Tuhan Menurut al-qur'an(4)

pengarang: AS-SHAHID SAYYID MUHAMMAD HUSAYNI BEHESTI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin
pengarang: AS-SHAHID SAYYID MUHAMMAD HUSAYNI BEHESTI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin
TUHAN MENURUT AL-QURAN
Behesthi, Sayyid Muhammad Husayni
Penerjemah : Arif Mulyadi
Penerbit : Al- Huda
TEMA metafisika merupakan bagian pengetahuan yang paling penting dalam al-Quran. Kekayaan wahyu ilahi ini bisa diakses oleh para pencari kebenaran.
Sejatinya, ajaran metafisika al-Quran merupakan dasar untuk memahami Islam. Dengan demikian, mengkaji tema-tema tersebut merupakan hal penting guna pemahaman Islam yang benar. Karena alasan inilah, selama empat belas abad silam sejarah Islam, sebagian dari sarjana Muslim yang paling masyhur telah mencurahkan diri mereka untuk penelitian lema itu dan mengkaji ajaran-ajaran tersebut. Berkat usaha mereka, telah banyak buku berharga yang diwariskan kepada generasi penerus yang membahas tema-tema metafisika.
Sayangnya, tidak semua kajian tersebut yang telah dibuat dan buku-buku yang telah ditulis sepenuhnya bebas dari prasangka dan prakonsepsi pribadi dalam satu atau lain cara. Kadang, kita menemukan karya-karya dari sejumlah ulama terhormat dan besar yang telah berkarya di bidang ini terpengaruh oleh prasangka dan kepicikan pikiran mereka. Tentu saja, ini mengurangi keabsahan karya-karya mereka dan melemahkan watak “suci dan
pencarian kebenaran” yang seharusnya menjadi jaminan dari semua upaya ilmiah yang sesungguhnya.
Mereka semua yang menginsyafi kekurangan-kekurangan itu dalam karya-karya tertulis, yang sampai sekarang memperhatikan ajaran-ajaran al-Quran, merasakan kebutuhan untuk memahami ajaran-ajaran Islam, sebagaimana yang dilukiskan oleh al-Quran dan sunnah dalam sebuah metode baru sepenuhnya, yakni: ilmiah, objektif seutuhnya, juga bebas dari prasangka.
Sesungguhnya untuk melakukan kajian ilmiah, objektif, dan bebas prasangka di bidang sains-sains ilmiah secara relatif merupakan tugas ringan. Di masa lalu, penelitian bebas di bidang-bidang ini mengalami kemunduran penting, tapi kini menikmati atmosfer yang menggembirakan dan telah melewati masa krisis. Sekarang, faktanya adalah bahwa seorang peneliti yang berusaha melakukan sebuah kajian objektif dan investigatif atas masalah-masalah tersebut mungkin menghadapi pertanyaan berikut: Mungkinkah, dalam kajian-kajian keagamaan, menggunakan penelitian seutuhnya, dan metode objektif sepenuhnya bebas dari pendapat subjektif dan prasangka pribadi? Prasyarat utama dari sebuah penelitian objektif adalah bahwa seorang peneliti mesti bebas dari segala jenis prasangka entah tuntutan pribadi, sosial, ataupun politis, atau tuntutan jenis lainnya yang bisa mempengaruhi pemahamannya atas masalah ini. Persoalannya adalah: apakah kebebasan semacam itu secara praktis dimungkinkan dalam bidang agama? Jika seorang peneliti menganut agama tertentu, tidakkah ia secara tak terelakkan menunjukkan keabsahan bahwa agama akan menyerangnya secara lebih kuat ketimbang bukti yang menentangnya? Apa solusi untuk masalah ini? Haruskah kita mempercayakan tugas penyelidikan dari aktivitas semacam ini kepada mereka yang tidak percaya terhadap agama manapun?
Pendekatan semacam itu bisa membuahkan hasil yang berlimpah menyangkut isu-isu minor tertentu, namun ia tidak berhasil menyangkut isu-isu utama agama khususnya, pertanyaan inti dari sebuah agama.
Tidak loyal kepada dua sisi bisa menyebabkan kecenderungan otomatis terhadap posisi lain. Seseorang akan cenderung terhadap sebuah posisi jika tidak percaya akan eksistensi Tuhan, kebenaran wahyu, dan misi para nabi, khususnya misi Nabi Muhammad saw.
Menurut kami, dalam masalah kajian keagamaan, jika ada harapan, itu pasti ada pada orang-orang tersebut yang tidak dipengaruhi oleh kecenderungan. Hanya jenis orang-orang ini yang condong untuk belajar dan siap untuk mengubah pandangan-pandangan mereka, sekiranya mereka dihadapkan pada keterangan yang membuktikan bahwa kebenaran merupakan sesuatu selain dari apa yang mereka percayai sampai sekarang. Orang-orang semacam itu percaya bahwa keyakinan menjeluk cdan tak tergoyahkan merupakan sesuatu yang satu-satunya keyakinan yang didasarkan pada keterangan yang jelas dan tak bisa ditolak. Orang-orang semacam itu selalu bersandar pada penalaran, dan siap untuk melayani perubahan apapun, selama mereka memegang secara kuat pandangan-pandangan yang ditunjang oleh bukti dan akal.
Buku ini, yang disajikan kepada para pencari kebenaran, ditujukan sebagai suatu langkah menuju pencarian objektif terhadap isu-isu metafisika dalam al-Quran. Penulis tidak mengklaim bahwa langkah ini merupakan langkah yang sempura, bebas dari kekurangan atau kelemahan. Ia percaya bahwa suatu penyelidikan atas topik ini mesti ditunaikan di lingkungan Islam. Sesungguhnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt dan menganggapnya sebuah sukses besar jika ikhtiarnya terbukti menjadi langkah baru terhadap sebuah pemahaman atas ajaran hakiki al-Quran dan membuka sebuah temuan baru kepada realisasi ideal ini.
Saya harap bahwa ketika melangkah di atas jalan kajian metafisis, sebuah jalan yang bergelombang kita semua akan dirahmati dengan petunjuk Allah dan dilindungi dari setiap penyimpangan.
