BAB I: Dari Sains Alam ke Metafisika
Langkah Pertama pada Jalan Pengetahuan
ADA sejumlah sarjana yang berpandangan bahwa ikhtiar manusia untuk mencari pengetahuan dimulai dengan upaya memahami alam. Tentu saja, upaya ini, pada mulanya, sangat terbatas dan dangkal. Upaya itu terdiri atas pengidentifikasian kualitas-kualitas seperti warna, bentuk, aroma, cita rasa, suhu, dan ketajaman dalam objek-objek serta makhluk-makhluk di mana manusia berhubungan. Bentuk primordial dari pengetahuan ini tidak banyak berbeda dari bentuk pengetahuan yang dicapai oleh banyak binatang lain mengenai lingkungan hidup mereka.
Kelebihan manusia atas hewan lainnya terletak pada pencarian pengetahuannya yang tidak pernah berhenti pada tataran umum. Manusia telah mencoba secara konstan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuannya. Pengalaman historis ekstensif menunjukkan bahwa manusia antusias dalam mengejar pengetahuan yang lebih tinggi dan menolak untuk membatasi upaya-upayanya dalam hal ini.
Salah satu pertanyaan yang paling memicu perdebatan tentang eksistensi manusia adalah: apakah motif di balik nilai pengetahuan tak terbatas dari manusia? Apakah nilai semacam itu merupakan salah satu dari dorongan bawaan manusia, suatu rasa dahaga yang sebelumnya terpenuhi dan barangkali tidak akan pernah terpuaskan sepenuhnya? Atau, apakah nilai pengetahuan dan pemahaman tersebut bukan suatu dorongan inheren pada manusia melainkan sebuah alat yang dengannya ia berharap memuaskan naluri dan kebutuhan serta hasrat mendasarnya?
Tidaklah gampang memberi jawaban jelas dan definitif atas pertanyaan semacam itu, dan kita tidak akan segera menyentuh mereka dalam diskusi kita sekarang ini. Apapun motivasinya untuk mencari pengetahuan dan kearifan, satu hal yang sangat jelas adalah, setelah melewati setiap langkah, manusia telah menyiapkan langkah berikutnya dijalan pembelajaran dan ia tidak pernah menghentikan perjuangan dan upayanya dalam pencariannya guna mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam.
Pengetahuan Ilmiah tentang Alam
Setelah mendapatkan pengetahuan dangkal dan sederhana, manusia ingin mendapatkan wawasan yang lebih jeluk terhadap alam semesta. Ia berusaha meraih pengetahuan ihwal struktur dalam dari objek-objek alamiah, hubungan mereka satu sama lain, dan sebab-sebab kemunculan dan keruntuhannya.
Informasi raihan manusia yang awalnya “tidak berharga” ini pada kelanjutannya terbukti banyak bermanfaat bagi dirinya, karena memudahkannya untuk meningkatkan standar kehidupannya. Setelah meraih hasil-hasil yang nyata, manusia dimotivasi untuk memperluas dan mengintensifkan pemahamannya akan alam. Pemahaman ini menjadi lebih jeluk, berbuah, dan luas, yang melahirkan pelbagai cabang sains-sains alam.
Pengetahuan “Bentuk dan Angka”
Marilah kita asumsikan bahwa manusia telah menjadi akrab dengan bentuk dan angka dalam tahap-tahap awal dari kajiannya tentang alam. Sudah tentu, pemahamannya akan bentuk dan angka berakar pada alam. Dengan kata lain, ia akrab dengan “bentuk konkret” dan “angka konkret”, bukan dengan “bentuk abstrak” dan “angka abstrak”.
Kedekatan dengan “bentuk dan angka konkret” semacam ini sangat produktif kepada manusia, sampai ke tingkat bahwa ia mencapai tahap perkembangan intelektual di mana ia mampu menyusun keputusan universal tunggal dari banyak konsep pengalaman menyangkut objek-objek semacam itu, yang memisahkan pelbagai kualitas dan karakteristik setiap objek dan menyusun konsep yang terpisah dan mandiri untuk masing-masing objek. Ia juga menata konsep khusus untuk bentuk dan angka. Konsep-konsep ini terlepas dari semua objek. Dengan kata lain, mereka sepenuhnya abstrak. Berkat upaya mental dan kreativitas intelektualnya, manusia mencipta “angka-angka matematis” dan “bentuk geometris” dalam pikirannya sendiri, yang membuka penemuan baru terhadap eksplorasi intelektual atas alam. Akibatnya, sejumlah peneliti tertarik pada temuan-temuan tersebut dan mulai mempelajari mereka.
