuk dan beracun dan tidak dapat dimanfaatkan oleh para musafir. Dan kafilah-kafilah yang lewat di dekat oase itu tidak akan berhenti. Tampaknya dengan alasan ini ghadir (kolam) ini disebut khum. Lantaran khum digunakan pada segala sesuatu yang rusak dan bau. Kandang ayam juga dengan alasan ini disebut khum.


Laporan dari Hajjatul Wida'
Tahun ini adalah tahun kesepuluh Hijriah. Dan Islam telah menyebar ke seantero jazirah Arab dan orang-orang di sana memberikan pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad Saw. Tanda dan bekas dari berhala-berhala setiap kabilah tidak lagi terlihat. Upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh Nabi Saw menuai hasil dan buah manisnya. Berhala yang disembah tumbang di hadapan uluhiyyat, dan kalimat tauhid (tayyibah) laa ilaha illaLlah merebak dan menyebar di setiap penjuru jazirah Arab.
Kini satu-satunya perbedaan yang ada di antara masyarakat adalah iman yang terdapat dalam hati dan latar belakang mereka dalam Islam. Nabi Saw selama kurang-lebih 23 tahun memikul seberat-beratnya beban, dan selama kurun waktu yang panjang ini semangatnya sedetik pun tidak pernah kendor dalam menunaikan tugas menyampaikan risalah kepada manusia. Dan sedetik pun tidak pernah merasa lelah.
Kini telah datang kabar bahwa ia segera akan meninggalkan dunia fana ini dan berjumpa dengan Tuhan Yang Esa. Maka ia tanpa henti berusaha untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada umat. Masih ada tersisa sedikit dari ahkam (plural dari hukum) yang harus disampaikan dan diajarkan kepada umat. Namun waktu yang tepat belum tersedia. Ahkam yang belum sempat disampaikan itu misalnya kewajiban penting yang harus ditunaikan dalam menjalankan ibadah haji. Nabi Saw hingga hari itu belum lagi menemukan waktu yang pas untuk mengajarkan ahkam haji kepada umat sebagaimana ahkam salat. Dan kini satu-satunya kesempatan yang tersisa.
Warta umum telah disiarkan bahwa Rasulullah Saw akan menunaikan ibadah haji. Kaum Muslimin dari setiap kabilah berduyun-duyun bergerak menuju kota Madinah. Dan pada hari Kamis, Nabi Saw selama enam hari, atau hari Sabtu selama empat hari akhir Dzulqaidah menugaskan Abu Dujanah sebagai man in charge (deputi) di Madinah. Sementara Nabi Saw beserta para istri dan keluarganya berangkat bersama menyertainya berikut seratus unta bertolak meninggalkan Madinah.
Pada masa-masa itu, (penyakit cacar atau tipes) menyebar di kota Madinah yang membuat banyak di antara kaum Muslimin tidak dapat ikut serta bersama Nabi Saw.
Dalam keadaan ini, terdapat puluhan ribu kaum Muslimin yang ikut serta bersama Nabi Saw. Para sejarawan menulis angka orang-orang yang ikut beserta Nabi Saw, empat puluh ribu, sembilan puluh ribu, seratus empat belas ribu, seratus dua puluh ribu dan seratus dua puluh empat ribu. Kendati dengan adanya perbedaan ini, yang benar kita berkata bahwa sedemikian banyak orang yang ikut bersama Nabi meninggalkan Madinah sehingga hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah pasti dari orang-orang yang ikut bersama Nabi Saw.
Mereka adalah orang-orang yang datang dari Madinah, akan tetapi jumlah jamaah haji tidak bisa dibatasi dengan angka-angka yang disebutkan di atas. Lantaran penduduk kota Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya serta orang-orang Yaman yang datang bersama dengan Amirul Mukminin Ali As juga ikut serta dalam ibadah haji musim itu.
Baginda Nabi Saw mandi, melamuri tubuhnya dengan minyak, menggunakan minyak wangi dan menyisir rambutnya, dan meninggalkan Madinah. Tatkala bertolak meninggalkan uju Madinah, ia hanya mengenakan dua lembar pakaian. Salah satunya diletakkan di atas bahu dan yang lainnya diikat pada pinggangnya. Ia melalui pintu demi pintu, rumah demi rumah.
Dan ketika sampai di Dzil Hulaifah, ia mengenakan pakaian ihram. Dan demikianlah seterusnya hingga pada hari Selasa, 4 Dzulhijjah tiba di kota Mekkah. Ia memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah; ia melakukan thawaf; menunaikan shalat thawaf; sa'i antara Shafa dan Marwa dan seterusnya secara beruntun amalan-amalan umrah berakhir. Ia bersabda bahwa barang siapa yang tidak membawa hewan kurban bersamanya, ia telah melakukan kesalahan dan hendaknya keluar dari keadaan ihram. Dan karena ia membawa hewan kurban bersamanya ia tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram sehingga ia dapat melakukan pemotongan hewan kurban di kota Minah.
Amirul Mukminin As telah mendapat berita tentang kepergian Nabi Saw ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia bergerak dari Yaman beserta pasukannya, sembari membawa 37 hewan kurban untuk ikut serta bersama Rasulullah Saw dalam menunaikan ibadah haji.
Dan di miqât orang Yaman sebagaimana Nabi Saw dengan niat mengenakan pakaian ihram, ia juga dengan niat mengenakan pakaian ihram. Dan seperti Nabi Saw, selepas menjalankan sa'i antara Shafa dan Marwah, Amirul Mukminin Ali As tetap dalam keadaan mengenakan pakaian ihram.
Pada hari ke delapan Dzulhijjah, Rasulullah Saw bergerak menuju sahara di bilangan Arafah untuk memulai ibadah haji. Hingga matahari terbenam pada hari kesembilan, ia tinggal di kota Minah dan kemudian bertolak menuju Arafah. Setiba di Arafah, ia berhenti di kemahnya sendiri.
Di Arafa, di hadapan massa kaum Muslimin, ia menyampaikan khutbah. Dalam khutbah ini, Nabi Saw memberikan wejangan untuk menggemarkan persaudaraan dan sikap saling menghormati; mengganggap seluruh ajaran-ajaran jahiliyah sebagai ajaran yang sesat dan mengumumkan ihwal berakhirnya (khatam) silsilah nubuwwah.
Nabi Saw tetap tinggal di Arafah hingga matahari tenggelam pada hari kesembilan Dzulhijjah. Ketika matahari terbenam dan keadaan menjadi remang dan sedikit gelap, Nabi Saw bertolak menuju Muzdalifah. Ia melewati malam di Muzdalifah. Pada waktu Subuh, hari kesepuluh, Rasulullah Saw bergerak menuju Mina. Ia melaksanakan adab-adab mampir di kota Mina, dan demikianlah Nabi Saw mengajarkan manasik haji kepada kaum Muslimin.
Nabi Saw menyebut musim haji ini sebagai hajjatul wida' (haji perpisahan), hajjatul Islâm, hajjatul balâgh (haji penyampaian), hajjatul kamâl (haji sempurna), hajjatul tamâm (haji penghabisan). Dengan selesainya ibadah haji, Nabi Saw bergerak kembali menuju kota Madinah. Tatkala sampai di bumi Rabigh, di tempat yang bernama Khum; Malaikat Jibril As turun, menyampaikan dan membacakan pesan dari Allah Swt:

يا أيها الرسول بلِّغ ما أنزل إليك من ربك وإنْ لم تفعل
فما بلَّغت رسالته والله يعصمك من الناس والله لا يهدي القوم الكافرين

"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memeliharmu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. al-Maidah [5]:67)

Pesan Ilahi ini meninggalkan tugas yang sangat riskan di atas pundak Rasulullah Saw; mengumumkan sesuatu yang seluruh orang harus tahu, dan apabila ia tidak melakukan hal ini, seolah-olah tugas risalah tidak tertunaikan.
Oleh karena itu, sebaik-baik keadaan untuk menyampaikan pesan seperti ini adalah di tempat ini; tempat di mana orang-orang yang berjalan ke arah Mesir, Irak, Madinah, Hadramaut, dan Tahamah berpisah. Dan hal ini akan membuat para haji tidak dapat menghindar dari penyampaian pesan ini. Ghadir Khum merupakan tempat yang paling tepat dan pas untuk menyampaikan pesan samawi ini kepada seluruh orang yang baru saja menunaikan ibadah haji.
Maka perintah dan titah untuk berhenti dikeluarkan. Nabi Saw memerintahkan untuk meminta orang-orang yang telah pergi untuk kembali dan bersabar hingga mereka mudik ke tempatnya masing-masing. Perhelatan akbar digelar di padang sahara. Hari itu panas terik membakar dan tempat itu segera saja menjadi tempat yang panas; sedemikian panas sehingga orang-orang setengah pakaiannya dilepas dan diletakkan di atas kepala dan setengah yang lain dililitkan di kaki-kaki mereka.
Seluruh orang bertanya-tanya dan ingin tahu ada apa gerangan Nabi Saw memerintahkan untuk berhenti di tempat yang secara lahir tidak pantas bagi mereka berhenti. Rasa dahaga bercampur dengan panasnya udara membuat para haji surut semangatnya.
Rasulullah Saw bersabda untuk menebang beberapa pohon tua dan mengumpulkannya dengan pelana-pelana unta supaya tegak sebuah mimbar. Menjelang Zuhur, ketika seluruh haji telah berkumpul, Nabi Saw naik ke atas mimbar dan menyampaikan khutbah:
"Segala puji hanya bagi Allah Swt. Kita meminta pertolongan dari-Nya dan beriman kepada-Nya. Kita bertawakkal ke atas-Nya dan berlindung dari segala keburukan dan kejahatan dari diri kita; tiada diberi petunjuk orang-orang yang sesat, dan tidak akan tersesat orang-orang yang mendapatkan petunjuk-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Ayyuhannas, Allah Swt yang mahapemurah dan mahatahu memberikan kabar kepadaku bahwa tidak seorang nabi yang akan hidup melebihi setengah dari usia nabi-nabi sebelumnya.
Orang-orang berkata: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan pesan Ilahi dan memberikan nasihat dan telah berupaya keras dalam menyampaikan risalah Tuhan. Semoga Allah Swt memberikan ganjaran yang setimpal kepadamu.
Nabi Saw bersabda: Apakah kalian tidak ingin memberikan kesaksian bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, surga, neraka dan kematian adalah benar adanya (hak) dan tanpa ragu hari kiamat akan datang dan Allah Swt akan membangkitkan seluruh orang yang telah mati?
Mereka berkata: Benar, kami memberikan kesaksian bahwa semuanya itu adalah benar.
Nabi Saw bersabda: Tuhanku saksikanlah.
Lalu Nabi Saw bertanya: Ayyuhannas, apakah kalian mendengarkan suaraku?
Mereka menjawab: Iya, kami mendengarnya.
Nabi Saw bersabda: Aku akan tiba lebih dahulu dari kalian di telaga Kautsar dan kalian akan masuk dari tepi telaga untuk bertemu denganku.
Telaga Kautsar merupakan telaga yang lebarnya antara Sana' (Yaman) hingga Busrah (Suriah) dan di telaga itu terdapat piala-piala untuk minum yang terbuat dari perak sebanyak jumlah bintang-bintang. Kini perhatikanlah bahwa selepasku apa yang kalian lakukan dengan dua pusaka yang aku wariskan kepada kalian.
Seorang tiba-tiba menyeruak di tengah-tengah kerumunan massa itu: Ya Rasulullah! Apakah gerangan dua pusaka berharga itu?
Rasulullah Saw bersabda: Salah satu dari kedua itu yang lebih besar adalah Kitabullah (al-Qur'an). Satu sisinya di sisi Allah Swt dan sisi lainnya di tangan kalian; Maka berpegang teguhlah kepadanya hingga kalian tidak tersesat. Yang satunya yang lebih kecil adalah itrat dan keluargaku. Tuhan yang Mahapemurah memberi kabar kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan berpisah satu dari yang lain hingga keduanya berjumpa denganku di telaga Kautsar pada hari kiamat. Aku juga telah bermohon demikian kepada Allah Swt. Hendaklah kalian menjaga keduanya supaya kalian tidak celaka. Lantaran kalau kalian membiarkannya niscaya kalian akan celaka. Kemudian Nabi Saw mengambil dan mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib As sedemikian sehingga warna putih dari bawah ketiak mereka terlihat dan seluruh manusia yang hadir di tempat itu mengenal Amirul Mukminin Ali As.
Kemudian Nabi Saw bersabda: Ayyuhannas! Hubungan apakah yang lebih utama bagi kaum Mukminin?
Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt adalah Mawla dan junjunganku dan Aku adalah mawla dan junjungan kaum Mukminin. Dan Aku lebih utama dari kaum Mukminin melebihi keutamaan atas diri mereka sendiri. Maka barangsiapa yang menjdikan aku sebagai mawla-nya maka Ali adalah mawla dan junjungannya. Nabi Saw mengulang sebanyak tiga kali pernyataan ini.
Lalu ia bersabda: Allahummah! Bertemanlah dengan orang yang berteman dengan 'Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya; cintailah orang yang mencintainya; bencilah orang yang membencinya; bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya dan jadikan kebenaran senantiasa bersama 'Ali di manapun ia berada.
Ayyuhannas! Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang ghaib (tidak hadir).
Lantaran khutbah telah usai, Sang Pembawa Wahyu, Malaikat Jibril turun untuk yang kedua kalinya. Dan ia mendapat kehormatan dengan membawa pesan ini:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَِكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيكُمْ نِعمَتي

"Hari ini telah kusempurnakan agama bagimu dan telah kucukupkan nikmat bagimu....."
Rasulullah Saw setelah mendapatkan wahyu ini, ia meneruskan kepada khalayak. Nabi Saw bersabda: "Allah Mahabesar yang telah menyempurnakan agama dan nikmat dan Tuhanku telah ridha dengan risalah yang aku bawa dan wilayah 'Ali setelahku."


Seremoni Ucapan Selamat
Nabi Saw setelah menyelesaikan khutbah turun dari mimbar dan duduk dalam kemah dan memerintahkan supaya 'Ali duduk di kemah yang lain. Setelah itu, Nabi Saw memerintahkan seluruh sahabat untuk segera berjumpa dengan Amirul Mukminin dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya atas makam wilayah yang kini diembannya.
Penulis kitab Raudha ash-Shifa setelah menukil peristiwa al-Ghadir, menulis:
"Setelah turun dari mimbar dan duduk di sebuah kemah khusus dan bersabda bahwa Amirul Mukminin duduk di kemah yang lain. Setelah itu ia memerintahkan kepada khalayak untuk bergegas menuju ke kemah Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat dan kongratulasi kepadanya. Setelah kaum Muslimin menyampaikan ucapan selamat, giliran para ummâhat (para istri Rasulullah Saw yang disebut sebagai ummâhatul mukminin), sesuai dengan tuturan Khawajah Kaniyat, menyampaikan selamat kepada Amirul Mukminin As.
Dan disebutkan dalam kitab sejarah Habib as-Siyar setelah menukil hadits al-Ghadir bahwa "setelah Amirul Mukminin - karramaLlâhu wajha - menjawab titah Rasulullah Saw duduk di kemah supaya khalayak yang terdiri dari berbagai kabilah dan suku datang menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Dan dari kalangan sahabat, Umar bin Khattab - radialLahu 'anhu - menyampaikan selamat kepada Ahli Wilayat,

بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي
ومولى كل مؤمن ومؤمنة

"Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawlaku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.
Dan setelah itu, ummahatul mukminin berdasarkan petunjuk Sayyidul Mursalin datang kepada Amirul Mukminin As untuk menyampaikan ucapan selamat.

Almarhum Thabarsi Ra mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits) mazhab Syi'ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits yang sama dalam kitabnya I'lâm al-Wara.
Seluruh sahabat kembali membaiat Rasulullah Saw dan pada saat yang sama juga membaiat Amirul Mukminin 'Ali As. Orang-orang yang pertama kali memberikan tangannya (membaiat) Nabi Saw dan Imam 'Ali As adalah Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, Thalha dan Zubair. Dan sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa 'Umar untuk menyenangkan Nabi dan Imam 'Ali As ia berkata sesuatu yang terekam baik dalam sejarah:

بخ بخ لك يا بن أبي طالب أصبحت وأمسيت مولاي
ومولى كل مؤمن ومؤمنة

Alangkah beruntungnya engkau wahai putra Abu Thalib! Engkau telah menjadi mawla-ku dan mawla seluruh kaum Mukminin dan Mukminat.

Tak terbilang para muhaddits Ahli Sunnah menukil ucapan ini dan meriwayatkan orang-orang yang hadir di tempat itu. Di antara orang yang menukil ucapan ini adalah sahabat-sahabat seperti Ibn 'Abbas, Abu Hurairah, Burai bin 'Azib, Zaid bin Arqam, Sa'ad bin Abi Waqqas, Abu Said Khudri, dan Anas bin Malik.
Allamah Amini Ra dalam kitabnya al-Ghadir menyebutkan tiga ratus nama ulama Ahli Sunnah yang menukil riwayat ini dalam kitab-kitab mereka. Dan sebagian yang lain menisbahkan hadits ini kepada Abu Bakar.
Tatkala seremoni ucapan selamat dan kongratulasi selesai, Hassan bin Tsabit seorang pujangga masa itu, bangkit dan berkata, "Ya Rasulullah! Aku minta izinmu untuk mendeklamasikan syair di hadapanmu tentang 'Ali As."
Nabi Saw bersabda: "Dengan berkat Allah Swt, deklamasikanlah."
Dan kemudian Hassan bin Tsabit naik ke atas mimbar dan mendeklamasikan:

يناديهم يوم الغدير نبيهم بخم واسمِْعْ بالرسـول مناديا
فقال فمن مولاكم ونبيكم؟ فقالوا ولم يبدوا هناك التعاميا
إلهك مولانا وأنت نبينا ولم تلق منا في الولاية عاصيا
فقال له : قم يا علي فإنني رضيتك من بعدي إماما وهاديا
فمن كنت مولاه فهذا وليه فكونوا له أتباع صدق مَواليا
هناك دعا اللهم وال وليه وكن للذي عادى علياً معاديا

Nabi kaum Muslimin menyeru mereka pada hari Ghadir,
Bagaimanakah pesuruh Allah berseru,
Ia bersabda: Siapakah mawla dan junjungan kalian?
Di tempat itu semua berkata terang tanpa keraguan
Tuhanmu adalah mawla kami dan engkau adalah nabi kami,
Dan tidak satu pun dari kami yang menentang dan bermaksiat kepadamu dalam urusan wilayah,
Maka barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan junjungannya, maka 'Ali adalah pemimpin dan junjungannya. Ikutilah dan taatilah perintahnya.

Dan di tempat itu Sang Nabi Agung berdoa, "Allahummah cintailah orang yang mencintai 'Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.


Penyematan Jubah Kebesaran pada Hari Ghadir
Seremoni ucapan selamat dan baiat itu berlangsung selama tiga hari. Kini khilafah besar Ilahi telah menjadi maklum dan khalifah Rasulullah Saw telah ditetapkan. Masyarakat mengenal Imam 'Ali As dan memberikan bai'at kepadanya. Kini tiba giliran upacara penyematan dilangsungkan. Rasulullah Saw meminta Amirul Mukminin As untuk maju dan ia mengenakan ammamahnya (sebuah pakaian khusus) yang disebut sebagai sahab itu kepada Imam 'Ali As supaya sahab itu bergantung di kedua bahunya dan bersabda:

يا علي العمائم تيجان العرب

"Amamah merupakan pakaian kebesaran orang Arab."

Dan supaya orang-orang di bawahnya melihatnya Kemudian Nabi Saw bersabda: Menghadaplah kepadaku. Imam 'Ali As berdiri menghadap Nabi Saw. Nabi kemudian bersabda lagi, kembali. Imam 'Ali As pun kembali.
Kemudian Nabi Saw menghadap ke arah para sahabat dan bersabda: "Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar dan Hunain mengenakan amamah seperti ini.
Lalu Nabi Saw bersabda: "Ammamah merupakan roman wajah Islam, ammamah merupakan sebuah perlambang yang memisahkan seorang Muslim dengan seorang Musyrik. Kemudian Nabi Saw bersabda lagi, "Para malaikat dengan cara seperti ini datang kepadaku.
Demikian seterusnya, peristiwa Ghadir berakhir. Dan para haji kembali ke kampung mereka masing-masing yang bertebaran di seantero Jaziratul Arabia.
Sekarang peristiwa Ghadir secara ringkas telah menjadi maklum. Dan terdapat dua poin yang layak untuk disimak.
A. Kebenaran peristiwa Ghadir dalam perspektif sejarah;
B. Muatan sabda Rasulullah Saw pada khutbah Ghadir.


Kebenaran Peristiwa Ghadir dalam Perspektif Sejarah
Ghadir merupakan mata air yang darinya kemurnian Islam bersumber. Barang siapa yang mengakui realitas ini dan jiwanya karam dalam kemurniannya, ia akan mendapatkan keselamatan dalam lindungan Islam. Dan barang siapa yang menutup mata dan telinga atas realitas ini, dengan segala dalih dan alasan, tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali suara bel dari jauh.
Ghadir bukanlah sebuah tempat atau kediaman untuk berhenti dimana Rasulullah Saw memperkenalkan penggantinya kepada umat. Nabi yang mulia ini berulang kali pada setiap kesempatan dan penjelasan dalam bentuk yang beragam telah memperingatkan umat atas realitas ini serta memperkenalkan pemimpin umat masa datang.
Mereka yang memiliki hubungan baik dengan baginda Nabi Saw dan senantiasa dalam kontak tentang apa saja yang terjadi pada sentral pemerintahan Islam, tahu bahwa 'Ali As merupakan khalifah belâ fashl (immediate, segera setelah Rasulullah Saw), orang yang paling dicintai Rasulullah dan sahabat terdekat Rasulullah Saw.
Khilafah bukanlah merupakan sebuah masalah yang didiamkan hingga tahun sepuluh Hijriah. Khalifah Rasulullah Saw telah maklum semenjak maklumnya kenabian (nubuwwah) di kota Makkah.
Selepas itu, khususnya hingga tahun kesepuluh Hijriah sedemikian masalah ini berulang kali dibicarakan sehingga seluruh penduduk kota Madinah tahu masalah ini. Seluruh hadits seperti hadits manzilah, hadits râyat dan hadits thair telah mereka dengar. Hadits tsaqalain telah berulang kali dibacakan kepada mereka. Turunnya ayat seperti ayat "mawaddah", ayat "mubahalah" dan ayat wilâyah telah menjadi sebab mentari pribadi Amirul Mukminin As semakin bertambah terang dan cerlang.
Dengan semua hadits ini, hadits Ghadir jauh lebih populer. Seluruh hadits-hadits yang telah diriwayatkan dalam bidang ini merupakan hadits-hadits sahih dan masyhur dan sebagian mutawatir; akan tetapi hadits al-Ghadir bahkan melebihi tingkatan tawatur.
Almarhum 'Alamal Huda Sayyid Murtada Ra bertutur tentang masalah ini:
"Barang siapa yang menghendaki dalil dari riwayat ini, seolah-olah menghendaki dalil kebenaran riwayat ghazawat dan keadaan Rasulullah Saw dan sedemikian terang sehingga ia seakan-akan meragukan akan kebenaran riwayat hajjatul wida'. Lantaran kesemua ini dari sisi kemasyhuran berada pada satu tingkatan.
Lantaran seluruh ulama Syi'ah menukil riwayat ini dan demikian juga para muhaddits (ahli hadits) dengan sanad-sanad meriwayatkan hadits tersebut. Para sejarawan dan penulis sejarah sebagaimana mereka menarasikan peristiwa-peristiwa penting, tanpa sanad tertentu melalui generasi demi generasi meriwayatkan peristiwa-peristiwa tersebut. Dan para ahli hadits memverifikasi riwayat al-Ghadir dan mengolongkannya sebagai hadits sahih.
Riwayat ini memiliki keistimewaan. Sementara riwayat-riwayat yang lain tidak memiliki keistimewaan sebagaimana riwayat ini. Karena khabar atau riwayat terdiri dari dua bagian:
Bagian pertama adalah khabar atau riwayat yang tidak memerlukan sanad yang bersambung; seperti riwayat peperangan Badar, Khaibar, Jamal, Shiffin dan seluruh kejadian-kejadian penting yang diketahui oleh orang-orang melalui generasi demi generasi tanpa bersandar pada sanad. Bagian yang lain adalah khabar atau riwayat yang memerlukan sanad yang bersambung; misalnya riwayat yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat.
Riwayat Ghadir telah dinukil melalui dua jalan ini. Maksudnya di samping riwayat tentang Ghadir sedemikian makruf dan masyhurnya dan tidak memerlukan sanad, ia juga memiliki sanad yang bersambung.
Terlebih riwayat yang dinukil dengan hukum-hukum syariat semuanya merupakan khabar wahid (satu orang yang meriwayatkannya, Ak); akan tetapi riwayat tentang al-Ghadir banyak yang merawikannya.
Bukan di sini tempatnya untuk menyebutkan satu persatu perawi yang meriwayatkan hadits atau kabar Ghadir, lantaran tidak hanya tempatnya yang terbatas tetapi juga kita tidak terlalu berhajat dengannya. Almarhum Allamah Amini Ra menyebutkan para perawi hadits ini sesuai dengan urutan masa hidupnya. Kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebut jumlah perawi hadits al-Ghadir pada setiap zamannya. Bagi mereka yang ingin mengkaji lebih jeluk, silahkan rujuk kepada kitab al-Ghadir karya Allamah Amini.
Di antara para sahabat Rasulullah Saw terdapat 110 sahabat yang meriwayatkan hadits al-Ghadir ini;
Di antara para thabi'in terdapat 84 orang;
Di antara ulama abad kedua Hijriah terdapat 56 orang;
Di antara ulama abad ketiga Hijriah terdapat 92 orang;
Di antara ulama abad keempat Hijriah terdapat 43 orang;
Di antara ulama abad kelima Hijriah terdapat 24 orang;
Di antara ulama abad keenam Hijriah terdapat 20 orang;
Di antara ulama abad ketujuh Hijriah terdapat 21 orang;
Di antara ulama abad kedelapan Hijriah terdapat 18 orang;
Di antara ulama abad kesembilan Hijriah terdapat 16 orang;
Di antara ulama abad kesepuluh Hijriah terdapat 14 orang;
Di antara ulama abad kesebelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keduabelas Hijriah terdapat 13 orang;
Di antara ulama abad ketigabelas Hijriah terdapat 12 orang;
Di antara ulama abad keempatbelas Hijriah terdapat 19 orang;
Dan Hamu menulis:
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits ini dengan 40 sanad, Ibn Jarir at-Tabari dengan tujuh puluh dua sanad, Jazari Muqarri dengan delapan puluh sanad, Ibn Uqdah dengan seratus lima sanad, Abu Sa'ad Mas'ud Sajistani dengan seratus dua puluh sanad, dan Abu Bakar Jua'bi dengan seratus dua puluh lima sanad.
Ibn Hajar dalam kitabnya Shawaiqul Muhriqa menulis, "Hadits ini diriwayatkan oleh tiga puluh orang sahabat Rasulullah Saw sanad-sanad hadits tersebut adalah sanad-sanad sahih dan hasan."
Ibn Maghazali dalam kitabnya Manâqib menulis:
"Hadits Ghadir adalah hadits sahih dimana kira-kira seratus orang sahabat yang di antara mereka adalah orang-orang yang mendapatkan berita gembira masuk surga ('asyara mubasyarah) meriwayatkan hadits ini dari Nabi Saw. Hadits ini adalah hadits yang sifatnya tsâbit (tetap) dan tidak ada isyakalan atasnya. Dan kenyataan ini merupakan keutamaan Imam 'Ali As yang tidak dimiliki oleh seorang pun."
Sayyid Ibn Thawus salah seorang ulama besar Syi'ah dalam kitabnya Iqbâl al-A'mâl menulis:
"Abu Sa'ad Mas'ud bin Nasir Sajistani menyusun sebuah kitab yang terdiri dari sepuluh juz yang bernama ad-Dirâyah fii hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia riwayatkan dari seratus dua puluh sahabat."
Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalamnya kitabnya ar-Rad 'ala al-Hurqusha menulis, "Bahwa hadits wilayah diriwayatkan dari tujuh puluh lima jalan."
Abul Qasim 'Abdullah Huskani dalam masalah ini menyusun sebuah kitab tersendiri yang berjudul "Du'a al-Hudat ilaa Ada Haqqi al-Walât. Abul 'Abbas Ahmad bin Sa'id bin 'Uqda juga menulis sebuah kitab yang diberi judul Hadits al-Wilâyah dan hadits ini ia nukil dari seratus lima puluh orang. Setelah menukil redaksi para perawi, ia menulis:
"Seluruh kitab-kitab ini selain kitab at-Thabari ada pada perpustakaan pribadi penulis; khususnya kitab Ibn Uqdah yang telah disusun pada masa hidupnya (tahun 330 H)."
Semenjak abad kedua hingga masa-masa munculnya mazhab, tidak satu pun dari perawi hadits ini berasal mazhab Syi'ah. Di kalangan Syi'ah jarang dijumpai seorang alim yang tidak menukil hadits ini dengan sanad yang berbeda.
Signifikansi hadits Ghadir ini sedemikian asasinya sehingga banyak ulama Islam menulis atau menyusun kitab perihal peristiwa al-Ghadir. Sesungguhnya Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir, hingga masanya terdapat dua puluh enam kitab tersendiri telah ditulis atau diriset oleh para ulama dalam membuktikan tawaturnya hadits al-Ghadir.
Masalah ini sedemikian terangnya dan jelasnya dan merupakan perkara yang pasti pada semua orang sehingga Ahli Bait As dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pelbagai kesempatan berdalil dan berdebat menggunakan hadits al-Ghadir ini.
Kita jumpai dalam riwayat-riwayat yang beragam dimana Amirul Mukminin As sepanjang tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw dalam berbagai majelis bersumpah bahwa apakah kalian tidak mengingat Rasulullah Saw bersabda pada hari Ghadir: "Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya." Dan mereka bersumpah bahwa mereka telah mendengarnya dari Nabi Saw.
Sesuai dengan apa yang telah dibahas sebelumnya, hadits al-Ghadir merupakan peristiwa yang tidak dapat disepelekan oleh orang-orang tabahkar dan atau ditutup-tutupi oleh sekelompok orang-orang jahil; apatah lagi untuk menutupi mentari benderang hakikat Imam 'Ali As. Dengan alasan ini, seorang ulama, 'Abdul Fattah 'Abdul Maqsud Misri yang menyusun kitab Imam 'Ali As, sembari taqriz kitab al-Ghadir, ia menulis:
"Hadits Ghadir tanpa syak, merupakan sebuah kenyataan yang dengan sendirinya tidak akan pernah sirna; Hadits Ghadir merupakan hadits yang jelas dan terang, seperti terangnya siang hari. Dan hal ini merupakan salah satu kenyataan yang jelas bahwa Ghadir adalah sumber ilham yang tersebar dari dada Nabi Saw hingga ia memaklumkan orang pilihan dan binaannya di antara umat.


Kandungan Hadits al-Ghadir
Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda: "

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ "

"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka 'Ali adalah mawlanya."

Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar) dengan hadits ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awla bermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin. Dengan demikian, makna hadits ini adalah: Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, 'Ali As adalah pemimpin dan pembinanya." Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima 'Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.
Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khutbah Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?
Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa dimana dua puluh tujuh dari mereka berkata: "Mawla bermakna awla." Lima belas orang yang lain berkata: "Awla merupakan salah satu makna dari mawla."
Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadits ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadits ini disampaikan dan menelaah khutbah yang memuat hadits ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadits ini adalah bermakna awla.
Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas dimana apabila daging di letakkan di atas tanah maka akan terpanggang.
Sebuah tempat yang tidak satu pun karavan yang mau berhenti di situ. Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khutbah pada saat-saat yang paling terik dan di samping itu, Nabi Saw berulang kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Dan pada akhirnya menunjukkan 'Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ

(Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka 'Ali adalah mawlanya)

Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Dan setelah itu ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, dan mengenakan ammamah kepunyaannya di atas kepala 'Ali As dan bersabda kepadanya, "Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah." Dan Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, "Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini."
Sekarang apabila kita berasumsi hadits ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadits ini, ia akan menjumpai - berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil - bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai temannya maka 'Ali adalah temannya." Atau "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya maka 'Ali adalah penolongnya.!
Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.
Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahli Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadits ini (mawla) adalah bermakna awla.
Dan Ibn Thalha dalam kitab Mathâlib as-Su'âl menulis:
"Baginda Nabi Saw setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, ia nisbahkan juga kepada 'Ali dan nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada 'Ali As.
Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khutbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya dan hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Dan atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.
Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Ghadir memahami bahw Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.
Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Ghadir itu. Dan ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir, dan dalam lirik-lirik syair mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin 'Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Ghadir.
Amirul Mukminin As pada masa khilafah zahiri-nya (secara resmi) di Kufah acapkali berdalil dengan hadits ini dan meminta para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas peristiwa Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Ghadir telah berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Dan di samping itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di Madinah.
Amirul Mukminin As tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam 'Ali As. Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian riwayat terdapat lima atau enam orang, sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang , riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang , riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK) , riwayat yang lain terdapat tiga belas orang , dan riwayat yang lain enam belas orang , dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang , dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang , sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang , sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang , sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak , dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Ghadir bersabda:

"مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ "

Demikian juga Ahli Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadits ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj). Di sini, kita hanya akan menyebutkan beberapa matlab sebagai contoh:


1. Istidlâl Ummu Aimmah, Fatimah az-Zahra As
Apakah kalian telah melupakan sabda Nabi Saw yang menyerukan: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya."


2. Istidlâl Imam Hasan al-Mujtaba As
Tatkala Imam Hasan Mujtaba mengambil keputusan untuk berdamai dengan Mua'wiyah, ia menyampaikan khutbah. Sebagian dari khutbah tersebut tertoreh dalam sejarah:
Umat ini mendengar dari datukku Rasulullah Saw yang bersabda: "Setiap umat mewakilkan urusan mereka kepada seseorang yang lebih alim dan lebih layak di antara mereka. Mereka akan mengalami kejatuhan dan degradasi; kecuali mereka memprioritaskan orang yang lebih layak di kalangan mereka. Dan kalian mendengar ia bersabda kepada ayahku: "Engkau bagiku ibarat Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi selepasku." Kalian mendengar bahwa pada Ghadir Khum ia mengangkat tangan ayahku dan bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ

"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya. Allahummah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Kemudian ia bersabda, orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir.


3. Istidlâl 'Ammar Yasir
Pada perang Shiffin, tatkala 'Ammar Yasir berhadap-hadapan dengan 'Amr bin Ash, ia berkata:
"Rasulullah Saw memberikan titah kepadaku untuk berperang melawan Nakitsin dan aku telah memenuhi titah tersebut. Ia menitahkan untuk berperang dengan Qâsithin. Dan kalian adalah orang-orang Qâsithin itu yang kini aku perangi dan aku tidak tahu apakah aku dapat menuruti titah baginda Nabi Saw untuk memerangi Marqin atau tidak. Wahai pria abtar (orang yang keturunannya terputus, -AK), apakah engkau tidak tahu bahwa Rasulullah Saw bersabda 'Ali As:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ¸اَللّهُمَّ والَ مَنْ وَالاهُ وَعادَ مَنْ عادَاه ُ

"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya. Allahummah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Mawlaku adalah Allah dan Rasul-Nya dan setelahnya 'Ali. Tetapi engkau tidak memiliki mawla.
'Amr bin Ash menjawab: "Wahai Aba Yaqzhan mengapa engkau mencibir aku sementara aku tidak mencibirmu."


4. Istidlâl Ashbagh bin Nabatah
Pada perang Shiffin Amirul Mukminin As menulis surat dan ia menugaskan Ashbagh bin Nabatah untuk menyampaikan surat itu kepada Mua'wiyah. Tatkala Ashbagh memasuki majelis Mua'wiyah, sekelompok lasykar juga hadir di tempat itu. Di antara lasykar tersebut, dua orang sahabat Rasulullah Saw yaitu Abu Hurairah dan Abu Darda berada dalam majelis tersebut. Ashbagh berkata, ketika Mua'wiyah membaca surat itu, ia berkata, "Mengapa 'Ali tidak menyerahkan kepada kita orang yang membunuh 'Utsman." Aku berkata, "Wahai Mu'awiyah! Jangan engkau berdalih dengan darah 'Utsman; Engkau adalah orang yang mengejar kekuasaan dan pemerintahan. Apabila engkau ingin membantu 'Utsman, sebenarnya engkau dapat membantunya pada masa hidupnya. Akan tetapi engkau berdalih atas darahnya (kematian 'Utsman). Engkau sangat dahaga kekuasaan hingga ia terbunuh." Mu'awiyah menjadi bungkam dengan ucapan Ashbagh ini. Dan aku yang lebih ingin menumpahkan amarah berkata kepada Abu Hurairah, "Wahai sahabat Rasulullah Saw! Aku bersumpah kepada Tuhan yang Esa, Yang Mahatahu yang lahir dan ghaib dan kepada kekasih-Nya Muhammad Saw apakah engkau hadir pada hari Ghadir Khum? Ia menjawab: "Iya aku hadir di tempat itu."
Aku berkata: "Apakah yang engkau dengar dari Rasulullah Saw perihal 'Ali?" Ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya. Allahummah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah orang yang membantunya dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.
Aku berkata: "Wahai Abu Hurairah! Lalu mengapa engkau bersahabat dengan musuhnya dan memusuhi orang yang bersahabat dengannya?"
Abu Hurairah berseru ah., dan berkata: Inna liLlahi wa inna ilahi Raji'un."
Lebih jauh dari itu, dalam banyak perkara, orang-orang awam beristidlal dan bersandar pada hadits Ghadir di hadapan orang-orang masyhur yang tidak mengamalkan tuntutan hadits ini dan bahkan menentang Amimrul Mukminin As; dan di antara orang-orang awam itu adalah:


5. Istidlâl Istri Darami
Ia adalah seorang wanita hitam dari Syi'ah Imam 'Ali As yang berasal dari keluarga besar Daram yang bermukim di daerah Hujun Makkah. Dan atas alasan ini, ia disebut sebagai Daramiyah Hujuniyyah.
Tampaknya lantaran kemasyhuran dan popularitas gelar ini, namanya tidak disebut dalam sejarah. Mua'wiyah dalam perjalanan haji ia memanggil wanita itu dan berkata: "Apakah engkau tahu mengapa aku memanggilmu?"
Wanita itu berkata: "Mahasuci Allah! Aku tidak mengetahui perkara ghaib."
Mua'wiyah berkata: "Aku ingin bertanya, mengapa engkau mecintai 'Ali dan membenciku? Engkau menerima wilayahnya dan memusuhiku?"
Ia berkata: "Apabila mungkin engkau membolehkan aku untuk tidak menjawab pertanyaan itu"
Mua'wiyah berkata: "Aku tidak membolehkanmu."
Ia berkata: "Karena engkau mendesakku untuk menjawab pertanyaanmu. Kini aku berkata: "Aku cinta kepada 'Ali, lantaran perilakunya mencerminkan keadilan dan membagi harta baitul mal dengan rata. Aku membencimu karena engkau berperang dengan orang yang paling pantas untuk menjadi khalifah, dan engkaumenuntut sesuatu yang bukan hakmu. Aku menerima wilayah 'Ali lantaran Nabi Saw menyematkannya kepada 'Ali. Karena ia mencintai orang-orang miskin dan menghormati orang-orang beragama. Aku memusuhimu karena engkau menumpahkan darah dan menyebarkan perpecahan; engkau bertindak zalim mengikuti hawa nafsu dalam peradilan.


6. Istidlâl Pemuda tak dikenal
Suatu waktu Abu Hurairah masuk ke masjid Kufah. Orang-orang segera mengerumuninya. Setiap orang mengajukan pertanyaan kepadanya. Seorang pemuda bangkit dan berkata: "Aku bersumpah kepada Allah bahwa apakah engkau mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya. Allahummah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya." Abu Hurairah berkata: "Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw bersabda demikian."
Demikian juga sepanjang sejarah, bahkan orang-orang yang berada dalam jajaran orang yang bermusuhan dengan 'Ali, beristidlal dengan hadits Ghadir. Di antaranya:


7. Istidlâl 'Amru bin Ash
Semua orang tahu bahwa Amr bin 'Ash merupakan salah seorang musuh bebuyutan Amirul Mukminin As. Ia-lah yang menjadi penasihat dan kontributor pemikiran bagi Mu'awiyah sekaligus juga yang merancangnya untuk berhadapan dengan 'Ali.
Dengan intriknya yang licin, ia yang membuat Imam 'Ali bungkam (selama 25 tahun), dan dengan mengajukan usulan hakamiyat (Qur'an yang hakim atas pertikaian mereka, AK), ia memberikan kekuatan kepada lasykar Syam dan menyebarkan perpecahan di kalangan prajurit Kufah. Dari tempat itulah, nutfah Khawarij bersemi, dan berkat jasa besar ini, ia mendapatkan ganjaran pemerintahan Mesir dari Mu'awiyah.
Setelah Mu'awiyah mengusulkan agar ia memangku jabatan sebagai gubernur Mesir. Dalam suratnya, Mu'wiyah memohon bantuan darinya: "'Ali yang menyebabkan 'Utsman terbunuh dan aku adalah khalifah 'Utsman."
'Amr bin Ash dalam menjawab surat Mu'awiyah, ia menulis:
Aku telah membaca surat dan telah memahaminya dengan baik. Adapun engkau memintaku untuk keluar dari agama Islam, aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada Islam dan memasuki lembah kesesatan dan membantumu pada jalan-jalan batil dan menghunus pedang di hadapan Amirul Mukminin, padahal ia adalah saudara, wali, washi, dan pewaris Rasulullah Saw dan ialah yang telah menunaikan agama Rasulullah dan memenuhi janji-janjinya, ia adalah menantu Nabi dan suami dari penghulu wanita seluruh alam, bapak dari Hasan dan Husain penghulu pemuda di Surga. Aku tidak dapat menerima permintaanmu ini.
Adapun engkau berkata: Aku adalah khalifah 'Utsman, dengan tewasnya 'Utsman engkau telah tergeser. Kekhalifaanmu akan sirna. Dan engkau berkata: "Amirul Mukmininlah yang menggerakan sahabat untuk membunuh 'Utsman, perkataan ini adalah dusta dan palsu. Celakalah engkau wahai Mu'awiyah! Tidakkah engkau tahu bahwa Abul Hasan telah mempersembahkan jiwanya di jalan Allah dan tidur di pembaringan Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw bersabda tentangnya: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka 'Ali adalah mawlanya."


8. Istidlâl 'Umar bin 'Abdul 'Azis
Seseorang yang bernama Yazid bin 'Umar berkata: "Aku berada di Syam, 'Umar bin 'Abdul Azis membagi-bagikan harta. Untuk mendapatkan saham dari harta tersebut, aku juga turut ke sana. Tatkala giliranku tiba, ia berkata: "Engkau berasal dari kabilah mana? Aku berasal dari Quraisy.
Ia bertanya lagi, "Dari thaifah mana?"
"Dari thaifah Bani Hasyim," jawabku.
Ia bertanya lagi, "Dari keluarga mana?"
Aku berkata: "Dari keluarga 'Ali - dalam riwayatnya redaksinya dari mawla 'Ali.
Ia berkata: "'Ali yang mana?"
Aku tidak menjawab pertanyaan itu.
'Umar bin 'Abdul 'Azis sembari meletekkan tangannya di dada, ia berkata: "Demi Tuhan, aku juga berasal dari keluarga 'Ali."
Sekelompok orang meriwayatkan hadits kepadaku bahwa Nabi Saw bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya."
Kemudian ia menghadap ke arah stafnya yang membagikan harta lalu bertanya: "Berapa yang engkau berikan kepada orang seperti ini? Seratus atau dua ratus Dirham, jawabnya. Ia berkata: "Sekarang berikan kepadanya lima puluh Dinar . Karena ia memiliki wilayah 'Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia berkata kepadaku, "Kembalilah ke kotamu. Bagianmu dari baitul mal engkau akan dapatkan di tempat itu juga."


9. Istidlâl Makmun, Khalifah Bani Abbasiyah
Pada saat terjadi perdebatan antara Makmun dan Ishaq bin Ibrahim, hakim agung pada masanya, tentang keutamaan sahabat-sahabat Nabi Saw, Makmun bertanya kepadanya: "Apakah engkau pernah meriwayatkan hadits wilayah? Ia berkata: "Iya."
Makmun bertanya: "Coba engkau sebutkan hadits itu."
Kemudian Yahya menyampaikan hadits tersebut.
Makmun bertanya lagi: "Menurutmu apakah hadits ini menetapkan kewajiban yang harus ditunaikan oleh Abu Bakar dan 'Umar di hadapan 'Ali atau tidak?"
Ishaq menjawab: "Mereka berkata: Nabi menyampaikan hadits ini tatkala terjadi perbedaan antara 'Ali dan Zaid bin Haritsa. Zaid menegasikan kekerabatan 'Ali dengan Rasulullah Saw; karena alasan ini Nabi Saw bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya."
Makmun bertanya: "Apakah Nabi Saw menyampaikan hadits ini pada saat kembalinya dari Hajjatul Wida'?
Ishaq menjawab: "Iya."
Makmun berkata: "Zaid bin Haritsah telah meninggal sebelum peristiwa Ghadir. Bagaimana engkau dapat menerima bahwa Nabi Saw menyampaikan hadits ini karena Zaid. Coba katakan kepadaku, apabila seorang pemuda lima belas tahun berkata kepada orang-orang: Ayyuhannas, ketahuilah! Siapa saja yang menjadi kerabatku adalah kerabat putra pamanku juga."
Apakah engkau tidak akan berkata kepadanya bahwa mengapa anda menyampaikan kembali sesuatu yang bukan rahasia lagi dan diketahui oleh semua orang?"
Ia berkata: "Tentu, aku akan bertanya kepadanya."
Makmun berkata: "Wahai Ishaq! Anda tidak menerima perbuatan pemuda lima belas tahun akan tetapi menerima perbuatan Rasulullah Saw? Celakalah engkau, mengapa engkau menyembah para fuqahamu."
Sebagaimana yang kita lihat pada seluruh perbincangan ini yang menjadi pembahasan adalah khilafah baginda Amirul Mukminin As. Orang-orang yang bersandar pada hadits ini, telah menetapkan khilafah baginda Amirul Mukminin As. Dan orang-orang yang diajak berdialog atau berdebat tidak berkata bahwa mawla dalam hadits ini bukan bermakna pemimpin atau junjungan.
Apabila hadits ini tidak bermakna kepemimpinan baginda 'Ali maka Abu Hurairah tidak akan berkeluh sendu duhai dan takluk serta menahan malu di hadapan Ashbagh. Demikian juga 'Amr bin Ash di hadapan 'Ammar bin Yasir.

Oleh karena itu, apabila ada seseorang - apapun motivasinya - meragukan muatan hadits Ghadir, maka ia tidak hanya menutupi hakikat yang sebenarnya, tetapi juga telah mendistorsi sabda Rasulullah Saw. Dan menyitir Makmun bahwa sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah Saw tidak dapat dinisbahkan kepada pemuda lima belas tahunan.[]

3
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Bagian Kedua: Khilâfah dan Wishâyah

Khalifah yang memerintah dengan Kebenaran
Menurut akidah mazhab Syi'ah, khalifah Rasulullah Saw memiliki dua tugas:


1. Pemerintahan Lahir
Yaitu pemerintah yang mengimplementasikan hokum (qanun), menjaga terlaksananya hak-hak dan menjaga negeri-negeri Islam dan sebagainya.
Dalam masalah ini, khalifah seperti para pemerintahan yang lain; dengan perbedaan bahwa dalam pemerintahan Islam terjaganya keadilan social yang merupakan kewajiban dan tipologi pemerintahan Islam.


2. Pemerintahan Maknawi
Dalam bagian ini pemerintah mengemban tugas untuk menjelaskan poin-poin yang masih kabur, njelimet dan masih belum dijelaskan dengan tuntas ihwal masalah maktab kepada kaum Muslimin.
Khalifah, di samping menjalankan tugas sebagai pemerintah, ia juga mengemban tugas sebagai penjelas ahkam (plural dari hukum) dan mufassir al-Qur'an. Dan ia juga dapat menjaga maktab dari segala macam penyimpangan dan membelanya dari segala keraguan (syubhat).
Oleh karena itu, khalifah seharusnya seorang yang lebih alim dan lebih tahu di kalangan umat perihal masalah-masalah fondasi dan muatan-muatan syariat; yaitu ia melebihi dari yang lain telah melepas dahaga ilmu dan makrifat dari sumber mata air ilmu dan makrifat nabi.
Dengan demikian, ia harus memiliki keislaman yang lebih awal dan telah banyak mengambil manfaat dari Nabi Suci Saw. Demikian juga ia harus mengedepankan kepentingan kaum Muslimin dan umat Islam di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dan demi menjaga Islam ia rela mengorbankan jiwa dan raga.
Khalifah dari sisi pemerintahan adalah penguasa atas seluruh harta kaum Muslimin, seperti harta khumus, zakat, pendapatan negara, pajak, pampasan (ghanima) perang, mineral-mineral, dan harta-harta umum. Kesemua ini merupakan harta yang berada dalam kekuasaan khalifah.
Dan khalifah memiliki tugas, tanpa adanya pelanggaran dan kezaliman, untuk membagikan harta-harta ini kepada kaum Muslimin; atau demi kemaslahatan umat ia dapat memanfaatkan negeri-negeri Islam.
Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi perasaan-perasaanya tidak terjerembab dan terpuruk dalam kesalahan.
Persis dengan alasan ini, khilafah merupakan posisi yang ditentukan oleh Tuhan dimana seorang khalifah ditetapkan dari orang-orang yang paling layak dan paling berilmu di kalangan umat, dan bukan masalah pemilihan (yang dilakukan oleh umat, AK).
Dengan kata lain, khilafah merupakan penetapan dimana suara rakyat tidak memiliki pengaruh sama sekali di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan pengganti Rasulullah Saw, kita harus mencarinya dengan perhatian yang fair dan imparsial dalam nash dan instruksi hokum serta sabda-sabda Nabi Saw tentang masalah ini dan mengamalkan apa yang telah kita temukan dari nash, hokum dan sabda Nabi Saw.
Kita telah mengetahui bahwa peristiwa Ghadir merupakan salah satu sandaran yang paling dapat diandalkan dan merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dalam dunia Islam.
Di samping itu, hadits wilayah merupakan salah satu hadits yang paling definitif yang telah datang dari Nabi Saw. Dan dari sisi makna dan mafhumnya (yang dapat dipahami darinya) tidak terdapat sedikit pun sifat mubham (kabur, tidak jelas) dan mujmal (global, tidak rinci) di dalamnya; lantaran bagi mereka yang telah merasakan aroma sastra Arab dan familiar dengan muatan-muatan 'urf (kebiasaan umum) - kebiasan orang-orang berakal dan melihat dengan pandangan tanpa bias dan prajudis, ia akan memberikan pengakuan bahwa hadits ini memberikan petunjuk tentang masalah imâmah, kepemimpinan, dan prioritas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As atas yang lain.
Bahkan apabila kita tidak mengindahkan hari ini, kita masih cukup memiliki selaksa hadits yang diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dan Syi'ah ihwal masalah imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin 'Ali As.
Penggalan hadits-hadits dari Rasulullah Saw yang mengulas masalah ini akan kita sampaikan dalam dua bagian yang terpisah:
Bagian pertama, hadits-hadits seperti hadits Ghadir dengan jelas dan tegas menunjukkan khilafah Amirul Mukminin 'Ali As.
Bagian kedua, hadits-hadits yang memperkenalkan kepribadian Amirul Mukminin As yang menegaskan kandungan hadits Ghadir dan khilafah Baginda 'Ali As.
Setelah itu, terlepas dari hadits-hadits yang disebutkan di atas dan dalil-dalil lafzi, kita akan mengkaji kelayakan secara substansial dan keutamaan Baginda 'Ali As. Dan pada akhirnya kita akan ketengahkan latar belakang 'Iedul Ghadir berikut adab-adabnya.


Dalil-dalil Tegas atas Khilafah Imam 'Ali As
Dalil-dalil - terlepas dari hadits Ghadir - yang secara otomatis menunjukkan secara tegas dan jelas tentang khilafah dan kepemimpinan Amirul Mukminin As yang tersedia dimana untuk menyebutkannya memerlukan waktu yang lapang dan buku yang tebal. Di sini kita hanya akan menyebutkan beberapa dalil yang menyebutkan secara tegas dan terang ihwal khilafah dan imamah Imam 'Ali As.
Sebelum menukil dalil-dalil tersebut - kendati umat tergelincir dalam kesalahan dalam memilih pengganti selepas Nabi Saw dan khalifah yang sebenarnya ditahan untuk tidak turut campur dalam urusan kaum Muslimin selama dua puluh lima tahun, akan tetapi tidak satu pun yang berkurang dari substansi nilai Baginda 'Ali As; melainkan merekalah yang telah tertahan untuk meraup manfaat dari seorang pemimpin maksum.
Lantaran nilai-nilai dan keutamaan Imam 'Ali As tidak bergantung pada penetapan pemerintahan secara lahir, akan tetapi nilai kursi khilafahlah yang bergantung pada bertugasnya Amirul Mukminin; artinya kapan saja ada orang lain selain dirinya yang menduduki pos khilafah, pos khilafah ini akan mengalami degradasi nilai. Dan pos khilafah ini kembali akan menemui nilainya manakala Imam 'Ali menduduki pos khilafah tersebut.
Di sebutkan bahwa:
"Tatkala Amirul Mukminin As memasuki kota Kufah, seseorang datang kepadanya dan berkata: "Demi Allah! Wahai Amirul Mukminin! Khilafah kini menjadi rupawan dan elok dipandang mata berkatmu, bukan lantaran khilafah engkau menjadi rupawan dan elok. Wujudmu telah membuat nilai posisi khilafah ini menjadi tinggi, bukan karena khilafah wujudmu menjadi lebih tinggi. Khilafah yang memerlukanmu, bukan engkau yang memerlukan khilafah.
'Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Suatu hari aku duduk di hadapan ayahku. Sekelompok orang yang berasal dari Kufah datang menghadap ayahku dan berkata-kata tentang khilafah para khalifah; akan tetapi tatkala sampai pada khilafah Imam 'Ali As, pembicaraan menjadi sangat lama. Ayahku mengangkat kepalanya dan berkata: "Alilah yang memberikan keindahan kepada khilafah, bukan khilafah kepada 'Ali."


1. Hadits Yaum ad-Dâr
Khilafah Rasulullah Saw dan kepemimpinan umat Islam bukan merupakan sebuah masalah dimana Rasulullah Saw meninggalkannya tanpa ada kejelasan bagi umat Islam tentang kepemimpinan (imâmah) dan khilâfah. Rasulullah Saw semenjak waktu diperintahkan untuk mengumumkan risalahnya secara terang-terangan, ia telah memikul tugas untuk memperkenalkan penggantinya.
Tatkala ayat ?وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ ?
Dan berikanlah peringatan kepada kerabat terdekatmu" (Qs. Asy-Syua'ara [26]:214) pada tahun ketiga bi'tsat turun, ia meminta Imam 'Ali As datang kepadanya dan bersabda: "Aku diperintahkan Tuhanku untuk mengajak para kerabatku kepada Islam. Siapkanlah makanan dan semangkuk susu, dan undanglah Bani Abdul Muththalib supaya aku dapat menjalankan tugas yang dipikulkan di pundakku kepada mereka."
Hadrat 'Ali As bersabda: "Aku mengundang seluruh Bani Abdul Muththalib yang jumlahnya kurang-lebih empat puluh orang. Dan makanan yang telah disiapkan, aku hidangkan. Mereka menyantap hidangan makanan dan meminum susu; akan tetapi makanan dan susu yang ada tidak berkurang-kurang. Manakala Nabi Saw ingin menyampaikan pidato kepada mereka, Abu Lahab berkata: "Muhammad telah melakukan sihir kepada kalian." Dan majelis pun bubar sebelum Nabi Saw menyampaikan pidatonya.
Pada keesokan harinya, Nabi Saw memerintahkan untuk mengundang mereka kembali dan menyiapkan makanan dan susu untuk mereka.
Ketika mereka telah berkumpul dan selesai meyantap hidangan, Nabi Saw angkat bicara dan bersabda: "Wahai Bani Abdul Muththalib, Demi Allah, aku tidak mengenal seorang Arab yang membawa sesuatu yang lebih baik dari yang aku bawa kepada kalian. Aku membawa sesuatu yang berharga bagi dunia dan akhirat kalian dan Tuhanku menitahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepadanya (Islam). Siapakah di antara kalian yang siap membantuku dalam menjalankan tugas ini? Aku (Ali) yang saat itu adalah orang yang paling muda di antara hadirin, berkata: "Wahai Rasulullah! Aku siap membantumu dalam menjalankan tugasmu."
Rasulullah Saw memegang leherku dan bersabda, "Inilah saudara, washi dan khalifaku di antara kalian; Dengarkanlah ia dan taatilah perintahnya. Pada saat-saat itu, seluruh hadirin berdiri dan sembari tertawa, mereka berkata kepada Abu Thalib: "Keponakanmu memerintahmu untuk mentaati 'Ali (anakmu)."
Menurut sebuah riwayat Rasulullah Saw mengulang tiga kali permintaannya kepada hadirin tentang siapa yang akan membantunya dalam menjalankan tugas risalah dan tidak seorang pun yang memenuhi permintaan itu kecuali Hadrat 'Ali As.


2. Hadits Manzilat
Dalil yang lain yang menunjukkan atas khilafah Hadrat 'Ali As adalah hadits manzilat. Hadits manzilat merupakan hadits yang paling masyhur yang disabdakan oleh Nabi Saw dan para sahabat Rasulullah Saw meriwayatkan hadits tersebut.
Ibn 'Asakir dalam kitab Târikh Dimasyq meriwayatkan hadits ini dari tiga puluh dua orang sahabat melalui jalan dan sanad yang berbeda.
Dari hadits ini terdapat indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat digunakan, sabda mulia ini telah berulang kali disampaikan oleh Nabi Saw, akan tetapi yang paling masyhur di antaranya adalah yang disampaikan pada ghizwah Tabuk (ghizwah adalah perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, AK).
Pada ghizwah Tabuk, Nabi Saw yang memimpin dan mengomandani lasykar kaum Muslimin. Lasykar yang dikomandani oleh Nabi Saw bergerak dari Madinah dan 'Ali ditinggal di Madinah sebagai wakilnya.
Perang Tabuk merupakan perang dimana Imam 'Ali tidak menyertai Nabi Saw; oleh sebab itu sangatlah sukar baginya untuk tinggal di Madinah dan Nabi Saw berangkat ke medan laga.
Tatkala pasukan beranjak meninggalkan Madinah, ia datang menghadap kepada Nabi Saw dan berkata: "Apakah engkau meninggalkan aku di Madinah bersama para wanita dan anak-anak? Nabi Saw dalam menjawab pertanyaan Hadrat 'Ali, ia bersabda:

أَما تَرْضَى أنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ
مِنْ مُوسَى إلاَّ أنَّهُ لاَ نَبِيَ بَعْدِي

"Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu bagiku laksana kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku."

Kita jumpai dalam al-Qur'an bahwa hubungan Harun bagi Musa memiliki lima relasi: Saudara, mitra dalam nubuwwah (kenabian), wazir dan penolong, pendukung ; khalifah dan washi.
Oleh karena itu, Hadrat 'Ali juga memiliki lima relasi dengan Nabi Saw; lantaran ia memilih Hadrat 'Ali dan bersabda: "Engkau adalah saudaraku dunia dan akhirat. Ia adalah mitra Rasulullah Saw dalam menyampaikan pesan Ilahi; lantaran Nabi Saw bersabda: "Tidak ada yang menyampaikan pesan Ilahi kecuali aku dan 'Ali." Hadrat 'Ali adalah wazir Nabi Saw; karena Nabi Saw bersabda: "'Ali adalah wazirku." 'Ali adalah penolong Nabi Saw; lantaran Allah Swt menolong Nabi Saw dan Hadrat 'Ali As. Dan Hadrat 'Ali adalah khalifah Rasulullah Saw; karena Nabi Saw memilih Imam 'Ali As sebagai khalifahnya.


3. Hadits Wishâyah dan Wirâtsah
Rasulullah Saw bersabda:

لِكُلِّ نَبِيٍ وَصِيٌّ وَوَارِثٌ وَإنَّ عَلِياًًّ وَصِيِّي وَوَارِثي

"Setiap nabi memiliki washi dan warits dan 'Ali adalah washi dan warits bagiku."

Ia bersabda lagi:

أنَا نَبِيُّ ه?ذِهِ الْأُمَّةِ وَعَلِيٌّ وَصيِّي في عِتْرَتيِ وَأهْلِ بيتي وأمَّتي مِنْ بَعْدِي

"Aku adalah rasul umatku dan 'Ali adalah washi bagiku di kalangan keluarga dan umatku.

Dan bersabda:

عَلِيٌّ أخِي وَوَزِيرَي وَوارِثِي وَوَصِيِّي وَخَلِيفَتي في أُمَّتي

'Ali adalah saudara, wazir, wârits, washi, dan khalifaku di kalangan umatku."

Dalam riwayat ini dua gelar washi dan wârits mendapatkan afirmasi dan penegasan. Masing-masing dari kedua gelar ini dengan sendirinya menunjukkan kekhalifahan Amirul Mukminin 'Ali As.


Washi
Washi adalah seseorang yang dapat menunaikan seluruh urusan orang yang memberikan wasiat kepadanya; kecuali dalam urusan tertentu yang diwasiatkan kepadanya dimana ia hanya memiliki hak untuk menunaikannya dalam masalah itu saja.
Dalam riwayat ini, Nabi Saw ketika memberikan wasiat kepada Hadrat 'Ali As tidak membatasinya dalam masalah tertentu saja. Dan ia memberikan wasiat kepada Imam 'Ali secara mutlak. Artinya ia dapat menjalankan atau menunaikan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan Nabi Saw.
Dengan kata lain, Hadrat 'Ali memiliki seluruh kewenangan yang dimiliki oleh Nabi Saw dan inilah makna khilafah.