Sayyid Muhammad Husaini Behesyti
Teheran
27 Syahriwar 1352
20 Sya'ban 1393
BUKU ini merupakan sebuah kajian metafisika, yang membahas pelbagai argumen filosofis ihwal keberadaan Tuhan dengan rujukan khusus kepada konsep Tuhan dalam al-Quran. Pengarang percaya bahwa ajaran metafisika al-Quran merupakan bagian pengetahuan yang terpenting.
Studi ini didasarkan pada sumber-sumber orisinal. Penulis mengutip pelbagai teks untuk mempermudah pembaca membandingkan pandangan-pandangan yang berbeda. Buku ini dibagi dalam lima bab di luar kata pengantar. Setelah menjelaskan tujuan utama risalahnya, Ayatullah Behesyti memulai diskusi mengenai istilah-istilah dan isu-isu metafisika dengan rujukan kepada berbagai argumen filosofis tentang eksistensi Tuhan. Selanjutnya ia menguraikan doktrin monoteisme (tauhid) dalam al-Quran. Ia membahas isu nama dan sifat Tuhan dalam al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya.
Dalam menerjemahkan buku ini, saya amat berutang budi kepada Prof. Wahid Akhtar; Ketua Jurusan Filsafat Universitas Muslim Aligarh yang mendorong saya untuk melakukan proyek terjemahan ini. Terima kasih juga kepada Tn. Syahyar Sadat yang menerjemahkan satu bab dan buku ini; kepada Dr. ‘Ali Atsar atas saran-sarannya yang berharga untuk terjemahan buku ini yang lebih baik. Saya pun berutang budi kepada Penerbit IPO (International Publishing Co.), yang menerbitkan buku otoritatif ini yang mengandung pemikiran-pemikiran yang menggairahkan.
‘Ali Naqi Baqirsyahi
Apabila kita menjadikan kosmos lebih besar ketimbang dunia fisik, maka adanya suatu argumen mengenai pusat tertinggi lainnya dengan sendirinya menjadi relevan. Pusat besar ini mengatur alam fisik dengan sendirinya. Dengan kata lain, alam fisik tersubordinasi pada pusat tertinggi tersebut. Dan, sesungguhnya apabila pengertian ‘Arasy dimaknai secara harfiah sebagai singgasana yang diperkaya dengan permata-permata yang di atasnya Allah bersemayam, itu tidak menurunkan pengertian metaforis apapun dari makna ‘Arasy sebagai kekuasaan-Nya. Kita bisa temukan semua sifat ‘Arasy di pusat tertinggi itu sebagaimana ditunjukkan dalam al-Quran. Dalam tradisi mistik Islam pun kita menemukan sejumlah penafsiran tentang ‘Arasy sebagai sebuah fakta yang solid. Dalam kata pengantar untuk Syarh-e Fushûs-e Qaisari, Qaisari mengatakan:
...Arasy merupakan manifestasi dari nama Yang Mahakasih dan Kursi (Singgasana) merupakan manifestasi dari Yang Maha penyayang...[1]
Hadis-hadis Islam pun secara umum menganggap ‘Arasy sebagai suatu fakta samawi yang konkret.
Menyangkut gambaran yang diasumsikan sebelumnya ihwal ‘Arasy dengan menengadahkan tangan ke arah langit ketika berdoa, atau memandang ke arah langit ketika merenungkan Allah, menjadi mudah dipahami. Karena, langit tentunya merupakan lanskap keindahan, penuh rahmat Tuhan, dan tanda-tanda keagungan, kekuatan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar (QS an-Najm [53]:11-18)
Ia merupakan tempat yang darinya berbagai rahmat Tuhan seperti air, udara, gas-gas bermanfaat, panas, cahaya, dan ratusan materi bermanfaat lainnya tergantung di atas bumi dan penduduknya.
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu . (QS adz-Dzâriyat [51]:22)
Oleh sebab itu, memusatkan perhatian kepadanya (langit) dan mengangkat tangan dalam berdoa ke arahnya, bahkan tanpa meyakini bahwa tempat Tuhan terletak di sana membantu dalam pengabulannya (oleh Allah).
Naiknya para malaikat atau nabi terletak dalam bentuk naik ke langit menuju pusat perintah Allah tertinggi, bukan untuk melihat-Nya atau menemui-Nya secara bersimuka. Akan tetapi, sesungguhnya untuk menyaksikan tanda-tanda keagungan-Nya yang memantulkan sifat-sifat ketuhanan.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling bes ar (QS an-Najm [53]:11-18)
Dalam penafsiran ayat 12 surat an-Najm, Thabarsi menulis sebagai berikut:
...Dan Abi al-Aliyah mencatat: Nabi Allah saw ditanya mengenai apakah ia melihat Allah di malam mikraj. Nabi saw menjawab, “Aku melihat sebuah sungai, kemudian tabirnya pada belakangnya, di batik tabir adalah sebuah keadaan cemerlang. Aku tidak melihat keadaan apapun lagi.”
Abathar dan Abi Sa’id al-Khudri juga berkata: Nabi saw ditanya mengenai firman Tuhan: “Hati ...melihat”. Dan beliau menjawab, “Aku hanya melihat seberkas cahaya.”
Namun Syabi memjuk ke ‘Abdullah bin Haris dan Ibn ‘Abbas, yang telah berkata, “Muhammad saw benar-benar melihat Tuhannya”. Kemudian ia merujuk ke Masruq yang telah meriwayatkan kepadanya percakapannya dengan ‘A’isyah.
