SEKAPUR SIRIH
Oleh : Husein Alkaff
Imam Khomeini, Siapa dia?
Sejak runtuhnya khilafah (imperium) Otsmaniyah di Turki, tepatnya setelah perang dunia pertama tahun 1919. Negara Turki secara drastis menjadi negara sekuler pertama di negeri-negeri Islam dibawah pimpinan seorang budak Zionis-Yahudi, Mushthofa Kamal Attaturk. Konsekuensi dari tegaknya pemerintahan sekuler adalah jilbab diharamkan, huruf Arab diganti dengan huruf latin, kumandang adzan yang berpahasa Arab dirubah dengan bahasa Turki dan kebijakan-kebiajakan lainnya uhtuk menghilangkan ciri-ciri Islami dari dataran pantai Meditarian dan pesisir Kaspia. Seorang orientalis kontemporer, John L. Esposito berkata, “Semenjak tahun 1924 sampai kepada wafatnya pada tahun 1938, Mustafa Kemal melaksanakan rangkaian pembaharuan yang bersifat sekuler, yang secara tuntas menciptakan negara bercirikan pemisahan agama dan politik sepanjang kelembagaan. (Islam dan Politik, hal. 133)
Sejak itu, nasib kaum muslimin makin terpuruk. Karena tidak ada imperium Islam yang kuat setelah itu. Wilayah kaum muslimin yang terbentang dari Tanja (Maroko) sampai Jakarta (Indonesia) yang meliputi benua hitam Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah dan beberapa dataran Eropa, seperti Albania, Bosnia, Sayajevo dan Ciprus, sampai Timur Jauh (negara-negara Asia Tenggara) menjadi wilayah kolonial bangsa Eropa. Negara-negara mereka bak kue lezat yang diperebutkan dan dibagi-dibagi oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah lama menyimpan rasa dendam dan kebencian terhadap Islam. Saya teringat dengan ucapan guru saya yang sangat saya cintai, almarhum ustadz Husein bin Abubakar Alhabsyi, dihadapan beberapa santrinya, “Lihatlah benua Afrika (sambil menunjukkan benua Afrika dalam peta dunia) yang berwarna warni dan compang-camping. Itu adalah peninggalan kaum kolonialis Eropa”. Maksud beliau, negara-negara di Afrika yang tadinya satu dibawah dominasi Turki kemudian dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa (Inggris, Italia dan Perancis) terpecah menjadi negara-negara yang kecil.
Terdapat usaha-usaha dari kaum muslimin untuk bangkit menghadapi dominasi Eropa. Sayyid Jamaluddin Asad Abadi (atau AI-Afghani) dengan semangat Pan-Islaminya berkeliling ke negeri-negeri Islam dan berupaya menggugah para pemimpin dan ulama Islam untuk bersatu melawan barat dan para pemimpin Islam yang terbaratkan. Kesadaran kebangkitan Islam juga muncul dari tokoh-tokoh lain seperti Abula’la al-Maududi, Hasan al-Banna, Iqbal Lahore dan yang lainnya. Mereka menjadi kekuatan yang cukup ditakuti oleh para lawan. Meski, mereka tidak berhasil menegakkan pemerintahan Islam yang independen. Apalagi gerakan-gerakan yang mereka pimpin itu surut setelah ditinggalkan oleh para pendirinya.
Memang hampir di setiap zaman dan negeri Islam terdapat gerakan-gerakan yang ber-amar makruf - nahi munkar. Namun semua itu tidak banyak merubah penetrasi Barat di negeri mereka. Sebagian darinya terbatas dengan teritorial negeri mereka, yang lain sebatas penyadaran spirit Islami dan yang lain lagi hanya merubah kedewasaan berpikir saja. Dunia Islam secara umum dirundung rasa frustasi. Harapan untuk bangkit menampakkan identitas diri makin jauh dan kabur.