Wârits
Sesuatu yang dapat digambarkan dalam benak ketika mendengar istilah wârits adalah seorang yang diwariskan, menjadi pemilik harta pewaris; akan tetapi Hadrat 'Ali As bukan pewaris harta Nabi Saw.
Karena sesuai dengan fiqih Imamiyah bahwa apabila si mayit memiliki keturunan, si warits tidak akan mendapatkan warisan dari si mayit - anak keturunan berada pada derajat pertama dalam pembagian warisan dan kerabat pada derajat berikutnya - dan kita ketahui bahwa Nabi Saw pada masa hidupnya memiliki keturunan.
Fatimah Zahra setidaknya masih hidup selama tujuh puluh lima hari selepas wafatnya Nabi Saw, dan selain itu, para istri nabi yang kesemuanya mendapat warisan Nabi Saw sebanyak seperdelapan bagian dengan syarat mereka hidup tatkala Nabi Saw wafat.
Dengan asumsi bahwa semuanya kita abaikan, 'Ali adalah putra paman Nabi Saw dan putra paman berada pada derajat ketiga dalam pembagian warisan, dan kita ketahui bahwa 'Abbas adalah paman Nabi Saw dan ia masih hidup pada saat Nabi Saw wafat; dan paman berada pada derajat kedua dalam pembagian warisan.
Akan tetapi sesuai dengan fiqih Ahli Sunnah, setelah menyerahkan saham (seperdelapan) para istri, harta dibagi menjadi dua bagian; satu bagian untuk Fatimah Zahra yang merupakan putri satu-satunya Nabi Saw. Dan bagian yang lain, yang bukan bagiannya, diserahkan kepada 'Abbas pamannya.
Oleh karena itu, Hadrat Amirul Mukminin As tidak akan pernah menjadi wârits Nabi Saw. Dari sisi lain, karena Nabi Saw dengan jelas dan tegas mengumumkan bahwa 'Ali As adalah wârits Nabi Saw, maka wârits dalam hadits ini pastilah sesuatu yang lain.
Tentu saja, tema warisan dalam hadits-hadits ini adalah kedudukan, posisi maknawi dan derajat social Nabi Saw. Iya; 'Ali adalah wârits ilmu dan sunnah Nabi Saw, dan oleh sebab itu ia adalah khalifah Rasulullah Saw.
Nabi Saw bersabda kepada 'Ali As: "Engkau adalah saudara dan wâritsku." Ia berkata: "Wahai Rasulullah! "Apa yang akan aku warisi darimu?" Nabi Saw bersabda: "Sesuatu yang telah diwariskan oleh para nabi sebelumku." Ia berkata: "Warisan apa yang mereka tinggalkan kepadamu?" Nabi Saw bersabda: "Kitabullah dan sunnah para nabi Allah." Dan Imam 'Ali As sendiri berkata: "Aku adalah wârits ilmu nabi."


4. 'Ali adalah Wali Mukminin
Setiap saat Nabi Saw bersua dengan seseorang yang bersikap kurang ajar kepada 'Ali, atau orang-orang jahil yang mengadu kepada Nabi Saw, ia bersabda:

ما تُرِيدُونَ مِنْ عَليٍّ ، إنَّ عَليّاً مِنّي
وَأنا مِنْهُ وَهُوَ وَليُّ كُلُّ مُؤمِنٍ بَعدِي

"Apa yang engkau inginkan dari 'Ali, 'Ali adalah dariku dan Aku dari 'Ali. 'Ali adalah pemimpin kaum Mukminin setelahku"

Kendati makna wali memiliki makna yang beragam secara bahasa, dalam hadits ini tidak memiliki makna yang lain selain makna pemimpin dan junjungan; dengan memperhatikan redaksi "setelahku" dalam hadits ini menegaskan makna tersebut.
Lantaran apabila arti dari wali itu adalah teman, penolong, jiran dan teman bersumpah dan sebagainya, tidak perlu ada pengkhususan masa setelah Nabi Saw, pada masa hidupnya juga tetap berlaku.


5. Hasil-hasil Kepemimpinan 'Ali dalam Sabda Nabi Saw
Kapan saja para sahabat berbincang dengan Nabi Saw ihwal khalifah dan pemimpin umat pasca Nabi Saw, ia menyampaikan - menurut beberapa riwayat berkeluh sendu duhai - sebagai hasil dan buah kepemimpinan 'Ali As.
Sebagai contoh, Nabi Saw bersabda:

إنْ وَلَّيتُمُوها علياً وجدتموه هادياً مَهدياً يَسلُكُ
بِكم على الطريق المستقيم

Apabila kalian menyerahkan khilafah kepada 'Ali, kalian melihatnya bahwa ia adalah seorang penuntun dan tertuntun, yang membawa kalian ke jalan yang benar."

أما والذي نفسي بيده لئن أطاعوه
لَيَدْخُلُّن الجنة أجمعين أكتعين

Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, apabila mereka mentaati 'Ali As, seluruhnya, selurunya akan memasuki firdaus."

إن تستخلفوا علياً ـ ولا أراكم فاعلين ـ تجدوه هادياً مَهدياً
يحملكم على المحجة البيضاء.

"Apabila kalian menjadikan 'Ali sebagai khalifah - dan aku kira kalian tidak akan melakukan hal itu - kalian telah melihatnya bahwa ia adalah orang yang terbimbing yang akan membawamu ke jalan utama.


6. Khilafah Intishâbi 'Ali As
Pada bagian sebelumnya, dalam menjelaskan hadits Ghadir, kita berkata bahwa Rasulullah Saw memperkenalkan 'Ali sebagai penggantinya adalah perintah dari Allah Swt; sekarang kita akan menukil sebuah riwayat yang akan menjelaskan matlab ini dengan baik.
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw: "Pada malam mikraj, tatkala aku sampai pada derajat puncak kedekatan, aku berdiri di haribaan Tuhanku, Ia berfirman: "Wahai Muhammad! Aku menjawab: "Labbaik." Ia berfirman: "Apakah engkau telah menguji para hambaKu hingga engkau tahu bahwa siapa di antara mereka yang lebih taat?"
Aku menjawab: "Tuhanku, yang paling taat di antara mereka adalah 'Ali."
Ia berfirman: "Engkau berkata benar, wahai Muhammad!" Apakah engkau telah memilih khalifah yang akan menunaikan tugas-tugasmu dan memberikan pengajaran kepada hamba-hambaku ihwal apa yang mereka tidak ketahui tentangnya?"
Aku berkata: "Tuhanku, pilihkanlah untukku."
Ia berfirman: "Aku telah memilih 'Ali untukmu; Pilihlah ia sebagai washi dan khalifah bagimu."
Demikian Nabi Saw bersabda: "Allah Swt memilih seorang nabi untuk setiap umat, dan setiap nabi seorang washi dan khalifah baginya. Aku adalah nabi umat ini dan 'Ali adalah washiku." []


4
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Bagian Ketiga: Kriteria-kriteria
Rasulullah Saw di samping memperkenalkan 'Ali As sebagai khalifahnya dan kedudukan-kedudukan yang lain pada hari Ghadir dengan penjelasan yang berbeda-beda dengan tegas dan jelas, ia juga memberikan penjelasan-penjelasan yang lain yang konsekuensinya adalah khilafah Hadrat Amirul Mukminin 'Ali As.
Dalam bagian ini, hadits-hadits yang kami sampaikan sebagai kriteria-kriteria, Nabi Saw berada pada tataran penetapan standar dan kriteria dimana umat Islam berada pada posisi salah dan masalah sinkretisasi antara hak dan batil dan pembeda antara hak dan batil, dengan bersandar kepadanya mereka akan menemukan kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Dalam hadits-hadits ini, Baginda Nabi Saw menetapkan bahwa 'Ali As adalah pelita hidayah, kriteria iman dan mizan kebenaran. Sesuai dengan hadits ini, 'Ali As bukanlah seorang pemimpin biasa; akan tetapi ia adalah seorang pemimpin Ilahi dimana ucapan dan perbuatannya adalah sebuah ukuran; amalan menjadi benar ketika ia mengerjakannya; ucapan menjadi benar ketika ia menuturkannya, barisan yang benar adalah barisan dimana ia berdiri. Dan barang siapa yang tidak berada dalam barisannya, maka ia adalah sesat dan batil.


1. Kecintaan
Salah satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai kriteria pemimpin pasca Rasulullah Saw adalah mizan kecintaan dan kasih Rasulullah Saw kepada orang tersebut.
Sepanjang perjalanan sejarah yang berhasil merekam keadaan kaum Muslimin dan kejadian-kejadian yang mengitari mereka pada masa-masa awal datangnya Islam serta hadits-hadits dan riwayat-riwayat menjadi saksi bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah Saw melebihi kecintaannya kepada 'Ali As.
Seperti yang ditulis oleh Ibn Hajar dalam kitabya Shawaiq: "'Ali As adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw."
Baginda Nabi Saw tidak hanya sangat mencintai 'Ali As, ia juga meminta kaum Muslimin untuk mencintainya dan permintaan ini yang ditujukan kepada semua seukuran dengan firman Tuhan kepada semua manusia.
Terkadang Nabi Saw bersabda: "Allah Swt lebih mencintainya melebihi diriku."
Dan atau: "Orang yang paling dicintai di sisi Allah Swt adalah 'Ali." '
Aisyah berkata: "Allah Swt tidak menciptakan seseorang seperti 'Ali yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw."
Nabi Saw bersabda kepada para sahabat: "Tuhanku berfirman: "Ia mencintai empat orang sahabatku. Dan Ia bersabda kepadaku: "Ia (Rasulullah Saw) mencintai mereka. Para sahabat berkata: "Siapakah mereka wahai Rasulullah? Kami berharap bahwa kami adalah mereka yang empat itu."
Nabi Saw bersabda: "Ketahuilah bahwa 'Ali adalah dari mereka (yang empat itu). Dan kemudian ia diam. Kembali ia bersabda: "Ketahuilah bahwa adalah 'Ali dari mereka dan kembali diam.
Dan kembali ia bersabda:

يُحبُّ الله وَرَسُولُه وُيحُِبُّه الله وَرُسُولُه

"Allah dan Rasul-Nya mecintai 'Ali dan 'Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Anas bin Malik berkata: "Mereka membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa ayam goreng. Nabi Saw menengadahkan tangannya untuk berdoa dan bersabda: "Allahummah sampaikanlah orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Ketika itu, 'Ali As datang dan mengetuk pintu. Karena aku berharap bahwa yang mengetuk pintu itu adalah seorang Anshar, aku berkata kepadanya bahwa Rasulullah Saw sedang sibuk; 'Ali As kembali dan selang beberapa lama kemudian ia kembali mengetuk pintu. Aku tetap memberikan alasan yang sama kepadanya; ia kembali. Tatkala ia mengetuk pintu untuk yang ketiga kalinya, Rasulullah Saw bersabda kepadaku: "Wahai Anas, biarkanlah ia masuk. Yang aku maksud ialah orangnya."
Di samping itu, untuk mencintai Hadrat 'Ali As, karakteristik dan tipologi yang disebutkan dalam hadits atau riwayat, tidak seorang pun yang menyamai karakteristik dan tipologi yang dimiliki oleh Hadrat 'Ali As. Di antara karakteristik tersebut adalah:



1.1. Kecintaan kepada 'Ali As adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa suatu hari Rasulullah Saw sembari ia memegang tangan 'Ali As keluar dari rumah, ia bersabda: "Ketahuilah!" Barang siapa yang memiliki kebencian kepada 'Ali dalam dirinya, ia memillki kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang mencintai 'Ali As, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah Saw bersabda kepada 'Ali As:

يا عَلي! أَنْتَ سَيِّدٌ في الدُنْيَا وَالْآخِرَةِ
حَبيبُكَ حَبِيبي وَحَبِيبي حَبِيبُ الله
وَعَدُوُّكَ عَدُوِّي وَعَدُوِّي عَدُوَّ الله وَالْوَيْلُ لِمَن أبْغَضَكَ بَعْدِي

"Wahai 'Ali! Engkau adalah tuan di dunia dan tuan di akhirat. Sahabatmu adalah sahabatku dan sahabatku adalah sahabat Allah; musuhmu adalah musuhku, musuhku adalah musuh Allah. Celakalah orang yang memusuhimu setelahku;

Dan bersabda:

يَا عَلِيُّ مُحِبُّكَ مُحِبِّي وَمُبْغِضُكَ مُبْغِضي

"Barang siapa yang mencintai 'Ali, ia mencintaiku. Dan barang siapa yang memusuhinya, ia memusuhiku".


1.2. Mencintai 'Ali mendatangkan kebahagiaan
Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang mecintai kedua anak ini (Hasan dan Husain), mencintai ayah dan ibunya, ia akan sederajat denganku pada hari kiamat."
Dan bersabda: "Barang siapa yang ingin mati dan hidup sebagaimana aku dan bermukim dalam surga untuk selamanya yang dijanjikan Tuhan kepadaku maka cintailah 'Ali bin Abi Thalib."
Rasulullah Saw bersabda:
"Jibril mengabarkan kepadaku: "Kebahagiaan yang hakiki didapatkan oleh orang yang mencintai 'Ali pada masa hidupnya dan setelah matinya, dan kecelakaan hakiki didapatkan oleh orang yang memusuhi 'Ali pada masa hidupnya dan setelah matinya."
Ibn 'Abbas berkata: "Aku berkata kepada Rasulullah Saw: "Ya Rasulullah! Apakah ada jalan untuk selamat dari api neraka?"
Ia bersabda: "Iya."
Aku berkata: "Apakah itu ya Rasulullah?"
Ia bersabda: "Cinta kepada 'Ali bin Abi Thalib."


1.3. Mencintai 'Ali adalah sebuah amal shaleh.
Rasulullah Saw bersabda:

حُبُّ عليِّ بْنِ أبي طالِبْ يأكُلُ السيِّئَاتِ كَمَا تأَكُلُ النَّارُ اَلْحَطَبَ

"Kecintaan kepada 'Ali melenyapkan segala keburukan, sebagaimana api melenyapkan seluruh kayu bakar."

Dan bersabda:

عنوان صحيفة المؤمن حب علي بن أبي طالب

"Alamat lembar kebaikan orang-orang Mukmin adalah kecintaannya kepada 'Ali bin Abi Thalib."


1.4. Tidak mencintai 'Ali membuat seluruh amalan ditolak
Rasulullah Saw bersabda:

لو أن عبداً عبد الله ألف عام وألف عام
وألف عام بين الركن والمقام ثمن
لقي الله عز وجل مبغضاً لعلي بن أبي طالب
وعترتي أكبَّه الله على منخريه في النار

Apabila seorang hamba hidup selama seribu tahun, seribu tahun, seribu tahun beribadah kepada Tuhan di antara rukun dan makam (di sekitar Ka'bah terdapat empat rukun, dan makam Nabi Ibrahim As. Beribadah di tempat ini memiliki ganjaran yang sangat melimpah, AK), akan tetapi ia membenci 'Ali dan Ahli Baitku, maka Tuhan akan melemparkannya ke dalam jahannam.
Dan bersabda:

يا علي لو أن أمتي صاموا حتى يكونوا كالحنايا وصلُّوا
حتى يكونوا كالأوتار ثم أبغضوك لأكبهم الله على وجوههم في النار

"Wahai 'Ali! Apabila umatku sedemikian ia berpuasa sehingga badannya menjadi bungkuk. Dan sedemikian ia mengerjakan shalat sehingga raganya seolah-olah mengejang, lalu ia membencimu, maka Allah Swt akan melemparkannya ke dalam jahannam.


1.5. Kebencian kepada 'Ali tidak akan bersatu dengan kecintaan kepada Rasulullah Saw
Rasulullah bersabda:

يا علي من زعم أنه يحبني وهو يبغضك فهو كذاب

"Wahai 'Ali! Berdusta orang yang mengatakan cinta kepadaku namun memiliki kebencian kepadamu."


1.6. Kebencian kepada 'Ali tidak akan bersatu dengan iman
Rasulullah Saw bersabda:

من زعم أنه آمن بي وما جِئْتُ به وهو يبغض علياً فهو كاذب ليس بمؤمن

Barang siapa yang menyangka bahwa ia beriman kepadaku dan agamaku, akan tetapi membenci 'Ali maka ia berkata dusta; ia bukanlah seorang Mukmin.


1.7. Kebencian kepada 'Ali adalah kekafiran
Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang membencimu dan kemudian ia meninggal, ia meninggal dalam keadaan kafir; akan tetapi ia akan dihisab seperti orang-orang Muslim.
Layak kiranya hadits ini kita berikan ulasan yang jeluk dan menyingkap makna yang bersemayam dalamnya. Terdapat dua pendapat ihwal hisab orang-orang kafir:
Pendapat pertama, orang-orang kafir akan dihukum dan dijerat karena dosa-dosa mereka. Akan tetapi meninggalkan amalan-amalan yang diwajibkan dalam Islam maka ia tidak akan dijerat dan dihukum. Sebagaimana apabila ia melakukan perbuatan yang diharamkan dalam Islam, ia tidak akan dihukum. Karena perhitungan ini terkhusus bagi mereka yang tidak ternodai dengan kekufuran, apabila tidak dengan adanya kekufuran (itu sendiri) setiap dosa adalah kecil.
Pendapat kedua, orang-orang kafir disamping ia akan dihukum lantaran kekufuran dan ketiadaan akidah yang benar juga akan dihukum lantaran perbuatan dan tingkah lakunya; artinya dari dimensi akidah ia akan mendapatkan hukuman kekafiran, dan pada wilayah perbuatan ia akan dihukum atas setiap perbuatan dosa yang ia lakukan dan setiap kewajiban yang ia tinggalkan. Para penyokong pendapat ini membuat sebuah kaidah yang menyebutkan:
"Orang-orang kafir sebagaimana ia dihukum karena mengingkari usuluddin, ia juga akan dihukum lantaran mengingkari furu'ddin.
Hadits yang disebutkan di atas, hukuman atas kebencian kepada 'Ali As ditetapkan berdasar kepada pendapat kedua.


1.8. Kecintaan kepada 'Ali adalah alamat keimanan dan kebencian kepadanya adalah alamat kemunafikan
Rasulullah Saw bersabda:

يا علي لا يحبك إلا مؤمن ولا يبغضك إلا منافق

"Tidak mencintaimu selain orang mukmin dan tidak membencimu selain orang munafik."

Hadrat 'Ali As sendiri bersabda: "Demi Allah! Rasulullah Saw bersabda kepadaku bahwa tidak mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku kecuali orang munafik."
Dan atas alasan ini para sahabat berkata kepadanya: "Kami mengenal orang-orang munafik dengan mengenal orang yang bermusuhan dengan 'Ali."


2. Menyakiti 'Ali adalah menyakiti Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:

من آذى علياً فقد آذاني

"Barang siapa yang menyakiti 'Ali sesungguhnya telah menyakitiku."

Dan bersabda:

"Wahai 'Ali! Barang siapa yang menyakitimu sama dengan menyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku sama dengan menyakiti Allah."


3. Mencela 'Ali adalah mencela Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda: "Barang siapa yang mencela 'Ali, ia telah mencelaku. Dan barang siapa yang mencelaku, ia telah mencela Allah. Dan barang siapa yang mencela Allah, ia akan dilemparkan ke dalam jahannam."


4. Meninggalkan 'Ali adalah meninggalkan Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:

من فارق علياً فارقني ومن فارقني فارق الله عز وجل

Barang siapa yang meninggalkan 'Ali, ia telah meninggalkan aku. Dan barang siapa yang meninggalkan aku, ia telah meninggalkan Allah.


5. Memerangi 'Ali adalah memerangi Rasulullah Saw
Abu Hurairah berkata: "Rasulullah Saw datang menjenguk 'Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan bersabda:

أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم

"Barang siapa yang berperang denganmu, maka aku berperang dengannya. Dan barang siapa yang berdamai denganmu, maka aku berdamai dengannya."


6. Panji hidayah
Rasulullah Saw bersabda kepada Aba Barzah:

يا أبا برزة إن رب العالمين عَهِد إليَّ عهداً في
علي بن أبي طالب صلوات الله عليه وآله :
فقال : إنه راية الهدى ومنار الإيمان وإمام أوليائي ونور جميع من أطاعني

Wahai Aba Barzah? Allah Swt berfirman kepadaku ihwal 'Ali: "Ia adalah panji hidayah, tanda keimanan, pemimpin para wali Allah dan cahaya yang memberikan kecerlangan seluruh orang yang mentaati Allah Swt."


7. 'Ali bersama kebenaran
Rasulullah Saw bersabda:

علي مع الحق والحق معه حيثما دار

Ali bersama hak dan hak bersama 'Ali."


8. Kebenaran bersama 'Ali
Rasulullah Saw bersabda:

الحق مع علي حيث دار

'Ali kemana pun ia berputar, kebenaran senantiasa menyertainya."


9. 'Ali, haq dan al-Qur'an
Rasulullah Saw bersabda:

علي مع الحق والقرآن والحق والقرآن
مع علي لن يفترقا حتى يردا علىَّ الحوض

'Ali bersama kebenaran dan Qur'an, dan hak serta Qur'an bersama 'Ali;Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya menemuiku di al-Haudh."


10. 'Ali dan al-Qur'an
Rasulullah Saw bersabda:

"علي مع القرآن والقرآن مع علي لن يفترقا حتى يردا علىَّ الحوض

'Ali bersama al-Qur'an dan al-Qur'an bersama 'Ali; keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu denganku di telaga Kautsar."


11. 'Ali laksana Ka'bah
Rasulullah Saw bersabda:

"أنت بمنزلة الكعبة تُؤتَى ولا تأتي

Wahai 'Ali! Engkau laksana Ka'bah dimana seluruh orang datang kepadanya; tetapi ia tidak akan pergi kepada seseorang."

مثل علي فيكم كمثل الكعبة المُتَسَوَّرَة
النظر إليها عبادة والحج إليها فريضة

Perumpamaan 'Ali bagi umatku laksana Ka'bah yang tatkala melihatnya adalah ibadah dan bagi orang yang melaksanakan haji wajib hukumnya untuk melihatnya."


12. 'Ali adalah Gerbang Ampunan
Rasulullah Saw bersabda:

علي باب حطة فمن دخل منه كان آمناً ومن خرج منه كان كافراً

"'Ali adalah gerbang ampunan; barang siapa yang memasukinya adalah mukmin dan barang siapa yang keluarnya darinya adalah kafir.


13. Mizan iman
Rasulullah Saw bersabda:

لولاك يا علي ما عُرِف المؤمنون بعدي

Wahai 'Ali! Sekiranya kalau bukan karena engkau niscaya orang beriman tidak dikenali selepasku."


14. Pembeda antara hak dan batil
Rasulullah Saw bersabda:

أنت الفاروق بين الحق والباطل

Wahai 'Ali! Engkau adalah pembeda antara hak dan batil.'


15. Tanda Keimanan
Rasulullah Saw bersabda:

جعلتك علماً فيما بيني وبين أمتي فمن لم يتَّبعك فقد كفر

"Wahai 'Ali! Aku menjadikanmu sebagai tanda keimanan di antara umatku; barang siapa yang tidak mengikutimu adalah kafir."


16. Pembagi surga dan neraka
Rasulullah Saw bersabda kepadanya:

أنت قسيم النار

"Engkau adalah pembagi neraka."

Dan 'Ali As sendiri bersabda: "Aku adalah pembagi neraka."
Dan bersabda: "Aku adalah pembagi neraka. Pada hari kiamat, aku berkata kepada jahannam: "Ini untukku dan itu untukmu." Atau ini yang kau ambil dan ini yang aku ambil."
Qasîm dalam tiga hadits ini bermakna muqâsim; artinya masing-masing dari dua orang yang membagi sesuatu di antara mereka berdua. Oleh karena itu, ketika kita berkata, 'Ali adalah qasîm neraka, artinya adalah ia dan neraka membagi manusia masing-masing untuk mereka. Dengan demikian, maksud dari riwayat ini adalah bahwa dzat suci 'Alawi berhadapan dengan jahannam; artinya sebagaimana sebagian manusia nasib mereka memasuki jahannam, sebagian yang lain adalah bagian Imam 'Ali As. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Hadrat 'Ali adalah jelmaan surga.
Poin yang lain yang dapat disimpulkan dari hadits yang ketiga adalah wewenang untuk membagi ini berada di tangan Hadrat 'Ali. Lantaran ia berkata kepada neraka apa yang engkau harus ambil dan engkau harus lepaskan.
Demikian juga Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Engkau adalah pembagi surga dan neraka."
Qasîm (isim musyabbahatun bil fi'l) dalam hadits ini bermakna qâsim (isim fâil, nomina pelaku). Artinya seseorang yang membagi sesuatu. Hadits ini secara lahir menegaskan bahwa 'Ali membagi orang-orang yang masuk ke dalam surga dan neraka, akan tetapi pada hakikatnya, ia tidak memerlukan pembagian ini. Akan tetapi Hadrat 'Ali sendiri merupakan kriteria pembagian; artinya 'Ali adalah standar dan kriteria surgawinya setiap orang. Setiap orang dapat menjadi surgawi atau ahli surga (orang yang masuk surga) sepanjang mereka bersama 'Ali dan tidak menyimpang dari jalannya. Akan tetapi apabila menyimpang dari jalannya, ia tidak layak untuk dapat bersama 'Ali yang suci dan kudus. Tidak ada yang lebih layak untuknya kecuali kayu bakar kering yang tidak lain untuk membakarnya dalam neraka jahannam. Oleh karena itu, kandungan hadits ini ekuivalen dengan kandungan hadits-hadits yang sebelumnya. Dan kandungan seluruh hadits tersebut adalah jelmaan surga dan kriteria surgawinya seseorang.


17. Surat Izin untuk Melintansi Sirath
Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada yang akan melintasi jembatan Sirath kecuali 'Ali telah memberikan surat izin kepadanya untuk melintasinya."


18. Kemenangan dengan mengikuti 'Ali
Rasulullah Saw selagi ia menunjuk kepada 'Ali, ia bersabda:

"والذي نفسي بيده إن هذا وشيعته هم الفائزون يوم القيامة

Demi Dzat yang jiwaku di tangannya, orang ini (isyarat kepada 'Ali) dan Syi'ahnya (pengikutnya) adalah orang-orang yang meraih kemenangan di hari kiamat.


19. Para Syi'ah (Pengikut) 'Ali di Surga
Rasulullah Saw bersabda kepadanya:

أنت وشيعتك في الجنة

Engkau dan Syi'ahmu adalah ahli surga."


20. Partai yang Meraih Kemenangan
Rasulullah Saw sembari menunjuk 'Ali, ia bersabda:

هذا وحزبه المفلحون

Orang ini (isyarat kepada 'Ali) dan partainya (hizbuhu) adalah orang-orang yang menang."


21. Mengikuti 'Ali; terpuji dan ridha
Hadrat 'Ali As sendiri bersabda:

أن خليلي' قال : يا علي أنك ستقدم
على الناس وشيعتك راضين

Rasulullah Saw memberikan kabar kepadaku bahwa aku dan Syi'ahku ketika dikumpulkan di hari Masyhar, kami berada dalam keadaan ridha kepada Allah Swt dan Allah Swt ridha kepada kami.

رضي الله عنهم ورضوا عنه"

Di bawah ayat ini, terdapat riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw bahwa tuntutan ayat ini, yang dimaksud adalah 'Ali dan Syi'ahnya. .Derajat ini adalah derajat dimana Allah ridha kepada manusia dan manusia ridha kepada Allah Swt. Dan hal ini merupakan kedudukan yang tertinggi kesempurnaan manusia; sebagaimana al-Qur'an, menganggap orang-orang tersebut sebagai jiwa yang tenang dengan bersandar kepada mengingat Allah dan terlepas dari segala kepenatan duniawi, menegaskan

يا أيتها النفي المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai."


22. Dzikir 'Ali adalah Ibadah
Rasulullah Saw bersabda:

ذكر علي عبادة

"Dzikir nama 'Ali adalah ibadah."


23. Memandang Wajah 'Ali adalah ibadah
Diriwayatkan dari 'Aisyah bahwa ia berkata: "Aku melihat ayahku yang banyak memandang wajah 'Ali. Aku berkata kepadanya: "Wahai ayah! Mengapa engkau sedemikian banyak memandang wajah 'Ali?"
Ia berkata kepadaku: "Putriku, aku mendengar dari Rasulullah yang bersabda: "Memandang wajah 'Ali adalah ibadah."


24. 'Ali adalah Gerbang Surga
Rasulullah Saw bersabda:

أنا مدينة الجنه وعلي بابها ، يا علي كذِب
من زعم أنه يدخلها من غير بابها

Aku adalah kota surga dan 'Ali adalah gerbang kota ini. Kelirulah orang yang beranggapan bahwa ia dapat memasuki kota tanpa melalui gerbangnya."


25. Benderangnya 'Ali di Surga
Rasulullah Saw bersabda:

علي يُزهِرُ لأهل الجنة كما يُزهِرُ كوكب الصبح لأهل الدنيا

Ali menyinari penduduk surga sebagaimana bintang fajar menyinari penduduk bumi."


26. 'Ali adalah Bapak Kaum Muslimin
Rasulullah Saw bersabda:

حق علي على كل مسلم حق الوالد على ولده

Haknya 'Ali atas umat ini sebagaimana hak seorang ayah atas anaknya."


27. Mentaati 'Ali
Rasulullah Saw bersabda:

من أطاعني فقد أطاع الله ومن أطاعك أطاعني ،
ومن عصاني فقد عصى الله ومن عصاك فقد عصاني

"Barang siapa yang mentaatiku, ia telah mentaati Allah Swt. Dan barang siapa yang mentaati 'Ali, ia telah mentaatiku. Barang siapa yang membangkang terhadapku, ia telah membangkan Allah Swt. Dan barang siapa yang membangkang 'Ali ia telah membangkang kepadaku."


28. Penjaga Rahasia Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:

صاحب سري علي بن أبي طالب

"Penjaga rahasiaku adalah 'Ali."
Dan 'Aisyah menukil dari ayahnya bahwa 'Ali As adalah penjaga rahasia Rasulullah Saw."


29. 'Ali adalah Kepala bagi Rasulullah Saw
Rasulullah Saw bersabda:

علي مني مثل رأسي من بدني

"Hubungan 'Ali kepadaku ibarat hubungan kepala kepada badan."