Masruq telah bertanya setara langsung kepada ‘A’isyah menyangkut masalah ini, ‘A’isyah berkata kepadanya bahwa pertanyaannya membuat rambutnya berdiri. Masruq meminta kepadanya untuk menunggu sejenak dan membaca “wa an- najm...(demi bintang), ‘A’isyah kemudian berkata kepadanya untuk berhenti sejenak dan tidak membiarkan pemikiran Masruq mengembara. Nabi saw melihat Malaikat Jibril as dengan rupanya yang asli. Namun barangsiapa mengatakan bahwa Nabi saw telah melihat Allah, ia adalah pendusta. Allah Ta’ala mengatakan bahwa mata tidak mampu meliputi-Nya, namun Dia bisa memasuki mata...[2]
Sesungguhnya wahyu bisa turun dari langit ke bumi, karena penerima wahyu adalah Nabi saw. Pada akhirnya, dia adalah makhluk duniawi yang ditempatkan di bumi. Oleh sebab itu, baik ia mendengar wahyu Ilahi sebagai suara ataupun melihat dan membacanya dalam bentuk teks tertulis, Nabi menerima pesan itu dalam hatinya sebagai gejala spontan. Jadi, wahyu dalam bentuk ini bisa diturunkan dari langit (penurunan). Sementara itu, untuk mencari tahu wahyu diturunkan kepada Nabi, para jin secara diam-diam menyembunyikan diri di langit. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Quran mengenai bagian ini bisa dengan mudah dipahami dan diterima tanpa menafsirkan konsep-konsep “penurunan”, “langit” dan kisah jin yang bersembunyi di langit. Sedemikian banyak penafsiran kitab suci yang digunakan sebagai kitab-kitab wahyu ilahi bisa diakui tanpa memerlukan interpretasi mereka.
Dari sejumlah ayat dalam al-Quran dan perdebatan agama, kita menarik konsep tersebut sebagai Allah tidak di mana-mana melainkan di mana-mana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada... (QS al-Hadid [57]:4)
Sekelompok orang meriwayatkan ayat ini dengan gagasan sebagai berikut: “Allah di mana-mana”. Namun pemahaman yang lebih jeluk tentang al-Quran akan menunjukkan bahwa hal itu tidak demikian. Ada frase-frase tertentu dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa Allah bersama orang-orang bajik, Allah bersama orang-orang yang sabar dan seterusnya.
Namun dalam setiap frase ini “Allah bersama...” digunakan untuk pengungkapan makna-makna tertentu. Dalam ayat al-Mâidah [5]:12; al-Anfâl [8]:12; Thâhâ [20]:46; Muhammad [47]:35; an-Nahl [16]:128; at-Taubah [9]:36, 40, ditunjukkan bahwasanya Allah merupakan penolong para pelaku kebaikan, orang yang bertakwa, sabar, dan kaum beriman.
Surah an-Nisâ’ [4]:108; al-Mujâdilah [58]:7 menjelaskan bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu dan tidak sesuatu pun yang luput dari perhatian-Nya.
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS an-Nisâ’ [4]:108)
Perhatian yang dalam pada ayat di bawah ini juga menunjukkan bahwa pengertian semacam itu sejalan dengan ayat di atas:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di alas ‘Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hadid [57]:4)
Akan tetapi dalam sejarah pemikiran Muslim kita menemukan kelompok atau orang tertentu yang menghubungkan ayat ini ke segala sesuatu lainnya.[3] Hadis panteistik dari aliran tasawuf mencoba membenarkan pandangannya dengan mengutip ayat berikut:
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hadîd [57]:4)
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya... (QS al-Anfâl [8]: 24)
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS Qaf [50]:16)
...maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS al-Baqarah [2]:115)
Mereka mendakwa bahwa al-Quran pun mendukung keyakinan mereka akan imanensi Tuhan, dan dengan cara ini Allah merupakan seluruh alam semesta ini, dan bahwa setiap objek merupakan bagian dari-Nya.[4] Namun sebuah wawasan yang lebih dalam kepada ayat ini, ayat sebelum dan sesudahnya, menunjukkan bahwa sama sekali tidak satu pun dari ayat-ayat ini yang mengacu pada imamensi Tuhan.
Sesungguhnya, Surah al-Hadîd [57]:4 bertujuan untuk menjamin kaum Muslim sebuah kadar lebih penuh dari bantuan Allah dengan mengatakan bahwa: Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Surah al-Anfâl [8]:24 dan Qâf [50]:16 mencoba menekankan pada manusia bahwa Allah mengetahui semua yang tersembunyi maupun yang terbuka, terang-terangan ataupun rahasia. Surah al-Baqarah [2]:115 sesungguhnya menjelaskan kepada kaum Muslimin fakta bahwa Allah pemilik Masjid al-Aqsa sama dengan Allah pemilik Masjid al-Haram dan apabila kiblat (qiblah) Muslimin dipindahkan dari Masjid al-Haram, hal itu untuk menegaskan kemandirian penuh agama Islam, Nabi saw dan kitab sucinya, dan untuk membungkam pihak-pihak yang mengatakan bahwa Nabi saw hanya mengulang tradisi agama Yahudi. Oleh sebab itu, tak satu ayat pun dari ayat- ayat ini yang mendukung panteisme.
Bagaimanapun, apapun yang didiskusikan sebelumnya tentang Allah mengarah kepada pengertian bahwasanya Dia lebih tinggi dari segala sesuatu yang terikat dengan ruang dan waktu. Jadi, Dia tidak di langit atau di bumi ataupun di mana-mana.[5]
Surah al-An’âm [6]:103 dalam konteks ini menyatakan: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.
‘Allamah Hilli dalam kitab Kasyf al-Murâd-nya mengatakan:
Keniscayaan Wujud Allah juga mengimplikasikan sebuah penolakan akan kemungkinan bahwasanya Wujud-Nya bisa dilihat.[6]
‘Allamah lebih jauh mengatakan:
Ketahuilah, hampir semua filosof berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat. Mereka yang menyandarkan jisim (jasad) kepada Allah, percaya bahwasanya Allah bisa dilihat. Akan tetapi, seandainya orang ini tidak menganggap Allah sebagai sebuah jasad dan menganggap-Nya sebagai Wujud Abstrak, niscaya mereka tidak menganggap mungkinnya untuk melihat Allah.
