Kisah Seorang Pelajar di Eropa
Kini saya akan menceritakan sebuah kisah penting kepada Anda semua, tetapi kepentingannya lebih ditekankan kepada para ibu yang menyusui.
Salah seorang penulis bercerita,“Saya belajar di Eropa. Pada suatu pagi saya bangun dari tidur saya dalam keadaan malas dan lelah, sarafku letih. Saya berkata, ‘Celaka saya, di hadapan saya terdapat hari lain yang harus saya lewati!’”
Kemudian ia menambahkan,“Dalam keadaan letih saya ulurkan tangan saya ke tempat koran di atas kepala saya. Saya mulai membaca dan pandangan saya terhenti pada sebuah persoalan menarik. Saya baca bahwa salah seorang penderita infeksi perut dengan sengaja―setelah putus asa untuk sembuh―merobek perutnya dengan sebilah pisau tajam, sambil mengulang-ulang perkataannya, ‘Saya ingin hidup tanpa rasa sakit pada perut, meski hanya sesaat.’ Ia berkata demikian, kemudian meninggal dunia.”
Penulis itu menambahkan,“Pada sisi lain dari koran itu saya baca keadaan seorang wanita yang menggambarkan kondisinya dengan berkata, ‘Pada saat bangun tidur pagi hari, saya memulai hari saya dengan berkata, “Segala puji bagi Allah Yang telah memberi saya hari baru.” Saya harus mencurahkan upaya saya pada hari ini, untuk tetap konsisten dan tabah memikul kesulitan-kesulitan; saya memuji Allah Yang telah memberi saya kehidupan pada hari yang lain. Saya memuji-Nya atas kesehatan, keselamatan, dan kekuatan yang telah diberikan kepada saya.’”
Penulis itu berkata, “Saya mulai merenungkan asal dari ketiga kondisi ini: kondisi saya, kondisi wanita itu, dan kondisi lelaki yang membunuh dirinya agar bebas dari penyakit perutnya.
“Setelah merenung sejenak, saya perhatikan bahwa sebabnya kembali pada kekuatan saraf masing-masing kami. Lemahnya saraf pada diri sayra menjadikan saya jenuh terhadap kehidupan, dan kuatnya saraf pada wanita tersebut, menjadikannya ingin menghadapi kehidupan dengan kehendak yang kuat. Adapun orang yang membunuh dirinya, lemahnya saraf dan tubuh yang sakit mengiringi keadaannya, sehingga melahirkan kehendak bunuh diri padanya.”
Hal itu merupakan perkataan yang indah, sebab tidak ada tempat untuk mengatakan bahwa suatu hari adalah bahagia dan hari yang lain adalah sial, dan tidak ada ruang untuk membagi dunia menjadi baik dan buruk.
Perdebatan yang timbul di antara para ulama mengenai dunia, tidak membawa kesimpulan yang benar, di mana sebagian mereka dengan argumen ayat-ayat dan hadis-hadis zuhud, melemparkan keburukan pada dunia, sedangkan sebagian yang lain berargumen dengan ayat-ayat yang berbicara tentang dunia dengan sifatnya yang baik. Namun sebenarnya hukum yang benar adalah bahwa dunia secara esensial tidak baik dan tidak pula buruk.
Lalu bagaimana?
Apabila manusia bergantung kepada dunia, sehingga dunia merupakan hal paling penting bagi dirinya, melalaikannya dari urusan akhiratnya, dan mengantarnya menuju neraka, maka dunia buruk sekali. Tetapi apabila hati manusia tidak terkait dengan dunia, dan dunia dijadikan sebagai perantara untuk menolong manusia, serta apabila ia memetik amal-amal saleh untuk dirinya melalui perantaraan dunia, maka dunia seperti ini adalah dunia yang baik.
Lantaran itu, secara esensial, dunia tidak baik dan tidak buruk. Hukum terhadapnya tergantung pada sikap dan perilaku manusia terhadap dunia. Dengan demikian dunia menyerupai alat gergaji bagi tukang kayu.
Sebenarnya, amal perbuatan kitalah yang menjadikan hari-hari baik atau buruk, dan kekuatan saraf kitalah yang menjadikan umur kita berlalu dengan kebaikan dan kebahagiaan atau dengan keburukan dan kesengsaraan.
Kami telah sebutkan pada bab sebelumnya, bahwa kerisauan dan kesempitan hati, meski besar ukurannya, tidak berpengaruh atau tidak mengubah sedikit pun nasib manusia. Al-Qur’an al-Karim menyatakan:
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demi-kian itu adalah mudah bagi Allah. [Kami jelaskan yang demikian itu] supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong, lagi membanggakan diri
.
Kami telah katakan sebelumnya―dan kini kami ulang kembali―bahwa yang berpengaruh terhadap nasib dan masa depan manusia adalah perbuatan dan aktivitasnya, doa dan istiqamahnya, merendahkan diri di hadapan Allah, tawassul, dan salatnya, serta kesendiriannya untuk beribadah di tengah malam.
Seorang wanita yang menyusui, dengan emosi dan goncangan jiwanya tidak memberikan sesuatu melainkan pengaruh-pengaruh negatif pada dirinya dan anaknya.
Goncangan saraf dan jiwa pada manusia akan menghentikan aktivitas dan menjadikannya terpojok di sudut keterbelakangan dari sudut-sudut kehidupan. Terkadang kondisi itu sampai pada tingkat dimana seseorang berharap agar kematian menjadi hal yang paling dekat dengan dirinya, bagaikan dekatnya anak perempuan misalnya.
