• Mulai
  • Sebelumnya
  • 6 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 61849 / Download: 529
Ukuran Ukuran Ukuran
Imamah (Khalifah Rasulullah Saw)

Imamah (Khalifah Rasulullah Saw)

pengarang:
Indonesia
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw) Imamah (Khalifah Rasulullah Saw)




Pengarang: Allamah Sayyid Sa'id Akhtar Razawi
Annotator: Sayyid Muhammad Razawi
Penerjemah: A. Kamil
Penyunting: Abi 'Ali Akbar
Diperbanyak oleh: Yayasan Putra Ka'bah
Cetakan Pertama di Iran 1996 - 1416
Cetakan Kedua 1381 - 2002 - 1423
Cetakan Ketiga di Kuwait 2003 - 1424

1
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

Daftar Isi
1. Bagian Pertama: Pengertian Umum

" Arti Imamah dan Khilafah - 1
" Ikhtisar Perbedaan - 2
" Perbedaan Azasi - 4
" Sistem Kepemimpinan Dalam Islam - 8

2. Bagian Kedua: Persfektif Madzhab Syiah

" Keharusan Imamah -12
" Superioritas - 13
" Ma'sum - 13
" Pengangkatan oleh Allah - 14
" Ayat-ayat Qur'an - 14
" Mukjizat - 17
" Dapat Menjadi Teladan - 17
" Alasan-alasan Logis - 18
" Kema'suman para Imam - 19
" Keutamaan 'Ali As - 22
" Pengangkatan 'Ali - 24
" Ayat Wilâyah - 26
" Deklarasi Resmi Ghadir Khum - 27
" Hadits al-Ghadir: Hadits Mutawatir - 30
" Asnad Hadits Al-Ghadir - 36
" Pengertian Umum Mawla - 38
" Arti "Mawla Dalam Konteks Hadits" - 40
" 'Ali As Adalah "Diri" Rasulullah Saw - 42
" Sunnah - 43
" Ulul 'Amr Harus Ma'sum - 45
" Ulul Amr, Tidak Bermakna Penguasa-Penguasa Muslim - 50
" Arti Sesungguhnya Ulul Amr - 52
" Dua Belas Khalifah atau Dua Belas Imam? - 54
" Tentang Dua Belas Imam As - 56

3. Bagian Ketiga Pandangan Madzhab Sunni

" Pandangan Sunni Tentang Khalifah - 59
" Kualifikasi Seorang Khalifah - 60
" Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan - 61
" Ulasan Singkat - 66
" Pencalonan 'Umar - 71
" Asy-Syuraa: Komite - 74
" Pandangan Umum - 79
" Sisi Praktikal - 80
" Al-Walid dan Harun al-Rasyid -83
" Pengaruh-pengaruh Kepercayaan Terhadap Keadilan Ilahi dan Ismah Para Nabi - 84
" Apakah Syi'ah Tidak Demokratis? - 86
" Apakah Imamah Sebuah Kekuasaan Dinasti? - 91

Sumber-Sumber Rujukan - 93



2
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

Bagian Pertama: Pengertian Umum

Arti Imamah dan Khilafah
Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti "kepemimpinan". Al-Imâm berarti "pemimpin". Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna "otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw. Al-Imâm berarti: "Seorang (pria) yang - menggantikan Nabi - memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Kata "seorang (pria)" menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. "Memerintah secara mutlak" tidak termasuk mereka yang memimpin salat - mereka juga dipanggil imam - tapi dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata "khilafah" berarti "pergantian" dan "al-khalifah" bemakna "pengganti". Dalam terminologi Islam "al-khilafah" dan "al-khalifah" secara praktis menandakan arti yang sama dengan "al-imamah" dan "al-imam".
Adapun al-Wisayah berarti "pelaksanaan wasiat" dan "al-Wasi" bermakna "pelaksana wasiat". Secara signifikan maknanya sama dengan "al-khilafah" dan "al-khalifah".
Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari'at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.
Masalah imamah dan khilafah telah meretas - memecah - keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.
Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah. Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini - anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan ini - biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.
Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa 'Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw.
Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.

Ikhtisar Perbedaan
Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh madzhab dalam Islam:
"Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya akan binasa kecuali satu firqah ".
Pencari keselamatan akan selalu - tentu saja - tanpa lelah berusaha untuk mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar - jalan keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini hanya mungkin bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan kebenaran.
Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab, dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari. Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:

1. Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?

2. Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada.

3. Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut?

4. Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa?

5. Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?

Perbedaan Azasi
Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah
karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul?
Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi.
Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka - secara tabiat - menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.
Seperti pada kasus 'Utbah bin Rabi'ah - bapak mertua Abu Sufyan - yang diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.
"Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala."
Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur'an sebagai jawaban beliau - berisikan ancaman - kepada suku Quraisy itu. "Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud." (Qs. Fussilat:13)
'Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa 'Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.
Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. 'Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:
"Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam."
Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!
Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).
Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas - paman Nabi - yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam.
Untuk menyingkat cerita ini, al-'Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: "Wahai 'Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!". Al-'Abbâs berkata: "Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian."
Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan tidak berubah. Ketika 'Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi nasihat, "Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak."
Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: " Wahai Abu Ya'la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada kami."
Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama sekali."
Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.
Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali - bahkan - tidak ada 50 (dari 124.000) nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai nabi.
Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.
Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam
Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: "Raja adalah bayangan Tuhan," seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah menciptakan slogan "Sosialisme Islam". Apa maksud dari "Sosialisme Islam" ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan komunisme.
Seluruh kecenderungan "berubah bersama angin" ini sedang membuat sebuah lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian". Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia sangat menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.
Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun perlawanan.
Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur'an.
Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah "Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat".
Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi.
Sampai pada frase "oleh rakyat", mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, 'Urwah bin Mas'ud (dari suku Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur'an, "Dan mereka berkata: "Mengapa al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini."
Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak dipilih oleh manusia (rakyat).
Dengan demikian, Islam bukan pemerintahan rakyat, bukan "oleh rakyat". Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat".
Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai "syirik tersembunyi". Apa saja yang anda lakukan - apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian - harus dilakukan "qurbatan ilallah" (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah. Dalam Islam, segalanya untuk Allah.
Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah.
Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.



Bagian Kedua: Persfektif Madzhab Syiah

Keharusan Imamah
Menurut pandangan Syiah, imamah adalah sebuah pranata yang mesti ada, sesuai dengan hukum akal. Dengan rahmat Allah Swt yang menjadikan hamba-hamba-Nya taat dan menjaganya dari maksiat, tanpa paksaan. Dalam ilmu kalam Syiah, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt. Ketika Allah menghendaki seseorang melakukan sesuatu, Dia mengetahui bahwa manusia tidak dapat melakukannya atau ia akan menemui kesulitan untuk melakukannya tanpa memperoleh bantuan dari-Nya. Kemudian, jika Allah tidak membantunya, maka perbuatan itu bertentangan dengan tujuan Allah sendiri. Jelasnya, kelalaian ini adalah batil menurut ukuran akal. Oleh karena itu, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt.
Imâmah adalah rahmat dari Allah Swt. Karena sebagaimana yang kita ketahui ketika manusia memiliki seorang pemimpin (rais) dan pembimbing yang mereka taati, yang membela kaum tertindas dari penindasan dan menahan kaum penindas, maka ia akan menarik mereka lebih dekat kepada kebaikan dan menjauh dari kerusakan dan penyimpangan, dan karena lutf, wajib bagi Allah Swt untuk mengangkat seorang imam untuk membimbing dan memimpin umat setelah wafatnya Nabi Saw.

Superioritas
Kaum Syiah meyakini bahwa; sebagaimana Nabi Saw, seorang imam harus lebih unggul dari umat dalam segala keutamaan, seperti ilmu pengetahuan, keprawiraan, ketakwaan dan amal saleh, dan dia harus memiliki ilmu yang sempurna tentang hukum-hukum Allah. Jika tidak; dan kedudukan ini diamanahkan kepada orang yang setingkat di bawah orang yang memiliki kesempurnaan, yaitu inferior lebih diutamakan ketimbang superior, maka perbuatan ini adalah perbuatan keliru menurut hukum akal dan bertentangan dengan Keadilan Ilahi. Oleh karena itu, tidak ada orang inferior yang akan menerima imamah dari Allah Swt bilamana hadir seorang yang lebih superior daripada dia.

Ma'sum
Kualifikasi yang kedua adalah ismah (keterjagaan dari dosa dan salah). Jika imam tidak ma'sum maka ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan dan juga berpotensi untuk mengelabui orang.
Pertama-tama, dalam kasus seperti ini (bila seorang imam berbuat salah), kita tidak dapat mempercayai terhadap apa yang dikatakan dan didiktekan kepada kita.
Kedua, seorang imam adalah penguasa dan pemimpin umat, dan umat harus mengikutinya tanpa reserve (tedeng aling-aling) dalam segala hal. Sekarang, jika ia berbuat dosa, orang-orang pasti akan mengikutinya untuk berbuat dosa. Tak tertahankannya kedudukan ini bersifat jelas (badihi); karena ketaatan dalam perbuatan dosa adalah batil, haram dan terlarang. Lagi pula, akan berarti bahwa ia harus mentaati dan mengingkarinya pada saat yang bersamaan; yaitu, ketaatan kepadanya akan menjadi wajib dilarang, yang secara nyata bila diikuti akan tampak konyol (absurd).
Ketiga, jika memungkinkan bagi seorang imam untuk berbuat dosa, akan menjadi kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya (karena wajib bagi setiap muslim untuk melakukan amar ma'ruf). Dalam keadaan demikian, imam akan terhina; wibawanya akan berakhir, jangankan akan menjadi pemimpin umat, ia akan menjadi pengikut imam (ma'mum), dan imamahnya tidak akan berguna.
Keempat, imam adalah pembela hukum Allah dan perkara ini tidak akan diamanahkan kepada tangan-tangan yang penuh dosa juga tidak kepada orang-orang yang akrab dengan salah. Atas alasan ini, kema'suman menjadi syarat mutlak kenabian; dan pertimbangan-pertimbangan yang membuatnya niscaya dan esensial dalam kasus seorang nabi, juga berlaku pada seorang imam dan khalifah.
Pembahasan ini akan dikaji lebih jeluk pada bagian akhir dari buku ini (Ulul Amr Harus Ma'sum)

Pengangkatan oleh Allah
Seperti dalam kasus para nabi, kualifikasi-kualifikasi yang disebutkan tersebut tidak memadai sehingga dapat secara otomatis membuat seseorang menjadi imam. Imamah bukanlah sebuah pekerjaan yang diminta; tapi sebuah penunjukan yang dianugerahkan oleh Allah.
Dengan alasan ini, Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Dialah (Allah) yang berhak untuk memilih pengganti Nabi; dan umat tidak memiliki pilihan, intervensi dalam hal ini, dan kewajibannya hanya mengikuti titah Ilahi yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah baginya.

Ayat-ayat Qur'an
Ayat-ayat berikut ini menegaskan pandangan-pandangan Syiah.
"Dan Tuhanmu yang menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka." (Qs.al Qasas:68)
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki hak dalam memilih; pemilihan ini sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Sebelum menciptakan Adam, Allah memberi kabar kepada para malaikat; "...Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Qs.al-Baqarah:30)
Kemudisn para malaikat menyatakan protes mereka dengan santun, protes mereka ini ditepis dengan firman-Nya, "...Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui..." (Qs. al-Baqarah:30)
Jika para malaikat ma'sum ini tidak diberikan sedikit pun peluang untuk berkata dalam penunjukan seorang khalifah, bagaimana mungkin manusia yang dapat berbuat dosa (fallibel) berharap untuk mengemban seluruh otoritas atas penunjukan ini?
Allah sendiri mengangkat Nabi Daud sebagai khalifah di muka bumi;
"Wahai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah dk muka bumi..." (Qs. Saad:26)
Dalam setiap masalah Allah menisbatkan pengangkatan khalifah atau imam secara eksklusif kepada diri-Nya. "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh umat manusia. Ibrahim berkata: "Dan dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. al-Baqarah:124)
Ayat ini membawa kita kepada jawaban yang benar dari banyaknya pertanyaan mengenai imamah.
Pertama, Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku ingin menjadikan engkau sebagai seorang Imam bagi manusia." Ayat ini menunjukkan bahwa status imamah adalah pegangkatan-Ilahi; di luar urusan umat.
Kedua, "Perjanjianku ini tidak termasuk orang-orang yang zalim." Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang non-ma'sum tidak dapat menjadi seorang imam. Secara logis, kita dapat membagi manusia ke dalam empat kelompok:
1. Kelompok yang tetap berlaku tidak adil selama masa hidupnya.
2. Kelompok yang tidak pernah berlaku zalim.
3. Kelompok yang awalnya zalim namun kemudian menjadi adil.
4. Kelompok yang awalnya adil namun kemudian menjadi zalim.

Ibrahim As, terlalu tinggi kedudukannya untuk memohon imamah yang termasuk kelompok yang pertama atau yang keempat. Dan kini tersisa, dua kelompok (kedua dan ketiga) yang dapat dimasukkan dalam doa Ibrahim tersebut. Namun, Allah Swt menolak salah satu dari keduanya yaitu, kelompok yang awalnya tidak adil kemudian menjadi adil. Kini tersisa, hanya satu kelompok yang memenuhi kualifikasi untuk memegang posisi imamah - mereka yang sama sekali tidak pernah berbuat zalim selama hidupnya, yaitu ma'sum.
Ketiga, Terjemahan literal dari akhir ayat tersebut adalah:
Perjanjianku tidak akan mencapai orang-orang zalim. Perhatikan, Allah tidak berkata, "Orang zalim tidak akan mencapai perjanjianku", karena yang demikian ini bermakna bahwa ia berada di dalam kekuasaan manusia - meskipun ia seorang yang adil - untuk mencapai kedudukan imamah. Kalimat present (mudâre) tidak menyisakan kesalahpahaman, secara jelas menunjukkan bahwa menerima amanat imamah tidak berada dalam pengurusan manusia; urusan ini sepenuhnya berada di tangan Allah secara eksklusif dan Dia memberi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Lalu sebagai aturan umum, disebutkan, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami." (Qs.al-Anbiya:73)
Ketika Nabi Musa As menghendaki perdana menterinya untuk membantunya, ia tidak menunjuk seseorang dengan menggunakan otoritasnya sebagai nabi. Ia berdoa kepada Allah Swt: "Dan anugerahkan kepadaku seorang pembantu dari keluargaku, Hârun saudaraku." (Qs.Taha:29-30) Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu , wahai Musa." (Qs.Taha:36)
Seleksi Ilahia ini diberitakan kepada umat melalui nabi atau imam sebelumnya. Deklarasi ini disebuti nass = spesifikasi; determinasi, pengangkatan pengganti imam oleh nabi atau imam sebelumnya. Seorang Imam sesuai dengan keyakinan Syiah, harus mansus dari Allah, yaitu diangkat oleh Allah untuk kedudukan tersebut.