Tetapi golongan Asy’ariyah berpendapat sebaliknya dengan pendapat filosof tentang kemungkinan bisa melihat Allah. Mereka mendakwa bahwa meskipun Allah bukan sebuah jisim dan abstrak, Dia masih bisa dilihat.[7]
Asy’ari (h.330) dalam Maqâlat-nya mengatakan:
Mazhab-mazhab tertentu telah mengungkapkan keimanan mereka akan kemungkinan melihat Allah dalam ayat ini dengan sendirinya. Mungkin, Allah sendiri menunjukkan Diri-Nya Sendiri seperti salah satu dari orang yang berpapasan dengan kita di jalan.[8]
Sebagian dari mereka percaya akan kemungkinan Allah merasuk ke dalam materi. Acap kali mereka menyaksikan pria tampan yang bajik, mereka mengira bahwa Allah telah merasuk ke kerangkanya. Kebanyakan orang yang mengklaim bahwa siapapun bisa melihat Allah sekarang ini di dunia dan bahkan mengatakan bahwa berjabat tangan dengan Allah, menyenmh-Nya atau melihat- Nya secara sering adalah hal yang mungkin.[9]
Mereka lebih jauh mengatakan bahwa seseorang yang berhati lurus bisa bertemu dengan Allah di dunia ini dan akhirat kelak. Keyakinan ini telah dirujuk ke sebagian pengikut Misr dan Kahmas.
Ia pun dirujukkan ke ‘Abdul Wahidbin Zaid bahwa kemungkinan bisa melihat Allah berada dalam kadar yang sama dengan kebaikan seseorang. Artinya, semakin seseorang berbuat baik, semakin mungkin dia melihat Allah.
Sebagian pihak lain percaya bahwa kita bisa melihat Allah di dunia ini dalam mimpi namun tidak dalam keadaan terjaga.
Raqabah bin Musqalah telah berkata:
Aku melihat Allah dalam mimpi yang menyatakan bahwa Dia akan memberi kedudukan tinggi kepada Sulaiman Tihi karena dia (Sulaiman) telah melakukan shalat Shubuh dengan wudhu yang sama dimana ia melakukan shalat Isya-nya yang telat selama 40 tahun. Artinya, ia tetap terjaga sepanjang malam dan melanjutkan shalat hingga pagi.
Banyak orang yang tidak percaya klaim bahwa Allah bisa dilihat di dunia ini dan menegaskan: “Allah hanya bisa dilihat di akhirat.”[10]
Di bagian akhir dari jilid pertama buku ini, Asy’ari merumuskan gagasan “para pengikut hadis dan sunnah” sebagai berikut:
Para ahli hadis dan kelompok Sunni mengatakan bahwa Allah bisa dilihat pada hari keputusan seterang bulan purnama, namun hanya oleh orang yang beriman dan bukan oleh orang kafir karena akan tergantung sebuah tabir antara Allah dan orang kafir. Allah Mahabesar berfirman, “(Bukan demikian), yang benar; sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” (QS al-Muthaffifîn [83]: 115)
Musa s meminta Allah agar Dia bisa dilihat olehnya sekarang ini di dunia. Namun Allah memperlihatkan keagungan-Nya pada gunung dan menghancurkan-nya untuk menunjukkan bahwa Dia tidak bisa dilihat di dunia ini, tetapi hanya bisa dilihat di akhirat.
Ini merupakan pandangan Asy’ari [dan para pendukungnya, tentunya]. Allamah Hilli mengherani ketika Allah tidak punya jisim menurut Asy’ari, namun Dia bisa dilihat entah di sini (dunia) ataupun di sana (akhirat).
Suatu survei ihwal pilihan dan keyakinan orang-orang ini dan perbandingan mereka dengan yang dimiliki aliran-aliran non-Islam, menunjukkan bahwa mereka telah berada di bawah pengaruh keyakinan dan pemikiran non-Islam ketimbang ajaran Islam dan al-Quran. Hal ini menerangkan alasan mereka terlempar dari jalan nan lempang. Oleh sebab itu, pandangan Abu Hasan al-Asy'’ari sendiri mengenai melihat Allah tidak dipengaruhi oleh pandangan yang lain lantaran ia dan dan para pengikutnya senantiasa menekankan prinsip ini dengan merujuk pada “Kitab Suci” dan “Sunnah” dalam semua sains Islam sehingga mereka berhasil mencegah pengaruh intelektual yang menyimpang dari pihak luar. Kini pertanyaan yang muncul adalah: Faktor apakah yang menyebabkan mereka percaya terhadap mampunya manusia melihat Allah di akhirat? Secara mudah itu bisa dikumpulkan dari tulisan-tulisan mereka sendiri yang dimasukkan ke dalam keyakinan seperti itu yang merupakan potongan-potongan tertentu ayat al-Quran itu sendiri.
Berkali-kali al-Quran menyebut Hari Pengadilan sebagai hari pertemuan dengan Allah.
Dialah yang memberimu rahmat dan malaikat (memohonkan ampunan, untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. (QS al-Ahzab [33]:43-44)
Banyak ayat al-Quran yang menceritakan pertemuan manusia dengan Allah pada Hari Keputusan seperti Surah al-Baqarah [2]:46, 223, 249; al-An’âm [6]:31, 154; at-Taubah [9]:77; Yûnus [10]:7, 11, 45; Hud [11]: 29; ar-Ra’d [13]:2; al-Kahf [18]:105, 110; al-Furqân [25]:21; al-Ankabût [29]:5, 23; ar-Rûm [30]:8; as-Sajdah [32]:10; al-Insyiqâq [84]:6. Cara menafsirkan ayat inilah yang membikin rancu. Akan tetapi, mereka benar-benar membincangkan pertemuan dengan Allah. Misalnya, dalam Surah al-Insyiqaq [84]:6, al-Quran mengatakan:
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
Asy’ari dan kelompoknya mengatakan bahwa istilah “pertemuan” tiada lain bermakna saling berhadapan. Dengan kata lain, “melihat”. Dengan demikian, Hari Pengadilan merupakan hari melihat Allah. Dengan memperluas ayat-ayat khusus berikut, mereka yakin bahwa yang dimaksud dengan “pertemuan” adalah penglihatan nyata.