30. Gelar-gelar Imam 'Ali As
Salah satu kriteria yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan khalifah Rasulullah Saw. Pelbagai gelar (laqab) dan julukan (kuniyah) yang diberikan oleh Rasulullah Saw selama masa hidupnnya kepada orang tersebut. Sejauh yang dapat dijadikan sebagai referensi di antara riwayat dan hadits, tidak satu pun di antara para sahabat yang memiliki gelar kehormatan dan laqab agung sebanyak yang diterima oleh Amirul Mukminin As. Di antara gelar yang diberikan oleh Rasulullah Saw kepada Amirul Mukminin As selama masa hidupnya adalah:

a. Shiddîq;

b. Shadîqul Akbar;

c. Sayyidul 'Arab;

Suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepada 'Aisyah: "Apabila engkau ingin melihat tuan dan sayid orang Arab, lihatlah 'Ali bin Abi Thalib." 'Aisyah berkata: "Wahai Rasulullah! Bukankah engkau ini adalah sayid Arab. Ia bersabda: "Aku adalah tuan bagi seluruh manusia dan 'Ali adalah tuannya bangsa Arab."

d. Sayyidul Musliminin wa Imâmul Muttaqin;

e. Sayyidul Mukminin wa Imâmul Muttaqin wa Qâ'idul Ghurra al-Muhajjalin;

Artinya adalah tuan kaum Mukminin, pemimpin para muttaqin dan junjungan orang-orang yang wajahnya bercahaya cemerlang pada hari kiamat.
Rasulullah Saw bersabda: "Pada malam Mikraj, tiga hal yang diwahyukan kepadaku tentang 'Ali bin Abi Thalib: Ia adalah Sayyidul Mukminin dan Imâmul Muttaqin dan Qâ'idul Ghurra al-Muhajjilin.

f. Ya'subul Mukminin;

g. Amirul Mukminin;

h. Sayyidu Syababul Ahli Janna;

Penjelasan: "Dari hadits yang dapat digunakan untuk menjelaskan gelar ini adalah bahwa seluruh ahli surga adalah pemuda; artinya orang-orang tua juga tatkala memasuki surga akan menjadi muda. Oleh karena itu, apabila seseorang menjadi tuan pemuda ahli surga bermakna tuan seluruh ahli surga.

i. Khairul Bariyyah;

Gelar ini sedemikian masyhur untuk 'Ali bin Abi Thalib As sehingga para sahabat tatkala melihatnya, mereka berkata: "Sebaik-baik makhluk telah datang."

j. HujjatulLâh;

Rasulullah Saw bersabda:

أنا وعلي حجة الله على عباده

"Aku dan 'Ali adalah hujjah Allah atas seluruh hamba-Nya."

k. Wâziru Rasulullâh Saw;

Anas bin Malik berkata: "Tatkala surah an-Nashr turun, kami memahami bahwa surat ini membawa warta akan wafatnya Rasulullah Saw. Kami berkata kepada Salman Parsi: Coba engkau tanyakan kepada Rasulullah Saw bahwa setelah ia siapakah yang akan menjadi tempat rujukan dan tempat berlindung kami, dan siapakah yang lebih ia cintai dari semuanya. Salman Parsi datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan ia menanyakan matlab ini. Hadrat Rasulullah Saw berpaling dan tidak memberikan jawaban. Salman kembali bertanya. Kembali Rasulullah Saw berpaling dan tidak memberikan jawaban. Salman merasa cemas jangan-jangan ia telah membuat Rasulullah Saw gundah. Setelah itu ia tidak lagi bertanya. Selang beberapa lama, Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Apakah engkau ingin mendengar jawaban soalanmu itu? Ia berkata: "Ya Rasulullah! Aku takut aku telah membuatmu marah. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak. Ketahuilah bahwa saudaraku, wazirku, khalifah dan penggantiku dalam keluargaku. Ia adalah sebaik-baik orang yang tinggal selepasku, menjalankan agamaku dan menunaikan janji-janjiku. Ia adalah 'Ali bin Abi Thalib As.
Amirul Mukminin As dalam memberikan isyarat tentang keutamaannya ini, ia bersabda: "Aku adalah saudara dan wazir Rasulullah Saw. Tidak seorang pun sebelumku dan setelahku yang berkata tentang hal ini; kecuali pendusta." []


5
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Bagian Keempat: Selangit Keutamaan
Ghadir merupakan telaga arun yang mata airnya bersumber dari keutamaan Amirul Mukminin As. Tentu saja apabila di kalangan para sahabat Rasulullah Saw ada yang lebih utama dari Amirul Mukminin As, ia akan mendapatkan kehormatan dengan kedudukan ini. Akan tetapi yang benarnya bahwa selepas Rasulullah Saw bukan hanya tidak ada orang yang lebih utama dari Amirul Mukminin, bahkan tidak seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya meski hingga kakinya.
Keutamaan-keutamaan 'Ali As yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para sahabat melebihi keutamaan-keutamaan yang dinukil ihwal para sahabat.
Padahal dengan politik desktruktif yang mencoba menutupi keutamaannya dan memelihara kedudukannya, mencela dan mencibir Amirul Mukminin As.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Tidak satu pun riwayat yang menukil para sahabat Nabi Saw melebihi riwayat yang dinukil ihwal 'Ali As."
Seseorang datang menghadap Ibn 'Abbas berkata: "Mahasuci Allah!Alangkah banyaknya keutaman dan keistimewaan 'Ali! Aku mengira ia memiliki tiga ribu keutamaan. Ibn 'Abbas berkata: "Mengapa engkau tidak berkata bahwa ia memiliki hampir mendekati tiga puluh ribu keutamaan."
Sulaiman A'masy dalam menjawab pertanyaan Manshur Dawaniqi seorang Khalifah Abbasiyah berkisar tentang berapa banyak riwayat yang menukil keutamaan 'Ali As, ia berkata: "Jumlahnya sedikit yang aku riwayatkan. Kira-kira sepuluh ribu riwayat atau sedikit lebih banyak."
Ibn Hajar dalam Shawâiq menulis: "Tidak satu pun ayat yang turun melebihi ayat yang diturunkan untuk 'Ali."
Hamu menulis: "Terdapat tiga ratus ayat al-Qur'an yang turun untuk 'Ali As."
Dan diriwayatkan dari Ibn 'Abbas: "Pada setiap ayat "Wahai orang-orang yang beriman, 'Ali adalah pemimpin dan yang utama. Allah Swt banyak mengecam banyak sahabat Rasulullah Saw, akan tetapi tidak menyebut nama 'Ali kecuali dengan kebaikan."
Dalam pembahasan ini, kita akan menghitung penggalan dari keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin yang memberikan kelayakan kepadanya untuk mengemban tugas pemimpin kaum Muslimin dan khilafah Rasulullah Saw.


1. Kesamaan Substansi dengan Rasulullah Saw
Kendati kita tidak dapat menyingkap hakikat kesamaan ini, akan tetapi melalui jalan riwayat kita dapat memahami hakikat keberadaannya. Banyak riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dengan penjelasan yang beragam yang menunjukkan bahwa orisinalitas dan substansi Amirul Mukminin ekuivalen dengan orisinalitas dan substansi Rasulullah Saw.

a. Nur (cahaya) Rasulullah Saw dan nur Amirul Mukminin telah ada sebelum penciptaan Adam dan keduanya dicipta dari unsur yang sama.
Yang dimaksud nur di sini adalah unsur maknawi dan fitrah malakuti yang sangat memainkan peran penting dalam membangun struktur wujud para nabi dan para maksum.

b. Allah Swt menciptakan manusia dari pohon yang beragam. Akan tetapi ia menciptakan Rasulullah Saw dan Imam 'Ali As dari pohon yang satu.

Rasulullah Saw bersabda: "

يا? عَلِيُ النَّاسُ مِنْ شَجَرٍ شَتَّى وَأَنَا وَأَنْتَ مِنْ شَجَرَةٍ وَاحِدَةٍ

c. Allah Swt secara bersamaan memilih 'Ali dan Rasulullah Saw.

d. Ali adalah diri Nabi Saw.

Di samping itu, ayat mubahalah dan riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat tersebut, terdapat riwayat tersendiri yang menjelaskan integrasi antara wujud Rasulullah Saw dan wujud Imam 'Ali As.
Menurut riwayat ini, tatkala diperlukan, Rasulullah Saw memberikan ancaman kepada sebuah kaum atau kabilah, sembari menunjuk 'Ali ia bersabda: "Ataukah kalian meninggalkan perbuatan itu, atau aku mengirim seseorang kepada kalian yang dirinya seperti aku."

e. Darah dan daging 'Ali adalah darah dan daging Rasulullah Saw.

لَحْمُهُ لَحْمِي وَدَمُهُ دَمِي

f. Ali adalah semisal Rasulullah Saw.

g. Ali adalah akar dan fondasi Rasulullah Saw.

عَلِيٌ أَصْلِي

Mungkin yang dimaksud dari akar dan fondasi di sini bahwa sebagaimana akar yang menjadi sebab tegaknya sebuah pohon. Keberadaan 'Ali menjadi sebab tegaknya dan dawamnya agama Rasulullah Saw dan sebagai konsekuensinya lestarinya nama Hadrat Rasulullah Saw. Juga bermakna bahwa 'Ali adalah akar dan fondasi Rasulullah Saw, makna urf ini adalah lebih dekat digunakan untuknya.
h. Ali ibarat kepala bagi badan Rasulullah Saw.

عَلِيٌّ مِنِّي كَرَأسِي مِنْ بَدَني


2. Tarbiyah Imam 'Ali As
Seluruh ahli sejarah sepakat bahwa Imam 'Ali As semenjak masa kecil tumbuh dan besar di dalam pangkuan dan di bawah asuhan Rasulullah Saw.
Pada tahun-tahun sebelum bi'tsat Rasulullah Saw di Makkah terjadi masa paceklik dan kelaparan. Dan kaum Quraisy ketika itu berhadapan dengan kesulitan keuangan. Hadrat Abu Thalib As memiliki banyak anak; Oleh karena itu, Rasulullah Saw memberikan usulan kepada pamannya 'Abbas untuk mengambil salah satu dari anak Abu Thalib dan memikul tanggung jawab merawat dan mengasuh mereka.
'Abbas memikul tanggung jawab merawat dan mengasuh Ja'far dan Rasulullah Saw merawat dan mengasuh 'Ali As.
Ibn Atsir menganggap peristiwa ini sebagai nikmat Ilahi yang dianugerahkan kepada 'Ali dan ia menuliskan: "Setelah itu, 'Ali As diasuh dan dirawat dalam haribaan Rasulullah Saw; hingga Hadrat Nabi Saw diutus untuk menyampaikan risalah dan 'Ali menjadi pengikutnya."
Hadrat 'Ali sendiri berkata tentang masalah ini:
"Ketika itu aku berusia belia, aku berada di sampingnya dan memberiku tempat di dadanya, menidurkanku dalam pembaringannya; sedemikian sehingga seolah-olah badanku menjadi badannya, dan ia menebarkan semerbak bau badannya kepadaku dan terkadang ia menguyah sesuatu kemudian menyuapkannya kepadaku."
Sejarawan Syahir Mas'ud dalam kitabnya Itsbât al-Wasiyah menulis: "Tatkala 'Ali lahir, Rasulullah Saw telah berusia tiga puluh tahun. Hadrat Rasulullah Saw sangat mencintai dan mengasihi 'Ali. Ia meminta kepada Fatimah binti Asad untuk meletakkan buaian atau ayunan 'Ali di samping pembaringannya. Dan Rasulullah Saw mengemban tanggung jawab untuk merawat dan mengasuh 'Ali; ia meminumkan susu kepada 'Ali. Dan mengayun buaian 'Ali, hingga ia tertidur pulas. Dan apabila ia terbangun, Rasulullah Saw akan bermain dengannya. Terkadang Rasulullah Saw menggendong 'Ali di pundaknya, memeluk dan mendekapnya dan bersabda: "'Ali adalah saudaraku, penolongku, pilihanku, washiku, bekalku, menantuku dan orang kepercayaanku."
Rasulullah Saw membawa 'Ali di sekitar kota Makkah dan menghabiskan waktu di sekeliling bukit, gunung dan tempat tinggi. Dan keadaan ini terus berlangsung hingga masa paceklik datang menimpa penduduk kota Makkah. Dan Abu Thalib adalah seorang pemurah, santun dan ramah...
Semenjak masa itu, Rasulullah Saw mengemban tugas dan tanggung jawab membina, merawat dan mengasuh 'Ali."


3. Latar Belakang dalam Islam
Tanpa syak 'Ali merupakan orang pertama yang memeluk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah Saw. Namun sebelum memasuki pembahasan ini, perlu kiranya menyebutkan dua poin di sini:
Pertama, Keislaman Hadrat Amirul Mukminin As sangat berbeda dengan keislaman orang lain. Mereka memeluk Islam setelah sekian lama menjadi penyembah berhala; akan tetapi Amirul Mukminin As sekali-kali tidak pernah kepalanya ia tundukkan kepada selain Tuhan dan menyembah berhala.
Apabila kita berkata bahwa ia adalah orang pertama yang memeluk Islam, serupa dengan makna sabda Nabi Ibrahim al-Khalil As: "Aku adalah Muslim yang pertama." (Qs. al-An'am [6]:163 )
Apabila kita berkata bahwa ia orang pertama yang menjadi Mukmin, selaras dengan makna sabda Nabi Musa As: "Aku adalah yang pertama-tama beriman." (Qs. al-A'raf [7]:143)
Apabila kita berkata bahwa ia adalah 'Ali memeluk Islam, senada dengan makna al-Qur'an yang mengisahkan Nabi Ibrahim: "Ketika Tuhan bertanya kepadanya: "Tunduk dan patuhlah?" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam." (Qs. al-Baqarah [2]:131)
Dan apabila kita berkata bahwa ia adalah seorang mukmin, ketahuilah bahwa hal itu sejalan dengan firman Ilahi yang menarasikan kedudukan Rasulullah Saw: "Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan oleh Tuhannya." (Qs. al-Baqarah [2]:285)

Kedua, Iman dengan makna kecendrungan atau kepercayaan kepada sesuatu berbeda pada setiap tingkatan pemikiran dan orang. Dan perbedaan ini adalah tingkatan iman yang menyebabkan adanya kedekatan kepada dan kejauhan dari Allah Swt.
Amirul Mukminin As berada pada tingkatan tertinggi iman dan yaqin kepada Allah Swt dan maarif Islam. Dan ia sendiri berkata: "Demi Allah! Sekiranya seluruh tirai tersingkap, tidak akan bertambah yakinku."
Dan Rasulullah Saw bersabda tentang iman Amirul Mukminin As: "Apabila imannya 'Ali As di letakkan pada sebuah bagian teraju dan langit beserta bumi di bagian sebelahnya, maka iman 'Ali akan lebih berat."
Bahkan apabila terlepas dari dua sisi yang telah disebutkan, kita menganggap 'Ali seperti sebagian kaum Muslimin, ia tetap menjadi orang yang pertama memeluk Islam; artinya pada hari ketika Rasulullah Saw diutus.
Anas bin Malik berkata: "Rasulullah Saw diutus pada hari Senin, dan 'Ali mengerjakan shalat bersamanya pada hari Selasa. Atau ia beriman kepadanya. Dan hari tatkala Rasulullah Saw mengumumkan risalahnya, orang yang pertama mengumumkan dengan jelas beriman dan mendukung Rasulullah Saw adalah 'Ali. Kendati menurut ukuran usia ketika itu, ia tergolong sebagai orang yang paling kecil di antara orang-orang yang hadir.
Lantaran ketika itu, 'Ali masih berusia sepuluh tahun. Ia sendiri bersabda: "Aku menjadi Muslim mendahului semua orang. Padahal ketika itu aku belum lagi menginjak masa baligh.
Latar belakang Hadrat 'Ali sedemikian masyhur dan tenar sehingga para sejarawan Ahli Sunnah berkata: "Orang yang pertama masuk Islam adalah Ali. Dan hal ini merupakan ijma' (konsensus) seluruh ahli sejarah."
Kebanyakan sahabat Rasulullah Saw dan para thabiin mengakui akan keutamaan ini.
'Allamah Amini Ra menyebutkan lima puluh satu orang sahabat dan thabiin dan ulama Ahli Sunnah yang meriwayatkan keutamaan ini. Ia juga menyebutkan lima belas orang pujangga awal kedatangan Islam mendendangkan syair-syair mereka tentang keutamaan 'Ali As.
Di samping itu, terdapat banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa 'Ali adalah orang yang pertama memeluk Islam.
Rasulullah Saw bersabda: "Orang yang pertama akan mendatangiku di samping telaga adalah orang yang pertama masuk Islam. Dan orang pertama yang masuk Islam itu adalah 'Ali bin Abi Thalib."
Dan Rasulullah Saw bersabda: "Orang pertama yang menunaikan shalat bersamaku adalah 'Ali."
Dan bersabda: "Tidak ada yang shalat bersamaku selama tujuh tahun kecuali 'Ali. Dan para malaikat memberikan salam kepada kami berdua."
Menurut hadits yang dinukil oleh Mas'udi dalam kitab Itsbât al-Washiyya bahwa Hadrat 'Ali bin Abi Thalib dua tahun sebelum bi'tsat mengerjakan shalat bersama Nabi Saw di Makkah.
Pelbagai redaksi dalam beberapa riwayat yang menegaskan makna ini. Sebagai contoh, kami akan menunjukkan beberapa redaksi yang masyhur, di antaranya:
1. Orang pertama yang memeluk Islam;
2. Orang pertama yang beriman;
3. Orang pertama yang mengerjakan shalat;
4. Orang pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang;
5. Orang pertama yang mukmin dan pertama yang memeluk Islam mendahului semua orang.

Hadrat 'Ali sendiri berulang kali menegaskan poin ini, ia bersabda: "Aku adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw."
Demikian juga ia bersabda: "Aku adalah orang pertama yang menunaikan shalat bersama Rasulullah Saw."
Dalam satu khutbah Nahj al-Balâgha disebutkan:
"Aku senantiasa bersamanya; dalam perjalanan (safar) atau mukim; laksana anak unta bersama induknya. Setiap hari ia menunjukkan akhlaknya dan ia memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun ia bersendiri di gua Hira dan aku melihatnya. Tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Ketika itu, tidak satu pun rumah yang dijumpai yang di dalamnya adalah orang-orang Muslim kecuali rumah Rasulullah Saw dan Khadijah. Dan aku adalah orang yang ketiga dari mereka. Aku melihat benderangnya wahyu dan kenabian. Dan aku mencium semerbak nubuwwah.
Dan bersabda: "Sebelum seseorang dari umat ini menyembah Tuhan, aku menyembah Allah Swt di samping Rasulullah Saw selama tujuh tahun."


4. Ilmu dan Pengetahuan
Salah satu sifat yang harus diperhatikan dalam menetapkan pemimpin adalah ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan memiliki pengaruh penting dalam menetapkan pemimpin dan imam umat Islam yang harus diatur dan dimenej sesuai dengan hukum syariat Islam.
Apabila kita menganggap bahwa ilmu dan pengetahuan merupakan syarat kepemimpinan umat Islam, maka sesuai konsensus (ijma') seluruh ulama dalam mazhab-mazhab Islam berkata bahwa 'Ali merupakan orang yang paling alim dan berpengetahuan dalam komunitas Islam.
Hadrat 'Ali dalam masa dua puluh tiga tahun bersama dan di samping Rasulullah, sedemikian ia menguasai ahkam (masalah-masalah hukum) agama sehingga tidak satu pun yang tertutup olehnya dalam masalah usul dan furu' agama. Seluruh sahabat memerlukan ilmunya; sementara ia selepas Rasulullah Saw tidak perlu kepada siapa pun.
Lantaran selama masa dua puluh tiga tahun, setiap kali ia bertanya, ia mendengar jawabannya. Dan setiap kali ia diam tanpa soal, Rasulullah Saw yang mengajukan pertanyaan. Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Aku memiliki tugas untuk mendekatimu dan mengajarkanmu."
Hadits-hadits nabawi yang bercerita tentang ilmu yang melimpah ruah Amirul Mukminin As sangat banyak jumlahnya. Di antaranya:
" Orang yang paling berilmu setelahku adalah 'Ali bin Abi Thalib As

أعلم أمتي من بعدي علي بن أبي طالب

" 'Ali adalah tempat menyimpan ilmuku."

علي أمير المؤمنين . . . . . وعاء علمي

" 'Ali adalah gerbang ilmuku."

علي باب علمي

" 'Ali adalah kota ilmuku."

علي عيبة علمي

" "Engkau adalah telinga yang mendengar ilmuku."

أنت أذن واعية لعلمي

" Sahabat yang paling alim dan paling teliti dalam mengadili.

" Ilmu 'Ali lebih banyak dari yang lain."

" Aku adalah rumah hikmah dan 'Ali adalah gerbang rumah ini."

أنا دار الحكمة وعلي بابها

" Aku adalah kota hikmah dan 'Ali gerbang kota ini. Barang siapa yang menghendaki hikmah, ia harus melalui pintunya."

أنا مدينة الحكمة وعلي بابها
فمن أراد الحكمة فليأت الباب

" Aku adalah kota ilmu dan 'Ali gerbang kota ini. Barang siapa yang menghendaki ilmu, harus melalui pintunya."

أنا مدينة العلم وعلي بابها
فمن أراد العلم فليأت الباب

Almarhum Allamah Amini Ra pada jilid keenam al-Ghadir (hal 61 hingga 77) dalam memberikan ulasan atas syair di bawah ini menulis:

وَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنّي مَدِينَةٌُ مِنْ الْعِلْمِ وَهُوَ الْب?ابُ فَاقْصُدِ

Dan bersabda Rasulullah aku adalah kota ilmu
Dan ia adalah gerbang maka tujulah ia

Dan ia menyebut seratus empat puluh tiga orang ulama Ahli Sunnah yang meriwayatkan hadits:

أَن?ا مَدِينَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌّ ب?ابُها

Dan 'Ali As sendiri bersaba: "Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku seribu bab ilmu kepadaku dan terbuka dari setiap babnya seribu bab ilmu."

Amirul Mukminin As bersabda: "Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku, meski kalian bertanya ihwal segala sesuatu di bawah arsy, aku akan menjawabnya."
Dan bersabda: "Demi Allah! Aku mengetahui setiap ayat. Sebab apa turunnya dan di mana turunnya. Karena Tuhanku memberkatiku dengan hati yang berpikir dan lisan yang penuh dengan pertanyaan.
Dan bersabda: "Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah (al-Qur'an). Demi Allah! Aku mengetahui setiap ayat yang turun pada malam hari, atau siang hari, di padang sahara atau di gunung.
Khalifah kedua berkata: "'Ali lebih alim dari kami semua dalam mengadili."
Dan Ibn Mas'ud berkata: "'Ali lebih alim dari semua penduduk kota Madinah dalam mengadili."
Dan berkata: "'Ali lebih unggul dari seluruh orang dalam umat Islam. Lebih alim dan lebih pandai dalam mengadili."
Perlu diingatkan di sini bahwa berpengetahuan atau alim dalam mengadili, adalah ungkapan lain dari alim dalam Islam dan Sunnah Rasulullah Saw.
'Aisyah berkata: "'Ali adalah orang yang paling alim terhadap Sunnah."
Dan Imam Hasan Mujtaba As pada keesokan hari syahadah ayahandahnya bersabda kepada orang-orang: "Kemarin seorang dari kalian telah pergi yang ilmu dan pengetahuannya tidak ada yang melebihnya pada masa lalu dan masa akan datang."
Ibn 'Abbas juga menambahkan: "Ilmu terbagi menjadi enam bagian: kelima bagian ilmu itu berada pada 'Ali dan satu bagiannya berada pada manusia. Di mana 'Ali juga memiliki bagian dari satu bagian tersebut. Dan saham 'Ali lebih banyak dan lebih berilmu."
Dan ia berkata lagi: "Hikmah telah dibagi menjadi sepuluh bagian: sembilan bagian diberikan kepada 'Ali dan satu bagiannya kepada seluruh manusia."


5. Pengorbanan dan Pembelaan terhadap Islam
Semua orang ketika menelaah sejarah awal Islam, ia akan menemukan bahwa Imam 'Ali As melewatkan seluruh usianya untuk membela Islam. Tidak satu masa pun Islam memiliki pembela yang lebih tinggi dari 'Ali As. Dan sebagaimana Ibn 'Abbas berkata, tidak seorang pun yang melebihi Imam 'Ali dalam mengorbankan jiwanya pada medan tempur yang berbahaya.
Kita dalam kesempatan ini akan menunjukkan beberapa periode signifikan sejarah Islam dimana Amirul Mukminin As dengan kehadirannya di medan laga, hak dan Islam meraih kemenangan.
Setelah pengorbanan Hadrat Amirul Mukminin As, yang ketika itu ia berusia tiga belas tahun, di Makkah. Epik ini sendiri memiliki kisah yang panjang dan heroisme. Pengorbanan ini merupakan contoh yang pertama. Dengan mengorbankan jiwanya, Amirul Mukminin As tidur di pembaringan Rasulullah Saw pada malam hijrah. Tindakan prawira ini dan penuh dengan pengorbanan ini telah menjadi sebab kelalaian kaum musyrikin akan kehadiran Nabi Saw di Makkah. Dan Nabi Saw dengan memiliki kesempatan yang cukup dan tanpa kepanikan serta ketakutan dari penguntitan, ia merancang rencana hijrahnya.
Mengingat pentingnya malam ini dan nilai tindakan 'Ali, telah memadai bagi kita untuk mengetahui bahwa ayat ini turun berkenaan dengan tindakan Amirul Mukminin As:

?وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرَيِ نَفْسَهُ اِبْتِغ?اءَ مَرْض?اةِ الله وَاللهُ رَؤُوفُ بِالْعِب?اد?

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Mahapenyantun kepada hamba-hamba-Nya." (Qs. al-Baqarah [2]:207]

Imam Sajjad As bersabda:

إن أول من شرى نفسه ابتغاء رضوان الله هو علي بن أبي طالب

"Orang pertama yang mengorbankan jiwanya di jalan Allah Swt adalah 'Ali bin Abi Thalib As."

Setelah masa hijrah, salah satu contoh pengorbanan Amirul Mukminin As dalam menjaga Islam, keikutsertaannya dalam perang Badar.
Dari berbagai riwayat yang dinukil dalam bagian ini disebutkan bahwa Amirul Mukminin As sedemikian prawiranya ia rela mengorbankan jiwanya. Dimana lantaran kehadirannya - bahkan setelah syahadahnya tersimpan dalam benak kaum Muslimin - setelah itu, kitab-kitab riwayat dan hadits melimpah menyebutnya.
Pada hari peperangan Uhud ia berdiri membela Rasulullah Saw dimana sebagian muhaddits (pakar hadits) berkata: "Tekanan yang terjadi pada perang Uhud dapat ditangani dengan kesabaran 'Ali."
Ia sendiri bersabda: "Aku pada peperangan Uhud menerima enam belas kali pukulan."
Ibn Atsir dalam Usud al-Ghaba menulis: "Pada hari peperangan Uhud, ia menderita sebanyak enam belas kali pukulan yang masing-masing dari pukulan itu membuatnya terjatuh; akan tetapi Jibril kemudian mengangkatnya."
Dalam sebuah riwayat: "Orang yang membunuh pembawa panji kaum Musyrikin adalah 'Ali As. Tatkala mereka terbunuh, Rasulullah Saw melihat sekelompok kaum musyrikin: Wahai 'Ali! Seranglah mereka. Hadrat Amirul Mukminin segera menyerang yang membuat pasukan musyrikin kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh.
Setelah itu, Rasulullah Saw melihat sekelompok yang lain. Ia memerintahkan 'Ali untuk menyerang. 'Ali As menyerang; lasykar musuh pun kocar-kacir dan sebagian mereka terbunuh. Dan karena kejaidan ini berulang sebanyak tiga kali, Jibril berkata kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah! Inilah yang disebut pengorbanan."
Hadrat Rasulullah Saw bersabda: "Iya. Karena ia dariku dan aku darinya."
Jibril berkata: "Dan aku dari kalian berdua."
Kemudian terdengar suara yang menggemakan:

لا سيف إلا ذو الفقار ولا فتى إلا علي

"Tidak ada pedang kecuali Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain 'Ali."

Dalam peperangan Khandaq, tebasan pedang 'Alilah yang menjadi penentu kemenangan perang. Dan 'Amru bin Abduwud yang nyaris membuat lasykar kaum Muslimin goncang, tersungkur di atas tanah.
Selepas itu, kaum kafir yang menyerang, kabur tunggang langgang karena ketakutan dan Madinah kota nabi kembali menjadi aman dari gempuran dan serangan kaum musyrikin.
Medali keprawiraan yang dianugerahkan oleh Nabi kepadanya yang senantiasa melekat di dadanya adalah:
"Tebasan pedang 'Ali pada perang Khandaq lebih baik dari seluruh amal kebaikan umatku hingga hari kiamat."
Dan tatkala Hadrat 'Ali As maju ke medan laga, Rasulullah Saw bersabda: "Seluruh iman maju ke medan seluruh kekufuran."
Dan pembawa wahyu turun membacakan ayat berkenaan dengannya:

?وردَّ الله الذين كفروا بغيظهم لم ينالوا خيراً وكفى الله المؤمنين القتال?

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan." (Qs. al-Ahzab [33]:25)

Turunnya ayat ini berkaitan dengan Amirul Mukminin sedemikian masyhurnya sehingga - menurut riwayat yang dinukil oleh Suyuthi dalam kitab Durrul Mantsur dari Ibn Mas'ud - para sahabat besar Rasulullah Saw dan pembaca al-Qur'an membaca ayat ini:

وكفى الله المؤمنين القتال بعليٍ

"Allah Swt membuat cukup kaum Muslimin dengan keberadaan 'Ali."
Sebagai sisipan dari ayat ini, hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas'ud menunjukkan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Amirul Mukminin As, adalah sangat pasti di sisi Ibn Mas'ud.
Khaibar merupakan satu lagi pentas kehadiran penting Amirul Mukminin As; artinya bahwa tanpa kehadiran Amirul Mukminin As, Islam akan terhenti di balik gerbang Khaibar yang terkunci. Dan lasykar Islam akan kembali ke Madinah dengan kecewa. Kemudian, tidak jelas apa yang akan dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap Islam.
Dua hari berturut-turut lasykar Islam menelan kekalahan dari Yahudi dan kembali ke barak mereka.
Rasulullah Saw di hadapan seluruh lasykar Muslimin bersabda: "Besok, aku akan serahkan panji kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah serta Rasul-Nya juga mencintainya; ia adalah seorang penerjang yang tidak pernah kabur dari medan juang."
Pada malam hari tersebut, seluruh sahabat melewati malam itu dengan harapan bahwa esok hari, Rasulullah Saw menyerahkan panji kepada mereka.
Akan tetapi tatkala fajar pagi menyingsing, Rasulullah Saw menyerahkan panji peperangan kepada Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib As.
Mereka berkata: "Wahai Rasulullah! 'Ali matanya sakit. Rasulullah Saw bersabda: "Bawalah ia kemari!" Rasulullah Saw mengoleskan air liurnya ke mata 'Ali As dan menyerahkan panji kepadanya. Dan Imam 'Ali bergegas ke medan tempur.
Dan Islam meraih kemenangan - yang masyur dalam sejarah - berkat Amirul Mukminin As. Dan problema kehadiran Yahudi di Jaziratul 'Arab dapat dipecahkan.
Pada hari itu, tameng jatuh ke tangan Amirul Mukminin As; ia mengangkat salah satu gerbang hingga akhir peperangan, tameng itu senantiasa berada di tangannya.
Setelah peperangan, lasykar mengamati dan mengetahui bahwa untuk menyerang gerbang tersebut diperlukan empat puluh orang. Dan untuk mengembalikan gerbang tersebut diperlukan sebanyak delapan orang. Pada peperangan Hunain dimana seluruh lasykar Muslimin kabur dari medan perang dan meninggalkan Rasulullah Saw sendiri, kecuali tiga orang yang bertahan setia di samping Rasulullah Saw. Orang itu adalah: 'Abbas bin Abdul Muththalib, Abu Haritsah putra paman Nabi Saw, dan Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib. Imam 'Alilah yang dengan ksatria berperang di samping Nabi Saw dan membelanya, hingga peperangan berakhir dengan kemenangan Islam."
Sebelum perang Hunain meletus, juga pada hari Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), Imam 'Alilah yang berdiri di pundak Rasulullah Saw mensucikan Ka'bah dari polusi berhala-hala.
Ringkasnya Imam 'Ali As senantiasa ikut serta dalam setiap peperangan kecuali pada perang Tabuk yang harus tinggal di Madinah menuruti perintah Rasulullah Saw.
Ibn 'Abbas berkata: "Panji Rasulullah Saw dalam setiap penyerangan berada di tangan 'Ali As.
Dan demikianlah wujud Imam 'Ali sebagai penegas terhadap wujud mulia Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw bersabda:

لما عُرِج بي رأيت على ساق العرش مكتوباً
لا إله إلا الله محمد رسول الله أيدته بعلي ونصرته بعلي

"Tatkala aku dibawa mikraj, aku melihat di bahwa singgasana Arsy tertulis: "Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Bersama 'Ali aku menegaskannya; bersama 'Ali aku menolongnya.


