• Mulai
  • Sebelumnya
  • 21 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2359 / Download: 2322
Ukuran Ukuran Ukuran
Makna Penggunaan Jilbab di Kalangan Mahasiswi Muslim yang Tidak Berjilbab

Makna Penggunaan Jilbab di Kalangan Mahasiswi Muslim yang Tidak Berjilbab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Makna Penggunaan Jilbab di Kalangan Mahasiswi Muslim yang Tidak Berjilbab

(Studi Deskriptif Pada Mahasiswi Fakultas Farmasi di Universitas Airlangga dan Mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Abstrak

Penelitian ini pada dasarnya meneliti masalah makna berjilbab pada mahasiswi muslim yang tidak berjilbab. Karena penggunaan jilbab sudah diperintahkan dan wajib digunakan dalam Islam. Untuk menganalisanya digunakan teori konstruksi sosial Berger dan konsep self indication oleh Blummer. Dalam teori Berger terdapat tiga tahapan konstruksi dan konsep self indication pada teori Blummer. Tipe penelitian deskriptif, dengan menggunakan data-data kualitatif. Diperoleh 5 informan utama melalui teknik aksidental, yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan kebetulan namun sesuai dengan kriteria.

Analisis temuan data yang diperoleh berdasarkan teori konstruksi, ialah internalisasi (proses individu memperoleh pengetahuan mengenai jilbab). Eksternalisasi (individu akan memberikan pandangan pada perempuan berjilbab). Obyektivasi (memunculkan pemaknaan baru dan tambahan). Konsep self indication, akan memperlihatkan tindakan sebagai hasil konstruksi.

Hasil data yang diperoleh, informan yang memahami perintah untuk berjilbab sebagai kewajiban. Memaknai penggunaan jilbab dan perintahnya sebagai kewajiban karena sudah tercantum dalam Al Qur’an. Sedangkan informan yang memahaminya sebagai sesuatu yang dapat meminimalisir kejahatan, memaknainya sebagai sesuatu yang baik fungsinya. Selain itu adanya motivasi untuk berjilbab dari keluarga, lingkungan kuliah, pertemanan serta kendala-kendala yang ada bisa mempengaruhi tindakan yang dilakukan oleh informan. Yang mana tindakan tersebut akan berdampak pada keinginan informan untuk berjilbab atau tidak.

Kata Kunci :

Jilbab, konstruksi sosial, makna penggunaan jilbab

Abstract

The research based on the problem about the meaning of hijab uses for Muslim women student who not wear hijab. Because hijab have been command and used obligatory in Islam. To analyzes used social construction theory Berger and self- indication concept by Blummer. In Berger theory found three construction stages and self-indication concept in Blummer theory. Type of descriptive research, by using qualitative data. Taken 5. main informants through accidental technique, that is informant selection technique based on accidentally but suitable with criteria.

Data finding analysis based on construction theory, is internalization (individual process gained knowledge about hijab). Externalization (individual provide her view in woman hijab). Objectification (emerge new meaning and addition). Self-indication concept, will show an action as result the construction.

The data result gained, informant who understanding command to wear hijab as compulsory. Understanding of the meaning of wearing jilbab and its command as compulsory cause stipulated in Al Qur’an. While informant who understanding as something can minimize criminal. Understanding it as something from its function. Beside that motivation for hijab from family, college circle, friendship atmosphere and obstacles exist in this case can influence her action to performed by informant. Whether this action will have effect on informant’s wish to wear hijab or not.

Keywords :

Hijab, social construction, hijab use meaning

PENDAHULUAN

Latar Belakang

“Makna Penggunaan Jilbab di Kalangan Mahasiswi Muslim yang Tidak Berjilbab” diangkat sebagai masalah, karena adanya penjelasan bahwa agama Islam pada dasarnya mewajibkan kepada para perempuan untuk menutup aurat. Khususnya dalam menggunakan jilbab. Tetapi pada kenyataannya banyak perempuan terutama dalam masalah ini ialah mahasiswi muslim, yang tidak menggunakan jilbab. Sebab diumur mereka yang sudah dewasa, mereka bisa berpikir dengan bijaksana mengenai apa yang baik dan buruk beserta dampaknya ke depan.