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat . (QS al-Qiyâmah [75]:22-23)
Tidak ada penolakan fakta bahwa apabila kita terlalu berkonsentrasi hanya pada ayat-ayat ini, kita pun akan mengira bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah secara langsung pada Hari Pengadilan. Akan tetapi, al- Quran pun memuat ayat-ayat lain yang membahas perihal “melihat Allah secara langsung” dengan mengajukan kemustahilannya dalam sebuah cara yang jelas dan khas.[11]
Nyatalah, bahwa untuk mempelajari ajaran al-Quran mengenai isu ini, di tempat pertama ayat-ayat ini harus dipertimbangkan. Dalam ayat ini, tuntutan vulgar semacam ini seperti “kami ingin melihat Allah” diusulkan dan dibantah berkali-kali.
Menurut fakta, pemahaman akan fakta-fakta non-empiris dan keyakinan terhadap eksistensi mereka senantiasa sulit bagi kaum skeptis dan orang yang berkeyakinan lemah. Sebagian penentang para nabi telah meminta melihat Allah secara langsung untuk menghilangkan keraguan dan kekafiran (tentang Allah).
Misalnya, bangsa Israel mendesak Musa as:
Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar; sedang kamu menyaksikannya. (QS al-Baqarah [2]:55)
Bangsa Israel begitu kukuh dalam pendirian mereka bahwa Nabi Musa as tidak punya alternatif selain membahas isu Allah. [12]
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS al-A’râf [7]:143).
Bangsa Arab juga mengajukan tuntutan yang sama kepada Nabi Islam saw agar mereka bisa meyakini Allah.
Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur; lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan mukan dengan kami. (QS al-Isrâ’ [17]:90- 92)
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman. Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, “Hijram mahjûrâ.” [13] (QS al-Furqan [25]:21-22)
Membicarakan tuntutan dari mereka yang, pada masa Nabi saw, ingin melihat Allah, ayat-ayat ini menganggapnya sebagai petunjuk kebanggaan dan pemberontakan mereka. Dalam hal ini, Surah al-An’âm [6]:103 mengingatkan, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.”
Apakah ayat-ayat disebutkan di atas tidak menggiring pemikiran kita untuk meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata di dunia ini atau akhirat?
Sekarang, bagaimana pengertian pertemuan dengan Allah pada Hari Pengadilan? Mungkin ini berarti bahwa pada hari itu tak sebutir keraguan yang akan tinggal di benak seseorang ihwal keberadaan Allah, seolah-olah ia melihat Tuhan secara langsung.
Allah mengetahui segala sesuatu. Karena kita manusia, seluruh alam dibagi pada dua bagian: alam gaib (ghayb) dan alam kasatmata (syahâdat). Akan. tetapi,Allah mengetahui alam gaib dan alam kasatmata. Tidak ada yang tersembunyi dari Allah. Alam secara keseluruhan terlihat oleh-Nya.
Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak. Yang Mahabesar lagi Mahatinggi. (QS ar-Ra’d [13]:9)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS Ali Imrân [3]:5)
Bahkan Allah mengetahui benda-benda terkecil di alam semesta, termasuk setiap perbuatan yang kita lakukan.
Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS al- Baqarah [2]:215)
Dan ilmu Allah merupakan ilmu hudhuri (knowledge of presence), sesuatu yang langsung diberikan. Ia merupakan pengetahuan dari seorang saksi yang menyaksikan Satu peristiwa dengan mata kepalanya sendiri untuk menegaskan dirinya sebagai saksi.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS Fushshilat [41]:53)
Sejak lama para filosof dan eksponen Islam telah mengira bahwa pengetahuan akan hal-hal partikular tidak sejalan dengan Zat Allah. Isu kontroversial ini —yakni inâyat Allah— telah menguasai pikiran mereka. Menurut mereka, pengetahuan Allah akan hal-hal partikular hanya dibenarkan melalui pengetahuan-Nya akan hal-hal universal.
Penghampiran ini tidak senapas dengan apa yang dikatakan al-Quran ten tang ilmu Allah. Akhirnya, Mulla Shadra —karena ia menggunakan filsafatnya untuk menguraikan gagasan keniscayaan (necessity), kemungkinan (contingency), unitas, dan multiplisitas— menerapkan penghampiran yang sama untuk memaparkan bahwa pengetahuan sempurna Allah merupakan pengetahuan dengan kehadiran (pengetahuan langsung/al-‘ilm al-hudhûri) yang senapas dengan Zat-Nya. Dengan cara ini, ia telah memecahkan problem inâyat.
Bagaimanapun, al-Quran menekankan pengetahuan Allah dengan kehadiran (pengetahuan langsung) pada semua perkara di dunia dan menganggap Allah sebagai Yang Maha Mengetahui (khabîr), QS al-An’âm [6]:73; Maha Mengetahui (al-‘alîm), QS al-Baqarah [2]:32; Yang Sangat Mengetahui (‘allâm), QS al-Mâidah [5]:109; dan Allah Maha Mengetahui (‘alîman), QS an-Nisâ’ [4]:35; Allah Mahabijaksana (al-hakîm), QS al-Baqarah [2]:32. Dia mengendalikan dunia dengan cara sebaik-baiknya.
Allah memiliki kekuasaan atas segala sesuatu dan segala tindakan: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (QS al-Baqarah [2]:20).
Dia memiliki kekuasaan dan kemampuan (QS al-Baqarah [2]:20; al-An’âm [6]:37).
Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa [al-Qawwiy al-‘Azîz ] (QS Hûd [11]:66).
Dia mempunyai kekuasaan tertinggi [al-Qahir/al-Qahhar] (QS al-An’âm [6]:61; Yusuf [12]:39).
Dia mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Ketika Dia menginginkan sesuatu untuk terjadi atau setiap kerja dilakukan, cukuplah bagi-Nya mengatakan: “Kun” (Jadilah). Dan sekali itu juga terjadi. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah”! Maka terjadilah ia. (QS Yâsîn [36]:82)
Biasanya wujud-wujud yang mempunyai “kekuasaan” dan “kekuatan” mampu mewujudkan apa yang mereka kehendaki atau sebagian kehendak mereka dan bahkan mereka mampu melakukan upaya untuk memperolehnya. Ketika kita berusaha untuk mewujudkan kehendak kita dengan kesadaran: “Aku berniat melakukan beberapa pekerjaan”, maka “kehendak merupakan sebuah kesadaran dan keinginan kuat yang bisa efektif dalam mencapai tujuan- tujuan kita.”