6. Kekerabatan
Kekerabatan dengan Rasulullah Saw sepanjang perjalanan sejarah dapat dijadikan sandaran sebagai salah satu keutamaan bagi orang yang menjalankan kursi khilafah.
Selama tidak dapat dijumpai seseorang yang mampu menjalankan roda khilafah, ia tidak akan mengklaim kekerabatan dengan Rasulullah Saw.
Keutamaan ini (kekerabatan) telah menjadi kriteria dalam pemilihan khalifah pada Saqifah Bani Saidah. Kaum Muhajir yang hadir di Saqifah menggunakan dalil adanya kedekatan dan kekerabatan mereka dengan Rasulullah Saw. Dan dengan alasan atau dalil ini, mereka mencegah kaum Anshar untuk memberikan baiat kepada Sa'ad bin 'Ubadah.
Kami juga berkeyakinan bahwa kekerabatan dengan Rasulullah Saw merupakan syarat untuk menggantikan dan menjadi khalifah Rasulullah Saw; akan tetapi bukan kekerabatan secara lahir yang dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang hadir di Saqifah. Kendati Amirul Mukminin As secara lahir juga merupakan orang yang paling dekat kekerabatannya dengan Rasulullah Saw.
Ia adalah putra paman, mantu dan saudara Rasulullah Saw. Dan di antara kaum Muslimin tidak seorang pun yang memiliki tiga hubungan seperti ini pada saat yang bersamaan. 'Ali adalah putra paman Rasulullah Saw, Abu Thalib yang hubungannya dengan Rasulullah Saw seperti hubungan antara anak dan ayah. Dan ia melewatkan usianya dalam membela Islam dan Rasulullah Saw. Dan pada keadaan yang paling genting sekalipun tidak akan melepaskan dukungannya kepada Rasulullah Saw.
Ia adalah menantu Rasulullah Saw; suami Hadrat Shiddiqah Tahirah yang merupakan insan yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.
Siapa saja dari kalangan sahabat yang mencoba mengajukan lamaran untuk meminang putri kinasihnya, Rasulullah Saw menolak; hingga 'Ali datang mengajukan lamarannya.
Dan bersabda: "Allah Swt menitahkan aku untuk menikahkan Fatimah kepada 'Ali As."
Dan ia adalah saudara Rasulullah Saw. Di kalangan Anshar dan Muhajirin, Rasulullah Saw memilihnya sebagai saudara. Dan bersabda:

أنت أخي في الدنيا والآخرة

"Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat."

أنت أخي وصاحبي

Dan bersabda: "Engkau adalah saudara dan orang yang menyertaiku."

Rasulullah Saw terkadang memanggilnya dengan sebutan saudara. Terkadang ia menyebut dirinya sebagai 'Ali dan terkadang menganggapnya sebagai Ahli Baitnya.
Tatkala al-Qur'an menugaskan kaum Muslimin untuk mencintai Rasulullah Saw sebagai upah risalahnya dan bersabda: "

?قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ أَجْراً إِلَّاالْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْب?ى?

"Wahai Rasul Kami katakanlah kepada kaum Muslimin bahwa aku tidak menghendaki upah dari tugas penyampaian risalah kecuali kalian mencintai keluargaku." (Qs. asy-Syu'ara [25]:23)

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah! Siapakah keluargamu itu?"
Rasulullah Saw bersabda: "'Ali, Fatimah dan kedua putranya."
Iya. 'Ali As Memiliki kedekatan yang sangat erat dan lekat dengan Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw merasa bangga dengan kedekatan ini. Seluruh sahabat juga mengakui kedekatan tersebut.
Pada hari Syura (musyawarah untuk memilih pengganti 'Umar, AK), Amirul Mukminin As berbicara kepada mereka: "Demi Allah! Apakah di antara kalian ada yang memiliki kedekatan kepada Nabi Saw melebihi kedekatan yang aku miliki kepadanya?" Mereka seluruhnya berkata:"Demi Allah, tidak ada."
Namun kedekatan 'Ali As kepada Nabi Saw juga lebih erat dan lekat dibandingkan hal ini. Amirul Mukminin As tidak sekedar jiwa Rasulullah Saw tetapi juga merupakan Ahli Bait Rasulullah Saw.
Tatkala ayat Tathir (Qs. Ahzab [33]:33) turun, Hadrat Rasulullah Saw memanggil 'Ali, Fatimah, Hasan dan Husain untuk mendekat kepadanya dan berkata: "Tuhanku, mereka adalah Ahli Baitku."
Supaya kaum Muslimin tahu siapakah Ahli Bait Rasulullah, tatkala ayat suci turun:

?وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاة واصطبر عليها?

"Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya." (Qs. Thaha [20]:132)

Selama beberapa hari saban Subuh Rasulullah Saw datang ke kediaman mereka dan bersabda:

الصلاة رحمكم الله إنما يريد الله أن يذهب عنكم
الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً

"Waktu shalat. Semoga Tuhan merahmatimu. Sesungguhnya Allah hendak menjauhkanmu dari segala kotor dan nista Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya."

Membacakan ayat ini, memerlukan penjelasan dan elaborasi tersendiri. Maksud Rasulullah Saw adalah supaya seluruh kaum Muslimin mengetahui Ahlul Bait Nabi Saw.
Kemudian mengutus 'Ali As untuk mengambil surat al-Bara'ah dari Abu Bakar dan menyampaikannya pada orang-orang haji di Makkah. Dalam menjelaskan perbuatan ini, Rasulullah Saw sendiri bersabda:

لا? يَبْلُغُها إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ أَهلْي

"Tidak menyampaikan surat ini kecuali orang dari keluargaku."

Iya. 'Ali adalah jiwa Rasulullah Saw. Juga berasal dari keluarganya. Akan tetapi ia lebih tinggi kedudukannya dari makna kekerabatan dengan Rasulullah Saw yang kita anggap sebagai syarat khilafah: Kekerabatan merupakan syarat khilafah yang menyatukan dua hubungan; sehingga kedua hubungan ini menjadi perlu.
Al-Qur'an al-Karim menegaskan:

?قُلْ تَع?الُوا نَدْعُ أَبْن?اءَن?ا وَأَبْن?اءَكُمْ وَنِس?اءَن?ا وَنِس?اءَكُمْ وَأَنْفُسَنا وَأَنْفُسَكُمْ?

"...katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami, dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; " (Qs. Ali Imran [3]: 61)

Sesuai dengan dawuh Ilahi, Rasulullah Saw harus mengajak anaknya, perempuannya, dan dirinya sendiri; kemudian melakukan mubahalah dengan orang Nasrani kaum Najran. Dan ia datang beserta Hasan, Husain, Fatimah dan 'Ali supaya seluruh orang tahu bahwa yang dimaksud "dirinya" yang harus ia ajak adalah 'Ali. Dimana 'Ali adalah dirinya Rasulullah Saw.
Pada hari Syura, 'Ali As bersabda: "Demi Allah! Apakah ada orang di antara kalian yang dijadikan sebagai dirinya sendiri oleh Rasulullah Saw?" Mereka berkata: "Tidak ada. Demi Allah."
Dan demikianlah Rasulullah Saw bersabda:

علي مني وأنا منه لا يؤدي عني إلا أنا أو علي

"'Ali adalah dariku dan Aku dari 'Ali. Tidak ada yang dapat menyampaikan pesanku kecuali aku dan 'Ali."

Dan bersabda:

لَحْمُهُ لحَمِْي وَدَمُهُ دَمِي

"Dagingnya dan darahnya adalah dagingku dan darahku."

Dalam memberikan ancaman kepada kaum kafir, Rasulullah Saw bersabda: "Aku akan mengutus seseorang kepada mereka orang yang seperti denganku."
Dalam menjawab pertanyaan kedudukan 'Ali As dalam hati Rasulullah Saw, ia menghadapkan wajahnya kepada para sahabat dan bersabda: "Orang ini ('Ali As) berasal dariku dan bertanya dalam sanubariku."
Dan demikianlah perbandingan antara Hadrat Amirul Mukminin As dan Rasulullah Saw, barang siapa yang tidak mengetahui dan menganggap bahwa kekerabatan dengan Rasulullah Saw merupakan salah satu syarat khilafah, dengan kehadiran 'Ali As giliran orang lain bakal tidak kesampaian.


7. Zuhud
Khalifah dan pengganti Rasulullah Saw berada pada puncak harm di tengah umat Islam. Seluruh kekayaan harta dan benda milik kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya. Dan ia memiliki keluasaan untuk menggunakan apa pun bentuknya. Secuil saja keinginan terhadap dunia telah memadai bagi pemimpin umat Islam untuk menyimpang dari jalan keadilan menuju pada pemanfaatan kesempatan (aji mumpung, AK), penyelewengan kekuasaan, banyak tuntutan dan menghamburkan uang sebanyak-banyaknya.
Umat Islam banyak memiliki pengalaman getir dalam masalah ini. Beberapa orang menjadi khalifah Rasulullah Saw dengan berdalih sebagai pemimpin umat; akan tetapi bertingkah laku bak kaisar dan kisra kepada umat.
Oleh karena itu, salah satu sifat yang harus, niscaya dan tidak dapat dihindari oleh pemimpin umat Islam adalah zuhud dan tuna hasrat kepada dunia.
Sifat zuhud mengejewantah dalam diri Amirul Mukminin As sebagaiamana sabda Rasulullah Saw:

يا علي أن الله زينك بزينة لم يزين العباد بزينة
أحبَّ منها وهي زينة الأبرار عند الله
وهي الزهد في الدنيا فجعلك لا ترزء
من الدنيا شيئاً ولا ترزَء الدنيا منك شيئاً

"Wahai 'Ali! Allah Swt telah memberikan keindahan kepadamu yang paling indah dan tidak seorang pun diberikan keindahan yang paling dicintai selainnya dan keindahan itu adalah keindahan yang baik di sisi Allah Swt adalah zuhud di dunia.
Zuhud Amirul Mukminin As baik pada masa khilafah atau selepasnya sedemikian terkenalnya sehingga seperti sebuah legenda.
Sekarang kami akan tunjukkan beberapa teladan dari zuhud Amirul Mukminin As terhadap dunia.
Amirul Mukminin 'Ali As pada masa kekhalifaanya dan pada saat seluruh harta kaum Muslimin berada dalam kekuasaannya, ia mengenakan pakaian bertambal; ia menyantap makanan kering dan sederhana, dan biaya hidup sehari-hari keluarganya didapatkan dari hasil kerja kerasnya.
Suwaidah bin Ghafalah berkata: "Aku datang menghadap Amirul Mukminin di Darul Imarah (Balai Kota). Aku melihat di hadapan Amirul Mukminin terdapat susu masam yang bau masamnya tercium dari kejauhan dan sepotong roti kering di tangannya dimana potongan-potongan kulit gandum terlihat dari permukaannya.
Ia memotong kecil-kecil roti tersebut dengan tangannya dan terkadang dengan lututnya dan mencampur roti tersebut dengan susu.
Tatkala melihatku, ia bersabda: "Mendekatlah dan makanlah makanan kami. Aku berkata: "Aku sedang berpuasa." Ia bersabda: "Aku mendengar dari Rasulullah Saw bahwa barang siapa yang berpuasa, menghindarkan diri dari memakan yang ia senangi, maka Allah Swt akan menjamunya dengan makanan dan minuman surga."
Suwaid berkata: "Kaniz (budak) Imam 'Ali As berdiri di situ. Aku berkata kepadanya, mengapa engkau tidak menunaikan hak orang tua ini. Tidakkah engkau takut kepada Allah? Mengapa engkau tidak menyaring tepung roti ini dan tidak mengambil biji-biji besar dan kasar ini darinya?"
Aku berkata: "Amirul Mukminin As memerintahkan untuk tidak menyaring tepung rotinya dengan apapun. Hadrat Amirul Mukminin As mengetahui perbincangan kami. Ia bertanya: "Apa yang engkau katakan kepadanya?"
Aku mengulang kembali ucapanku kepadanya. Hadrat Amirul Mukminin dalam menjawab pertanyaanku, ia bersabda: "Ayah dan ibuku menjadi tebusannya orang yang tidak pernah menyaring tepung rotinya dan selama tiga hari berturut-turut tidak pernah kenyang dari roti gandum; hingga Tuhannya menjemputnya."
Maksud Hadrat Amirul Mukminin 'Ali As adalah kebiasaan (sunnah) Rasulullah Saw.
Seseorang berkata: "Pada hari 'Iedul Qurban, aku datang menghadap Amirul Mukminin As. Ia menawarkan sup kambing kepadaku. Aku berkata: Dengan segala nikmat Tuhan yang diberikan, alangkah baiknya sekiranya engkau memberikan daging bebek kepada kami. Hadrat Amirul Mukminin As bersabda: "Aku mendengar dari Rasulullah Saw bersabda: "Khalifah tidak memakan dari harta Tuhan kecuali dua mangkuk. Satu mangkuk untuknya dan keluarganya dan semangkuk lainnya untuk ia tawarkan kepada masyarakat."
Yang dapat disimpulkan dari sabda mulia ini adalah bahwa Hadrat Amirul Mukminin mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Saw tentang metode pemerintahan dan mengurus umat. Dan Amirul Mukminin As mengikuti Rasulullah Saw dalam setiap langkahnya. Segala yang dilihat dari kehidupan Amirul Mukminin baik kehidupan personal atau kehidupan sosial, masing-masing mengandung pelajaran selama dua puluh tiga tahun bersama Rasulullah Saw.
Dalam sebuah kitab ditulis bahwa: "Beberapa orang datang kepada Amirul Mukminin membawa hadiah sejenis kue manis. Ia meletakkan tempat kue manis itu di depan dan melihatnya sekilas lalu bersabda: " Engkau memiliki bau, warna dan rasa yang baik; akan tetapi aku tidak ingin membiasakan diriku pada sesuatu yang asing bagiku."
Pada masa khilafahnya, orang-orang melihatnya di pasar Kufah membawa pedangnya untuk dijual. Ia bersabda: "Siapakah yang ingin membeli pedang ini?" Demi Allah! Dengan pedang ini, acapkali aku membersihkan duka Rasulullah Saw. Dan apabila aku memiliki uang setara dengan nilai satu pakaian, aku tidak akan menjual pedang ini."
Sementara pada waktu itu, ia memiliki penghasilan pertahun yang ia wakafkan mencapai empat puluh ribu Dinar, ia sendiri mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar."
Orang-orang melihatnya di pasar Kufah, kurma yang ia beli untuk keluarganya ia tumpahkan ke dalam karung lalu ia pikul di pundaknya." Orang-orang yang mencintainya segera menawarkan bantuan untuk mengantarkannya sampai depan pintu rumah Amirul Mukminin As.
Ia bersabda: "Kepala keluargalah yang lebih patut untuk membawa karung ini."
Atas alasan ini ketika orang-orang berkata tentang zuhud dan menyebut nama orang-orang zuhud di hadapan 'Umar bin 'Abdulaziz, ia berkata: "Orang yang paling zuhud di dunia adalah 'Ali bin Abi Thalib As."
Dalam menjelaskan penghasilan Amirul Mukminin As pada masa itu, disebutkan bahwa setiap Dinar ekuivalen dengan 18 gram emas. Oleh karena itu, 40.000 Dinar setara dengan 30 Mitsqal emas. Dan apabila kita asumsikan dengan harga emas hari ini, yaitu setiap Mitsqal sama dengan 160.000 Rial maka penghasilan maksimum Amirul Mukminin ketika itu ekuivalen dengan 4.800.000.000.000 Rial.[]


6
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Bagian Kelima:Perlakuan Khusus Rasulullah Saw

Perlakuan Khusus Rasulullah Saw
Salah satu faktor yang membantu kita untuk memahami hadits Ghadir adalah perlakuan Rasulullah Saw terhadap 'Ali As. Menurut timbangan ini, apabila Rasulullah Saw memperlakukan 'Ali As sebagaimana salah seorang sahabat dan bahkan seperti salah seorang kerabat dan anggota keluarganya, dan tidak memandang Hadrat Amirul Mukminin As sebagai memiliki keutamaan maka tidak ada yang dapat dimanfaatkan dari kandungan hadits Ghadir.
Akan tetapi apabila kita tahu bahwa perlakuan Rasulullah Saw terhadap 'Ali As adalah perlakuan yang berbeda dibandingkan perlakuannya terhadap seluruh kaum Muslimin. Jika kita memperhatikan secara seksama dalam perlakuan ini, hal itu akan membimbing kita kepada matlab bahwa Ali di mata Rasulullah Saw berbeda dari yang lain. Dan seluruh usia dan risalahnya berada pada tataran untuk mengerjakan sebuah pekerjaan raksasa yaitu membinanya dan memperkenalkan kepada seluruh kaum Muslimin akan keutamaan yang dimiliki oleh Amirul Mukminin 'Ali As.
Pada aspek ini, setiap perlakuan Rasulullah Saw terhadap Amirul Mukminin As dengan sendirinya menjadi penegas atas kandungan hadits Ghadir.
Seluruh perlakuan dan perilaku Rasulullah Saw terhadap Amirul Mukminin As memiliki satu arah dan tujuan.
Rasulullah Saw dengan masing-masing dari perlakuan ini adalah untuk memberikan pemahaman terhadap satu poin bahwa 'Ali berbeda dengan orang lain dan ia merupakan seorang manusia yang berasal dari tipologi Rasulullah Saw sendiri.
Dan hal ini merupakan perhatian khusus Allah Swt bahwa ia layak untuk memikul tugas memimpin umat Islam dan membimbing kaum Muslimin.
Kita dalam pembahasan ini, akan menyebutkan beberapa penggalan dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib As.


1. Menutup Semua Pintu
Masjid Nabi Saw di Madinah didirikan di sebuah tempat yang sekelilingnya terdapat rumah-rumah yang menjadi tempat lintasan dan lalu-lalang seluruh penduduk rumah yang ada di tempat itu. Beberapa lama setelah masjid di bangun pintu rumah-rumah yang ada di sekeliling masjid dibiarkan terbuka. Dan penghuni rumah itu lalu-lalang dari masjid ke rumah. Rumah Hadrat Amirul Mukminin 'Ali As bertempat di samping masjid dan termasuk salah satu rumah yang berada di samping masjid.
Selang beberapa lama, Rasulullah Saw memerintahkan untuk menutup seluruh pintu rumah-rumah yang ada di sekeliling masjid kecuali pintu rumah 'Ali bin Abi Thalib As.
Sekelompok orang memprotes diskriminasi ini dan mereka menyampaikan protes kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw dalam menjawab protes mereka, bersabda: "Aku memerintahkan untuk menutup seluruh pintu kecuali pintu 'Ali akan tetapi sebagian dari kalian memprotesnya. Demi Allah! Aku tidak membuka atau menutup pintu melainkan menuruti perintah yang ditujukan kepadaku dan aku menunaikan perintah itu.
Dan menurut riwayat lain, ia bersabda: "Aku tidak membuka pintu tersebut melainkan Tuhanlah yang membukanya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn 'Asakir yang menukilnya dari beberapa orang sahabat Rasulullah Saw.
Junaid dalam kitabnya Farâid menulis: "Kira-kira tiga puluh sahabat yang menukil hadits Saddul Abwâb (menutup pintu) ini."


2. Perhatian Khusus
Dari Abu Sa'id al-Khudri seorang sahabat besar Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw dengan 'Ali As memiliki hubungan seakan-akan tidak ada orang bersama mereka.
Dan dari Amirul Mukminin Ali As sendiri diriwayatkan bersabda: "Kapan saja aku mengajukan soal, aku mendengar jawabannya. Dan kapan saja terdiam, ia sendiri yang akan berkata-kata."


3. Berbisik dengan Tuhan
Pada hari peperangan suku, Rasulullah Saw dan 'Ali pergi menyepi. Mereka berkata-kata dengan berbisik. Dan tatkala ucapannya usai. Sebagian sahabat berkata: "Wahai Rasulullah! Bisikan baginda terlalu lama." Rasulullah Saw bersabda: "Aku tidak berbisik dengannya akan tetapi Tuhanlah yang berbisik dengannya."


4. Gelar Amirul Mukminin
Buraidah Aslami salah seorang sahabat Rasulullah Saw meriwayatkan: "Kami berjumlah delapan orang dan aku paling muda di antara mereka. Rasulullah Saw bersabda kepadaku: "Berilah salam kepada 'Ali As." Dan katakanlah: "Salam kepadamu wahai Amirul Mukminin."


5. Penyampaian Surat Taubah
Rasulullah Saw menugaskan Abu Bakar untuk menyampaikan surat al-Barâ'ah (Taubah) kepada orang-orang haji di Makkah. Tidak lama selepas itu, ia mengutus 'Ali supaya mengambil surat al-Barâ'ah itu dari Abu Bakar dan menyampaikannya kepada orang-orang haji di Makkah. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada yang dapat menyampaikan surat ini kecuali orang dari keluargaku." Dalam riwayat lain disebutkan: "Tidak ada yang menyampaikan pesanku kecuali aku sendiri atau 'Ali."


6. Pembawa Panji Rasulullah Saw
Sepanjang peperangan tradisional masih digunakan dan alat-alat perang modern belum lagi digunakan di medan perang, bendera utama yang disebut sebagai panji (liwâ) termasuk barometer untuk menunjukkan keadaan lasykar.
Berkibarnya panji perlambang konsistensi perjuangan dan gugurnya panji tersebut adalah alamat kejatuhan lasykar.
Berangkat dari sini, orang yang memikul tugas membawa panji dan membiarkannya tetap berkibar adalah orang yang paling mulia, paling berani dan paling gigih di medan perang.
Pada seluruh peperangan Rasulullah Saw melawan kaum kuffar, orang yang membawa panji prajurit Islam adalah 'Ali bin Abi Thalib.
Menurut beberapa riwayat, tatkala Rasulullah Saw ditanya: "Siapakah yang akan membawa panjimu pada hari kiamat wahai Rasulullah!"
Rasulullah Saw bersabda: "Yang akan membawa panjiku pada hari kiamat adalah orang yang membawanya di dunia, 'Ali bin Abi Thalib.

7. Pernikahan dengan Fatimah As
Jawaban positif Rasulullah Saw atas pinangan 'Ali bin Abi Thalib terhadap Fatimah az-Zahra As harus dianggap sebagai sikap khusus Rasulullah Saw terhadap 'Ali.
Padahal banyak sahabat-sahabat besar Rasulullah Saw mengajukan lamaran kepadanya untuk meminang Fatimah az-Zahra As. Dan Rasulullah Saw menolak lamara mereka; akan tetapi tatkala 'Ali As mengajukan lamaran, tanpa pikir panjang, ia langsung menerima lamaran tersebut."
Dan menurut riwayat yang lain, tanpa pinangan 'Ali, Rasulullah Saw memanggil para sahabat dan membacakan khutbah nikah di hadapan sekelompok sahabat yang bermaksud mengajukan lamaran, Rasulullah Saw bersabda: "Allah Swt mewahyukan kepadaku untuk menikahkan Fatimah As kepada 'Ali As.





Bagian Keenam: Adab-adab dan Kebiasaan Pada Hari Ghadir

Sejarah Iedul Ghadir di Kalangan Muslimin
Apabila Ghadir bermakna kembalinya ingatan pada perubahan besar dalam sejarah umat manusia, di tengah budaya kaum Muslimin, hari Ghadir layak untuk diperingati sebagai hari raya akbar umat manusia khususnya bagi kaum Muslimin.
Lantaran perubahan besar dalam sejarah umat manusia berlangsung pada hari ini. Dan sebagaimana kita mendengar dari lisan riwayat, bahwa pada hari ini kesempurnaan agama dan kebahagiaan manusia telah distempel dan dijamin.
Seluruh agama-agama samawi, sebagai pendahulu agama Islam telah sempurna pada hari Ghadir. Dan Tuhan semesta alam (Rabbul 'Alamin) telah rela dengan agama Islam.

?اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي
وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلامَ ديناً?

"Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu." (Qs. al-Maidah [5]:3)

Dan tidak satu pun peristiwa yang lebih signifikan melebihi sempurnanya agama pada kehidupan manusia. Dan oleh sebab itu, tidak ada hari yang lebih layak untuk diperingati dan dimeriahkan melebihi hari Ghadir.
Dan persis dengan alasan yang sama, Rasulullah Saw pada hari ini ia umumkan sebagai hari ied dan meminta kepada kaum Muslimin untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
Rasulullah Saw bersabda:

هنئوني ، هنئوني إن الله تعالى خصني بالنبوة
وخصَّ أهل بيتي بالإمامة

"Berikan ucapan selamat kepadaku, berikan ucapan selamat kepadaku. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepadaku kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imamah) kepada keluargaku."

Dan ia juga bersabda:

يوم الغدير أفضل أعياد أمتي وهو اليوم الذي أمرني الله تعالى ذِكره
بنصب أخي علي بن أبي طالب عَلَماً لأمتي يهتدون به من بعدي
وهو اليوم الذي أكمل الله فيه الدين وأتم على
أمتي فيه النعمة ورضي لهم الإسلام ديناً

"Hari Ghadir merupakan hari ied yang paling afdhal. Pada hari itu, Allah Swt menugaskan kepadaku untuk memperingatinya dengan melantik saudaraku 'Ali ibn Abi Thalib bagi umatku; sehingga selepasku mereka menemukan hidayah. Allah Swt menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat bagi umatku pada hari itu dan ridha Islam sebagai agama merekanya."

Oleh karena itu, memperhatikan hari Ghadir sebagai salah satu hari 'ied dalam Islam memiliki akar pada masa Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw mengumumkan pada hari itu sebagai hari 'ied dan ia pada hakikatnya merupakan pencetus hari 'ied ini.
Selepas Rasulullah Saw, para imam maksum sangat memberikan perhatian khusus terhadap hari Ghadir sebagai hari 'ied.
Amirul Mukminin 'Ali As pada hari Ghadir yang bertepatan dengan hari Jum'at menyampaikan khutbah. Dan khutbah tersebut adalah sebagai berikut:
"Semoga Allah Swt merahmati kalian! Hari ini bagikanlah kepada keluarga kalian uang belanja. Dan bersikap santunlah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat ini kepada kalian. Senantiasalah kalian bersama sehingga Allah Swt mengumpulkan orang-orang yang berpisah di antara kalian. Berbuat baiklah kepada sesama kalian, sehingga Allah Swt mendatangkan rahmat dengan keakraban dan perkumpulan ini.
Dan demikianlah Allah Swt menganugerahkan nikmat kepada kalian, ganjaran atas 'ied hari ini dilipatgandakan atas hari-hari ied yang lain. Dan di antara nikmatnya adalah bahwa sesama kalian hendaknya saling membimibng. Berbuat baik pada hari ini akan memperbanyak rizki dan memanjangkan usia. Bersikap pemurah pada hari ini akan mendatangkan cinta dan kasih Tuhan."
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa khilafah Amirul Mukminin 'Ali As banyak di antara sahabat Rasulullah Saw ikut hadir dalam perayaan Ghadir. Dan mereka mendengar sabda Imam 'Ali ini; apabila 'ied tidak pasti bagi mereka, niscaya mereka akan menyampaikan protes.
Selepas Amirul Mukminin As, sejauh yang dapat direkam oleh para perawi, para imam maksum sangat memberikan perhatian terhadap hari 'Ied ini. Mereka merayakan dan memeriahkan hari tersebut. Pada hari ini mereka menunaikan puasa. Dan mereka meminta kepada para sahabat dan kerabatnya untuk menunaikan puasa juga sebagaimana mereka.
Tsiqâtul Islâm Kulaini dalam al-Kâfi, meriwayatkan dari Salim:
Aku berkata kepada Imam Shadiq As: "Apakah kaum Muslimin memiliki hari 'ied selain hari Jum'at, 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha?"
Ia bersabda: "Iya, 'Iedul akbar (hari raya yang paling besar)."
Aku bertanya lagi: "Hari apa itu wahai Imam?"
Imam bersabda: "Hari tatkala Rasulullah Saw menetapkan wilâyah Amirul Mukminin As dan bersabda: "Man kuntu mawlahu, fa 'Aliyun mawlahu."
Dan juga diriwayatkan dari Hasan ibn Rasyid yang mengajukan pertanyaan kepada Imam Shadiq As. Ia berkata: "Semoga diriku menjadi tebusanmu wahai Imam! Apakah kaum Muslimin memiliki 'ied selain 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha?"
Imam bersabda: "Iya. Lebih besar dan lebih utama dari keduanya."
Aku berkata: "Hari apakah itu wahai Imam?"
Imam bersabda: "Hari ketika wilâyah Amirul Mukminin 'Ali As ditetapkan."
Aku berkata: "Semoga diriku menjadi tebusanmu!" Pada hari ini, apa yang harus kami lakukan?"
Imam As bersabda: "Berpuasa dan bershalawat ke atas Nabi Saw dan keluarganya. Tunjukanlah rasa penyesalan dari orang-orang yang engkau tindas. Para nabi Ilahi memerintahkan kepada para khalifah mereka bahwa pada hari penetapan khalifah dirayakan sebagai hari 'ied."
Aku berkata: "Apa ganjaran bagi orangyang mengerjakan puasa pada hari ini?"
Imam As bersabda: "Ganjarannya adalah sebanding dengan enam ratus bulan berpuasa."
Demikian juga, Furat ibn Ibrahim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa Imam Shadiq As ditanya: "Apakah kaum Muslimin memiliki 'ied yang lebih utama daripada 'Iedul Fitri, 'Iedul Adha dan hari Jum'at dan hari 'Arafah?"
Imam As bersabda: "Iya. Lebih utama, lebih mulia dan lebih besar dari seluruh ied di sisi Allah. Dan hari itu adalah hari dimana Allah Swt menyempurnakan agama-Nya, dan menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya:

?اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي
وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلامَ ديناً?

"Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu." (Qs. al-Maidah [5]:3)

Seorang perawi berkata: "Hari apakah itu?"
Imam bersabda: "Para Nabi Bani Israel tatkala menetapkan khalifah dan pengganti mereka, mereka merayakannya sebagai hari ied. Dan hari 'ied untuk kaum Muslimin adalah hari dimana Rasulullah Saw menetapkan wilayah Imam 'Ali As. Dan pelbagai ayat turun berkaitan dengannya, dan menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat-Nya atas kaum Mukminin."
Demikian juga, ia bersabda: "Hari ini adalah hari ibadah, hari shalat dan hari memanjatkan syukur. Lantaran Allah Swt telah menganugerahkan nikmat wilâyah kami kepada kalian. Aku ingin engkau laksanakan puasa pada hari ini."
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Fayyadh ibn Muhammad ibn 'Umar Thusi, bahwa ia datang menghadap Imam Ridha As.
Aku melihat Imam sedang menjamu para sahabatnya dengan ifthâr (buka puasa) di rumahnya. Dan ia mengirimkan kepada mereka beragam hadiah berupa pakaian dan bahkan sepatu dan cincin. Di kediamannya, terdapat suasana yang berbeda.
Aku melihat para pembantu Imam memperbaharui semua yang mereka punyai dan bahkan temasuk peralatan-peralatan yang mereka gunakan sehari-hari.
Imam As menyampaikan khutbah tentang kemuliaan dan keutamaan hari itu kepada para hadirin.
Terlepas dari itu, yang dapat kita manfaatkan dari catatan sejarah bahwa kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah yang berbeda memeriahkan dan merayakan hari Ghadir.
Abu Raihan Biruni dalam kitab al-?tsar al-Bâqiyah menulis:
"Hari kedelapan belas merupakan hari raya ('Ied) Ghadir Khum. Dan nama itu merupakan nama sebuah tempat dimana Rasulullah Saw selepas Hajjatul Wida' berhenti dan mengumpulkan perlengkapan unta-unta dan mengambil lengan 'Ali ibn Abi Thalib As. Kemudian ia menaiki mimbar (tumpukan kumpulan perlengkapan unta, AK) dan bersabda: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya."
Dan Mas'ud dalam kitabnya at-Tanbih wa al-Asyrâf menulis:
"Putra-putri 'Ali dan Syi'ah-nya merayakan dan memeriahkan hari ini (Ghadir).
Dan Ibn Talha Syafi'i dalam kitabnya Mathâlib as-Su'ul menulis:
"Dan hari ini, disebut sebagai hari Ghadir Khum dan merupakan hari raya. Lantaran pada hari itu merupakan hari dimana Rasulullah Saw menetapkannya ('Ali) pada kedudukan yang tinggi. Dan hanya ialah yang dapat mencapai kedudukan ini di antara semua orang."
Tsa'alabi dalam kitab Tsamâratul Qulûb, menyebut malam hari Ghadir termasuk malam yang paling khusus, menuliskan: "Malam hari Ghadir merupakan malam dimana Rasulullah Saw pada keesokan harinya yaitu pada hari Ghadir Khum menaiki mimbar yang terbuat dari pelana-pelana unta dan bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَولَاهُ فَعَلِى مَولَاهُ
اَللَّهُمَّ وَالَ مَنْ وَالَاهُ وَع?ادَ مَنْ ع?ادَاهُ مَنْ نَصَرَهُ وَاخَذَلَ مَنْ خَذَلَهُ

Orang-orang Syi'ah merayakan malam itu dan mengerjakan ibadah-ibadah pada malam hari itu."
Demikian juga, Ibn Khallaqan dalam Syarh Hali al-Musta'li Fathimi ibn al-Mustanshir menulis:

"Pada hari raya ('Ied) Ghadir yaitu bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 487 H, orang-orang memberikan baiat kepadanya."
Dan dalam Syarh Hâl al-Mustanshir Fâthimi menulis:
"Ia wafat pada Kamis malam dua belas hari tersisa dari bulan Dzulhijjah 487 H dan malam ini adalah malam 'Iedul Ghadir yaitu malam 18 Dzulhijjah adalah 'Iedul Ghadir Khum."
Sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai riwayat dan ucapan para sejarawan, hari Ghadir merupakan tahun-tahun terakhir usia Rasulullah Saw yaitu tahun ia menetapkan wilâyah Amirul Mukminin 'Ali As dikenal sebagai hari raya dan pada tahun itu dan pada sahara itu juga Iedul Ghadir, tersebar dari mulut ke mulut di sepanjang sejarah dan negeri-negeri Islam.
Dari persfektif sejarah, pada masa Imam Shadiq As wafat tahun 148, pada masa Imam Ridha As wafat tahun 203, pada masa ghaibah sughrah yaitu masa dimana Furat ibn Ibrahim Kufi dan Kulaini Razi hidup, pada masa Mas'udi wafat tahun 345, Tsa'alabi Naisyaburi wafat tahun 429, Talha Syafi'i wafat tahun 654, dan Abu Raihan Biruni wafat tahun 430 H, hari ini dianggap sebagai hari raya.
Dari sisi menjuntainya letak geografis, pada daerah-daerah Timur dunia Islam yaitu pada sekeliling an-nahr (daerah-daerah seperti Iran, Afghanistan, Tajikistan, Kazakstan, AK) yang merupakan tempat tinggal Abu Raihan dan Naisyabur yang merupakan tempat lahir Tsa'alabi, hingga kota kelahiran dan bermukim Kulaini, dan hingga kota Baghdad kota kelahiran dan besarnya Mas'udi, hingga Halab tempat tinggal dan wafatnya Ibn Thalha Syafi'i dan Mesir yang menjadi tempat tinggal dan wafatnya Ibn Khallaqan, orang-orang di tempat-tempat ini mengetahui tentang hari raya Ghadir dan mereka merayakan hari besar itu.
Hal ini apabila kita berasumsi bahwa masing-masing pembesar ini memberikan berita ini kepada orang-orang di sekitarnya; sementara kita ketahui bahwa pertama sebagian orang-orang seperti Mas'udi dan Biruni mengelilingi hampir seluruh negeri-negeri Islam; yang kedua dalam tulisan-tulisan mereka hari ini disebutkan sebagai hari raya kaum Muslimin.


Adab-adab dan Amalan 'Iedul Ghadir
Unsur asasi dalam menemukan setiap hari raya, di antara bangsa-bangsa, kejadian-kejadian yang memberikan kebahagiaan dan keceriaan, terjadi dalam lintasan perjalanan waktu, muatan kejadiannya telah dibuat berbeda sebelum dan setelahnya.
Kemudian masyarakat menyebut hari itu sebagai hari raya ('ied) , selaras dan sejalan dengan budaya dan ajaran mereka, dan memperingatinya sepanjang abad dan zaman.
Dalam kultur dan budaya Islam, unsur asasi ini, disebut sebagai anugerah. Dan setiap insan berakal, ia memandang dirinya wajib untuk menyampaikan rasa syukur atas kebaikan yang diterimanya.
Atas alasan ini, salah satu tata-cara umum agama Islam dalam perayaan-perayaan ini adalah penetapan ibadah dan amalan-amalan khusus yang menjadi penyebab semakin mendekatnya manusia kepada Tuhan semesta alam - sang pemberi nikmat sejati.
Pada hari Ghadir juga sebagaimana ied-ied yang lain, orang-orang dianjurkan dan diprogramkan untuk mengerjakan ibadah-ibadah dan mengadakan perayaan-perayaan khusus.
Adab-adab hari raya besar ini memiliki dua tipologi nyata:
1. Adab-adab hari raya Ghadir tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan adab-adab hari-hari besar Islam; sedemikian sehingga dapat dikatakan: apa yang diriwayatkan tentang adab-adab pada hari Ghadir, termasuk model umum seluruh amal kebaikan, perbuatan-perbuatan terpuji, dan sebuah kehidupan ideal dalam skala personal atau sosial.
2. Menurut riwayat yang sampai ditangan kita dari para maksum As dalam masalah ini, masing-masing perbuatan memiliki nilai-nilai yang tinggi, dan atas alasan ini mendapatkan ganjaran yang melimpah.
Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan hari yang sangat bernilai dan hidup dan harus dirayakan.
Dan satu-satunya jalan untuk memperingati dan memuliakan hari ini, mengerjakan adab-adab yang telah dicontohkan oleh Ahlul Bait As.


Adab-adab 'Iedul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum

Amal Saleh
Kendati seluruh adab-adab hari raya Ghadir masing-masing merupakan amal saleh. Akan tetapi dalam sebuah aturan umum dan sebagai pendahuluan adab-adab ini yang terdapat dalam riwayat: "Setiap perbuatan baik (amal saleh) sama dengan perbuatan baik selama delapan puluh bulan."
Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan memiliki peran seperti bulan Ramadhan dan malam Qadhar.
Dari sini, dapat disebutkan bahwa amal saleh pada hari-hari dan malam-malam ini senantiasa berada pada keadaan terbuka. Pada saat-saat ini, layak kiranya bagi insan untuk memanfaatkan waktu ini secara maksimal sehingga ia dapat mengerjakan kebaikan dan amal saleh.


Menggemarkan Ibadah
Imam Ridha As bersabda: "Ghadir merupakan hari dimana Allah Swt akan menambahkan rizki terhadap orang-orang yang beribadah pada hari itu."
Definisi ibadah secara umum adalah seluruh perbuatan dilakukan dengan niat qurbah (mendekatkan diri) dan akan menjadi penyebab dekatnya hamba kepada Tuhan.
Dalam budaya Islam ibadah bermakna, dapat berbentuk perbuatan-perbuatan mubah; artinya apabila insan dalam perbuatan-perbuatan biasa dengan niat taqarrub dan untuk meraup keridhaan Allah, seluruh perbuatan kesehariaannya terhitung sebagai ibadah.
Ibadah yang dinasihatkan untuk dikerjakan pada hari Ghadir termasuk seluruh jenis ibadah yang kita kenal dalam Islam. Mengerjakan shalat, berpuasa, mandi, berdoa, memanjatkan puji dan syukur, berziarah, menyampaikan shalawat dan mengekspresikan barâ'at (berlindung) dari musuh-musuh, masing-masing merupakan satu adab dari adab-adab hari penuh berkah ini.


Berpuasa
Puasa merupakan sebuah bentuk ibadah disamping bersifat wajib pada bulan Ramadhan, juga ada yang bersifat mustahab yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun, selain hari-hari Iedul Fitri dan Iedul Qurban.
Akan tetapi pada beberapa hari tertentu sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dan riwayat-riwayat mengatakan nilai-nilai yang tinggi yang dikandung puasa-puasa tersebut. Dan salah satu puasa tersebut adalah puasa hari Ghadir.
Para Imam Maksum As tidak hanya mengharuskan diri mereka untuk berpuasa pada hari ini, akan tetapi mereka juga mengajurkan kepada para kerabat dan sahabatnya untuk mengikuti mereka berpuasa.
Demikian juga, dari riwayat yang dapat dimanfaatkan bahwa puasa pada hari ini adalah sunnah Rasulullah Saw yang diwariskan kepada kita.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa barang siapa berpuasa pada hari ke-18 Dzulhijjah, Allah Swt akan mencatatkan ganjaran sebanyak enam ratus tahun puasa.
Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, sembari memberikan nasihat kepada orang-orang untuk berpuasa pada hari ini, ia bersabda: "Puasa pada hari ini sebanding dengan puasa selama enam ratus bulan."
Dan dalam riwayat yang lain, ia bersabda: "Puasa hari Ghadir Khum, sebanding amalan seratus haji dan seratus umrah di sisi Allah Swt."
Demikian juga ia bersabda: "Puasa pada hari Ghadir Khum, sebanding dengan puasa seumur dunia; apabila seseorang dapat hidup selama itu dan melakukan ibadah puasa seumur dunia."


Shalat
Demikian juga kebanyakan hari dan keadaan-keadaan khusus, ia mengerjakan shalat khusus untuk hari dan keadaan-keadaan itu. Dan untuk hari Ghadir dianjurkan melaksanakan beberapa jenis shalat beserta adab-adab khususnya.
Sayid Ibn Thawus Ra dalam kitab monumentalnya Iqbâl al-A'mâl menukil amalan tiga shalat hari Ghadir dari Imam Shadiq As.
Menurut salah satu riwayat ini, Hadrat Shadiq As bersabda: "Hari ini merupakan hari dimana Allah Swt mewajibkan ke atas seluruh orang-orang beriman untuk menghormatinya. Lantaran pada hari ini, Allah Swt menyempurnakan agama-Nya dan melengkapkan nikmat atas mereka, dan mengulang janji serta akad yang diambil dari mereka semenjak awal penciptaan dan setelah itu mereka lupakan, lalu memberikan taufik kepada mereka supaya mereka menerimanya dan tidak termasuk sebagai orang-orang yang ingkar."
Yang dimaksud ikrar (mitsâq) dalam hadits mulia ini adalah ikrar yang disebutkan dalam al-Qur'an ayat 172 surah al-A'raf. Dalam surah ini, Allah Swt berfirman: "Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)."
Ikrar (mitsâq) ini adalah mitsâq yang diambil Tuhan atas tauhid dan keesaan dalam ibadah dari umat manusia.
Oleh karena itu, dari hadits ini dapat dikatakan bahwa Tuhan sebagaimana Ia mengambil janji dan ikrar dari manusia untuk menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, Ia juga mengambil janji dan ikrar dari manusia dalam hal wilayah.
Ikrar atas tauhid, apapun bentuknya, juga berlaku dalam masalah wilayah.
Apabila ada orang yang ingin seperti orang yang bersama Rasulullah Saw pada hari itu, berperilaku jujur sebagai sahabat Amirul Mukminin terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan pada saat yang bersamaan, ingin seperti orang yang syahid di sisi Rasulullah Saw, Amirul Mukminin As, Imam Hasan dan Imam Husain As, dan seperti orang yang berada di bawah panji Hadrat Mahdi Ajf di dalam kemahnya, dan dari kalangan orang-orang besar dan selamat, mendekati datangnya waktu Zuhur - yaitu saat-saat tatkala Rasulullah Saw beserta sahabat-sahabatnya tiba di Ghadir Khum - ia mengerjakan dua rakaat shalat, dan selepas shalat, ia mengerjakan sujud syukur dan seratus kali membaca: "

شُكْراً لِِلّه

(Syukur hanya kepada Allah)
Kemudian Hadrat memanjatkan doa yang panjang dan mengajarkan kepada para hadirin ketika itu selepas mengerjakan shalat. Doa ini secara asasi memiliki beberapa fokus umum:
1. Pengakuan terhadap akidah yang sehat dan benar Islam, seperti tauhid dan nubuwwah;
2. Bersyukur dan berterima kasih atas nikmat wilayah;
3. Harapan untuk gigih dan istiqamah di jalan kebenaran (haq);
Di antara salah satu untaian doa ini kita membaca:
Tuhanku! Dengan kemurahan dan kelembutanMu yang membuat kami mendapatkan taufik untuk menyambut seruan nabiMu dan membenarkannya; Kami beriman kepada Amirul Mukminin dan mengingkari thagut dan para penyembah berhala. Setelah Engkau memilih kami untuk berwilayah, jadikan mereka sebagai wali kami dan dikumpulkan bersama para pemimpin kami di hari Masyhar, dimana kami dengan keyakinan yang kami tambatkan kepada mereka, kami pasrah kepada urusan mereka, lahir dan batin, syahid dan ghaib, hidup dan matinya mereka, dan kami rela dan ridha atas kepemimpinan mereka.
Mereka memadai menjadi wasilah antara kami dan Tuhan, tidak perlu kepada yang lain. Kami tidak menghendaki pengganti mereka, kami tidak mengambil selain mereka untuk menjadi teman setia dan tempat curahan rahasia-rahasia kami.
Dalam frase yang lain dari doa ini disebutkan:
Tuhanku aku bersaksi bahwa agama kami adalah agama Muhammad dan keluarga Muhammad dan ucapan kami adalah ucapan mereka.
Agama kami adalah agama mereka. Apa yang kami ucapkan adalah apa yang mereka sabdakan dan mengikuti apa yang mereka ikut.
Apa saja yang mereka ingkari, kami turut mengingkarinya. Apa saja yang mereka cintai, kami juga mencintainya. Dan dengan siapa pun mereka bermusuhan, maka akan juga menjadi musuh kami. Siapa saja yang dilaknat oleh mereka, akan menjadi sasaran laknat kami. Dari siapa saja mereka muak, kami juga akan merasa muak. Dan kami mengirimkan rahmat kepada siapa saja yang mereka kirimin rahmat.
Shalat ini merupakan manisfestasi ruh yang mengetahui anugerah Ilahi dan bersyukur secara hakiki dari segala nikmat yang diterima. Mendirikan shalat ini pada waktu menjelang shalat Zuhur pada hari Ghadir merupakan perlambang supaya orang yang mengerjakan shalat menjadi tahu bahwa pada saat-saat ini Malaikat Jibril Amin turun untuk menyampaikan pesan Ilahi. Pesan yang merupakan pesan utama dan asasi. Turunnya Malaikat pembawa wahyu ini adalah membawa berita gembira kepada umat manusia berupa wilâyah.
Wilâyah merupakan penjamin kelestarian agama dan jiwa syariat dan menjadi penopang tauhid, risalah, pembela keutamaan takwa dalam komunitas umat manusia; utama karena menegakkan keadilan merupakan tujuan asli diutusnya seluruh rasul-rasul Ilahi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Dan menegakkan keadilan adalah sebagai tanggung jawab mereka. (Qs. al-Hadid [57]:25)
Utama lantaran apabila tidak disampaikan berarti pesan Ilahi (secara keseluruhan, AK) tidak disampaikan. (Qs. al-Maidah [5]:3)
Orang-orang yang mengerjakan shalat memberikan perhatian pada semua hal ini dan dengan maksud untuk menyampaikan rasa syukur, ia bersujud di atas tanah. Dan dalam keadaan bersyukur ia merapatkan keningnya di atas tanah dan dengan kerendahan hati bertawassul menengadahkan tangannya ke haribaan Tuhan yang senantiasa menjaganya pada kedudukan tinggi ini, dan terlepas dahaganya dari mata air rahmat pada seluruh kehidupannya. Dan demikianlah ia akan sederajat dengan para sahabat Rasulullah Saw dan satu kubu dengan para mujahid masa-masa awal Islam. Ia akan beserta dengan para syuhada yang berada di samping Amirul Mukminin, Imam Hasan, Imam Husain yang memeluk para syuhada dan ibarat seseorang yang menebaskan pedang di bawah panji Imam Mahdi Ajf dan berposko di kemahnya.


Berziarah
Ziarah merupakan sumber mata air yang meyemburkan air kepada para perindu yang terlupakan untuk melepas dahaganya. Dan memenuhi jiwanya dengan kebeningan dan mensucikan ruhnya dari panasnya perpisahan dalam arus kedekatan (qurb).
Ziarah merupakan buah rahmat dan ganjaran yang diberikan kepada para salik atas kesabaran yang??? . Doa ziarah adalah nasib yang tak terbaca dan media kucuran rahmat.
Apa yang dibacakan oleh para peziarah di Haram para Maksum As sebenarnya merupakan kumpulan keinginan dan kecintaan. Serta ajaran-ajaran benar yang ditunjukkan kepada para peziarah tatkala bersua dan bercengkerama dengan para Imam Maksum, dan meminta penegasan dari mereka.
Dan hal ini merupakan kebiasaan para salafusshaleh yang menjadi kenang-kenangan bagi kita.
Hari Ghadir merupakan hari wilayah dan wisayah. Hari yang merupakan milik Amirul Mukminin As dan dimeriahkan dengan namanya yang agung.
Dari sini, salah satu adab yang terpenting hari Ghadir adalah mengulang ikrar dan baiat, menciptakan hubungan maknawi dengan sang pemilik wilayah.
Orang-orang Syiah merindukan dapat berdiri di hadapan washi Rasulullah Saw dan menuruti perintahnya untuk memberikan baiat kepada khalifahnya. Dan setiap tahun, ia memperbaharui ikrar ini dan di haribaan Gerbang Ilmu Nabi, ia demonstrasikan imannya, dan membubuhkan stempel Imam Hammam pada surat keyakinannya.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As yang bersabda: "Dimanapun kalian berada, cobalah untuk merayakannya di sekitar Haram Hadrat Amirul Mukminin As. Karena Tuhan pada hari ini mengampuni dosa-dosa orang beriman selama enam ratus tahun. Dan melebihi dua kali pahala bulan Ramadhan, malam Qadhar, dan malam Iedul Fitri, yang membebaskan orang-orang beriman dari neraka."
Apabila kita tidak dapat berziarah secara langsung di hadapan Haramnya, kita dapat berziarah dari kejauhan.
Diriwayatkan dari para imam suci bahwa pada hari Ghadir terdapat tiga ziarah. Dan ketiga ziarah tersebut dapat dibaca dari dekat atau dari tempat yang jauh.
Yang paling tersohor dari ketiga ziarah itu adalah doa ziarah AminuLlah yang pendek dan ringkas dari sisi matan (isi) sahih dan sarat dengan makna.
Dalam doa ziarah ini (AminuLlah), kita alamatkan kepada Amirul Mukminin As:
"Salam padamu wahai Amin dan Hujjatullah di muka bumi,
Aku bersaksi bahwa wahai Amirul Mukminin bahwa engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan (jihad), engkau telah mengamalkan kitab Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw; hingga Allah Swt mengganjarimu dengan sebaik-baik ganjaran, dan Ia memanggilmu dari dekat dan menempatkan ruh agungmu di samping-Nya. Dan meski engkau memiliki seluruh burhan bagi seluruh makhluk, Allah dengan kesaksianmu, Ia telah menamatkan hujjah atas musuh-musuhmu.
"Tuhanku! Hati-hati orang yang khusyuk takjub kepadaMu, jalan ke arah para perindu ke kediamanMu terbuka; Mereka yang berhajat kepadaMu, memiliki ayat-ayat yang jelas. Hati mereka yang diperuntukkan untukMu, kosong selainMu. Bagi mereka yang menghendakiMu, suaranya meninggi. Dan gerbang ijabah terbuka baginya. Dan ia yang berkata jujur denganMu doanya terkabulkan. Taubat adalah ia yang kembali kepadaMu dan diterima. Barang siapa yang luruh air matanya karena takut kepadaMu, rahmat mengucur ke atasnya sebanyak cucuran air matanya; barang siapa yang mencari pertolongan dariMu, Engkau akan menolongnya; barang siapa yang ingin bantuanMu, Engkau akan membantunya; Engkau memenuhi janji yang Engkau berikan kepada para hambaMu, barang siapa yang menginginkanMu, Engkau akan mengindahkan kesalahan-kesalahannya.


Berbuat Kebajikan
Salah satu adab Iedul Ghadir adalah berbuat ihsan dan kebaikan kepada orang-orang Mukmin. Trdapat banyak riwayat yang datang dari para Imam As dalam bagian ini. Di antara tanda-tanda pentingnya ihsan (berbuat kebajikan) pada hari ini di antaranya:
Pertama: Dalam hadits dan riwayat, dengan tema yang beragam, dianjurkan untuk berbuat ihsan. Infaq, ihsan, menolong, muwasat, memberikan hadiah, bertamu, memberi makan, memberikan buka puasa, mengasihi dan mencintai serta berusaha memenuhi hajat-hajat orang beriman merupakan tanda-tanda yang dianjurkan dalam riwayat untuk dilakukan.
Kedua: Dinasihatkan, barang siapa yang tidak memiliki harta untuk berbuat ihsan, hendaknya ia meminjamnya dari orang lain. Imam 'Ali As bersabda: "Barang siapa yang meminjam uang sehingga ia dapat membantu saudara mukminnya, aku menjamin bahwa apabila ia masih hidup, ia mampu membayar utang tersebut; dan apabila ia tidak dapat menunaikan hutangnya, lepas tanggung jawabnya.
Sementara kita ketahui dari perspektif syariah bahwa berhutang bukanlah merupakan sebuah perbuatan yang baik, dan Islam sangat menghargai hak-hak manusia.
Pada suatu Jum'at yang bertepatan dengan hari Ghadir, Baginda Amirul Mukminin As menyampaikan khutbah. Khutbah yang disampaikan oleh Amirul Mukminin As di antaranya:
"Semoga Tuhan merahmati kalian! Tatkala kalian beranjak meninggalkan tempat ini dan bertebaran di mana-mana, tunaikanlah uang belanja keluarga kalian, berbuat baiklah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat kepada kalian. Berbuat baik pada hari ini akan menambahkan rezki dan memanjangkan umur. Dan sayangilah orang lain - semampu kalian - karena hal itu akan menurunkan rahmat dan cinta Tuhan. Apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamu, berbagilah dengan saudaramu.
Bersilaturahmilah kalian dengan suka dan cita. Dan bersyukurlah kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan kepadamu. Dan kepada orang-orang yang mengharapkanmu, berilah bantuan lebih banyak kepadanya. Sehingga kalian dapat berlaku secara adil di antara orang-orang papah dan lemah.
Pada hari ini berinfak dengan satu Dirham setara dengan dua ratus Dirham, dan lebih banyak dari itu apabila Tuhan menghendaki.
Barang siapa yang lebih dahulu berbuat baik kepada saudaranya, dan dengan antusias berbuat ihsan, maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang melakukan puasa pada hari ini.


Merayakan dan Memeriahkan
Adalah terpuji bagi insan mukmin untuk berbeda pada hari ini ketimbang hari-hari biasanya - dalam batasan normal dan syar'i - ia hadapi hari ini dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Di antara tanda-tanda keceriaan yang terdapat dalam riwayat, adalah mandi, menggunakan minyak wangi, menghias dan mendandani diri, membersihkan rumah, mengenakan pakaian baru, merasa bangga dan suci, bersilaturahmi, menyampaikan ucapan selamat, berjabat tangan dan saling membagikan uang belanja.
Bergembira pada hari Ghadir, di samping sebagai contoh atas berbagi simpati dan empati dengan Ahli Bait, juga telah dianjurkan dan ditegaskan.
Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, setelah ia memaparkan peristiwa Ghadir dan menyebutkan sebagian adab-adab hari bahagia ini, ia bersabda: "Makan dan minumlah. Kendati ada orang-orang yang menyampaikan duka dan nestapa - semoga Tuhan melipatgandakan duka dan nestapanya - bergembiralah dan meriahkanlah hari ini.
Adalah baik manakala seseorang berduka dan bersedih lantaran meninggalnya orang-orang yang dicintainya atau musibah yang menimpanya; pada hari ini ia tepikan pakaian hitam itu sebagai alamat duka. Imam Ridha As bersabda: "Hari ini adalah hari untuk mengenakan pakaian-pakaian baru dan menepikan pakaian-pakaian hitam."
Orang yang mengenakan pakaian-pakaian terbaik yang dimilikinya merupakan sebuah perbuatan terpuji. Imam Ridha As bersabda:
"Hari ini adalah hari berindah-indah. Barang siapa yang menghias dirinya demi memuliakan hari ini, Allah Swt akan mengampuni dosa besar dan dosa kecil yang pernah dilakukannya. Dan Ia akan menugaskan seorang malaikat untuk menulis kebaikan baginya hingga tahun yang lain. derajatnya akan ditinggikan dan apabila ia meninggal pada waktu ini, ia meninggal dalam keadaan syahid, dan apabila ia hidup, ia akan mendapatkan kebahagiaan.
Demikian juga, adalah layak bagi seorang mukmin untuk bertemu dengan saudara seiman dengan riang dan gembira dan berusaha untuk menggembirakan semua orang.
Imam Ridha As bersabda:
"Hari ini adalah hari untuk tersenyum di hadapan orang-orang beriman. Barang siapa yang membagi senyuman kepada saudaranya, Allah Swt akan menatapnya dengan penuh rahmat pada hari kiamat. Memenuhi segala hajat yang dimilikinya dan membangunkan sebuah istana yang bergerbang putih untuknya dan membuat wajahnya penuh keceriaan.


Doa
Berdoa merupakan salah satu ibadah yang terbesar yang disyariatkan dalam agama suci Islam. Doa adalah ibadah yang ditegaskan dalam al-Qur'an, "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu." Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka dalam keadaan hina dina." (Qs. al-Mu'min [40]:60)
Doa adalah cengkerama manusia dengan Tuhannya, Sang Pencipta seluruh wujud. Doa menjadi penyebab timbulnya perhatian dan inayah Tuhan kepada para hambanya.
Al-Qur'an Karim menyebutkan:

? قُلْ ما?يَعبَؤُ بِكُمْ رَبِّي لَو لا دُعائُکُم ?

"Katakanlah sekiranya kalau bukan dua kalian, Tuhanku tidak akan memperhatikan kalian." (Qs. Al-Furqan [25]:77)

Doa merupakan hal yang urgen dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa doa ibarat gelombang yang bergemuruh dan pada akhirnya terhempas pada rawa-rawa dunia. Doa adalah senandung kehidupan atau denting genta kafilah yang beranjak menuju tujuannya. Kehidupan bak tunas, dengan doa tunas itu tumbuh bersemi dan menuai buah.
Oleh karena itu, terlepas dari apakah manusia memiliki hajat, atau telah terpenuhi hajatnya, doa merupakan program dawam dan selalu menjadi keperluan insan beriman; akan tetapi terkadang terdapat suasana dan keadaan khusus dimana doa mampu menyingkapnya, membuahkan hasil dan memberikan aroma manis terhadap wujud manusia.
Hari Ghadir merupakan waktu yang terbaik dan keadaan khusus untuk berdoa.
Imam Ridha As bersabda: "Hari Ghadir adalah hari dimana doa diterima (mustajabah).
Atas alasan ini, di samping terdapat doa-doa yang dinukil dari riwayat pada ta'qib-ta'qib shalat mustahab dan berbagai acara pada hari ini. Juga terdapat doa yang dibacakan secara terpisah.


Fokus Doa-doa Ghadir
Fokus utama dalam doa-doa hari Ghadir adalah nikmat wilayah. Orang yang memanjatkan doa pada hari ini, dengan penjelasan yanga beragam, bercengkerama dengan Tuhannya ihwal nikmat agung ini.
Terkadang ia bersyukur kepada Tuhan atas nikmat agung ini yang telah dianugerahkan kepadanya. Terkadang ia meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil nikmat ini darinya dan sepanjang hayatnya ia mempertahankan nikmat ini dengan kokoh dan gigih.
Terkadang ia meminta kepada Tuhan sebagaimana Ia menganugerahkan karamah ini kepadanya dan menganggap layak baginya untuk menerima wilayah ini, ia meminta juga kepada Tuhan untuk memaafkan kesalahannya dan mengampuni dosa-dosanya.
Terkadang ia meminta untuk supaya Tuhan memberikannya taufik supaya ia memenuhi tuntutan-tuntutan wilayah ini; ketaatan murni dari wali yang merupakan syarat utama wilayah ini. Dan memberikan taufik kepadanya hingga ia memusuhi orang yang memusuhi para Imam Maksum As dan bersahabat dengan orang-orang yang bersahabat dengan para Imam Maksum As.
Dalam untaian doa waktu pagi hari Ghadir yang dikenal sebagai doa Zinat, kita membaca:
"Kami adalah pecinta 'Ali dan pecinta orang-orang yang mencintai 'Ali As; sebagaimana Engkau memerintahkan kami untuk mencintainya dan memusuhi musuh-musuhnya. Barang siapa yang membencinya, kami turut membencinya. Murka mereka kepadanya, murka kami kepada mereka. Mencinta mereka yang mencintanya.
Dan terkadang menyebut kedudukan dan derajat para Imam Maksum As. Dan dengan menyebut mereka membuat hati menjadi bersih cingklong. Dan menyaksikan dari dekat puncak keagungan para awliya. Dan dengan mengirim salam berkelanjutan, ruh akan bersambung dengan ruh-ruh mereka yang suci dan terapung di samudera yang tak terbatas akan keutamaan manusia.
Dalam salah satu doa hari Ghadir Khum, kita membaca:

اللهم صل على محمد وآل محمد الأئمة القادة ، والدعاة السادة ،
والنجوم الزاهرة ، والأعلام الباهرة ، وساسة العباد ، وأركان البلاد ،
والناقة المرسلة ، والسفينة الناجية الجارية في اللجج الغامرة.

"Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Mereka adalah imam para pemimpin, pengajak pada kebahagiaan, bintang gemintang gemerlap, dan tanda-tanda yang terang. Merekalah yang mengatur urusan seluruh hambaMu, rukun-rukun negara, mukjizat yang dengannya orang-orang diuji, bahtera penyelamat yang berlayar di atas gelombang lautan.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; penjaga ilmu, singgasana tauhid dan pengesaan Tuhan, tiang agama dan sumber-sumber keteladanan, Mereka yang Engkau pilih di antara ciptaan-ciptaanMu dan hamba-hambaMu. Mereka adalah orang-orang bertakwa dan suci, orang-orang mulia dan baik; gerbang yang menjadi tempat ujian manusia; barang siapa yang memasukinya akan selamat dan barang siapa yang memalingkan diri, akan terjungkal.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Ahli dzikir yang Engkau firmankan adalah mereka tempat kami bertanya, keluarga yang Engkau titahkan untuk kami cintai, yang Engkau wajibkan untuk ditunaikan hak-haknya dan surga yang Engkau anugerahkan kepada mereka yang mengikutinya.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; lantaran mereka mendawuhkan untuk mentaatimu dan tidak bermaksiat kepadamu, dan mengajak hamba-hambaMu untuk mengesakanMu.


Persaudaraan Islam
Salah satu kebanggaan Islam adalah menciptakan hubungan yang paling kokoh di antara orang-orang yang secara lahir tidak memiliki hubungan satu dengan yang lain. Persaudaraan adalah hubungan yang paling lekat dan terajut di antara dua orang.
Cinta persaudaraan merupakan cinta yang paling kokoh dan kuat di antara seluruh bangsa; akan tetapi di antara bangsa Arab - khususnya pada masa-masa lampau - persaudaraan memiliki penghormatan yang lebih; sedemikian sehingga menjadi kriteria hak dan batil, antara benar dan salah.
Dalam tradisi ini, saudara memiliki kebenaran dan harus ditakyid dan harus bangkit untuk membantunya; meski pada hakikatnya ia adalah seorang zalim dan pelanggar hak. Dan barang siapa yang menentangnya, ia harus dikalahkan; kendai ia berada pada kubu yang benar.
Dalam lingkungan seperti ini, Islam dengan definisi yang baru tentang persaudaraan membidik kepercayaan yang batil dan tidak benar ini. Dan menawarkan sebuah definisi baru sebagai berikut:

?إنَّمَا الْمُؤمِنُونَ إخْوَةٌ ?

"Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara"
(Qs. al-Hujurât [49]:10)

Oleh karena itu, insan non-mukmin dalam keluarga (Islam, AK) ini adalah seorang asing; walau ia lahir dan besar dalam keluarga ini.
Persaudaraan ini merupakan kaidah yang dibangun oleh al-Qur'an. Berdasarkan kaidah ini, seluruh orang-orang mukmin dalam keluarga besar ini adalah saudara.
Rasulullah Saw dalam dua periode - pra dan pasca hijrah - dengan maksud untuk menjaga keselarasan kaum Muslimin dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang mengancam pemerintahan baru dan masyarakat Islam, ia memberikan ainiyyat terhadap kaidah asasi ini. Ia menciptakan hubungan persaudaraan antara sesama Muslim dan menjalinkan masing-masing dua orang Muslim menjadi satu saudara.
Sekelompok besar sejarawan dan ahli hadits kawakan menulis: "Kriteria Rasulullah Saw dalam menentukan saudara untuk masing-masing Muslim, kesesuaian derajat dan kualitas, dan kedekatan derajat iman."
Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang yang memiliki kesamaan dan keserupaan satu dengan yang lain; misalnya, 'Umar dipersaudarakan dengan Abu Bakar. Thalha dan Zubair, 'Utsman dan Abdurrahman ibn 'Auf, Abu Dzar dan Miqdad, putrinya Fatimah az-Zahra dan istrinya Ummu Salamah, masing-masing mengikat tali persaudaraan.
Atas alasan ini, Rasulullah Saw tidak mempersaudarakan Amirul Mukminin dengan siapa pun dari golongan Muslim. Dan ia mempersiapkan dirinya untuk merajut tali persaudaraan dengan Amirul Mukminin As.
Rasulullah sendiri tidak memilih seseorang untuk ia persaudarakan, hingga Amirul Mukminin As datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: "Aku melihat engkau mempersaudarakan seluruh sahabat, akan tetapi tidak memilih seorang untuk menjadi saudaraku?" Rasanya ruh keluar dari ragaku dan seolah-olah pinggangku patah. Apabila engkau marah kepadaku, engkau memiliki hak untuk menghukumku." Rasulullah Saw dalam menjawab kesah Amirul Mukminin bersabda: "Aku bersumpah demi yang telah mengutusku dengan haq, Aku sengaja menundanya supaya aku memilihmu sebagai saudaraku."


Pengaruh Persaudaraan Islam
Kaidah yang dibangun oleh Islam sebagai persaudaraan dan brotherhood, bukan hanya sebuah perkara konvensional dan bersandar pada rencana lahiriyah; akan tetapi persaudaraan ini merupakan sebuah realitas yang memiliki pengaruh ril dan hakiki.
Satu umat Muhammad dan keluarga besar ahli iman yang mengikuti satu sistem khusus. Setiap anggota dari keluarga besar ini, dalam berhubungan dengan anggota lainnya, ia memiliki tugas untuk saling memenuhi hak-hak anggota lainnya.
Terdapat banyak hadits yang bersumber dari Amirul Mukminin As yang menetapkan tugas dan kewajiban saudara-saudara seiman. Aturan praktis yang paling umum dalam bidang ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, dan kita menukilnya dari kitab Makâsib Muharramah, karya Syaikh Ansari Ra.
Syaikh Anshari menukil dari kitab Wasâil asy-Syiah, dari Kanz al Fawâid karya Syaikh Karajiki yang menukil dari Amirul Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Setiap Muslim memiliki hak sebanyak tiga puluh terhadap saudaranya yang lain. Dan ia tidak dapat menghindar dari hak kecuali ia penuhi atau orang yang mesti ditunaikan haknya memberi maaf kepadanya.

يَغْفِرُ زَلَّتَهُ 1.

Memaafkan kesalahannya

وَيَرْحَمُ عَبْرتَهُ 2.

Mengasihi cucuran air matanya

وَيَسْتُرُ عَوْرَتَهُ .3

Menutup aib-aibnya

وَيُقيلُ عَثْرَتَهُ 4.

Mengurangi kesalahannya

وَيَقْبَلُ مَعْذِرَتَهُ .5

Menerima maafnya

وَيَرُدُّ غَيْبَتُهُ .6

Membelanya tatkala ia tidak ada

وَيُديمُ نَصيحَتَهُ .7

Senantiasa menginginkan kebaikan darinya

وَيَحْفَظُ خَلََّتَهُ .8

Memelihara persaudaraan dan kecintaannya

وَيَرْعى? ذِمَّتَهُ .9

Memelihara orang yang berada dalam pengamanannya

وَيَعُودُ مَرَضَهُ .10

Menengoknya tatkala sakit

وَيَشْهَدُ مَيِّتَهُ .11

Mengurus jenazahnya

وَيُجِيبُ دَعْوَتَهُ .12

Memenuhi undangannya

وَيَقْبَلُ هَدِيَتَهُ . 13

Menerima hadiah darinya

وَيُكَافى صِلَتَهُ . 14

Membalas kebaikan dan hadiah yang diterima darinya

وَيَشْكُرُ نِعْمَتَهُ . 15

Mensyukuri pemberian darinya

وَيَحْسُنُ نُصْرَتَهُ . 16

Menolongnya dengan baik

وَيَحْفَظُ حَلِيلَتَهُ . 17

Menjaga kehormatannya

وَيَقْضِى ح?اجَتَهُ . 18

Memenuhi hajatnya

وَيَسْتَنْجِحُ مَسْئَلَتَهُ . 19

Memenuhi keinginannya

وَيُسَمِّتُ عَطْسَتَهُ .0 2

Berkata AlhamduliLlah manakala ia bersin

وَيُرْشِدُ ض?الَّتَهُ . 1 2

Membimbing orang-orang yang hilang darinya

وَيَرُدُّ سَلا?مَهُ . 2 2

Menjawab salamnya

وَيُطِيبُ كَلا?مَهُ . 3 2

Berbicara santun dengannya

وَ يَبَرُّ اِنْع?امَهُ . 4 2

Menerima pemberiannya

وَيُصَدِّقُ اَقْس?امَهُ . 5 2

Meyakini sumpahnya

وَيُوا?لى وَلِيَّهُ . 6 2

Mencintai orang yang mencintainya

وَلا? يُع?ادِيهِ .7 2

Tidak memusuhinya

وَيَنْصُرُهُ ظ?اِلماً وَمَظْلُومًا اَمّ?ا نُصْرَتُهُ ظ?الِمًا فَيَرُدُّهُ عَنْ ظُلْمِهِ. 8 2
وَاَمّ?ا نُصْرَتُهُ مَظْلُومًا فَيُعِينُهُ عَلى? اَخْذِ حَقِّهِ .

Menolongnya, baik ia berlaku aniaya atau dianiaya; artinya apabila ia berlaku aniaya, mencegahnya dari berbuat aniaya. Dan apabila ia teraniaya, membantunya untuk mendapatkan haknya.

وَلا? يُسَلِّمُهُ وَلا? يَخْذُلُهُ . 9 2

Tidak meninggalkannya sendiri tanpa pertolongan

َويُحِبُّ لَهُ مِنَ الْخَيْرِ م?ا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
وَيَكْرَهُ لَهُ مِنَ الشَرِّ م?ا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ .30

Mencintai baginya kebaikan apa yang dicintainya, dan membenci yang buruk apa yang buruk baginya.

Kemudian Baginda Amirul Mukminin 'Ali As bersabda: "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

اِنَّ اَحَدُكُمْ لَيَدَعُ مِنْ حُقُوقِ اَخِيهِ شَيئًا فَيُطالِبُهُ بِهِ
يَوْمَ القِيا?مَةِ فَيَقْضى? لَهُ عَلَيْهِ

"Terkadang di antara kalian tidak menunaikan hak-hak saudaranya dan ia akan menuntut hak-haknya yang telah dilalaikan pada hari kiamat dan ia (yang melalaikan) akan terhukum di hadapan mahkamah Ilahi.



Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir
Almarhum Muhaddits Qummi dalam kitab Mafatihul Jinan, menganggap akad ukhuwah sebagai adab hari Ghadir, menulis:
"Sangat tepat kiranya pada hari ini membacakan akad ukhuwwah dengan saudaranya seiman. Dan cara-caranya seperti yang ditulis oleh syaikh kita dalam Mustadrak Wasâil yang menukilnya dari kitab Zadul Firdaus seperti ini, tangan kanannya mengangkat tangan kanan saudara mukminnya dan membaca:

وَآخِيتُكَ فِي اللّه وَص?افَيْتُكَ فِي اللّهِ وَص?افَحْتُكَ فِي اللّه
وَع?اهَدْتُ اللّه وَمَلاَئِكَتَهُ وَكُتُبَهُ وَرُسُلَهُ
وَأَنْبِي?ائَهُ وَالْأَئِمَّةَ المَعْصُومِينَ عَلَيهِمْ السَلامُ عَلى?
اَ نىِّ إنْ كُنْتُ مِنْ أَصْح?ابِ الْجَنَّةِ
وَالشَّفَاعَةِ وَاُذِنَ لى بِأَنْ أَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَا أَدْخُلُه?ا إِلَّا وَأَنْتَ مَعَى;

"Aku telah menjadi saudaramu karena Allah dan aku telah memilihmu karena Allah dan aku memberikan tanganku kepadamu karena Allah, dan aku mengikat janji kepada Allah, para malaikat, para rasul-Nya dan para imam maksum As bahwa sekiranya aku menjadi penduduk surga dan mendapatkan syafaat dan memiliki izin untuk memasuki surga, aku tidak akan memasukinya kecuali bersamamu memasukinya.

Kemudian yang diajak berikrar dan berjanji mengatakan: Aku menerimanya. Dan setelah itu berkata:

أَسْقَطْتُ عَنْكَ جَمِيعَ حُقُوقِ الْأِخْوَةِ م?ا خَلَا الشَّف?اعَةَ وَالدُّع?ا وَالِزي?ارَةَ;

Kutinggalkan seluruh hak-hak persaudaraan darimu
Selain syafaat, doa dan ziarah.

Tugas-tugas setiap mukmin di hadapan saudara seagamanya terdapat dua jenis: sebagian memiliki hukum syar'i dan termasuk sebagai taklif; artinya setiap mukmin memiliki tugas untuk memenuhi hak-hak saudaranya seiman.
Sebagian yang lain adalah hak-hak yang masing-masing dimiliki oleh keduanya.
Dari sisi tidak terlepasnya hukum syariat, artinya tidak satupun yang dapat membatalkan hukum syariat. Oleh karena itu, apa yang batal dari akad ini, merupakan sisi sekunder, akan tetapi dari sisi bahwa masing-masing dari hak-hak ini yang merupakan bagian dari hukum-hukum syariat dan masing-masing bertugas untuk menunaikannya, maka hal ini tidak dapat menjadi batal.


Pengaruh Akad Persaudaran
Tanpa ragu bahwa akad ini dari kaca mata sosial akan menjadi sebab terekatnya hati-hati dan menimbulkan cinta dan menghidupkan mental untuk bekerja sama. Dari sisi maknawi, juga memiliki hasil yang sangat bernilai dimana hasil itu adalah janji untuk memberikan syafaat. Syafaat merupakan kaidah yang kita terima berdasarkan al-Qur'an yang kita yakini bersama; dan kita ketahui bahwa Allah Swt apabila Ia menghendaki, Ia dapat memberikan izin kepada orang untuk memberikan syafaat.
Salah satu kelompok yang memberikan syafaat di hari kiamat adalah orang-orang beriman sesuai dengan izin Allah Swt.
Oleh karena itu, manusia dengan membaca ikrar dan akad ini pada hakikatnya membawanya kepada rahmat dan ridha Allah Swt. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pengaruh-pengaruh yang muncul dari persaudaraan nasabi (satu keturunan) dan susuan seperti mahramiyat (saudara sesusuan yang kemudian menjadi mahramnya, AK), warisan dan silaturahmi, tidak berlaku dalam hal persaudaraan seiman ini.
Dengan demikian, dua orang yang membaca akan persaudaraan hendaknya menjauhkan diri dari percampuran dengan maharim satu sama lain, dan harus diketahui bahwa akad ini tidak akan menjadikan keduanya menjadi mahram dengan saudari-saudari, putri-putri dan para ibu dari mereka masing-masing.


Akad Persaudarian di antara Wanita
Ukhuwwah dalam bahasa Arab tidak melulu semakna dengan mafhum persaudaraan; akan tetapi memiliki makna yang menjuntai dimana para wanita juga termasuk di dalamnya.
Ahli bahasa berkata: "Akh (saudara) artinya seseorang yang berasal dari sulbi dan rahim yang sama denganmu." Oleh karena itu, akhwat, persaudarian juga termasuk di dalamnya.
Atas alasan ini sinonim akhwat dalam bahasa Arab adalah ukht, termasuk feminim akh. Dari sini, seluruh aturan-aturan yang mengulas tentang ukhuwwah mukminah dihitung sebagai sesuatu yang tunggal termasuk di dalamnya pria dan wanita.
Baginda Nabi Saw juga tatkala merajut tali persaudaraan di antara kaum Mukmin di Madinah, ia mempersaudarikan putrinya Fatimah az-Zahra dengan Ummu Salamah istrinya.
Oleh karena itu, akad ukhuwwah pada hari Ghadir tidak hanya khusus untuk kaum pria saja, kaum hawa juga dapat membaca akad persaudarian.[]

7
Al-Ghadir dalam Perspektif Ahli Sunnah

Catatan kaki
1 . Menurut ahli bahasa dan sejarawan, kota kecil ini tidak ada pada masa-masa lampau dan kemudian muncul. Rabigh pada masa Rasulullah Saw tidak lebih dari sekedar sebuah belantara. Tharihi dalam Majmâ al-Bahrain menulis: Rabigh merupakan sebuah belantara dekat Juhfah. Dan disebutkan dalam Majmâ' al-Buldân, jilid 3, hal. 11: "Rabigh adalah sebuah belantara antara Bazwah dan Juhfah yang dilintasi oleh para haji."
2 . Rahnemai Haramain Syarifain, jilid 5, hal. 13.
3 . Muntahâ al-Amâl, jilid 1, hal. 120, Târikh Habib as-Sayyar, jilid 1, hal. 411..
4 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 312.
5 . Idem, jilid 3, hal. 309..
6 . Imtâ' al-Asmâ', hal. 510.
7 . Idem, hal. 51.
8 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 312.
9 . Sirah Zaini Dahlan, jilid 2, hal. 143, Sirah Halabi, jilid 3, hal. 308, Imtâ' al-Asmâ', hal. 512, Tadzkirah al-Khawwâs, hal. 37.
10 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 308.
11 . Imta' al-Asma', hal. 518. Sirah Halabi, jilid 3, hal. 517.
12 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 317.
13 . Idem,.
14 . Imta' al-Asma', hal. 518
15 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 318.
16 . Idem, jilid 3.
17 . Idem, hal. 319.
18 .Sirah Halabi, jilid 3, hal. 321.
19 . Idem, hal. 325.
20 .Sirah Halabi, jilid 3, hal. 307, Imtâ' al-Asmâ', hal. 510, Sirah Zaini Dahlân, jilid 2, hal. 143.
21 . Habib as-Sair, jilid 1, hal. 411.
22 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 79, bab 11, hadits ke-37.
23 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 16.
24 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 336, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal 45, hadits ke-547.
25 . Kanz al-'Ummâl, jilild 13, hal. 104 dan 105, hadits ke-36340 hingga 36344. dan hal. 133, hadits ke-36420.
26 . Idem, jilid 13, hal. 138, hadits ke-36437.
27 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits ke-39.
28 . Sirah Halabi, jilid 3, hal. 336, dan Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 104 hingga 108.
29 . Seluruh khutbah dapat Anda jumpai pada al-Ghadir, jilid 1, hal. 10 dan 11, Nawâdir al-Usul, jilid 1, hal. 163, Mu'jam Kabir Thabarani, jilid 5, hal. 166, hadits ke-4971, Nuzul al-Abrâr, hal. 51.
30 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 19, hadits ke-24, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits ke-39 & 40.
31 . Farâidh as-Simthain, idem,.
32 . Târikh Raudhah ash-Shifâ, jilid 1, hal. 541.
33 . Târikh Habib as-Sair,jilid 1, hal. 411.
34 . I'lâm al-Wara bi A'lam al-Huda, hal. 133.
35 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 270; dinukil dari kitab al-Wilayah, karya Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Manâqib 'Ali bin Abi Thalib, karya Ahmad bin Muhammad Thabari dikenal sebagai Khalili.
36 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 65, bab 9, hadits ke-30 & 31 dan 70 & 71, bab 11, hadits ke-38.
37 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 272 hingga 283.
38 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits ke-39 & 40, Maqtal Khawârazmi, jilid 1, hal. 48, Tadzkirah al-Khawwâs, hal. 39.
39 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 270; dinukil dari kitab al-Wilayah, karya Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Manâqib 'Ali bin Abi Thalib, karya Ahmad bin Muhammad Thabari dikenal sebagai Khalili.
40 . Tâj al-'Arus, kata tauj, jilid 5, hal. 40 & 4, Lisân al-Arab, kata tauj.
41 . Nazhm Dur ra as-Simthain, hal. 112, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab 12, hadits ke-42.
42 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab 12, hadits ke-43, Manâqib al-Imâm Amir al-Mukminin, jilid 2, hal. 42, hadits ke-5529, Nazhm Dur ra as-Simthain, hal. 112.
43 . Manâqib al-Imâm Amir al-Mukminin As, jilid 2, hal. 389, hadits ke-864.
44 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 75, bab 12, hadits ke-41, Manâqib al-Imâm Amir al-Mukminin, jilid ?, hal. 389, hadits ke-864.
45 . Nazhm Dur ra as-Simthain, hal. 112, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 76, bab 12, hadits ke-42.
46 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadits ke-36371, dan hal. 129, hadits ke- 36407, dan hal. 131, hadits ke-36419, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 85, bab 16, hadits ke-65.
47 . Silahkan Anda lihat pada bagian kedua dari buku ini.
48 . Yanâbi' al-Mawaddah, hal. 39: Rasulullah Saw bersabda: "Aku tinggalkan dua pusaka di tengah-tengah kalian, Kitabullah dan Ithrahku; keduanya tidak akan berpisah dari yang lainnya hingga ia menjumpaiku di telaga Kautsar dan apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.
49 . Qs. asy-Syura (42):23.
50 . Qs. Ali 'Imran (3):61.
51 . Qs. al-Maidah (5): 55
52 . Talkhish asy-Syafi, jilid 1, hal. 167.
53 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 14 hingga 151.
54 . Al-Ghadir, jilid 1, catatan kaki hal. 14.
55 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188.
56 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 27, hadits ke- 39.
57 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 453.
58 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 152 hingga 158.
59 . Sumber dari hadits-hadits ini segera akan disebutkan dalam bagian ini.
60 . Al-Ghadir, muqaddimah jilid 6, hal. wa & zain.
61 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 344 hingga 350.
62 . Wafâyat al-A'yân, jilid 5, hal. 231.
63 . Sayid ibn Thawus menukil matlab ini dalam kitab Iqbâl al-'Amâl, hal. 456 dari kitab an-Nasyr wa at-Thai.
64 . Tadzkirah al-Khawwâsh, hal. 38.
65 . Mathâlib as-Su'ul, hal. 16, satr 25.
66 . Târik Dimasyq, jilid 2, hal. 21, hadits ke- 521, Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 119.
67 . Idem, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 68 & 69, bab 10, hadits ke- 34 & 36, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 154, hadits ke- 36480 dan hal. 157, hadits ke- 36485, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 28, hadits ke- 38 dan hal. 20, hadits ke-37, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 12, hadits ke-511509, dan hal. 14, hadits ke-514 dan hal. 19, hadits ke-517.
68 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 9, hadits ke-506 dan hal. 11, hadits ke- 508, hal. 24, hadits ke-523, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 170, hadits ke- 36515, dan Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 105.
69 . Tadzkirah al-Khawwâsh, hal. 35, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 158, hadits ke- 36487, dan hal. 170, hadits ke- 36514, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 18, hadits ke- 515 & 516, dan hal. 25, hadits ke- 524, Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 105, Yanâbi' al-Mawaddah.
70 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 5, hadits ke- 503 dan hal. 27, hadits ke- 530 dan Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 107.
71 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 13, hadits ke- 512 dan hal. 14, hadits ke- 513 dan hal. 18, hadits ke- 516, Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 108.
72 . Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 307, Târikh al-Khulafâ, hal. 188, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 7, hadits ke-505, Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
73 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 6, hadits ke- 504, hal. 22, hadits ke- 522.
74 . Idem, hal. 12, hadits ke- 510.
75 . Idem, hal. 20, hadits ke- 520.
76 . Tadzkirat al-Khawwâsh, hal. 35, Majmâ az-Zawâid, jilid 9, hal. 104.
77 . Yanâbi' al-Mawaddah, hal. 36.
78 . Asnâ al-Mathâlib, hal. 50. Jazari pengarang kitab menulis: Sanad riwayat menukil hadits al-Ghadir ini merupakan sanad yang paling indah karena dalam hadits tersebut terdapat lima orang Fatimah, yang masing-masing menukil dari bibi mereka, Fatimah binti Imam Ridha As dari Fatimah dan Zainab serta Kultsum binti Musa bin Ja'far, dari Fatimah binti Imam Shadiq, dari Fatimah binti Imam Baqir As, dari Fatimah binti Imam Sajjad, dari Fatimah dan Sukainah binti Imam Husain As, dari Ummu Kultsum binti Fatimah az-Zahra As.
79 . Yanâbi' al-Mawadadah, hal. 578.
80 . Waqa'at ash-Shiffin, hal. 338.
81 . Tadzkirat al-Khawwâsh, hal. 83.
82 . Rabi' al-Abrâr, jilid 3, hal. 269, bab 41.
83 . Majmâ' az-Zawâid, jilid 9, hal. 105.
84 . Tadzkirat al-Khawwâsh, hal. 84.
85 . Dinar adalah mata uang yang berasal dari emas dan Dirham mata uang nyag berasal dari perak. Di samping itu, berat Dirham ekuivalen dengan berat 8/10 Minwân Dinar.
86 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 66, bab 10, hadits ke- 31, Hilyat al-Awliyâ, jilid 5, hal. 364.
87 . Al-Aqd al-Farid, jilid 5, hal. 82.
88 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 145, dan Yanâbi' al-Mawaddah, 344.
89 . Idem, jilid 3, hal. 146, hadits 1163 dan Târikh Baghdâd, jilid 1, hal. 135.
90 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 131, hadits ke-36419 dan hal. 149, hadits ke-36465, Târikh Thabari, jilid 2, hal. 62.
91 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 85, bab 16, hadits ke-65.
92 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 306 hingga 394 dan 336 hingga 356, bab 16, hadits ke-65.
93 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 177, As-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 178, hadits pertama, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 122, bab 21, hadits ke-85 hingga 89, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 158, hadits ke-9 dan 36488, Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 145, hadits ke-150, Manâqib Ibn Maghâzali, hal. 27 hingga 37, hadits ke- 40 hingga 55.
94 . وَاجْعَلْ لِى وَزِيرًا مِنْ اَهْلِى .ه?ارُونَ اَخِى. اُشْدُدْبِهِ اَزْرِى. وَ اَشْرِكْهُ فِى اَمْرِى
"Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (Yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan ia kekuatanku. Dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku. (Qs. Thaha [20]:29 - 32)
95 . وَ ق?الَ مُوس?ى ِلاَخِيهِ ه?ارُونَ اخْلُفْنِي فِى قَومِى وَ اَصْلِحْ وَ لَا تَتَّبِعُ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
" Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah engkau mengikuti orang-orang yang membuat kerusakan." (Qs. al-A'raf [7]: 142)
96 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadits ke- 36370 dan hal. 105. hadits ke-36345.
97 . As-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188, hadits ke-6 dan Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab 11, hadits ke-119.
98 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 311, bab 57, hadits ke-249 dan hal. 315, bab 58, hadits ke-250, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 130, hadits ke-155 & 157 & 158.
99 . Târikh Baghdâd, jilid 1, hal. 135, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 235, bab 46, hadits ke-183 hingga 185.
100 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 131, hadits ke- 36419 dan Târikh Thabari, jilid 2, hal. 62.
101 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 5, hadits ke-1030 & 1031 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 200, hadits ke-238.
102 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 272, bab 52, hadits ke-211.
103 . Idem, hal. 315, bab 58, hadits ke-25.
104 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 106, hadits ke-36345.
105 . Al-Mustadrak 'ala Shahihain, jilid 3, hal. 126.
106 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 56, bab 16, hadits ke-21, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 135, hadits ke-36425 dan jilid 3, hal. 142, hadits ke-36444.
107 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 266, bab 52, hadits ke-208 dan Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 90 hingga 94, hadits ke-1119 hingga hadits ke-1123.
108 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 95, hadits ke-1124 dan Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab 52, hadits ke-212.
109 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 256, bab 52, hadits ke-207.
110 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 269, bab 52, hadits ke-210
111 . Idem, jilid 1, hal. 271, bab 52, hadits ke-211.
112 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 155.
113 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 187, hadits 2, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 145, hadits 36457, dan Dzakhairul Uqba, hal. 62.
114 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 143, hadits ke-36447.
115 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 324, bab 58, hadits ke-252, dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 159, hadits 646.
116 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 155, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 111.
117 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 162, hadits ke-648.
118 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 130, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188, hadits ke-5.
119 . Idem, jilid 3, hal. 132, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 187, hadits ke-2, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 123, hadits ke-36393, dan hal. 162, hadits ke-36493.
120 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 11, Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 595, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 166, dan hal. 167, hadits ke-36508, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 209, bab. 42, hadits ke-165 hingga 167, Manâqib ibn Maghazali, hal. 165 hingga 175, hadits ke- 189 hingga 212.
121 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 109, hadits ke-36358.
122 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 128.
123 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 130, As-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 197, hadits ke-17, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 96, hadits ke-233.
124 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 110.
125 . Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 128.
126 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 145, hadits ke-36458.
127 . Târikh Baghdâd, jilid 3, hal. 161.
128 . Idem,, jilid 4, hal. 195, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 103, hadits ke-610.
129 . Idem, jilid 4, hal. 410, As-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 193, hadits ke-32, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 243, hadits ke-290.
130 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, ha. 332, bab 61, hadits ke-257, dan Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 148, hadits ke-182.
131 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 145, hadits ke-179.
132 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 122, hadits ke-36392, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 134, bab 22, hadits ke-96.
133 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 210, hadits ke-712.
134 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 159, hadits ke-36491.
135 . Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 601.
136 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 120, hadits ke-36385 dan hal 117, hadits ke-36529, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 130, bab 22, hadits ke-92, 93, 95, As-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 188, hadits ke-8.
137 . Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 129, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 110, As-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 188, hadits ke-8, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 106, hadits ke-36347.
138 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 142, hadits ke-36445, As-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 190, hadits ke-16, Faraidh as-Simthain, jilid 1, hal. 298, bab 55, hadits ke-226, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 420, hadits ke-494 hingga 502.
139 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 452, hadits ke-501.
140 . Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 121, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 302, bab. 56, hadits ke-241, As-Sawâiq al-Muhriqah, hal. 190, hadits ke-16.
141 . Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 123, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 299, bab. 55, hadits ke-8 dan 237, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 267, hadits ke-796, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 240, hadits ke-287 dan 288, Manâqib Khawarazmi, hal. 105, hadits ke-109.
142 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 65, hadits ke-90, hal. 50, hadits ke-73, Dzakhair al-Uqba, hal. 25.
143 . Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 121, Târikh Baghdâd, jilid 14, hal. 21.
144 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 177, bab 36, hadits ke-139.
145 . Idem, hadits ke- 140, Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 153, hadits ke-1172.
146 . Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, jilid 3, hal. 124, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 191, hadits ke-21, Faidh al-Qadir, 3564.
147 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 31.
148 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 406, hadits ke-912, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 107, hadits ke-149.
149 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 193, hadits ke-34.
150 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 152, hadits ke-36477, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 70, hadits ke-101.
151 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 39, bab 1, hadits ke-3 dan hal. 140, bab 24, hadits ke- 102, Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 157, hadits ke-1174.
152 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 489, hadits ke-1019.
153 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 325, bab 59, hadits ke-5 dan 234, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 224, hadits ke-762, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, hadits ke-40.
154 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 152, hadits ke-36475.
155 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 2423, hadits ke-761 hingga 763, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 289, bab 54, hadits ke-228.
156 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, hadits ke-40.
157 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 242, hadits ke-289, Dzakhair al-Uqba, hal. 71.
158 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 156, bab 31, hadits ke-118, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 344, hadits ke-853, 856, 858.
159 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 345, hadits ke-853.
160 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 347, hadits ke-854.
161 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 156, hadits ke-36483.
162 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 408, hadits ke-914, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 206 dan 243.
163 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 391, hadits ke-894 hingga 911, Ash-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 190, hadits ke-15, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 206, hadits ke-244 hingga 245.
164 . Idem, hal. 457, hadits ke-989, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 86, hadits ke-127.
165 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 295, bab 55, hadits ke-233, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 193, hadits ke-36, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 140, hadits ke-184.
166 . Idem, hadits ke-234, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 271, hadits ke-797 hingga 799, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 47, hadits ke-70
167 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 266, hadits ke-793 hingga 795
168 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 311, hadits ke-722.
169 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 73, hadits ke-108.
170 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 92, hadits ke-135 & 136, Faidh al-Qadir, jilid 4, hal. 357, Ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, hal. 105
171 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 164.
172 . Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab 11, hadits ke-120, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab. 47, hadits ke-192 .
173 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 261, hadits ke-787, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188, jilid 4.
174 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 141, bab 25, hadits ke-104
175 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 143, bab 25, hadits ke-104.
176 .Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 260, hadits ke- 785, Kanz al-'Ummâl, jilid 119, hadits ke- 2 dan 36381, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 193, hadits ke-37.
177 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 259, hadits ke-783.
178 . Idem, hal. 260, hadits ke-786.
179 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 154, bab 31, hadits ke-116.
180 .Idem, hal. 156, bab 31, hadits ke-118, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 442, hadits ke-958
181 .Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 243, hadits ke-800 hingga 804, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 45, hadits ke-67
182 .Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 130, hadits ke-155; hadits yang serupa juga terdapat pada hadits ke-157 dan 158.
183 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 311, bab 57, hadits ke-249 dan hal. 315, bab 58, hadits ke-250.