Di tengah kelesuan dan pudarnya harapan, dunia Islam dikejutkan dengan revolusi Islam Iran pada tahun 1979, yang secara radikal dan total merubah tatanan politik Iran, dalam maupun luar negeri Iran. Dominasi Barat (baca: Amerika) yang begitu kuat hilang serta merta tanpa bekas sama sekali. Sistem pemerintahan Pahlevi yang monarkis tumbang. Imam Khomeini ra. dengan revolusi yang spektakuler ingin menyatakan kepada dunia bahwa Iran yang Islami bisa hidup tanpa bersandar pada dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet (laa syarqiyyah laa gharbiyyah). Dia menganggap Amerika Serikat sebagai si Setan Akbar, yang rakus dalam menguasai dunia dengan cara-cara yang licik dari jahat. Yang lebih menarik adalah sistem pemerintahan Iran sangat unik bagi Barat dan kebanyakan politisi dunia. Sistem pemerintahan wilayatul faqih tidak ada dalam kamus politik mereka. Jadi, Imam Khomeini benar-benar merubah sebuah pemerintahan yang tadinya sangat tergantung pada Barat, menjadi sebuah pemerintahan yang secara total lepas dari Barat. Hal itu memberikan wacana baru bagi dunia Islam, dan bahwa di dunia yang mungkin ini tidak ada yang tidak mungkin. Bagi kebanyakan manusia, termasuk di negeri kita juga, bahwa tidak mungkin sebuah bangsa berkembang dan maju tanpa mendekati Barat. Ternyata itu hanya perasaan bangsa yang inferior dan rendah diri. Imam Khomeini ingin menyatakan bahwa kemajuan sebuah negera tergantung kepada Barat itu hanya sekedar mitos yang mengada-ada, dan beliau ingin menghancurkan mitos tersebut. Beliau berkali-kali mengatakan ingin menegakkan Islam Muhammadi yang orisinil. Islam yang belum terkontaminasi dan terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran yang membuat Islam kerdil dan tidak relevan dengan dunia modern.
Imam Khomeini ra., sebagai Man of The Year pada tahun 1979, berhasil menumbangkan boneka Amerika, Syah Reza Pahlevi, dan memotong tangan Amerika. Orangpun memujinya dengan menyebutnya sebagai seorang politikus ulung, seorang ulama fakih, seorang filosof dan seorang a’rif (baca: sufi).
Lantas apa yang melatar belakangi keberhasilan Imam Khomeini ra.?
Beliau berhasil menumbangkan rezim yang zalim dan menegakkan pemerintahan Islam bukan karena dia seorang politikus, karena banyak politikus lain yang lebih hebat darinya. Juga bukan karena beliau seorang ulama fakih karena banyak ulama yang barangkali lebih afqah darinya. Juga bukan karena dia seorang filosof dan a’rif, karena banyak filosof dan a’rif tetapi tidak seperti beliau.
Imam Khomeini ra. adalah, seperti yang sering dia katakan olehnya sendiri, hanya seorang santri kecil yang melaksanakan taklif-nya terhadap Allah Swt. B.eliau dalam menjalankan kehidupannya tidak punya cita-cita dan program yang muluk dan shofisticated. Beliau hanya menjalankan perintah Allah Swt. sebaik mungkin dan itu, menurutnya, sebuah keberhasilan. Adapun beliau telah berhasil menegakkan pemerintahan Islam, itu hanya karunia Allah Swt. semata. Beliau tidak pernah mengatakan atau beranggapan, bahwa revolusi Islam berhasil karena usahanya semata. Keberhasilan beliau terletak pada penyerahan dirinya secara total kepada Allah Swt. Sahabat dekatnya dan juga seorang ulama fakih besar, Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir Shadr, yang mati syahid, beberapa bulan setelah revolusi Islam di Iran dibunuh oleh rezim Ba’ath di Iraq, pernah memerintahkan kepada para pengikutnya, “Meleburlah kalian di dalam Khomeini sebagaimana dia telah melebur di dalam Islam”.
Keberhasilan dalam pandangan Islam bukan ditilik dari sejauh mana seseorang telah menarik massa yang banyak, membangun sekolah, menduduki pemerintahan dan meraih materi, walaupun memperoleh semacam itu tidak selalu tercela. Karena andaikan itu yang dijadikan sebagai ukuran, maka perjuangan para nabi dan rasul terdahulu dianggap tidak berhasil. Dan Adolf Hitler, Stalin, Lenin dan yang lain berhasil dalam menegakkan pemerintahan dan menarik massa. Keberhasilan dalam pandangan Islam dilihat dari sisi sejauh mana seseorang mengabdikan dan menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. Dan itulah tugas manusia. Imam ‘Ali as. disaat kepala sucinya ditebas secara spontanitas berkata, “Demi Tuhannya Ka’bah, aku sungguh telah beruntung”. Mati syahid di atas kebenaran merupakan keberuntungan dan keberhasilan.