Oleh karena itu, terdapat berbagai alasan mengapa beberapa mahasiswi tersebut lebih memilih untuk tidak menggunakan jilbab. Padahal mereka mengetahui konsekuensi yang akan mereka peroleh apabila tidak berjilbab, yang dimaksud adalah konsekuensi dalam kaitannya dengan agama.

Agama sendiri merupakan suatu bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural). Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Maka, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik dan motif ekstrinsik pada seseorang. Agama Islam dalam hal ini mengajarkan umatnya untuk berpakaian rapi dan sopan. Terutama pada perempuan, karena perempuan merupakan mahluk yang diberi kelebihan dalam bentuk fisiknya. Sehingga terdapat beberapaaturan mengenai tata cara berpakaian dalam Islam. Berikut salah satu surat yang berkaitan dengan perintah untuk menutup aurat.

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A‟raf: 26).

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istriistri orang Mukmin, „Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.‟ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).

Jilbab merupakan bagian pakaian yang wajib digunakan untuk menutupi

kepala wanita hingga ke dadanya.[1]

Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa

perempuan diperintahkan untuk memakai baju yang rapi serta menutup aurat. Hal ini

dilakukan untuk keamanan perempuan itu sendiri dari bahaya-bahaya yang dapat

ditimbulkan dari cara berpakaian mereka apabila kurang rapi dan menutup aurat.

Oleh sebab itu, berjilbab merupakan salah satu dari banyak hal yang wajib dilakukan

dalam tata cara berpakaian, khususnya untuk menutup aurat.

Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian yang jarang ditemui, sebab

kebanyakkan dari penelitian-penelitian sebelumnya hanya membahas mengenai

mahasiswi yang berjilbab, sehingga obyek dari penelitian terdahulu adalah

mahasiswi-mahasiswi muslim yang telah menggunakan jilbab saja. Tetapi dengan adanya penelitian ini, dapat lebih melihat bagaimana mahasiswi-mahasiswi yang

tidak berjilbab itu memaknai penggunaan jilbab serta alasan mereka tidak berjilbab

karena sebenarnya mereka berada di lingkungan yang mayoritas perempuannya

berjilbab.

Fokus Penelitian

1. Bagaimana makna penggunaan jilbab bagi mahasiswi muslim yang tidak

berjilbab?

2. Apakah pemaknaan dan pemahaman mengenai perintah berjilbab

dilatarbelakangi oleh lingkungan sosial serta kultural yang melingkupi kondisi

mahasiswi tersebut?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui alasan mahasiswi tidak menggunakan jilbab. Oleh karena

itu dalam fokus penelitian menanyakan hal-hal mengenai makna dan pemahaman

yang dilatarbelakangi oleh lingkungan sosial dan kultural.

Tujuan Khusus

Pertama, untuk mengetahui makna penggunaan jilbab bagi mahasiswi yang

tidak menggunakan jilbab. Kedua, untuk mengetahui bagaimana mahasiswi muslim

yang tidak berjilbab memahami perintah mengenai penggunaan jilbab.

Manfaat Penelitian

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

pentingnya makna penggunaan jilbab bagi perempuan. Sedangkan secara sosiologis,

studi ini penting untuk mengetahui makna penggunaan jilbab bagi mahasiswi yang

tidak menggunakan jilbab.

Manfaat Praktis

Secara praktis, yaitu agar penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi

Organisasi Sosial Keagamaan atau Majelis Taklim yang ada di Surabaya.

KERANGKA TEORITIS

Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger

Dua istilah dalam sosiologi pengetahuan Berger adalah kenyataan dan

pengetahuan. Kenyataan didefinisikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam

fenomena-fenomena yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak

tergantung kepada kehendak kita sendiri. Kenyataan sosial atau realitas sosial pada

dasarnya dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu realitas sehari-hari dan realitas ilmiah.[2]

Realitas yang menjadi obyek penelitian adalah realitas sehari-hari.

Selanjutnya dalam pemahaman konstruksi Berger, untuk memahami

realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, yaitu:

1. Eksternalisasi ialah penerapan dari hasil proses internalisasi yang selama ini

dilakukan atau yang akan dilakukan secara terus-menerus ke dalam dunia,

baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya.[3]

2. Objektivasi ialah segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dilihat

kembali pada kenyataan di lingkungan secara obyektif. Jadi dalam hal ini bisa

terjadi pemaknaan baru atau pemaknaan tambahan.

3. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas oleh manusia, dan

menstransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke

dalam struktur-struktur kesadaran subyektif.[4] Selain itu, proses internalisasi

pada umumnya dapat diperoleh individu melalui sosialisasi primer dan

sekunder. Pada proses internalisasi, tiap individu berbeda-beda dalam dimensi

penyerapan.

Ketiga proses yang ada terus berjalan dan saling berkaitan satu sama lain.

Sehingga pada prosesnya, semua akan kembali lagi ke tahap internalisasi dan begitu

seterusnya. Hingga individu dapat membentuk makna dan perilaku baru apabila

terdapat nilai-nilai baru yang masuk didalamnya.

Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blummer

Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi

sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik

(simbolic interactionism). Interaksi simbolik bercirikan sikap (attitude) dan arti

(meaning). Selain itu, interaksi simbolik ini juga berorientasi pada diri atau pribadi

(personality).[5] Yang mana Blumer selanjutnya menentukan sebuah premis bahwa

manusia itu memiliki “kedirian” (self). Ia dapat membuat dirinya sebagai objek dari

tindakannya sendiri.

Kedirian (self) ini dapat disebut juga sebagai self indication. Self indication

ialah suatu proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui

sesuatu, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna

tersebut.[6] Oleh karena itu pokok-pokok premis pendekatan interaksi simbolik adalah

“masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri

(yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri)”.

Tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang

lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan

penafsiran situasi dimana dia bertindak. Lebih jauh lagi, kedirian (self) dan bentuknya

dijembatani oleh bahasa yang mendorong manusia untuk mengabstraksikan sesuatu

yang berasal dari lingkungannya, dan memberikannya makna.

Metode dan Prosedur Penelitian

Pendekatan dan Tipe Penelitian

Peneliti memakai tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan data-data

kualitatif. Melalui tipe penelitian peneliti diharapkan dapat mengolah informasi yang

diperoleh dari informan secara mendetail. Selain itu penelitian deskriptif dengan

menggunakan data-data kualitatif ini digunakan karena peneliti ingin menjelaskan

atau mengambarkan suatu permasalahan yang dianggap menarik. Pada metode studi

deskriptif ini nantinya informasi yang diperoleh dapat dieksplor dan disesuaikan

dengan teori-teori yang digunakan, yaitu Teori Konstruksi Sosial oleh Berger dan

konsep self indication pada teori interaksi Simbolik oleh Blummer.

Penentuan Subyek Penelitian

Peneliti dalam hal ini memutuskan untuk menggunakan aksidental sebagai

teknik pemilihan informan. Aksidental merupakan teknik pemilihan informan

berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan

peneliti dapat dijadikan informan. Asalkan orang yang ditemui tersebut, sesuai

dengan kriteria yang diperlukan peneliti sehingga cocok sebagai sumber data.

Untuk lokasi penelitian dalam hal ini peneliti memilih informan yaitu

mahasiswi fakultas Farmasi di Universitas Airlangga dan mahasiswi jurusan Bahasa

Inggris di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Hal ini dikarenakan adanya

perbandingan yang cukup jauh antara mahasiswi yang menggunakan jilbab dan yang

tidak. Hal ini dapat terlihat pada jumlah mahasiswi dikelas yang tidak berjilbab berjumlah 1 atau 3 orang saja. Keseluruhan jumlah informan utama yang diperoleh

sesuai kriteria ada 5 orang. Selain itu, terdapat tambahan 3 orang informan yang

merupakan informan pendukung yang berfungsi sebagai crosscheck pada temuan

data.

Teknik Analisis Data

Setelah penelitian di lapangan selesai maka data sekunder dan data primer

yang telah ada segera dikumpulkan. Kemudian barulah semua data-data yang sudah

terkumpul tadi direduksi, yaitu pemilihan data-data dan dokumentasi berdasarkan

tema dan fokus penelitian. Data-data kualitatif yang telah direduksi, lebih

memudahkan peneliti untuk menganalisis dan dapat memberikan hasil yang lebih

dipertajam dibandingkan sebelum data tersebut direduksi.

