• Mulai
  • Sebelumnya
  • 8 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 16074 / Download: 554
Ukuran Ukuran Ukuran
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

pengarang:
Indonesia
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait



Diterjemahkan dari buku:
Shiism
Imamat & Wilayah
Karya: Sayid Muhammad Rizvi
Penerjemah: A. Kamil
Penyunting: Hasbi al-Ghifari

Cetakan I 2007
Diterbitkan oleh
Yayasan Ashr azh-Zhuhur
Kuwait

1
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

Daftar Isi
Bagian Pertama
I. Asal-usul Syiah : Faktor Politik atau Agama?
1. Pengantar -
2. Masa Permulaan Islam
3. Asal-usul Syiah
4. Nama Syiah

Bagian Kedua
II. Sensor Diri dalam Sejarah Islam: Sebuah Studi Kasus atas Da'wat dzu'l Asyira
1. Pengantar
2. Dakwah Pertama kepada Islam
3. Ibnuu Hisyam & Da'wat
4. Sensor Diri (self-censorship) oleh at-Tabari
5. Sensor Diri di Abad Kiwari
6. Isnad "Da'wat dzu'l Asyira"
7. Kesimpulan

Bagian Ketiga
III. Ghadir Khum & Kaum Orientalis
1. Pengantar
2. Kajian Syiah dan Kaum Orientalis
3. Ghadir Khum: Dari Kelalaian kepada Pengakuan
4. Syaban dan Penafsiran Barunya
5. Arti istilah " Mawla "
4. Kesimpulan

Bagian Keempat
IV. Pengangkatan Ali: Jelas atau Samar
1. Pengantar

2. Tersurat vs Tersirat (eksplisit vs implisit)
3. Penunjukan Eksplisit Pertama
4. Abu Sufyan Mengerti, Yang Lain Tidak?
5. Mengapa Ali tidak menggunakan Dalil-dalil ini?
6. Apakah Ali Menggunakan Dalil-dalil Ini?

Bagian Kelima
V. Konsep Ahlul Bait: Islami atawa Kesukuan?
1. Definisi Ahlulbait
2. Siapakah "Ahlulbait" itu?
3. Ahlulbait" Bukan Sebuah Konsep Kesukuan

Bagian Keenam
VI. Wilâyah & Cakupannya
1. Apa Wilâyah itu?
2. Wilâyah Universal
3. Wilâyah: Spritual vs Politik
a. "Hanya Wilâyah Spiritual, bukan Politik
b. "Politik Juga"
4. Peran Para Imam di mata Ulama Najaf & Qum
5. Wilâyah dan Aqidah?
6. Koreksi Akhir

Bagian Ketujuh
VII. Ilmu Pengetahuan Ahlulbait As
1. Pengantar
2. Al-Qur'an dan 'Ilmul Ghaib
3. 'Ilmul Ghaib Para Nabi
4. 'Ilmul Ghaib Para Imam
5. 'Ilmu Ghaib dan Kehidupan Pribadi
6. Konsep "al-Qur'ân an-Nâtiq"
Kesimpulan
Daftar Pustaka

2
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

Sekapur Sirih dari Penulis
Dengan Nama Allah Yang
Mahakasih dan Mahasayang
Shalawat dan Salam tercurah ke atas Junjungan Kita
Nabi Muhammad Saw berserta Keluarganya yang Suci
Allahummah Shalli 'Ala Muhammad wa Ali Muhammad

Risalah yang ada di hadapan Anda ini berkenaan dengan beberapa masalah-masalah penting ajaran Syiah. Kendati seluruh bagian yang ada tidak ditulis pada saat yang sama, namun seluruh bagian tersebut berkaitan satu dengan yang lain dan bertalian dengan tema imamah dan wilayah para Imam Ahlulbait As. Bagian kedua ditulis pada tahun 1998, bagian ketiga pada tahun 1990, bagian keempat tahun 1997, sementara bagian pertama dan tiga bagian terakhir ditulis pada tahun 1999. Selagi melakukan revisi pada bagian ketiga, saya menambahkan masalah "Arti dari Mawla" sehingga melengkapi pembahasan kita tentang Ghadir Khumm.
Diharapkan kepada pembaca dapat meraih beberapa masukan dan cakrawala baru tentang pokok-pokok pemikiran Syiah yaitu masalah paling fundamental yang telah didefinisikan keberadaannya pada masa lalu sebagaimana masa sekarang. Buku ini juga mencerminkan beberapa isu yang telah didiskusikan beberapa bagiannya oleh komunitas Syiah yang berdomisili di Amerika Utara. Diskusi dan debat semacam itu, setidaknya, menyediakan peluang untuk kajian lebih lanjut dan menjelaskan keyakinan utama Syiah.
Semoga Allah Subhana wa Ta'ala, menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk membuka mata hati kita
terhadap bimbingan-Nya, dan semoga Dia mengangkat hijab arogansi intelektual dan solidaritas kesukuan dari hati dan jiwa kita tatkala melihat kebenaran. Amin

Wa ma taufiq illa bilLâh.

Toronto

Sayid Muhammad Rizvi
12 Rabiuts Tsani 1420 H/26 Juli 1999



BAGIAN PERTAMA

I. Asal-usul Syiah : Faktor Politik atau Agama?

1. Pengantar
Dalam tulisan-tulisan polemis mazhab Sunni, ditegaskan bahwa Islam Sunni merupakan Islam Asli (ortodox) " sementara Syiah adalah suatu "Firqah Bid'ah" yang bertujuan untuk menyelewengkan Islam dari dalam. Pendapat ini kadang-kadang disuarakan dengan mengatakan bahwa Syiah bermula sebagai sebuah gerakan politik yang kemudian mengerucut menjadi gerakan keagamaan.
Sikap anti-Syiah ini tidak terbatas hanya pada penulis-penulis beberapa abad lampau, namun juga beberapa penulis Sunni pada abad kiwari cenderung memiliki pandangan yang serupa. Orang-orang seperti Abul Hasan Nadwi, Manzur Ahmad Nu'mani (keduanya berasal dari India), Ihsan Ilahi Zahir (Pakistan), Muhibbuddin al-Khatib dan Musa Jar Allah (keduanya dari Timur-Tengah) termasuk orang-orang yang mewakili abad kontemporer sebagai orang-orang yang anti-Syiah. Tidak terbatas dalam lingkaran alumnus hawzah saja dan tidak bersentuhan secara langsung dengan so-called tokoh-tokoh akademis dunia. Orang-orang anti Syiah, seperti Ahmad Amin (Mesir) dan Fazlur Rahman (Pakistan) termasuk dalam kategori ini.
Sebagai contoh, Ahmad Amin menulis :
"Yang benar adalah Syiah merupakan sebuah pengembaraan yang orang-orangnya bermaksud ingin merusak Islam dari dalam dengan dasar permusuhan dan kecemburuan. Oleh karena itu, ajaran yang ingin diperkenalkan adalah Islam yang bermuatan ajaran nenek-moyang Yahudi, Nasrani atau Zoroaster, sehingga mereka dapat mencapai tujuan kejinya di bawah naungan ajaran kepercayaan ini.
Dalam mencermati kasus Fazlur Rahman, kasusnya memang menarik. Setelah menyelesaikan pelajarannya dari Universities of Punjab dan Oxford, dan mengajar di Universities of Durham dan McGill, ia bekerja sebagai direktur Institut Pusat Penelitian Islam di Pakistan hingga tahun 1968. Dan ia harus kehilangan jabatannya sebagai akibat dari sikap kontroversialnya dalam memandang dan menafsirkan al-Qur'an. Kemudian, ia hijrah ke Amerika dan menjadi profesor kajian-kajian keislaman di Universities of Chicago. Dalam bukunya yang masyhur, Islam, digunakan sebagai textbook bagi para mahasiswa di berbagai universitas Barat, Dr. Fazlur Rahman mempersembahkan penafsirannya tentang asal-usul Syiah sebagai berikut:
"Setelah pembunuhan Ali, Syiah (partai) Ali di Kufah menuntut kedudukan khalifah dikembalikan kepada keluarga khalifah yang malang itu. Klaim legitimis ini disuarakan demi membela keturunan Ali merupakan awal dari doktrin politik Syiah.
"Legitimisme ini, adalah sebuah doktrin yang menegaskan bahwa kepemimpinan umat secara sah berada di pundak Ali dan keturunannya. Doktrin ini adalah tonggak asal-usul Syiah Arab yang murni merupakan gerakan politik."
"Lalu, kita melihat Syiah telah menjadi -pada permulaan sejarah Islam- sebuah kedok untuk berbagai kekuatan sosial dan sikap ketidakpuasan politik. Namun dengan adanya pergantian (shift) dari tangan orang Arab kepada mereka yang non-Arab ('Ajam), motivasi asli gerakan politik ini dibangun menjadi firqah agama dengan dogmanya sebagai dalil teologi. Atas alasan ini, terukir keyakinan-keyakinan timur tentang cahaya Ilahi dan metafisika baru dibuat untuk keyakinan ini dan dibekali dengan gagasan-gagasan 'Irfan Neo-Platonic Nasrani.
Lebih jauh, ia berkomentar: "Gagasan ini membawa pada pembentukan firqah-firqah rahasia, dan Syiah disajikan untuk tujuan pendaulatan politik, sehingga di bawah jubahnya, orang-orang yang terlantar secara spirtual ini memulai memperkenalkan gagasan usang mereka kepada Islam.
Dengan nada yang kurang-lebih hampir sama dengan yang di atas, penulis temukan sangat sukar untuk dipahami betapa seorang cendekiawan, berlatar belakang Syiah, dapat menggemakan gagasan yang sedikit mirip ihwal asal-usul Syiah yang ditulis oleh orang-orang anti-Syiah, ia menulis :
"Kebanyakan pembahasan-pembahasan awal ihwal imâmah dipandang dari sudut pandang politik, namun pada akhirnya debat mencakup muatan-muatan implikasi-implikasi agama sebagai penyelamatan. Memang benar bahwa hal ini adalah seluruh konsep-konsep Islam, lantaran Islam sebagai sebuah fenomena keberagamaan adalah akibat dari Islam sebagai sebuah realitas politik."
"Sejak hari-hari permulaan perang sipil pada tahun 656 M beberapa orang muslim tidak hanya berpikir tentang kepemimpinan dalam istilah politik, namun juga memberikan penjelasan bahwa agama menekankan tentang kepemimpinan."
Berdasarkan pada dukungan orang-orang Syiah Kufah yang mengklaim bahwa kepemimpinan berada di pundak Ali, seorang penulis menuliskan:
"Dukungan atas kepemimpinan Ali, setidaknya pada awalnya, tidak bermuatan agama. Klaim kepemimpinan Ali menjadi sebuah keyakinan berlebihan yang dilontarkan dalam istilah-istilah ketaqwaan dari sunnah yang dinisbatkan kepada Nabi, dan secara perlahan menjadi bagian doktrin Kardinal Imamah, poros yang diatasnya seluruh keyakinan Syiah berputar."
Setelah menjelaskan kegagalan dan kesyahidan beberapa paderi agama yang bangkit melawan penguasa, ia menulis:
"Pergerakan mereka ini menandakan permulaan perkembangan sebuah penekanan agama ihwal peran kepemimpinan Ali."


2. Masa Permulaan Islam
Sunni, sebagaimana juga Syiah, meyakini bahwa Islam merupakan agama yang ajaran-ajaranya tidak hanya terbatas pada wilâyah ruhani kehidupan manusia semata, namun juga meliputi aspek politik kemasyarakatan. Termasuk tujuan-tujuan ideal politik dalam Islam tidak berarti bahwa Islam memulai atau merupakan sebuah pergerakan politik. Tengok kehidupan Nabi Muhammad Saw. Misi Rasul bermula di Mekah. Pada masa pra-hijrah, tidak ada program Rasulullah Saw yang menunjukkan program-program pergerakan politik. Program perdana Rasulullah Saw pada masa pra-hijrah ini adalah sebuah pergerakan keagamaan.
Hanya setelah hijrah, ketika mayoritas penduduk Madinah menerima Islam, kesempatan untuk melaksanakan aturan sosial Islam terbuka dan Rasulullah Saw juga mengemban jabatan sebagai pemimpin politik. Beliau menandatangani sejumlah perjanjian dengan suku-suku yang lain, mengutus duta-duta kepada para raja dan kaisar, membentuk angkatan bersenjata sekaligus memimpinnya, duduk sebagai hakim, melantik gubernur, deputi-deputi, para pemimpin, dan mengangkat hakim serta mengumpulkan dan membagikan pajak. Namun demikian, Islam pada masa awal adalah sebuah pergerakan keagamaan yang kemudian juga melingkupi aspek-aspek politik. Sehingga perkataan "Islam adalah sebuah fenomena keberagamaan sebagai akibat dari Islam sebagai sebuah realitas politik" secara historis adalah perkataan yang tidak benar.


3. Asal-usul Syiah
Asal-usul Syiah tidak terlepas dari asal-usul Islam. Karena Nabi sendiri yang menuai tanamannya dengan memproklamasikan wishaya (pelaksanaan wasiat) dan khilafat (khalifah) Ali bin Abi Thalib As pada masa dakwah terbuka yang beliau lakukan di Mekah.
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat ." (Qs. Asy-Syu'arâ [26]:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai "Da'wat dzu 'l Asyira ". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabat beliau dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka ihwal Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia bersabda kepada mereka: "Wahai Bani 'Abdul Mutthalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian baik di dunia maupun di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (washiyyi) dan khalifah sepeninggalku?"
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; ia juga menggunakan kalimat: "akhi wa wasiyyi wa khalifati " - saudaraku, penggantiku, khalifahku " dengan alasan ialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi serta mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Aku bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di balik leher Ali dan berkata: "Inna hadza akhii wa washiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa athi'u - sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian; dengarkan dan taatilah dia."
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali yang sangat jelas itu. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan berseloroh, dan kepada Abu Talib ia berkata bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
Setelah itu, Nabi Saw di berbagai tempat menekankan masalah kecintaan terhadap Ahlulbaitnya, meminta bimbingan dari mereka, dan menarik perhatian umat kepada status khusus yang mereka miliki di hadapan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Akhirnya, dua bulan berselang sebelum wafatnya, Rasulullah Saw secara jelas menunjuk Ali di Ghadir Khum sebagai pemimpin kaum muslimin (pemimpin agama sekaligus pemimpin politik). Nabi berkata: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya." Ia juga berkata: "Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang berharga (tsaqalain), dan selama engkau berpegang teguh kepadanya niscaya engkau tidak akan sesat selamanya yaitu Kitâbullâh dan Itrahti (al-Qur'an dan Ahlulbaitku)."
Peristiwa agung ini telah banyak menjadi bahan diskusi dan tulisan hingga saat ini. Para pembaca dapat merujuk kepada karya-karya tulis berbahasa Inggris di bawah ini :
" A study on the question of al-Wilâyah oleh Sayyid Muhammad Baqir ash-Shadr, diterjemahkan oleh Dr. P.Haseltine. (Risalah ini pertama kali diterjemahkan di India dengan judul "Shiism: The Natural Product of Islam").
" The Origin of Shia and its Principles oleh Muhammad Husain Kasyful Ghitâ.
" Imamate : The Vigerence of the Prophet oleh Sayyid Said Akhtar Rizvi.
" Origins and Early Depelovment of Shia Islam oleh S.Hussain M.Jafri.
" The Right Path oleh Syed Abdulhussein Syarafuddin al-Musawi.
" The Meaning & Origin of Shi'ism oleh Sayyid Saeed Akhtar Rizvi dalam Right Path, jilid. 1 (Jan-Mar 1993) #3.

Setiap orang yang membaca karya tulis ini akan melihat bahwa awal kedatangan Islam dan Syiah adalah bersamaan. Dan sebagaimana Islam, Syiah merupakan sebuah pergerakan keagamaan yang juga meliputi aspek sosial dan politik. Dr.Jafri menuliskan: "Ketika kita menganalisa relasi kemungkinan perbedaan antara keyakinan-keyakinan agama dan konstitusi politik dalam Islam diemban oleh satu sama lainnya, kita temukan klaim dan trend doktrinal pendukung Ali lebih cenderung mengarah kepada aspek agama ketimbang aspek politik, dengan demikian kelihatan paradoks bahwa partai (syiah) yang mengklaim berdasarkan kepada kepemimpinan dalam bidang spiritual dan agamis, sebagaimana kita akan uji secara lebih jeluk nantinya, seyogyanya diberikan label sebagai gerakan politik sejak semula.
Memang tidak dapat dibayangkan bahwa sahabat-sahabat utama Nabi Saw seperti Salman al-Farsi dan Abu Dzar berpikir bahwa Ali terutama adalah sebagai seorang pemimpin politik, dan kemudian berfikir lagi bahwa Ali juga adalah pemimpin agama.
Dalam karya akademisnya, Islamic Messianism, cendikiawan ini menghitung perang sipil sebagai permulaan dari "Keberagamaan Syiah": "Sejak permulaan perang sipil yang berkecamuk pada tahun 656 M, beberapa orang di antara kaum muslimin tidak hanya berpikir ihwal kepemimpinan dalam istilah politik, tetapi bahkan memberikan tekanan agama di dalamnya." Namun dalam artikelnya yang dipersembahkan dalam sebuah pertemuan publik dan diterbitkan oleh salah satu markaz Islam, ia menempatkan permulaan Syiah sejak pada masa Ghadir Khum. Ia menulis "Proklamasi Nabi dalam peristiwa itu memunculkan ketegangan antara kepemimpinan ideal yang dipromosikan oleh Nabi melalui wilâyah Ali bin Abi Thalib dan fakta yang dipicu oleh kekuatan manusia untuk memberangus tujuan Allah Swt di muka bumi."
Dikotomi antara "Akademisi" dan "Mukmin " memang sangat mengganggu. Semoga Allah Yang Maha Kuasa menganugerahkan seluruh pekerja iman keyakinan untuk bersiteguh atas keyakinan mereka pada seluruh pertemuan, baik dari dalam maupun dari luar (fis sirri wa l-ala'niyya).


4. Nama Syiah
Seorang penganut ajaran Islam disebut sebagai Muslim namun meyakini Imam Ali sebagai pengganti dan khalifah Rasulullah Saw dikenal sebagai Syiah. Istilah Syiah ini merupakan singkatan dari Syiatu Ali شعة علي- - pengikut Ali."
Kaum Muslimin merasa bangga karena berafiliasi dengan Nabi Ibrahim dan memang dibenarkan demikian. Demikian juga dikenal di kalangan kaum Muslimin bahwa Nabi Ibrahim juga diberi nama oleh Allah Swt dengan nama "Muslim" sebagaimana firman Allah Swt :

ماكان ابراهيم يهود يا ولانصر ا نيا ولكن
كا ن حنيفامسلما وما كا ن من المشر كين
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang yang musyrik. " (Qs. Ali 'Imran [3]:67)

Apa yang luput dari perhatian umat adalah Allah Swt memberikan nama Ibrahim juga dengan nama Syiah. Tentu saja bukan Syiahnya Ali tapi Syiahnya Nuh. Allah Swt berfirman: "Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam" .... "Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya Nuh "(Qs. Ash-Shaffaat:79 &83)
Jadi mereka yang memanggil dirinya sebagai Muslim dan Syiah sebenarnya mengikuti sunnah yang dititahkan Allah Swt dan dipanggil sebagai "pengikut" orang beriman tepat sebagaimana Nabi Ibrahim yang dijelaskan sebagai pengikutnya Nabi Nuh As.[]



BAGIAN KEDUA

II. Sensor Diri dalam Sejarah Islam: Sebuah Studi Kasus atas Da'wat dzu'l Asyira

1. Pengantar
Kebanyakan pelajar dalam bidang sejarah Islam memulai dengan asumsi bahwa jika sebuah peristiwa atau sebuah perkataan tidak dinukilkan dalam kitab-kitab sumber awal sejarah kaum Muslimin atau hadis seperti as-Sirah an-Nabawiyah-nya Ibnuu Hisyam atau Sahih al-Bukhari, maka keberadaan hadis atau suatu peristiwa pada kitab lainnya niscaya terjadi sebuah pemalsuan sehingga tidak dapat diandalkan kebenarannya. Mereka cenderung mengabaikan bias (keberpihakan) dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sejarawan itu, mungkin karena aturan penguasa atau juga karena kecendrungan pribadi mereka. Bias-bias ini tidak hanya relevan dalam memalsukan sosok mistikal, peristiwa dan perkataan, tetapi ia juga selaras dalam mengabaikan dan dengan diam-diam melewatkan begitu saja cerita-cerita atau tokoh-tokoh sejarah tertentu.
Tulisan ini bermaksud untuk menguji metode para sejarawan muslim yang berhubungan dengan dakwah pertama kepada Islam yang lebih dikenal sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira ."


2. Dakwah Pertama kepada Islam
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kedatangan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (Qs.Asy-Syu'araa [26]:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira ". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabat beliau dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamu beliau dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah sekian lama menyihir anda ". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesan beliau.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya, Setelah perjamuan, beliau bersabda kepada mereka: " Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; beliau juga menggunakan kalimat: " akhi wa wasiyyi wa khalifati " - saudaraku, penggantiku, khalifahku " dengan alasan, ialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi, mereka semuanya mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Aku akan bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di pundak Ali dan berkata: " Innâ hadzâ akhii wa wasiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa athi'u - sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian, dengarkan dan taatilah ia."
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena para hadirin memahami penunjukkan Ali ini dengan sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda kepada Abu Thalib ia berkata bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).


3. Ibnu Hisyam dan Da'wat
Satu pertanyaan yang mengemuka dalam hubungannya dengan masalah ini, mengapa Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 213 H) tidak menyebutkan peristiwa ini dalam kitabnya, as-Sirah an-Nabawiyyah? Padahal ia adalah sejarawan pertama.
Apa yang dikenal sebagai Sirah-nya Ibnuu Hisyam sebenarnya adalah ringkasan kitab Muhammad Ibnu Ishaq (lahir tahun 85 Setelah Hijriah di Madinah dan wafat 151 Setelah Hijrah di Baghdad). Kitab Târikh Ibnu Ishaq merupakan kitab yang masih utuh, lengkap belum diringkas. Dan kitab ini tidak dapat dijumpai lagi. Jadi pertanyaan yang kini harus dirumuskan kembali adalah: "Apakah Ibnu Ishaq tidak menyebutkan peristiwa ini di dalam kitabnya?"
Pertimbangan-pertimbangan politik yang mempengaruhi Ibnu Hisyam dalam menghilangkan beberapa peristiwa tertentu dan menjaga yang lainnya jelas sesuai dengan komentarnya sendiri. Selagi menyusun daftar bagian-bagian yang telah ia hilangkan, Ibnuu Hisyam menulis: "Hal-hal yang tidak perlu untuk didiskusikan, perkara yang akan merusak pikiran kebanyakan orang, hal-hal ini yang telah aku hilangkan". Penyunting kitab Sirah Ibnu Hisyam pada tahun 1955 edisi Mesir dalam kitab itu menulis bahwa Ibnu Ishaq mengutip peristiwa-peristiwa yang menggerahkan penguasa Abbasiyah "seperti keikutsertaan al-Abbas dalam jajaran pasukan kafir ketika perang Badar dan tertawannya ia oleh pasukan Muslim - cerita yang kemudian dihilangkan oleh Ibnu Hisyam karena takut terhadap penguasa Abbasiyah.
Dan puja-pujian terhadap Imam Ali bin Abi Thâlib, khususnya dalam hadits dar, adalah salah satu bagian yang dihilangkan oleh Ibnu Hisyam dalam membuat ringkasan Sirah-nya Ibnuu Ishaq. Hadis dar adalah ihwal peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira sebagaimana telah disebutkan di atas.
Pada kenyataannya, dapat disaksikan Ibnu Ishaq menukilkan peristiwa ini dari Ibnuu Ishaq, melalui sumber-sumber lain selain Ibnu Hisyam. Misalnya, at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah) menukilkan peristiwa yang dimaksud dari Ibnu Ishaq. Syaikh Abu Ja'far Tusi (wafat 460 setelah Hijrah) juga menceritakan perisitwa yang dimaksudkan di atas melalui dua sanad yang berbeda : keduanya adalah melalui sanad dari Ibnu Ishaq melalui at-Tabari.


Mata Rantai Periwayat Hadis Da'wat du 'l Asyira

Oleh at-Tabari & at-Tusi
Ali

'Abdullah bin 'Abbas

Abdullah bin Harits bin Naufal

Al-Minhal bin 'Umar

'Abdul Ghaffar bin al-Qasim--------Sulaiman al-Amasy

Muhammad bin Ishaq------------Salma bin Salim al-Ju'fi

Salma bin al-Fadhl-------------Muhammad al-Jurura'i

Muhammad bin Humaid-----------Muhammad al-Baghandi

At-Tabari

Abul Mufadhdhal

Sekolompok

At-Thusi


Tabel ini menunjukkan secara jelas bahwa apa yang telah dikenali sebagai paling awal dan sejarah paling sahih tidak terlepas dari bias dalam mengabaikan beberapa peristiwa tertentu dan menukilkan orang-orang.
Ibnu Ishaq sendiri dikecam karena memiliki kecenderungan terhadap Syiah. Jika hal ini ada benarnya, maka boleh jadi pertimbangan Ibnu Hisyam dalam menghapus peristiwa tersebut karena alasan Syiah ini. Betapapun, al-Khatib al-Baghdadi dalam Târikh Baghdâd-nya dan Ibnu Sayyidi ' N Nas dalam 'Uyunul Athâr, keduanya adalah tokoh sejarah Sunni, telah membuat pembelaan terhadap Ibnu Ishaq. Mereka membela Ibnu Ishaq atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya sebagai orang yang memiliki kecenderungan terhadap Syiah.


4. Sensor Diri (self-censorship) oleh at-Tabari
Kasus Muhammad bin Jarir at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah) merupakan kasus yang lebih menarik lagi. Peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira diberikan di atas berdasarkan kepada versi karya monumental Tabari: "Târikhul Umam wal Muluk. " At-Tabari juga mengarang sebuah kitab tafsir Qur'an yang terkenal: "Jâmiul Bayân Ta'wil ?yatul Qur'ân". Yang menarik adalah membandingkan antara Târikh Tabari dan tafsir Qur'annya sehubungan dengan pembahasan utama kita.

Tarikh Tabari, jilid 3 (1879 edisi) hal. 1173
Dalam Târikh-nya, at-Tabari mengutip kalimat-kalimat yang digunakan oleh Nabi Saw kepada Ali dalam perjamuan itu secara keseluruhan,
"Akhi wa wasiyyi wa khalifati: saudaraku, penggantiku, khalifaku.
Namun di dalam at-Ta'wil-nya (jilid.19, hal. 74) dalam mendiskusikan ayat yang berhubungan dengan Nabi yang diperintahkan untuk mengajak mereka kepada Islam, at-Tabari menggunakan sensor diri dan telah menyembunyikan fakta yang jelas dan terang (eksplisit) dari perkataan Nabi Saw dengan menulisnya sebagai berikut :
"Akhi wa kadza wa kadza (saudaraku, demikian dan demikian)."
Ibnu Katsir, seorang ulama terkemuka dari Damaskus, pengarang kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah (jilid.3, hal.40), telah menggunakan Târikh Tabari sebagai sumber rujukannya. Namun ketika ia tiba pada peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira, ia meninggalkan Târikh Tabari dan menggunakan versi yang telah diramu dan diubah Jâmiul Bayan! Hal ini tidaklah mengherankan kita, mengingat bahwa Ibnu Katsir dikenal sebagai orang yang memiliki sikap anti-Syiah.


5. Sensor Diri di Abad Kiwari
Seorang penulis kiwari (modern) dari Mesir, Dr. Muhammad Husain Haikal, menulis sebuah buku ternama tentang riwayat hidup Nabi Saw. Buku ini dikenal sebagai Hayat Muhammad. Haikal pertama kali menerbitkan Hayat Muhammad ini dalam tulisan mingguannya as-Siyâsa. Peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira diterbitkan dalam suplemen # 2751 (12 Dzul-Qaidah)hal. 5, kolom 2. Salah satu kritikannya, menulis sebuah surat yang mengkritisi tulisan Haikal, menudingnya menggunakan sumber-sumber Syiah yang bercerita tentang Imam Ali. Haikal menanggapi tudingan ini dalam suplemen keluaran # 2758, hal. 6, kolom 4. Dengan mengingkari bahwa ia tidak menggunakan sumber Syiah " karena seluruh hadis bercerita tentang peristiwa ini, perilaku Ali, dan mengutip hadis dari Shahih Muslim, Musnad Ahmad dan yang lainnya.
Haikal tetap bersiteguh melawan tekanan yang memintanya supaya perkataan Nabi ihwal Ali dihilangkan, ketika buku itu hampir selesai dicetak menjadi sebuah buku. Dalam edisi perdana Hayat Muhammad, Haikal menukil peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira sebagai berikut: "Ketika mereka selesai menyantap jamuan yang disediakan, ia (Nabi) berkata kepada mereka: "Aku tidak mengenal satu pun dari kalangan bangsa Arab yang lebih baik daripada apa yang aku bawa kepada kalian, Aku datang kepadamu dengan sesuatu yang terbaik di dunia dan di akhirat. Tuhanku telah memerintahkanku untuk mengajak kalian kepada-Nya.
"Jadi siapa di antara kalian yang bersedia menolongku dalam urusan ini, sehingga ia akan menjadi saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian?" Seluruh hadirin menjauh darinya dan bermaksud untuk meninggalkannya namun Ali berdiri meskipun ketika itu ia masih seorang belia yang belum mencapai masa baligh. Ali berkata: "Wahai Rasulullah, Aku bersedia menjadi penolongmu! Aku akan membantumu melawan siapa saja yang menentangmu. " Bani Hasyim tersenyum, beberapa di antara mereka ada yang tertawa, dan pandangan mereka layangkan ke Abu Talib hingga ke anaknya, lalu mereka meninggalkan tempat itu sambil mencemooh kejadian tadi."

Haikal Hayat Muhammad, edisi perdana, hal.104

Haikal telah mengutip kalimat-kalimat penting dalam perkataan pertama Rasulullah yang meminta bantuan, namun secara sengaja meninggalkan seluruh jawaban Rasulullah atas kesediaan Ali tersebut untuk membantunya!
Pada edisi kedua, Haikal nampaknya mendapat tekanan para puritan sehingga ia bahkan menghapus kata-kata penting Rasulullah Saw dan hanya menulis: "....Dia berkata kepada mereka, " Siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini? Seluruh hadirin menjauh darinya ....."

Hayat Muhammad, edisi kedua, hal.140.

Keadaan di atas menunjukkan secara jelas bahwa Haikal tidak merasa ragu tentang peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira namun ia kurang memiliki keberanian intelektual untuk bertahan pada kesimpulan logis dari temuan perdananya dalam kajiannya tentang sejarah.