Di antara wujud-wujud di dunia ini, binatang rasional setidaknya memiliki kemampuan dari kehendak ini, yakni ketika mereka mempunyai dorongan sesuatu dari mana mereka melakukan upaya-upaya sadar untuk mencapainya. Nah, manusia mendapatkan keuntungan ini lebih dari hewan-hewan lain.
Ranah kehendak manusia lebih luas ketimbang hewan-hewan lain. Itulah mengapa peranan pengetahuan dan kesadaran lebih kreatif dalam kehidupan manusia ketimbang yang ada pada hewan-hewan lain. Meskipun banyak aktivitas yang manusia sendiri lakukan tampaknya bukan tindakan kehendak, semisal: sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem pencernaan, kelenjar besar dan kelenjar kecil (yang menghasilkan zat kimiawi penting di dalam tubuh). Sistem-sistem fungsi ini bergerak secara tak sadar (reflek).[14] Bagaimanapun, cakupan perbuatan dengan kesadaran amat terbatas. Umpamanya, tidak ada perbuatan sengaja dari manusia yang bisa mempengaruhi rotasi sistem tatasurya atau bisa mendampaki ciri-ciri fisik turunan yang dengannyaia lahir. Dengan sendirinya, pengaruh “kehendak” atau “niat” dan manusia terbatas. Itulah mengapa kadang terjadi, siapapun yang memutuskan untuk melakukan sesuatu namun abai akan faktor-faktor yang ada di balik ruang lingkup pengetahuan dan kekuasaannya, mengakibatkan kehendaknya terhalang untuk terwujudkan. Akan tetapi Allah adalah Zat Yang Mahatahu dan Mahakuasa yang bisa melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (QS Hud [11]:108)
Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya . (QS al- Burûj [85]:16)
Tiada sesuatu pun yang mencegah-Nya untuk rnelakukan apa yang menjadi kehendak-Nya (QS Hud [11]:33; Fâthir [35]:44 dan seterusnya).
Kehendak-Nya mengatur seluruh alam (qadha) dan sama sekali bukan kehendak selain Dia (QS al-Mu’min [40]:20). Setiap kali sesuatu bertindak atau bergerak, tindakan dan gerakannya berada dalam kerangka yang ditetapkan oleh Allah, lantaran Dia telah menempatkan batasan- batasan tertentu pada segala sesuatu (qadar) (QS al-Furqân [25]:2; Fushshilat [41]:10; ath-Thalâq [65]:3).
Manusia juga diperintah oleh hukum mutlak ini. Peran kemampuannya untuk mengembangkan dan menerima jalan kebenaran terbatas dan ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Dengan sendirinya, Allah menghendaki agar manusia dengan kehendak khusus dan pilihannya sendiri menentukan masa depan baik dan buruknya, keelokan dan keburukannya, kecerahan ataupun kemuramannya.
Bahkan dalam batasan-batasan ini, manusia ataupun maujud-maujud lainnya tidak bisa menganggap dirinya sendiri sebagai penguasa mutlak dan pasti dari yurisdiksi terbatas. Jika Allah menghendaki, Dia sanggup menjadikan manusia tidak berdaya dan tak efektif. sesungguhnya Tuhanmu benar-benar maha mengawasi (QS al-Fajr [89]:14)
Adalah mungkin bahwa perintah-Nya mencabut ikhtiar seorang individu atau kelompok arogan dalarn suatu cara yang diingatkan dan harus memahami hatta dalam ranah kekuasaan dan kemampuan seseorang untuk membentuk dirinya sendiri. Ia harus selalu mencamkan bahwa kehendak dan tujuan Allah meliputi segala sesuatu dan mengatur di mana-mana.
Banyak contoh dalam al-Quran menyangkut perintah Allah semacam itu seperti ayat 17-32 Surah al- Qalam [68].
Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah), sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak mengucapkan, “Insya Allah”. Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagihari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya). Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berliata, “Aduhai celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu. Sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.
Suatu wujud yang mempunyai kekuasaan berikut kesadaran dan kehendak disebut wujud yang hidup. Dengan cara yang sama, kita menetapkan seseorang atau masyarakat sebagai hidup berdasarkan pencariannya atau pencarian mereka dengan kesadaran dan pengetahuan. Lantas, mana bangsa yang lebih hidup? Sebuah bangsa yang bisa memeragakan kadar pencarian yang sadar dalam kehidupannya. Di antara makhluk hidup, manusia diberkati dengan ukuran kehidupan yang paling lengkap. Oleh sebab itu, pencarian sadar dalam kehidupannya adalah yang paling jeluk dan luas.
Sekarang, wujud manakah yang mempunyai aras tertinggi dari kegiatan sadar dan yang lebih besar ketimbang semua wujud aktif dan hidup lainnya? Tentu saja Allah. Allah Mahahidup dan memiliki perangkat kehidupan yang maksimum.
Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia... (QS al-Mukmin [40]:65)
Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal), yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (QS al-Furqân [25]:58)
Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur (QS al-Baqarah [2]:255).
Alif Lâm Mîm. Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya (QS Ali Imrân [3]:1-3)
Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman. (QS Thâhâ [20]:111)
Kata al-Qayyum berasal dari akar kata yang sama dengan qiyâm, yang berarti berdiri. Kata al-Qâ’im, sebagai subjek, berarti orang yang berdiri. Sebab itu, penafsiran kata qayyûm berarti “berdiri secara kukuh”, atau dalam bahasa yang lebih jelas “yang tegak abadi”. Para mufasir memiliki pandangan yang berbeda seputar makna sifat ini dalam al-Quran. Thabarsi dalam Majma’ al-Bayân-nya, mengatakan:
Kata qayyûm berarti yang memelihara penciptaan, baik dalam penciptaan makhluk-makhluk atau dalam memberikan pemeliharaan kepada mereka dari hari ke hari. Sebagaimana dikatakan dalam ayat lain “Tiada makhluk melata di muka bumi yang pemeliharaannya tidak disediakan oieh Allah.” Pandangan ini diriwayatkan dari Qatadah. Apabila dikatakan bahwa qayyûm berarti bahwa Dia Mahatahu, maka itu diturunkan dan idiom bahasa Arab ini. Yakni, “orang ini mengetahui apapun yang ditulis dalam buku ini”. Di tempat lain, dikatakan bahwa qayyûm bermakna “yang hidup abadi”, yakni Dia yang selalu mencipta.