PEMBAHASAN

Konstruksi Sosial Jilbab

Pada proses internalisasi yang berkaitan dengan pemaknaan, setiap informan

memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Hal ini didasarkan dari proses internalisasi

yang telah diperolehnya. Seperti informasi yang diperoleh peneliti dari dua informan

(dari farmasi dan UMS) yang pernah masuk ke sekolah yang berbasis Islam dan

kondisi keluarga yang memberikan motivasi untuk menggunakan jilbab. Pengetahuan

agama yang diperoleh dari keluarga serta pernah masuk ke sekolah yang berbasis

Islam. Membuat mereka melihat penggunaan jilbab sebagai sesuatu yang wajib untuk

digunakan karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an.

Begitu juga dengan seorang informan (dari farmasi) yang berasal dari orang

tua berbeda keyakinan, yang mana keluarganya kurang memberikan motivasi untuk

berjilbab. Namun karena pernah menuntut ilmu di sekolah yang berbasis Islam,

sehingga dia dapat memberikan makna bahwa jilbab merupakan sesuatu yang wajib

digunakan karena sudah terdapat ayatnya.

Sedangkan informan lainnya (dari farmasi) yang juga pernah menuntut ilmu

di sekolah yang berbasis Islam serta keluarganya kurang memberikan motivasi untuk

berjilbab. Memaknai jilbab sebagai sesuatu yang wajib dipakai. Karena dia

mendapatkan pengetahuan mengenai jilbab melalui teman-teman dekatnya.

Sedangkan informan (dari UMS) yang berasal dari keluarga yang memberikan

motivasi untuk berjilbab, memaknai penggunaan jilbab sebagai sesuatu hal yang baik

dan dapat meminimalisir kejahatan bagi pemakainya. Karena informan tersebut

melihat jilbab hanya dari sisi fungsinya saja.

Pada proses eksternalisasi kelima informan melihat perempuan yang

menggunakan jilbab sebagai perempuan yang baik. Serta memberikan apresiasi

tersendiri kepada perempuan yang menggunakannya. Salah satunya dengan

menganggap mereka semua memiliki perilaku yang baik. Namun seiring dengan

pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh. Maka cara pandang mereka terhadap

para penggunaan dan pemaknaan jilbab berubah.

Selanjutnya pada proses obyektivasi, para informan memaknai jilbab sebagai

sesuatu yang dianggap wajib karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an. Akan tetapi setelah melihat kenyataan yang ada di lingkungan sekitar mereka, terjadi pemaknaan

tambahan. Contohnya kedua informan yang berasal dari UMS, mereka melihat

fenomena yang terjadi di lingkungan kampus yang mana mayoritas mahasiswi

berjilbab di UMS hanya menggunakan jilbab ketika mereka berada di kampus.

Namun ketika berada di luar kampus, mereka melepas jilbabnya dan berpakaian yang

terkesan lebih terbuka.

Hal yang sama juga dialami oleh ketiga informan lainnya yang berasal dari

Unair. Ada orang-orang disekitar mereka yang walaupun sudah berjilbab tetapi belum

bisa menjaga perilaku serta cara berpakaiannya. Sehingga dari fenomena ini

muncullah pemaknaan baru, bahwa penggunaan jilbab merupakan sesuatu yang wajib

dipakai tetapi digunakan apabila pemakainya telah benar-benar siap. Serta terdapat

pemaknaan tambahan, bahwa tidak semua perempuan yang berjilbab berperilaku

baik.

Begitu juga dengan pemaknaan terhadap perintah untuk berjilbab. Dari kelima

informan yang ada, mereka memaknai bahwa perintah tersebut wajib untuk

dijalankan karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an. Seorang lainnya memaknai

bahwa perintah tersebut bagus, karena memiliki fungsi yang bermanfaat. Hal ini

dikarenakan pada tahap internalisasi, semua informan telah mendapatkan pengajaran

agama yang baik dari keluarga, pihak sekolah maupun teman-temannya.