Mukjizat
Jika seseorang tidak mendengar nass tentang sebuah penuntut imamah, maka satu-satunya jalan untuk memastikan kebenaran klaimnya itu adalah melalui mukjizat.
Secara umum, setiap orang bisa saja mengklaim bahwa ia adalah seorang imam atau khalifah nabi dan ma'sum, namun sebuah mukjizat adalah satu-satunya alat penguji kebenaran dalam hal ini. Jika pengklaim dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat untuk menopang klaimnya, maka tanpa ragu, klaimnya akan mudah diterima oleh umat. Namun jika ia tidak dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat, maka jelas bahwa ia tidak memenuhi kualifikasi atas imamah dan khalifah, dan klaimnya ini adalah sebuah klaim palsu.

Dapat Menjadi Teladan
Praktik yang berlaku secara umum dalam memilih penggantinya (atas perintah Allah) berlaku tanpa intervensi ummat.
Sejarah nabi-nabi tidak menyodorkan satu contoh sebagai pengganti nabi dipilih melalui voting dari pengikutnya. Tidak ada alasan mengapa pengganti Nabi Saw yaitu hukum Allah yang mapan ini harus berubah, Allah berfirman, "...dan kamu sekali-kali tiada akan mendapatkan perubahan pada sunnah Allah." (Qs. al-Ahzab:62)

Alasan-alasan Logis
Alasan yang sama yang membuktikan pengangkatan seorang nabi adalah hak prerogatif Allah, membuktikan dengan kekuasaan yang sama bahwa pengganti nabi juga harus diangkat oleh Allah. Seorang imam atau khalifah; sebagaimana nabi, ditunjuk untuk melaksanakan tugas dari Allah Swt. Jika ia diangkat oleh manusia, loyalitasnya yang pertama tentu saja bukan untuk Allah, melainkan untuk orang-orang yang akan "bersandarkan kepada otoritasnya". Ia akan selalu berupaya untuk mencari keridaan manusia, karena jika mereka menarik kepercayaan mereka dari dirinya, ia akan kehilangan jabatannya. Sehingga ia tidak akan melaksanakan kewajiban agama tanpa ada rasa takut atau selera; pandangannya akan senantiasa dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Kemudian, tugas dari Allah tentu saja akan terabaikan.
Di samping itu, sejarah Islam menyajikan bukti-bukti melimpah yang menyoroti ajaran-ajaran agama yang ditunjukkan oleh khalifah yang diangkat oleh manusia. Jadi argumen ini tidak hanya bersifat ilmiah, tapi juga sarat dengan bukti-bukti sejarah.
Juga, hanya Allah yang mengetahui keadaan batin (inner feelings) dan pikiran seseorang; tidak ada yang dapat mengetahui tabiat asli seseorang. Boleh jadi seseorang bersikap seolah-olah sebagai orang yang bertakwa dan beriman hanya untuk memberikan kesan kepada kerabat dan koleganya dan bertujuan untuk meraih nikmat duniawi. Contoh-contoh sikap seperti ini banyak ditemukan dalam catatan sejarah. Sebagai misal, kisah Abdul Malik bin Marwan yang meluangkan hampir seluruh waktunya di masjid untuk berdoa dan membaca Al-Qur'an. Ia sedang membaca Al Qur'an ketika kabar tentang kematian ayahnya sampai kepadanya dan orang-orang menantikan untuk berbaiat kepadanya sebagai khalifah baru. Ia kemudian menutup al-Qur'an dan berkata, "Kini saatnya berpisah denganmu!"
Dengan demikian, kualifikasi yang diperlukan untuk menjabat kedudukan sebagai khalifah dan imam hanya dapat diketahui secara hakiki oleh Allah, dan hanya Allahlah yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat seorang imam atau khalifah.

Kema'suman para Imam
Kini, mari kita amati apa yang dikatakan oleh al-Qur'an tentang Ahl al-Bait Nabi Saw.
Sesuai dengan al-Qur'an, 'Ali, Fâtimah, Hasan, Husain adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan ma'sum pada saat Nabi Saw wafat. Ayat Tathir berbunyi sebagai berikut, "...Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa darimu, wahai Ahl al-Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya." (Qs. al-Ahzab:33)
Secara umum disepakati bahwa keempat nama yang tersebut di atas adalah Ahl al-Bait dan adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan terbebas dari segala nista.
Kalimat sebelumnya dan sesudah ayat ini dialamatkan kepada para istri Nabi dan kata ganti (dâmir) dalam ayat ini merupakan gender muannats. Tetapi kata ganti yang digunakan dalam ayat ini mengandung gender mudzakkar. Alasan mengapa ayat ini ditempatkan dalam bentuk mudâre' tidak terlalu sulit untuk ditebak. Almahrum "Allamah Pooya" menulis dalam catatan kaki No. 1857 dengan terjemahan al-Qur'an oleh S.V.Mir Ahmed Ali.
Kandungan ayat ini; berkenaan dengan kesucian Ahl al-Bait yang telah disucikan oleh Allah Swt, memerlukan sebuah penjelasan yang layak untuk dikomentari dalam konteks yang benar. Kandungan ayat ini merupakan sebuah ayat yang terpisah dengan sendirinya. Pewahyuannya juga terpisah pada peristiwa khusus namun ditempatkan di sini karena ia berhubungan dengan para istri Nabi Saw. Letak ayat ini; jika kita kaji secara seksama, menegaskan bahwa ia memiliki tujuan dan alasan yang signifikan dibaliknya. Ketika mengalamatkan pada awal-awal ayat dalam bentuk gender muannats, ada transisi dalam alamat dari mu'annats kepada mudzakkar. Ketika merujuk secara bersama-sama kepada Rasulullah Saw, pronomina ini juga secara konsisten bercorak muannats. Karena sebuah gabungan antara pria dan wanita, secara umum gender mudzakkar yang digunakan. Transisi seperti ini dalam penggunanaannya didalam gramatika bahasa, memberikan penjelasan bahwa klausa ini sedikit berbeda dengan yang digunakan untuk kelompok yang lain dari yang pertama, dan telah secara serasi ditempatkan di sini untuk menunjukkan perbandingan kedudukan Ahl al-Bait di hadapan para istri Nabi Saw.
Amr bin Abi Salamah yang dibesarkan oleh Rasulullah Saw, meriwayatkan:
"Ketika ayat ini turun, Nabi Saw berada di kediaman Ummu Salamah. Pada saat pewahyuan surat ini: "Sesungguhnya Allah ingin menjauhkan dosa darimu wahai Ahl al-Bait! Dan mensucikanmu sesuci-sucinya", Rasulullah Saw mengumpulkan putrinya Fatimah, putra Fatimah, Hasan dan Husain, dan suaminya, 'Ali, dan menutupi mereka termasuk dirinya, dengan kisa(kain)-nya dan berkata kepada Allah Swt, Wahai Tuhanku, mereka inilah keturunanku! Jagalah mereka dari setiap bentuk kekotoran, dan sucikan mereka sesuci-sucinya.
Ummu Salamah, istri budiman Rasulullah Saw, menyaksikan peristiwa ini dengan penuh takjub, dengan rendah-hati, ia meminta kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah! Dapatkah aku bergabung dengan mereka?" Kemudiam dijawab oleh Rasulullah, "Tidak. Tetaplah ditempatmu, sesungguhnya engkau adalah orang yang memiliki kemuliaan."
Di sini bukan tempatnya menyebutkan referensi-referensi mengenai ayat ini; namun, saya ingin menukil Maulana Wahiduz Zaman, seorang ulama Sunni terkemuka, yang terjemahan dan tafsir Qur'annya beserta bukunya Anwârullughah (sebuah kamus al-Qur'an dan Hadits) adalah di antara salah satu referensi yang diakui. Ia menulis tafsir tentang ayat ini: "Beberapa orang berpikir bahwa ayat ini khusus untuk anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Penerjemah ini berkata bahwa hadits sahih dan mempunyai sanad yang baik hingga Rasulullah mendukung pendapat ini, karena ketika Rasulullah Saw sendiri mengumumkan bahwa anggota keluarga ini hanya mereka ini (lima orang), maka menerima dan meyakininya menjadi wajib. Satu lagi tanda kebenaran dari pandangan ini adalah bahwa pronomina-pronomina yang digunakan sebelum dan setelah ayat ini adalah mua'annats, sementara dalam ayat ini adalah mudzakkar...'
Kembali ia berkata dalam Anwârul Lughah: " Pandangan yang benar adalah bahwa hanya lima orang yang termasuk dalam ayat tathir ini (Rasulullah, 'Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain), meskipun dalam penggunaan Bahasa Arab, istilah Ahl al-Bait juga digunakan untuk para istri. Beberapa orang yang membuktikan ayat ini bahwa kelima orang ini adalah ma'sum dan tanpa dosa. Tapi jika tidak ma'sum, maka tentu saja mereka mahfuz (terjaga dari perbuatan dosa dan salah).
Saya telah menukil dua referensi di atas dan ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Itsna 'Asyariyah yang mengklaim pendapat di atas, namun ulama Sunni juga menegaskan klaim ini, sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Arab dan hadits-hadits sahih Rasulullah, hanya 'Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain yang dimaksud ayat ini, disamping Rasulullah sendiri. Juga, jelas pandangan yang mengatakan bahwa kelima orang ini adalah tanpa dosa, disuarakan oleh ulama Sunni. Nampaknya akhirnya mereka berkata jika mereka tidak ma'sum (secara teori) mereka pasti terjaga dari salah dan dosa (secara praktik).
Ada banyak ayat dan hadits yang membenarkan ismah Ahl al-Bait, tapi karena masalah ruang dan waktu tidak memberikan banyak tempat untuk saya memaparkannya secara lebih detail, meskipun dalam bentuk yang singkat.

Keutamaan 'Ali As
Afdaliyyah (keutamaan) dalam Islam berarti "kelayakan untuk mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah Swt karena amal saleh".
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa superioritas ini tidak dapat diputuskan oleh pandangannya sendiri atau perspektifnya sendiri dan tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya kecuali melalui al-Qur'an dan Hadits. Al-Gazali, ulama sunni yang terkenal, telah menulis:
"Hakikat superioritas (afdaliyyah) adalah apa yang ada di hadapan Allah Swt; dan sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Nabi Saw."
Kebanyakan saudara-saudara Sunni kita percaya bahwa keutamaan itu sesuai dengan kalifah yang berurutan seperti ini, Abu Bakar, lalu 'Umar, kemudian 'Utsmân dan seterusnya 'Ali As.
Akan tetapi keyakinan ini tidak memiliki bukti sama sekali, juga tidak menjadi keyakinan orang-orang Sunni pada masa-masa awal. Selama masa hidup Nabi Saw, kita temukan sahabat-sahabat utama seperti Salmân al-Faris, Abu Dzar al-Ghifari, Migdâd al-Kindi, 'Ammâr bin Yasir, Khabbab bin al-Artt, Jabir bin 'Abdullah al-Ansari, Hudzaifah bin Yamani, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqâm, dan banyak lagi yang lain yang meyakini bahwa 'Ali As adalah lebih utama di antara seluruh Ahl al-Bait dan para sahabat.
Ahmad bin Hanbal pernah sekali waktu ditanya oleh anaknya tentang pandangannya mengenai siapa yang lebih superioritas. Ia berkata: "Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsmân". Dan anaknya bertanya lagi: "Dan bagaimana dengan 'Ali bin Abi Tâlib?" Ia menjawab: "Ia dari Ahl al-Bait. Ia tidak dapat dibandingkan dengan yang lain."
Ubaidullah Amristari menulis dalam bukunya yang populer Arjahul Matâlib: "Karena keutamaan bermakna: memiliki lebih banyak ganjaran; buktinya hanya dapat diketahui melalui hadits (Sunnah) Nabi Saw....dan jika terdapat hadits-hadits yang saling bertentangan satu-sama lainnya, maka hadits yang sahih harus diterima dan hadits yang kuat harus dibedakan dengan hadits yang lemah."
"Al-Allamah ibn 'Abdil Barr menulis dalam kitabnya al-Isti'âb ihwal ahadits (plural dari hadits) yang telah dinukil tentang keutamaan Amirul Mukminin 'Ali As, bahwa: Imam Ahmad bin Hanbal, al-Qadi Ismâ'il ibn Ishâq, Imam Ahmad 'Ali bin Su'aib an-Nasa'i dan al-Hafiz Abu 'Ali an-Naisapuri, telah berkata: " Tidak ada hadits yang datang dengan mata rantai hadits (sanad) yang baik tentang keutamaan para sahabat melebihi riwayat yang menukil keutamaan 'Ali bin Abi Tâlib As".
Oleh karena itu, jika kita melihat keutamaan eksklusif Amirul Mukminin 'Ali dan berpikir tentang alasan yang menyebabkan ia dapat meraih sedemikian tinggi ganjaran di hadapan Allah Swt, kita akan mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki keutamaan setelah Nabi Saw.
Penulis dahulu adalah seorang Sunni; dan ia telah membahas masalah ini secara lebih jeluk pada bagian ketiga, halaman 103-516, tentang buku yang dimaksud di atas.
Jelasnya, saya tidak dapat menyediakan di sini daftar ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai keutamaan 'Ali As. Akan memadai untuk berkata bahwa ada 86 ayat-ayat al-Qur'an yang memuji keutamaan 'Ali As dan hadits-hadits tentang keutamaannya tidak dapat dihitung.
Lalu, harusnya lebih jelas bahkan bagi seorang pengamat amatir bahwa 'Ali adalah insan yang paling utama di antara seluruh kaum muslimin selepas Nabi Saw.