Pandangan ini dinukil dari Sa’id bin Jubair dan Dhahhak. Di tempat lain, dikatakan bahwa qayyûm berarti “ia yang mengawasi semuanya berdiri di atas kepala mereka sehingga membalas atau menghukum mereka menurut pengetahuannya.” Pandangan ini diriwayatkan dari Hasan al-Basri. Kata al-Qayyûm sejalan dengan semua penafsiran ini.[15]
Dalam diskusi filosofis, kata al-Qayyûm ini didefinisikan sebagai al-qâ’im bi adz-dzâti maqûmun lighayrihi, yang berarti “swamandiri dengan Zat-Nya dan pijakan bagi yang lain.” Yakni, keberadaan yang lain tergantung kepada-Nya, sebagaimana ungkapan “Kami tergantung pada Engkau karena Engkau mandiri.”
Mulla Shadra juga cenderung untuk menerima penafsiran yang sama usai mendiskusikan isu tersebut secara detail. Ia menyimpulkan bahwa istilah qayyûm adalah “Ia yang mandiri dimana semua yang lain tergantung kepada-Nya.”[16]
Dalam menafsirkan kata qayyûm, Sayyid Quthb mengatakan, “Yang tidak hanya menciptakan segala sesuatu, namun juga memeliharanya.”[17]
Allamah Thabathaba’i juga dalam tafsir al-Mizân-nya (jilid 2, h.347-8) telah menafsirkan kata itu dengan cara yang sama mengikuti versi Qatadah dalam Majma’ al-Bayân.
Kami berpendapat bahwa pengertian yang sama yaitu berdiri abadi (everstanding), maha mencukupi (ever- subsisting). dan maha mengawasi (ever-watch full) yang telah masuk ke dalam terjemahan bahasa Parsi tidak hanya senapas dengan makna harfiah turunannya dari qiyâm. Akan tetapi pengertian tersebut konsisten dengan penjelasan Surah al-Baqarah [2]:255 (Ayat Kursi) seputar penafsiran kata qayyûm. Istilah qayyûm dalam makna ini merupakan pelengkap untuk kata sifat yang sama al-Hayy dan ketinggian maknanya.
Seperti kita mafhum, semua makhluk hidup di bumi secara relatif membutuhkan tidur. Mereka harus hidup untuk memperkuat diri mereka sendiri demi kesinambungan hidup. Tidur diasosiasikan dengan kelemahan dan kelemasan otot-otot dan setiap binatang biasanya berbaring dan tidak bisa berdiri pada kakinya. Pada galibnya, dalam keadaan tidur yang panjang, sebagian energi vital terutama kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas akan berada dalam keadaan semi-penundaan.
Al-Quran mengatakan. Allah Wujud hidup yang sempurna, yang modus wujudnya tidak menyisakan ruang bagi kelambanan. Dia Wujud yang tak pernah istirahat. Maha Mencukupi, dan Mahasadar. Tidur ataupun mengantuk tak pernah menimpa-Nya. Sebab itu, Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. Sekarang mari kita perhatikan kembali Ayat Kursi (2: 255) selengkapnya:
Allah, tiada ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.[18] Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Anda telah melihat bahwa semua kesimpulan yang bisa ditarik dari ayat ini memperlihatkan hikmah dan kekuasaan mutlak Allah yang merupakan tanda terbebasnya Dia dari setiap kelemahan sekaitan dengan sifat hidup-Nya.
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (QS al-Fatihah [1]:1); Allah sangat penyayang (ar-Raûf) kepada hamba-hamba-Nya (QS Ali ‘Imrân [3]:30); dan “Dia memberi telahmemberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya” dan telah melimpahkan kepada kita nikmat tak terhitung (QS Ibrâhîm [14]:34; an-Nahl [16]:18); “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki” (QS adz-Dzâriyât [51]:58); “Dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki” (QS al-Jumu'ah [62]:11); “Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisâ’ [4]:99); “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS al-Baqarah [2]:235).
“Mahasuci” (QS Saba’ [34]:40). Apabila seorang pendosa jatuh dalam kehidupan dosa dan ketaksucian (rijs) kemudian kembali kepada jalan Allah—yakni jalan kesalehan dan kebajikan (taubat dalam makna Islamnya), maka Allah kembali melimpahkan rahmat—Nya kepadanya dan “Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaajkan kesalahan-kesalahan...” (QS asy-Syûrâ [42]:25). Dia segera menerima taubat kesalahan orang-orang yang bertaubat (QS al-Baqarah [2]:160).
Tanda-tanda cinta dan rahmat Allah begitu merentang luas dan tak terhitung sepanjang alam semesta. Manusia seperti halnya makhluk lain menikmati rahmat Allah yang imanen ini dengan perbedaan bahwa manusia menikmati rahmat khusus Allah, yaitu kemampuan untuk maju atas usaha sendiri, sebuah proses sadar dari pertumbuhan-diri dengan pengetahuan membedakan baik dan buruk, keindahan dan keburukan, danjuga memiliki kekuatan untuk memilih satu dari dua pilihan itu.59 Kesadaran pertumbuhan-diri dan kemampuan untuk melakukan pilihan dengan kondisi ini bahwa sedikitnya sebagian tindakan manusia akan menghasilkan akibat yang diharapkan dan sebagian membuahkan hasil yang tidak diinginkan. Akibat yang diinginkan baginya adalah menyenangkan dan membahagiakan, sementara akibat yang tak diinginkan baginya menyakitkan dan memunculkan penderitaan, hukuman, dan siksa keras Allah baginya. Keprihatinan dan kepedihan ini berkaitan dengan hilangnya akibat-akibat yang diinginkan, yakni “pahala” dan menghadapi akibat-akibat yang tak diingini yakni “hukuman”, bisa menstimulasi manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri dan mengubahnya menjadi manusia yang layak mendapatkan pahala dan diselamatkan dari hukuman. Maka, eksistensi keprihatinan dan kepedihan semacam ini dalam diri manusia merupakan rahmat dari Allah yang akan disusul oleh hukuman dan murka Allah bagi mereka yang tidak bersyukur dan tidak berterima kasih. Wahai Engkau, yang rahmat-Mu mendahului murka-Mu (kutipan doa ‘Ali bin Abi Thalib yang diajarkan kepada Kumail bin Ziyad; —penj.).