Selanjutnya ditahap eksternalisasi, para informan melihat bahwa sebenarnya

menggunakan jilbab adalah sesuatu yang wajib digunakan dan memiliki banyak manfaat bagi penggunanya. Kemudian pada tahap obyektivasi, informan dihadapkan

dengan kenyataan bahwa ayat yang berisi perintah untuk berjilbab benar-benar ada di

dalam Al Qur’an. Dikarenakan perintah terhadap penggunaan jilbab sudah tercantum

jelas di Al Qur’an, maka pemaknaan yang ada tetap sama.

Self Indication dan Keinginan Untuk Berjilbab

Self indication ialah suatu proses komunikasi pada diri individu yang dimulai

dari mengetahui sesuatu, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak

berdasarkan makna tersebut. Seperti informan yang berasal dari UMS, mereka

melihat perilaku teman-temannya yang kebanyakkan melepas jilbab mereka ketika

berada di luar kampus, serta berpakaian yang terkesan lebih terbuka.

Berdasarkan fenomena yang sering mereka lihat, memberikan dampak pada

keputusan mereka untuk menggunakan jilbab. Sehingga mereka berfikir untuk

menggunakan jilbab apabila mereka bisa memperbaiki perilakunya terlebih dahulu.

Sebab mereka takut akan bertingkah seperti teman-teman mereka. Sehingga sampai

saat ini, keduanya belum berfikir untuk menggunakan jilbab.

Di samping itu, keputusan dalam berjilbab secara tidak langsung juga

didukung oleh kondisi lingkungan pertemanan. Mereka yang pada dasarnya tidak

terlalu dekat dengan teman-temannya di kampus. Ternyata lebih dekat dengan teman

temannya yang berada di luar kampus. Dimana secara keseluruhan teman-temannya

yang berada di luar kampus tersebut tidak berjilbab. Adanya kondisi lingkungan

pertemanan seperti itu, tidak memungkinkan ikut mempengaruhi tindakan yang akan mereka lakukan, yang kemudian berdampak pada keinginan mereka untuk tidak

menggunakan jilbab.

Selain itu ada juga informan lainnya yang merupakan mahasiswi farmasi

Unair. Masing-masing dari mereka memiliki jawaban yang berbeda mengenai

keputusan untuk menggunakan jilbab. Misalnya saja, informan pertama dari Unair

yang sudah memiliki keinginan untuk menggunakan jilbab, walaupun masih ragu

ragu. Akan tetapi dia berkomitmen bahwa dia akan berjilbab suatu hari nanti.

Sedangkan informan kedua yang juga dari Unair, telah memiliki keinginan yang kuat

untuk segera menggunakan jilbab. Akan tetapi karena masalah persetujuan dari ibu

dan pacarnya, maka sampai saat ini dia masih belum bisa berjilbab. Sehingga terdapat

kendala-kendala, baik itu berasal dari keluarga maupun yang berasal dari dalam diri

informan itu sendiri. Yang mana kendala ini juga akan mempengaruhi tindakan yang

akan dilakukan, dan berdampak pada keinginan mereka untuk menggunakan jilbab.

Kesimpulan

1. Para informan yang memahami perintah untuk menggunakan jilbab sebagai

sebuah kewajiban. Memaknai penggunaan jilbab dan perintahnya sebagai

sesuatu yang wajib karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an. Sedangkan

informan yang memahaminya sebagai sesuatu yang dapat meminimalisir

kejahatan. Memaknai penggunaan jilbab dan perintahnya sebagai sesuatu

yang baik fungsinya.

2. Adanya pemaknaan baru bahwa penggunaan jilbab merupakan sesuatu yang

wajib dipakai akan tetapi, digunakan apabila informan telah benar-benar siap

(tidak pakai-lepas jilbab). Serta pemaknaan tambahan, bahwa tidak semua

perempuan yang berjilbab berperilaku baik.

3. Motivasi untuk berjilbab yang diberikan oleh keluarga, tidak memberikan

jaminan pada informan untuk memiliki keinginan menggunakan jilbab.

4. Kondisi lingkungan perkuliahan dan pertemanan, sangat mempengaruhi

keinginan informan untuk menggunakan jilbab.

