PEMBAHASAN
Konstruksi Sosial Jilbab
Pada proses internalisasi yang berkaitan dengan pemaknaan, setiap informan
memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Hal ini didasarkan dari proses internalisasi
yang telah diperolehnya. Seperti informasi yang diperoleh peneliti dari dua informan
(dari farmasi dan UMS) yang pernah masuk ke sekolah yang berbasis Islam dan
kondisi keluarga yang memberikan motivasi untuk menggunakan jilbab. Pengetahuan
agama yang diperoleh dari keluarga serta pernah masuk ke sekolah yang berbasis
Islam. Membuat mereka melihat penggunaan jilbab sebagai sesuatu yang wajib untuk
digunakan karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an.
Begitu juga dengan seorang informan (dari farmasi) yang berasal dari orang
tua berbeda keyakinan, yang mana keluarganya kurang memberikan motivasi untuk
berjilbab. Namun karena pernah menuntut ilmu di sekolah yang berbasis Islam,
sehingga dia dapat memberikan makna bahwa jilbab merupakan sesuatu yang wajib
digunakan karena sudah terdapat ayatnya.
Sedangkan informan lainnya (dari farmasi) yang juga pernah menuntut ilmu
di sekolah yang berbasis Islam serta keluarganya kurang memberikan motivasi untuk
berjilbab. Memaknai jilbab sebagai sesuatu yang wajib dipakai. Karena dia
mendapatkan pengetahuan mengenai jilbab melalui teman-teman dekatnya.
Sedangkan informan (dari UMS) yang berasal dari keluarga yang memberikan
motivasi untuk berjilbab, memaknai penggunaan jilbab sebagai sesuatu hal yang baik
dan dapat meminimalisir kejahatan bagi pemakainya. Karena informan tersebut
melihat jilbab hanya dari sisi fungsinya saja.
Pada proses eksternalisasi kelima informan melihat perempuan yang
menggunakan jilbab sebagai perempuan yang baik. Serta memberikan apresiasi
tersendiri kepada perempuan yang menggunakannya. Salah satunya dengan
menganggap mereka semua memiliki perilaku yang baik. Namun seiring dengan
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh. Maka cara pandang mereka terhadap
para penggunaan dan pemaknaan jilbab berubah.
Selanjutnya pada proses obyektivasi, para informan memaknai jilbab sebagai
sesuatu yang dianggap wajib karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an. Akan tetapi setelah melihat kenyataan yang ada di lingkungan sekitar mereka, terjadi pemaknaan
tambahan. Contohnya kedua informan yang berasal dari UMS, mereka melihat
fenomena yang terjadi di lingkungan kampus yang mana mayoritas mahasiswi
berjilbab di UMS hanya menggunakan jilbab ketika mereka berada di kampus.
Namun ketika berada di luar kampus, mereka melepas jilbabnya dan berpakaian yang
terkesan lebih terbuka.
Hal yang sama juga dialami oleh ketiga informan lainnya yang berasal dari
Unair. Ada orang-orang disekitar mereka yang walaupun sudah berjilbab tetapi belum
bisa menjaga perilaku serta cara berpakaiannya. Sehingga dari fenomena ini
muncullah pemaknaan baru, bahwa penggunaan jilbab merupakan sesuatu yang wajib
dipakai tetapi digunakan apabila pemakainya telah benar-benar siap. Serta terdapat
pemaknaan tambahan, bahwa tidak semua perempuan yang berjilbab berperilaku
baik.
Begitu juga dengan pemaknaan terhadap perintah untuk berjilbab. Dari kelima
informan yang ada, mereka memaknai bahwa perintah tersebut wajib untuk
dijalankan karena sudah tercantum di dalam Al Qur’an. Seorang lainnya memaknai
bahwa perintah tersebut bagus, karena memiliki fungsi yang bermanfaat. Hal ini
dikarenakan pada tahap internalisasi, semua informan telah mendapatkan pengajaran
agama yang baik dari keluarga, pihak sekolah maupun teman-temannya.
Selanjutnya ditahap eksternalisasi, para informan melihat bahwa sebenarnya
menggunakan jilbab adalah sesuatu yang wajib digunakan dan memiliki banyak manfaat bagi penggunanya. Kemudian pada tahap obyektivasi, informan dihadapkan
dengan kenyataan bahwa ayat yang berisi perintah untuk berjilbab benar-benar ada di
dalam Al Qur’an. Dikarenakan perintah terhadap penggunaan jilbab sudah tercantum
jelas di Al Qur’an, maka pemaknaan yang ada tetap sama.