Para peneliti ini melakukan kalkulasi yang sama sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang dalam urusan mereka sehari-hari tentang “bentuk dan angka matematis”. Secara bertahap, mereka menemukan mata rantai antara angka-angka dan bentuk-bentuk yang tidak diketahui oleh mereka hingga masa itu.
Penemuan hubungan ini juga mengarahkan manusia terhadap pencarian pemahaman akan alam yang lebih baik, dan mengembangkan minat dalam penelitian ekstensif terhadap hakikat hubungan ini. Pada gilirannya, sebuah bidang kajian baru dihasilkan yang belakangan disebut “matematika”.
Pengetahuan Prinsip-prinsip Alam
lnvestigasi ilmiah terhadap fenomena alamiah dan sebab-sebab wujud mereka, secara perlahan, menarik perhatian sebagian peneliti kepada masalah baru. Dalam penelitian rnereka, rnereka telah rnenernukan bahwa setiap fenornena alamiah terwujud karena sejumlah sebab. Pada saat yang sarna, setiap sebab itu sendiri merupakan fenomena alamiah, sebab-sebab kemunculan mereka juga diketahui. Sekiranya sebab-sebab kernunculan dari fenornena ini tiada lain merupakan serangkaian fenornena alamiah, maka kita harus mencari sebab-sebab kemunculan mereka juga.
Dengan demikian, para pemikir ini mengajukan pertanyaan kepada diri mereka sendiri: apakah rantai sebab dan akibat alamiah ini berlanjut secara tak terbatas, atau apakah ia berakhir pada satu titik yang merupakan surnber dan asas semua wujud? Dan pabila rantai sebab-akibat ini berujung pada titik tertentu, apakah prinsip itu dan di manakah adanya?
Penempatan pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengarah kepada penciptaan cabang-cabang pengetahuan baru.Tujuannya adalah untuk memahami prinsip-prinsip alam.
Metafisika
Aristoteles (384-322 SM), filosof besar Yunani, menulis risalah ekstensif tentang pemahaman prinsip-prinsip alam. Karya-karya ini merupakan bagian substansial dari semua karya ilmiah dan filosofisnya. Dalam koleksi terpilih ini, bagian tersebut segera disusul bagian mengenai sains-sains alam. Dalam bukunya al-Fihrist, Ibn Nadim (438 H) menulis bahwa penataan buku-buku tersebut adalah sebagai berikut: logika, fisika, teologi,
dan etika.
Apakah penggolongan ini dibuat oleh Aristoteles sendiri atau oleh mereka yang menerbitkan buku-bukunya setelah kematiannya? Kamus Persia Moein (Moein Persian Dictionnary) mengatakan tentang masalah ini:
Aristoteles menempatkan seksi pembelajaran setelah sains-sains alam (fisika) dan menyebutnya metafisika.
Tapi dalam Kamus Jerman, Brockhaus, dikatakan bahwa penggolongan yang sedang dibicarakan itu merupakan karya penerbit Aristoteles ketika ia berkata: “metafisika mencakup sebab-sebab ultimat dari objek yang berada di balik observasi dan pengalaman.” Secara etimologis, metafisika berarti “setelah fisika”. Sehingga, penerbit buku-buku Aristoteles menempatkan bagian ini dari sejumlah tulisannya setelah karya-karya fisika (sains-sains alamiah).
Bagaimanapun, dalam koleksi karya-karya filsafatnya yang telah diwariskan kepada kaum peripatetik, yakni pendukung pemikiran Aristoteles (Aristotelian), bagian yang berkaitan dengan “pengetahuan prinsip-prinsip alam” menyusul bagian yang berkenaan dengan “pemahaman akan alam”, yakni sains-sains alamiah.
Dalam bukunya, al-Syîfâ, Ibn Sina (980-1036 M) mengatakan:
Ini merupakan keahlian keenam. Pada keahlian ketujuh, kami akan mengevaluasi kehidupan nabati, dan pada keahlian kedelapan, kami akan membahas kondisi binatang-binatang. Pada titik itu, kami akan menyelesaikan kajian perihal sains-sains alam. Selanjutnya kami akan membahas sains matematika dalam keahlian keempat. Semua ini akan disusul oleh teologi. Kami menutup buku ini dengan diskusi singkat tentang etika.
Ibn Sina mulai membahas “matematika” setelah sains-sains alam. Hal ini diikuti oleh “teologi”, yakni “pengetahuan prinsip-prinsip alam”. Namun dalam naskah al-Syîfâ yang diterbitkan, penggolongan Aristotelian telah diikuti. Bagian yang membahas “teologi” segera menyusul bagian “sains-sains alam”. Bagian matematika tidak dimasukkan dalam naskah ini sama sekali.
Untuk keterangan lebih lanjut tentang masalah ini, lihat catatan nomor 1 pada lampiran di halaman akhir buku ini.