5. Selain lingkungan kuliah dan pertemanan, berbagai kendala yang dimiliki

oleh informan juga ikut mempengaruhi keinginannya untuk menggunakan

jilbab.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai makna penggunaan

jilbab pada mahasiswi muslim yang tidak berjilbab maka peneliti mencoba

memberikan saran, yaitu agar penelitian yang ada kaitannya ini dapat lebih banyak

diteliti dan dikembangkan. Karena sejauh ini, penelitian-penelitian sebelumnya hanya

melihat dari sisi perempuan yang berjilbab. Padahal fenomena mahasisiwi muslim

tidak berjilbab dan berada di lingkungan yang mayoritas berjilbab tersebut ada.

Sehingga dapat dilihat bagaimana cara pandang perempuan yang tidak berjilbab

tersebut mengenai penggunaan jilbab, yang pada dasarnya wajib untuk digunakan.

Daftar Pustaka

Literatur Buku

Bachtiar, Wardi, M,S. 2006. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm : 239

Ibid. hal. 247-248 Berger, Peter L. Thomas Luckmann. 1990. Tafsir sosial atas kenyataan. Jakarta : LP3ES. Hlm :1

Ibid. hal. 178 Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Ghalia Indonesia. Jakarta Selatan. Hlm : 30

Margaret M. Polomo, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: CV Rajawali), hal. 301 Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hlm : 331-332

Skripsi

Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm I-9

Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm III-68

Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm III-69

Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm III-71

Sulthoni, Ahmad Nurul. 2010. Studi interaksionisme simbolik tentang makna sneaker dalam komunitas sneakerhead di Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal IV-4

Web

http://data.dppm.uii.ac.id/uploads/f0401030602.pdf

http://renares.wordpress.com/tag/ayat-quran-ttg-perintah-berjilbabhijab/

https://indonesianic.wordpress.com/2008/07/31/orangtua-tanyakan-kewajibanberjilbab-di-umm/

http://hannasislam.wordpress.com/2012/01/18/mengapa-harus-berjilbab/

http://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/fenomena-berjilbab-di-kalanganmahasiswi.pdf

http://ghufronudin.blogspot.com/2011/01/makna-jilbab-di-kalangan-mahasiswiuns.html

http://sakinah.8k.com/artikel/jilbab.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Jilbab

http://7wolu.blogspot.com/2010/12/sejarah-jilbab-dari-berbagai-negara-dan.html

http://www.kerudungbandung.com/tips/sejarah-kerudunghijabjilbab-danperkembanganya-perspektif-pembacaan-perkembangan-budaya-materi

http://remajaislam.com/islam-dasar/pojok-muslimah/204-25-alasan-engganberjilbab.html

http://malangraya.web.id/2008/09/04/ketika-mahasiswi-umm-wajib-berjilbab-selamaramadan/

Daftar Isi :

Makna Penggunaan Jilbab di Kalangan Mahasiswi Muslim yang Tidak Berjilbab 1

(Studi Deskriptif Pada Mahasiswi Fakultas Farmasi di Universitas Airlangga dan Mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Surabaya) 1

Abstrak 2

Kata Kunci : 3

Abstract 4

Keywords : 4

PENDAHULUAN 6

Latar Belakang 6

Fokus Penelitian 9

Tujuan Penelitian 10

Tujuan Umum 10

Tujuan Khusus 10

Manfaat Penelitian 11

Manfaat Akademis 11

Manfaat Praktis 11

KERANGKA TEORITIS 12

Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger 12

Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blummer 14

Metode dan Prosedur Penelitian 16

Pendekatan dan Tipe Penelitian 16

Penentuan Subyek Penelitian 17

Teknik Analisis Data 18

PEMBAHASAN 19

Konstruksi Sosial Jilbab 19

Self Indication dan Keinginan Untuk Berjilbab 23

Kesimpulan 25

Saran 27

Daftar Pustaka 28

Literatur Buku 28

Web 30


[1] http://hannasIslam.wordpress.com/2012/01/18/mengapa-harus-berjilbab/

[2] Poloma dalam Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm I-9

[3] Berger dalam Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm III-71

[4] Berger dalam Kartika, Yuliana. 2009. Studi deskriptif tentang makna jilbab dan perilaku mahasiswa yang berjilbab. Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm III-69

[5] Bachtiar, Wardi, M,S. 2006. Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm : 239

[6] Sulthoni, Ahmad Nurul. 2010. Studi interaksionisme simbolik tentang makna sneaker dalam komunitas sneakerhead di Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal IV-4