6. Isnad "Da'wat dzu'l Asyira"
Pandangan musuh-musuh Syiah secara wajar berupaya menanyakan kredibilitas beberapa perawi hadis dari peristiwa masyhur ini.
Ibnu Taimiyyah, seorang ulama Sunni yang terkenal sebagai anti-Syiah, secara terang-terangan mengumumkan bahwa hadis ini termasuk hadis palsu. Ia telah menyerang kredibilitas Abdul Ghaffar bin al-Qasim yang dikenal sebagai Abu Maryam al-Kufi". Abu Maryam adalah sumber rujukan Ibnu Ishaq dalam menukil peristiwa Da'wat dzu 'l Asyira. Betapapun, dasar utama yang mempertanyakan kredibilitas Abu Maryam ini hanya karena hubungannya dengan Syiah. Namun, sebagaiamana setiap orang yang netral tahu, bahwa pandangan seperti yang dimiliki oleh Ibnu Taimiyyah tersebut tidak memiliki landasan yang memadai dalam menolak riwayat dari Abu Maryam. Para perawi hadis Syiah telah menghitungnya di antara perawi-perawi handal dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Imam Keempat, Kelima, Keenam Syiah."
Salma bin al-Fadhl (wafat 191), adalah murid utama Ibnuu Ishaq, ia juga dikenal dapat dipercaya dalam meriwayatkan riwayat hidup Nabi Saw dari gurunya. Salma dikutip dalam sebuah kitab dengan mengatakan: "Aku mendengar al-Maghazi dari Ibnu Ishaq sebanyak dua kali, " dan ia adalah seorang ulama ternama karena riwayat hadis darinya berasal dari Ibnu Ishâq.
Menurut Muta at-Tarabishi, riwayat dari Salma bin al-Fadl tentang sejarah alam diterima oleh semua kalangan. Ibnu Mu'in berkata "Salma bin al-Fadl al-Abrasy ar-Razi adalah seorang Syiah sebagaimana yang telah ditulis dan tidak ada cela dan aib dalam dirinya. Abu Zuhra berkata: "Penduduk Rey tidak menyenanginya karena keyakinannya yang "aneh" ( Syiah). Adh-Dzahabi menulis tentang Salma sebagai berikut: "Ia adalah orang yang istiqamah dalam salat dan penuh penghormatan kepada keyakinannya dan ia wafat pada tahun 191 Setelah Hijrah."
Syaikh Salim al-Bisyri telah mengemukakan pertanyaan ihwal mengapa Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis ini dalam Sahih mereka. Syarafuddin al-Musawi menanggapinya sebagai berikut :
"Hadis ini menyebabkan konflik pandangan dari dua syaikh, Bukhari dan Muslim, karena termasuk urusan kekhalifahan dan hal ini adalah alasan mengapa mereka tidak mencatatnya dalam Sahih mereka. Mereka juga secara cermat menghindari beberapa hadis-hadis asli yang disyaratkan Khalifah demi Amirul Mukminin....sehingga boleh jadi menjadi senjata di tangan orang-orang Syiah, dan mereka secara sengaja menyembunyikan kebenaran. Tidak hanya Bukhari dan Muslim yang masuk dalam kategori ini, tetapi juga beberapa syaikh yang lain (yang termasuk senior) dikalangan Ahli Sunnah yang mengikuti praktik syaikhain (Bukhari dan Muslim) ini. Mereka menyembunyikan segala sesuatu dan terkenal akan keyakinan mereka dalam menyembunyikan fakta (yang mengutamakan Ali dan Ahli Baytnya). Hafiz Ibnu Hajar telah menukil perkataan ini dalam Fathul Bari-nya:
"Siapa saja yang tahu akan perilaku Bukhari terhadap Amirul Mukminin dan anggota lain dari Ahlulbait juga tahu bahwa penanya juga secara tetap menghilangkan hadis-hadis jelas dari Rasulullah Saw dalam menjelaskan keutamaan Ahlulbait dan pena Bukhari keburu menjadi kering sebelum menukilkan kelebihan mereka, keunggulan sifat mereka, dan siapa pun tidak akan terkejut atas lompatan-lompatannya dalam meriwayatkan hadis tentang Ahlulbait dan hadis-hadis yang serupa. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari Allah, al'a'la wal Akbar."


7. Kesimpulan
Pandangan singkat ini seputar masalah Kendali Diri yang dipraktikkan oleh sejarawan masa-masa awal dan pengumpul hadis masa lampau membuktikan bahwa kealpaan sebuah peristiwa dalam sebuah kitab sejarah Islam masa awal yang terkenal dan hadis, tidak berarti bahwa peristiwa itu adalah hasil rekayasa Syiah yang menciptakan hadis itu atau tidak memandangnya sebagai suatu yang patut dipercaya. Seseorang harus lepas dari sekat-sekat palsu "masa awal " dan sejarah resmi dari masyarakat muslim dan juga mengkaji sumber-sumber "non-ortodoks" lainnya untuk dapat memahami secara utuh drama kehidupan yang terjadi di masa lampau dan tidak disingkap pada masa permulaan sejarah Islam.[]


3
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

BAGIAN KETIGA

III. Ghadir Khum & Kaum Orientalis

1. Pengantar
Pada tanggal 18 Dzul-Hijjah penganut ajaran Syiah seluruh dunia mengadakan acara akbar karena hari itu adalah hari Idul GhadirKhum, hari ketika Rasulullah Saw menyampaikan ihwal Ali kepada umat: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya." Peristiwa ini, karena sedemikian penting bagi orang-orang Syiah sehingga tidak seorang ulama Islam yang serius yang mengabaikan begitu saja perisitiwa ini. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji bagaimana para orientalis mengambil peristiwa Ghadir Khum ini. Dengan menggunakan istilah orientalis, penulis bermaksud ulama Islam barat dan juga mereka yang berasal dari Timur yang menerima pendidikan Islam mereka di bawah pendidikan orang-orang orientalis.
Sebelum melangkah lebih jauh, kami akan menceritakan secara singkat peristiwa Ghadir Khum ini. Narasi singkat ini -secara khusus- akan membantu mereka yang belum mengetahui peristiwa ini.
Selepas menunaikan ibadah haji yang terakhir (hajjatul wida'), Nabi Saw menerima perintah dari Allah Swt: "Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu; jika engkau tidak sampaikan, maka engkau tidak menyampaikan pesan-Nya sama sekali. Dan Allah akan melindungimu dari orang-orang yang kafir." (Qs. Al-Maidah [5]:67). Lalu Nabi Saw berhenti di suatu tempat yang bernama GhadirKhum pada tanggal 18 Dzulhijjah, tahun ke 10 setelah hijrah untuk menyampaikan pesan kepada para peziarah haji ketika itu, sebelum mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Pada satu tempat, beliau bertanya kepada mereka yang hadir ketika itu (pengikut beliau), Apakah ia (Muhammad), lebih memiliki otoritas (awla) atas orang-orang mukmin lebih atas diri mereka sendiri, orang-orang yang hadir ketika itu menjawab : " Benar, memang demikian adanya wahai Rasulullah". Lalu ia mengangkat tangan Ali dan mengumumkan: " Man kuntu mawla, fa hadza Aliyyun mawla (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya). Kemudian Nabi juga mengumumkan akan kepergiannya (wafat) dan meminta orang-orang beriman untuk tetap bersandar kepada al-Qur'an dan Ahlulbait. Demikianlah ringkasan bagian penting dari peristiwa Ghadir Khum.
Bagian utama dari tulisan ini dibagi sebagai berikut: Bagian kedua merupakan survei singkat dari pendekatan yang digunakan oleh kaum Orientalis dalam mengkaji Syiah. Bagian ketiga dari tulisan ini berkaitan dengan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji Ghadir Khum secara khusus. Bagian keempatnya adalah pandangan kritis M.A. Syaban yang ia tulis ihwal peristiwa ini dalam Islamic History AD 600-750. Dan akan diakhiri dengan sebuah kesimpulan.


2. Kajian Syiah dan Kaum Orientalis
Ketika penulis Mesir, Muhammad Qutb, memberikan judul terhadap buku yang ditulisnya Islam: the Misunderstood Religion (Islam: Agama yang disalahpahami), ia secara santun mengatakan bahwa sikap muslim terhadap kaum Orientalis telah memperlakukan Islam dan Muslim secara umum. Kata "misunderstood" menyiratkan bahwa setidaknya, sebuah usaha asli yang diupayakan untuk memahami Islam. Namun, seorang kritis Orientalis lebih tajam mencermati masalah ini, Orientalis ini bernama Edward Said, katanya: "Hal yang paling sukar dipahami mendapatkan akademisi yang ahli dan pakar tentang Islam adalah menerima bahwa apa yang mereka katakan dan lakukan sebagai seorang ilmuan dan cendikia bermula dari konteks politik. Segala sesuatu yang bertalian dengan kajian keislaman pada masa kontemporer Barat matang dengan peranan penting politik, namun tidak ada seorang pun penulis dari kalangan Islam, apakah ia seorang pakar atau tidak, menerima kenyataan yang dikatakan oleh mereka. Secara objektif dapat diduga bahwa untuk sejalan dengan wacana yang ilmiah tentang masyarakat lain, meskipun sepanjang perjalanan sejarah politik, moral dan perhatian keagamaan jatuh pada segala lapisan masyarakat, Barat atau Islam, tentang orang asing (alien), adalah ganjil dan berbeda. Sebagai contoh, di Eropa, kaum orientalis secara tradisional berafiliasi secara langsung dengan petugas-petugas penjajah.
Alih-alih menganggap bahwa objektifitas adalah menyatu dalam sebuah wacana ilmiah, kaum Orientalis Barat harus menyadari bahwa prakomitmen kepada sebuah tradisi politik atau agama, pada level kesadaran atau di bawah sadar (sub-consious), dapat menuntun kearah penilaian yang bias. Sebagaimana Marshall Hudgson menulis "Bias datang khususnya pada pertanyaan yang dimiliki dan kategori yang ia gunakan, yang memang, bias secara khusus sukar untuk dilacak karena sulitnya menengarai setiap istilah-istilah yang digunakan, yang kelihatannya bersikap netral secara tulus.... . Reaksi kaum muslimin terhadap citra yang digambarkan oleh kaum Orientalis mulai mendapatkan perhatian yang layak. Pada tahun 1979, seorang cendekiawan terkemuka Barat, Albert Hourani berkata: "Suara-suara mereka yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika Utara mengatakan kepada kita bahwa mereka tidak mengenali diri mereka sendiri seperti yang dicitrakan oleh kaum Orientalis. Citra ini terlampau banyak dan insistent untuk dijelaskan dalam istilah akademik atau kebanggaan bangsa." Ini tentang Islam dan kaum muslimin berhadapan dengan kaum Orientalis.
Ketika kita fokuskan kajian kita tentang Syiah oleh kaum Orientalis, kata " kesalahpahaman " adalah asumsi yang tidak terlalu kuat; tetapi bahkan sebuah penyepelean. Tidak hanya Syiah yang disalahpahami, tetapi juga telah diabaikan begitu saja, direpresentasikan secara keliru dan dikaji bersandar pada literatur heresiographic musuh-musuh Syiah. Nampak seakan-akan Syiah tidak memiliki cendekiawan dan literatur sendiri. Meminjam istilah Marx, "mereka tidak dapat mewakilkan diri mereka sendiri, sehingga mereka perlu untuk diwakilkan" dan juga oleh musuh-musuhnya.!
Alasan atas munculnya keadaan ini terletak pada langkah-langkah yang ditempuh oleh cendekiawan Barat ketika memasuki wacana kajian Islam. Hodgson, dalam pandangan gemilangnya tentang cendekiawan Barat, ia menulis "Pertama, mereka yang mengkaji Islam melalui Kesultanan Ottoman, yang banyak memainkan peranan utama dalam Eropa moderen. Mereka biasanya datang dengan perumpamaan pertama dari sudut pandang sejarah diplomatik Eropa. Cendekiawan ini memiliki kecenderungan untuk melihat secara keseluruhan Islam dari perspektif politik Istanbul, ibukota Kesultanan Ottoman. Kedua, mereka yang - biasanya orang Inggris - memasuki kajian-kajian Islam di India hingga menguasai bahasa Persia sebagaiamana masyarakat kebanyakan, atau paling tidak mereka diilhami oleh kepentingan India.
Bagi mereka, masa transisi penjajahan New Delhi cenderung menjadi puncak dari sejarah yang terislamkan. Ketiga, mereka yang semitis, sering tertarik untuk belajar bahasa Hebrew (Bahasa Agama Yahudi, -AK.), yang kemudian dipancing untuk belajar bahasa Arab. Bagi mereka, cenderung menjadikan Kairo sebagai pusat kajian mereka. Kairo adalah kota yang berbahasa Arab paling penting pada abad ke-19, meskipun beberapa orang dari mereka melirik Syiria atau Marokko sebagai pusat kajian mereka. Mereka secara umum adalah lebih philologian (ahli bahasa) ketimbang sejarawan, dan mereka belajar kebudayaan Islam melalui kaca mata penulis-penulis terkenal di Mesir atau Syiria yang merupakan orang Sunni. Jalan lain, - dari Spanyol dan beberapa orang Perancis yang membidik kaum muslimin abad pertengahan (medieaval) Spanyol, beberapa orang Rusia yang mengamati kaum muslimin yang tinggal di utara - yang secara umum tidak begitu penting. "
Cukup jelas bahwa tidak satu pun dari langkah yang mereka ambil ini menuntun mereka untuk sampai kepada pusat kajian Syiah atau literaturnya. Kebanyakan apa yang mereka kaji tentang Syiah didapatkan melalui sumber-sumber non-Syiah. Hodgson - yang patut mendapatkan acungan jempol dari kita karena mencermati poin ini -, ia berkata : " seluruh jalan yang ditempuh memiliki satu warna saja, dan tidak menaruh perhatian ke arah Fertile Crescent (negara-negara seperti Irak, Libanon dan Suriah dan Iran), yang rata-rata penduduknya bermazhab Syiah, tempat ini jauh dari pengamatan dan penetrasi orang-orang Barat."
Dan setelah perang dunia pertama, "Jalan orang-orang Kairo kepada kajian-kajian Islam menjadi jalan Islami yang memiliki keunggulan, sementara jalan lainnya dianggap sebagai lebih bermuatan lokal. "
Dengan demikian, bilamana seorang Orientalis mengkaji Syiah melalui pendekatan Ottoman, orang-orang Kairo atau India, secara alami bagi mereka untuk bersikap bias terhadap Islam Syiah.
"Doktrin sejarawan muslim (yang kebanyakan orang Sunni) selalu mencoba untuk menunjukkan bahwa seluruh mazhab yang ada selain dari apa yang mereka anut adalah sesat, dan jika mungkin, ia bukan seorang muslim sejati. Kerja mereka menjelaskan tentang banyaknya firqah yang siap menyesatkan para cendekiwan kiwari dengan anggapan bahwa mereka merujuk kepada sekte-sekte bid'ah". Dan kita saksikan hingga kini, para cendekiawan Barat dengan gampang menjelaskan bahwa Sunni adalah Islam asli dan Syiah adalah mazhab bid'ah. Setelah memberikan kategori Syiah sebagai salah satu mazhab bid'ah dalam Islam, mereka menjadi "innocent neutral" bagi para cendekiawan Barat untuk absorb keraguan orang-orang Sunni terhadap literatur Syiah pada masa-masa awal. Bahkan konsep Taqiyyah (sikap mengingkari keimanan ketika nyawa seseorang terancam) telah diberitakan di luar proporsinya dan menganggap bahwa setiap komentar dari ulama Syiah mengandung sebuah arti yang tersembunyi. Dan akibatnya, bilamana seorang Orientalis mengkaji tentang Syiah, pra-commitmentnya kepada tradisi Judeo-Kristen Barat yang disusun oleh pihak Sunni sebagai sikap biasnya terhadap Syiah.
Dan salah contoh terbaik dari susunan bias ini ditemukan dalam cara kaum Orientalis mempelajari peristiwa Ghadir Khum. Inilah yang kemudian menjadi tujuan utama dari tulisan ini.


3. Ghadir Khum: Dari Kelalaian kepada Pengakuan
Perisitiwa Ghadir Khum merupakan contoh teladan untuk melacak sikap bias ahli Sunnah yang dapat ditemukan dalam diri para Orientalis. Mereka yang well-versed dengan tulisan polemik ahli Sunnah mengetahui bahwa bilamana Syiah menyuguhkan sebuah hadis atau sebuah saksi sejarah untuk menopang pendapat mereka, seorang dari ahli Sunnah yang terlibat dalam polemik akan menjawab dengan cara seperti berikut :
Pertama, ia akan secara tegas menolak keberadaan hadis atau peristiwa sejarah tersebut.
Kedua, ketika ia berhadapan dengan bukti yang otentik dari kitab-kitab sumber mereka, ia akan meragukan keandalan perawi hadis atau perisitiwa tersebut.
Ketiga, ketia ia ditunjukkan bahwa perawi-perawi yang dimaksud itu memenuhi standard dapat dipercaya, ia akan memberikan penafsiran terhadap hadis atau peristiwa tersebut yang berseberangan dengan pandangan orang Syiah.
Ketiga poin di atas adalah jawaban klasik ahli Sunnah yang terlibat dalam perdebatan dengan orang Syiah. Sebuah kutipan dari terjemahan Muaqaddimah Ibnu Khaldun yang dilakukan oleh Rosenthal sebagai bukti atas ketiga poin di atas. (Ibnu Khaldun menukilnya dari salah satu bagian al-Mihal wan Nihal, sebuah karya heresiographic ash-Sharastani). Menurut Ibnu Khaldun, Syiah meyakini bahwa
"Ali adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammad (untuk menjadi khalifah). Syiah meriwayat hadis ini untuk menopang keyakinannya....ulama-ulama ahli Sunnah dan perawi hadis mereka tidak mengenali hadis ini. [1] Kebanyakan dari hadis ini adalah takhayul, atau [2] Beberapa perawinya diragukan, atau [3] Tafsiran yang benar menurut mereka berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Syiah."
Yang menarik, peristiwa Ghadir Khum pun mengalami nasib yang sama di tangan kaum Orientalis. Dengan keterbatasan waktu dan sumber-sumber bagi kami, kami terkejut melihat bahwa sebagian besar pemerhati masalah Islam mengabaikan peristiwa Ghadir Khum ini, menunjuk, dengan segala kealpaannya, kaum Orientalis meyakini bahwa peristiwa ini adalah khurafat dan sebuah bid'ah yang dimunculkan oleh orang Syiah. Margoliouth dalam Muhammad and Rise of Islam (1905), Brockelman dalam History of the Islamic People (1939), Arnold dan Guilaumme dalam Islam (1955), Von Grunebaum dalam Classical Islam (1963), Arnold dalam The Caliphate (1965), dan Cambridge History of Islam (1970) telah melupakan peristiwa Ghadir Khum sama sekali.
Mengapa mereka dan para cendekiawan Barat melupakan peristiwa Ghadir Khum ini? Jawabnya mudah, karena para cendekiawan Barat bersandar pada kitab-kitab yang anti-Syiah, dan ini menyebabkan mereka secara alami melupakan peristiwa Ghadir Khum. L. Veccia Vaglieri, salah seorang kontributor tulisan pada edisi kedua Encylopedia of Islam (1953), menulis :
"Kebanyakan sumber-sumber yang kami miliki tentang kehidupan Nabi, kami dapatkan dari Ibnu Hisyam, at-Tabari, Ibnu Sa'ad dan sebagainya. Kitab-kitab sumber ini tidak menukil berhentinya Nabi Saw di Ghadir Khum, atau jika mereka menukilnya, mereka tidak berkata apa-apa (penulis takut kalau-kalau akan menciptakan rasa permusuhan Ahli Sunnah, yang sedang berkuasa, dengan menyediakan bahan-bahan untuk berpolemik dengan Syiah yang menggunakan kalimat-kalimat ini untuk mendukung argumen tentang hak Ali atas posisi khalifah setelah Rasulullah). Akibatnya, para penulis biograpi Muhammad, yang bekerja berdasarkan sumber-sumber ini, berbuat sama dengan mereka yang tidak membuat rujukan terhadap apa yang terjadi di Ghadir Khum."
Kita ketahui beberapa cendekiawan Barat lainnya yang menukil hadis dan peristiwa Ghadir Khum ini tetapi menyatakan keraguannya akan keabsahannya - lihat poin kedua yang disebutkan di atas, jawaban klasik ahli Sunnah ketika mereka terlibat adu argumentasi dengan Syiah.
Cendekiawan Barat yang masuk dalam kategori ini, yang pertama adalah Ignaz Goldziher (seorang Orientalis terkemuka dari Jerman abad ke-19). Ia membahas hadis Ghadir Khum dalam karyanya Muhammedanische Studien (1889-1890) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Muslim Studies (1966-1971). Dalam buku terjemahan ini, pada bab yang diberi judul "Hadis dalam hubungannya dengan konflik-konflik antara mazhab-mazhab Islam." Ketika sampai ke pembahasan tentang Syiah, Goldzhier menulis :
"Dalil yang kuat dari Syiah....adalah keyakinan mereka bahwa Nabi telah menunjuk dan melantik Ali sebagai khalifahnya sebelum wafat. Oleh karena itu, pengikut-pengikut Ali yang berhubungan dengan bid'ah dan merawikan hadis yang membuktikan pengangkatan Ali dengan petunjuk langsung dari Nabi. Hadis yang paling masyhur (perawinya tidak ditolak bahkan oleh ulama ortodox sekalipun meskipun mereka menafsirkannya dengan cara yang berbeda) adalah hadis Ghadir Khum, yang mewujudkan tujuan ini dan salah satu dalil yang paling kuat Syiah Ali."
Seseorang boleh berharap kepada seorang cendekiawan terkenal untuk membuktikan bagaimana Syiah "yang ketat dalam memilih hadis" untuk menopang setiap dalilnya, namun Goldzhier tidak dapat membuktikan hal itu. Setelah mengutip at-Tirmidzi dan an-Nasai pada catatan kaki sebagai rujukannya atas hadis Ghadir Khum, ia berkata , "An-Nasa'i - sudah dikenal - memiliki kecendrungan terhadap Ali, dan juga termasuk at-Tirmidzi dalam kumpulan hadisnya memiliki tendensi mengutamakan Ali, seperti dalam hadis thayr." Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan jawaban klasik oleh para ahli mujadalah Sunnah - meragukan perawi hadisnya atau berketerusan menuding Syiah melakukan perbuatan bid'ah.
Contoh lain dapat kita jumpai dalam edisi pertama Encylopedia (1911-1938) dengan judul singkat "Ghadir Khum" oleh F. Bhul, seorang Orientalis Denmark yang menulis biograpi Nabi. Bhul menulis, "Tempat yang menjadi tempat bersejarah lewat sebuah hadis yang keasliannya diterima oleh Syiah dan juga ditemukan di antara kalangan ahli Sunnah, sesungguhnya, Nabi dalam perjalanan kembali dari Hudaibiyyah (menurut riwayat lain dari Hajjatul Wida') ia berkata: "Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawlanya!" Bhul yakin bahwa untuk menekankan bahwa hadis ini memiliki "keasliannya di kalangan Syiah!"
Contoh yang lebih mengejutkan lagi adalah ketidaktahuan para Orientalis tentang Syiah seperti terlihat dalam A Dictionary of Islam (1965) ditulis oleh Thomas Hughes. Di bawah judul Ghadir, "Pagelaran Syiah pada tanggal 18 Dzulhijjah, ketika tiga tokoh donat diisi dengan madu yang dilambangkan sebagai Abu Bakar, 'Umar dan Utsman ditikam dengan pisau-pisau, dan madu itu diisap sebagai simbol darah atas merampas khilafah. Pagelaran ini diperuntukkan untuk Ghadir, sebuah kolam, dan pagelaran itu adalah hari peringatan ketika Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya di Ghadir Khum, sebuah telaga di antara kota Mekah dan Madinah."
Seseorang yang datang dari sebuah keluarga Syiah yang dapat ditelusuri hingga Nabi Saw sendiri, setelah belajar di Iran selama 10 tahun dan tinggal di antara komunitas Syiah di Afrika dan Amerika Utara, mengklaim adanya donat dan madu dalam acara Ghadir sementara kami belum pernah melihat, mendengar atau membaca adanya donat dan madu dalam acara Ghadir! Kami lebih terkejut lagi melihat Vagleiri, dalam edisi kedua dari Encyclopedia, telah memasukkan kabar burung ini dalam artikelnya yang memukau ihwal Ghadir Khum. Ia menambahkan di akhir artikelnya, "Hari raya ini juga memiliki peran penting di kalangan kaum Nusayris." Dan boleh jadi kabar tentang donat dan madu itu diamalkan oleh orang-orang Nusayris; tidak ada hubungannya dengan Syiah sama sekali. Tapi apakah para Orientalis itu mengetahui perbedaan antara Syiah dan Nusayris? Saya meragukan hal ini.
Contoh keempat dari para cendekiawan kontemporer yang mengikuti langkah-langkah orang-orang yang disebut di atas adalah Philip Hitti dalam History of Arabs (1964). Setelah menyebutkan bahwa dinasti Buwahid didirikan untuk "Memperingati hari raya itu ketika Nabi diduga melantik Ali sebagai penggantinya di Ghadir Khum," ia menjelaskan letak Ghadir Khum pada catatan kakinya sebagai " sebuah sumur di antara Mekah dan Madinah yang dalam hadis Syiah menegaskan bahwa Nabi mengumumkan "Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya, maka Ali juga adalah mawlanya." Meskipun cendekia ini menyebutkan masalah Ghadir secara sambil lalu, ia menggolongkan hadis Ghadir sebagai "hadis Syiah."
Kepada para cendekiawan yang -sadar atau tidak- telah tertawan bias Ahli Sunnah terhadap Syiah dan bersikeras ihwal keaslian Syiah dan penemuan hadis Ghadir, saya hanya ingin mengulang apa yang dikatakan oleh Vagleiri dalam Encylopedia of Islam ihwal Ghadir Khum:
Suatu hal yang pasti bahwa Muhammad berbicara di tempat ini dan menyampaikan kalimat yang terkenal, demi menjaga kelestarian peristiwa ini, baik dalam bentuk ringkasan ataupun dalam bentuk detail, tidak hanya al-Ya'qubi, yang pamornya dinilai memiliki rasa simpati terhadap Ali, tetapi juga dalam kumpulan hadis-hadis yang dinilai sebagai hadis resmi khususnya dalam Musnad Ibnu Hanbal; hadis-hadis semacam ini banyak bilangannya dan telah diuji kebenarannya dari berbagai isnads yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya."
Vagleiri melanjutkan: "Beberapa dari hadis ini dikutip dalam bibliograhpynya, namun tidak dimasukkan hadis yang -meskipun melaporkan kalimatnya- namun menghilangkan kalimat Ghadir Khumnya atau yang disebutkan malah di Hudaibiyyah. Dokumentasi lengkap akan mencukupi ketika Concordance-nya Wensinck telah selesai dicetak. Untuk mendapatkan sebuah gagasan tentang bagaiamana hadis ini - sudah memadai untuk melirik kitab yang telah dikumpulkan oleh Ibnu Katsir dengan isnad yang lebih banyak bilangannya."
Sudah saatnya para sarjana barat berupaya untuk lebih akrab dengan literatur Syiah sejak masa dulu hingga kiwari. Para cendekiawan Syiah telah menghasilkan karya-karya besar yang menyoroti masalah Ghadir Khum. Saya hanya akan menyebut beberapa di antara karya-karya itu di sini :
Pertama adalah kitab 'Abaqâtul 'Anwâr dalam sebelas jilidume besar yang ditulis dalam bahasa Persia oleh Mir Hamid Husain al-Musawi (wafat 1306) dari India. '
Allamah Mir Hamid Husain telah mempersembahkan tiga jilidume besar (yang terdiri dari 1080 halaman) tentang isnad, tawatur dan makna hadis Ghadir Khum. Versi ringkasannya dari kitab ini ditulis dalam terjemahan bahasa Arabnya diberi judul Nafahatul Azhar fi Khulasati 'Abaqatil Anwar oleh Sayyid Ali Milani yang telah diterbitkan dalam 12 jilidume; dan empat jilidume (dengan ketikan dan cetakan modern) mengurai masalah hadis Ghadir Khum.
Kedua, adalah Kitab al-Ghadir dalam sebelas jilidume dalam bahasa Arab disusun oleh Abdul Husain Ahmad al-Amini (wafat 1970) di Iraq. 'Allamah Amini telah memberikan dengan rujukan penuh dari nama-nama 110 sahabat Nabi dan juga nama-nama 84 tabi'in (murid-murid para sahabat) yang menceritakan hadis al-Ghadir. Ia juga memberikan secara kronologis nama-nama sejarawan, ahli hadis, mufassir dan pujangga yang telah menukil hadit al-Ghadir tersebut sejak awal hingga abad keempat belas.
Almarhum Sayyid 'Abdul 'Aziz at-Thabathaba'i yang menyebutkan adanya kemungkinan tidak hanya satu hadis yang telah dinukil dari sedemikian banyak jumlah sahabat sebagaimana yang dapat kita lihat (120) dari hadis al-Ghadir tersbut. Namun, membandingkan jumlah itu dengan total jumlah yang hadir ketika peristiwa Ghadir Khum terjadi, ia mengatakan jumlah 120 penukil hadis tersebut hanyalah sepuluh persen dari jumlah sahabat yang hadir ketika itu. Dan ia memberikan judul pada tulisannya " Hadis Ghadir: Ruwatuhu Kathiruna lil-Ghayah ....Qaliluna lil-Ghaya (Perawinya sangat banyak.....beberapa)."


4. Syaban dan Penafsiran Barunya
M.A. Syaban dalam Islamic History AD 600-750 adalah salah satu karya mutakhir yang dilakukan oleh sarjana Barat ihwal sejarah Islam. Dalam salah satu sub-judulnya, bertajuk "A New Interpretation" (Sebuah Penafsiran Baru), yang di dalamnya penulis mengklaim tidak hanya menggunakan bahan-bahan yang baru ditemukan, tetapi juga menguji kembali dan menafsirkan kembali bahan-bahan yang telah digunakan untuk mengkaji Islam selama berabad-abad. Syaban adalah seorang dosen bahasa Arab di SOAS University of London, ia tidak dibekali pengetahuan yang memadai untuk memperhatikan peristiwa Ghadir Khum. Ia menulis: "Hadis terkenal dari mazhab Syiah bahwa ia (Nabi) menunjuk Ali sebagai penggantinya di Ghadir Khum seharusnya tidak perlu dianggap sesuatu yang serius."
Syaban memberikan dua alasan baru untuk tidak menganggap peristiwa Ghadir Khum sebagai sesuatu yang serius :
Persitiwa tersebut secara inheren memiliki kemungkinan menganggap tradisional Arab dengan segan mempercayakan kaum muda dan belia yang belum berpengalaman untuk memikul tanggung jawab yang besar. Lebih dari itu, sudah pasti sumber-sumber kita menunjukkan penduduk Madinah berlaku seakan-akan mereka mendengarkan penunjukan ini."
Mari kita amati setiap alasan yang diberikan oleh tuan Syaban ini dengan kritis.

1. Keseganan tradisi Arab untuk mempercayakan kepada kaum mudanya mengemban tanggung jawab yang besar.

Pertama-tama, apakah Nabi Saw tidak memperkenalkan banyak hal yang membuat bangsa Arab secara tradisi segan? Apakah penduduk Mekah menerima Islam dengan perasaan segan? Tidakkah masalah menikahi janda anak angkat adalah suatu hal yang tabu dalam masyarakat Arab? Tradisi segan ini, jangankan sebagai sebuah argumen yang menolak pengangakatan Ali, sebaliknya dalil ini secara nyata telah menjadi dalil yang digunakan oleh Syiah. Mereka setuju bahwa bangsa Arab (khususnya suku Quraisy) merasa segan menerima Ali sebagai pengganti Nabi tidak hanya karena usianya yang masih belia tetapi juga lantaran dia telah membunuh banyak pemimpin mereka di medan peperangan. Menurut Syiah, Allah juga mengetahui perihal kesegananan ini dan alasan mengapa setelah memerintahkan Nabi Saw untuk mengumumkan "Ali sebagai pengganti ("Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu....."), Allah Swt meyakinkan Nabi-Nya dengan berfirman: "Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.." (Qs. al-Maaidah [5]:67). Nabi ditugaskan untuk menyampaikan pesan dari Allah Swt, tidak menjadi urusan apakah bangsa Arab suka atau tidak.
Terlebih, keengganan tradisi ini bukan merupakan kebiasaan yang tidak bisa dibalikkan dari bangsa Arab sebagaiamana Syaban menghendaki kita untuk meyakininya. Jafri dalam The Origin and Early Development of Shia Islam, mengatakan "Kitab-kitab sumber kami mampu menunjukkan bahwa - meskipun senate (Nadwa) penduduk Makkah sebelum Islam secara umum merupakan dewan para sesepuh suku saja, anak-anak para kepala suku yang memiliki keistimewaan tidak terikat dengan tingkat usia ini dan diperbolehkan untuk menjadi anggota dewan meskipun mereka masih muda. Pada waktu-waktu setelah itu bahkan dewan-dewan yang lebih bebas aturannya semakin banyak. Abu Jahal diperbolehkan menjadi anggota dewan meskipun ia masih berusia muda dan termasuk Hakim bin Hazm yang ketika itu ia masih berusia lima belas atau dua puluh empat tahun." Kemudian Jafri mengutip Ibnu 'Abd Rabbih, "Tidak ada raja monarkis yang menguasai penduduk Makkah di masa jahiliyah. Sehingga ketika meletus perang, mereka mengambil surat suara (ballot) di antara para kepala suku dan memilihnya menjadi "Raja", tanpa melihat apakah ia tergolong muda atau sudah tua. Sehingga pada hari Fijar, giliran Bani Hasyim dan sebagai hasilnya surat suara (ballot) al-Abbas, yang ketika itu masih belia, dipilih dan didudukkan di atas perisai."
Ketiga, kita punya contoh dalam keputusan-keputusan Nabi sendiri selama akhir hayatnya ketika ia mempercayakan pimpinan pasukan kepada Usamah bin Zaid, seorang pemuda yang belum lagi berusia 22 tahun." Usamah dipilih di antara para tetua Muhajirin (berasal dari suku Quraisy) dan Ansar; dan memang banyak tokoh-tokoh tersebut mengeluhkan keputusan Nabi ini." Jika Nabi Saw dapat memilih pemuda dan Usamah yang tidak berpengalaman di atas para tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar, lalu mengapa " inhrently probable " memikirkan bahwa Nabi telah menunjuk Ali sebagai penggantinya?