Pengangkatan 'Ali
Selepas memberikan catatan singkat tentang ismah dan afdaliyyah 'Ali bin Abi Talib As, kini tiba saatnya pertanyaan terpenting ihwal pengangkatannya oleh Allah Swt.
Dalam beberapa kesempatan, Nabi Saw telah mendeklarasikan bahwa 'Ali adalah pengganti dan khalifah setelah beliau.
Hakikatnya bahwa deklarasi terbuka yang pertama kali dari kenabian dilakukan dalam berbagai kesempatan ketika deklarasi terbuka yang perdana ihwal kekhalifaan 'Ali dibuat. Tepatnya pada waktu "Da'wah Dzu l 'Asyira"
Ketika ayat: (Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat) diturunkan, Nabi Saw memerintahkan 'Ali As untuk menyediakan makanan dan mengundang anak-keturunan 'Abdul Muttâlib (Bani Abdul Muttâlib) sehingga Nabi dapat menyampaikan firman Allah Swt kepada mereka. Selepas acara tersebut, Nabi Saw bermaksud untuk berbicara kepada mereka, akan tetapi Abu Lahab mencegahnya dengan berkata: "Sesungguhnya, saudaramu ini telah lama memperdayakanmu!".
Orang-orang yang hadir ketika itu setelah mendengar ucapan Abu Lahab ini, membubarkan diri.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw kemudian mengundang mereka lagi pada hari berikutnya. Setelah perjamuan, beliau bersabda kepada mereka: "Wahai Bani 'Abdul Muttalib, Demi Allah, Aku tidak kenal seorang pun dari bangsa Arab yang datang kepada umatnya lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa sesuatu untuk kebaikan kalian baik di dunia maupun di akhirat. Aku telah diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengajak kalian kepada-Nya. Oleh karena itu, siapa di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusan ini sehingga ia akan menjadi saudaraku (akhi), pelaksana wasiatku (wasiyyi) dan khalifah sepeninggalku?"
Panggilan ini adalah panggilan pertama ketika Rasulullah Saw berdakwah secara terbuka kepada mereka dalam hubungannya untuk menerima beliau sebagai utusan dan Rasul Allah Swt; beliau juga menggunakan kalimat: "akhi wa wasiyyi wa khalifati" - "saudaraku, pelaksana wasiatku, khalifahku" - dengan alasan bahwa dialah yang akan membantunya dalam menunaikan misi Rasulullah Saw. Ketika itu mereka semua diam dan tidak menjawab seruan Nabi serta mundur teratur menghadapi seruan ini, kecuali seorang yang paling muda di antara mereka yaitu 'Ali bin Abi Talib. 'Ali bin Abi Talib berdiri dan berkata: "Aku bersedia menjadi penolongmu, wahai Rasulullah."
Nabi Saw kemudian menaruh tangannya di balik leher 'Ali dan berkata: "Inna hadza akhii wa wasiyyi wa khalifati fikum, fasma'u lahu wa ati'u - Sesungguhnya dia ini adalah saudaraku, penggantiku dan khalifahku di antara kalian; dengarkan dan taatilah dia -."

Ayat Wilayah
Selain itu, pada banyak kesempatan, banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengingatkan kaum musliminin bahwa 'Ali adalah wali mereka setelah Nabi Saw. Salah satu ayat yang paling penting berkenaan dengan wilayah Imam 'Ali adalah, "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat, dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam keadaan ruku'." (Qs. al-Maidah:55)
Para ulama, baik Sunni atau Syi'ah, sepakat bahwa ayat ini diturunkan sebagai penghormatan keapda Imam 'Ali. Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa hanya ada tiga wali bagi kaum mukmin. Pertama, Allah Swt, kedua, Rasul-Nya, ketiga, 'Ali (dan sebelas Imam setelahnya).
Abu Dzar al-Ghifari berkata bahwa suatu hari ia sedang melaksanakan salat bersama Rasulullah Saw ketika seorang pengemis datang ke Masjid Nabi. Tidak ada seorang pun yang memenuhi permintaanya. Pengemis itu menengadahkan tangannya ke arah langit dan berkata: "Ya Allah, Engkau sebagai saksi, aku datang ke Masjid Nabi dan tidak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku". 'Ali yang sedang ruku' ketika itu, menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin kepada pengemis itu. Pengemis itu datang mendekat dan mengambil cincin itu, kemudian pergi. Kejadian ini terjadi di hadapan Nabi yang menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa:
"Tuhanku, saudaraku Musa telah memohon kepada-Mu untuk dilapangkan dadanya (sadr) dan membuat pekerjaannya menjadi mudah, menghilangkan kelunya lidah sehingga orang dapat memahami perkataanya, lalu Engkau menunjuk seorang saudara dari kerabatnya, sebagai wasir, dan menguatkan punggungnya dengan kehadiran Harun, dan menjadikan Harun sebagai mitra kerjanya. Tuhanku! Engkau berkata kepada Musa, Kami akan menguatkan tanganmu dengan saudaramu. Tidak seorang pun yang kini dapat berhubungan dengan kalian berdua....Tuhanku! Aku adalah Muhammad dan Engkau telah memberikanku keutamaan, Lapangkan dadaku, jadikan pekerjaan mudah bagiku, dan dari kerabatku, tunjuk 'Ali sebagai wasirku. Kuatkan punggungku dengannya." Belum lagi Rasulullah Saw menyelesaikan doanya, Jibril As datang membawa ayat yang disebutkan di atas.
Di sini bukan tempatnya untuk menyebutkan seluruh sumber rujukan dari hadits ini (hadits ini berjumlah ratusan). Ayat ini dan doa Rasulullah Saw secara bersamaan dan terpisah menunjukkan pengangkatan 'Ali sebagai Wali kaum musliminin selepas Rasulullah Saw.

Deklarasi Resmi Ghadir Khum
Seluruh deklarasi-deklarasi yang dinyatakan sebelumnya dapat diklasifikasikan sebagai pendahuluan dari deklarasi resmi Ghadir Khum.
Peristiwa ini telah disepakati oleh para sejarawan dan ulama dari dua madzhab. Di sini kami akan menunjukkan betapa persiapan dan preparasi besar dibuat untuk mendeklarasikan 'Ali sebagai pengganti Nabi Saw.
Ghadir Khum (Telaga Khum) terletak di sebuah tempat bernama Jufah, tepatnya berada di antara kota Mekkah dan Medinah. Ketika Nabi Saw dalam perjalanan ke pulang, selepas menunaikan ibadah haji terakhir, malaikat Jibril datang membawa perintah penting Allah Swt, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia..." (Qs. al-Maidah:67)
Nabi Saw segera berhenti dan memerintahkan seluruh orang-orang yang telah berada di depan untuk kembali, dan beliau menantikan hingga orang itu berkumpul. Setelah orang-orang berkumpul, sebuah mimbar didirikan dengan meletakkan pelana unta sebagai bantalannya; duri-duri akasia telah disapu. Nabi Saw menaiki mimbar dan menyampaikan khutbah yang panjang.
Hari itu adalah hari yang amat terik; orang-orang yang hadir terpaksa harus menarik jubah-jubah mereka dari kepala hingga kaki.
Nabi Saw menyampaikan khutbah penting beliau kepada umat sebagai berikut:
"Ayyuhannas!" Ketauhilah bahwa Jibril telah datang kepadaku berulang kali membawa perintah-perintah dari Allah Swt, Sang Maha Kasih, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada setiap orang, hitam dan putih, bahwa 'Ali, putra Abi Talib, adalah saudaraku dan wasi (pengganti) dan khalifah, dan imam setelahku. Kedudukannya bagiku laksana Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku, dan ia adalah wali kalian di sisi Allah dan Nabi-Nya.
Ayyuhannas! Sesungguhnya Allah telah menunjuk 'Ali sebagai Imam dan Amir kalian. Ketaatan kepadanya adalah wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan Ansar, dan mereka yang mengikutinya dengan baik; dan para penghuni kota dan kaum Badui, bangsa Arab dan 'Ajam, seorang merdeka dan budak sahaya, orang tua dan muda, besar dan kecil, hitam dan putih. Perintahnya harus ditaati, perkataannya harus dibinding, dan dusturnya bersifat wajib bagi seluruh kaum Mukminin yang meyakini ke-Esaan Tuhan. Laknat bagi mereka yang menentangnya dan rahmat bagi mereka yang mengikutinya, dan meyakininya adalah seorang Mukmin sejati.
"Ayyuhannas!" Sekarang adalah saat-saat terakhir aku berdiri pada perhelatan ini. Oleh karena itu, dengarkan, taati dan berserahlah kepada ketentuan Tuhanmu.
Sesungguhnya, Allah adalah Rabb dan Tuhanmu; kemudian setelah-Nya, Nabi-Nya, Muhammad, yang berkhutbah di hadapan kalian adalah mawlamu; kemudian setelahku, 'Ali adalah mawla kalian, sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Kemudian setelah dia, Imamah akan terus berlanjut melalui anak-keturunanku lewat keturunan 'Ali hingga hari kalian bertemu Allah dan Nabi-Nya.
"Ayyuhannas!" Renungkanlah al-Qur'an dan pahami ayat-ayatnya; renungkan ayat-ayat muhkamnya dan jangan kalian melangkah ke ayat-ayat mutasyabih, tidak ada satu pun dari kalian yang dapat menjelaskan peringatannya dan menguraikan kepadamu maksudnya kecuali orang ini ('Ali) yang tangannya aku angkat dihadapanku. Dan Aku berkata kepada kalian bahwa barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawlanya maka 'Ali adalah Mawlanya; dan dia 'Ali putra Abu Talib, saudaraku, wasiku; Wilayahnya telah diwajibkan oleh Allah, Sang Maha Kuasa, Maha Tinggi.

Para Imam yang lain secara singkat telah ditunjuk dalam khutbah ini. Dan mereka disebutkan secara panjang lebar dalam hadits-hadits yang lain.
Misalnya, pada satu kesempatan ditujukan kepada Imam Husain, Rasulullah Saw berkata: "Engkau adalah Imam, anak dari seorang Imam, saudara seorang Imam, sembilan dari keturunanmu akan menjadi Imam, yang kesembilan adalah Qaim mereka."
Bahkan seoarang pengamat sambil lalu tidak akan mengabaikan kenyataan ini, masalah ini adalah masalah yang amat-sangat penting bagi Islam dan atas hal ini mengapa Nabi Saw, di bawah perintah Tuhan, membuat seluruh persiapan untuk memenuhi tujuan ini. Menyampaikan kepada mereka pada hari yang sangat terik di bawah siraman matahari siang, beliau naik di atas mimbar untuk menyampaikan pengumuman penting ini.
Pertama-tama, beliau mengabarkan kepada hadirin akan kepergian beliau yang tidak lama lagi dan meminta mereka untuk menyaksikan bahwa beliau telah menjalankan tugas-tugasnya. Lalu beliau bertanya: "Apakah aku lebih memiliki wilayah atas diri kalian melebihi wilayah atas diri kalian sendiri?". Seluruh hadirin berseru bahwa beliau memiliki hak atas diri mereka melebihi hak mereka atas diri mereka sendiri. Nabi Saw berkata: "Barang siapa yang menjadikan aku Mawla, maka 'Ali adalah Mawlanya." Pada akhir khutbah, beliau memanjatkan doa untuk 'Ali, "Wahai Allah!" Cintailah orang yang mencintainya, dan musuhi orang yang bermusuhan dengannya; Bantulah orang yang menolongnya, dan tinggalkan orang yang meninggalkannya."
Ketika acara pelantikan selesai, ayat ini diturunkan, "...Hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai Islam itu jadi agama bagimu...."(Qs. al-Maidah:3)
Komunikasi Ilahi ini secara jelas menunjukkan bahwa karena penunjukan imamah 'Ali, agama telah disempurnakan, rahmat dan anugerah Ilahi dilengkapkan, dan Islam diterima oleh Allah Swt.
Atas kedatangan berita gembira dari firdaus ini, kaum Mukminin menyampaikan ucapan selamat kepada 'Ali di hadapan Nabi Saw dan banyak pujangga merangkai syair pada peristiwa bersejarah ini. Seluruh kenyataan ini tercatat dalam kitab-kitab sunnah sebagaimana akan terlihat pada halaman selanjutnya.