Andaikan seseorang menahan rasa sakit dan kesedihan setahun penuh, hal itu tidak akan mengubah kenyataan sedikit pun. Sedangkan apabila ia bangun di tengah malam karena Allah dan menunaikan salat dua rakaat serta ber-tawassul kepada Allah agar ia menunaikan hajatnya dan menghilangkan kesedihan dan kesulitannya, maka hal itu akan lebih baik.
Ketika kesedihan dan keruwetan hilang dari kehidupan manusia, kehidupannya akan menjadi lapang dan lurus, dan tidak akan mengeruhkan kejernihannya kecuali satu hal yang terangkum dalam firman Allah Ta’ala,“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan [ayat-ayat Kami] itu, maka Kani siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Jika manusia berambisi untuk hidup layak tanpa ada kesulitan- kesulitan, maka ia harus menjawab panggilan Allah.
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diajarkan dengannya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya dan [Dia] memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka.
Ia harus bertawakal kepada Allah semata:
Dan [Dia] memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Dengan ini jelaslan jalan penyelesaian kesulitan-kesulitan itu dan sandaran menuju nasib yang membangun. Qadha dan takdir tidak melampaui maksud ini.
Sebuah riwayat telah kita lewati, yang di dalamnya Allah SWT memerintahkan malaikat untuk menulis nasib seorang anak sewaktu berada di perut ibunya, dengan syarat memberikan bada’ bagi Allah Ta’ala. Arti bada’ pada kedudukan ini adalah bahwa seorang anak memiliki nasib tertentu yang dapat dipengaruhi dan diubah dengan amal-amal perbuatan dan dengan menguatkan hubungan dengan Allah SWT.
Lantaran itu, kita semua―khususnya para ibu―hendaknya memelihara iklim kekeluargaan agar tetap hangat dan bergerak hidup, serta menghindari hal-hal yang tidak demikian.
Seorang psikolog berkata,“Pada saat seorang laki-laki masuk ke rumah, hendaknya ia mengesampingkan kesedihan, kesusahan, dan kejemuan di luarnya, dan seorang wanita hendaknya siap menyambut suaminya sebelum kedatangannya dengan bersiap diri dan berhias. Apabila ia tidak melakukan itu, berarti ia lalai terhadap hak suaminya, dan jika itu terjadi, lalu suami berbuat maksiat tertentu karena ia mengabaikan berhias dan mempercantik diri, maka dosanya menjadi besar, dan nasibnya akan berakhir menuju jahanam akibat kelalaiannya, sebagaimana pula nasib suami akan berakhir di neraka akibat dosa dan pelanggarannya.”
Psikolog itu menambahkan, “Seorang wanita hendaknya membuang kesedihan, dan kesusahannya sebelum kedatangan suaminya dan mengesampingkannya seperti membuang sampah, dan hendaknya berhias diri untuk menyambut suaminya sebaik yang dikehendakinya.”
Adapun seorang ibu yang menyusui, hendaknya siap menyusui anaknya; tidak hanya dengan berwudu, bersemangat dan rasa hangat, tetapi juga tersenyum di wajah anak pada saat menyusuinya, karena senyuman dan usapan terhadap kepala anak serta belaian terhadap rambutnya dengan kedua tangannya akan mencurahkan kecintaan dan kasih sayang padanya, dan berpengaruh besar terhadap pemuasan jiwanya akan kecintaan.
Sebagaimana senyuman-senyuman ibu pada saat menyusui anak memiliki dampak yang dalam terhadap roh dan kejiwaan anak, perilaku yang menyimpang juga akan memiliki dampak yang menyimpang. Seorang ibu yang memberikan air susunya kepada bayinya sambil menangis lantaran suaminya atau berkeluh kesah dengan perkataan yang buruk dan bosan terhadap kehidupannya, atau seorang ibu yang naik pitam pada tengah malam dan menyusui anaknya sambil berteriak-teriak, berarti telah mematikan potensi-potensi kebaikan pada kejiwaan anaknya dan menyiapkannya menjadi anak yang lalim, keras, dan fanatik dalam perilaku dan tindakan-tindakannya.
Bila kita membaca dalam hadis-hadis bahwa surga terletak di bawah kaki para ibu, hal tersebut tidak diberikan kepada mereka dengan percuma (gratis). Imbalan ini diberikan pada ibu, karena ia bangun di tengah malam dan meredakan tangisan anaknya, kemudian menyusuinya dengan air susunya. Pada saat-saat tertentu ia mengajaknya bicara dengan lemah lembut dan meminta maaf karena ia terlambat bangun untuk menyusuinya.
Inilah penyusuan yang digambarkan oleh hadis-hadis bahwa imbalannya sama dengan membebaskan seorang budak di jalan Allah.
Sebaliknya yang dilakukan oleh sebagian ibu, yang pada saat bangun pada tengah malam lantaran tangisan anaknya, berbicara dengan kata-kata yang buruk, khususnya yang tidak dapat menguasai lisan mereka dan tidak memperhatikan kecilnya usia anak serta kebutuhannya terhadap kasih sayang. Ibu seperti ini tidak mendapat pahala dari penyusuannya, bahkan menyebabkan dirinya dan anaknya merugi secara lahir maupun batin.
Oleh karenanya syarat kedua dari syarat-syarat penyusuan yang sehat, adalah keharusan seorang ibu menghindari emosi saraf dan jiwa yang berlebihan, dan hendaknya tidak menahan kesedihan dan kesusahan. Dan hendaknya suami memperhatikan ketenangan istrinya pada saat menyusui anak, dan jangan membuatnya marah atau menyusahkan pikirannya. Seorang ibu juga harus menguasai dirinya dan bersikap tenang dan hangat.