2. Keengganan tradisi mempercayakan orang yang masih "ingusan" sebuah tanggung jawab yang besar.

Terlepas dari usia muda Ali, Syaban juga merujuk kepada keengganan bangsa Arab dalam mempercayakan " orang yang belum berpengalaman dengan sebuah tanggung jawab besar." Ini menandakan bahwa bangsa Arab memilih Abu Bakar karena ia telah berpengalaman dengan beberapa tanggung-jawab yang besar." Saya meragukan apakah Tuan Syaban akan dapat subtantiate implikasi atas klaim tersebut dari sejarah Islam. Anda akan mendapatkan lebih banyak contoh Ali dipercayakan oleh Nabi dengan tanggung-jawab yang besar ketimbang Abu Bakar. Ali ditinggalkan di Makkah ketika Nabi hijrah di malam hari. Tugas Ali adalah untuk mengelabui pihak musuh dan mengembalikan amanah yang dititipkan oleh sebagian besar penduduk Makkah kepada Nabi. Ali telah diberi tanggung-jawab yang lebih besar selama masa-masa awal Islam dan senantiasa berhasil menunaikan tugasnya. Ketika ayat barâ'at diturunkan, yakni ayat yang berisikan ultimatum terhadap musyrikin Makkah. Tugas ini pertama kali dipercayakan kepada Abu Bakar untuk menyampaikannya kepada penduduk Makkah, tapi kemudian tugas besar ini diambil alih oleh Nabi dan diberikan kepada Ali. Ali dipercayakan untuk mengemban tugas menjaga kota Madinah dan penduduknya, sementara Nabi bertolak menuju Tabuk. Ali ditugaskan sebagai kepala rombongan dalam tugas ke Yaman. Ini adalah beberapa contoh yang sempat terlintas secara sekilas dibenak kami. Dengan demikian, sebagai perbandingan, Ali bin Abi Talib adalah orang yang telah diuji dan dipercaya mengemban beberapa tugas, lebih besar daripada Abu Bakar.

3. Perilaku penduduk Madinah ihwal deklarasi Ghadir Khum

Pertama-tama, jika sebuah peristiwa dapat dibuktikan secara benar oleh standar kritis hadis (standar Ahli Sunnah tentunya), kemudian reaksi orang-orang atas kredibilitas hadis tersebut menjadi tidak berguna.
Kedua, keengganan tradisi yang sama yang digunakan oleh Syaban untuk menolak deklarasi al-Ghadir dapat digunakan di sini terhadap sikap ragu-ragunya terhadap peristiwa Ghadir Khum. Keengganan tradisi ini, di samping faktor-faktor lain yang tidak dapat dibahas dalam buku ini. dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku penduduk Madinah.
Ketiga, meskipun penduduk Madinah berdiam diri selama peristiwa yang menahan Ali dari kekhalifahan, masih banyak yang menyaksikan peristiwa ini. Dalam beberapa kesempatan, Imam Ali memohon kepada para sahabat Nabi untuk bersaksi atas deklarasi al-Ghadir ini. Di sini saya akan menyebutkan satu contoh perisitiwa yang terjadi di Kufah selama masa kekhalifaan Ali, sekitar dua puluh lima tahun setelah Nabi Saw wafat.
Imam Ali mendengar bahwa beberapa orang meragukan klaimnya atas keutamaan khalifah-khalifah sebelumnya, oleh karena itu, ia datang pada sebuah perhelatan yang berlangsung di masjid dan memohon para saksi yang hadir dalam acara Ghadir Khum untuk membenarkan apa yang disampaikan oleh Nabi ihwal Nabi sebagai mawla mereka dan seluruh kaum mukmin. Beberapa orang sahabat berdiri dan membenarkan klaim Ali ini. Kami akan menyebutkan dua puluh empat nama sahabat yang membuat kesaksian atas klaim Imam Ali, meskipun sumber-sumber yang lain seperti Musnad Ahmad dan Majma' az-Zawaid milik Hafidh al-Haytami malah menyebutkan sebanyak tiga puluh orang. Perlu untuk diingat bahwa kejadian ini berlangsung 25 tahun setelah peristiwa GhadirKhum, dan selama masa ini, ratusan saksi telah wafat atau gugur di medang perang selama masa dua khalifah yang pertama. Sebagai tambahan atas kenyataan ini bahwa kejadian ini berlangsung di Kufah yang jauh dari pusat tempat sahabat bermukim, Madinah. Kejadian ini beralngsung di Kufah pada tahun 35 H yang riwayatnya sendiri dinukil oleh 4 orang sahabat dan 14 tabii'in dan telah tercatat dalam sebagian besar kitab-kitab sejarah dan hadis.
Sebagai kesimpulannya, perilaku penduduk Madinah selepas wafatnya Rasulullah tidak secara langsung menghapus kisah al-Ghadir. Saya pikir bahwa ini akan memadai untuk Tuan Syaban menyadari bahwa tafsirannya tidaklah termasuk sebuah penafsiran baru, melainkan penyederhanaan, dalam pandangan penulis, mimbar pertama, dari jawaban klasik Ahli Sunnah - sebuah pengingkaran telanjang akan keberadaan sebuah peristiwa atau sebuah hadis yang menopang pandangan Syiah - yang telah digunakan oleh sebagian besar para sarjana Barat dalam mengkaji Islam.

4. Arti istilah " Mawla "

Dalil terakhir yang digunakan sebagai trik oleh Ahli Sunnah dalam jawaban mereka atas sebuah peristiwa atau sebuah hadis yang disodorkan oleh Syiah adalah memberikan sebuah penafsiran yang menjaga keyakinan mereka. Mereka memutar balik fakta dengan berkata bahwa kata "mawla" memiliki arti yang beragam: tuan, junjungan, hamba, pemelihara, keuntungan, pelindung, penjaga, mitra, sahabat, tetangga, tamu, anak, paman, kerabat, kemenakan, menantu, pemimpin, pengikut. Ahli Sunnah berkata bahwa arti "mawla" yang digunakan oleh Nabi Saw pada hari Ghadir Khum tidak bermakna "tuan atau junjungan", tetapi berarti " sahabat ".
Dalam masalah hadis al-Ghadir, inilah tingkat yang dicapai oleh para sarjana Barat pemerhati Islam (Orientalis). Ketika menjelaskan konteks sabda Nabi Saw di Ghadir Khum, L. Veccia Vaglieri mengikuti penafsiran yang dibuat oleh Ahli Sunnah. Ia menulis :
Dalam masalah ini, Ibnu Katsir masih menunjukkan dirinya sebagai sejarawan utama: ia menghubungkan masalah Ghadir Khum dengan episode-episode yang terjadi selama expedisi ke Yaman yang dikomandani oleh Ali pada 10/631-2 H, dan kembali ke Mekkah tepat waktu untuk bertemu dengan Nabi Saw selama Hajjatul Wida' (Haji Perpisahan). Ali sangat ketat dalam membagikan harta rampasan perang dan sikapnya ini mengundang protes dari beberapa sahabat. Orang-orang meragukan sikap dan moralitasnya, ia diperingati dengan ketamakan dan dituduh menyalahgunakan wewenang. Lalu mungkin saja, Muhammad ingin menunjukkan di depan publik penghormatannya dan kecintaannya kepada Ali. Ibnu Katsir harus sampai kepada sebuah kesimpulan yang sama, karena ia tidak melupakan untuk menambahkan perkataan-perkataan Nabi meminta untuk menghentikan cemoohan yang ditujukan terhadap Ali."
Ketika sebuah kata memiliki arti yang beragam, sudah merupakan sebuah praktik umum yang berlaku dalam melihat konteks dari perkataan dan kejadian untuk dapat memahami maksud dari si pembicara. Ibnu Katsir dan penulis Sunni lainnya telah menghubungkan peristiwa Ghadir Khum dengan ekspedisi ke Yaman. Namun mengapa beranjak terlalu jauh untuk sekedar memahami arti kata "mawla", mengapa tidak melihat secara utuh dan menyeluruh sabda Nabi yang disampaikan di Ghadir Khum (an-sich)? Tidakkah sebuah praktik yang berlaku secara umum adalah mencermati teks (matn) dari sabda Nabi tersebut, bukannya melihat sebuah kejadian dari jauh, melintasi ruang dan waktu?
Ketika kita mencermati konteks langsung dari sabda yang disampaikan oleh Nabi di Ghadir Khum, kita mendapat beberap hal berikut ini :

1. Pertanyaan bahwa Nabi bertanya sebelum menyampaikan deklarasi itu. Beliau bertanya, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalin melebihi wewenang kalian atas diri kalian sendiri?" Ketika orang-orang menjawab, " Iya, benar," lalu Nabi menyampaikan : "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya." Tentu saja kata "mawla", dalam teks (matn) hadis ini, memiliki makna yang sama dengan kata "awla : lebih memeliki wewenang."

2. Setelah penyampaian sabda ini, Nabi Saw melantunkan doa ini: "Ya Allah. Cintailah orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya; tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakan orang yang menghinanya." Doa ini sendiri menunjukkan bahwa Ali, pada hari itu, telah dipercayakan dengan sebuah posisi yang membuat beberapa orang memusuhinya dan ia memerlukan penolong untuk menunaikan tugasnya. Hal ini tidak lain kecuali kedudukan mawla dalam arti penguasa, tuan dan junjungan. Apakah penolong diperlukan untuk mewujudkan sebuah "persahabatan"?

3. Sabda Nabi Saw di Ghadir menegaskan bahwa: "Dapat diduga bahwa aku akan dipanggil menghadap Allah Swt dan aku akan menjawab panggilan itu." Jelas bahwa Nabi Saw menyusun sebuah agenda kepemimpinan bagi umat setelah wafatnya.

4. Para sahabat Nabi memberikan ucapan selamat kepada Ali dengan mengatakan "Amirul Mukminin (Pemimpin Orang Beriman) kepadanya ". Sehingga tidak ada ruang lagi untuk ragu berkenaan dengan arti kata "mawla ".

5. Peristiwa, waktu dan tempat. Bayangkan Nabi menghentikan perjalanannya pada waktu siang hari dan juga meminta sekitar seratus ribu musafir untuk berhenti di bawah terik matahari yang membakar dan di tengah padang sahara, dan mereka diminta untuk duduk di atas padang pasir yang menusuk dengan panasnya, dan membuat mimbar buatan dari pelana-pelana unta, dan kemudian bayangkan beliau menyampaikan khutbah yang panjang dengan sebuah pengumuman bahwa "Barang siapa yang menganggap aku sebagai temannya, maka Ali juga adalah temannya!" Mengapa? Karena beberapa (tidak semua dari seratus ribu orang yang hadir di tempat itu) menaruh benci terhadap cara Ali membagikan harta rampasan di antara para sahabat pada ekspedisi ke Yaman! Tidakkah ini sebuah pemikiran yang konyol?

Jalan lain untuk menemukan makna kata yang digunakan oleh Nabi "mawla" untuk Ali adalah dengan melihat bagaimana orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengerti perkataan ini. Apakah mereka mengartikan kata "mawla" dalam arti "teman " atau dalam arti "tuan atau pemimpin"?
Hassan bin Tsabit, pujangga masyhur Nabi, menggubah sebuah syair berkenaan dengan peristiwa al-Ghadir pada hari itu. Ia bersenandung: "Lalu ia bersabda kepadanya: "Berdirilah, Wahai Ali, karena aku rela menjadikanmu sebagai Imam dan Penunjuk Jalan selepasku."
Dalam bait syairnya ini, Hassan bin Tsabit telah memahami istilah "mawla" sebagai arti dari "Imam dan Penunjuk Jalan" yang secara jelas membuktikan bahwa Nabi Saw berbicara tentang penggantinya, dan ia sama sekali tidak memperkenalkan Ali sebagai "temannya" melainkan sebagai seorang "pemimpin."
Bahkan kata-kata Umar Ibnu al-Khattab lebih menarik. Ia memberi ucapan selamat kepada Imam Ali dengan berkata "Selamat, Wahai putra Abu Talib, pagi ini anda telah menjadi mawla bagi setiap mukminin dan mukminat."
Jika "mawla" bermakna "teman" lalu mengapa ada ucapan selamat? Apakah Ali adalah seorang musuh bagi seluruh kaum mukmin dan mukminat sebelum hari al-Ghadir?
Teks langsung (matan)nya ini membuatnya lebih jelas bahwa Nabi Saw berbicara tentang sebuah wewenang menyeluruh bahwa Ali bagi seluruh kaum muslimin sebanding dengan wewenang Nabi atas mereka. Mereka membuktikan bahwa makna istilah "mawla" dalam hadis al-Ghadir adalah tuan, pelindung, junjungan, atau pemimpin, bukan "teman".
Akhirnya, bahkan jika kita menerima bahwa Nabi bersabda dengan kata: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya dalam kaitannya dengan peristiwa ekspedisi ke Yaman, bahkan kemudian, "mawla" tetap tidak akan bermakna "teman". Laporan-laporan dari ekspedisi, dalam kitab-kitab Ahli Sunnah, disebutkan bahwa Ali telah mencadangkan dirinya bagian yang terbaik dari harta rampasan yang telah didapatkan di bawah kendali kaum muslimin. Sikapnya ini telah menyebabkan kejengkelan di antara mereka yang berada dibawah perintahnya. Dalam pertemuan dengan Nabi Saw, salah seorang dari mereka mengeluhkan sikap tersebut, karena harta pampasan itu adalah harta kaum muslimin, Ali tidak memiliki hak untuk menyimpan harta tersebut untuk dirinya. Nabi mendengarkan keluhan itu dengan diam; lalu orang kedua datang menghadap beliau dengan keluhan yang sama. Nabi tetap tidak menjawab. Lalu orang ketiga datang kepada beliau juga dengan keluhan yang sama. Adalah ketika Nabi marah dan berkata: "Apa yang kalian inginkan dari Ali? Ia adalah wali setelahku."
Apa yang dapat dibuktikan dari sabda ini? Dikatakan bahwa sebagaimana Nabi - sesuai dengan firman Allah Swt: "Nabi itu (hendaknya) lebih utama dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah) dari pada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (Qs. al-Ahzab [33]:6) - adalah awla (lebih berhak) atas kepemilikan harta dan hidup kaum mukminin, sama halnya dengan, Ali sebagai waliy, lebih memiliki hak atas harta dan kehidupan kaum mukminin. Nabi Saw secara terang mendudukkan Ali pada tingkatan wilâyah yang tertinggi setelah diri Nabi sendiri. Atas alasan ini penulis kitab al-Jami'us Shagir berkomentar: "Sesungguhnya perkataan ini adalah pujian tertinggi untuk Ali."


5. Kesimpulan
Dalam tinjauan singkat ini, kami telah menunjukkan bahwa peristiwa Ghadir Khum adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat ditolak keberadaannya; dalam mengkaji Syiah, precommitment kepada tradisi Judeo-Nasrani yang dikumpulkan oleh kaum Orientalis dengan merujuk kepada bias Ahli Sunnah terhadap Syiah. Akibatnya, peristiwa Ghadir Khum diabaikan oleh kebanyakan sarjana Barat dan hal ini muncul dari kelalaian yang dikuasai oleh sikap ragu-ragu (skeptisisme) dan penafsiran baru (re-intepretasi).
Kami berharap dengan satu misal ini dapat meyakinkan setidaknya para sarjana Barat untuk menguji kembali metodelogi mereka dalam mengkaji Syiah; alih-alih menggunakan pendekatan menyeluruh melalaui karya-karya heresiographers seperti ash-Sharastani, Ibnu Hazm, al-Maqrizi dan al-Baghdadi yang menyuguhkan informasi bahwa Syiah sebagai sekte bid'ah dalam Islam, mereka seyogyanya lebih objektif dalam kerja-kerja antar Syiah dan juga Ahli Sunnah.
Orang-orang Syiah telah lelah, dan memang demikian adanya, digambarkan sebagai sebuah sekte bid'ah yang muncul karena keadaan politik pada masa-masa permulaan Islam. Mereka menuntut untuk digambarkan sesuai dengan keadaan asli mereka sendiri tidak digambarkan sebaliknya.

Salam atasmu,
Wahai Junjunganku, Amirul Mukminin
Wahai duta Tuhan di semesta buana ini
Khalifatullah di antara ciptaan-Nya
Dan Hujjat nyata bagi abdi-Nya
Salam atasmu, Wahai Dinillahi Qayyim dan Siratal Mustaqim
Salam atasmu, Wahai Kabar Agung yang atasnya diutus dan tentangnya kelak mereka akan ditanya
Aku bersaksi, Wahai Amirul Mukminin
Orang yang tidak meragukanmu
Tidak beriman kepada Rasul al-Amin
Dan mereka yang menyamakan kedudukanmu setara dengan yang lain
Telah menyimpang dari Din Qayyim yang atasnya Tuhan semesta Alam telah memilih untuk kita dan atasnya Dia telah menyempurnakannya melalui Wilâyahmu pada hari Raya Ghadir
(Dikutip dari Ziyarat Hari al-Ghadir)

4
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

BAGIAN KEEMPAT

IV. Pengangkatan Ali : Jelas (eksplisit) atau Samar (implisit)

1. Pengantar
Kita berkumpul malam ini di sini dalam rangka mengenang seseorang yang telah memberikan identitas kepada kita sebagai " Muslim Syiah ". Kita merasa bangga atas gelar "Syiah Ali" yang kita sematkan pada diri kita.
Malam ini saya akan berbicara tentang Khalifah Imam Ali bin Abi Talib karena beberapa pertanyaan yang diajukan ihwal kontroversi "pengangkatan yang jelas" kedudukan Imam Ali sebagai khalifah versus "pengangkatan yang samar". Tidak hanya orang-orang dewasa, tetapi juga para pemuda datang mendekat dan bertanya kepada kami pertanyaan ini; dan sudah menjadi tugas saya untuk meyakinkan bahwa keyakinan-keyakinan kaum muda dalam masalah Imamah dan Khalifah Amirul Mukminin tetap tegar tanpa ada sedikit pun temaram keraguan yang menyelubunginya.
Kontroversi ini bermula pada ucapan seorang sarjana Syiah yang diterbitkan dalam Bio Ethics Encylopedia di bawah kepala judul (entry) "Islam". Di dalam buku itu ia menulis:
"Muhammad wafat pada tahun 632 M telah membawa seluruh bangsa Arab berada di bawah pemerintahan Madinah. Namun, ia tidak meninggalkan satu pun perintah yang jelas seputar masalah penggantian kepada orang yang berwenang secara religius-politis."
Semula, ketika saya diberikan kopian dari artikel tersebut, saya tidak berpikir banyak tentang hal ini karena saya menyadari bahwa artikel itu adalah sebuah tulisan yang ditulis untuk pemirsa yang banyak. (meskipun idealnya masalah penggantian seyogyanya tidak disebutkan dalam artikel itu sama sekali, penghapusannya toh tidak akan mencederai artikel itu secara keseluruhan). Akan tetapi, jawaban penulis atas pertanyaan-pertanyaan yang dikirimkan kepadanya melalui internet oleh beberapa orang Syiah dari Inggris menjadi sebuah masalah yang perlu mendapatkan perhatian dari kami. Ia menjawab sebagai berikut::
Pertanyaan apakah tidak ada perintah yang jelas (eksplisit) tentang penggantian Nabi Saw dalam wewenang agama dan politik agar menjadi jelas bahwa ucapan yang asserting tidak ada ucapan yang eksplisit (yakni, diucapkan dengan terang, tidak hanya mengandungi) perintah dalam masalah penggantian peran Nabi dalam urusan agama dan politik, ditegaskan oleh implikasi adanya ucapan yang makna implisit (yakni, perlu dilibatkan meskipun tidak jelas diucapkan) dalam masalah ini. Arahan tersirat Nabi ini disampaikan pada beberapa peristiwa selama masa hidupnya, termasuk, akhirnya pada peristiwa al-Ghadir sebagai arahan Nabi.
"Juga karena tidak adanya ucapan yang tersirat pada peristiwa ini bahwa Imam Ali tidak pernah digunakan untuknya dalam peristiwa-peristiwa ini, termasuk pada peristiwa al-Ghadir, ia diajukan sebagai calon Nabi hanya sebagai penggantinya yang sah. "
Setelah 21 Ramadan 1418, tokoh kita ini mengeluarkan komentar yang lain yang didalamnya ia menegaskan kembali keyakinannya tentang tidak adanya ucapan yang tersurat atas pengangakatan Imam Ali dalam tulisannya: "Asas dari keimanan kita, adalah bahwa keyakinan Syiah berlandaskan pada pengangkatan tersirat ini. Menurut sejarah (satu-satunya kedudukan yang dapat diambil dari artikel ini) sumber-sumber perpecahan umat pada masa-masa awal adalah tidak adanya arahan tersurat dari Nabi ihwal suksesi di dalam umat."
"Ucapan Wilayah(man kuntu mawla[hu] fa hadza Aliyyun mawla[hu], yang merupakan dokumentasi bagi aklamasi Syiah dalam mendukung Imamah Imam Ali adalah dipandang sebagai sebuah ucapan yang tersirat ketimbang sebuah ucapan yang tersurat tentang masalah penggantian wewenang yang komprehensif." Alasannya adalah kata mawla dalam bahasa Arab bersifat kabur sepanjang berhubungan dengan "suksesi" itu sendiri."


2. Tersurat vs Tersirat (eksplisit vs implisit)
Pertama-tama mari kita amati apakah pembagian kalimat pengangakatan khalifah ini dibagi menjadi "implisit dan eksplisit " memiliki latar belakang sejarah dalam sejarah ilmu kalam Islam atau tidak. Mengingat terbatasnya waktu, kami hanya akan menyebut beberapa fakta sejarah berikut ini :

1. Dalam masalah khalifah, kaum muslimin memiliki pandangan yang berbeda. Ahli Sunnah tidak meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk seseorang sebagai penggantinya, baik tersurat maupun tersirat; dan masalah ini diserahkan kepada umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki. Sebaliknya, Syiah berkeyakinan bahwa Nabi telah menunjuk Ali sebagai khalifah dan pengganti beliau setelah wafatnya.

2. Seluruh mazhab dalam Syiah (Imamiyah Itsna Asyariyya dan dua mazhab Ismai'liyyah : Bohras dan Agha Khan) meyakini bahwa Nabi Saw secara tersurat (jelas) menunjuk Imam Ali dalam berbagai kesempatan sebagai khalifahnya dan penggantinya.

3. Mazhab Zaidiyyah memiliki keyakinan yang berbeda dengan Ahli Sunnah dan Syiah. Meskipun mereka percaya bahwa Ali adalah yang terbaik dan yang paling pantas untuk menjadi khalifah, mereka masih menerima Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai khalifah Rasulullah yang pertama dan kedua, namun mereka tidak menerima Ustman sebagai khalifah ketiga.

4. Menurut sejarah, Jarudiyyah (sekte didalam mazhab Zaidiyyah) meyakini bahwa Nabi Saw telah menunjuk Ali tidak dengan menyebutkan namanya tapi hanya menjelaskan keutamaanya: "nassa bil wasf duna tasmiyya " (Dia [Nabi] menunjuk dengan penjelasan tanpa menyebut namanya."
Berangkat dari keyakinan ini bahwa nass (petunjuk pengangkatan) dibagi kedalam "an-nass al-jali - petunjuk yang jelas/eksplisit - dan "an-nass al-khafi - tersembunyi dan implisit."
Namun Syiah Imamiyah Itsna Asyariyyah tidak pernah mengabulkan pendapat ini bahwa " azas keyakinan kami dibangun di atas pengertian yang tersirat." Mereka percaya sepenuhnya bahwa Nabi Muhammad Saw dalam beberapa kesempatan, secara jelas dan terbuka mengangkat Ali bin Abi Talib sebagai pengganti, khalifah dan imam kaum muslimin selepas beliau. Hanya bila para ahli kalam Syiah berdebat melawan musuh-musuhnya (termasuk Zaidiyyyah), mereka menggunakan istilah "an-nass al-jali" dalam prinsip berhadapan dengan musuh-musuhnya dengan istilah mereka sendiri.
Jadi, menurut catatan sejarah, tidak ada ahli kalam Syiah Imamayiah yang menggunakan cara implisit atau ekplisit dalam pengangakatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib As sebagai "azas keimanan kami " dan tidak satu pun dari mereka yang menganggap bahwa hadis al-Ghadir sebagai sebuah pengangkatan yang tersirat.

5. Mengapa Zaidiyyah bersikeras dalam mengimplisitkan pengangakatan Ali sebagai khalifah? Karena beberapa sekte di dalamnnya menerima kekhalifaan Abu Bakar dan Umar, meyakini pengangkatan Ali dengan menggunakan ungkapan eksplisit (tersurat) akan memberikan gambaran negatif terhadap dua khalifah ini - akan berarti bahwa dua khalifah ini menentang perkataan jelas Nabi Saw. Sehingga untuk menjaga wibawa kedua khalifah ini, pengangkatan Ali terselubung dan bersifat kabur dengan mengatakan bahwa sabda Nabi tersebut tidak tersurat melainkan tersirat. Dan karena sabda Nabi tersebut tidak jelas, kedua khalifah ini tidak akan disalahkan karena merampas kekhalifaan dari Amirul Mukminin!
Ini menunjukkan implikasi serius terhadap keyakinan bahwa pengangkatan imam hanya pengangkatan yang bersifat tersirat, berarti kesalahan yang terjadi setelah Nabi wafat dipulangkan kepada Nabi sendiri, tidak kepada khalifah. Ini akan bermakna bahwa kedua khalifah itu tidak merampas kekhalifaan dari Imam Ali karena apa yang mereka lakukan berdasarkan pikiran mereka, karena tidak ada perintah tersurat, dan inilah yang terbaik bagi Islam.
Jadi ketika keberatan-keberatan Syiah terhadap cendekia ini semakin bertambah, pada hari-hari terakhir Ramadan 1418, ia mengeluarkan sebuah surat edaran umum yang ditujukan kepada seluruh pengikut Syiah di seluruh dunia melalui internet :
"Saya dalam kesempatan ini menyampaikan dalam istilah yang paling mutlak bahwa saya tidak hanya meyakini kebenaran dari peristiwa al-Ghadir yang terjadi pada 18 Dzulhijjah 11 H/632 M; tetapi juga saya meyakini bahwa sabda Nabi "Barang siapa yang menjadikan aku mawlanya, maka Ali adalah mawlanya" adalah penunjukan yang jelas, tersurat (eskplisit) bagi Imam Ali sebagai pemimpin kaum muslimin, sebagaimana ditopang oleh keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asayariyyah."


3. Penunjukan Eksplisit Pertama
Islam bermula ketika Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Sebelumnya dakwah Rasulullah Saw bersifat sembunyi-sembunyi. Kemudian tiga tahun selepas kemunculan Islam, Nabi Saw diperintahkan supaya memulai dakwah terbuka untuk menyampaikan pesan-pesan samawi. Kejadian ini berlangsung ketika Allah Swt mewahyukan ayat: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (Qs. Asy-Syu'araa:214)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah Saw mengadakan sebuah perjamuan yang dikenal dalam sejarah sebagai " Da'wat dzu 'l Asyira". Rasulullah Saw mengundang sekitar empat puluh laki-laki kerabatnya dari Bani Hasyim dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan jamuan makan malam. Setelah menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman, Rasulullah Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka tentang Islam, Abu Lahab mendahuluinya sambil berkata kepada para tamu ketika itu, katanya: "Tuan rumahnya telah lama menyihir Anda". Seluruh tamu membubarkan diri sebelum Rasulullah Saw menyampaikan pesannya.
Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, ia berkata kepada mereka: "Wahai Bani Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seseorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian dunia dan akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), penggantiku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?
Nabi Saw menggunakan kata "saudaraku, penggantiku, khalifahku." Sabda Nabi ini adalah sabda yang jelas karena digunakan sebagai ajakan pertama untuk memeluk Islam! Tidak ada yang menjawab seruan itu, kecuali Ali bin Abi Thalib yang ketika itu hanya berusia lima belas tahun. Nabi Saw meminta Ali untuk mendekat kepadanya, menepuk leher Ali dan berkata:
"Sesungguhnya ia ini adalah saudaraku, penggantiku, khalifahku di antara kalian. Oleh karena itu, dengarkan dan taati ia."
Proklamasi ini merupakan perkataan yang terang karena hadirin memahami penunjukan Ali sangat jelas. Beberapa di antara hadirin, termasuk Abu Lahab, bahkan dengan bercanda ia berkata kepada Abu Talib bahwa kemenakanmu, Muhammad, memerintahkanmu untuk mendengarkan anakmu dan mentaatinya! Setidaknya, seloroh Abu Lahab ini menunjukkan bahwa pengangkatan Ali bin Abi Talib adalah masalah yang terang dan jelas (eksplisit), tidak samar (implisit).
Bukti yang paling nyata atas kewajaran tersuratnya pengangkatan ini pada masa-masa awal misi Nabi Saw adalah upaya penulis Ahli Sunnah menyembunyikan kalimat yang digunakan oleh Nabi Saw. Sebagai contoh, sejarawan Islam yang terkenal, Ibnu Jarir at-Tabari (wafat 310 Setelah Hijrah), telah mencatat peristiwa ini dengan kalimat krusial yang utuh dan lengkap dalam Târikhul Umam wal Muluk-nya. Edisi 1879 dari Târikh-nya yang diterbitkan di Leiden (Belanda) dengan kalimat: "....inilah saudaraku, penggantiku dan khalifahku...." Namun sewaktu melangkah kepada Tafsir Tabari, ketika ia sampai pada tafsir "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat " (Qs Asy Syu'araa:214), barangkali Tabari sendiri atau editornya yang melakukan perubahan di dalamnya dengan kalimat: "Inilah saudaraku, demikian dan demikian.."
Seluruh upaya untuk menghilangkan peristiwa ini secara keseluruhan dari halaman sejarah atau merubah kata-kata pentingnya "penggantiku dan khalifahku" menjadi "demikian dan demikian" secara nyata menunjukkan bahwa istilah yang digunakan dalam hadis itu adalah bersifat tersurat yang mendukung pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti Nabi Saw. Jika sebaliknya, maka tidak perlu bagi musuh-musuh Syiah menyembunyikan atau merubah kata-kata tersebut.


4. Abu Sufyan Mengerti, Yang Lain Tidak?
Bersikeras terhadap anggapan bahwa pengangkatan Imam Ali tersebut adalah pengangkatan yang bersifat implisit demi menjaga dua khalifah pertama. Alih-alih mencari kebenaran atas cerita ini dan kemudian memberikan penilaian terhadapnya, sebaliknya mereka memutarbalikkan kebenaran untuk menjaga kedudukan kedua orang tersebut.
Sulit untuk dipahami bahwa para sahabat Nabi tidak mendengar Nabi mengangkat Ali As dalam beberapa kesempatan yang berlainan, dan tahu bahwa mereka adalah suku Quraisy yang berbahasa Arab, tidak dapat diterima oleh akal bahwa mereka tidak memahami secara jelas pengangkatan ini. Satu cara untuk mengetahui kebohongan ini adalah mengambil jalur menarik terhadap peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw.
Ketika Ali dan Bani Hasyim sibuk dengan urusan pemakaman Nabi Saw, seseorang datang mengetuk pintu dan menawarkan bantuan untuk menjaga kursi khalifah. Orang itu adalah Abu Sufyan. Iya, Abu Sufyan musuh besar Nabi yang berperang melawan Islam dan kaum muslimin dan hanya menyerah ketika ia tidak dapat lagi memberikan perlawanan. Ia menyerah selang dua tahun sebelum wafatnya Nabi.
Ia datang ke rumah Ali dan mendendangkan sajak yang memuji keluarga Nabi. Ia berkata: "Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Abdul Manaf! Apakah kalian menerima Abu Fasil memerintah kalian? Demi Allah, jika kalian ingin, aku bersedia memenuhi kota Madinah ini dengan kuda-kuda dan pasukan.
Ali bin Abi Thalib kenal siapa Abu Sufyan. Ia tahu bahwa niat Abu Sufyan itu tidak tulus, ia hanya mengambil manfaat dari perseteruan tentang masalah pengganti setelah Nabi. Abu Sufyan menginginkan Bani Hasyim dan kelompok Abu Bakar/Umar berperang dan melemahkan satu sama lainnya sehingga Bani Umayya dapat meraih supremasinya kembali atas bangsa Arab. Dan Imam Ali menjawab: "Pergilah, Wahai Abu Sufyan! Demi Allah engkau tidak sungguh-sungguh dengan apa yang engkau katakan! Engkau selalu memperdaya Islam dan umatnya dan kami sedang sibuk dengan [pemakaman] Rasulullah Saw. Dan [mereka yang berkomplot untuk merebut kursi khalifah], mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan."
Memang tidak dapat dipercaya bahwa Abu Sufyan, dengan latar belakangnya, tahu bahwa Ali memiliki hak untuk menjabat sebagai khalifah umat sementara sahabat-sahabat "besar" lainnya tidak tahu atau tidak mengerti sabda Nabi dengan jelas.
Nampaknya Abu Sufyan bermaksud menghasut Ali untuk angkat senjata demi merebut kembali haknya sebagai khalifah. Pada saat itu, Ali menanggapinya dengan berkata: "Jika aku berbicara [demi menuntut hakku], mereka berkata, ia haus kekuasaan." Dan bila aku berdiam diri, mereka berkata, "Ia takut mati." Tidak, tidak sama sekali; setelah kekisruhan itu. Demi Allah, ini putra Abu Talib lebih bergembira terhadap kematian melebihi kegemibraan seorang anak yang menyusu pada ibunya!"