3
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

Hadits al-Ghadir: Hadits Mutawatir
Kutipan hadits-hadits di bawah ini (disadur dari kitab-kitab sahih Sunni) dari khutbah Nabi Saw yang disebutkan merupakan khutbah yang sangat penting:
"Kutinggalkan dua hal yang berharga kepada kalian, Kitabullâh dan Itrati, yang merupakan ahl al-Baitku. Mereka tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga mereka datang kepadaku di telaga Kautsar. Sesungguhnya Allah Swt adalah mawlaku dan aku adalah Mawla bagi kaum mukminin."
Lalu beliau mengambil tangan 'Ali dan berkata:
Barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawla, maka 'Ali adalah Mawlanya."
Dua hadits ini dianggap sebagai hadits Tsaqalain dan Wilâyah. Hadits-hadits ini secara terpisah dan bersamaan dinukil oleh ratusan ahli hadits.
Nawwab Siddiq Hasan Khan dari Bopal, berkata: "Al-Hakim Abu Sa'id berkata bahwa hadits "Tsaqalain" dan "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai Mawla, 'Ali adalah Mawla-nya" adalah hadits mutawatir (diriwiyatkan secara bersambung oleh banyak orang sehingga tidak ada orang yang akan ragu akan keasliannnya), karena sejumlah besar sahabat Nabi Saw telah meriwayatkan dua hadits ini.
Sedemikian rupa sehingga Muhammad bin Jarir telah menulis dua hadits ini melalui tujuh puluh lima sanad yang berbeda; dan ia telah menulis sebuah buku yang terpisah yang ia beri nama Kitabul Wilayah; dan al-Hafiz al-Tahibi juga telah menulis sebuah kitab yang lengkap yang di dalamnya mengandung asnad (banyak sanad) dan telah mengeluarkan fatwa bahwa hadits ini adalah hadits mutawatir; dan Abul 'Abbas bin Uqdah telah meriwayatkan hadits Ghadir Khum melalui seratus lima puluh mata rantai (sanad) dan telah menulis satu kitab lengkap tentangnya."
Ada beberapa penulis yang telah mencoba untuk melemparkan keraguan tentang keotentikan peristiwa Ghadir Khum ini.
Perlu disebutkan bahwa hadits ini adalah hadits mutawatir, dan almahrum Allamah al-Amini dalam volume pertama kitab monumentalnya al-Ghadir telah memberikan sumber-sumber rujukan dengan nama 110 sahabat ternama Nabi yang meriwayatkan hadits ini. Sebagai contoh, saya akan menghitung nama-nama yang diberikan dibawah hurup alif (hurup pertama Arab). (angka tahun dalam kurung menunjukkan tahun Hijriah)

1. Abu Laila al-Ansari (37)
2. Abu Zainab ibn 'Auf al-Ansari
3. Abu Fadlallah al-Ansari (38)
4. Abu Qudamah al-Ansari
5. Abu 'Amrah bin 'Amr bin Muhassin al-Ansari
6. Abu Haitam bin at-Taihan (37)
7. Abu Rafi' al-Qibti (seorang budak Nabi)
8. Abu Tuaib Khuawalid (atau Khalid) bin Khalid al-Hutali
9. Usamah bin Zaid bin Haritsah (54)
10. Ubai bin Ka'ab al-Ansari (30 atau 32)
11. Asad bin Zurarah al-Ansari
12. Asmaa bin Umays
13. Ummu Salameh (salah seorang istri Nabi Saw)
14. Ummu Hani bin Abi Talib
15. Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari
16. Abu Bakar bin Abi Quhafah
17. Abu Hurairah

Dan tidak kurang dari 84 Tabi'in (murid-murid sahabat) yang meriwayatkan hadits dari sahabat-sahabat Nabi Saw di atas.
Lagi, senarai di bawah hurup A diberikan di sini sebagai contoh:

1. Abu Rasyid al-Hubrani al-Sysyami
2. Abu Saamah bin 'Abdil Rahman bin Auf
3. Abu Sulaiman al-Muattin
4. Abu Salih as-Samman, Takwan al-Madani
5. Abu 'Unfawanh al-Mazشni
6. Abu 'Abdil Rahim al-Kindi
7. Abul Qasim, Asbagh bin Nubatah at-Tamimi
8. Abu Laila al-Kindi
9. Iyas bin Nudair

Para ahli hadits mencatat hadits ini dalam kitab-kitab mereka pada setiap kurun dan zaman. Sebagai contoh, nama-nama para penulis dan ulama mencatat dalam hadits ini pada abad ke dua Hijriah sebagai berikut:

1. Abu Muhammad, 'Amr bin Dinar al-Jumahi al-Makki (115)
2. Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah al-Quraisyi az-Zuhri (124)
3. Abdul Rahman bin Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar at-Taimi al-Madani (126)
4. Bakr bin Sawadeh bin Tumami, Abu Tumami al-Basri (128)
5. Abdullah bin Abi Najih, Yasar ats-Tsaqafi, Abu Yasar al-Makki (131)
6. Al-Hafid Mughirah bin Mukasim, Abu Hisyam ad-Dabbi al-Kufi (133)
7. Abu Abdul Rahim Khalid bin Zaid al-Jumahi al-Mesri (139)
8. Hasan bin Hakam an-Nakhai al-Kufi (circa 140)
9. Idris bin Yazid, Abu Abdillah al-'Awdi al-Kufi
10. Yahya bin Sa'id bin Hayyan at-Taimi al-Kufi
11. Al-Hafid Abdul Malik bin Abi Sulaiman al-Arzami al-Kufi (148)
12. 'Auf bin Abi Jamilah al-'Abdi al-Hajeri al-Basri (146)
13. 'Ubaidillah bin 'Umar bin Hafs bin 'Asim bin 'Umar ibnil Khattab al-'Adawi al-Madani (187)
14. Nu'aim bin Hakim al-Madaini (148)
15. Talha bin Yahya bin Talha bin 'Ubadillah at-Taimi al-Kufi (148)
16. Abu Muhammad Katsir bin Zaid al-Aslami (circa 150)
17. Al-Hafid Muhammad bin Ishaq al-Madani (151 atau 152)
18. Al-Hafiz Mua'mmar bin Rasyid, Abu 'Urwa al-Azdi al-Basri (153 atau 154)
19. Al-Hafiz Mis'ar bin Kidam bin Zahir al-Hilali ar-Rawasi al-Kufi (153 atau 154)
20. Abu 'Isa Hakam bin Aban al-'Adani (154 atau 155)
21. Abdillah bin Syawtab al-Balkhi al-Basri (157)
22. Al-Hafid Syu'bah bin al-Hajjaj, Abu Bistam al-Wasiti (160)
23. Al-Hafid Abul Alaa, Kamil bin al-'Alaa at-Tamimi al-Kufi (circa 160)
24. Al-Hafid Sufyan bin Sa'id ats-Tsauri, Abu 'Abdillah al-Kufi (161)
25. Al-Hafid Israil bin Yunus bin Abi Ishaq as-Sabi'I Abu Yusuf al-Kufi (165)
26. Ja'far bin Ziyad al-Kufi al-Ahmar (165 atau 167)
27. Muslim bin Salim an-Nadi, Abu Farwah al-Kufi
28. Al-Hafid Qais bin ar-Rabi', Abu Muhammad al-Asadi al-Kufi (165)
29. Al-Hafid Hammad bin Salamah, Abu Salamah al-Basri (167)
30. Al-Hafid Abdillah bin Lahi'ah, Abu Abdir Rahman al-Misri (174)
31. Al-Hafid Abu 'Uwanah al-Waddha bin 'Abdillah al-Yaskhuri al-Wasiti al-Bazzaz (175 atau 176)
32. Al-Qadi Syarik bin Abdillah, Abu 'Abdillah an-Nakhi al-Kufi (177)
33. Al-Hafid Abdillah (atau 'Ubaidillah) bin 'Ubaidirrahman (atau 'Abdul Rahman) al-Kufi, Abu Abdil Rahman al-Asyja'I (182)
34. Nuh bin Qais, Abu Rawh al-Huddani al-Basri (183)
35. Al-Muttalib bin Ziyad bin Abi Zuhair al-Kufi, Abu Talib (185)
36. Al-Qadi Hassan bin Ibrahim al-'Anazi, Abu Hasyim (186)
37. Al-Hafid Jarir bin Abdil Hamid, Abu 'Abdillah adz-Dzabbi al-Kufi ar-Razi (188)
38. Al-Fadl bin Musa, Abu 'Abdillah al-Marwazi as-Sinani (192)
39. Al-Hafid Muhammad bin Ja'far al-Madani al-Basri (193)
40. Al-Hafid Isma'il bin 'Uliyyah, Abu Bisyr bin Ibrahim al-Asadi (193)
41. Al-Hafid Muhammad bin Ibrahim, Abu 'Amr bin Abi 'Adiyy as-Sulami al-Basri (194)
42. Al-Hafid Muhammad bin Kazim, Abu Mu'awiyah at-Tamimi adz-Dzahir (195)
43. Al-Hafid Muhammad bin Fudail, Abu 'Abdil Rahman al-Kufi (195)
44. Al-Hafid Al-Waki' bin al-Jarrah ar-Ru'asi al-Kufi (196)
45. Al-Hafid Sufyan bin 'Uyainah, Abu Muhammad al-Hilali al-Kufi (198)
46. Al-Hafid Abdillah bin Numair, Abu Hisyam al-Hamadani al-Kharifi (199)
47. Al-Hafid Hanasy bin al-Harits bin Laqit an-Nakhi al-Kufi
48. Abu Muhammad Musa bin Ya'qub az-Zamaii' al-Madani
49. Al-'Alaa bin Salim al-'Attar al-Kufi
50. Al-Azraq bin 'Ali bin Muslim bin Hanafi, Abul Jahm al-Kufi
51. Hani bin Ayyub al-Hanafi al-Kufi
52. Fudail bin Marzuq al-Agharr ar-Rua'si al-Kufi (circa 160)
53. Abu Hamzah Sa'd bin 'Ubaidah as-Sulami al-Kufi
54. Musa bin Muslim al-Hizami asy-Syabani, Abu 'Isa al-Kufi
55. Ya'qub bin Ja'far bin Abi Katsir al-Ansari al-Madani
56. Utsman bin Sa'ad bin Murrah al-Quraisyi, Abu 'Abdillah (Abu 'Ali) Al-Kufi.

Kemudian, hadits ini berlanjut diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap zaman sehingga tergolong mutawatir.
Bersumber dari beberapa ulama dan penulis yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab hadits mereka, cukup untuk disebutkan bahwa al-'Allamah al-Amini mencatat 360 nama-nama ulama pada abad ke-14.
Beberapa orang telah mencoba untuk melemparkan keraguan akan asnad hadits ini. Karena setiap pelajar hadits tahu, jika sebuah hadits bersifat mutawatir, tidak perlu untuk melihat kepada asnad itu sendiri sama sekali.
Kemudian, untuk menunjukkan kepalsuan tuduhan ini, saya ingin memberikan pendapat-pendapat beberapa ahli hadits yang terkenal.

Asnad Hadits Al-Ghadir
1. Al-Hafid Abu 'Isa al-Tirmidzi (wafat 279 H) berkata dalam Sahih-nya (salah satu dari kitab Sahih al-Sittah) bahwa: "Hadits ini adalah termasuk hadits hasan dan sahih."

2. Al-Hafid Abu Ja'far al-Tahawi (wafat 321 H) berkata dalam Musyikul Athar bahwa: "Hadits ini adalah termasuk hadits sahih sesuai dengan mata rantai periwayatnya (sanad) dan tidak ada satu orang pun yang berkata berseberangan dengan periwayatnya."

3. Abu Abdillah al-Hakim al-Nisaburi (wafat 405 H.) meriwayatkan hadits ini berasal dari beberapa sanad dalam al-Mustadrak-nya dan menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits sahih.

4. Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad al-'Asemi berkata: Hadits ini diterima oleh umat dan dengan prinsip-prinsip.

Demikian juga, para ahli hadits di bawah ini (kurang lebih seratus jumlahnya) telah mengutip bahwa hadits ini termasuk hadits sahih:
1. Abu 'Abdillah al-Mahmali al-Baghadadi dalam kitab al-'Amali-nya
2. Ibn 'Abdil Barr al-Qurtubi dalam kitab al-Istii'âb
3. Ibnil Maghazali al-Syafi'i dalam kitab al-Manâqib
4. Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Sirrul 'Alamain
5. Abul Faraj bin al-Jawzi dalam kitab al-Manâqib
6. Sibt bin al-Jawzi dalam kitab Tadzkiratul Khawassil Ummah
7. Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili dalam Syarh Nahjul Balâgha
8. Abu Abdillah al-Ganji al-Syafi'i dalam Kifayatul Tâlib
9. Abul Makarim 'Alaud Din al-Simnani dalam al-'Urwatul Wutsqa
10. Ibn Hajar al-'Asqalani dalam Tahdzibul Tahdzib
11. Ibn Kahir al-Damasyq dalam Târikh
12. Jalaluddin as-Suyuti
13. Al-Qastalani dalam al-Mawahibul Ladunniyyah
14. Ibn Hajar al-Makki dalam al-Sawa'iqul al-Muhriqah
15. Abdul Haqq al-Dehlawi dalam Syarhul Misyqat; dan banyak yang lain.

Harus diperhatikan bahwa seluruh nama yang disebutkan di atas adalah para ulama Sunni; dan dalam madzhab Sunni, hadits yang disebut sahih bilamana hadits tersebut secara bersambung diriwayatkan oleh orang-orang adil yang memiliki hafalan yang kuat, tidak memiliki kekurangan, dan tidak bersifat syatt (tidak biasa).
Jika keutamaan di atas ditemukan dalam asnad sebuah hadits namun hafalan satu atau lebih perawinya, derajatnya di bawah sahih, hadits ini disebut hadits hasan yaitu hadits yang baik.
Jadi, ketika para ulama Sunni berkata bahwa perawi hadits memandang hadits al-Ghadir adalah hadits sahih, mereka bermaksud bahwa perawinya adalah orang adil, (mereka tidak memiliki kecacatan dalam amal dan akidah), dan hadits ini tidak memiliki kecacatan dan tidak syatt.