Berpijak pada ini, al-Quran berkali-kali menukil angkara Tuhan yang menimpa mereka yang durhaka.
Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi amat keras siksaan-Nya (QS al-Anfâl [8]:52)
Dan barangsiapa yang ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. (QS Thâhâ [20]: 81)
Dan azab yang pedih (QS al-Muzzammil [73]:13)
Allah Mahatinggi [al-‘Aliyy] (QS al-Baqarah [2]:255), Mahabesar [al-Kabîr] (QS Luqman [31]:30), yang mahatinggi derajat-Nya [rafî’al-darajât] (QS al-Mukmin [40]:15), Mahaperkasa lagi Mahabijaksana [‘azîzun hakîm] (QS al-Baqarah [2]:209), Mahatinggi lagi Mahabesar [al-‘Aliyy al-‘Azhîm] (QS al-Baqarah [2]:255), Mahatinggi [al-Muta’âli] (QS ar-Ra’du [13]:9), Tuhan yang mempunyai kebesaran dan karunia [Dzi al-jalâli wa al-ikrâm] (QS ar-Rahman [55]:78), Maha Terpuji lagi Maha Pemurah [Hamîdun Majîd] (QS Hud [11]:73).
Dia Mahabesar, yakni Wujud yang membuat kebesaran dan keagungannya menjadi nyata dan semua tanda kebesaran yang bisa dilihat di alam semesta hanya milik-Nya semata (QS al-Jatsiyah [45]:37). Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (QS Hud [11]:73).
Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (QS Qâf [50]:29)
Dia selalu mengajak kepada kita untuk bertindak berdasarkan keadilan dan persamaan (QS an-Nahl [16]:90; al-A’râf [7]:29). Dia telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dalam bentuk semacam ini yang serasi dengan sistem wujud yang kukuh, yang di dalamnya semua harmonis dan saling melengkapi satu sama lain (QS al-Mulk [67]:3, al-A’lâ [87]: 2). Allah memberi pahala bagi perbuatan baik dan hukuman bagi perbuatan dosa di akhirat dalam bingkai sebuah sistem “aksi dan reaksi” yang teratur. Di akhirat kelak, manusia tinggal memanen buah- buah perbuatan yang telah ia semai di dunia ini. Dalam hat ini, ia memperoleh bahwa esensi individu dari wujudnya yang telah ia bentuk sendiri di dunia.[19] Setiap rasa manis dan asam yang diberikan kepada manusia di dunia lain merupakan hasil perbuatannya di dunia ini menurut mana dia mendapatkan keadilan penuh dan sempurna, tanpa reduksi apapun, tanpa diperlakukan secara zalim (QS al-Baqarah [2]:281; Ibrâhîm [14]:41; al-Mukmin [40]:17 dan seterusnya). Setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya (QS ath-Thûr [52]:21). Perkembangan-dirinya, entah ia dalam arah yang benar atau jalur yang lacur, dan ikhtiarnya untuk membangun lingkungannya sehingga lingkungan sosial dan fisik menjadi nyaman bagi kesejahteraannya, dah kesejahteraan lainnya membuka jalan bagi pertumbuhan diri manusia dalam arah yang benar.
Bagian ini terkait dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dengan acuan khusus pada perbuatan Allah. Siapapun bisa menemukan sejumlah Nama dan Sifat Allah lainnya yang lebih dari ratusan kata. Kita bisa menemukan banyak Nama dan Sifat Allah dalam doa-doa dan munajat. Umpamanya, seribu Nama dan Sifat Allah yang terdapat dalam munajat yang makruf sebagai Jawsyan al-Kabîr.[20]
Sebagian besar Nama dan Sifat yang disematkan kepada Allah ini merupakan gabungan kata-kata, entah kata-kata ataupun maknanya. Karena konotasi gabungan kata-kata sangatlah luas, seseorang tidak bisa yakin akan jumlah pasti untuk Nama dan Sifat Allah. Para teolog dan sufi pun menilai bahwasanya Nama-nama dan Sifat-sifatAllah itu tak terhingga.[21]
Ini merupakan rangkuman ajaran metafisika dari al-Quran sekaitan dengan ilmu Allah.[22] Jenis ilmu ini diturunkan dari sumber wahyu yang otentik. Di saat yang sama, ia dilambari oleh pengetahuan sadar manusia yang mencerap—melalui kontemplasi—tanda-tanda Allah dengan merenungkan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Ini adalah sejenis pengetahuan yang bisa memuaskan secara relatif dahaga seorang manusia yang berhasrat akan signifikansi Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Demikian itu telah mendapatkan problem praktisnya yang kita hadapi, yakni mengorientasikari kehidupan.
Dalam penghampiran ini, tak ada ruang bagi pembahasan tak berfaedah dan sia-sia yang membahayakan kehidupan seorang individu juga masyarakat. Ini pelajaran yang harus kita pelajari untuk menghindari dan mencegah dari perselisihan tiada henti dan tak berguna dalam bidang metafisika. Diskusi dan kontroversi semacam itu tidak mengarahkan kita kepada kesimpulan yang pasti, karena sebagian besar pembahasan bersumber dari kejahilan dan prasangka.
Al-Quran mengecam orang-orang yang menerima metode ini secara khusus dalam isu-isu metafisika.
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui . (QS Ali lmrân [3]: 66)
Saya berdoa kepada Allah agar kita tidak dihitung sebagai salah seorang manusia seperti itu yang terlibat dalam pertikaian muspra. Akhir kata, alhamdulillâhi rabb al-‘alamîn.