5. Mengapa Ali tidak menggunakan Dalil-dalil ini?
Apakah Imam Ali tidak menggunakan dalil Da'wat dzil 'Asyira atau hadis al-Ghadir segera setelah wafatnya Nabi Saw karena ucapan-ucapan Nabi tersebut hanyalah sebuah ucapan yang tersirat? Seorang Ulama Syiah menulis: "Juga karena tidak adanya ucapan yang tersurat yang digunakan oleh Imam Ali dari peristiwa-peristiwa ini, termasuk al-Ghadir, untuk ia ajukan sebagai satu-satunya orang yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw." Perkataan ini benar-benar sebuah cara novel dalam melihat perseteruan tentang masalah khalifah. Ahli Sunnah akan melebarkan masalah ini sedikit lebih jauh dan berkata bahwa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini karena memang tidak dapat dijadikan sebagai dalil sama sekali.
Untuk dapat memahami mengapa Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada waktu itu, kita harus mengerti keadaan yang sebenarnya, musuh-musuhnya, dan akibat-akibat dari tindakan Imam Ali ini.


Keadaan-keadaan
Ketika Nabi Saw wafat, dalam komunitas muslim saat itu terdapat beberapa orang yang berlainan satu sama lain.
Pertama, ada beberapa so-called pengadu domba dalam diri kaum muslimin yang menantikan perang saudara untuk memadamkan cahaya Islam dan meraih kekuasaan atas bangsa-bangsa Arab. Abu Sufyan dan sukunya termasuk dalam kategori ini. Mereka tidak berada di Saqifah (bersama Abu Bakar, 'Umar dll, AK.) juga tidak berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Al-Quran juga mengatakan ihwal wujudnya orang-orang munafik di antara kaum muslimin: "Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah dan Rasulnuya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. " (Qs. at-Taubah [9]:97) Lalu ada Musalyma al-Kadzdzab dan Sajjah bint al-Harats yang mengklaim sebagai Nabi dan mendapatkan beberapa pengikut dari orang-orang Badui.
Setelah melakukan tinjauan atas peristiwa-peristiwa ini, apa yang dapat dilakukan oleh Ali?
Sebagai sebuah contoh, mari kita gambarkan keputusan Imam Ali dalam benak kita. Selama masa khalifah Umar, ada sebuah cerita tentang dua orang ibu yang bertengkar tentang siapa sebenarnya ibu dari bayi itu. Keputusannya diserahkan kepada Imam Ali. Ketika Imam Ali melihat kedua ibu ini sama-sama ngotot untuk mendapatkan bayi itu, ia memutuskan untuk membelah bayi tersebut dan dibagikan masing-masing kepada kedua ibu tersebut. Bagaiamana reaksi kedua ibu (yang sebenarnya dan yang gadungan) tadi? Ibu gadungan mengusulkan agar bayi itu dibelah dua saja, sementara ibu yang sebenarnya memutuskan untuk merelakan bayi itu diambil olehnya.
Islam adalah ibarat bayi dalam pembahasan kita kali ini; para penjarah itu akan melakukan apa saja untuk menjaga kekuasaan, hatta kalau bisa Islam dikorbankan. Ali -di sisi lain- rela untuk melepaskan haknya demi menyelamatkan Islam dari kehancuran total. Inilah filsafat mengapa Imam Ali tidak mengakhiri kisah ini dengan pedang atau memberikan kesempatan kepada Abu Sufyan dan yang lainnya untuk angkat senjata. Ia rela haknya dikebiri demi menjaga Islam dari kehancuran.
Ali rela disingkirkan, tapi ia tidak berhenti memprotes dimana dan bilamana saja ada kesempatan. Ketika ia disingkirkan lagi setelah kematian Umar, ia menyampaikan pidato kepada dewan musyawarah yang telah memilih Utsman, ia berkata: "Kalian pasti mengetahui bahwa akulah yang paling pantas untuk menjadi khalifah daripada yang lain. Demi Allah, sepanjang keutuhan dan persatuan kaum muslimin tetap terjaga dan tidak ada kezaliman di dalamnya kecuali diriku yang terzalimi, maka Aku akan diam...."


Musuh-musuh
Berkenaan dengan musuh-musuh Syiah, mereka tidak bersedia mendengarkan sepatah-kata pun alasan tentangnya. Ketika anda mengetahui bahwa musuh anda tidak menentang anda karena keawamannya - dan bahkan mereka bersedia untuk membunuh anda - maka tidak ada gunanya untuk menyebutkan seluruh bukti yang ada kepada mereka. Anda boleh bertanya-tanya mengapa saya berkata seperti ini.
Anda mengingat kembali Da'wat dzul Asyira, Nabi Saw menggunakan tiga kata untuk Imam Ali. " Saudaraku, penggantiku, dan khalifahku ." Kedua kata terakhir bersifat krusial dan penting atas klaim Ali sebagai khalifah. Kata yang pertama " saudaraku " tidak begitu berbahaya dan mengancam pihak musuh-musuh. Atas alasan ini mengapa, bahkan, penulis Ahli Sunnah menyembunyikan hadis Nabi Saw, mereka membiarkan kata "saudaraku" utuh tapi mengganti kata-kata "penggantiku, khalifahku" dengan kata "demikian dan demikian."
Kini, untuk dapat mengerti sikap keras kepala musuh-musuh Ali, mari kita satu bagian saja dari obrolan sengit antara Imam Ali dan Umar bin Khattab selama hari-hari pertama khalifah.
Saya hanya akan meringkaskan apa yang terjadi sebelum obrolan yang sebenarnya: Setelah Umar dan kelompoknya yang memaksa kaum Ansar (Penduduk Madinah) untuk membai'at Abu Bakar di Saqifah, mereka datang ke Masjid Nabi dan mengumumkan bahwa Abu Bakar telah dipilih sebagai khalifah dan meminta semua orang untuk membaiatnya. Mereka diberitahu bahwa Ali dan anggota lain dari Bani Hasyim dan beberapa sahabat utama Nabi berkumpul di rumah Fatimah, menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar mengirim pesan tapi tidak ada satu pun dari mereka (orang-orang yang berkumpul di rumah Fatimah, -AK.) yang membaiatnya. Lalu Umar dengan orang-orangnya mendatangi mereka dan bahkan mengancam akan membakar rumah itu jika tidak ada yang mau keluar! Mereka akhirnya mendobrak pintu, mencederai Fatimah yang saat itu lagi hamil, dan memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan membaiat Abu Bakar.
Imam Ali juga ditawan dan dibawa ke masjid. Di sini terjadi obrolan antara Imam dan Abu Bakar yang isinya Imam Ali hanya digunakan oleh Quraisy Mekkah terhadap orang Ansar. Quraisy memiliki keutamaan daripada Ansar karena Nabi berasal dari suku mereka, oleh karena itu, mereka lebih berhak untuk menjabat sebagai khalifah; Imam Ali melebarkan adu argumen itu dengan mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga Nabi, oleh karena itu, kami lebih berhak atas khalifah daripada engkau.
Ibnu Qutayba ad-Dinwari, seorang sejarawan Sunni tentang masalah khalifah, melanjutkan cerita ini :
Mereka berkata kepada Ali: Nyatakan Baiat!
Ali menjawab: "Jika aku tidak mau, lalu apa?
Mereka berkata: "Kalau begitu, Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, kami akan menggorok lehermu!"
Ali berkata: "Kalau begitu, kalian ingin membunuh seorang hamba Allah dan saudara Nabi-Nya!"
'Umar berkata: "Sebagai hamba Allah, iya; tapi sebagai saudara Nabi-Nya, tidak!"
Apa yang dikatakan oleh Umar ini? Di luar dari ketiga hal yang disabdakan oleh Nabi tentang Ali, ancaman terakhir adalah "saudaraku " namun hari itu, 'Umar bahkan tidak bersedia menerima Ali sebagai "saudara Nabi"! Sekarang katakan kepadaku mengapa Ali tidak berkata: " Aku juga adalah wasiy Nabi dan khalifahnya"?
Ibnu Qutaybah meneruskan ceritanya: Selagi percakapan antara Imam Ali dan 'Umar berlangsung, " Abu Bakar tutup mulut, dan tidak berkata sepatah-kata pun. Lalu Umar berbalik padanya dan berkata : "Mengapa engkau tidak mengeluarkan perintah untuk menghukumnya? Abu Bakar berkata : " Aku tidak ingin memaksakan segala sesuatunya selagi Fatimah berada di sisinya."
Iya, Fatimahlah yang melindungi Ali selama hari kelabu itu dalam sejarah Islam. Ali dalam ketertindasannya, ia pergi ke pusara Nabi dan mengeluhkan dukanya kepada Nabi: "Wahai putra ibuku! Orang-orang menindasku dan hampir saja membunuhku." Ucapan ini adalah ucapan yang sama yang digunakan oleh Harun ketika ia mengeluhkan Bani Israil kala Nabi Musa kembali dengan Taurat sesuai dengan firman Allah Swt: "Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah ia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?" Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat)itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: " Duhai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim." (Qs. al-A'raaf [7]:150) Ingatlah Rasulullah Saw sendiri bersabda: "Wahai Ali, engkau bagiku seperti Harun bagi Musa; hanya saja tidak ada nabi setelahku."


6. Apakah Ali Menggunakan Dalil-dalil Ini?
Ali tidak menggunakan dalil-dalil ini pada hari-hari awal khalifah ini berkuasa karena dua alasan : 1. Demi menjaga keselamatan dan kelestarian Islam, 2. Karena tahu sikap keras kepala musuh-musuhnya. Sikap Ali ini tidak ada hubungannya dengan implisit vs eksplisit sama sekali. Yang benar adalah bahwa kapan saja ada kesempatan, Imam Ali selalu membicarakan haknya sebagai Khalifah Rasulullah Saw.
Tidak seorang pun yang menyalahkan Ali karena klaim atau menyodorkan bukti-buktinya hingga hari ini. Ia sendiri berkata: "Tidak seorang pun yang dapat disalahkan atas terlambatnya (menjaga) ia meraih haknya, namun kesalahan terletak pada orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya."
Pada tahun 35 SH, sewaktu Imam berada di Kufah, ia mendengar bawha orang-orang sangsi atas klaimnya sebagai lebih utama dan lebih prioritas atas ketiga khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendatangi majelis di Masjid dan memohon kepada saksi-saksi yang hadir di Ghadir Khum untuk menyatakan kebenaran deklarasi Nabi Saw tentang dirinya sebagai "mawla (tuan, pemimpin, junjungan) bagi mereka yang menjadikan Nabi sebagai mawlanya sendiri. Dalam banyak kitab, kita mempunyai dua puluh empat sahabat Nabi yang menyatakan kesaksian akan kebenaran klaim Imam Ali ini. Sumber-sumber lain seperti Musnad Ahmad bin Hanbal dan Majmâ az-Zawâid karya al-Haytami menyebutkan sebanyak tiga puluh.
Anda harus ingat bahwa peristiwa ini terjadi dua puluh lima tahun setelah peristiwa Ghadir Khum, dan selama berabad-abad saksi-saksi sejarah telah meninggal dunia atau gugur dalam medan perang. Dan sebagai tambahan bahwa kejadian ini terjadi di Kufa yang jauh dari Madinah, pusat para sahabat.[]




BAGIAN KELIMA

V. Konsep Ahlul Bait: Islami atawa Kesukuan?

1. Definisi Ahlulbait
"Ahlulbait" secara lughawi (literal) bermakna ahli sebuah rumah dan makna ini merujuk kepada anak-anak atau keturunan seseorang. Dalam terminologi Islam, Ahlulbait bermakna keluarga Nabi Muhammad Saw.
Azas apa yang terpenting yang dimiliki oleh Ahlulbait ini? Apakah perkataan Ahlulbait terdapat dalam al-Quran dan hadits-hadits Nabi? Ataukah ini sebuah konsep kuno kesukuan Arab yang tidak memiliki dasar sama sekali dalam Islam? Al-Quran dan Hadits telah banyak bercerita tentang Ahlulbait ini. Betapapun, bahkan sebelum kita membuka al-Quran, kita memerlukan sebuah sebuah penjelasan tentang konsep Ahlulbait.
Istilah "keluarga Nabi" dapat diterapkan dalam tiga macam hubungan :
" Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi lewat hubungan darah dan pertalian perkawinan saja.
" Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi dengan jiwa dan ruhnya saja.
" Mereka yang memiliki hubungan dengan Nabi lewat hubungan darah dan ikatan perkawinan sekaligus pertalian jiwa dan ruh.

Ketika al-Quran atau Nabi menggunakan istilah "Ahlulbait", tidak bisa termasuk ke dalam kelompok yang pertama atau yang kedua dari tiga kelompok yang diuraikan di atas.
Kelompok yang pertama hubungannya dengan Nabi hanya bersifat hubungan fisik tetapi tidak bersifat ruhani, seperti putra Nabi Nuh atau istri Nabi Luth atau Abu Lahab, paman Nabi. Allah Swt berfirman kepada Nabi Nuh tentang nasib putranya "Innahu laisa min ahlik - ia bukan ahlimu (keluarga) - "Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya." Dan " Allah Berfirman : " Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) sesungguhnya (perbuatannya), perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu mohon kepadaku permohonan yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (Qs. Hudd [11] 45&46) Yakni, ia tidak terikat hubungan ruhani denganmu, ia hanya terikat hubungan fisik denganmu. Istri Nabi Luth dan paman Nabi, Abu Lahab, keduanya digolongkan sebagai penghuni neraka jahannam.
Kelompok yang kedua dipandang "Ahlulbait" hanya dalam istilah metaforis, tidak dalam artian yang sesungguhnya, seperti, Salman al-Farsi yang tentangnya Nabi bersabda: "Salman dari kami, Ahlulbait." Dan ini yang tersisa adalah kelompok yang ketiga.


2. Siapakah "Ahlulbait" itu?
Banyak orang yang memiliki hubungan dengan Nabi melalui pertalian darah dan ikatan perkawinan sekaligus ikatan jiwa dan ruhani. Tetapi, istilah "Ahlulbait" sebagaimana yang disinggung dalam al-Qurandan Hadits tidak diterapkan untuk semuanya. Kita melihat bahwa Nabi Muhammad Saw secara jelas menggunakan istilah Quran " Ahlulbait" kepada empat orang: Fatimah, Ali, Hasan dan Husain Salamullahi ajmain.
Ayat yang pertama (Qs. al-Ahzab [33]:33) adalah ayat tathir:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahul Bayt dan membersihkankamu sebersih-bersihnya"
Tidak seorang pun dari kaum muslimin yang akan menyangsikan bahwa yang dimaksud Ahlulbait Nabi Saw adalah Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Perbedaan kemudian menyeruak kepermukaan ketika memasukkan istri-istri dan kerabat Bani Hasyim yang lain sebagai Ahlulbait. Sebagai contoh, pada abad kita ini, sebuah buku yang diterbitkan oleh pemerintah Arab Saudi yang berjudul: "Allimu Awladukum Hubb ?li Baytin Nabi (Ajarkan kepada anak-anakmu kecintaan terhadap Ahlulbait Nabi) yang ditulis oleh Dr. Muhammad Abduh Yamani pada tahun 1991. Susunan kalimat yang dibuat oleh Yamani tentang keluarga Nabi sangat menarik untuk dicermati: ia pertama menyebut Khadijah, lalu Fatimah, Ali, Hasan, Husain, Zainal Abidin, dan kemudian terakhir para istri-istri Nabi.
Wilfred Madelung, membuat observasi ihwal ayat tathir ini sebagai berikut: "Siapakah "Ahlulbait" di sini? Pronomina (damir) merujuk kepada arti jamak maskulin (pria), sementara bagian pendahuluan ayat ini adalah jamak feminin (perempuan). Ini perubahan gender dalam ayat ini secara nyata memberikan kontribusi terhadap kelahiran yang beragam dari sebuah karakter yang menjadi tokoh legendaris, menempelkan bagian terakhir dari ayat ini kepada lima ahl kisa: Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Meskipun jelasnya signifikansi Syiah, mayoritas riwayat-riwayat ini dikutip oleh at-Tabari dalam tafsirnya tentang ayat yang dimaksud membantu penafsiran ini."
Dari banyak riwayat Ahli Sunnah, di sini saya hanya akan menukil satu riwayat sebagai contoh. Abu Said al-Khudri meriwayatkan dari Ummu Salama, istri Nabi yang rumahnya tempat terjadinya peristiwa Kisa ini. Ummu Salama berkata: Jibrail As datang dengan ayat tathir; Nabi Saw memanggil Hasan, Husain, Fatimah dan Ali, dan beliau mengumpulkan mereka bersama dan menutupinya dengan kain tebal. Lalu berkata: "Wahai Allah, mereka ini adalah Ahlulbaitku, jauhkanlah kenistaan dari Ahlulbait, dan sucikan mereka sesuci-sucinya." Ummu Salamah Ra berkata: "Apakah aku tergolong juga bersama mereka, wahai Rasulullah?" Nabi berkata: "Tetaplah di tempatmu, engkau adalah orang yang memiliki keutamaan."
Karena ayat ini bertempat tepat di tengah-tengah ayat yang dialamatkan untuk istri-istri Nabi, beberapa ulama Ahli Sunnah menggunakan kedudukan ayat ini dengan memasukkan istri-istri Nabi sebagai "Ahlulbait." Namun masalahnya adalah penafsiran mereka berbeda dalam pronominanya (dhamir): redaksi ayat sebelumnya dan sesudah ayat tathir ini memiliki makna pronomina feminim jamak (dhamir muannats jamak) padahal redaksi ayat tathir ini sendiri memiliki makna dhamir mudzakkar jamak. Hal ini merupakan bukti bahwa redaksi ayat tathir ini merupakan ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan pada waktu yang berbeda dan tidak melibatkan istri-istri Nabi.
Meskipun mayoritas riwayat tentang ayat ini bersumber dari riwayat-riwayat Ahli Sunnah yang menopang pandangan bahwa bagian ayat ini merupakan bagian yang terpisah dengan ayat yang kemudian dilekatkan terakhir. Madelung tidak dapat menerima pandangan ini. Dalam tafsirnya, ia mencoba untuk menerapkan istilah Ahlulbait pertama kepada Bani Hasyim dan kemudian, pada tempat yang kedua, kepada istri-istri Nabi Saw. Namun ia tidak dapat menjelaskan perbedaan gender dalam pronomina-pronomina yang digunakan dalam seluruh ayat ini.
Syiah dan Ahli Sunnah meriwayatkan secara jelas penggunaan istilah "Ahlulbait" dalam redaksi ayat tathir ditujukan untuk Ahlul Kisa, tidak tertuju untuk istri-istri Nabi. Dan perbedaan gender dalam pronomina-pronomina tersebut menunjukkan perbedaan antra "Ahlulbait" dan istri-istri. Meminjam istilah Mirza Mahdi Puya "Pada bagian awal dari ayat ini digunakan gender muannats (feminim) - terdapat sebuah transisi di sini dalam alamat dari muannats ke mudzakkar (maskulin). Dengan merujuk kepada istri-istri Nabi Saw, pronomina-pronomina yang ada juga secara konsisten bersifat muannats. Karena percampuran antara pria dan wanita, secara umum yang biasa dipakai adalah gender pria. Transisi ini dalam penggunaan tata-bahasa, menjelaskan bahwa anak kalimat (klausul) ini berbeda dengan yang digunakan dalam sebuah kelompok yang berbeda dengan yang pertama, dan uraian ini layak dijadikan sebagai bahan perbandingan antara Ahlulbaitdan istri-istri Nabi. "
Ayat lain yang penting dari al-Quran yang berbicara tentang Ahlulbait adalah surah asy-Syuura:23. Dalam surat ini, Allah Swt berfirman: "(Wahai Muhammad) katakanlah, aku tidak memintah upah dari kalian (dalam kapasitasnya sebagai pembawa risalah Allah) kecuali kecintaan kepada keluargaku."
Kenyataan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahlulbait, keluarga Nabi, tidak dapat disangsikan lagi. Imam Syafii, pendiri mazhab Sunni Syafi'i, menjelaskan makna ayat ini dengan sebuah syair :
Wahai Ahlulbait Rasulullah, kecintaan padamu,
Adalah fardu dari Allah, disebut dalam Qur'an
Dalam kehormatanmu, memadai untuk salat seseorang
Tidak ada salat tanpa salawat padamu
Ahli Sunnah telah mencoba untuk menangkis pandangan Syiah dengan beberapa dalil berikut ini :

1. Ayat ini diturunkan di Mekkah ketika Hasan dan Husain belum lahir, jadi bagaimana mungkin dapat ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait seperti makna Ahlul Kisa?

2. Karena diturunkan di Mekkah, ayat ini ditujukan kepada suku Quraisy dengan meminta mereka untuk mencintai Muhammad karena ia masih kerabat mereka sendiri.

3. Beberapa orang yang berkata bahwa ayat ini berkenaan dengan seluruh Bani Hasyim, dan tidak semata merujuk kepada Ahlulbait dalam definisi orang-orang Syiah.

Pertama-tama, para mufassir al-Quran secara massif menyebutkan bahwa meskipun surat asy-Syuura merupakan surat Makkiyah, ayat 23-25 & 27 di turunkan di Madinah. Pernyataan para mufassir membuat dalil pertama dan kedua yang disebutkan di atas menjadi tidak berdasar sama sekali.
Yang kedua, perintah untuk "mencintai keluarga Nabi" tidak dapat dikenakan kepada seluruh kerabat beliau karena di antara mereka ada orang-orang baik dan juga orang-orang jahat; dan seseorang harus membatasi makna ayat ini kepada mereka yang disamping memiliki pertalian fisik juga memiliki pertalian ruhani dengan Rasulullah. Dan tidak seorang pun yang membantah bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain bukanlah orang yang memiliki hubungan raga (fisik) dan juga spritual dengan Nabi, meskipun ia melebarkan gelar ini kepada anak keturunan Bani Hasyim yang lain.
Yang terakhir, banyak riwayat Ahli Sunnah yang meriwayatkan bahwa Nabi menggunakan ayat ini kepada Ahlu Kisa. Misalnya, ketika ayat ini diturunkan, orang-orang bertanya kepada Nabi: "Siapakah Qurbah, yang kecintaan kepada mereka wajib bagi kami?" Nabi menjawab, "Ali, Fatimah, dan kedua anak-anak mereka." Nabi mengulangi jawabannya ini tiga kali.


3. "Ahlulbait" Bukan Sebuah Konsep Kesukuan
Apa yang saya sebutkan di atas bukan merupakan sebuah penafsiran baru; Saya hanya menyebutkannya sebagai ringkasan dalil-dalil keyakinan Syiah yang didukung oleh riwayat-riwayat Ahli Sunnah yang telah hadir selama berabad-abad. Dan saya sangat terkejut melihat apa yang telah ditulis oleh seorang alim Syiah tentang konsep Ahlulbait:
"Syiah mengambil manfaat hubungan intim sejarah Ali dengan Nabi dan konsep kuno kesukuan Arab yakni Ahlulbait (anggota rumah tangga) - keluarga yang kepala keluarganya dipilih - dan dengan bersemangat mendukung pencalonan keluarga Ali..."
Memang tidak dapat dimengerti seorang yang memiliki latar belakang Syiah berkata bahwa Syiah mengambil manfaat dari konsep kuno kesukuan Arab tentang Ahlulbait"! Sehingga kini konsep Ahlulbait menjadi sebuah konsep masa pra-Islam/Jahiliyyah yang digunakan oleh orang-orang Syiah untuk menopang klaim mereka tentang Imamah Ali dan keturunannya!
Memang menyedihkan mengingat seorang alim cendekia, berlatar belakang Syiah, tidak dapat membahas konsep Ahlulbait dalam pandangan al-Quran, berbeda dengan seorang cendekia non-Muslim, mampu membahas masalah ini dengan panjang lebar yang mengatakan bahwa konsep Ahlulbait ini adalah berhubungan dengan keluarga-keluarga Nabi sebelum kedatangan Islam dan kemudian berhubungan dengan ayat-ayat Qur'an khusus kepada Ahlulbait. Walaupun kita tidak setuju dengan definisi Madelung yang terlalu luas tentang Ahlulbait. Kita setuju dengan kesimpulannya yang mengatakan : " Nasihat-nasihat al-Qurankepada orang-orang beriman untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka dengan musyawarah, tapi tidak dalam urusan siapa yang berhak menggantikan Nabi. Yakni, merujuk kepada al-Qur'an, masalah pengganti nabi ini, ditentukan oleh Allah, dan Allah memilih pengganti nabi-nabi-Nya, apakah mereka menjadi nabi atau tidak, berasal dari keluarga mereka sendiri."
Kelihatannya, cendikia Syiah ini sedang menggemakan pandangan Marshall Hodgson dan Fazlur Rahman. Marshall Hodgson menulis, "Keturunan Ali -khususnya dari Fatimah disebut Ahlulbait, anggota rumah tangga, (sebuah istilah kuno yang dipakai oleh suku-suku Arab berkenaan dengan keluarga yang darinya dipilih kepala suku..."
Selagi mengomentari klaim yang dibuat oleh orang-orang Syiah Kufah bahwa khalifah dikembalikan kepada keluarga Ali, Fazlur Rahman menulis: "Tujuan yang membuat klaim legitimis ini pada pihak Arab Kufah tidak jelas, kecuali...kenyataan bahwa Nabi berasal dari Bani Hasyim yang mudah diekploitasi." Fazlur Rahman bermaksud bahwa konsep Ahlulbait (Ali dan Nabi berasal dari Bani Hasyim) "dieksploitasi" oleh orang-orang Syiah Kufah untuk mempromosikan klaim mereka bahwa imamah untuk anak-keturunan Ali.
Siapa yang memanfaatkan tradisi pra-Islam dalam perseteruan masalah khalifah? Ali telah diingkari haknya atas khalifah ini oleh Quraisy dengan dalih bahwa tradisi Arab kuno, kepemimpinan seharusnya diberikan kepada orang yang lebih tua dan tidak kepada orang yang masih muda. Ali - dibandingkan dengan Abu Bakar - lebih muda dan oleh karena itu, berdasarkan tradisi Arab kuno ini, ia tidak pantas untuk mengemban kepemimpinan ini. Jadi Quraisylah yang bersandar pada "tradisi kuno Arab", tradisi yang merampas kekhalifaan dari Ali bin Abi Talib.
Siapa yang " mengekploitasi " dan " memanfaatkan " hubungannya dengan Nabi? Adalah kelompok Quraisy di Saqifah yang mengekploitasi fakta bahwa Nabi berasal dari suku mereka, dan oleh karena itu, mereka yang lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada saingan mereka orang-orang Ansar (Penduduk Madinah).
Ketika Imam Ali diberitakan ihwal perdebatan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar di Saqifah, ia bertanya, " Apa yang diplead oleh orang-orang Quraisy?"
Orang-orang berkata, " Mereka beralasan bahwa mereka berasal dari silsilah keturunan yang sama dengan Nabi."
Ali mengomentarinya dengan berkata, " Mereka berdalih dengan pohon tapi mereka merusak buahnya." Pohon di sini bermakna "Suku Quraisy ", dan buah berarti "keluarga Nabi ."[]

5
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

BAGIAN KEENAM

VI. Wilâyah & Cakupannya

1. Apa Wilâyah itu?
"Wilâyah, diambil dari kata wilâ, yang berarti kekuasaan, wewenang atau sebuah hak atas hal-hal tertentu. Dalam teologi Syiah, wilâyah adalah wewenang yang diberikan Allah Swt kepada Nabi dan Ahlulbait sebagai wakil Allah di muka bumi.
Menyitir almahrum Syahid Mutahhari, wilâyah memiliki empat dimensi :

1. Hak kecintaan dan ketaqwaan (wilâ-e mahabbat)
Hak ini menempatkan kaum muslimin di bawah kewajiban untuk mencintai Ahlulbait.

2. Wilâyah dalam bimbingan ruhani (wilâ-e imâmat)
Hak ini mencerminkan kekuasaan dan wewenang Ahlulbaitdalam menuntun pengikutnya dalam urusan-urusan spiritual.

3. Wilâyah dalam bimbingan sosial-politik (wilâ-e ziâmat)
Dimensi wilâyah ini mencerminkan hak bahwa Ahlulbait harus menuntun kaum muslimin dalam kehidupan sosial dan politik.

4. Wilâyah semesta (wilâyah tasarruf)
Dimensi wilâyah ini mencerminkan kekuasaan yang meliputi semesta raya yang menegaskan bahwa Nabi dan Ahlulbait telah dianugerahkan oleh Allah Swt.

Dengan menggunakan pembagian dimensi-dimensi wilâyah ini, saya ingin menunjukkan area kesetujuan (pro) dan ketidaksetujuan (kontra) mereka di antara kelompok-kelompok muslim.

Dimensi pertama : Hak Cinta

Seluruh kaum muslim sepakat menerima dimensi pertama dari wilâyah Ahlulbait ini. Mencintai Ahlulbait merupakan "dharuriyat ad-din" (ushuluddin). Termasuk shalawat dalam salat setiap hari adalah sebagai bukti yang cukup untuk hal ini. Lihat kitab-kitab anti-Syiah seperti as-Shawâiqul Muhriqa, Ibnu Hajar al-Makki dan Tuhfa-e Ithna Ashariyayh milik Shah 'Abdul 'Aziz Dehlawi, dan anda akan mengetahui bahwa Ahlusunnah berusaha dengan segenap kekuatan untuk menjelaskan bahwa mereka menentang orang-orang Syiah, namun tidak kepada Syiah Imamiyah karena mereka tahu bahwa mencintai Ahlulbait merupakan bagian esensial dalam keimanan.
Cinta kepada Ahlulbait seperti tercermin firman Allah Swt: "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan". (Qs Asy Syuraa [26]:43) yang telah kita bahas bersama pada bab sebelumnya. Di sini saya hanya akan mengutip satu lagi hadis dari kitab Ahlusunnah. Imam Ali berkata, "Demi Allah Yang telah memecah butir padi, biji dan mencipta jiwa, sesungguhnya Rasulullah Saw telah berjanji bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali dia seorang beriman dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik." Sebenarnya Jabir bin Abdullah al-Ansari dan Abu Sa'id al-Khudri, dua sahabat utama Nabi, pernah berkata: "Kami tidak mengenali kaum munafik kecuali kebencian mereka terhadap Ali."
Sudah menjadi pandangan umum para ulama Syiah bahwa siapa pun yang menolak salah satu dari dharuriyat ad-din ini, maka dia tidak dipandang lagi sebagai seorang yang beriman. Dan juga berdasarkan kepada prinsip ini, Khawarij dan Nawasib (mereka yang menyatakan secara terbuka kebencian dan permusuhannya terhadap Ahlulbait) dipandang sebagai non-Muslim oleh para fuqaha Syiah.