184 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 311 hingga 317, hadits ke-1350 hingga 1357.
185 . Idem, jilid 3, hal. 127, hadits 1149 dan As-Ash-Shawâiq al Muhriqah, hal. 186.
186 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 107, Ash-Shawâiq al Muhriqah, hal. 186, bagian kedua, Farâidul Simthaîn, jilid 1, hal. 379, bab 69, hadits 309, Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 83, hadits ke-1117.
187 . Farâidul Simthain, jilid 1, hal. 364, bab 66, hadits ke-292.
188 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 145, hadits ke-188.
189 . Ash-Sawâiq al-Muhriqah, hal. 196 dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 430, hadits ke-940.
190 . Idem, dan Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 431, hadits ke-941.
191 . Idem, dan Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 108, hadits ke-36353, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 429, hadits ke-938.
192 . Mizânul 'Itidâl, jilid 1, hal. 235, Târikh Baghdad, jilid 6, hal. 85, Hilyatul 'Awliyâ, jilid 1, hal. 84, Farâidh as-Al-Simthain , jilid 1, hal. 40, bab 1, hadits ke- 5 dan 17, Târikh Damsyq, jilid 1, hal. 139, hadits 173 dan 176.
193 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 2, hal. 241 dan jilid 3, hal. 160, As-Ash-Shawâiq al Muhriqah, hal. 190, jilid 12, Farâidul Al-Simthain, jilid 1, hal. 52, bab 5, hadits 17, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 139, hadits ke-173 dan 176.
194 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 2, hal. 241, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 42, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 108, hadits 36355.
195 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 2, hal. 120, Tafsir al-Kasysyâf, jilid 3, hal. 360, As-Ash-Shawâiq al Muhriqah, hal. 194, hadits 40.
196 . Majma' az-Zawâid, jilid 9, hal. 111.
197 . Ar-Riyadha an-Nadharah, jilid 2, hal. 108.
198 . Faidh al-Qadir, jilid 4, hal. 365.
199 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 92, hadits ke-135 dan 136, Ar-Riyadha an-Nadharah, jilid 2, hal. 105, Faidh al-Qadir, jilid 4, hal. 357.
200 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 576, Manâqib Khawârazmi, hal. 51, hadits ke-13.
201 . Al-Kâmil fii at-Târikh, jilid 2, hal. 57 dan Târikh at-Tabarî, jilid 2, hal. 52.
202 . Nahj al-Balâgha, terjemahan Dr. Sayid Ja'far Syahidi, hal. 229, penggalan khutbah 192 yang dikenal sebagai khutbah qâshi'a.
203 . Itsbât al-Wasiyah, hal. 140.
204 . Bihâr al-Anwâr, jilid 40, hal. 153, hadits 54, bab 93. Almarhum Muqarram dalam kitab as-Sayyidatu Sukainah, hal. 35 memberi catatan di bawah hadits ini: "Alusi menulis ucapan ini dalam tafsir Ruhul Ma'âni, jilid 3, hal. 27 di bawah ayat "Kaifa tuhyi al-maut. Dan Abu as-Suud dalam kitab tafsirnya yang memberikan ulasan atas kitab tafsir ar-Razi, jilid 4, hal. 570 di bawah ayat: "wa idzâ tuliyat 'alaihim ayatun zadathum imânan." dalam surah al-Anfal yang menukilnya dari Amirul Mukminin As.
205 . Târikh Dimasyq, jilid 4, hal. 364, hadits ke- 872 dan 871, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 279, hadits 330.
206 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 93, Sawâ'iq al-Muhriqah, hal. 185, bagian pertama, Faraidh al-Simthain, jilid 1, hal. 243, bab. 47, hadits ke-188, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 48, hadits ke-70.
207 . Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 598, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 246, bab 47, hadits ke-189, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 93, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadits ke-34407.
208 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 114, 129, dan 133, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 97, hadits ke-133 hingga 137 dan Târikh Kâmil, jilid 2, hal. 63.
209 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 92, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 43, hadits ke-62.
210 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 111, hadits ke-36363.
211 . As-Sawâ'iq al-Muhriqah, hal. 185, bagian pertama. Demikian juga 'Allamah Amini menukil dari Hakim Naisyaburi dan Ibn Abdulbar tentang ijma ini.
212 . Al-Ghadir, jilid 3, hal. 219 dan 236.
213 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 72, hadits ke- 115 hingga 117. Hadits ini juga dinukil dari Salman Parsi dalam kitab Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 144, hadits ke- 36452.
214 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 93 dan Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 124.
215 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 94, Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 112, Faraidh al-Simthain, jilid 1, hal. 242, bab 47, hadits 187, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 71, hadits ke- 94 hingga 100.
216 . Itsbât al-Washiyyah, hal. 141.
217 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 92, Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 136, Musnad Imâm Ahmad Hanbal, jilid 4, hal. 368 dan 371, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 144, Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 600, Al-Ashabah, jilid 8, hal. 183.
218 . Usud al-Ghabah, jilid 4, hal., Al-Ahbabihi, jilid 7, hal. 167.
219 . Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 600, Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 131, Musnad Imâm Ahmad Hanbal, jilid 1, hal. 99 dan 371, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 93, Faraidh al-Simthain, jilid 1, hal. 245, bab 47, hadits ke- 190.
220 . Musnad Imâm Ahmad Hanbal, jilid 5, hal. 26.
221 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 144, hadits ke-36392 dan hal. 124, hadits ke-36395.
222 . Târikh Baghdâdi, jilid 4, hal. 233.
223 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 124, hadits ke-36396.
224 . Nahj al-Balâgha, terjemahan Dr. Sayid Ja'far Syahidi, hal. 229, penggalan khutbah 192, dikenal sebagai khutbah qâshi'a.
225 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 122, hadits ke-36390 dan hal. 126, hadits ke-364000, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 93, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 247, bab 47, hadits ke-191.
226 . Selama masa ini yaitu masa setelah bi'tsat, ia senantiasa bersama Rasulullah Saw dan di samping itu, sebelum bi'tsat ia besar dan ditarbiyah dalam haribaan Rasulullah Saw.
227 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadits ke-36405 dan 36406 dan hal. 120, hadits ke- 36387, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 189, hadits ke- 11.
228 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 200, bab. 40, hadits ke-156, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 135, hadits ke-36426.
229 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 96, bab. 18, hadits ke-66.
230 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 150, bab. 29, hadits ke-113.
231 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 189, hadits ke- 9.
232 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 332, bab. 61, hadits ke-257, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 482, hadits ke-1010.
233 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 200, bab. 40, hadits ke-156, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 177, hadits ke-36525.
234 . Hilyatul Awliyâ,jilid 1, hal. 56.
235 . Musnad Imâm Ahmad Hanbal, jilid 5, hal. 26, Usud al-Ghabah, jilid 5, hal. 520.
236 . Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hal. 598, Hilyat al-Awliyâ,jilid 1, hal. 56, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 99, bab. 19, hadits ke-68. Ash-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 189, hadits ke- 9.
237 . Târikh Baghdâdi, jilid 11, hal. 204.
238 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 126, Ash-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 189, hadits ke- 9, Târikh Baghdâdi, jilid 4, ha. 348, Usud al-Ghabah, jilid 4, hal. 100, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 98, bab. 18, hadits ke-67.
239 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 101, bab. 19, hadits ke-70, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 483, hadits 1012.
240 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 165.
241 . Hilyat al-Awliyâ, jilid 1, hal. 67, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 128, hadits ke-35404, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 201, bab. 20, hadits ke-157, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 197, bagian 4.
242 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 135, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
243 . Hilyat al-Awliyâ, jilid 1, hal. 65, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
244 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 135, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 195, bagian 3.
245 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 44, hadits ke- 1071 hingga 1078.
246 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 367, bab. 68, hadits ke-297, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 196, bagian 3, Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 61, hadits ke-1078 hingga 1090.
247 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 199, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 234, bab. 46, hadits ke-182.
248 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 369, bab. 68, hadits ke-298.
249 . Idem, jilid 1, hal. 94, bab. 18, hadits ke-63.
250 . Manâqib Ibn Maghâzhali, hal. 71, hadits ke-102.
251 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 348, Al-Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 4.
252 . Tafsir Qurthubi, jilid 3, hal. 21, Tafsir Kabir, jilid 3, hal. 223, Tafsir Furât, hal. 65, Usud al-Ghaba, jilid 4, hal. 99.
253 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 330, bab. 60, hadits ke-265, Manâqib Khawarazmi, hal. 127, hadits ke-141.
254 . Hilyat al-Awliyâ, jilid 9, hal. 145.
255 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 186, bagian pertama.
256 . Usud al-Ghaba, jilid 4, hal. 97.
257 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 167, jilid 213 & 214, Târikh Thabari, jilid 2, hal. 197.
258 . Al-Mustadrak 'ala Shahihaîn, jilid 3, hal. 4, hal. 120 dan Maqtal Khawarizmi, jilid 1, hal. 45.
259 .Ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 192, satr 35.
260 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 162, hadits ke-36496 hingga 36406, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 261, ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 187, hadits ke-2, bab. 50, hadits ke-201, Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 174 hingga 246, hadits ke-217 hingga 290, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 176 hingga 189, hadits ke- 213 hingga 224.
261 . Târikh Baghdâd, jilid 11, hal. 324, Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 136, hadits ke- 36431, Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 186.
262 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 8, dan ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 186.
263 . Al-Bidâyah wa an-Nihâyah,jilid 4, hal. 325.
264 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 202, hadits ke-240.
265 . Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 185, bagian pertama.
266 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 363, bab 66, hadits ke-289.
267 . Târikh Baghdâd, jilid 11, hal. 173, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 235, bab 46, hadits ke-183 hingga 185.
268 . Al-Imâm wa as-Siyâsah, hal. 6 dan 11.
269 . Târikh Thabari, jilid 2, hal. 58, 67 dan 68.
270 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadits ke-36370, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 88, bab 17, hadits ke-68.
271 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 114, hadits ke-36370, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 88, bab 17, hadits ke-68..
272 . As-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 192, hadits ke-36.
273 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 105, hadits ke-36345 dan 120, hadits ke-36348, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 111 hingga 120, hadits ke-79 hingga 83.
274 . As-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 192, hadits ke-36, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 150, bab 29, hadits ke- 113, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 37, hadits ke-57 dan 38 hadits ke-39..
275 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 230, dan Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 150, hadits ke-36467..
276 . Manâqib ibn Maghâzali, hal. 307, hadits ke-352 dan Dzakhair al-Uqbâ, hal. 25.
277 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 116, hadits ke-1140.
278 . As-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 194, hadits ke-40 dan Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 163, hadits ke-36496 dan hal. 115, hadits ke-36374.
279 . As-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 187, hadits ke-3.
280 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 376, hadits ke-878 hingga 880.
281 . Tafsir al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 368.
282 . Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 116, hadits ke-1140.
283 . As-Ash-Shawâiq al-Muhriqah, hal. 188, hadits ke-6, Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 258, bab. 50, hadits ke-198, Sunan ibn Majah, jilid 1, hal. 44, bab. 11, hadits ke-119, Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 378, hadits ke-883 hingga 893, Manâqib ibn Maghâzali, hal. 226, hadits ke-272 hingga 274.
284 . Majma' az-Zawâid, jilid 9, hal. 111.
285 . Al-Al-Mustadrak 'ala Shahihain, jilid 2, hal. 120 dan Tafsir Kasysyâf, jilid 3, hal. 360.
286 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 143, bab 22, hadits ke-36552.
287 .Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 136, bab. 22, hadits ke-100 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 105, hadits ke-147
288 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 185, hadits ke-36552.
289 . Manâqib Khawârizmi, hal. 118, hadits ke-130 dan Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 352, bab 66, hadits ke-277.
290 . Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 78.
291 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 184, hadits ke-36552 ,Manâqib Khawârizmi, hal. 121, hadits ke-135.
292 .Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 450, hadits ke-975 dan 976.
293 . Kanz al-'Ummâl, jilid 13, hal. 180, hadits ke-36573.
294 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 281, hadits ke-325.
295 . Idem, hadits ke-326
296 . Idem, jilid 1, hal. 281 hingga 296, hadits ke-323 hingga 335.
297 . Farâid as-Simthain, jilid 1, hal. 208.
298 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 453, hadits ke-982.
299 . Idem, hal. 454, hadits ke-984 hingga 987.
300 . Idem, jilid 2, hal. 307, hadits ke-816 hingga 821.
301 . Târikh Dimasyq, jilid 2, hal. 260, hadits ke-784.
302 . Idem, hal. 376, hadits ke- 878 hingga 885.
303 . Idem, hal. 379, hadits ke- 885, dan Farâid al-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 61.
304 . Târikh Dimasyq, jilid 1, hal. 163, hadits ke-206 hingga 208.
305 . Idem, jilid 2, hal. 379, hadits ke- 885 dan Farâid al-Simthain, jilid 1, hal. 58 dan 61.
306 . Farâid al-Simthain, jilid 1, hal. 88, hadits ke- 68.
307 . Idem, hal. 90, hadits ke- 59.
308 . Idem.
309 . Sebagaimana dinukil oleh Ibn Maghazali dalam Manâqib, hal. 19 dan Farâidh Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits 39 dan 40 bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir setelah penetapan Amirul Mukminin 'Ali As.
310 . Al-Ghadir, jilid 1, hal .247, yang menukil dari Syaraf al-Musthafa karya Abu Sa'id Khargusi Naisyaburi, wafat tahun 407 H.
311 . Al-Ghadir, jilid 1, hal .283 dan Iqbâl al-'Amal hal. 466.
312 . Idem., jilid 1, hal. 284 dan Iqbâl al-'Amal hal. 463.
313 . Furugh Kâfi, jilid 1, hal. 148, bab Shiyâm Targhib, hadits ke-3.
314 . Idem., hadits pertama.
315 . Tafsir Furât, hal. 118.
316 . Idem.,
317 . Misbâhul Mujtahid, hal. 752.
318 . Tarjameh ?tsar al-Bâqiyah, hal. 460.
319 . At-Tanbih wa al-Irsyâd, hal. 221.
320 . Mathâlib as-Su'ul, hal. 16, satr terakhir.
321 . Tsamâratul Qulûb, hal. 636
322 . Wafayâtul 'Ayân, jilid 1, hal. 180.
323 . Idem, jilid 5, hal. 230.
324 .Iqbâl 'Amâl, hal. 465, satr akhir.
325 . Idem, hal. 464, satr 18.
326 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 77, bab 13, hadits ke-44 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 19, hadits ke-24.
327 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 465, satr 29.
328 . Al-Ghadir, jilid 1, hal. 275.
329 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 463, satr 27.
330 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 472, satr 7.
331 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 472, satr 14.
332 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 473, satr 8.
333 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 473, satr 16.
334 . Idem, hal. 472, satr 13
335 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 467, satr 14.
336 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 470.
337 . Al-Murâqabât, hal. 464, satr 2.
338 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 463, satr 20 dan seterusnya.
339 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 475, satr 21.
340 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 464, satr 28.
341 . Idem, hal. 470.
342 . Idem, hal. 464, satr 28.
343 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 464, satr 21.
344 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 474, satr 3.
345 . Iqbâl al-'Amâl, hal. 492, satr 19.
346 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadits ke-80, dan hal. 118, hadits ke-83.
347 . Idem, jilid 1, hal. 116, hadits ke-80.
348 . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadits ke-80, dan hal. 118, hadits ke-83.
349 . Salah satu kewajiban dalam agama suci Islam yang memiliki dimensi social dan politik, memberikan perlindungan. Artinya bahwa apabila salah seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada seorang kafir dan berada dalam perlindungannya, sepanjang dalam masa ini tidak terdapat muslihat dan konspirasi, seluruh kaum musliminin memiliki tugas memberikan perlindungan kepada si kafir tersebut demi menghormati saudaranya yang memberikan perlindungan kepada si kafir. Dan hal ini adalah memelihara dzimmah (orang yang dilindungi) atau menghormati orang yang berada dalam pengamanan seorang muslim.
350 . Makâsib al-Muharramah, hal. 48, Wasâil asy-Syi'ah, jilid 12, hal. 212, hadits ke- 6843.
351 . Mustadrak al-Wasâil, jilid 6, hal. 278, hadits ke-6843.
352 . Qs. Thaha (20): 109.
353 . Al-Ghadir, jilid 3, hal. 113.


Daftar Pustaka
1. Atsâr al-Bâqiyah, Abu Raihan Biruni, terjemahan Akbar Dana Seresyt, Ibn Sina, 1352 S.
2. Itsbâtul Washiyyah lil Imâm 'Ali ibn Abi Thalib As, Abul Hasan 'Ali ibn Husain ibn 'Ali Mas'ud, wafat 3435 H, Penerbit Bashirati, cetakan kelima.
3. Al-Isti'âb fî Ma'rifatil Ashâb, Abu 'Umara Yusuf ibn 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Abdil Bar (Sunni), Intisyarat Nahdha al-Misr li ath-Thiba'a wa an-Nasyr wa at-Tauzi' Kairo.
4. Usud al-Ghabah fii Ma'rifati al-Ashab, Abu 'Umar Yusuf bin 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdulbar (Sunni), Intisyarat Nahdha al-Misr li ath-Thiba'a wa an-Nasyr wa at-Tauzi' Kairo.
5. Asna al-Mathalib fii Manâqib Sayyiduna 'Ali bin Abi Thalib, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Jazari Syafi'i (Sunni), wafat pada tahun 833 H, Kitabkhane Amir al-Mu'minin As, Isfahan.
6. I'lam al-Wara bi A'lam al-Huda, Aminul Islam Abu 'Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi (Syi'ah), ulama abad ke-6, Darul Kitab al-Islamiyah, Teheran.
7. Iqbâl al-A'mal, Radhiuddin Abul Qasim 'Ali bin Musa bin Ja'far bin Thawus (Syi'ah) - lebih dikenal sebagai Sayid ibn Thawus, wafat pada tahun 664 H, cetakan batu dari Penerbit Darul Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1390 H atau 1349 S.
8. Al-Imâmah wa as-Siyâsah, atau lebih populer dengan sebutan Târikh al-Khulafâh, Abu Muhammad 'Abdillah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari (Sunni), wafat pada tahun 276 H, Intisyarat Musthafa Abu wa Abna.
9. Imtâ' al-Asmâ, Taqiyuddin Ahmad bin 'Ali Maqrizi (Sunni), Lajnah at-Ta'lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr bil Kahira (Kairo) : 1941 M.
10. Bihâr al-Anwâr, 'Allamah Muhammad Baqir Majlisi (Syi'ah), Muassasah al-Wafa, Beirut: 1403 H atau 1983 M.
11. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Abul Fada ibn Katsir Damsyqi (Sunni), wafat pada tahun 774 H, Darul Kitab al-'Ilmiyyah, Beirut: 1405 H atau 1985 M.
12. Tâj al-'Arus, Sayid Muhammad Murthadha Husaini Zubaidi Thabari (Sunni, Intisyarat Istiqamat Kairo: 1385 H atau 1939 M.
13. Târikh al-Umam wal Muluk, Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir Thabari (Sunni), Intisyarat al-Istiqamah Kairo, 1358 H, 1939 M.
14. Târikh Baghdad, Abu Bakar Ahmad 'Ali Khatib Baghdadi (Sunni), wafat tahun 463 H, Darul Fikri Beirut.
15. Târikh Habib as-Sair fi Akhbar Afrad Basyar, Ghiyatsuddin ibn Hammamuddin al-Husaini (Sunni), lebih dikenal sebagai Khund Amir, wafat tahun 942 H, Intisyarat Maktaba Khayyam, Teheran, cetakan ketiga: 1362 S.
16. Târikh Raudhatush Shafa, Mir Muhammad ibn Sayid Burhanuddin Khawund Syah (Sunni), lebih dikenal sebagai Mirkhand, wafat tahun 903 H, Nasyriyat Markazi, Khayyam, Firuz.
17. Târikh Madinah Damsyiq, populer dengan nama Târikh ibn 'Asakir, Abul Qasim 'Ali ibn Hasan ibn Hubbatullah Syafi'i, lebih dikenal sebagai Ibn 'Asakir, wafat tahun 571 H, terbitan Muasassah Mahmudi, Beirut: 1398 H, 1978 M.
18. Tadzkiratul Khawwash, 'Allamah Sibth ibn Jauzi (Sunni), wafat pada tahun 654 H, Muassasah Ahlil Bait, Beirut: 1401 H atau 1981.
19. At-Tafsir al-Kabir, Abu 'Abdillah Muhammad ibn 'Umar ibn Husain Thabari, lebih dikenal sebagai al-Imam al-Fakhr Ramni, wafat tahun 606 H, (Sunni).
20. Tafsir Qur'ân, Abul Qasim Furat ibn Ibrahim ibn Furat Kufi, ulama yang hidup pada masa ghaibah sughrah, terbitan Muassasah dan Nasyr Wizarat ats-Tsaqafiyah wal Irsyad Islami, Teheran, cetakan pertama: 1410 H, 1990 M.
21. Talkhish asy-Syafi, Syaikh ath-Thaifah Abu Ja'far Muhammad ibn Thusi, wafat tahun 460 H, terbitan Darul Kutub al-Islamiyah Qum, cetakan ketiga: 1294 H, 1974 M, (Syi'ah).
22. at-Tanbih wal Isyrâf, Abul Hasan 'Ali ibn Husain ibn 'Ali Mas'ud (Sunni), wafat pada tahun 345 H, cetakan Intisyarat Darush Shawi, Kairo.
23. Tahzib at-Tahzib, Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar 'Aqlani (Sunni), wafat pada tahun 852 H, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cetakan pertama: 1415 H atau 1994 M.
24. Tsimar al-Qulub fii al-Mudhaf wal Mansub, Abu Manshur 'Abdul Mulk ibn Muhammad ibn Isma'il Tsa'alabi Naisyaburi (Sunni), wafat pada tahun 429, Darul Ma'rif Kairo,
25. Al-Jâmi' li Ahkam al-Qur'ân, populer dengan nama Tafsir Qurthubi, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Ahmad Nashari Qurthubi (Sunni), Darul Ihya at-Turatas al-'Arabi, Beirut.
26. Hilyatul Awliyâ wa Thabaqâtul Asfiyâ, Abu Na'im Ahmad ibn 'Abdullah Isfahani (Sunni), wafat pada tahun 430 H, Darul Kitab al-'Arabi, Beirut: 1407 H atau 1987 M.
27. Ad-Durrul Mantsûr fii Tafsir bil Ma'tsûr, 'Allamah Jalaluddin 'Abdurrahman Suyuthi (Sunni), wafat tahun 911 H, Mathba' Ayatullah al-Uzhma Mar'asyi Najafi, Qum: 1404 H.
28. Dzakhâirul Aqâbi, Abul 'Abbas Ahmad ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abu Bakar ibn Muhammad Thabari (Sunni), wafat pada tahun 694 H, Maktabatu al-Qudsi Kairo: 1356 H.
29. Rahnamân al-Haramaîn asy-Syarifaîn, Abu Ibrahim Ghaffari, salah seorang ulama kontemporer Syi'ah, Intisyarat Uswah: 1370 H.
30. Rabi'ul Abrâr wa Nushushul Akhbâr, Mahmud ibn 'Umar Zamakhsyari, wafat pada tahun 528 H, Darul Dzakhair, Qum:1410 H.
31. Ar-Riyadh an-Nadharah fii Manaqib al-'Asyarah al-Mubasyarah, Abul 'Abbas Ahmad ibn 'Abdullah Thabari (Sunni), dikenal sebagai Muhib Thabari, wafat tahun 694 H, Darul Nadwah al-Jadidah, Beirut, cetakan pertama: 1408 H atau 1988 M.
32. Sunan Ibn Majah, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Yazid Qazwini (Sunni), wafat pada tahun 275 H, Darul Ihya Turats al-'Arabi, Beirut: 1395 H atau 1975 M.
33. Sunan Tirmidzi, Abu 'Isa Muhammad ibn 'Isa ibn Surah (Sunni), wafat pada tahun 279 H, Darul Fikr, Beirut.
34. As-Sirah an-Nabawiyah, Abu Muhammad 'Abdul Mulk ibn Hisyam ibn Ayyub Humairi (Sunni), wafat tahun 213 H, Mustafa Bani wa Awladuhu, Mesir: 1355 H atau 1936 M.
35. As-Sirah Khalabiyah, 'Ali ibn Burhanuddin Halabi (Sunni), wafat pada tahun 1044 H, Darul Ma'arif, Beirut.
36. As-Sirah an-Nabawiyah wal Atsar al-Muhammadiyah, Sayid Ahmad Zaini (Sunni), dikenal sebagai Dahlan, Darul Ma'arif, Beirut, cetakan kedua.
37. Ash-Shawâiqul Muhriqah fii Rad 'Ala Ahli Bid'ah wa az-Zindiqah, Ahmad ibn Hajar Haitami Makki (Sunni), wafat pada tahun 974 H, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut: 1405 H atau 1983 M.
38. Al-'Aqdul Farid, Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdurabbah al-Andalusi (Sunni), wafat pada tahun 328 H, Darul Ihya at-Turats al-'Arabi: 1409 atau 1989 M.
39. Al-Ghadir fil Kitâb wa as-Sunnah wa al-'Adab, Syaikh 'Abdul Husain Ahmad a-Amini (Syi'ah), al-Haidari, Teheran: 1396 atau 1976 M.
40. Farâidh as-Simthain, Ibrahim ibn Muhammad ibn Muayyad Juwaini Khurasani(Sunni), wafat pada tahun 730 H, Muassasah Mahmudi, Beirut: 1400 H atau 1980 M.
41. Faîdh al-Qadîr Syarh al-Jâmi' ash-Shagîr, 'Allamah Muhamad 'Abdurrauf al-Munâwi(Sunni), Beirut: 1391 H atau 1972 M.
42. Al-Kâfi, Abu Ja'far Muhammad ibn Ya'qub Kulaini (Syi'ah), wafat pada tahun 328 H, Darul Kutub al-Islamiyah: 1367 H.
43. Al-Kâmil fii at-Târikh, 'Izzuddin Abul Hasan 'Ali ibn Abi al-Karam Syaiyan (Sunni), dikenal sebagai Ibn Atsir, wafat pada tahun 630 H, Darush Shadr, Beirut: 1385 H atau 1965 M.
44. Al-Kassyâf 'an Haqâiq Ghawâmidh at-Tanzil, Muhammad ibn 'Umar Zamakhsyari (Sunni), wafat pada tahun 528, Darul Kitab 'Arabi, Beirut.
45. Kanzul 'Ummâl fii Sunan al-Aqwâl wal Af'âl, 'Alauddin 'Ali al-Munqi ibn Hassamuddin al-Hindi al-Burhan Fauri (Sunni), wafat pada tahun 975 H, Muassasah Risalat :1399 H atau 1979 M.
46. Lisânul 'Arabi, Abul Fadhl Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhur Afrikai Mesri (Sunni), wafat pada tahun 711 H, Nasyr Adab al-Hauzah: 1405 H atau 1363 S.
47. Majma' al-Bahraîn, Syaikh Fakhruddin Tharihi (Syi'ah), wafat pada tahun 1085 H, Murthadawi, Teheran.
48. Majma' az-Zawâid wa Manba' al-Fawâid, Nuruddin 'Ali ibn Abi Bakar Haitsami (Sunni), wafat pada tahun 807 H, Darul Kitab al-'Ilmiyyah, Beirut: 1408 H atau 1988 M.
49. Al-Murâqabât, Haj Mirza Jawad Aqa Maliki Tabrizi (Syiah), wafat pada tahun 1343 H, Haidari, Teheran: 1381 H.
50. Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihaîn, 'Abdullah Hakim Naisyaburi (Syi'ah), Darul Ma'rifat, Beirut.
51. Mustadrak al-Wasâil, Haj Mirza Husain Nuri Thabarsi (Syi'ah), dikenal sebagai Muhaddits Nuri, wafat pada tahun 1320 H, Muassasah Ali Bait, Qum: 1407 H.
52. Musnad Imâm Ahmad ibn Hanbal, Imam Ahmad ibn Hanbal (Sunni), Darush Shadir, Beirut.
53. Mishbâhul Mujtahid, Syaikh ath-Thaifah Abu Ja'far Muhammad ibn Hasan ibn 'Ali Thusi (Syi'ah), wafat pada tahun 460 H, Muassasah Fiqh as-Syi'ah, Beirut, cetakan pertama:1411 H.
54. Al-Mathâlib as-Suul fii Manâqib ?li Rasul, Kamaluddin Muhammad ibn Thalha Syafi'i (Sunni), wafat pada tahun 654 H, tulisan tangan, Muassasah Darul Hadits, Qum.
55. Mu'jam al-Buldân, Abu 'Abdillah Ya'qub ibn 'Abdillah Hamu Baghdadi, wafat pada tahun 626 H, Darul Ihya at-Turats al-'Arabi, Beirut: 1399 H atau 1979 M.
56. Al-Mu'jam al-Kabîr, Abul Qasim Sulaiman ibn Ahmad Thabarani (Sunni), wafat pada tahun 360 H, Darul Ihya at-Turats al-'Arabi, Beirut: 1405 H atau 1984 M.
57. Maqtal al-Husaîn, Maufuq ibn Ahmad ibn Muhammad Makki Khawarzami (Sunni), wafat pada tahun 568 H, Intisyarat Mufid, Qum.
58. Al-Makâsib, Syaikh Murtadha al-Anshari (Syi'ah), wafat pada tahun 1281 H, cetakan batu dari penerbit Ittila'at-e Tabriz: 1375 H.
59. Al-Manâqib, Maufuq ibn Ahmad ibn Muhammad Makki Khawarzami (Sunni), wafat pada tahun 568 H, Jamiatul Mudarrisin, Qum.
60. Al-Manâqib 'Ali ibn Abi Thâlib¸ lebih dikenal sebagai Manâqib Ibn Maghâzali, Abul Hasan 'Ali ibn Muhammad ibn Muhammad al-Wasithi al-Jalali asy-Syafi'i (Sunni), popular dengan nama Ibn Maghâzali, wafat tahun 483 H, Maktabah al-Islamiyah, Teheran: 1403 H.
61. Manâqib al-Imâm Amirul Mukminin, Hafizh Muhammad ibn Sulaiman Kufi (Sunni), dari ulama abad ketiga, Majma' Ihya ats-Tsaqafah al-Islamiyah, Qum: 1412 H.
62. Muntahal ?mal fii Ahwâlâti Nabî wal ?li, Haj Syaikh 'Abbasi Qummi, ulama kontemporer Syi'ah, Sazeman Intisyarat Javidan.
63. Mizân al-'Itidâl fii Naqd ar-Rijâl, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn 'Utsman Dzahabi (Sunni), wafat pada tahun 748 H, Darul Ma'arif, Beirut.
64. Nuzulul Abrâr Bimâ Shahha min Manâqib Ahlil Bait al-Athhâr, Muhammad ibn Mu'tamid Khan Badakhsyani Haritsi (Sunni), wafat pada tahun 1126 H, Syarkatul Kutubi, Beirut, cetakan kedua: 1413 atau 1993 M.
65. Nazamu Durra as-Samathaîn fii Fadhâil al-Musthafâ wa al-Murtadhâ wa al-Batûl wa as-Sibthaîn, Jamaluddin Muhammad ibn Yusuf ibn Hasan ibn Muhammad Zarnadi Hanafi (Sunni), wafat pada tahun 750 H, Intiyarat Nainawa.
66. Nahjul Balâgha, terjemahan Dr. Sayid Ja'far Syahidi, ulama kontemporer Syi'ah, Sazeman Intisyarat wa Amuzesyi Inqilab Islami, Teheran: 1368 S.
67. Nawâdir al-Usûl fii Ma'rifati Ahâdits ar-Rasûl, Abu 'Abdillah Muhammad Hakim Tirmidzi (Sunni), wafat pada tahun 319 H, Darul Kutub al-'Ilmiyyah Beirut: 1413 H.
68. Wasâil asy-Syi'ah ilâ Tahshâl Masâil asy-Syariah, Syaikh Muhammad ibn Hasan Hur 'Amili (Syi'ah), wafat pada tahun 1104 H, Muassasah Alil Bait, Qum.
69. Wafayâtul A'yân wa Anbâu Abnâi az-Zamân, Syamsuddin Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Bakar ibn Khallaqan, lebih dikenal sebagai Ibn Khallaqan (Sunni), wafat pada tahun 681 H, Darul Ihya at-Turats al-Arabiyah, Beirut: 1397 atau 1977 M.
70. Waqa'atu ash-Shiffîn, Nasr ibn Mazahim Minqari, wafat pada tahun 212 H, Intisyarat Madani, Kairo.
71. Yanâbi'ul Mawaddah, Sulaiman ibn Ibrahim al-Qanduzi al-Hanafi (Sunni), wafat pada tahun 1294 H, Maktaba al-Haidiriyyah, Najaf: 1384 atau 1965.[]

8