Pengertian Umum Mawla
Karena Ahli Sunnah tidak dapat mengingkari keaslian hadits al-Ghadir, mereka mencoba untuk mengecilkan signifikansinya bahwa kata "mawla" dalam hadits ini bermakna "sahabat", dan bahwa Rasulullah Saw ingin menyampaikan, "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai sahabatnya, maka 'Ali adalah sahabatnya."
Masalahnya adalah bahwa bukan seorang yang hadir di Ghadir Khum yang menangkap makna yang dimaksud. Hassan bin Tsabit, pujangga terkenal Nabi Saw merangkai sebuah syair dan membacanya di hadapan hadirin ketika itu, ia berkata:
"Sehingga Dia (Nabi) berkata kepadanya ('Ali): "Bangkitlah wahai 'Ali! Karena aku senang menjadikan engkau sebagai Imam dan Hadi (Penunjuk Jalan) setelahku."
'Umar bin Khattab menyampaikan ucapan selamat kepada 'Ali dengan kalimat seperti ini,
"Selamat kepadamu, wahai putra Abi Talib, karena hari ini engkau telah menjadi mawla bagi seluruh kaum Mukmin dan Mukminah."
Jika mawla berarti "sahabat" lalu mengapa ada ucapan selamat? Apakah 'Ali adalah "musuh" seluruh kaum mukmin dan mukminah sebelum hari itu, sehingga 'Umar berkata bahwa "karena pada hari ini, engkau telah menjadi sahabat bagi kaum Mukmin dan Mukminah?
Imam 'Ali sendiri menulis surat kepada Mu'awiyah, "...dan Rasulullah Saw menganugerahkan wilayah kepadaku atas kalian pada hari Ghadir Khum."
Juga, terdapat banyak sahabat Nabi yang menggunakan kata "mawla" dalam syair-syair mereka berkenaan dengan al-Ghadir Khum dengan arti "Tuan".
Tidak terbilang mufassir al-Quran, ahli tata-bahasa Arab menafsirkan kata "mawla" sebagai "awla" yang berarti "lebih berharga, lebih layak, lebih pantas, lebih patut...dan sebagainya."
Senarai nama-nama ulama di bawah ini dapat dinukil bahwa mereka menafsirkan mawla sebagai awla.
1. Ibn 'Abbâs (dalam tafsirnya, pada al-Durrul Mantsur, vol. V, hal. 355)
2. Al-Kalbi (sebagaimana dinukil dalam Tafsir 'l al-Kabir Fakhruddin Râzi, vol. XXVI, hal. 227, al-Alusi, Ruhul Ma'ani, vol. XXVI, hal. 178).
3. Al-Farra (al-Râzi, Ibid; al-Alusii, Ibid.)
4. Abu 'Ubaidah Mu'ammar ibn Mutsanna Al-Basri (Al-Râzi, Ibid; dan Asy-Syarif Al-Jurjani, Syarhul Mawafiq, vol III, hal. 271)
5. Al-Akhfasy Al-Awsat (pada Nihayatul 'Uqal)
6. Al-Bukhari (pada Sahih, vol. VII, hal. 240)
7. Ibn-Qutaibah (pada al-Qurtain, vol. II, hal. 164)
8. Abul 'Abbas Tâ'lab (pada Syarhul Sab'ah Al Mu'alliqah Al Zuzani)
9. At-Tabari (pada Tafsir-nya, Vol. IX, hal. 117)
10. Al-Wakhidi (pada al-Wasit)
11. At-Ta'labi (pada al-Kasyf wal Bayan)
12. Az-Zamakhsyari (pada al-Kasysyaf, vol. II, hal. 435)
13. Al-Baidawi (dalam Tafsir-nya, vol. II, hal. 497)
14. An-Nasafi (dalam Tafsir-nya, vol. IV, hal. 229)
15. Al-Khazin al-Baghdadi (dalam Tafsir-nya, vol. IV, hal. 229)
16. Muhibbiddin Afandi(dalam Tanzillul Ayat).

Arti "Mawla Dalam Konteks Hadits"
Sekarang mari kita mengkaji apa arti yang dapat dijadikan rujukan dari konteks hadits ini. Jika sebuah kata memiliki lebih dari satu arti, cara yang terbaik untuk memahami kandungan hakikinya adalah melihat kepada qarinah (asosiasi) dan konteksnya.
Dalam hadits ini terdapat beberapa jumlah asosiasi yang secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya arti yang sesuai dengan keadaan ketika itu adalah "junjungan". Beberapa asosiasi dan konteks ini adalah sebagai berikut:

Pertama, Pertanyaan yang diajukan oleh Nabi kepada para hadirin sebelum deklarasi ini; beliau bertanya kepada para hadirin "Apakah aku lebih memiliki awla atas diri kalian melebihi awla atas diri kalian sendiri?" Mereka menjawab: "Iya, tentu saja" lalu setelah mendengarkan jawaban mereka ini, Rasulullah mengumumkan bahwa:
"Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka 'Ali adalah mawlanya."
Tanpa ragu, kata "mawla" dalam deklarasi ini memiliki makna yang sama dengan (awla bikum) (lebih memiliki wilayah atas diri kalian) yang terdapat dalam pertanyaan ini. Setidaknya ada 64 muhaddits (ahli hadits) Sunni yang menukil pertanyaan Nabi Saw ini; di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa'i dan at-Tirmidzi.

Kedua, Doa yang dilantunkan oleh Nabi Saw sebelum deklarasi ini:
"Allahumma!" Cintailah orang yang mencintai 'Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya."
Doa ini menunjukkan bahwa 'Ali As, pada hari tersebut, dipercayakan sebuah tanggung-jawab yang, secara tabiat, akan membuat beberapa orang tidak dapat menerima (dan bahwa tanggung jawab ini tidak lain adalah sebuah kekuasaan); dan dalam menunaikan tanggung jawab ini ia akan memerlukan penolong dan pendukung.
Apakah penolong diperlukan untuk menunaikan sebuah "persahabatan"?

Ketiga, Deklarasi Nabi Saw yang menyatakan bahwa: "Tampaknya jelas bahwa aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan itu."
Pernyataan Nabi ini secara jelas menunjukkan bahwa ia sedang merancang kepemimpinan kaum muslimin selepas kepergian beliau.

Keempat, Ucapan-ucapan selamat para sahabat dan ungkapan kegembiraan mereka tidak menyisakan keraguan kepada kita tentang makna deklarasi ini.

Kelima, Keadaan, waktu dan tempat.
Bayangkan, Nabi Saw menghentikan perjalanannya di siang hari dan meminta kurang lebih seratus ribu musafir di bawah terik matahari yang menyengat di atas gurun sahara, membuat mereka duduk di atas pasir yang membakar, dan membuat pelana-pelana unta menjadi sebuah mimbar.
Lalu bayangkan beliau menyampaikan ceramah yang panjang dan pada akhirnya dengan segala persiapan yang disebutkan di atas, pada akhir ceramah beliau membuat pengumuman bahwa: "Barang siapa yang mencintai aku ia harus mencintai 'Ali, atau "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai sahabatnya, maka 'Ali adalah sahabatnya."
Apakah logika seperti ini dapat di terima oleh akal sehat? Tentu saja tidak, namun beberapa orang siap menuding Nabi Saw berlaku seperti anak kecil.

'Ali As Adalah "Diri" Rasulullah Saw
Ada banyak ayat yang memberi isyarat kepada khalifah 'Ali bin Abi Talib. Tidak mungkin untuk menyebutkan seluruhnya di sini. Tetapi peristiwa "mubahala" (saling mengutuk) yang terjadi pada tahun ke sembilan Hijrah harus mendapat perhatian kita.
Pada tahun kesembilan Hijriah, sebuah utusan yang terdiri dari empat belas orang Nasrani dari Najran datang untuk berjumpa dengan Nabi Saw. Ketika mereka berjumpa dengan Nabi Saw, mereka bertanya: "Bagaimana pendapatmu tentang Nabi 'Isa?" Nabi Saw berkata: "Anda Silahkan istirahat hari ini dan Anda akan segera mendapatkan jawaban pertanyaan Anda nanti."
Pada hari berikutnya, tiga ayat dari surat an-Nisa' tentang Nabi Isa diwahyukan kepada Nabi Saw. Ketika para ulama Nasrani itu tidak menerima firman Allah Swt dan bersikeras terhadap apa yang mereka yakini, Nabi Saw membacakan ayat ini, "Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya: "Marilah kita memanggil anak-anak kami, dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah bermubahala kepada Allah dan mita supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta." (Qs. Ali Imran:61).
Pada hari ketiga, para ulama Nasrani itu berdiri pada satu tempat, dan pada tempat lainnya, Rasulullah Saw keluar dari kediaman beliau kemudian, Husain dan Hasan berjalan di sampingnya memegang tangan beliau. Di belakang beliau ada Fatimah (putri Nabi Saw), dan di belakang Fatimah, 'Ali berdiri.
Ketika para ulama Nasrani itu melihat kelima orang kudus ini, mereka menarik diri dari mubahala ini dan mengajukan sebuah perjanjian kepada Nabi Saw.
Pada ayat suci Ilahi ini, menurut Jabir bin Abdillah al-Ansari, kata "anak-anak" merujuk kepada Imam Hasan dan Imam Husain, kata "wanita-wanita" merujuk kepada Fâtimah az-Zahra, dan kata "diri kami" merujuk kepada Rasulullah Saw dan 'Ali As. Maka, 'Ali bin Abi Talib sesuai dengan ayat mubahalah ini disebut sebagai "diri" Rasulullah Saw.
Juga hal ini berarti bahwa tidak sah untuk menganggap 'Ali lebih utama dari Nabi Saw atau sebaliknya (menggantikan 'Ali) - ia merupakan bagian dari diri Nabi Saw sesuai firman Allah Swt ini. Bila ada orang yang menduga untuk menggantikan 'Ali hakikatnya menduga menggantikan Nabi Saw.

Sunnah
Setelah deklarasi al-Ghadir, sejatinya kita tidak perlu lagi bukti-bukti yang menegaskan kekhalifaan 'Ali bin Abi Tâlib As. Namun, masih relevan jika kita menukil beberapa hadits dalam masalah ini. Dalam hadits Tsaqalain, Nabi Saw bersabda:
"Aku tinggalkan tsaqalain (dua hal yang berat) kepada kalian - Kitabullah dan Itrahti (Ahl al-Baitku). Kalian tidak akan tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh kepadanya. Karena keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga kelak kalian menjumpaiku di telaga Kautsar."
Kini, diakui bahwa 'Ali As bukan sekedar salah seorang Ahl al-Bait Nabi akan tetapi dia adalah kepala Ahl al-Bait Nabi Saw. Oleh karena itu, kewajiban untuk taat dan tunduk kepadanya terbukti dari hadits sahih dan universal ini.
Kemudian, ada juga hadits yang disebut sebagai hadits al-Manzilah (hadits kedudukan). Dalam ekspedisi Tabuk (pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah) Nabi Saw meninggalkan jabatan kepada 'Ali sebagai pengganti Nabi di Madinah selama kepergian beliau. 'Ali berseru dengan sedih: "Apakah engkau akan meninggalkan aku di belakang?" Nabi Saw berkata: "Wahai 'Ali! Apakah engkau tidak rida bahwa engkau bagiku ibarat Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?"
Dengan demikian, Nabi Saw bermaksud bahwa sebagaimana Musa yang meninggalkan Harun untuk mengurus umatnya selama kepergiannya untuk menerima perintah, dengan jalan yang sama 'Ali ditinggalkan sebagai deputi (wakil) Nabi untuk mengurus urusan umat Islam selama kepergian beliau.
Lalu ada peristiwa penyampaian ayat-ayat surat al-Barâ'ah kepada penduduk Makkah. Pertama kali, Abu Bakar yang diutus untuk mengumumkan ayat-ayat ini di hadapan kaum kuffar. Kemudian, Nabi Saw mengutus 'Ali untuk mengambil surat tersebut dari Abu Bakar dan menugaskannya untuk mengumumkan di Makkah. Abu Bakar kembali dari perjalanannya ke Madinah dan bertanya kepada Nabi ihwal penggantian ini, apakah ada ayat dari surat tersebut atau perintah yang datang dari Allah yang mencegahnya untuk mengumumkan surat ini. Nabi Saw berkata: "Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa tidak ada seorang pun yang harus mengirim pesan ini kecuali aku sendiri atau orang yang berasal dariku."
Prinsip utama yang jelas disampaikan oleh Nabi dalam deklarasi-deklarasi ini juga dapat dijumpai dalam hadits-hadits yang diterima oleh seluruh madzhab. Hadits yang menyatakan bahwa: "Ali bersama haq, dan haq bersama 'Ali."
Hadits yang lain adalah hadits Nur. Sayyid al-Hamadani menulis dalam Mawaddatul Qurba, yang dinukilnya dari Salman al-Farsi, bahwa Nabi Saw bersabda: "Aku dan 'Ali diciptakan dari nur yang satu, empat ribu tahun sebelum Adam diciptakan, dan ketika Adam diciptakan, Nur tersebut diletakkan di punggung Adam. Sehingga kami berdua mendiami tempat yang sama hingga kami dipisahkan melalui punggung Abdul Muttalib. Oleh karena itu dalam diriku kenabian dan pada diri 'Ali kekhalifaan.
Dalam kitab Riyadul Fadail, akhir kata dari hadits di atas tertulis sebagai berikut: "Lalu Dia (Allah) menjadikan aku sebagai Nabi dan 'Ali sebagai wasi (khalifah).