Dimensi Kedua : Bimbingan Ruhani

Dimensi kedua dari wilâyah ini adalah sebuah keyakinan yang disepakati secara umum oleh Syiah, demikian juga oleh sebagian besar Ahlisunnah khususnya yang mengikuti tarekat-tarekat sufi. Tidak ada yang lebih baik merefleksikan interpretasi ini selain yang diberikan oleh Maulawi Salamat Ali, seorang ulama Sunni dari India, sehubungan dengan hadis al-Ghadir. Ia menulisnya dalam at-Tabsira, "Ahlisunnah tidak meragukan imâmah Amirul Mukminin Ali; dan hal ini merupakan esensi iman. Bagaimanapun, ini perlu, dalam mengambil hadis al-Ghadir ini, ia bermakna Imâmah Ruhani bukan politik. Hal ini merupakan makna yang diambil dari komentar ulama Ahlisunnah dan ulama Sufi, dan, akibatnya, baiat seluruh tarekat-tarekat sufi sampai ke Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib dan melalui Imam Ali mereka dapat tersambung hingga ke Rasulullah Saw."
Selain dari tarekat NaqSyabandi, seluruh sufi ditelusuri mata rantai ruhani mereka sampai kepada para Imam Ahlubait, dan berakhir pada Imam Ali bin Abi Talib sebagai orang yang memegang wewenang spiritual par excellence setelah Nabi. Tarekat Naqsabandi jika ditelusuri pemimpin spiritual mereka kembali kepada Imam Jafar Sadiq dan mengikut nasab dari ibunya kepada Muhammad bin Abu Bakar dan kemudian ke Abu Bakar. Pengalihan yang berasal dari Imam ash-Shadiq kepada Abu Bakar adalah, betapapun tidak sahih, karena Muhammad bin Abu Bakar tumbuh dewasa dalam bimbingan Imam Ali bin Abi Thalib yang menikahi ibunya, Asma binti Umays, setelah wafatnya Abu Bakar. Dan ustad ruhani Muhammad bin Abu Bakar hanyalah Imam Ali bin Abi Thalib As.

Dimensi Ketiga dan Keempat :

Wilâyah Sosio-politik dan Semesta

Dimensi ketiga dan keempat dari wilâyah ini merupakan wilâyah yang unik dari keyakinan Syiah, dan dipandang sebagai bagian dari dharuriyat al-mazhab, bagian asasi dari mazhab Syiah. Dan pandangan umum ulama Syiah menyatakan bahwa siapa yang menolak salah satu dari daruriyat al-mazhab, tidak dipandang sebagai seorang penganut mazhab Syiah.

Kedudukan Ahlulbait di antara kaum Muslimin

----------------------------------Sunni-----------------------Sufi---------------------Syiah

Kecintaan Ahlulbait:--------------OK ------------------------OK ----------------------OK

Bimbingan Ruhani Ahlulbait:-------NO-------------------------OK -----------------------OK

Kepemimpinan Politik Ahlulbait:---NO-------------------------NO ------------------------OK

Wilâyah Universal Ahlulbait:--------NO-------------------------NO-------------------------OK

Penting untuk diperhatikan bahwa dimana saja Syiah menggunakan istilah imâmah atau imam, maka ini sudah mencakup seluruh empat dimensi dari wilâyah tersebut. Termasuk wilâyah spiritual (ruhani) dan universal demikian juga sosial dan kepemimpinan."
Dalam definisi ini, istilah Syiah "imâmah" atau "imam" lebih komprehensif dari istilah Sunni "khilâfat" dan "khalifah". Dalam kitab-kitab yang berisikan dialog antara Syiah-Sunni ihwal kepemimpinan setelah Nabi, fokus pembahasannya lebih ditekankan pada kepemimpinan sosial-politik namun tidak dalam artian yang menafikan wilâyah spiritual dan universal Imam. Sehingga ketika sedang membaca atau berdiskusi masalah suksesi Nabi Muhammad Saw, seseorang seharusnya tidak kehilangan muatan universal tentang status seorang imam menurut pandangan Syiah.


2. Wilâyah Universal
Nampaknya perlu untuk dijelaskan keempat dimensi wilâyah secara lebih jeluk sehingga pembaca dapat mengambil manfaat darinya.
Dimensi keempat dari wilâyah ini adalah wilâyah universal yang telah dianugerahkan kepada Nabi dan Ahlulbait. Wilâyah ini adalah sebuah wewenang yang memungkingan untuk wali untuk menggunakan kekuasaannya atas segala maujud. Dalam istilah Ayatullah Khomeini, "Merupakan sebuah khilafah yang menyangkut seluruh ciptaan, dengan keutamaannya sehingga seluruh atom-atom yang ada dalam semesta ini seluruhnya merendah dihadapan pemegang wilâyah ini."
Wilâyah dari hamba-hamba mustafa (pilihan) Allah ini bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Pandangan ini tidak dapat ditinjau secara horizontal tapi secara vertikal vis-?-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Swt. Kita dalam hal ini menggunakan hierarki vertikal bahwa Allah-lah yang memberikan kehidupan dan kematian. Allah berfirman :
"Allah memegang jiwa (orang) pada saat mereka mati " (Qs. Az Zumar [39]:42)
Tapi pada saat yang sama, al-Qur'an juga menisbatkan kematian kepadanya malaikat-Nya dengan berfirman :
"Katakan : Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawamu) akan mematikan kamu". (Qs. as-Sajdah [32]:11)
Jika Anda menempatkan muatan-muatan kedua ayat ini secara berdampingan (bentuk horizontal), maka Anda telah berbuat syirik, politheism. Tapi jika anda menempatkannya dalam bentuk vertikalnya (dengan kekuasaan malaikat-malaikat di bawah dan bergantung kepada kekuasaan Allah Swt), maka tauhid Anda terpelihara.
Demikian juga, jika kita menempatkan kekuasaan dan wewenang 'anbiya (para nabi) dan aimmah (para imam) dalam bentuk vertikal (dengan keyakinan bahwa kekuasaan mereka di bawah dan bergantung pada kekuasaan Allah Swt), maka kita telah memelihara tauhid juga status hamba-hamba pilihan Allah tersebut.
Al-Qur'an memberikan beragam contoh orang-orang yang telah diberikan wilâyah di alam semesta ini.

1. Dalam menjelaskan kekuasaan bahwa Allah Swt, telah memberikan kepada Nabi 'Isa bin Maryam As, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :

"Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil." ( Qs. Al imran [3]:48)

2. Dalam menjelaskan kekuasan-kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :

"Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut apa saja yang dikehendakinya " ( Qs Shaad [38]:36)

"Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam." (Qs. Shaad [38]:37)

"Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau (tahanlah untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggung jawaban.

" (Qs Shaad [38]:40)

Juga pada firman-Nya:

"Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain dari pada itu dan adalah Kami memelihara mereka itu." ( Qs. al-Anbiyaa' [21]: 81-82)

3. Dalam menjelaskan kekuasaan Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, al-Qur'an menceritakan adegan detik-detik sebelum Ratu Shiba dan rombongannya datang mengujunginya :

"Berkata Sulaiman: " Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)." (Qs. an-Naml [27]: 38, 39 & 40)

Pada ketiga contoh dari al-Qur'an ini, kita melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, memberikan nafas kepada seekor binatang, menghidupkan orang yang telah mati, menyembuhkan orang yang buta dan yang mengidap penyakit lepra, menundukkan jin untuk menunaikan tugas mereka, membawa sesuatu dari jauh hanya dalam sekejap mata, dan sebagainya. Contoh-contoh ini memadai untuk menunjukkan bahwa kekuasaan-kekuasaan seperti itu dapat diberikan dan telah diberikan oleh Allah Swt kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan ini dalam teologi Syiah dikenal sebagai "al-wilâyah at-takwiniyah " (kekuasaan untuk mengatur alam semesta atau wilâyah universal)."
Allah telah memberikan peringkat-peringkat kepada para nabi dan rasul "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain." (Qs. al-Baqarah [2]:253) dan "Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain) ."(Qs. al-Isra' [17]:55), dan kepada seluruh kaum muslimin yang meyakini bahwa Nabi Saw, Muhammad al-Mustafa, berada pada peringkat yang tertinggi dari seluruh para nabi dan rasul."
Seluruh para nabi dan rasul datang untuk menyiapkan umat mereka dalam rangka menyambut Rasulullah, Muhammad Saw, sebagai Rasul untuk seluruh alam semesta dan Rasul pamungkas. Jika para nabi seperti Nabi Sulaiman, Dawud, 'Isa dan Musa dan juga perdana menteri Nabi Sulaiman, dianugerahkan kekuasaan menundukkan alam semesta, kemudian diikuti oleh kemestian bahwa Nabi Muhammad niscaya telah dianugerahkan dengan kekuasaan yang lebih untuk menundukkan alam semesta. Dua contoh telah dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an. Kemampuan Nabi Saw untuk berjalan melintasi relung ruang dan waktu dengan raga materinya. (Qs. al-Israa' [17]:1; An-Najm [53]:5-8), dan membelah bulan dengan menunjuknya dengan tangan. (Qs. al-Qamar [54]:1).
Imam Ali dan para Imam Ahlulbait diyakini oleh para pengikutnya (baca: Syiah) lebih tinggi kedudukannya daripada seluruh para nabi dan rasul kecuali Rasulullah Saw. Dan sebagai sebuah kemestian bahwa mereka juga telah diberikan kekuasaan oleh Allah Swt seperti yang telah diberikan kepada Rasulullah Saw.
Pada poin ini, saya hanya akan menyebutkan satu ayat dari al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini. Selama masa awal-awal di Mekkah, ketika para penyembah berhala mengingkari seruan Nabi, Allah Swt menurunkan sebuah ayat untuk menghibur hati beliau: "Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul." Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab." (Qs. ar-Ra'd [13]:43)
Nabi Muhammad dihibur bahwa tidak menjadi masalah jika para penyembah berhala itu tidak mempercayai seruanmu itu; sudah cukup bahwa Allah dan "Orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" menjadi saksi atas kebenaran seruanmu. Siapakah yang disebut oleh Allah menjadi saksi atas seruan Nabi ini? Siapakah yang memiliki pengetahuan atas al-Kitab ini? Menurut riwayat-riwayat Syiah, yang didukung juga oleh kitab-kitab Ahlisunnah, orang yang menjadi saksi dan memiliki ilmu pengetahuan seperti yang dimaksud di atas adalah Ali bin Abi Talib. Sudah pasti tidak ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang dapat mengklaim lebih memiliki ilmu pengetahuan daripada Ali bin Abi Talib.
Bagaimana uraian "memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" membuktikan wilâyah universal Ali? Jika anda menyebut Asif Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, demikian memiliki kekuasaan dapat membawa mahkota Ratu Saba dalam sekejap mata". Asif dikisahkan sebagai seseorang yang memiliki "ilmun min al-kitab" (pengetahuan tentang sebagian al-Kitab, tidak "pengetahuan tentang seluruh al-Kitab)." Sebagai perbandingan, Imam Ali dikisahkan oleh Allah sebagai seseorang yang memiliki "ilmul kitab" - pengetahuan tentang seluruh al-Kitab, tidak hanya sebagian dari al-Kitab sebagaimana Asif Barkhiya. Dengan demikian, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa kekuasaan Imam Ali atas alam semesta niscaya lebih unggul daripada Asif Barkhiya yang dapat membawa mahkota dari jauh sebelum "mata berkedip."
Lagi, penting untuk diingat, saya harus menyebutkan bahwa keyakinan ini harus diteliti dalam bentuk vertikal vis-?-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dan hanya dalam format itu kita dapat menjaga konsep tawhid yang menyatakan bahwa Allah adalah Pemegang Kekuasaan Mutlak dan sumber segala kekuasaan. Ini juga mengingatkan kita akan kebergantungan total hamba-hamba pilihan itu kepada kehendak dan kekuasaan Allah yang memerintahkan Nabi-Nya untuk berkata. "Katakanlah : Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. " (Qs. al-A'raaf [7]:188) Perkataan Nabi ini bukanlah sebuah penafian bahwa beliau tidak memiliki kekuasaan; sebuah penegasan keyakinan bahwa kekuasaan apa saja yang beliau miliki bersumber dari kehendak dan keridaan Allah Swt.


3. Wilâyah: Spritual vs Politik
Cendekiawan yang menulis artikel dalam Bio-Ethics Encyclopedia (di dalamnya ia menulis bahwa Nabi Saw "tidak meninggalkan arahan tersurat (eksplisit) ihwal suksesi yang menggantikan peran memegang peran wewenang (Wilâyah) agama dan politik "telah menimbulkan pembahasan yang hangat di tengah umat. Tanggapan-tanggapan yang ditulis cendekiawan ini kepada umat dan komentar-komentar yang kemudian ia buat dalam sebuah majlis Muharram 1419 di Toronto, memberikan gambaran bahwa ia masih bingung tentang konsep wilâyah ini.

a. "Hanya Wilâyah Spiritual, bukan Politik"

Pertama, cendekiawan ini mengklaim bahwa wilâyah Nabi dan para Imam hanyalah wilâyah spiritual dan bukan politik. Ia berkata :
"Sebenarnya, Nabi Saw tidak pernah dikenal sama sekali sebagai pemimpin politik. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Nabi dikenal sebagai Rasulullah, pembawa risalah Tuhan. Tidak ada politik, tidak ada bahasa politik yang dilekatkan padanya. Tidakkah ini yang diajarkan oleh ilmu pengatahuan moderen kepada kita; cara Iran mengatakan kepada kita berulang kali bahwa Nabi Saw adalah seorang pemimpin politik. Tidak. Beliau dikenal secara azasi dan esensial sebagai seorang Nabi Allah.
"Tugas kenabian adalah membimbing umat kepada kesempurnaan. Dan kesempurnaan tidak dapat dicapai secara perorangan - ia harus dilakukan sebagai anggota dari umat. Umat bermakna sebuah komunitas di bawah seorang nabi sebagai nabi, bukan sebagai pemimpin politik.
"Kini kita ketahui mengapa "man kuntu mawlahu fa hadza Aliyun mawlahu" berarti sesuatu yang teramat-sangat penting. Nabi Saw bisa saja berkata, man kuntu khalifah fa hadza khalifa'. Dan beliau juga dapat berkata "man kuntu hakiman fa hadza hakiman."
Ia tidak menggunakan setiap istilah yang kita gunakan dalam istilah politik dalam mengemban wewenang pemimpin politik dan sebagainya.
"Lihat susunan kata yang dipilih oleh Allah Swt dalam membimbing. Lagi pula, Nabi Saw adalah "ma yantiqu 'anil hawa in huwa illa wahyun yuha." Beliau diberikan perintah-perintah. "Mawla" apa arti kata mawla ini? Allah Swt berfirman dalam al-Qur'an "wal kafirun laysa lahum mawla." Kaum kafir tidak memiliki mawla. Mereka tidak memiliki seorang mawla - mereka tidak memiliki pelindung, penjaga, mereka tidak memiliki seseorang yang memelihara mereka. Inilah arti mawla.."
Cendekiawan ini berkata bahwa nubuwwat tidak termasuk kepemimpinan politik, dan kata mawla yang digunakan oleh Nabi Saw di Ghadir Khum tidak bermakna khalifah (pengganti peran politik) atau hakim (pengatur). Dengan kata lain, ia mengeluarkan dimensi ketiga dari wilâyah dari istilah "mawla" dan membatasinya kepada dimensi kedua (bimbingan ruhani). Dalam usahanya untuk meyakinkan jamaahnya, ia membuat kesalahan hipotetikal dan gramatikal kalimat-kalimat Arab yang tidak ada makna sama sekali. Sebagai contoh, kalimat "man kuntu khalifah fa hadza [lahu] - barangsiapa yang menjadikan aku sebagai penggantinya, maka ini dia penggantinya." Apakah khalifa' (pengganti) Nabi Saw adalah salah seorang hadirin ketika itu? Tentu saja tidak; dan inilah alasan mengapa beliau tidak menggunakan istilah "khalifah" dalam hadis al-Ghadir.
Sebagaimana yang telah kita bahas pada bagian-bagian sebelumnya (bagian keempat dari buku ini), untuk dapat mengerti makna "mawla" yang digunakan oleh Nabi Saw untuk Imam Ali, Anda tidak perlu pergi terlalu jauh. Hanya menimbang pertanyaan yang beliau tanyakan kepada kaum muslimin yang hadir di hadapan Ali sebagai "mawla". Nabi Saw bertanya kepada mereka, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalian lebih atas wewenang kalian atas diri kalian sendiri? A lastu awla bi kum min anfusikum?"
Ketika itu mereka menjawab, "Tentu saja, Wahai Rasulullah," lalu beliau bersabda: "Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu - barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Nabi Muhammad Saw niscaya tengah membicarakan seorang pemimpin yang lebih memiliki wewenang (awla) atas orang-orang melebihi wewenang atas diri mereka sendiri, dan juga termasuk wewenang dalam urusan politik. Dan, oleh karena itu, Nabi tidak perlu lagi berkata "man kuntu ['alayhi] hakiman, fa hadza ['alayhi] hakiman."
Cendekiawan kita ini melanjutkan pembicaraannya :
"Nabi Saw ketika memperkenalkan wilâyah Imam Ali di tengah umat, apa yang beliau katakan? Man kuntu mawla fa hadza Aliyun mawlahu." Apa yang dimaksudkan oleh beliau adalah bahwa "Siapa saja yang memandang aku sebagai contoh teladan untuk diikuti hingga mencapai keselamatan," Ali adalah orang yang harus diikuti." Pertanyaannya adalah pertanyaan ketaatan. Mawla, adalah seseorang yang harus ditaati, seseorang yang tidak boleh dipandang enteng. Dalam istilah ini, Allah adalah mawla. Allah adalah mawla dari diin, jalan itu yang di atasnya kalian tidak mampu tebus untuk menentang Allah Swt....."
Apakah kalimat di atas ini dan ketaatan dibatasi hanya kepada urusan-urusan spiritual belaka dan tidak termasuk urusan-urusan sosial-politik?

Hadis dari Abdulah bin Mas'ud

Untuk membuktikan poinnya bahwa deklarasi al-Ghadir tidak cukup tersurat untuk menyampaikan makna "khilâfat" dalam pengertian suksesi politik, cendekiawan kita ini berkata:
"Nabi tidak pernah memaksa. Setelah ia kembali dari Ghadir ke Madinah; suatu malam ketika beliau di rumah dengan Abdullah bin Mas'ud. Beliau berkata kepada Abdullah bahwa utusan Tuhan (malaikat maut) telah datang dan menghendaki kalau aku pergi; Nabi Saw telah menerima kabar tentang kematian beliau. Abdullah berkata, sebenarnya kabar ini terjadi setelah peristiwa Ghadir, Menunjuk seorang pengganti." Iya. Inilah yang sebenarnya yang beliau katakan. Mengapa Anda tidak menunjuk Abu Bakar?" Nabi menggelengkan kepalanya dan berkata, tidak. Beliau menyebutkan satu persatu orang yang hadir di situ malam itu. (Aku tidak tahu nilai hadis ini; Syaikh Mufid menyebutkannya dan aku menukilnya dari Syaikh Mufid. Saya di sini tidak bermaksud menguji dan menilai seberapa otentik hadis ini. Tapi, saya ingin katakan kepada Anda ini menunjukkan keadaan pada suatu umat. Jika hadis ini benar, hadis ini menunjukkan keadaan umat. Hadis Abdullah berlalu; dan Nabi bertanya, "Apa yang seharusnya saya lakukan?" Abdullah berkata. "Mengapa Anda tidak menunjuk 'Umar, mengapa Anda tidak menunjuk Utsman?" Dan akhirnya 'Abdullah berkata, "Mengapa Anda tidak menunjuk Ali?" Dan Nabi berkata, dan ia lemah kali ini, Duhai aku berharap, mereka mentaati. Aku berharap mereka mentaati."
Pertama, percakapan antara Nabi dan Abdullah bin Mas'ud tidak terjadi di Madinah setelah deklarasi al-Ghadir sebagaimana cendekiawan ini para pendengar meyakininya ("Sebenarnya, ini setelah Ghadir). Pada permulaan dari kisah ini, Abdullah berkata, "Kami pergi keluar bersama Rasulullah Saw pada malam pengutusan jin hingga kami [tiba] tinggal beberapa saat di 'Ula." 'Ula adalah sebuah tempat Nabi berhenti dalam perjalanannya menuju Tabuk.
Kedua, peristiwa yang dihubungkan dengan utusan jin terjadi ketika Nabi dalam perjalanan menuju Tabuk pada tahun 9 H. Dan peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tahun 10 H.
Ketiga, sesuai dengan metodologi para cendekiawan Barat, tidak akan menjadi hasil dengan nama yang diusulkan oleh Abdullah bin Mas'ud sendiri sebagai sebuah indikasi bahwa hadis ini adalah hadis yang dibuat kemudian (baca: palsu)? Mengapa para cendekiawan Barat begitu cepat menolak hadis-hadis yang dinukil oleh Syiah yang bermuatan nama-nama para imam dengan kelanjutan layak tapi tidak memberlakukan standar ketat (baca : meragukan) terhadap hadis-hadis Sunni? Jawabannya mudah. "Aku berkata bahwa aku tidak tahu nilai hadis ini....." Pertanyaan saya hanyalah , mengapa membuat umat bingung dan menciptakan keraguan dalam kejelasan sabda Nabi Saw pada deklarasi al-Ghadir dengan menukil sebuah hadis Abdullah bin Mas'ud secara tidak bertanggung jawab?
Dengan landasan rapuh ini, cendekiawan kita ini mengambil sebuah kesimpulan dengan berkata :
"Sangat terang, ada pertanyaan besar terhadap peran agama yang dimainkan oleh Nabi Saw di tengah umat. Umat melihat sendiri bahwa ia didirikan di bawah kepemimpinan Nabi Saw. Ketika ia pergi, seseorang harus menggantikan kedudukannya - dengan wewenang yang sama. Dan hari ini adalah hari dimana kita masih mencari penafsirannya."
Alhamdulilah pengikut sejati Nabi Saw memahami tafsiran sebenarnya pada peristiwa Ghadir Khum sendiri. Dan semoga Allah Yang Maha Kuasa menolong mereka yang masih mencari penafsiran yang sebenarnya dari istilah "mawla" dan status "waliyullah" ini.

Arti imâmah

Dengan ceramah yang sama, cendekiawan kita ini lebih jauh menjelaskan arti imâmah dengan berkata :
"Sistem keyakinan berkata bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk wajib ditaati setelah Nabi Muhammad Saw adalah Ali bin Abi Talib. Hal ini berarti imâmah. Anda buka kitab-kitab ilmu Kalam, Anda akan temukan para mutakallimin (teolog) menjelaskan Imam Ali sebagai, seseorang yang harus ditaati oleh umat. Mengapa ia harus ditaati? Karena ia duduk persis di tempat Nabi Muhammad Saw ....
"Imam Ali merupakan imam sejak Nabi Muhammad Saw wafat. Terlepas dari apakah ia menjadi khalifah atau tidak. Bagaimana ia dapat menjadi imam tanpa menjadi seorang khalifah, tanpa duduk di singgasana? Itu bukan syarat utama. Karena ketaatan sudah memadai menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw."
Untuk mempertahankan tulisannya dalam Bio-Ethics Encylopedia, cendekiawan ini telah membagi "imâmah" dan "khilâfah" menjadi dua ranah yang berbeda: "imâmah" menjadi sebuah maqam spritual sementara "khilâfah" menjadi sebuah maqam politik. Katanya, "imâmah tidak lebih dari itu", dan bahkan dengan tegas meminta orang-orang yang mendengarkan cerahmahnya (audience) untuk "membuka kitab-kitab ilmu kalam (teologi)...."
Jadi, kita buka kitab-kitab ilmu Kalam dari berbagai masa dan menemukan komentar-komentar cendekiawan ini berbanding terbalik dengan yang berlaku secara umum (mainstream) dalam keyakinan Syiah dalam makna dan cakupan "imâmah."
Syaikh Mufid (wafat 413 H/1022 M) mendefinisikan "imâm" sebagai berikut: "Imam adalah orang yang memiliki kepemimpinan komprehensif dalam urusan agama dan juga urusan dunia sebagai pengganti nabi."
Allamah Hilli (wafat 726 H/1325 M) mendefiniskan imâmah sebagai berikut: "imâmah merupakan sebuah wilâyah universal (riyâsa) dalam urusan agama dan dunia yang dimiliki oleh beberapa orang dan berasal dari (niyaba) nabi."
Abdur Razzaq Lahiji (wafat 1072 H) mendefinisikan imâmah sebagai berikut: "Ketahuilah bahwa imâmah adalah sebuah wewenang atas orang-orang baligh dalam urusan duniawi sekaligus urusan agama berdasarkan kepada penggantian nabi."
Allamah Tabatabai' (wafat 1401 H/1981 M) menulis, imâmah dan kepemimpinan agama dalam Islam dapat dikaji dari tiga perspektif yang berbeda: Dari perspektif pemerintahan islami, ilmu pengetahuan dan dustur-dustur islami, dan kepemimpinan serta bimbingan spiritual. Syiah meyakini bahwa karena umat Islam sangat membutuhkan bimbingan dari ketiga aspek di atas, orang yang menjalankan fungsi sebagai orang yang memberikan bimbingan dan merupakan pemimpin umat dalam ketiga aspek di atas harus diangkat oleh Allah dan Nabi."
Bahkan Murtada Muthahhari menyebutkan bahwa ketika Syiah menggunakan istilah "imâm", tidak hanya mencerminkan bimbingan spiritual dan kepemimpinan, tapi juga termasuk kepemimpinan sosial dan politik.
Sebagaimana yang Anda lihat, seluruh mutakallimin dan ulama-ulama besar Syiah sepakat dalam definisi Imam sebagai sebuah kedudukan yang menggabungkan kepemimpinan spiritual/religius sekaligus kepemimpinan sosio-politik/duniawi. Bagi seorang Syiah, Ali adalah Imam yang pertama sekaligus Khalifah Rasulullah yang pertama. Seorang Syiah tidak akan pernah berkata bahwa Ali adalah Imam yang pertama tapi bukan khalifah bila fasl (langsung menggantikan Nabi, karena ada tiga khalifah sebelumnya, -penj.) Nabi. Perbedaan antara Syiah dan Sunni bukan masalah kepemimpinan spiritual; tapi pada masalah kepemimpinan sosial-politik segera setelah wafatnya Nabi. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pandangan bahwa Ahlulbait "pembimbing spiritual saja bukan pemimpin politik" adalah keyakinan yang bisa ditemukan di kalangan Sunni secara umum dan kaum Sufi secara khusus.

b. "Politik Juga"

Lalu ceramah pada tanggal 6 Muharram 1419, cendekiawan kita ini, dengan sebuah cara, membantah komentarnya di atas. Ia berkata :
" ..Kenyataan yang masih tersisa bahwa al-Qur'an memandang Nabi Saw sebagai pemimpin umat, dan sebuah umat yang mencakup ranah agama, sosial dan politik. Dengan kata lain, mencakup kehidupan sipil, moralitas umat yang dipandu oleh seseorang, yang memiliki wewenang komprehensif, yang tidak dapat diterima oleh suku-suku Arab. Ketika peristiwa al-Ghadir terjadi, satu dimensi yang menantang dari peristiwa al-Ghadir adalah sebuah perkenalan konsep Qur'ani ihwal kepemimpinan. Wilâyah bermakna kepemimpinan, yang menggabungkan antara wewenang sipil dan akhlak dalam diri seseorang.
Artinya tidak ada pemisahan kekuasaan. Tidak ada gereja dan negara seperti ini, kecuali wewenang sipil dan akhlak tergabung dalam diri orang tersebut yang memegang pos wilâyah ini. Apa yang baru tentang masalah ini? Hal yang baru adalah bahwa dalam budaya Arab, bangsa Arab tidak pernah melihat seorang pemuda yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Dalam budaya Arab tidak mungkin bagi seorang pemuda berusia tiga puluh tahun menjadi seorang pemimpin, karena bangsa Arab percaya bahwa orang tua yang harus menjadi pemimpin...
Lagi pada ceramahnya yang kedelapan, ia berkata :
"Pertanyaan utama adalah apakah Islam merupakan sebuah sistem politik atau sebuah sistem agama? Ada dua pendapat mengenai hal ini. Banyak ulama yang bersilang pendapat ihwal masalah ini termasuk, Ayatullah Khui, Ayatullah Mutahhari, Ayatullah Khomeini, al-Ashmawi di Mesir, al-Jabiri di Maroko...Bagiku ada masalah penting yang terkait di sini. Jika kita mengatakan bahwa Islam bukan merupakan sebuah sistem politik, dan hanyalah sebuah sistem keagamaan yang hanya peduli pada usaha manusia kepada kesempurnaan dan menyiapkannya untuk akhirat, maka kita telah mengingkari peran utama yang dimainkan oleh Nabi dalam membentuk umat ini. ..
"Sembilan per sepuluh ajaran Islam terdiri dari muamalat, bagaimana Anda dapat berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, bagaimana Anda mengelola urusan-urusan Anda di dunia ini karena apapun yang Anda lakukan di dunia ini memiliki implikasi pada dunia akhirat kelak. Dalam agama seperti ini, mengatakan bahwa Islam hanya sebuah agama tanpa sistem sosial adalah mengingkari kebenaran wilâyah. Sebenarnya, jika Anda mengingat kuliah saya pada malam kelima sebelumnya, karena wilâyah bermakna moral, wewenang sosial yang dapat menuntun Anda kepada tujuan utama penciptaan, dan tujuan utama penciptaan ini tidak akan diketahui hanya dengan salat lima kali sehari, berpuasa, tapi mengetahui bagaimana dapat hidup sebagai manusia dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya, tidak akan ada otoritas sipil, Nabi Saw hanya dapat kita sebut sebagai an-nabi ar-ruhi..."
Pernyataan ini memang benar. Mengapa cendekiawan kita ini pada ceramah keduanya berkata: "Nabi tidak pernah dikenali sebagai pemimpin politik"? Baguslah ia telah membuat klarifikasi dan berkata bahwa Nabi Saw tidak hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga sebagai pemimpin politik. Setelah perang dunia pertama, ada sebuah debat yang hangat di Mesir tentang Westernization melawan Islam, mencoba mensekulerkan Islam dengan membatasi khilafat pada masalah-masalah spiritual dan memisahkannya dengan sistem politik ummat. Ali Abdur Raziq menulis al-Islam wa Usuluhul Hukm (1925) mengajukan usul pemisahan sempurna antara agama dan negara dalam Islam. Gagasan-gagasan yang sama mencuat ke permukaan akhir-akhir ini dalam tulisan-tulisan intelektual muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan liberal/sekuler Barat.