Para nabi, rasul, imam dan orang saleh hanya melihat Allah Swt. sebagai target dan tujuan. Mereka terilhami wahyu Ilabi yang berbunyi“Sesungguhnya kepada Tuhanmu perjalanan berujung”.
(QS. an-Najm, 53: 42), dan ayat yang lainnya. Keberhasilan dalam bidang materi tidak begitu berarti bagi mereka, dan kegagalan di dalam bidang yang sama juga tidak membuat mereka kecewa. Karena materi tidak lain dari esensi itu sendiri (al-Mahiyyah) yang, dengan meminjam istilah filsafat Transendental (al-Hikmah Muta’aliyah)-nya Mulla Sadra ra., ada dan tidak ada baginya sama” (Iihat, Bidayah al-Hikmah, Allamah Thaba’thabai ra.). Yang mereka cari adalah haqiqat sebagai haqiqat. Keterkaitan mereka dengan materi hanya karena mereka diciptakan di alam materi an sich. Hubungan mereka dengan alam materi sebatas hubungan bagian wujud mereka yang materil. Sedangkan bagian yang non materi tidak bersentuhan dengan materi. Tentang mereka, Imam ‘Ali as. berkata, “Jasad mereka berada di alam dunia, tetapi ruh mereka bergelantungan di tempat yang sangat tinggi”. (al-Hikamah 143, Syarah Nahj al-Balaqhah).
Perjalanan menuju Allah Swt, sebagaimana Imam Khomeini ra. lakukan, merupakan taklif setiap manusia. Amat sangat indah, filosof Ilahi Muhammad Shadruddin al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Sadra dalam karya monumentalnya, al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al Asfaar al Aqliyyah al Arba’ah, menjabarkan perjalananmenuju Allah Swt. dalam empat tahapan. Beliau dalam kata pengantarnya mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya para pesuluk dari kalangan ‘urafa dan auliya’ mempunyai empat perjalanan: pertama, perjalanan dari makhluk menuju al-Haq. Kedua, perjalanan dengan al-Haq di dalam al-Haq. Ketiga, kebalikan dari yang pertama, perjalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-Haq, dan keempat, kebalikan dari yang kedua, perjalanan dengan al-Haq di tengah makhluk”.
Yang dilakukan Imam Khomeini ra. hanya berjalan dan bergerak menuju Allah Swt.dan yang menjadi fokus perhatian beliau adalah perjalanan akal dan ruh, bukan materi, kekuasaan dan popularitas. Untuk mencari materi, kekuasaan dan popularitas tidak diperlukan menempuh perjalanan spiritual. Beliau tidak ingin materi, karena sampai akhir hayatnya pun beliau tidak meninggalkan kekayaan kecuali beberapa jilid buku, karpet yang kusam dan beberapa helai pakaian. Menjadi wali faqih pun bukan karena ambisi kekuasaan, melainkan karena panggilan tanggung jawab dan tugas di hadapan Allah Swt. Seperti halnya Nabi Yusuf as.:“Jadikanlah aku menguasai kekayaan-kekayaan bumi. Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”.
(QS. Yusuf, 12: 55)
Menurut Ayatullah Jawadi Amuli, seperti yang dikutip oleh Sayyid Kamal al-Haydari dalam kuliah filsafat dan kalamnya di Qum, bahwa Imam Khomeini dalam perjalanan spiritualnya telah sampai di tahapan yang ketiga. Penilaian tersebut, tentu, berlaku bagi orang yang sekelas Imam Khomeini atau orang yang punya kompetensi di bidang ‘irfan.
Sekapur sirih ini tidak ingin lebih jauh menjelaskan tentang Imam Khomeini ra., karena beliau adalah cahaya. Cahaya (nur) itu jelas dengan dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Untuk mengetahui cahaya hanya diperlukan membuka mata. Karya-karya tulisnya, muri,d-muridnya dan revolusi yang beliau pimpin adalah kredit point yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, beliau besar bukan karena orang-orang yang membesarkannya, dan beliaupun tidak merasa besar dengan itu. Beliau besar dengan Sang Maha Besar. Beliau besar karena pengabdiannya kepada Sumber Kebesaran.
Bandung, 5 Shafar 1421 H/9 Mei 2000 M
Wassalam,
Husein Alkaff