Ulul 'Amr Harus Ma'sum
Allah Swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian." (QS.an-Nisa:59)
Ayat ini mewajibkan kepada seluruh kaum Muslimin kepada dua ketaatan: pertama, ketaatan kepada Allah, ketaatan kepada Nabi dan "yang memegang kekuasaan di antara kalian (Ulil Amri minkum)." Susunan kalimat dari ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada 'Ulil Amr setara dan sebanding dengan ketaatan kepada Nabi.
Secara wajar, hal ini berarti bahwa Ulil Amr harus memiliki kapabilitas, kapasitas yang sama dengan Nabi; kalau tidak Allah Swt tidak akan menyandingkannya bersama dalam ayat ini.
Sebelum memutuskan siapakah Ulul Amr, akan sangat membantu jika kita melihat terlebih dahulu perintah untuk taat kepada Nabi Saw, untuk menunjukkan betapa inklusifnya dan meliputinya perintah ini dan betapa agungnya otoritas (wilayah) Rasulullah. Allah berfirman dalam Kitab Suci-Nya, "Dan Kami tidak mengutus setiap Nabi kepada kalian kecuali untuk ditaati dengan izin Allah." (Qs. al An'am:64).
Para nabi dan rasul seyogyanya ditaati dan diikuti; para pengikut tidak diminta untuk mengamati setiap perbuatan dan amalan Nabi untuk memutuskan apa yang harus ditaati dan yang harus dibantah. Jelasnya, hal ini menunjukkan bahwa para nabi dan rasul adalah insan yang terbebas dari dosa dan salah (ma'sum); kalau tidak Allah Swt tidak akan memerintahkan orang-orang untuk taat kepada para nabi tanpa syarat.
Terdapat beberapa ayat di mana Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mentaati Nabi, "Wahai orang-orang yang beriman!" Taatlah kepada Allah dan kepada Rasul."
Dan juga Allah berfirman, "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya...." dan dalam surat yang sama, Allah berfirman, "Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah." (Qs. an-Nisa:80) Dalam beberapa surat yang disebutkan di atas, sebanyak ayat-ayat yang lain yang disebutkan dalam al-Qur'an, ketaatan kepada Allah adalah setara dan seimbang dengan ketaatan kepada para nabi. Penegasan ini tidak akan mungkin berlaku jika para nabi bukan orang yang ma'sum.
Kini, mari kita simak ayat berikut ini, " ...dan janganlah kalian mentaati mereka dari golongan pendosa atau kafir ..." gambarannya makin sempurna.
Para nabi adalah untuk ditaati; dan para pendosa tidak patut ditaati. Satu-satunya kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa para nabi bukanlah orang-orang yang berdosa atau pelaku maksiat. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang ma'sum (suci dari dosa).
Coba bayangkan situasi musykil apa yang akan terjadi jika setiap nabi menyeru kepada para pengikutnya untuk melakukan dosa atau kesalahan.Para pengikut malang ini, bagaimanapun juga akan tetap dilaknat karena bermaksiat kepada Allah. Jika mereka mentaati nabi dan melakukan sebuah dosa berarti mereka membantah perintah yang diberikan oleh Allah dan oleh karena itu mereka dilaknat. Jika pada satu sisi mereka membangkang kepada Nabi, mereka tergolong orang yang membangkang perintah Allah Swt. Jadi, rupanya bahwa seorang nabi yang tidak ma'sum tidak akan membawa kepada keselamatan kecuali laknat dan kutukan bagi umatnya.
Mari kita lihat secara seksama kepada Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, "...Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.."(Qs. al-Hasyr:7) hal ini menandakan bahwa izin atau larangan Nabi Saw adalah selalu selaras dengan kehendak Allah Swt dan senantiasa diistimewakan oleh-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Saw adalah orang yang ma'sum. Tidak seorang pun yang akan percaya dan yakin tentang perintah-perintah dari orang yang bukan ma'sum.
Ada ayat yang lain yang menyatakan bahwa, "Jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu dan memafkan segala dosa-dosamu." (Qs. Ali Imran:31)
Di sini, kecintaan kepada Allah dibuat bergantung kepada kecintaan kepada Nabi Saw. Kedua sisi dari cinta ini termasuk di dalamnya.
Jika kalian mencintai Allah ikutilah Nabi Saw; jika kalian mencintai Nabi Saw, Allah akan mencintai kalian. Tidakkah kenyataan ini menunjukkan bahwa Nabi Saw bebas secara mutlak dari segala jenis dosa dan kesalahan?
Tidak hanya dalam bentuk perbuatan, bahkan kata-kata sang Nabi merupakan perintah dari Allah. Allah berfirman dalam al-Qur'an, "Dan tiadalah yang diucapakannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (Qs. an-Najm:3-4)
Pada ayat ini kita jumpai derajat tertinggi kema'suman yang dapat dibayangkan.
Sebagai tambahan dari apa yang telah dibahas sebelumnya, ada beberapa ayat yang di dalamnya menggunakan redaksi berikut ini,
"...dan seorang nabi yang berasal dari kalian sendiri, yang membacakan ayat-ayat kepada mereka, dan menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah." Bagaimana seorang nabi mensucikan orang lain dari dosa-dosa dan nista jika ia sendiri tidak suci (naudzubillah)? Bagaimana mungkin seseorang mengajarkan hikmah kepada orang lain jika ia tidak memiliki hikmah untuk membedakan yang baik dan benar; atau yang paling buruk, jika ia tidak memiliki kekuatan-diri untuk berhadapan dengan kemaksiatan?
Nabi mengajarkan Kitabullâh kepada manusia; hal ini berarti bahwa beliau mengetahui perintah-perintah Allah. Nabi mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka hikmah, menandakan bahwa Nabi memiliki hikmah dan kesucian untuk dirinya sendiri.
Simaklah kesempurnaan sifat Nabi yang dapat kita jumpai dalam al-Qur'an yang menyebutkan bahwa, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (Qs. al-Qalam:4) Seorang insan yang melakukan kesalahan tidak pantas dan patut untuk mendapatkan pujian sedemikian tinggi dan agung seperti ini.

Keseluruhan dari ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas dua hal:

1. Otoritas Nabi Saw atas orang-orang Mukmin tidak terbatas dan paripurna. Setiap dustur yang diberikan oleh Nabi, dalam setiap situasi, tempat, waktu harus ditaati tanpa syarat.

2. Otoritas agung ini diberikan kepadanya karena beliau adalah orang ma'sum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Tanpa ini, Allah Swt tidak akan memerintahkan kepada kita untuk mentaatinya tanpa syarat.
Dalam ayat, Ulul Amri, juga telah diberikan otoritas yang sama di atas seluruh kaum Muslimin, karena kedua kata "Nabi" dan "Ulul Amr" telah disebutkan secara bersamaan di bawah satu kata, ('atiuu); yang menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulul Amr memiliki kedudukan yang setara dengan ketaatan kepada Nabi Saw.
Amirul Mukminin, 'Ali As, berkata, "Orang yang tidak taat kepada Allah tidak wajib ditaati, dan sesungguhnya ketaatan hanya kepada Allah dan Nabi-Nya dan Ulul Amr. Sesungguhnya, Allah memerintahkan (orang-orang) untuk taat kepada Nabi karena beliau adalah insan ma'sum dan suci, yang tidak akan berkata kepada umat supaya membangkang kepada Allah, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada manusia untuk taat kepada Ulul Amr karena mereka adalah orang-orang yang terbebas dari dosa dan suci, tidak akan berkata kepada manusia supaya mereka menentang perintah Allah.

Ulul Amr, Tidak Bermakna Penguasa-Penguasa Muslim
Banyak saudara-saudara kita dari madzhab Sunni cenderung menafsirkan Ulil Amr sebagai "penguasa di antara kalian", yaitu penguasa kaum Muslimin. Penafsiran ini tidak bersandar kepada logika akal-sehat; mereka semata bersandar kepada daur sejarah.
Mayoritas kaum Muslimin masih berkutat sebagai sebuah budak kaum monarki dan penguasa, menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan al-Qur'an sesuai dengan selera penguasa.
Sejarah kaum Muslimin (seperti sejarah-sejarah bangsa lain) dipenuhi dengan nama penguasa yang nota-bene zalim, pelaku maksiat, dan tiranik yang telah menodai citra kudus Islam. Pembahasan ini akan dipaparkan lebih jauh pada akhir bagian tulisan ini.
Penguasa-penguasa ini senantiasa dan akan selalu, berkata kepada kita bahwa mereka adalah Ulul Amr yang disebutkan dalam ayat ini.
Jika Allah Swt memerintahkan kita untuk mentaati raja-raja dan penguasa-penguasa seperti ini, keadaan yang mustahil akan tercipta bagi kaum Muslimin. Pengikut-pengikut sial ini akan dikecam karena telah mencari kemurkaan Allah, terlepas dari apa yang mereka lakukan. Jika mereka mentaati penguasa-penguasa ini, mereka telah membangkang perintah Allah, "Janganlah kalian mentaati seorang pendosa", dan jika mereka membantah kepada penguasa-penguasa tersebut, mereka tetap membantah perintah Allah untuk taat kepada penguasa Muslim."
Jadi jika kita terima penafsiran ini, kaum Muslimin dilaknat dengan kemurkaan abadi baik mereka mentaati atau membantah penguasa yang bukan ma'sum tersebut.
Juga, ada penguasa Muslim yang berbeda akidah dan madzhabnya. Ada madzhab Syafi'i, Wahabi, Maliki, Hanafi, serta Syi'ah dan Ibadis. Sekarang, sesuai dengan penafsiran Ahli Sunnah yang berada di bawah seorang Ibadi Sultan (seperti di Oman) harus mengikuti ajaran madzhab Ibadi; dan mereka yang berada di bawah kekuasaan seorang Syiah (seperti di Iran) harus mengikuti ajaran madzhab Syiah.
Apakah orang-orang ini memiliki keberanian untuk mengikuti interpretasi ini hingga akhir penalaran logisnya?
Mufassir populer Sunni, Fakhruddin Razi, menyimpulkan dalam Tafsir Kabir-nya bahwa ayat ini membuktikan bahwa Ulil Amr itu harus ma'sum. Ia berargumen bahwa Allah memerintahkan manusia untuk mentaati Ulil Amr secara mutlak; oleh karena itu, ma'sum bagi Ulul Amr adalah suatu hal yang niscaya. Karena jika ada kemungkinan bagi Ulul Amr melakukan kesalahan atau dosa, hal ini berarti bahwa seseorang harus mentaatinya dan juga membantahnya dalam perbuatannya., dan hal ini tentu saja mustahil terjadi. Lalu, untuk membujuk para pembacanya dari kalangan Ahl al-Bait, ia menciptakan teori bahwa kaum Muslimin secara keseluruhan adalah ma'sum. Penafsiran ini termasuk penafsiran unik, karena tidak ada satu pun ulama yang menganut teori ini dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam hadits-hadits. Yang mengejutkan adalah bahwa al-Razi menerimam bahwa setiap Muslim bukan orang ma'sum, namun ia masih saja mengklaim bahwa mereka secara keseluruhan adalah ma'sum. Bahkan anak sekolah dasar sekali pun tahu bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi hasilnya adalah 400 ekor sapi bukan seekor kuda.
Namun, al-Razi mengatakan bahwa 70 juta non-ma'sum ditambah 70 juta non-ma'sum akan menghasilkan seorang ma'sum. Tidakkah ia ingin kita percaya bahwa jika seluruh pasien rumah sakit jiwa bergabung bersama menghasilkan seorang yang waras?
Pujangga bangsa Timur, Iqbal Lahore bersajak,

"Otak dua ratus keledai tidak akan
menuai pikiran seorang manusia."

Jelasnya, dengan ilmunya yang hebat ia mampu menyimpulkan bahwa Ulul Amradalah harus seorang yang ma'sum; namun karena prasangkanya, yang memaksanya untuk berkata bahwa kaum muslimin secara kesulurahan adalah ma'sum.
Juga, ia tidak jeda sejenak untuk melihat bahwa ayat ini memuat kata "minkum" (dari kalian) yang menunjukkan bahwa Ulul Amr yang dimaksud seharusnya berasal dari bagian umat Muslimin, bukan secara kesuluruhan, dan jika sekiranya seluruh kaum Muslimin harus ditaati, maka siapa lagi yang tersisa untuk ditaati?

Arti Sesungguhnya Ulul Amr
Kini kita kembali kepada penafsiran yang benar berkenaan dengan ayat di atas.
Imam Ja'far Sâdiq As berkata bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan 'Ali bin Abi Tâlib, Hasan dan Husain As.
Setelah mendengar hadits dari Imam Ja'far ini, seseorang bertanya kepada Imam: "Orang-orang berkata, "Mengapa Allah tidak menyebutkan nama 'Ali dan keluarganya dalam kitab-Nya?".
Imam menjawab: "Katakan kepada mereka bahwa di dalam al-Qur'an terdapat perintah salat, namun Allah Swt tidak menyebutkan berapa rakaa't yang harus dikerjakan; Rasulullahlah yang menjelaskan seluruh permasalahan yang ada dengan seksama, dan perintah zakat diturunkan, akan tetapi Allah tidak menyebutkan zakat dalam setiap empat puluh dirham; Nabilah yang menjelaskan semua ini; dan ketika haji diperintahkan, Allah tidak menyebutkan perintah untuk mengerjakan tawaf tujuh kali - Nabilah yang menjelaskan semua ini. Demikian juga, ayat - taati Allah, dan taati Rasulullah dan Ulil Amri di antara kalian," berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain As.
Dalam Kitab Kifayatul Athar, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdilah al-Ansari, yang berisikan penjelasan ayat ini.
Ketika ayat ini diwahyukan, Jabir berkata kepada Nabi Saw: Kami tahu bahwa Allah dan Rasul yang dimaksud dalam ayat ini, tapi siapakah Ulil Amri yang ketaatan kepadanya telah digabungkan bersama ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya?" Nabi Saw berkata: "Mereka adalah khalifahku dan imam setelahku. Pertama adalah 'Ali, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian 'Ali putra Husain, kemudian Muhammad bin 'Ali, yang telah disebutkan sebagai al-Baqir dalam Kitab Taurat. Wahai Jabir! Engkau akan bersua dengannya. Bilamana engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku untuknya. Ia akan digantikan oleh putranya Ja'far Sadiq, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian 'Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin 'Ali, kemudian 'Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin 'Ali. Ia akan digantikan oleh anaknya yang namanya dan gelarnya (laqab) sama denganku. Ia akan menjadi Hujjatullah di muka bumi, dan Baqiyatullah di antara manusia. Ia akan menaklukkan dunia yang terbentang dari timur ke barat. Sekian lama ia akan gaib dari pandangan mata para pengikutnya yang keimanan kepadanya akan tinggal hanya dalam kalbu orang yang telah diuji oleh Allah dengan keimanan.
Jabir berkata: "Wahai Rasulullah!" Akankah para pengikutnya akan mendapat manfaat dari masa gaibnya?"
Nabi Saw berkata: "Iya. Demi Dia yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan dibimbing dengan cahayanya, dan manfaat dari wilayah semasa masa gaibnya, sebagaimana orang-orang mendapatkan manfaat dari sinar matahari ketika berada dibalik mega-mega. Wahai Jabir! Hal ini adalah rahasia dari Allah dan khazanah ilmunya.
Jadi jagalah berita ini selain dari orang-orang yang layak mengatahuinya."
Hadits ini telah dikutip oleh kitab-kitab Syi'ah. Hadits-hadits Sunni tidak mengutip hadits ini secara detail; namun banyak muhaddits (ahli hadits) Sunni yang merujuk kepada Itsna Asyarah Imam. Sebagaimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dari buku ini.
Kini kita ketahui siapa "Ulil Amri", jelas bahwa pertanyaan tentang mentaati para tiran dan penguasa-penguasa zalim tidak relevan sama sekali. Kaum Muslimin tidak diminta oleh ayat ini untuk mentaati penguasa-penguasa zalim, tiranik, jahil, ananiyah, dan yang tenggelam dalam maksiat. Ayat ini hakikatnya memerintahkan mereka untuk mentaati kedua belas Imam yang telah dijelaskan, mereka semuanya adalah insan-insan suci dari dosa dan salah serta terbebas dari amal dan pikiran jahat.
Mentaati mereka tidak memiliki resiko, potensi azab sama sekali. Tidak, bahkan ketaataan kepada mereka melindungi dari segala macam resiko, karena mereka tidak akan pernah memerintahkan manusia untuk menentang kehendak Allah dan para Imam tersebut memperlakukan manusia dengan cinta, keadilan dan kesetaraan.