4. Peran Para Imam di mata Ulama Najaf dan Qum
Lalu pada ceramahnya yang kesembilan, cendekiawan kita ini menimbang peran spiritual dan politik Nabi Saw dan para Imam As. Dan kini secara mengejutkan ia mengklaim bahwa bahkan ulama-ulama besar di Qum dan Najaf memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah ini. Ia berkata :
" ...Najaf dan Qum terbagi dalam perdebatan hangat tentang peran politik Nabi. Najaf sebagai salah satu pusat pengkajian Syiah, dan Qum, kini pusat terpenting pengkajian Syiah terbagi menjadi dua pandangan tentang peran Imam...Najaf memegang sikap konservatif terhadap peran Imam. Mereka meyakini bahwa agama memiliki sebuah fungsi moral (akhlak), sebuah fungsi etis bukan sebuah fungsi politik, termasuk Ayatullah Khui, yang pendapatnya banyak dinukil orang. Ia tidak meyakini bahwa wilâyah Imam Ali bin Abi Talib As perlu untuk mewujudkan dirinya secara politis karena Imam As tetap sebagai pemimpin secara spiritual, moral, etis tanpa memandang apakah orang-orang membai'atnya atau tidak. Pendapat ini dibantah oleh Ayatullah Khomeini sendiri."
Cendekiawan ini ingin meninggalkan kesan dibenak para pendengarnya bahwa bahkan ulama Qum dan Najaf pun memiliki pendapat yang berbeda ihwal peranan Imam dalam pandangan orang-orang Najaf terbatas pada ranah spiritual (an-sich), sementara Qum melebarkannya dan juga memasukkan ranah politik ke dalamnya.
Tidak ada yang dapat diajukan sebagai kebenaran. Ulama Syiah Najaf (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khu'i) dan Qum (yang dicontohkan oleh almahrum al-Khomeini) memiliki pandangan yang sama tentang Wilâyah Nabi dan para Imam. Perbedaan yang mengemuka di antara mereka bukan pada masalah wilâyah para Imam, namun pada perluasan wilayat-e faqih, otoritas seorang faqih. Lagi pula, dalam masalah wilâyat-e faqih pembagian bukan antara Qum dan Najaf; ulama di antara dua kubu dalam masalah ini, di Qum dan juga di Najaf.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, seluruh empat dimensi wilâyah Nabi dan para Imam adalah termasuk daruriyat al-mazhab (usul aqidah Syiah), sehingga bagaimana bisa ulama-ulama besar Syiah memiliki pandangan yang berbeda ihwal masalah in?
Berkenaan dengan pandangan almahrum Ayatullah al-Khomeini tentang Wilâyah Nabi dan Ahlulbaitnya, saya akan mengutip ceramahnya tentang wilâyat-e faqih. Ia berkata :
"Untuk membuktikan bahwa pemerintah dan otoritas dimiliki oleh Imam tidak hanya bermakna bahwa Imam tidak memiliki kedudukan spiritual. Imam tentu saja memiliki dimensi-dimensi spiritual yang tidak bersambung dengan fungsinya sebagai penguasa. Kedudukan spirtual Imam adalah khilâfah universal Ilahi yang kadang-kadang disebut oleh para Imam As. Khilâfah yang berkenaan dengan seluruh penciptaan, dengan keutamaan yang seluruh partikel-partikel atom di alam semesta merendahkan diri mereka di hadapan pemegang otoritas ini. Ini adalah salah satu usul aqidah mazhab Syiah bahwa tidak ada seorang pun dapat mencapai kedudukan para imam tersebut, bahkan tidak juga oleh para malaikat dan para nabi. Kenyataanya, sesuai dengan hadis-hadis yang sampai ke tangan kita, Nabi Saw dan para Imam As - dalam bentuk cahaya - telah ada sebelum penciptaan semesta ini, mereka bersemayam di bawah arsy Ilahi; kedudukan mereka jauh lebih unggul dari manusia-manusia lain dalam sperma yang kemudian tumbuh dan berkembang dalam susunan fisik mereka. Kedudukan agung mereka ini hanya dibatasi oleh kehendak Ilahi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Jibril terekam dalam hadis-hadis tentang mi'râj: "Jika aku mendekat seujung jari, niscaya aku akan binasa."
Ayatullah Khomeini, ketika menegaskan kepemimpinan politik Nabi dan para Imam, ia tidak mengingkari atau mendemistifikasi wilâyah universal mereka.
Kini tiba giliran pandangan Ayatullah al-Khu'i tentang wilâyah Nabi Saw dan Ahlulbait As yang saya nukil dari transkrip kuliah-kuliahnya. Ia berkata :
"Tentang dimensi pertama dari wilâyah [takviniyah, universal], secara jelas tidak ada keraguan terhadap otoritas mereka atas seluruh penciptaan sebagaimana telah jelas dalam hadis karena mereka dalam mata rantai penciptaan, melalui mereka [berlanjut] eksistensi, dan mereka adalah hujjah [sebab] diciptakannya alam semesta ini; jika bukan karena mereka, Allah tidak akan menciptakan manusia seluruhnya, manusia telah diciptakan untuk berkhidmat kepada mereka, melalui mereka manusia wujud, dan mereka adalah wahana tercurahnya anugerah Tuhan.
"Sebenarnya, mereka memiliki otoritas (wilâyah) universal persis di bawah Sang Pencipta sendiri; otoritas mereka ini adalah sama dengan otoritas Allah Yang Maha Kuasa pada penciptaan, namun, masih di bawah otoritas Tuhan dalam penciptaan."
Kemudian, al-Khui juga berbicara tentang otoritas sipil/politik Nabi As dan para Imam As, katanya:
"Berkenaan dengan dimensi kedua dari wilâyah at-tashri'iyya dalam pengertian bahwa mereka memiliki otoritas untuk secara mandiri mengatur kekayaan dan kehidupan manusia - secara jelas, tidak ada perdebatan ihwal otoritas ini...Ini dibuktikan dari hadis-hadis yang telah diuji kebenarnya, dan dalam hajjatul wida' [Nabi bersabda], "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya. Apakah aku lebih memiliki otoritas terhadap kalian melebihi otoritas atas diri kalian sendiri?" Mereka berkata: " Ya..."
Ayatullah al-Khui, dalam menegaskan wilâyah universal Nabi Saw dan para Imam As, ia tidak mengingkari otoritas politik mereka. Pada hakikatnya, ia lebih jauh menjelaskan :
"Dan anggapan bahwa sejarah bertentangan dengan ini [dalam artian bahwa para Imam secara historis tidak menunjukkan otoritas politik mereka] .....tidak sahih."
Lalu ia menyimpulkan,
"Jadi jangan menggunakan [otoritas dalam artian sejarah] tidak membuktikan tidak adanya otoritas ini karena hal ini sudah jelas."
Hakikatnya, dua faqih besar kontemporer dunia Syiah yang mewakili Qum dan Najaf memilki pandangan yang serupa tentang wilâyah para Imam Ahlulbait As. Keduanya meyakini empat dimensi wilayat tersebut - spritual, sosio-politik, dan universal - Nabi dan para Imam. Ikhtilaf yang ada di antara mereka hanya pada batasan wilâyah seorang faqih (mujtahid) selama masa ghaIbnuya Imam Zaman Ajf.
Bagaimana mungkin seorang cendekiawan, yang menulis buku The Just Ruler (Sang Penguasa Adil) pada otoritas faqih, tidak tahu perbedaan antara wilâyah para Imam (yang disepakati oleh fuqaha Syiah) dan wilâyah faqih (dengan ikhtilaf tentang batasan wilâyah di kalangan fuqaha Syiah)?


5. Wilâyah dan Aqidah?
Dengan merujuk kepada kontroversi seputar artikelnya dalam Bio-Ethics Encyclopedia, cendekiawan ini membuat komentar dalam ceramahnya yang keempat pada bulan Muharram 1419 :
"Bagaimana mungkin hal seperti itu memecah-belah umat bila ini bukanlah sebuah masalah yang penting, dan bahkan bukan bagian dari aqidah."
Merujuk pada peristiwa Ghadir Khum, ia berkata :
"Peristiwa itu adalah peristiwa sejarah: Apa hubungannya dengan aqidah kita? Jadi jika saya berkata dalam artikel bahwa Nabi tidak meninggalkan arahan tersurat tentang penggantinya, apakah saya menyusuri jalan berbahaya bagi keselamatan agama Ahlulbait? Ataukah saya tengah memenuhi hak saya sebagai seorang peneliti untuk melihat apa yang tertera pada kitab-kitab sejarah?"
Apakah masalah wilâyah dan imâmah ini adalah sebuah bagian sepele dan "bahkan bukan merupakan bagian dari aqidah?"
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya pada awal-awal bagian keenam dari buku ini, dalam Islam tersebut sebuah istilah yang dikenal sebagai "dharuriya, jamak dari dharuriyah" yang berkenaan dengan masalah-masalah penting dari agama kita. Dharuriyah terbagi menjadi dua bagian:
"Dharuriyat ad-din" - bagian esensial dari aqidah Islam dan "dharuriyah mazhab" - bagian esensial dalam mazhab Syiah." Sudah menjadi pendapat umum bahwa siapa saja yang mengingkari salah satu dari dharuriyat ad-din, maka ia tidak lagi dipandang sebagai seorang muslim; dan siapa saja yang mengingkari salah satu bagian dari dharuriyah al-mazhab, maka ia tidak lagi dipandang sebagai pemeluk mazhab Syiah.
Bagaimanakah kedudukan aqidah dalam Wilâyah Ahlulbait: Apakah ia salah satu bagian dari daruriyat atau tidak? Ketika mendiskusikan kedudukan kaum muslimin di luar Syiah, Ayatullah Khui mendefinisikan wilâyah (dalam pengertian kecintaan terhadap Ahlulbait) sebagai salah satu bagian daruriyat ad-din, dan wilâyah (dalam pengertian khilafah dan kepemimpinan politik) sebagai salah satu bagian daruriyah al-mazhab. Almarhum Ayatullah al-Khui berkata :
"Dimensi wilâyah yang esensial adalah wilâyah dalam pengertian kecintaan dan ketaatan, dan mereka [Sunni] tidak mengingkari Ahlulbait dengan pengertian ini bahkan mereka menyatakan kecintaan mereka terhadap Ahlulbait As....
"Tentu saja, wilâyah dalam pengertian suksesi (khilâfah) merupakan bagian penting dalam mazhab [Syiah], tapi bukan merupakan bagian terpenting dari agama."
Jadi sesuai dengan Ayatullah al-Khui, wilâyah dan imâmah dalam pengertian suksesi (khilâfah) adalah sebuah bagian esensial (dharuri) dalam mazhab Syiah, siapa saja yang mengingkari dimensi wilâyah ini tidak termasuk dalam mazhab Syiah. Ia masih dianggap sebagai muslim bukan sebagai seorang Syiah.
Berkenaan dengan pertanyaan bahwa dengan mengingkari eksplisitnya (jelas) penunjukkan Imam Ali, apakah cendekiawan kita ini "sedang menyusuri jalan yang berbahaya bagi hidupnya agama Ahlulbait?"
Baiklah, agama Ahlulbait akan senantiasa hidup karena ia memiliki Imam yang menjaganya meskipun dalam masa ghaib; tapi komentar-komentar seperti ini sudah tentu akan melemahkan aqidah orang-orang awam kita. Anda harus melihat apa akibat dari komentar ini: akan meminimalisir kesalahan terhadap Ahlulbait dan memberikan bentuk pengesahan (legitimasi) terhadap pandangan Sunni. Seorang Sunni akan melebarkan argumen ini lebih jauh bahwa karena Nabi Saw tidak membuat masalah wilâyah ini cukup jelas, maka sahabat telah melakukan yang terbaik untuk Islam! Seorang Syiah yang telah menghadiri ceramah-ceramah ini berkata "Apa masalahnya jika kita meyakini bahwa Ali adalah Imam yang pertama (dalam pengertian spiritual) dan keempat khalifah (dalam pengertian sosio-politik)!" Dengan sikap bersahabat seperti ini, kita tidak akan lagi memiliki musuh.


6. Koreksi Akhir
Selang beberapa saat sebelum datang ke Toronto pada tahun 1988 yakni untuk mengisi acara Muharram (1419), cendekiawan kita ini mengirim koreksi atas ceramah-ceramahnya kepada penerbit buku Bio-Ethics Enclyopedia. Koreksi tersebut sebagai berikut :
"Muhammad wafat pada tahun 632 M, setelah membawa bangsa Arab di bawah pemerintahan Madinah. Namun, meskipun ia secara tersurat mengangkat sepupu dan anak-mantunya, Ali untuk menggantikannya, ia tidak meninggalkan petunjuk tertulis ihwal proses politik selanjutnya."
Pernyataan ini ia kirim ke beberapa ikhwân di Toronto dan juga menyinggungnya pada salah satu ceramahnya pada Muharram 1419.
Kami memiliki komentar-komentar berikut ini berkenaan dengan perbaikan yang telah dibuat: Pertama, perbaikan yang telah dibuatnya pun masih tetap bermasalah. Ia telah mencoba untuk membagi suksesi ke dalam dua bagian: agama dan politik. Pada masalah suksesi agama, ia menulis bahwa Nabi Saw secara tersurat mengangkat Imam Ali As untuk menggantikannya. Kemudian ia secara terburu-buru mengkualifikasikan pengangkatan tersurat ini dan mengeluarkan suksesi politik dari pengangkatan ini dengan menulis : "Ia (Nabi) tidak menulis petunjuk tertulis tentang proses politik selanjutnya." Pada ceramah Muharram-nya (1419) yang keempat, ia berkata: "Iya, al-Ghadir adalah sebuah pengangkatan tersurat (ekplisit), namun itu tidak berarti petunjuk tersurat tentang proses politik. Tidak ada catatan sejarah yang mendukung hal tersebut."
Sejak kapan "petunjuk tertulis" menjadi hal yang penting dalam mengerangka ajaran-ajaran Islam? Apakah seluruh struktur sistem Islam berdasarkan pada perkataan: al-Qur'an dan Sunnah? Tentu saja tidak ada petunjuk "tertulis" yang ditinggalkan oleh Nabi untuk segala hal, sehingga mengapa menciptakan bantal (landasan) yang baru untuk Sunni dalam mempertahankan argumennya dan balik menyerang Syiah dengan berharap pada sebuah petunjuk "tertulis" ihwal masalah khalifah? Bagaimana tentang seluruh sabda Nabi tentang pengangkatan Imam Ali bin Abi Talib sebagai khalifah?
Akankah petunjuk "tertulis" lebih bernilai daripada petunjuk "lisan" Nabi? Apakah menentang petunjuk "lisan" Nabi Saw kurang mendapat azab dari petunjuk "tertulis"beliau? Allah Swt berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi "(Qs. al-Hujurat [49]:2)
Jika cendekiawan kita ini bermaksud untuk menyebut kisah tentang qirtas yang diminta oleh Nabi berupa sebuah pena dan kertas, lalu ia harus menulis seluruh kisah dan menunjuk orang yang bertanggung jawab karena tidak memberikan kesempatan pada Nabi Saw untuk meninggalkan apapun dengan tertulis.
Kedua, permainan dengan kata-kata seperti "pengangkatan" dan "petunjuk" sangat mengganggu. Pada hari Ghadir, Nabi Saw berbicara tentang semakin dekatnya ajal Nabi Saw dan mendapatkan pengakuan dari kaum muslimin tentang tingkatan otoritas Nabi Saw terhadap mereka, dan lalu beliau mendeklarasikan bahwa: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya." Lalu ia bersabda: "Aku tinggalkan dua hal kepada kalian: Kitâbullâh dan Itrahti, kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh kepadanya."
Dan kemudian ia memerintahkan para sahabat untuk datang dan memberikan selamat kepada Imam Ali dengan memanggilnya sebagai "Amir" (pemimpin)." Ketika Anda mengamati seluruh qarînah (konteks) peristiwa al-Ghadir, bukankah petunjuk, pengangkatan, indikasi, kecendrungan (inklinasi), pelantikan - atau apa saja yang Anda suka untuk menyebutnya - yang ada sebagai dalil kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Nabi?
Untuk meyakini bahwa Nabi Saw tidak meninggalkan arahan tersurat tentang pengganti kepemimpinan politiknya memberikan legitimasi kepada khalifah Ahlisunnah. Jika sekiranya Nabi Saw tidak berkata tentang masalah ini dengan jelas, lalu bagaimana mungkin Syiah mengklaim bahwa Abu Bakar telah merampas haknya Ali bin Abi Thalib As? Perkataan seperti ini hanya akan menolong Ahli Sunnah, tidak lain.
Ketiga, dalam menyoroti komentar cendekiawan kita ini, siapa pun dapat berkata bahwa Ali adalah Imam (pengganti kepemimpinan agama dan spiritual) tapi bukan sebagai Khalifah (pengganti kepemimpinan politik)! Saya tidak tahu bagaimana nantinya cendekiawan ini berbicara tentang deklarasi Nabi pada Da'wat dzul 'Ashira yang menopang bahwa Ali adalah "penggantiku" (khalifati)
Dalam ilmu Kalam Syiah, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tidak ada perbedaan antara "imâmah" dan "khilâfah". Implikasi dari dua hal ini adalah sederhana: Ali - dalam hubungannya dengan Nabi - adalah Khalifah dan penggantinya; dan Ali - dalam hubungannya dengan ummat - adalah Imâm dan pemimpin mereka. Jadi dalam mendefinisikan "imâmah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin agama dan "khilafah" sebagai sebuah pergantian peran pemimpin politik bertentangan dengan implikasi-implikasasi Imâm dan Khalifah. Ali merupakan Imâm kaum muslimin dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik, dan demikian juga, Ali adalah Khalifah Rasulullah dalam urusan agama sekaligus dalam urusan politik. Karena didepak dari kedudukan politiknya tidak akan mengurangi hakikat kebenaran. Dalam bahasa Sayyid al-Khui, "Tidak menggunakan [wilâyah] tidak dapat dijadikan bukti bahwa wilâyah tidak ada."
Pemisahan kepemimpinan menjadi dua, agama dan politik sejatinya telah menjadi sejarah tersendiri versi Ahlisunnah. Keempat khalifah pertama mengemban kepemimpinan politik dan agama yang pada masa itu disebut sebagai "al-Khalifatu ar-Rasyida" (khalifah yang dibimbing secara hak)". Setelah itu, para khalifah tersebut mengemban kepemimpinan politik tapi kepemimpinan agama diemban oleh orang lain. Dalam dunia fiqih, sebagai misal, keempat Imam (Sunni) muncul sebagai pemimpin padahal pada saat yang sama ada beberapa khalifah yang memerintah. Dalam ilmu Kalam, Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi muncul sebagai pemimpin. Dalam tasawuf, beberapa ustadz (dan bahkan beberapa Imam Syiah) diterima sebagai mursyid dan pemimpin mereka.
Syiah tidak menganut paham pemisahan kepemimpinan politik dan agama (baca; sekularisme, -AK.) para Imam As merupakan pembimbing dan pemimpin puncak dalam seluruh aspek kehidupan: dalam urusan agama, politik, hukum dan ilmu kalam. Oleh karena itu, sebagai contoh, Imam Ja'far Sadiq As tidak hanya merupakan pembimbing hukum orang-orang Syiah, tapi ia juga adalah pemimpin puncak dalam seluruh arti, bahkan jika beberapa dimensi dari kepemimpinannya tidak mengejewantah.[]

6
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

BAGIAN KETUJUH

VII. Ilmu Pengetahuan Ahlulbait As

1. Pengantar
Wilâyah semesta adalah sebuah jalan yang menghubungkan dengan ilmu pengatahuan Allah Swt yang telah dianugerahkan kepada orang-orang yang mengemban wilâyah ini. Wilâyah semesta Imam Ali, sebagai contoh, dijelaskan dalam al-Qur'an dengan bahasa: "Orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang al-Kitab."
Apakah yang dimaksud dengan 'ilmul ghaib? Wasilah kita untuk meraih ilmu pengetahuan melalui indera yang telah diciptakan Allah dalam diri kita. "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu. " (Qs. an-Nahl [16]:78). Kita lihat sesuatu melalui mata kita dan mendengar dengan telinga kita, dan kita menganalisa informasi melalui nalar kita dan mengambil kesimpulan.
Ada jenis ilmu pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh indera manusia; ilmu ini datangnya dari Allah. Ilmu pengetahuan ini dikenal sebagai "'ilmu al-Ghaib, ilmu tentang sesuatu yang tidak kelihatan. Sebagai contoh, pengetahuan tentang kejadian-kejadian di masa mendatang atau pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam benak atau niat seseorang, dan sebagainya. "Ghaib " adalah lawan kata dari "syuhud."
Kadang-kadang ghaib ini bersifat mutlak (misalnya, niat seseorang dalam lubuk hatinya yang terdalam) dan lain waktu bersifat nisbi (misalnya, apa yang disembunyikan seseorang dalam rumahnya, tidak dapat dilihat oleh orang luar). Istilah "ghaib" - tidak tampak, tersembunyi digunakan dalam sudut pandang makhluk saja. Karena Allah Swt (khâliq), antara ghaib dan syuhud, tidak ada bedanya. Al-Qur'an melukiskan Allah sebagai: "Yang mengetahui barang yang ghaib dan yang nyata."( Qs. az-Zumar [39]:46) dan "Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata." ( Qs. al-Jumu'ah [62]:8 )


2. Al-Qur'an dan 'Ilmul Ghaib
Sesuai dengan al-Qur'an, satu-satunya sumber yang mandiri 'ilmul ghaib adalah Allah Swt.
"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir bijian pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). " (Qs. al-An'am [6]:59)
"Katakanlah: " Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah " dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. "(Qs. an-Naml [27]:65)
"Orang-orang di atas A'raaf bertanya kepada penghui neraka: "Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah? ", (Kepada orang mukmin itu dikatakan): Masuklah ke dalam syurga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak pula kamu bersedih hati..." (Qs. al-A'raf [7]:49)
"Katakanlah: " Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal di gua, kepunyaan-Nyalah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah terang pendengaran-Nya, tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun jadi sekutu-Nya dalam mengambil keputusan." (Qs. al-Kahfi [18]:26)
Makna dari ayat ini adalah bahwa ilmu pengetahuan ghaib adalah dari Allah Swt, Dia mengetahui segala sesuatu tanpa media dan perantara.

Dapatkah orang lain memiliki jalan untuk meraih 'ilmul ghaib?

Allah Swt, Yang tidak terbatas rahmat dan hikmah-Nya, menganugerahkan 'ilmu ghaib kepada siapa yang dikehendakinya. Al-Qur'an berkata :
"Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga malaikat di muka dan di belakangnya." (Qs. al-Jin [72]:26-27)
"Dan Allah sekali-sekali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasul-Nya." (Qs. Ali 'Imran [3]:179)
"Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya." (Qs. al-Baqarah [2]:255)
Makna ayat ini adalah bahwa Allah Swt menganugerahkan 'ilmul ghaib kepada beberapa makhluk.
Ketika Anda meletakkan seluruh ayat-ayat tentang 'ilmul ghaib bersama-sama, Anda akan dapat mengambil kesimpulan bahwa : (1) Allah adalah satu-satunya sumber dan pemilik mandiri 'ilmul ghaib tersebut, dan (2) siapa saja dari malaikat, para nabi, para rasul, para imam, dan orang-orang yang memiliki keutamaan yang lain yang memiliki 'llmu ghaib adalah bergantung sepenuhnya kepada kekuasaan dan kemurahan Allah Swt.
Setelah memberikan tafsir atas surat al-Jin (72), 'Allamah at-Thabathba'i sampai pada kesimpulan berikut ini :
"Kepemilikian eksklusif 'ilmul ghaib yang dipunyai Allah Swt adalah dalam pengertian mabda (sebab pertama) yang kami telah jelaskan, jadi Dia, Allah Swt, mengetahui 'ilmul ghaib dengan sendirinya sementara yang lain mengetahui ghaib melalui perantara-Nya yang memberikan kabar kepada mereka. Sehingga telah jelas bahwa apa yang telah disebutkan dalam firman-firman-Nya tentang yang lain tidak memiliki 'ilmul ghaib pada hakikatnya bermakna "tidak memilikinya secara mandiri dan bukan tanpa perantara," tidak mengingkari apa yang diketahui oleh orang lain ihwal (ghaib) melalui wahyu..."


3. 'Ilmul Ghaib Para Nabi
Al-Qur'an tidak hanya bercerita tentang kemungkinan orang lain memiliki jalan untuk mengetahui 'ilmul ghaib, pada hakikatnya ia memberikan beragam contoh mereka yang telah dianugerahi 'ilmul ghaib oleh Allah Swt.
Dalam menghitung kekuatan-kekuatan mukjizat yang ia miliki, Nabi 'Isa As berkata :
"Dan Allah mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil." (Qs. Ali 'Imran [3]:48)
Dalam rujukannya dengan Nabi Yusuf, kita memiliki ayat di bawah ini :
"Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu unnutk menjadi Nabi dan diajarkankan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi-mimpi. " dan " Dan demikianlah pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf dan di muka bumi. " (Qs. Yusuf [12]:6 & 21)
"Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur, lalu mereka masukkan dia dan diwaktu dia sudah berada dalam sumur Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sessungguhnya kamu akan menceriterakaan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi. " (Qs. Yusuf [12]:15)
"Yusuf berkata: Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. Yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. "(Qs. Yusuf [12]: 37)
Nabi Sulaiman As diajarkan kepadanya bahasa binatang :
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata : " Hai manusia, kami telah diberi pengertian (pengetahuan) tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesunggguhnya itu benar-benar merupakan karunia yang nyata. " (Qs. An Naml [27]:16)
Menurut al-Qur'an, Allah menganugerahkan 'ilmul ghaib kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang kita lihat pada beberapa ayat di bawah ini:
Berkenaan dengan kejadian masa lampau, Allah berfirman :
"Itu adalah berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu." (Qs. Huud [11]:49)
Berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf, Allah berfirman :
"Demikianlah itu adalah diantara berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu" (Qs. Yusuf [12]:102)
Allah mengabarkan kepada Nabi Saw tentang perang yang akan terjadi antara Kekaisaran Timur Roma dan Kekaisaran Sasanid Persia:
"Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi, bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah mereka menang. Dan di hari kemenangan bangsa Romawi iu bergembiralah orang-orang yang beriman." (Qs. ar-Rum [30]:1-4)
Dalam penaklukan kota Mekkah di tangan kaum muslimin, Allah berfirman :
"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya yaitu bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram. "(Qs. al-Fath [48]:27)
Nabi juga diberi kabar tentang pikiran-pikiran orang munafik :
"Dan apabila mereka datang kepadamu mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu." (Qs. Al Mujaadilah [58]: 8)
Sebagaimana yang Anda lihat di atas, contoh-contoh ini mencakup beberapa aspek 'ilmul ghaib: sejarah masa lalu, kejadian-kejadian masa datang, bahasa burung, dan juga niat-niat tersembunyi manusia. Nabi dijelaskan sebagai seseorang "Dan dia Muhammaad, bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan sesuatu." (Qs. At Takwir [81]:24) beliau memberikan kabar kepada orang lain.
Sebelum kita akhiri bagian ini, saya ingatkan kepada para pembaca sekalian bahwa 'ilmul ghaib seorang manusia atau seorang malaikat bukanlah berasal dari dia sendiri melainkan senantiasa dan dawam bergantung kepada kehendak Allah. Hal ini merupakan hikmah mengapa para Rasul diperintahkan untuk berkata bahwa mereka tidak memiliki 'ilmul ghaib (Qs.Al An'am [6]:50; Hud [11]:3) dan atas hikmah yang sama Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk berkata: "Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (Qs. al-A'raaf [7]:188)
Kenyataan ini bukan sebuah pengingkaran kepemilikan 'ilmul ghaib; tetapi adalah penegasan keimanan bahwa ilmu apa saja yang ia miliki adalah sesuai dengan kehendak dan rida Allah Swt.


4. 'Ilmul Ghaib Para Imam
Imam Ali juga dianugerahi 'ilmul ghaib yang ditegaskan dalam surat ar-Ra'd (13):43 yang dibahas dalam akhir bagian Wilâyah. Berdasarkan ayat ini "ilmu tentang al-Kitab" bahwa Imam Ali memiliki wilâyah universal. Lebih dari itu, sesuai dengan hadis-hadis Syiah, Allah telah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan ilmu apa saja yang telah diberikan kepadanya kepada Ali bin Abi Thalib. Lagi pula, Nabi "Dan dia Muhammad bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. " (Qs.At Takwir [81]:24). Imam-imam yang lain, sebagai pengganti Ali juga memiliki jalan untuk mendapatkan ''ilmul ghaib".
Syaikh al-Mudhaffar menjelaskan kedudukan Syiah sebagai berikut :
"Kami percaya bahwa kekuasaan para imam menerima wahyu telah mencapai derajat puncak, dan kita berkata ini merupakan anugerah Ilahi. Dengan wahana ini para imam dapat mengerti segala sesuatu apa saja, dimana saja, dan kapan saja, dan imam mengetahui dengan media anugerah Ilahi ini seketika, tanpa bersandar kepada metedologi penalaran (istidlal) atau bimbingan seorang guru. Ketika imam berhasrat untuk mengetahui beberapa urusan, ini tercermin dalam benaknya yang suci seakan-akan seperti cermin yang dipoles. Jelas dari catatan sejarah kehidupan mereka, seperti nabi, tidak pernah digembleng atau diajarkan oleh siapa pun, bahkan tidak dengan membaca dan menulis, sejak masa kecil, mereka telah mencapai kesempurnaan akal. Tidak ada satu pengarang atau pengajar yang dilihat memerintah salah satu dari mereka, namun mereka adalah ustadz yang tiada bandingannya, sehingga mereka tidak pernah ditanya ihwal masalah apa pun tanpa memberikan jawabannya segera, dan mereka tidak pernah berkata tidak tahu. Mereka tidak pernah meminta waktu untuk menimbang atau memikirkan pertanyaan yang diajukan kepadanya, mereka segera menjawabnya."
Segera setelah orang-orang menerimanya sebagai pemimpin mereka, Imam Ali As datang ke masjid dengan mengenakan surban dan jubah Nabi, dan duduk di mimbar Rasulullah. Lalu ia berkata: "Ayyuhannas, bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku karena ini adalah keranjang ilmu (seraya menunjuk dirinya), ini adalah nafas Rasulullah Saw, dan inilah yang telah diberikan Rasulullah kepadaku. Oleh karena itu, bertanyalah kalian aku memiliki ilmu yang pertama dan yang terakhir.Demi Allah, jika sebuah bantalan dibuat untukku sehingga aku dapat duduk di atasnya, aku akan berikan fatwa orang-orang Taurat sesuai dengan kitab Taurat mereka sehingga mereka akan berkata, "Ali benar; ia tidak berkata dusta." Ia telah memberimu fatwa sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah kepadaku. Dan aku akan memberikan fatwa Injil sesuai dengan kitab Injil mereka hingga mereka akan berkata: "Ali benar; ia tidak berkata dusta. Ia telah memberimu fatwa sesuai dengan apa yang diturunkan Allah kepadaku. Dan aku akan berikan fatwa kepada orang-orang Qur'an sesuai dengan kitab al-Qur'an mereka hingga mereka akan berkata: "Ali benar, ia tidak berkata dusta. Ia telah memberimu fatwa sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah kepadaku."
Anda baca al-Kitab (misalnya, al-Qur'an) pada malam hari dan siang hari; apakah ada di antara kalian yang mengetahui apa yang telah diturunkan di dalamnya? Jika sekiranya karena satu ayat dalam kitab Allah, aku akan memberitahukan kepada kalian apa yang telah terjadi pada masa lalu, dan akan terjadi, apa yang seharusnya terjadi hingga hari kiamat. Dan bahwa ayat: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki." (Qs. ar-Ra'd [13]:39).
Redaksi terakhir dari ayat ini penting; di dalamnya, Imam Ali mengklaim memiliki jalan untuk mengatahui 'ilmul ghaib tapi juga pengakuan bahwa ilmunya ini sepenuhnya bergantung kepada kehendak Allah Swt.
Di sini, kami akan nukil satu atau dua contoh teladan dari kehidupan Imam Ali As. Jundab bin Abdullah al-Azdi meriwayatkan: "Aku ikut serta bersama Ali dalam perang Jamal dan Siffin. Aku tidak pernah ragu akan siapa yang beliau perangi hingga aku ikut serta dalam perang Nahrawan (melawan Khawarij). Lalu keraguan menyelimuti diriku dalam berperang melawan orang-orang ini. Aku berkata: "Adalah pembaca-pembaca al-Qur'an dan orang-orang pilihan kita yang kita bunuh. Sesungguhnya urusan ini adalah urusan pelik."
Pada pagi harinya, aku pergi berjalan dengan membawa sebuah bejanaa bersamaku, hingga aku melintasi garis demarkasi perang. Lalu aku tancapkan tombakku ke tanah, menata perisaiku dan menaungi aku dari cahaya sinar matahari. Selagi aku duduk, Amirul Mukminin Ali As datang. Beliau berkata kepadaku: "Wahai saudara dari suku al-Azd, apakah engkau punya air untuk wudhu?"
" Iya ", jawabku dan memberikan beliau bejana itu.
Ia berlalu sehingga aku tidak dapat melihatnya lagi. Lalu beliau datang lagi setelah mengambil wudhu'. Beliau duduk di bawah naungan tombak. Tiba-tiba seorang penunggang kuda muncul dan bertanya kepada beliau. Aku berkata, "Wahai Amirul Mukminin, ada seorang penunggang kuda ingin bertemu dengan Anda."
" Beri isyarat kepadanya untuk datang kemari," pintanya.
Aku beri isyarat kepada orang itu dan datang ke hadirat Amirul Mukminin. Ia berkata, " Wahai Amirul Mukminin, orang-orang (Khawarij) telah melintasi sungai."
Tidak, " beliau menukas, " mereka belum melintasinya."
" Iya, demi Allah, mereka telah melintasinya." Orang itu menegaskan.
Lalu orang lain datang. Ia berkata, " Wahai Amirul Mukminin, orang-orang (Khawarij) telah melintasi sungai."
" Tidak", jawabnya, " mereka belum melintasinya."
" Demi Allah," orang itu berkata, " aku tidak datang kepadamu hingga aku melihat panji-panji dan barang-barang di seberang sana."
" Demi Allah," beliau mengumumkan, " mereka belum melakukan hal itu. (Apa yang kalian inginkan) adalah membunuhnya dan menumpahkan darah mereka."
Lalu beliau bangkit dan aku pun ikut bangkit. Aku berkata pada diriku, " Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan kepadaku ma'rifat tentang orang ini dan membuatku mampu untuk mengenali perkara ini. Dia adalah salah seorang dari dua manusia: ia adalah pendusta atau ia memiliki bukti (berkat wilâyah) dari Tuhannya dan janji dari Nabi Saw. Ilahi, aku berikan kepada-Mu sebuah perkhidmatan yang Engkau tanyakan kepadaku tentangnya kelak pada hari kiamat. Jika aku dapati bahwa orang-orang itu telah melintasi sungai, akulah orang yang pertama kali yang berperang dengan mereka, tusukan pertama dari tombakku ke matanya. Jika orang-orang (Khawarij) belum melintasinya, aku akan maju bersamanya dan berperang di sisinya.
Kami kembali ke garis demarkasi perang dan kami temukan bahwa panji-panji dan barang-barang tetap pada tempatnya semula.
Lalu Ali memegang tengkuk leherku dan mendorongku. Lalu beliau berkata, " Wahai saudaraku dari (Suku) al-Azd, apakah perkara ini telah jelas bagimu?"
Iya 'Amirul Mukminin. " Jawabku.
"Urusanmu dengan pihak musuh," kata beliau.
Aku membunuh satu orang dari Khawarij lalu aku membunuh yang lainnya. Aku bertukar pukulan dengannya. Aku menghantamnya dan dia menghantamku. Kami berdua jatuh ke tanah. Sahabatku menggotongku ke belakang. Pada waktunya aku sadar, tidak menemukan satu pun Khawarij yang tertinggal.
Setelah menukil kejadian ini, Syaikh Mufid berkomentar: "Pada kejadian ini, Ali membuktikan bahwa ia punya kabar tentang kejadian yang belum terjadi, kejadian ini memberikan bukti nyata akan ilmunya tentang apa yang tersembunyi dalam benak manusia. Bukti ini sangat luar biasa yang tidak dapat disamai oleh bukti dari sebuah tabiat dalam istilah kebesaran mukjizat dan buktinya yang terang. "
Kini saya akan mengutip contoh lain dari kitab yang akan dicetak milik ayahku yang didalamnya ia juga telah mendiskusikan masalah nubuwwat (ramalan). Ia menulis :
"Ada banyak, terdokumentasi secara rapi dari nubuwwat Nabi dan Ali yang diketahui kemudian... Sebuah kejadian yang penting yang dinukil dalam khotbah 128 Nahjul Balagha. Sayyid Razi memberikan judul halaman (caption) pada khutbah ini dengan "Dari khutbah menjelaskan nisbah-nisbah ayam kalkun'. Ia menukil bagian yang menjelaskan penyerangan, karakteristik, pakaiannya, tak-terkalahkannya dan pembunuhannya yang banyak. Kini Sayyid Razi telah meninggal pada 406/1016, dua ratus empat puluh dua tahun yang lalu, sebelum kejatuhan Baghdad pada tahun 1258. Ibnu Abil Hadid, penulis syarah kitab Nahjul Balâghah (komentator Nahjul Balâgha) meninggal tujuh belas tahun sebelum kejatuhan Baghdad, ia mengenali para penyerang dengan pasukan Mongol yang pada harinya telah menaklukkan Khurasan, Iran dan Suriah. Ia menjelaskan malapetaka yang mereka ciptakan pada negara-negara tetangga hingga 643/1245.
Ia berkata :
"Dan dengan mengetahui nubuwwat (prediksi) dari Imam Ali, kita telah lihat dengan mata kita sendiri dan terjadi di masa kita. Dan orang-orang, sejak masa-masa awal Islam, menantikan pengisiannya hingga ketetapan (Allah) membuatnya wujud di masa kita. Tidak ada keterangan panjang-lebar yang jelas dalam versi khutbahnya tentang siapa yang ditaklukkan. Tapi khutbah yang sama dengan bentuknya yang utuh berada di tangan ulama Syiah dan telah ada sejak masanya Imam Ali."
Allamah al-Hilli lahir delapan tahun sebelum kejatuhan Baghdad di tangan Hulagu Khan. Ayahnya, Sadiduddin Yusuf al-Hilli adalah ulama yang paling faqih (ahli dalam bidang Fiqih) di masanya, Usul Fiqih dan ilmu Kalam.
Berkenaan dengan nubuwwat Imam Ali tentang kejadian-kejadian di masa depan. 'Allamah Hilli menulis :
"Dan di antara mereka adalah nubuwwat kekuasaan Baghdad dan Kerajaan Abbasiyah serta daerahnya akan jatuh di tangan tentara Mongol. Ayahku telah meriwayatkannya, bahwa prediksi itu [nubuwwat] adalah alasan untuk para penduduk Kufa, Hilla dan dua kota suci [Karbala dan Najaf] selamat dari pembantaian."
"Ketika Hulagu tiba di Baghdad, dan sebelum menaklukkannya, mayoritas penduduk Hillah melarikan diri ke padang sahara, kecuali beberapa di antara mereka tinggal. Di antara mereka yang bertahan adalah ayahku (semoga Allah memberkatinya), Sayyid Majduddin bin Thawus, dan faqih, Ibnu Abil 'Izz. Mereka memutuskan untuk menulis surat ke Sultan [Hulagu] bahwa mereka menerima aturannya dan di bawah wewenang Khanid II. Mereka mengirim surat melalui seorang yang bisa berbahasa Persia. Hulagu mengirim perintah yang dibawah oleh dua orang, Nikalah dan 'Alauddin, katanya, "Jika Anda adalah seperti yang tertulis dalam surat Anda, maka datanglah kepada kami."
Dua petugas datang [menyampaikan pesan Hulagu]. Namun, yang lain [yang menandatangani surat itu] merasa khawatir untuk kembali karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian, ayahku (Alhummah yarham) bertanya kepada utusan itu, "Apakah memadai jika aku yang berangkat sendiri ke sana?" Mereka berkata, " Iya." Kemudian, ia berangkat bersama mereka.
Ketika ayahku datang di hadapan Sultan (kejadian ini sebelum Baghdad ditaklukkan dan Khalifah dibunuh), ia bertanya kepada ayahku. "Bagaimana Anda berspekulasi atas surat Anda kepadaku dan datang ke istanaku, bahkan sebelum Anda tahu bagaimana keputusan apa yang akan diambil mengenai nasib rajamu? Bagaimana Anda yakin; barangkali ia ingin berdamai denganku dan kemudian aku pergi?"
Ayahku (Allahummah yarham) berkata, " Kami mengambil langkah ini karena kami telah diberi tahu melalui ramalan (nubuwwat) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang ia katakan dalam khutbah Zarwahnya.
"...Dan apa yang ingin kalian ketahui tentang Zawra? Sebuah bumi yang sangat megah dan gemerlap. Bangunan-bangunan kokoh akan dibangun di dalamnya dan penduduknya akan bertambah banyak; dan di dalamnya akan ada budak-budak dan harta karun. Anak-anak Abbas akan membuat istana dan galeri untuk memamerkan kekayaan mereka; di sana akan berdiri tempat hiburan dan olahraga; di sana akan terjadi penindasan, ketakutan, pemimpin-pemimpin jahat, penguasa penuh dosa, dan menteri-menteri penipu; ini akan dipersembahkan oleh suku asli bangsa Persia dan Roma. Mereka tidak akan melaksanakan kebaikan bahkan setelah mengetahuinya dan tidak akan meninggalkan keburukan meskipun telah mengetahuinya. Kaum prianya akan memuaskan syahwatnya sesama mereka, dan wanita dengan wanita.
Lalu nestapa dan malapetaka akan merajalela, tangisan yang panjang, dan kerusakan, dan isak-tangis untuk para penduduk Zawra dari serangan Turki. Dan mereka adalah orang-orang yang memiliki mata sipit, rupanya seperti tameng yang dipalu, pakaiannya adalah besi, tidak memiliki rambut, dan janggut. Di sana akan datang seorang raja yang akan memimpin mereka tempat dimana kerajaan (Abbasiyah) bermula. Ia memiliki suara yang lantang, wewenang yang kuat dan keberanian yang tinggi; ia tidak akan melewati sebuah kampung kecuali menaklukkanya, dan tidak ada panji yang dikibarkan untuk melawannya tanpa ia gugurkan. Celakalah orang yang menjadi musuhnya, ia akan tetap seperti ini hingga ia mencapai kemenangan."
Setelah menukil khotbah ini, ayahku berkata, "Dengan keutamaan yang telah lama dijelaskan kepada kami dan kami temukan keutamaan ini pada diri Anda, kami menaruh harapan kepada Anda.
Dengan demikian, Sultan itu puas dan ia menulis surat kepada mereka (para penduduk dari empat kota tersebut) sebuah titah, atas nama ayahku (Allhumah Yarham) untuk memberikan ketenangan dan keamanan kepada para penduduk Hillah dan kota-kota di sekitarnya.
"Dengan jelas ulama Syiah memiliki khutbah dalam sebuah bentuk yang memberikan keterangan panjang-lebar tentang siapa yang ditaklukkan - Abbasiyah. Hal ini tidak dapat dibayangkan bahwa Ali akan memberikan keterangan sedetail itu ihwal pemenang tanpa keterangan ihwal orang-orang yang ditaklukan. Mereka meyakini secara sempurna kebenarannya yang mereka ambil langkah tak tertahankan untuk berhubungan dan pergi seorang diri ke istana Hulagu."
Dan tentang Sayyid Razi, orang dapat mengerti kelalaiannya tidak menceritakan secara detail tentang penaklukan itu. Ia tidak melalaikannya karena kurangnya kemampuannya tapi karena ia tinggal di Baghdad di bawah hidung mereka yang telah diprediksikan sebentar lagi akan binasa, Bani Abbasiyah.
Contoh dari cerita Jundab yang hidup semasa dengan Amirul Mukminin dan contoh dari kisah al-Hilli pada abad ke tujuh, secara terang membuktikan bahwa para imam memiliki jalan untuk mengatahui 'ilmul ghaib berkat anugerah Allah Swt, dan bahwa keyakinan ini bukanlah "klaim yang berlebihan yang dibuat oleh mereka karena sikap fanatiknya."
Meminjam istilah Syaikh Mufid, "Bukti (mukjizat) semacam ini yang diperagakan oleh Amirul Mukminin hanya dapat diingkari oleh mereka yang jahil, tidak tahu, keras kepala dan tukang fitnah."


5. 'Ilmu Ghaib dan Kehidupan Pribadi
Lalu mengapa Nabi Saw dan para Imam As tidak menggunakan 'ilmu ghaib ini untuk menghindari tragedi-tragedi yang terjadi dalam kehidupan mereka secara pribadi? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sering diajukan berkenaan dengan 'ilmu ghaib. Saya selalu menggunakan sebuah contoh yang saya lihat pada masa kecilku di Afrika Timur. Saya ingat kendaraan yang dipakai oleh aparat pemerintah, tanda "Khusus Untuk Keperluan Kantor Saja" secara jelas ditunjukkan oleh mereka. 'Ilmu ghaib diberikan kepada Nabi Saw dan para Imam As persis seperti tadi: "Khusus Untuk Keperluan Kantor saja," kendaraan ini tidak digunakan untuk keperluan pribadi.
Akhir-akhir ini, dalam jawaban atas sebuah pertanyaan dari seorang Syiah warga negara Filipina, ayahku menulis: " Allah Swt telah memberikan 'ilmul ghaib tentang kejadian-kejadian masa depan kepada Nabi Saw dan para Imam As. Tapi pada saat yang sama mereka secara ketat diperintahkan untuk tidak menggunakan ilmu itu dalam berhubungan dengan orang-orang. Dengan kata lain, mereka dalam berinteraksi dengan penduduk seakan-akan mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Mereka harus hidup bersama penduduk secara umum sesuai dengan tingkatan ilmu mereka. Mereka tidak menggunakan 'ilmul ghaib ini untuk kemaslahatan pribadi mereka sendiri atau untuk menghindari bencana atau musibah yang datang. (kenyataannya, sebuah ujian yang berat karena mereka tahu orang-orang tertentu yang mendatangkan kerugian bagi mereka dan kemudian berlaku dengan mereka secara wajar). Atas alasan ini, mengapa Imam Ali tidak menghukum atau memenjarakan Ibnu Muljam, meskipun beliau tahu bahwa Ibnu Muljam yang akan membunuhnya."
Syaikh Muhammad Rida al-Ja'fari menjelaskan, "Nabi Saw dan para Imam As, harus diperhatikan secara seksama, bersama dengan orang lain berbagi media untuk meraih ilmu yang Allah berikan: rasa, akal dan sebagainya. Mereka juga memiliki kekuasaan khusus atau media khusus yang tidak dimiliki oleh orang biasa.
"Dalam menjalankan tugas menyampaikan perintah-perintah syari'at Allah dengan sebuah tanggung jawab, dan demikian juga dalam perbuatan yang wajar. Nabi Saw dan para Imam As hanya menggunakan cara pertama dengan mengetahui, media yang umum tersedia; yang media kedua hanya berguna bagi mereka dalam tugas-tugas dan kerja-kerja yang berhubungan dengan kedudukan mereka baik sebagai Nabi Saw atau sebagai Imam As.
Lalu dalam masalah seperti mengetahui permulaan bulan, menyampaikan penilaian, menemukan jika sesuatu najis atau suci dan sebagainya. Mereka menggunakan media, seperti melihat bulan dan seterusnya, yang orang lain juga mampu melakukannya.
"Juga pengetahuan bahwa Nabi Saw dan para Imam As mengetahui - misalnya - kapan mereka meninggal, tidak dapat bersandar kepada tindakan mereka. Apa yang mereka secara sukarela harus ditentukan oleh media-media yang tersedia juga buat orang lain. Ilmu semacam ini memiliki aspek spiritual dalam berhubungan dengan Allah, dan alasan untuknya harus dicari pada tingkatan ini, namun tidak dengan tujuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan kejadian-kejadian pada tingkatan-tingkatan pemahaman awam."
Ilmu yang sama diterapkan pada wilâyah universal: Nabi dan para Imam tidak menggunakannya untuk kemaslahatan mereka pribadi, hal ini hanya digunakan untuk membuktikan kebenaran iman saja.


6. Konsep "al-Qur'ân an-Nâtiq"
Al-Qur'ân an-Nâtiq berarti "al-Qur'an yang berbicara." Gelar ini adalah sebuah gelar yang masyhur disematkan kepada para Imam mazhab Syiah untuk menjelaskan kedatangannya kepada al-Qur'an; mereka adalah penjaga pesan al-Qur'an dan penafsirannya; mereka adalah perwujudan nilai-nilai al-Qur'an dan tujuannya. Konsep ini bersandar kepada sabda-sabda Nabi yang menjelaskan bahwa al-Qur'an dan Ahlulbait tidak akan pernah berpisah satu dengan yang lain.
Hadis masyhur Tsaqalain menegaskan:
"Aku tinggalkan dua hal yang berharga (tsaqalaîn) di antara kalian: Kitabullah (al-Qur'an) dan Ahlulbaitku. Mereka tidak akan pernah berpisah satu dengan yang lain hingga mereka datang menjumpaiku di Telaga Kautsar (pada hari kiamat)."
Dalam hadits yang lain, Ummu Salamah, istri Nabi, menukil dari Nabi sebagai berikut :
"'Ali ma'al haq wa al-haq ma'al 'Ali (Ali adalah bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali), mereka tidak akan berpisah satu dengan yang lainnya hingga mereka berjumpa denganku di Telaga (pada hari kiamat)."
Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan bahwa suatu hari kami duduk menantikan Nabi Saw untuk keluar. Beliau datang kepada kami dan melihat sol sepatu beliau koyak; Beliau memberikannya kepada Ali untuk diperbaiki. Lalu beliau bersabda :
"Kalian akan berperang untuk ta'wil al-Qur'an sebagaimana aku berperang untuk tanzil-nya." Abu Bakar berkata: "Apakah aku adalah salah satunya? Nabi berkata: "Tidak." Lalu Umar berkata: "Apakah aku adalah salah satunya?" Nabi berkata: "Tidak, tapi dia adalah orang yang sedang memperbaiki sepatu."
Imam Ali sendiri berkata: "Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku, karena demi Dia yang memecahkan biji dan menciptakan jiwa, jika kalian bertanya kepadaku tentang ayat yang mana yang diturunkan di Mekkah (ayat Makkiyah) atau di Madinah, pada malam hari atau siang hari, selama Nabi dalam perjalanan atau bermukim di Madinah, naskh atau mansukh, muhkamat (tegas) atau mutasyabihat (samar), dan apakah kalian menginginkan tafsirnya atau konteks pewahyuannya (Asbâbun Nuzul, -AK.) - aku akan beritahukan kepada kalian seluruhnya.

Bersandar pada kenyataan-kenyataan yang didukung oleh kitab-kitab Sunni bahwa mazhab Syiah menggunakan gelar al-Qur'ân an-Nâtiq yang disematkan kepada para Imam mereka. Sebagaimana yang kita lihat di atas, Imam Ali sendiri yang mengklaim memahami makna sejati dan batin ayat-ayat Qur'an. Klaim dan keyakinan ini telah ada semenjak awal munculnya Syiah. Jadi tidak tepat menempatkan bahwa konsep ini muncul kemudian, dengan berkata: "Keyakinan bahwa para Imam adalah "Qur'an yang berbicara", yang mengetahui makna esoteris (batin) dari tafsir al-Qur'an, kemungkinan dimulai pada zamannya al-Baqir.


Kesimpulan
Masa-masa awal Islam tidak dapat dipisahkan dari masa-masa awal Syiah; ia bermula pada masa Nabi Muhammad al-Mustafa Saw dan telah terjaga dalam bentuk aslinya oleh para Imam Ahli Bait As.
Nabi Saw menpersembahkan Islam pada da'wat dzul ashira dan juga memperkenalkan Ali sebagai "saudara, pengganti dan khalifah " Rasulullah. Dan kemudian selang beberapa bulan sebelum wafatnya, pada perhelatan akbar di Ghadir Khum, Nabi secara terang dan jelas mengangkat Ali sebagai mawla (junjungan dan pemimpin) umat. Di antara da'wat dan Ghadir Khum, Nabi memperkenalkan Ali kepada orang-orang dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Pengangkatan Ali untuk imâmat dan khilâfat adalah eksplisit dan tersurat.
Ali dan para Imam dari keturunannya adalah Ahlulbait dalam istilah Qur'an. Mencintai dan mengormati mereka merupakan kewajiban syar'i bagi setiap muslim. Ahlulbait telah dititahkan oleh Allah Swt dengan wilâyah dalam pengertiannya yang paling luas, dan juga termasuk 'ilmul ghaib.[]


7
Imamah & Wilayah Dalam Ajaran Ahlulbait

CATATAN KAKI
1 . Penuli-penulis ini mewakili kaum Salafi/Wahabi, dan buku-buku anti-Syiah mereka telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia atas dukungan dana raksasa dari negara-negara Petro-Dolar di Timur Tengah, khususnya setelah meletusnya Revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh 'Ulama Syiah.
2 . Fajrul Islâm, hal.33. yang membantah Aslusy Syiah wa Usluhu karya Muhammad Husain Kâsyiful Ghitâ (Qum: Mu'assasa al-Imam Ali, 1515,) hal.140,142; juga lihat terjemahan Inggrisnya yang terakhir , The Shi'ah Origin and Faith (Karachi:Islamic Seminary,1982).
3 . Fazlur Rahman, Islâm (Chicago: University of Chicago Press,1976) hal. 171-172.
4 . Ibid, hal.173
5 . Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islâmic Messianism :The Idea of Mahdi in Tewelver Shi'ism (Albany: State Universities of New York,1981) hal. 4. Dr. Sachedina dulunya belajar di Universities of Aligarh (India), Masyhad (Iran), dan Toronto. Islamic Messianism merupakan edisi revisi dari disertasi doktoralnya yang dipersembahkan pada tahun 1976 di University of Toronto.
6 . Ibid, hal.5
7 . Ibid, hal.6.
8 . Ibid, hal.18
9 . Rujukan peristiwa ini dan pembahasannya, silahkan lihat bagian "Kendali-diri dalam Sejarah Muslim.
10 . Untuk pembahasan lebih lanjut tentang peristiwa Ghadir Khum ini, lihat bagian "Ghadir Khum dan Kaum Orientalis". Untuk otentisitas versi hadits ini (Kitabullah dan Ithrahku" sebagai lawan dari "Kitabullah dan Sunnahku), lihat, Hasan bin Ali as-Saqqaf, penulis Sunni, "The Book of Allah and What Else?" The Right Path, jilid.6 (#3 &4 Okt-Des 1997) hal. 44-49.
11 . Pada daftar buku-buku rujukan ini, kita juga dapat menambahkan The Succesion of Muhammad oleh Wilferd Madelung diterbitkan pada tahun 1997. Buku ini merupakan kajian pertama yang dilakukan oleh seorang cendekiawan Barat yang mengakui bahwa kekhalifaan Abu Bakar tidak melalui mufakat, dan perbuatanya itu telah ditantang oleh Ali bin Abi Talib dan para sahabatnya. Karya ini merupakan terobosan baru di dunia Barat/Cendekiawan non-Muslim yang berkata bahwa fakta perbedaan Syiah-Sunni bermula setelah meletusnya perang sipil, yakni setelah terbunuhnya 'Utsman bin Affan dan selama perang antara Imam Ali melawan Muawiyah.
12 . S. Hussain M. Jafri
13 . Islamic Messianism, hal. 5
14 . Sachedina, "Wilayah of Imam Ali and Its Theological-Juridicial Implications for The Islamic Political Thought" dalam Ghadir (Toronto: Islamic Shi'a Ithna- 'Asheri Jamaat & NASIMCO, 1990), hal. 54.
15 . Kebanyakan sejarawan muslim dan penafsir Quran telah menukil peristiwa ini. Lihat sumber-sumber rujukan Sunni berikut ini: at-Tabari, at-Târikh, jilid. 1 (Leiden, 1980 offset dari edisi 1789) hal. 171-173; Ibn al-Atsir, al-Kâmil, jilid. 5 (Beirut, 1965) hal. 62-63; Abu al-Fida, al-Mukhtashar fi Târikh al-Basyar, jilid. 1 (Beirutm tanpa tahun) hal. 116-117; al-Khazin, at-Tafsir, jilid. 4, (Kairo, 1955) hal. 127; al-Baghawi, at-Tafsir (Ma'âlimu at-Tanzil), jilid. 6 (Riyadh: Dar Tayyiba, 1993) hal. 131; Al-Baihaqi, Dalâil an-Nubuwwah, jilid. 1, (Kairo, 1969) hal. 428-430; as-Suyuti, ad-Durru al-Mantsur, jilid. 5 (Beirut, tanpa tahun) hal. 97; Muttaqi al-Hindi, Kanz al-'Ummâl, jilid. 15 (Haidarabad, 1968) hal-hal, 100, 113, 115. Untuk referensi lebih lanjut, lihat 'Abdu al-Husain al-Amini, al-Ghadir, jilid. 2 (Beirut, 1967) hal-hal. 278-289. Dalam bahasa Inggris, lihat, Sayid Saeed Akhtar Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Tehran: WOFIS, 1985) hal-hal. 57-60 (edisi Indonesia, Imamah: Khalifah Rasulullah). Untuk diskusi panjang ihwal isnad dan makna hadis Nabi Saw dalam peristiwa ini, dan juga perbedaan-perbedaan pada sumber-sumber awal Sunni dan Syiah, lihat Dr. Sayid Talib Husain ar-Rifai, Yawmu ad-Dar (Beiru: Dar al-Azwa, 1986)
16 . Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyyah, jilid. 1, (Kairo: Mustafa al-Halabi & Sons, 1955) hal. 11-12; Juga lihat terjemahan Inggrisnya oleh A. Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1955) hal. 691. Lihat juga pengantar oleh Dr. Asghari Mahdawi pada terjemahan Persia yang dilakukan oleh Rafiuddin Hamadani, Sirat-e Rasulullah, (Tehran, Bunyad Farhang-e Iran, 1360 Syamsiah) hal. Nun.
17 . Ibn Hisyam, as-Sirah, jilid. 1, hal. 10.
18 . Abu Ja'far at-Tusi, Kitâb al-'Amali, jilid. 2 (Najaf: Maktabatu al-Haidari, 1964) hal. 194091.
19 . Lihat pengantar as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid. 1, hal. 15-17; lihat juga Guillaume, The Life of Muhammad, hal. xxxiv-xxxviii.
20 . Lihat edisi 1879 EJ Brill, Leiden (jilid. 3 hal. 1173), edisi 1908 Daru al-Qamusi al-Hadits, Kairo (jilid. 1 & 2, hal. 217), dan juga edisi 1961 Dar al-Maarif, Kairo, editor Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim (jilid. 2, hal. 321) yang di dalamnya kalimat aslinya utuh dinukil. Bahkan edisi Inggris at-Tabari yang dicetak oleh State University of New York, jilid. 6 (penerjemah: W. M. Watt dan MV McDonald) hal. 90-91 telah menukil kalimat asli Nabi Saw tanpa kealpaan.
21 . Antonie Wessels, A Modern Arabic Biography of Muhammad (Leiden: EJ Brill, 1972) hal. 223, 245; Lihat juga 'Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, al-Muraja'at (Dialog Sunni-Syiah), yang diberi keterangan oleh Husain ar-Razi (Beirut: tanpa penerbit, 1982) hal. 189.
22 . Haikal, Hayat Muhammad (Kairo: Edisi pertama) hal. 104
23 . Haikal, Hayat Muhammad (Kairo: Edisi kedua) hal. 140
24 . Ibn Taimiyyah, Minhâj as-Sunnah, jilid. 4 (Kairo: al-Matba' al-Kubra al-Amiriyya, hal. 1322) hal. 81.
25 . Sayid Abu al-Qasim al-Khui, Mu'jâm Rijal al-Hadits, jilid. 10 (Beirut: Madina al-'Ilm, 1983) hal. 55-56.
26 . Muta at-Tarabisyi, Ruwât Muhammad bin Ishâq bin Yasâr fi al-Maghâzi wa as-Siyâr wa Sâiri al-Marwiyyât (Damascus: Dar al-Fikr, 1994) hal. 149.
27 . Ibid.
28 . Sayid Syarafuddin al-Musawi, al-Murâja'ât, hal. 129; juga lihat terjemahan Inggris oleh M. A. H. Khan, The Right Path (Blanco, Texas: Zahra Publication, 1986) hal. 85-86.
29 . Adz-Dzahabi, Mizân al-I'tidâl, jilid. 2 (Egypt, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyya, tanpa tahun) hal. 192.
30 . Syarafuddin al-Musawi, al-Murâja'ât, hal. 191-192.
31 . Bagian ini merupakan versi revisi dari sebuah tulisan yang pertama kali dipublikasikan secara bersamaan dalam edisi majalah dwi bulanan The Light (June 1990) dan dalam Ghadir (Toronto: ISIJ & NASIMCO, July 1990) dengan judul "Orientalist & the Event of Ghadir Khumm."
32 . Said, E.W., Covering Islam (New York: Pantheon Books, 1981) hal. xvii.
33 . Hodgson, M.G.S., The Venture of Islam, jilid. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974) hal. 27.
34 . Hourani, A., "Islamic History, Middle Eastern History, Modern History," in Kerr, M. H. (ed) Islamic Studies: A Tradition and Its Problems (California: Undena Publications, 1979) hal. 10.
35 . Hodgson, op. cit., hal. 39-40.
36 . Ibid.
37 . Ibid.
38 . Hodgson, op. cit., hal. 66-67.
39 . Ibn Khaldun, The Muqaddimah, terjemahan, Franz Rosenthal, jilid. 1 (New York: Pantheon Books, 1958) hal. 403. Dalam edisi aslinya, lihat jilid. 1 (Beirut: Maktabul Madrasah, 1961) hal. 348..
40 . El², hal. 993 dengan judul "Ghadir Khum."
41 . Goldziher, Muslim Studies, terjemahan, Barber dan Stern, jilid. 2 (Chicago: Aldine Inc., hal. 1971) hal-hal. 112-113.
42 . Ibid.,
43 . El¹, hal. 134-135 dengan judul "Ghadir Khum."
44 . Hughes, Thomas P., A Dictionary of Islam (New Jersey: Reference Book Publishers, 1965) hal. 138.
45 . Hitti, P.K., History of the Arabs (London: Macmillan & Co., 1964) hal. 471.
46 . El², hal. 993 dengan judul "Ghadir Khum."
47 . At-Thathaba'i, 'Abdul 'Aziz, al-Ghadir fit Turatsil Islami, (Qum: Nasyr al-Hadi, 1415) hal. 7-8
48 . Syaban, Islamic History AD 600-750 (Cambridge: University of Press, 1971) hal. 16.
49 . Jafri, S.H.M., The Origin and Early Developments of Shi'a Islam, hal. 22.
50 . Haikal, M.H., Hayât Muhammad, (2nd edition) hal. 478; lihat juga terjemahannya, The Life of Muhammad, terjemahan al-Faruqi (American Trust Publication, 1976) hal. 492.
51 . Lihat, Ibn Saad dalam at-Tabaqât dan karya-karya besar dalam Sirah.
52 . Untuk lebih detilnya, lihat Rizvi, S.S.A., Imamate, hal. 120-121.
53 . Untuk referensi lebih lengkap, lihat al-Amini, al-Ghadir, jilid. 1 (Tehran: Muassasatul Muwahhidi, 1976) hal. 166-168.
54 . El², hal. 993-994 dengan judul "Ghadir Khum."
55 . Al-Amini membeberkan nama-nama muhaddits (ahli hadis) Sunni yang telah menukil pertanyaan di atas, termasuk di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa'i, dan at-Tirmidzi. Lihat al-Ghadir, jilid 1, hal. 370-371
56 . Lihat al-Amini, al-Ghadir, jilid 1, hal-hal. 270-283 untuk referensi dari sumber-sumber Sunni.
57 . Konteks-konteks ini adalah bersumber dari kitab al-Ghadir karya Allamah Amini yang diringkas oleh Rizvi dalam Imamate: The Vicegerency of the Prophet.
58 . An-Nasai, Al-Khasâis, Ali bin Abi Thalib, hal. 92-93; at-Tirmidzi, Shahih, jilid 5, hal. 632 (hadis #3712), dan Jamiush Shagir.
59 . Bagian ini bersandar kepada catatan-catatan dari dua kuliah yang disampaikan dalam rangka mengenang syahadah Imam Ali bin Abi Thalib As yang disampaikan di Ja'fari Islamic Centre, Toronto, pada malam 19 dan 21 Ramadhan 1418 H (1998)
60 . Abdulaziz Sachedina, "Islam", The Bio Ethics Encylopedia, vol. 3 (1995) hal. 1289.
61 . Lihat jawaban Dr. Sachedina yang secara luas didistribusikan di internet untuk kalangan Syiah.
62 . Lihat edaran Sachedina yang ditujukan kepada "seluruh pengikut Ahlulbait."
63 . Lihat, Allamah al-Hilli, Manâhij al-Yaqin, editor M.R. al-Ansari (Qum, 1416) hal. 306; al-Mufid, Awâil al-Maqâlat, hal. 41-42. Zaidiyyah beranggapan bahwa setelah Ali, Hasan dan Husain, yang menjadi imam adalah Zaid bin Ali. Setelah Zaid, seluruh keturunan Ali dan Fatimah yang melakukan jihad dan angkat senjata melawan para penguasa zalim, bertakwa dan alim maka ia dapat menjadi imam mereka.
64 . Lihat an-Nawbakhti, (edaran. Abad ketiga Hijriah), Firâq as-Syiah, (Beirut, 1984) hal. 19. buku ini sebenarnya merupakan ringkasan dari Maqalat al-Imamiyah karya Sa'ad bin 'Abdullah al-Anshari al-Qummi dan secara keliru telah dinisbahkan kepada an-Nawbakhti. Lihat S. M. Riza al-Husaini al-Jalali, "Firâq as-Syiah aw "Maqâlat al-Imâmiyah li an-Nawbakhti am li al-Anshâri?" dalam keluaran pertama Turatsuna, (Qum: Muassasa Ali al-Bait 1504) hal-hal. 24-49.
65 . Lihat sebagai contoh, salah satu buku kalam Syiah yang masyhur, Kasyf al-Murâd, ulasan (syarah) Allamah Hilli atas Tajrid al-I'tiqâdât karya Muhaqqiq at-Tusi terjemahan Abul Hasan Sya'rani (Tehran: Islamiyyah, tanpa tahun) hal. 516-518. Dalam Usul Fiqih, terma "an-Nass" berarti ucapan yang memiliki arti jelas dan terang. Dalam istilah ini, an-nass, secara definisi ia tidak dapat bersifat kabur dan tersirat. Dan dengan demikian tidak dapat dibagi menjadi jali dan khafi.
66 . Dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan atau awal Syawal 1418 H di internet.
67 . Untuk penjelasan lebih lanjut atas peristiwa ini silahkan lihat bagian "Sensor-diri dalam Sejarah Islam di atas.
68 . Al-Mufid al-Irsyâd, hal. 190; al-Ya'qubi, at-Târikh, vol. 2 (Beirut: Dar Sadir) hal. 126; Sibt ibn al-Jauzi, Tadzkira al-Khawwâsh al-Ummah, hal. 121; Ibn 'Abdi Rabbih, al-'Iqdu al-Farid, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1983) hal. 257; al-Aqdi Abdul Jabbar, Al-Mughni fi at-Tauhid wa al-'Adl, vol. 2 (Kairo: Dar al-Mishriyyah li at-Ta'lif) hal. 121; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, vol. 6 (Kairo: Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, 1959) hal. 17.
69 . Lihat, Nahj al-Balâghah, khutbah No. 5.
70 . Lihat kutipan pada bagian pertama dari bagian keempat ini.
71 . Nahj al-Balâghah, khutbah 74; Lihat juga at-Tabari dalam Târikh-nya dan Ibn al-Atsir dalam Kâmil ihwal peristiwa 23 H; al-Azhari, Tahdzib al-Lugha, vol. 1 (edisi Kairo) hal. 341.
72 . Apa yang telah saya tulis di atas bahkan tidak dapat dipandang sebagai ringkasan dari peristiwa Saqifah dan akibat-akibatnya. Untuk lebih detilnya peristiwa ini, lihat Rizvi, Imamate, hal-hal. 113-126; al-Askari, S. Murtadha, 'Abdullah ibn Saba and Other Myths (Tehran: WOFIS, 1984) hal-hal. 69-95; Jafri, The Origin & Early Development, hal-hal. 27-53.
73 . Untuk mengetahui percakapan yang disebutkan di sini lebih lanjut Lihat Ibn Qutaibah ad-Dinwari, al-Imâmah wa as-Siyâsah, bagian 1 (Kairo: al-Halabi Publications, tanpa tahun) hal. 20, berikut ini adalah ucapan Ibn Qutaibah sendiri:

فقالوا: "بايع. " فقال: "ان انا لم افعل فمه؟"
فقالوا: "اذاً و الله الذ? لا اله الا هو¸نضرب عنقك!"
فقال: "اذاً تقتلون عبدالله و اخا رسوله!"
فقال عمر: "اما عبدالله ، فنعم. اما اخو رسول الله، فلا!"
و ابو بکر ساکت لا ?تکلم. فقال له عمر: "الا تامر فيه بامرك؟"
فقال: "لا اكرهه عل? شئ ما کانت فاطمه ال? جنبه."

74 . Imam al-Bukhari telah meriwayatkan hadis ini pada dua tempat dalam kitab Shahih-nya, satu dalam bentuk ringkas (tanpa "hanya saja tiada nabi selepasku") dan kemudian dalam bentuk yang lengkap. Lihat Shahih, vol. 5, Arab dengan terjemahan Inggris oleh M. Mohsin Khan (Beirut: Dar al-Anbiyya, tanpa tahun) hal. 47, 492-493).
75 . Nahj al-Balaghah, ucapan # 166.
76 . Peristiwa Kufa ini telah diriwayatkan oleh empat sahabat Nabi Saw dan empat belas thabi'in, dan telah tercatat pada kebanyakan buku-buku sunan dan sejarah. Lihat al-Amini, al-Ghadir, vol. 1 (Tehran: Muassasat al-Muwahidi, 1976) hal-hal. 166-186.
77 . Diterbitkan oleh Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafi al-Islamiyyah di Jeddah.
78 . Madelung, The Succesion to Muhammad, hal. 14-15.
79 . As-Suyuthi, ad-Durru al-Mantsur, vol. 5, hal. 197. Lihat juga at-Tabari, Jâmi' al-Bayân, vol. 7, hal. 22; Muhibuddin at-Tabari al-Makki, Dzakhâir al-Uqba, hal. 55-60.
80 . Lihat catatan no. 1857 (hal. 1261) dalam al-Quran terjemahan S. V. Mir Ahmad Ali. Untuk mengetahui kutipan-kutipan dari sumber-sumber Sunni ihwal ayat ini dan penerapannya kepada Nabi, Fatimah, Ali, Hasan dan Husain (salamullah 'alahim), lihat SSA Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Tehran: WOFIS, 1985) hal. 49-54; Sayid Murtadha al-Askari, Verse of Purification (Bombay: World Islamic Network, 1998) yang merupakan sebuah terjemahan ringkas dari karyanya Hadits al-Kisa fi Mashadir al-Madrasatain (Tehran: Nasyr Tauhid, 1997). Untuk diskusi yang lebih komprehensif tentang ayat ini dan hubunganya dengan Ahlulbait, lihat Sayid Ja'far Murtadha al-Amili, Ahl al-Bait fi ?yat at-Tathir (Beirut: Dar al-Amir ats-Tsaqafah, 1993).
81 . Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Diwân asy-Syafi'i, editor Muhammad al-Khafaji (Jeddah: Maktabah Dar Hira, tanpa tahun) hal. 106.
82 . Untuk pembahasan yang lebih melelahkan ihwal ayat "mawaddah fil qurbah" lihat Ja'far Subhani, Mafahim al-Quran, vol. 4 (Beirut: Dar al-Azwa, 1986) hal. 17-72.
83 . Abdulaziz Sachedina, Islamic Messianism, hal. 6.
84 . Madelung, The Succesion to Muhammad, hal. 6-17.
85 . Ibid., hal. 17
86 . Marshall GS Hodgson, The Venture of Islam, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1974) hal. 260
87 . Fazlur Rahman, Islam, hal. 171.
88 . Lihat misalnya, Ibn Qutaiba ad-Dinawari, al-Imâmah wa as-Siyâsah, hal. 18; M. A Syaban, Islamic History AD 600-750, hal. 16. Sachedina sendiri berkata ihwal wilayah berikut ini: "Hal baru tentang wilayah ini adalah bahwa dalam kultur Arab, orang-orang Arab tidak terbiasa melihat seorang pemuda memangku jabatan sebagai pemimpin. Dalam budaya Arab adalah mustahil bagi seorang pemuda tiga puluh tahunan menjadi seorang pemimpin karena bangsa Arab percaya bahwa seorang yang lebih tua yang harus menjadi pemimpin…" Dari ceramahnya yang keenam di bulan Muharram (1419) 1998 di Toronto.
89 . Terdapat dua kelompok yang berebut di Saqifah: Suku Quraisy yang telah berhijrah dari Mekah dikenal sebagai muhajirin dan penduduk tempatan Madinah disebut sebagai Anshar. Argumen-argumen yang disampaikan oleh kaum Muhajirin di Saqifah, silahkan lihat beberapa judul buku dalam bahasa Inggris di bawah ini: SSA. Rizvi, Imamate, hal-hal. 113-126; Murtadha al-Askari, Abdullah bin Saba and Other Myths (Tehran: WOFIS, 1984) hal-hal. 69-95; Muhammad Ridha al-Muzaffar, Saqifah (Qum: Ansariyan, 1998).
90 . Sayid Radhi, Nahj al-Balâgha, khutbah 67. Untuk sumber-sumber Sunni, lihat at-Tabari, Târikh, vol. 6, hal. 263 dan Ibn Abdil Barr, al-Isti'âb, di bawah biografi Auf bin Athâtha.
91 . Lihat, Murtadha Muthahari, Wilayah: the Station of the Master (Walâ'hâ wa Wilâyat hâ), terjemahan Yahya Cooper, Tehran: World Organisation for Islamic Services, 1982.
92 . Shalawat bermakna meminta kiranya Allah mengucurkan rahmat dan berkah ke atas junjungan Nabi Saw dan Ahlulbaitnya. Shalawat ini termasuk dalam ritual harian yang didoakan oleh seluruh kaum Muslimin.
93 . Sebuah hadis otentik dan sahih yang dinukil oleh an-Nasa'i, Khasâis Amiril Mu'minin 'Ali bin Abi Thalib (Beirut: Darul Kitab, 1987), hal. 101-102; annotator, al-Athari, telah memberikan banyak nukilan seperti Sahih Muslim, Sahih Tirmidzi dan yang lainnya.
94 . Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan at-Tirmidzi, keduanya dalam bagian al-Manaqib, sebagaimana dinukil oleh Muhibuddin at-Tabari, Dzakhâirul Uqba Fi Manâqib Dzawil Qurba, editor, Akram al-Busyi (Jeddah: Maktabatus Shabah, 1995) hal. 165.
95 . Dalam menolak Dharuriyat, lihat al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat, 'Manâhijul Haqq wa an-Najat, editor, Sayid Hasan Bani Taba (Qum: Markaz-e Athar Syiah, 1372 S) hal. 308-309; Sayid Muhammad Kazim al-Yazdi, al-Urwâtul Wutsqa (Tehran: Darul Kutub al-Islamiyyah, 1392) hal. 24.
96 . Ash-Shaduq, I'tiqâdatul Imâmiyyah, hal. 94; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shiite Creed, lihat hal. 85. Lihat juga setiap buku standar Ushul Syiah bagian "najâsat" di bawah "kâfir".
97 . Sebagaimana dinukil dari Almarhum Allamah Mir Hamid Husain al-Musawi yang kemudian menolaknya untuk membuktikan universalitas Imamah Amirul Mukminin Ali As melalui hadis Ghadir. Lihat al-Milani, Nafahâtul Azhar fi Khulâsati 'Abaqâtul Anwâr, vol. 9 (Beirut: Darul Muarrikhil Arabi, 1995) hal. 311.
98 . Sayid Husain Nasr, "Shi'ism and Sufism," hal. 103.
99 . Lihat, Muthahhari, Wilâyah, hal. 72; lihat juga Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 163 sebagaimana dinukil oleh guru kami, Sayid Muhsin al-Kharrazi, Bidâyatul Ma'ârifil Ilahiyyah, vol. 2, hal. 12-16.
100 . Nukilan penuh dari ungkapan ini akan di bahas pada halaman berikutnya dari buku ini.
101 . Ash-Shaduq, I'tiqâdat, hal. 92-93; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shi'ite Creed, hal. 84-85; al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat," hal. 310.
102 . Ihwal kisah membelah bulan, lihat sumber-sumber Syiah, at-Tabarsi, Majmâ'ul Bayân, vol. 5, hal. 186; at-Thabathaba'i, al-Mizân fi Tafsiril Qur'ân, vol. 19, hal. 60-72, yang juga menolak isykalan (sanggahan) yang disampaikan oleh kaum Muslim yang berpikiran materialis yang cenderung mengintepretasikan ayat-ayat seperti itu dalam bentuk metaforis. Dalam sumber-sumber Sunni, lihat Fakhrurrazi, at-Tafsirul Kabir, vol. 15, hal. 26; as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, vol. 6, hal. 133; Mawdudi, Tafhimul Qur'ân, vol. 5, hal. 230-231.
103 . Ash-Shaduq, I'tiqâdat, hal. 92-93; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shi'ite Creed, hal. 84-85; al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat," hal. 310.
104 . Di antara sumber-sumber Sunni, lihat Ibn al-Maghazali ash-Syafi'i, Manâqib al-Imâm 'Ali bin Abi Thâlib, hal. 313 (hadis # 358); as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, vol. 4 (Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun) hal. 669; al-Qunduzi, Yanâbiul Mawaddah (Beirut: 1390/1970) hal. 121. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat asy-Syahid at-Tustari, Ihqâq al-Haq, vol. 3, hal. 280, vol. 14, hal. 362-365, vol. 20, hal. 75-77. Untuk pandangan kritis atas laporan yang disampaikan oleh Sunni, lihat ath-Thaba'thaba'i, al-Mizân, vol. 11, hal. 423-428.
105 . Satu contoh lagi dari ucapannya tentang satu hal dalam karya akademiknya dan ucapannya tentang hal lain ketika ia berbicara di hadapan komunitas Syiah. Dr. Sachedina, sebagaimana disebutkan sebelumnya, telah menulis Islamic Messianism, bahwa Islam bermula sebagai sebuah pergerakan politik dan kemudian mendapatkan penekanan agama; kini ia berkata bahwa Nabi Saw secara asasi dikenal sebagai seorang Nabi Allah dan tidak pernah dikenal sebagai seorang pemimpin politik.
106 . Dr. Sachedina ceramah kedua pada bulan Muharram 1419 di Toronto. Ia barangkali secara keliru menukil ayat al-Qur'an, bukan "wal kafirun laysa lahum mawla', tetapi "wa annal kafirin la mawla lahum." (Qs. Muhammad [47]:11).
107 . Pertanyaan Nabi Saw ini berdasarkan kepada ayat Fushshilat [33]:6, al-Qur'an.
108 . Ceramah kedua di Toronto, Muharram 1419.
109 . Kendati redaksi ini dibumbui "apabila ia otentik" merupakan Klaus pelarian, memunculkan pertanyaan-pertanyaan lebih banyak: Selama hari-hari terakhir bulan Ramadhan 1418 H, Dr. Sachedina membuat maklumat di internet:
110 . Ceramah kedua bulan Muharram 1419 di Toronto.
111 . At-Turayhi, al-Majma' al-Bahrain, editor, Mahmud Adil, vol. 3 (Tehran: Daftar-e Nasyr-e Farhang-e Islami, 1408) hal. 242.
112 . Al-Mufid, ?mali, vol. 13, (Mushannafat Syaikh al-Mufid) hal. 35.
113 . Al-Mufid, an-Nukâtul I'tiqâdiyah, dalam 10 jilid dari Mushshanfatul Mufid (Qum: Muasassatul Alil Bait, 1413 H) hal. 39.
114 . Al-Hilli, al-Babul Hadi Asyar (Qum: Nashr Nawid, 1368 S); lihat juga terjemahan Inggrisnya A Treatise on the Prinples of Shi'tie Thought, penerjemah William Miller (London: Royal Asiatic Society, 1958( hal. 62.
115 . Sarmây-e Iman (Qum: Intisyarat-e az-Zahra, 1372 S) hal. 107.
116 . Thabathaba'i, Shiah Islam, penerjemah Nasr (Qum: Ansariyan, 1989) hal. 173.
117 . Muthahhari, Wilâyah, hal. 72.
118 . Ibid., lihat hal. 90-91.
119 . Pada ceramah keenam pada bulan Muharram 1419 di Toronto.
120 . Pada ceramah yang kedelapan bulan Muharram 1419 H di Toronto.
121 . Pada buku Abdurraziq dan jawaban al-Bakhit terhadap buku itu, lihat Hourani, Arabic Thought, hal-hal. 184-192; dalam tanggapan Rasyhid Ridha, lihat Kerr, Islamic Reform, hal-hal. 179-185.
122 . Ceramah Kesembilan bulan Muhraram 1419 H di Toronto.
123 . Khomeini, Islam and Revolution, tr. Hamid Algar (Berkeley: Mizan Press, 1981) hal. 64-65.
124 . At-Tawhidi, Muhammad Ali, Misbâhul Faqâhah, vol. 5 (Qum: Intisyarat-e Wijdani, 1368 S) hal. 35.
125 . Ibid., hal. 38-39.
126 . Ibid., hal. 39
127 . Al-Gharawi, Mirza Ali, at-Tanqih fi Syarhil Urwatil Wutsqa, vol. 2 (Qum: Darul Hadi, 1410 H) hal. 86.
128 . Untuk diskusi yang lebih baik ihwal ayat al-Qur'an tentang 'ilmul ghaib dan relevansinya dengan hadis, lihat, Ahmad Muthahhari dan Ghulam Riza Kardan, 'Ilm-e Payâmbar dar Qur'ân, Qum: Dar Rah-e Haq, 1366 S.
129 . At-Thabathaba'i, al-Mizân, jilid 20, hal. 131-132.
130 . Untuk gambaran yang lebih jelas dan tepat ihwal ilmu Tuhan (yang bersifat mutlak dan tidak berubah, dan dijelaskan sebagai "al-lauhul mahfuz" - senarai atau lembaran yang bersifat tetap) berhadapan dengan ilmu manusia dan malaikat terpilih (yang tidak mutlak dan dijelaskan sebagai "lauhul mahw wal itsbat - senarai atau lembaran yang dapat dihapus dan ditulis ulang), lihat S. Saeed Akhtar Rizvi, The Justice of God, hal. 21-26. Buku ini dengan terang menjelaskan bahwa bada' (perubahan) tidak berlaku pada ilmu Tuhan, ia hanya dapat berlaku pada ilmu manusia dan malaikat.
131 . Al-Majlisi, Bihârul Anwar, jilid 26, pasal 1, 3, dan 5 sebagaimaan dinukil oleh Rizvi, The Justice of God, hal. 21-26.
132 . Al-Mudhaffar, M.R., The Faith of Shi'a Islam, hal. 33-34.
133 . Al-Mufid, al-Ikhtishâs, hal. 235; versi yang lebih ringkas dari riwayat ini dapat Anda lihat pada buku al-Irsyâd, hal. 34 (dalam versi bahasa Inggris, hal. 21). Untuk referensi lain atas klaim Imam Ali ini, "Bertanyalah kalian sebelum kalian kehilangan aku," lihat al-Amini, al-Ghadir, jilid 6, hal. 193-194; jilid 7, hal. 107-108.
134 . Al-Mufid, al-Irsyâd, hal. 317-319; dalam terjemahan Inggrisnya lihat hal. 239-240. Riwayat ini juga dapat dilihat pada kitab-kitab sumber Sunni seperti, Muttaqi al-Hindi, Kanzul Ummâl, jilid 11, hal. 289 yang menukil dari at-Tabrani, al-Wasit; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 271.
135 . Abdulaziz Sachedina menulis tentang evolusi imamah sebagai berikut: "Para Imam kini diyakini memiliki ilmu Ilahi yang memberikan kemampuan kepada mereka untuk memprediksi kejadian-kejadian masa depan… Spekulasi tinggi dari doktrin Imamah harus dinisbahkan pada keadaan-keadaan dimana para imam memanifestasikan ketenangan politik namun tidak keberatan pada klaim-klaim berlebihan yang dibuat untuk mereka oleh para pengikut mereka yang fanatik. Klaim-klaim ini termasuk kepemilikan pengetahuan esoteris (batin) yang diwarisi oleh Imam melalui pengangkatan." (Islamic Messinanism, p.18-19).
136 . Al-Mufid, al-Irsyâd, hal.314; dalam edisi Inggrisnya, lihat hal. 236.
137 . Dalam Your Questions Answered, jilid .8.
138 . Lihat penjelasan Shaykh Muhammad Ridha al-Ja'fari dalam al-Kulayni, al-Kafi (Arab dengan terjemahan Inggrisnya), jilid 1, bagian kedua, Kitab Keempat (iii) hal. 259. Sayyid Muhammad Ridha al-Jalali telah secara ekstensif berurusan dengan pertanyaan ini dan jawabanya oleh para Imam As sendiri dan ulama Syiah abad kesepuluh. Lihat, "Ilmu l-Aimma by 'l-Ghayb wa l-ltiradh alayhi bi l-Ilqai ila t-tuhlika wa l-ijabat anhu ibaru t-tarikh," Turatsuna, no.37 (Syawal, 1414) hal. 7-107
139 . At-Tirmidhi, Sahih, jilid.5 (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun) hal. .328-329, hadis # 3874, 3876; as-Suyuti, ad-Durru l-Manthur, jilid .6. hal. 7; Ibnu l-Maghazili ash-Shafi'i Namaqib Ali bin Abi Talib, hal. 234, hadis # 281.
140 . Al-Hakim, al-Mustadrak 'alas -Shahihain jilid. 3 (Beirut: Dar al-Ma'rifa, tanpa tahun) hal. 124; al-Khuwarazmi, al-Manaqib, p.110; Majma'u z-Zawa'id, vol.9, p.134 as-Suyuti, Târikhu l-Khulafa: hal. 173.
141 . An-Nasa'i, Khasa'isu Amiru l-Mu'minin Ali bin Abi Talib, hal. 134; Muhibbu d-Din at-Tabari, Dzakhâ'iru l-Uqba, hal. 139.
142 . Al-Mufid, al-Ikhtisâs, hal. 236
143 . Abdulaziz Sachedina, Islamic Messianism, hal. 15


DAFTAR PUSTAKA
" Abdul Jabbar, al-Qadi, al-Mughni fit Tawhid wal 'Adl, Kairo: Dar al-Misriyyah, tanpa tahun.
" Abul Fida', al-Mukhtasar fi Tarikhil Basyar, Beirut: tanpa tahun.
" 'Amili, Sayid Ja'far Murtaza, Ahlul Bait fi 'Ayatit Tathir, Beirut: Darul Amir, 1993.
" Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Kairo, Kairo.
" Amini, 'Abdul Husain, al-Ghadir, 11 jilid, Tehran: Muassasatul Muwahhidi, 1976.
" Arnold, T. W., The Caliphate, 1965.
" 'Askari, Sayid Murtaza, 'Abdullah bin Saba and Other Myths, Tehran: World Organization for Islamic Service, 1984.
---- Haditsul Kisa fi Masâdiril Madrasataîn, Tehran: Nasr Tawhid, 1997.
---- Verse of Purification, Bombay, World Islamic Network, 1998. Buku ini sepertinya terjemahan dari buku yang disebutkan di atas, Haditsul Kisa tapi sebagai perbandingan, saya tidak menemukan beberapa kalimat dalam versi Inggrisnya ketika disandingkan dengan kitab aslinya.
" Azhari, Tahzibul Lugha, Kairo, tanpa tahun.

" Baghawi, Hasan bin Mas'ud, Tafsir (Ma'âlim at-Tanzil), Riyadh: Dar Tayyibah (edisi kedua) 1993.
" Baihaqi, Dalâil an-Nubuwwah, Kairo, 1969.
" Bukhari, Shahih, edisi Arab dengan terjemahan Inggris oleh Mohsen A. Khan, Beirut: Darul Arabiyyah, tanpa tahun.
" Brockelmann, C., History of the Islamic People, 1939.

" Dzahabi, Mizânul I'tidâl, Kairo: Darul Ihya al-Kutub 'Arabiyya, tanpa tahun.
" Dinwari, Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was Siyâsah, Cairo: al-Halabi Publications, tanpa tahun.

" Gharawi, Mirza 'Ali, at-Tanqih fi Syarhil 'Urwatil Wutsqa, Qum: Darul Hadi, 1410.
" Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, terjemahan Barber and Stern, Chicago: Aldine Inc., 1971.
" Guillaume, Alfred, Islam, London: Penguin, 1954.
" Haikal, Muhammad Husain, Hayat Muhammad, Kairo, tanpa tahun, edisi pertama.
----- Hayat Muhammad, Kairo, tanpa tahun edisi kedua, 1354.
----- The Life Muhammad, penerjemah al-Faruqi, American Trust Publications, 1976.
----- A Treatise on the Principles of Shi'ite Thought, penerjemah William Miller, London: Royal Asiatic Society, 1958.
----- Manâhijul Yaqin, editor M. Riza al-Ansari, Qum: tanpa nama penerbit, 1416.
----- Kasyful Murâd (Syarh Tajridil I'tiqad), penerjemah Abul Hasan Sya'rani, Tehran: Islamiyyah, tanpa penerbit.

" Hindi, Muttaqi, Kanzul Ummal, Hyderabad: 1968.
" Hitti, Philip K., History of the Arabs, London: Macmilllan & Co., 1964.
" Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam, 3 jilid, Chicago: University of Chicago, 1974.
" Hourani, Albert, "Islamic History, Middle Eastern History, Modern History", editor Kerr, M. H., Islamic Studies: A Tradition and Its Problems, California: Undena Publications, 1979.
----- Arabic Thought in the Liberal Age, 1789-1939. London: Oxford University Press, 1967.
" Holt, P. M., editor, The Cambridge History of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
" Hughes, Thomas P., A Dictionary of Islam, New Jersey: Reference Book Publishers, 1965.

" Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâgha, Kairo: Darul Ihya Kutubil Arabiyya, 1959.
" Ibnu 'Abdi Rabbih, al-Iqdul Farid, Beirut: Darul Kitab, 1983.
" Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Kairo: Mustafa al-Halabi & Sons, 1955.
----- The Life of Muhammad, penerjemah, A. Guillaume, Lahore: Oxford University Press, 1955.
----- Sirat-e Rasulullah, penerjemah Rafi'uddin Hamadani, editor Asghari Mahdawi, Tehran: Bunyad-e Farhanggi, Iran, 1360 S.
" Ibnu al-Jauzi, Sibt, Tadzkiratu Khawâssil Umma, Beirut: Muassasah Ahlil Bait, 1981.
" Ibnu al-Katsir, at-Târikh, Beirut, 1965.
" Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Maktabatul Madrasa, 1961.
---- The Muqaddimah, penerjemah Franz Rosenthal, New York: Pantheon Books, 1958.
" Ibnu al-Maghazali, Manâqibul Imâmi 'Ali bin Abi Thalib, Beirut: Dar al-Azwa, tanpa tahun.

" Jafri, S. Hussain, M., Origins and Early Development of Shi'a Islam, London: Longmans, 197?
" Jalali, Muhammad Riza al-Husaini, "Firaqusy Syiah aw Maqâlatul Imâmiyah, li n-Nawabakhti am lil Asha'ri?" dalam Turatsuna (vol. 1 # 1) Qum: Muassasa Alil Bait, 1405 H.

" Kasyiful Ghita, Muhammad Husain, Aslu asy-Syiah wa Usûluha, Qum: Mu'assasah al-Imam 'Ali, 1415. Juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Shi'a Origin and Faith, Karachi: Islamic Seminary, 1980.
" Kerr, Malcolm H. Islamic Reform: Political and Legal Theories of Muhammad 'Abduh and Rashid Rida. Berkeley: University of California Press, 1966.
" Kharrazi, Sayid Muhsin, Bidâyatul Ma'arif Ilahiyyah fi Syarhi 'Aqâidil Imâmiyyah, 2 jilid. Qum: Markaz-e Mudiriyyat-e Hawzah, 1411.
" Khazin, at-Tafsir, Kairo, 1955.
" Khomeini, S. Ruhullah, Islam and Revolution, penerjemah Hamid Algar, Berkeley: Mizan Press, 1981.
" Khui, Sayid Abul Qasim, Mu'jam Rijali Hadits, Beirut: Madinatul 'Ilm, 1983.

" Lahiji, 'Abdur Razzaq, Sarmây-e ?man, Qum: Intisyarat-e az-Zahra, 1372 H.

" Madelung, Wilfred, The Succession to Muhammad: a Study of the early caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
" Majlisi, 'Allamah "Risâlah fil I'tiqâdat," Manâhijul Haqq wan Najat, editor Sayid Hasan Bani Taba, Qum: Markaz-e Atsar Syiah, 1372 S.
" Mawdudi, Abul 'A'la, Tafhimul Qur'ân, 6 jilid, Lahore: Idarah-e Tarjumanul Qur'an, 1994.
" Margoliouth, David S, Muhammad and the Rise of Islam, New York: Books for Libraries Press, 1905.
" Milani, Sayid Ali, Nafahâtul Azhâr fi Khulasâti 'Abaqâtil Anwâr, jilid 12, Beirut: Darul Mu'arrikhil 'Arabi, 1995.
" Mufid, Syaikh, ?mâli (jilid 13 Musannafatul Syaikhil Mufid) Qum: Mu'assasa 'Alil Bait, 1413 H.
---- Awâ'ilul Maqâlat (jilid 4, Musannafatul Syaikhil Mufid) Qum: Muassasa Alil Bait, 1413 H.
---- al-Irsyâd (jilid 11, Musannafatul Syaikhil Mufid) Qum: Mu'assasa 'Alil Bait, 1413 H.
---- An-Nukatul I'tiqâdiyah (jilid 10, Musannafatul Syaikhil Mufid) Qum: Mu'assasa 'Alil Bait, 1413 H.
" Muthahhari, Murtaza, Wilayah: The Station of the Master, penerjemah Yahya Cooper, Tehran: World Organization for Islamic Services, 1982. Buku ini merupakan terjemahan dari buku Wilâ- hâ wa Wilâyat-hâ; dan telah diterjemahkan terlebih dahulu di Pakistan oleh Mustajab Ansari dengan judul Master and Mastership, Karachi: Islamic Seminary, 1980.
" Muzaffar, Muhammad Riza, Saqifa, Qum: Ansariyan, 1998.

" Nasa'i, Ahmad bin Su'aib, Khasâis Amiril Mukminin 'Ali bin Abi Thalib, editor Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari, Beirut: Darul Kitabil 'Arabi, 1987.
" Nasr, Sayid Husain, "Shiism and Sufism," Shiism: Doctrine, Thought and Spirituality, editor Nasr, Dabashi, Nasr, New York: State University of New York, 1988.
" Nawbakhti, Firaqus Syi'ah, Beirut: Darul Azwa, 1984.

" Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1976.
" Razi, Sayid (editor), Nahjul Balagha.
" Razi, Fakhruddin, at-Tafsirul Kabir, 16 jilid, Beirut: Darul Kutubi 'Ilmiyyah, 1990.
" Rifa'I, Sayid Thalib Husain, Yawmud Dar, Beirut: Dar al-Azwa, 1986.
" Rizvi, Sayid Saeed Akhtar, Imamate: the Vicegerency of the Prophet, Tehran: World Organization for Islamic Services, 1985.

" Sachedina, Abdulaziz Abdulhussein, Islamic Messianism: The Idea of Mahdi in Twelver Shi'ism, Albany: State University of New York, 1981.
---- "Wilaya of Imam Ali and Its Theological Juridicial Implications for the Islamic Political Thought," Ghadir, Toronto: Islamic Syi'ah Itsna 'Asyari Jamaat & NASIMCO, 1990.
----- "Islam, "The Bio Ethics Encylopaedia, 1995.
----- Pilihan dari transkrip ceramah Sachedina pada bulan Muharram 1419 H di Toronto yang termasuk dalam presentasi yang disampaikan oleh penulis buku ini kepada Ayatullah Sayid Ali Sistani bulan Agustus 1998 selama kunjungannya ke Iraq bersama Dr. Sachedina.
" Saduq, Abu Ja'far, I'tiqâdatul Imâmiyah (jilid 5, Musannafatusy Syaikhil Mufid), Qum: Muassasatul Alil Bait, 1413 H.
----- The Shi'ite Creed, penerjemah Asaf, A. A. Fyzee, Tehran: World Organization for Islamic Service, 1982
" Said, Edward W., Covering Islam, New York: Pantheon Books, 1981.
" Saqqaf, Hasan bin Ali, "The Book of Allah and What Else?", The Right Path, jilid 6, (Oktober-Desember 1997) # 3-4.
" Syaban, M. A., Islamic History AD 600-750, Cambridge: University of Cambridge Press, 1971.
" Syaf'i, Muhammad bin Idris, Diwânush Syafi'i, editor, Muhammad Khafaji, Jeddah: Maktabah Dar Hira, tanpa tahun.
" Syarafuddin al-Musawi, Abdul Husain, al-Muraja'at, editor Husain ar-Razi, Beirut: tanpa penerbit, 1982.
----- The Right Path, penerjemah Muhammad Amir Haider Khan, Blanco, TX: al-Zahra Publications, 1986.
" Subhani, Ja'far, Mafâhimul Qur'ân, Beirut: Darul Azwa, 1986.
" Suyuti, ad-Durrul Mantsur, Beirut, tanpa tahun.

" Thabathaba'i, Sayid Abdul Aziz, al-Ghadir fit Turâtsil Islâmi, Qum: Nashr al-Hadi, 1415.
" Thabathaba'I, Sayid Muhammad Husain, Shi'a Islam, penerjemah S. Husain Nasr, Qum: Ansariyan Publications, 1989.
----- al-Mizân fi Tafsiril Qur'ân, 20 jilid, Tehran: Darul Kutubil Islamiyya, 1394 S.
" Tabari, al-Makki, Muhibbuddin, Dzakhâirul Uqba fi Manâqibil Dzawil Qurba, editor Akram al-Bushi, Jeddah, Maktabatush Shahabah, 1995.
----- at-Târikh, Kairo, Darul Qamusil Hadits, 1908 M.
----- at-Târikh, Kairo: Darul Ma'rifa, 1961 M.
----- at-Târikh, penerjemah WM Watt and MV McDonald, Albany, State University of New York, 1988.
----- Jâmiul Bayan.
" Tarabisyi, Muta, Ruwât Muhammad bin Ishaq bin Yasar fil Maghâzi was Siyar wa Sâiril Marwiyât, Damascus: Darul Fikr, 1994.
" Tawhidi, Muhammad Ali, Misbâhul Faqâha, Qum: Intisyarat-e Wijdani, 1368 H.
" Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Shahih, Beirut: Dar Ihyait Turats, tanpa tahun.
" Thusi, Abu Ja'far, Kitâbul ?mâli, Najaf: Maktabatul Haydari, 1964.

" Vaglieri, L. Veccia, "Ghadir Khumm, "Encylopeadia of Islam, edisi kedua, 1953.
" Von Grunebaum, Gustave E., Classical Islam, penerjemah K. Watson, Chicago: Aldine Publishing Co., 1972.

" Wessels, Antonie, A Modern Arabic Biography of Muhammad, Leiden: EJ Brill, 1972.

" Yamani, Muhammad Abduh, 'Allimu Awlâdakum Hubb ?li Baytin Nabi, Jeddah, 1992.
" Ya'qubi, at-Târikh, Beirut: Dar Sadir, tanpa tahun.
" Yazdi, Sayid Muhammad Kadzim, al-Urwatul Wutsqâ, Tehran: Darul Kutubil Islamiyya, 1392 S.


8