Dua Belas Khalifah atau Dua Belas Imam?
Kini, ada baiknya kita merujuk kepada beberapa bagian dari bagian ke 77 Yanabi'ul Mawaddah milik al-Hafid Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi.
Sebuah hadits yang populer telah dinukil dalam kitab ini bahwa: "Akan ada dua belas khalifah, seluruhnya berasal dari bangsa Quraisy," hadits ini dimuat dalam banyak kitab-kitab termasuk al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan al-Tirmidzi.
Penyusun kitab Yanabi'ul Mawaddah menukil banyak hadits yang berisikan sabda Nabi yang menyatakan bahwa: "Aku, Ali, Hasan, Husain dan sembilan keturunan dari Husain adalah insan yang suci dan ma'sum.
Ia juga mengutip bahwa Nabi Saw berkata kepada Imam Husain: "Engkau adalah seorang pemimpin, saudaramu adalah seorang pemimpin. Engkau adalah Imam, anak Imam, saudara Imam. Engkau adalah hujjatullah, anak dari hujjatullah, saudara hujjatullah, dan ayah dari sembilan hujjat. Yang kesembilan adalah al-Mahdi."
Setelah mengutip banyak hadits yang serupa, ia menulis: "Beberapa ulama berkata bahwa hadits-hadits ini (yang menunjukkan bahwa khalifah sepeninggal Nabi berjumlah dua belas) adalah termasuk hadits masyhur, bersumber dari berbagai sanad (asnad). Kini, dengan berlalunya waktu dan peristiwa-peristiwa bersejarah, kita ketahui bahwa dalam hadits ini Nabi Saw telah merujuk kepada kedua belas Imam dari Ahl al-Baitnya dan keturunannya, karena:
" Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada empat khalifah dari sahabat-sahabatnya, karena jumlah mereka kurang dari dua belas.
" Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada para khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, karena (a) jumlah mereka lebih dari dua belas; (b) seluruh khalifah dari Bani Umayyah adalah orang-orang zalim dan tiran (kecuali 'Umar bin Abdul 'Aziz); dan (c) mereka tidak berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits bahwa: "Seluruh khalifah berasal dari Bani Hasyim..."
" Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada para khalifah Dinasti Abbasiyah karena; (a) jumlah mereka lebih dari dua belas; dan (b) mereka tidak memenuhi (tuntutan) ayat: "Katakanlah: Aku tidak memintah upah dari kalian kecuali kecintaan (mawaddah) kepada keluargaku (qurba)." (Qs. 42:23) Juga tidak sesuai dengan hadits al-Kisaa; keturunan Nabi Saw memenuhi tuntutan hadits dan ayat ini.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk menafsirkan hadits ini adalah menerima bahwa hadits ini merujuk kepada kedua belas Imam dari keluarga Nabi (Ahl al-Bait), karena mereka, pada masanya, adalah orang-orang yang paling berilmu, paling illustrious, paling bertakwa, paling beriman, paling tinggi dalam garis keturunan nabi, paling mulia dalam kepribadian, paling terhormat di hadapan Allah; dan ilmu mereka bersumber dari datuk mereka (Nabi Saw melalui ayah-ayah mereka, dan warisan dan pengajaran langsung dari Allah Swt."

Tentang Dua Belas Imam As
Imam Pertama

Amirul Mukminin Abul Hasan 'Ali al-Murtada, putra Abu Tâlib.

Lahir pada tanggal 13 Rajab, 10 tahun sebelum bi'tsat (pengangkatan Nabi) 600 M, di dalam Ka'bah. Ia menjadi Imam, ketika Nabi Saw wafat pada tanggal 28 Safar 11 H/ 632 M.
Imam 'Ali As terluka parah oleh pedang yang dibubuhi racun yang dilakukan Abdur Rahman bin Muljam ketika sedang menunaikan salat di Masjid Kufa (Iraq), mencapai syahid dua hari kemudian yaitu pada tanggal 21 Ramadan 40 H/ 661 M dan dikebumikan di Najaf al-Asyraf Iraq.

Imam Kedua

Abu Muhammad al-Hasan al-Mujtaba bin 'Ali bin Abi Tâlib. Lahir pada tanggal 15 Ramadan 3 H/625 M di Madinah, dan syahid akibat diracun pada tanggal 28 Safar 50 H/670 M di Madinah.

Imam Ketiga

Sayyidus Syuhada (Penghulu Para Syahid), Abu Abdillâh al-Husain bin 'Ali bin Abi Tâlib As.
Lahir pada tanggal 3 Sya'ban 4 H/ 626 M di Madinah. Ia syahid bersama anak-anaknya, kerabatnya dan sahabat-sahabatnya pada tanggal 10 Muharram 61 H/680 M di Karbala Iraq.
Ia dan saudara sulungnya, al-Hasan, adalah putra-putra Fâtima az-Zahra putri Nabi Saw.

Imam Keempat

Abu Muhammad 'Ali Zâinal 'Abidin bin Husain As. Lahir pada tanggal 5 Sya'ban 38 H/659 M, dan syahid akibat diracun pada tanggal 25 Muharram 94 H/712 M, atau 95 H/713 M di Madinah.

Imam Kelima

Abu Ja'far Muhammad al-Bâqir bin 'Ali Zâinal 'Abidin As. Lahir pada tanggal 1 Rajab 57 H/677 M di Madinah dan syahid akibat racun pada tanggal 7 Dzulhijjah 114 H/ 733 M di Madinah

Imam Keenam

Abu 'Abdillah Ja'far Sâdiq bin Muhammad al-Bâqir As. Lahir pada tanggal 17 Rabi'ul Awal 83 H di Madinah dan syahid akibat racun pada tanggal 25 Syawal 148 H/ 765 M.


Imam Ketujuh

Abul Hasan al-Awwal, Musa al-Kâzim bin Ja'far Sâdiq As. Lahir di al-Abwaa pada tanggal 7 Safar 129 H/746 M dan syahid akibat racun pada tanggal 25 Rajab 183 H/799 M di dalam penjara Hârun al-Rasyid di Baghdad dan dikebumikan di al-Kazimiyyah (sekitar 10 KM sebelah utara Baghdad).

Imam Kedelapan

Abul Hasan ats-Tsâni, 'Ali al-Rida bin Musa al-Kâzim As. Lahir di Madinah pada tanggal 11 Dzulqaidah 148 H/765 M, dan syahid akibat racun pada tanggal 17 Safar 203 H/818 M di Masyhad (Provinsi Khurasan Iran).

Imam Kesembilan

Abu Ja'far ats-Tsâni, Muhammad Taqi al-Jawâd bin 'Ali al-Rida As. Lahir pada tanggal 10 Rajab 195 H/811 M di Madinah dan syahid akibat racun di Baghdad pada tanggal 30 Dzulqaidah 220 H/835 M dan dikebumikan dekat kuburan datuknya di Kazimiyyah.

Imam Kesepuluh

Abul Hasan ats-Tsâlits, 'Ali an-Naqi al-Hâdi bin Muhammad at-Taqi As. Lahir pada tanggal 5 Rajab 212 H/827 M di Madinah dan syahid karena racun di Samarrah pada tanggal 3 Rajab 254 H/ 868 M.

Imam Kesebelas

Abu Muhammad, al-Hasan al-'Askari bin 'Ali an-Naqi As. Lahir pada tanggal 8 Rabi'utsani 232 H/846 M di Madinah dan syahid karena racun di Samarrah pada tanggal 8 Rabi'ul Awwal 260 H/874 M.

Imam Keduabelas

Abul Qâsim Muhammad al-Hâdi bin al-Hasan al-'Askari As. Lahir pada tanggal 15 Sya'ban 255 H/ 869 M di Samarrah. Ia adalah Imam kita zaman ini (Imâmuz Zamân); Ia dalam masa gaib sughra pada tahun 260 H/874 M yang berlanjut hingga 329 H/939 M kemudian masa gaib kubra bermula pada tahun ini yang berlanjut hingga hari ini. Ia akan muncul kembali (zuhur) dengan izin Allah untuk membangun kerajaan Allah di muka persada, untuk mengisi semesta dengan keadilan dan kesetaraan, setelah dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan.
Imam kedua belas merupakan Imam al-Qaim; al-Hujjah; Sahibuz Zaman; dan Sahibil Amr.

4
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

Bagian Ketiga: Pandangan Madzhab Sunni

Pandangan Sunni Tentang Khalifah
Mayoritas pandangan madzhab Sunni (dalam masalah teologi) dewasa ini adalah mengikuti pandangan Asy'ariyyah. Mereka, sebagaimana Mu'tazilah, meyakini bahwa institusi imamah/khilafah adalah perlu dan menjadi kewajiban seorang manusia untuk menunjuk seorang khalifah.
Kaum Mu'tazilah berpandangan bahwa penunjukan ini wajib sesuai dengan akal. Kaum Asy'ariyah meyakini bahwa penunjukan ini bersifat wajib karena sesuai dengan hadits.
An-Nasafi menulis dalam kitab al-'Aqâid-nya:
"Kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa seorang imam yang akan menempatkan diri dengan menjalankan keputusan-keputusan mereka, dan dalam pelaksanaan hudud-nya dan menjaga batasan-batasannya, menyediakan lasykar-lasykar, menerima sedekah mereka, memberikan hukuman kepada para pencuri dan perampok, mengimami salat Jum'at dan Ied, menghilangkan sengketa yang ada di tengah-tengah masyarakat, menerima bukti-bukti terhadap klaim-klaim hukum, dan menikahkan orang-orang miskin yang tidak memiliki wali dan membagikan harta rampasan perang."
Sunni menghendaki seorang penguasa semesta..., sementara Syiah mencari seseorang yang dapat membangun kerajaan surga di muka bumi dan mengakhiri segala bentuk kejahatan yang merajalela di muka bumi."
Oleh karena itu, Madzhab Sunni mengakui empat prinsip utama dalam memilih seorang khalifah:
1. Ijma' yaitu konsensus tentang orang yang memegang kekuasaan dan kedudukan pada sebuah titik tertentu. Mufakat seluruh pengikut Nabi Saw tidak menjadi keharusan, juga tidak terlalu penting untuk mengamankan kedudukan dan kekuasaan orang yang berkuasa di tengah-tengah umat.
2. Pencalonan oleh khalifah sebelumnya.
3. Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite
4. Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah.

Pengarang Kitab Syarhil Maqâsid menjelaskan bahwa bilamana seorang imam wafat dan seorang yang memiliki kualifikasi yang diinginkan untuk kedudukan tersebut (tanpa bai'at) kekhalifaannya akan tetap diakui sepanjang kekuasaannya dapat menundukkan masyarakat; dan bilamana seorang khalifah baru kebetulan seorang yang jahil dan bodoh, nampaknya akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Demikian juga, bilamana seorang khalifah telah membangun dirinya dengan kekuatan tapi kemudian ditaklukkan oleh orang lain, ia akan disingkirkan dan orang yang menaklukkanya akan dianggap sebagai imam atau khalifah.

Kualifikasi Seorang Khalifah
Madzhab Sunni menganggap sepuluh syarat seseorang untuk dapat menjadi khalifah:

1. Muslim
2. Dewasa
3. Laki-laki
4. Berakal sehat
5. Berani
6. Merdeka, bukan seorang sahaya
7. Dapat dihubungi dan tidak tersembunyi
8. Mampu mengadakan perang dan tahu taktik berperang
9. Adil
10. Mampu mengeluarkan fatwa dalam bidang hukum dan agama , yaitu, ia harus seorang mujtahid.

Namun dua yang terakhir hanya bersifat teoritis belaka, sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya. Bahkan, seorang awam dan bermoral buruk dapat menjadi seorang khalifah. Oleh karena itu, syarat-syarat 'adil dan fakih (mumpuni) dalam bidang agama tidak memiliki landasan sama sekali.
Mereka berpandangan bahwa ismah (infallible) tidak menjadi keharusan bagi seorang khalifah. Kalimat yang dilontarkan oleh Abu Bakar dari mimbar di hadapan para sahabat, dinukil untuk menguatkan pandangan ini. Abu Bakar berkata: "Ayyuhannas!", "Aku telah dijadikan penguasa atas kalian meskipun aku tidak lebih baik dari kalian; jadi, dalam menunaikan tugasku, aku meminta pertolongan kalian; dan jika aku berbuat salah, kalian harus meluruskanku. Kalian harus tahu bahwa setan senantiasa dapat datang kepadaku. Jadi jika aku marah, menjauhlah dariku."
At-Taftazani berkata dalam Syarhul 'Aqâidin Nafisah, "Seorang imam tidak dapat dijatuhkan dari imamah karena alasan immoral atau kezaliman."

Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan
Seluruh prinsip yang disebutkan di atas diambil tidak berasal dari ayat atau hadits, tapi dari peristiwa-peristiwa dan kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Menurut Ahli Sunnah, empat khalifah pertama disebut al-Khulafa'ur Rasyidun (khalifah yang mendapat bimbingan). Kini mari kita kaji bagaimana Khalifatur Rasyidah ini muncul.
Segera setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin di Madinah (dikenal sebagai Ansar) berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Menurut penulis kitab Ghiyatu'l Lugha, tempat ini adalah tempat rahasia di mana bangsa Arab biasa berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan jahat mereka. Di tempat ini, Sa'ad bin Ubadah, yang kemudian merana, dibimbing ke kursi dan didudukkan di atasnya, dibungkus dalam sebuah selimut, sehingga ia dapat dipilih menjadi khalifah. Kemudian Sa'ad menyampaikan pidato tentang keutamaan kaum Ansar dan memberitahukan kepada mereka untuk mengambil alih kedudukan khalifah sebelum orang lain melakukannya. Namun, kemudian di antara mereka ada yang bertanya: "Jawaban apa yang akan kita berikan kepada kaum Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah) Quraisy jika mereka menentang gerakan ini dan mengajukan klaim mereka?
Sekelompok orang-orang yang berada di tempat itu berkata: "Kita akan mengatakan kepada mereka, mari kita pilih salah satu pemimpin dari kalian dan satu dari kami." Sa'ad berkata: "Ini adalah salah satu kelemahan yang telah kalian perlihatkan."
Seseorang memberi kabar kepada 'Umar bin Khattâb tentang perhimpunan ini, katanya: "Jika engkau berkehendak untuk meraih kekuasaan sekarang, engkau harus bergegas ke Saqifah sebelum terlambat, yang dapat menimbulkan kesulitan bagimu untuk merubah apa yang sudah diputuskan di sana." Setelah menerima kabar ini, 'Umar, bersama Abu Bakar, bergegas bertolak ke Saqifah ditemani juga oleh Abu 'Ubaidah bin al-Jarrah.
At-Tabari, Ibnu Atsir, Ibn Qutaibah dan sejarawan yang lain merekam dalam kitab sejarah mereka bahwa setelah sampai di Saqifah, Abu Bakar, 'Umar dan Abu Ubadah nyaris tidak mendapatkan kursi mereka ketika Tsabit bin Qays berdiri dan mulai mendendangkan syair-syair tentang keutamaan kaum Ansar dan menyarankan bahwa kursi khalifah harus ditawarkan kepada salah seorang Ansar. Dilaporkan bahwa setelah itu 'Umar berkata: "Ketika pembicara Ansar itu selesai berbicara, aku berusaha untuk berbicara, setelah merenung cukup lama, tentang beberapa poin-poin penting. Namun Abu Bakar yang berada di belakangku tetap berdiam diri. Oleh karena itu, aku diam saja. Abu Bakar lebih berkompeten dan lebih berilmu daripada aku. Ia lalu berkata hal yang sama seperti yang aku pikirkan bahkan menyampaikannya lebih baik dari aku."
Menurut kitab Raudatus Safa, Abu Bakar menyampaikan kepada majelis di Saqifah, "Wahai majelis Ansar! Kami tahu keutamaan dan kualitas kalian. Kami juga tidak melupakan perjuangan dan usaha kalian dalam menegakkan panji Islam. Akan tetapi kehormatan dan kemuliaan bangsa Quraisy di antara bangsa Arab tidak dimiliki oleh suku arab yang lain, dan suku-suku Arab tidak akan menyerah kepada bangsa mana pun kecuali kepada suku Quraisy."
Dalam Sirah al-Halabiyyah, ditambahkan:
"Bagaimanapun, pada kenyataannya kami adalah kaum Muhajirin, kaum yang pertama menerima Islam. Nabi Islam berasal dari suku kami. Kami adalah kerabat Nabi...dan oleh karena itu..kamilah yang berhak untuk menjabat khalifah...Ada baiknya mengambil pemimpin di antara kami dan jabatan kementerian dari kalian. Kami tidak akan bertindak sebelum bermusyawarah dengan kalian."
Adu argumen mulai panas, dan disertai dengan teriakan 'Umar: "Demi Allah, Aku akan bunuh sekarang siapa saja yang menentang kami." Al-Hubâb ibn al-Munzir ibn Zaid, seorang Ansari dari suku Khazraj, menentangnya kemudian berkata, "Demi Allah, kami tidak akan membiarkan siapa pun yang berkuasa atas kami sebagai khalifah. Yang harus menjadi pemimpin adalah seorang berasal dari kalian dan seorang dari kami." Abu Bakar berkata: "Tidak, hal ini tidak dapat terjadi; Kamilah yang berhak untuk menjadi khalifah dan kalian jadi menteri kami." Al-Hubab berkata: "Wahai Ansar! Jangan kalian serahkan diri kalian atas apa yang dikatakan orang-orang ini. Tegarlah..Demi Allah jika ada yang berani menentangku sekarang, aku akan potong hidungnya dengan pedangku." Umar menimpali: "Demi Allah, dualitas (dua khalifah, -penj.) tidak pantas dalam masalah khilafah. Dalam satu regim tidak bisa ada dua khalifah, dan bangsa Arab tidak akan setuju dengan kepemimpinan kalian, karena Nabi tidak berasal dari suku kalian."
At-Tabari dan ibn Atsir keduanya mengatakan bahwa pada kejadian itu terjadi tukar-menukar kata dengan sengit antara al-Hubâb dan 'Umar. 'Umar melaknat al-Hubâb: "Semoga Allah membunuhmu." Al-Hubâb menimpali: "Semoga Allah membunuhmu."
'Umar lalu maju dan berdiri di hadapan Sa'ad bin 'Ubadah dan berkata kepadanya: "Kami akan patahkan seluruh anggota badan kalian." Karena marah atas tantangan ini, Sa'ad berdiri dan mencengkeram janggut 'Umar. 'Umar berkata: "Jika engkau menarik satu helai dariku, engkau akan lihat semua orang akan membencimu." Lalu, Abu Bakar memohon 'Umar dan orang-orang untuk tenang. 'Umar mengalihkan wajahnya kepada Sa'ad yang berkata: "Demi Allah, jika aku cukup memiliki kekuatan untuk bertahan, engkau akan mendengar raungan singa-singa di setiap sudut kota Madinah dan engkau akan bersembunyi di setiap lobang-lobang kota Madinah. Demi Allah, kami akan menggabungkan kalian dengan kaum yang orang-orangnya hanyalah pengikut bukan pemimpin.
Ibn Qutaibah berkata bahwa ketika Basyir bin Sa'd, pemimpin suku Aus, melihat Ansar bersatu di belakang Sa'ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj, ia diselimuti oleh rasa dengki dan berdiri mendukung klaim Muhajirin dari bangsa Quraisy.
Di tengah-tengah suasana panas dan menegangkan ini, 'Umar berkata kepada Abu Bakar: "Julurkan tanganmu sehingga aku dapat memberikan bai'at kepadamu." Abu Bakar berkata: "Tidak, engkau yang harus menjulurkan tanganmu sehingga aku dapat berbai'at kepadamu, karena engkau lebih kuat daripada aku dan lebih pantas untuk menjabat khalifah."
'Umar mengambil tangan Abu Bakar dan menyampaikan bai'at kepadanya, katanya: "Kekuatanku tidak ada nilainya sama sekali bila dibandingkan dengan jasa dan senioritasmu. Dan jika ada nilai maka kekuatanku ditambahkan kepadamu akan sukses dalam mengelola khalifah."
Basyir bin Sa'd mengikuti apa yang berlaku. Suku Khazraj berteriak kepadanya bahwa ia bertindak karena rasa irinya kepada Sa'ad bin 'Ubadah. Lalu suku Aus berbicara sesama mereka bahwa jika Sa'ad bin Ubadah menjadi khalifah hari itu, suku Khazraj akan senantiasa merasa lebih unggul dari suku Aus, dan tidak ada satu orang pun dari suku Aus yang akan menerima kehormatan ini. Oleh karena itu, mereka memberikan bai'at-nya kepada Abu Bakar. Seseorang dari suku Khazraj menarik pedangnya namun ditahan oleh yang lain.
Di tengah segala percekcokan ini, 'Ali dan para sahabatnya sedang sibuk mengurus pemandian jenazah Nabi Saw dan proses penguburan beliau. Dalam keadaan seperti ini, Abu Bakar memanfaatkan kesempatan dan menjabat khalifah a fait acompli.
Ibnu Qutaibah menulis: "Ketika Abu Bakar mengambil kedudukan sebagai khalifah, 'Ali diseret ke arah Abu Bakar yang ketika itu berulangkali menyatakan, "Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah. Lalu 'Ali diperintahkan untuk memberikan bai'at kepada Abu Bakar. 'Ali berkata: "Aku lebih memiliki hak sebagai khalifah daripada kalian semua. Aku tidak akan memberikan bai'at kepada kalian. Kalian mengambil bai'at dari kaum Ansar dengan dalih bahwa kalian memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Kalian merampas khalifah dari kami, Ahl al-Bait Nabi. Tidakkah kalian beralasan kepada kaum Ansar bahwa kalian lebih baik menjabat khalifah karena Nabi adalah kerabat kalian, dan mereka menyerahkan pemerintahan kepada kalian dan menerima kepemimpinan kalian? Oleh karena itu, alasan yang paling baik yang kalian ajukan di hadapan kaum Ansar kini diajukan oleh orang yang paling dekat hubungannya kepada Nabi lebih daripada kalian semua. Jika kalian jujur dengan dalil kalian, kalian harus berbuat adil; kalau tidak kalian tahu bahwa kalian telah berbuat zalim.
'Umar berkata: "Kalau engkau tidak memberikan bai'at, engkau tidak akan dilepaskan. 'Ali berteriak, peraslah sebanyak yang engkau mampu karena kini ambing berada ditanganmu. Buatlah sekuat mungkin hari ini, karena ia akan menyerahkannya kepadamu esok. 'Umar, aku tidak akan tunduk kepada perintahmu; aku tidak akan memberikan bai'at kepadanya." Akhirnya Abu Bakar berkata, Wahai 'Ali! Jika engkau tidak ingin memberikan bai'at, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan itu."

Ulasan Singkat
Beberapa aspek yang telah disebutkan di atas patut untuk mendapatkan perhatian:

1. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa ketika seseorang diumumkan; bahkan dalam sebuah kelompok kecil, untuk menjabat sebagai kepala suku, yang lain tidak akan menentangnya, dan mau tidak mau mengikuti apa yang berlaku. Tradisi ini yang tersimpan dalam benak 'Abbas, paman Nabi, ketika ia berkata kepada 'Ali: "Berikan tanganmu sehingga aku dapat ber-bai'at kepadamu…karena ketika sekali hal ini berlaku maka tidak ada satu orang pun akan melepaskannya.
Dan karena tradisi inilah yang membuat Sa'ad memanfaatkan kaum Ansar untuk mengambil alih khalifah sebelum orang lain melakukannya. Dan juga karena tradisi ini ketika 'Umar diberitahu untuk segera ke Saqifah sebelum terlambat dan kesulitan baginya untuk merubah apa yang telah diputuskan di sana. Dan karena tradisi ini juga bahwa sekali beberapa orang menerima Abu Bakar sebagai khalifah, mayoritas kaum Muslimin akan mengikuti apa yang berlaku.

2. 'Ali sangat sadar akan tradisi ini. Oleh karena itulah mengapa ia menolak untuk menjulurkan tangannya untuk menerima bai'at Abbas, yang berkata kepadanya: "Siapa lagi selain aku yang dapat memberikan bai'at kepadamu?
Karena 'Ali tahu bahwa khalifah Rasulullah Saw bukanlah kepemimpinan suku. Khalifah Rasulullah Saw tidak bersandar kepada deklarasi bai'at di hadapan publik. Khalifah Rasulullah adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt, bukan oleh manusia. Dan karena ia telah diumumkan diangkat oleh Allah Swt melalui Nabi akan imamahnya. Tidak perlu baginya untuk bergegas mencari bai'at kepada manusia. Ia tidak menginginkan orang-orang berpikir bahwa imamahnya bersandarkan kepada bai'at manusia; jika orang-orang datang kepadanya dengan bersandar kepada deklarasi Ghadir Khum, baik dan bagus; jika mereka tidak melakukannya, itu merupakan kerugian pada pihak mereka, bukan kerugian pada pihak 'Ali.

3. Kini kita kembali kepada peristiwa Saqifah; selama hidup Rasulullah Saw, mesjid Nabi merupakan pusat seluruh kegiatan Islam. Di tempat inilah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian diambil, perutusan-perutusan diterima, khutbah-khutbah disampaikan, dan masalah-masalah diselesaikan. Dan ketika kabar menyebar tentang wafatnya Rasulullah Saw, kaum Muslimin berkumpul di masjid tersebut.
Lalu mengapa pengikut-pengikut Sa'ad bin 'Ubadah memutuskan untuk pergi tiga mil di luar Madinah untuk berjumpa di Saqifah yang bukan merupakan tempat yang baik untuk menyelesaikan persengketaan? Bukankah karena alasan mereka ingin merampas khalifah tanpa diketahui oleh orang-orang dan mempersembahkan Sa'ad sebagai khalifah yang diterima?
Dengan memandang deklarasi Ghadir Khum dan tradisi kesukuan bangsa Arab tidak akan ada penjelasan yang lain dari masalah ini.

4. Ketika 'Umar dan Abu Bakar mengetahui perhimpunan di Saqifah, pada saat itu mereka berada di masjid. Mengapa mereka tidak menyampaikan kepada yang lain perihal perkumpulan di Saqifah tersebut? Mengapa mereka, bersama Abu 'Ubaidah, menyelinap keluar secara rahasia? Apakah karena 'Ali dan Bani Hasyim hadir di masjid dan di rumah Nabi, dan 'Umar dan Abu Bakar tidak menginginkan mereka tahu akan rencana licik mereka? Bukankah karena mereka takut bahwa jika 'Ali tahu tentang pertemuan di Saqifah dan jika dengan kemungkinan yang paling kecil ia memutuskan untuk pergi ke sana sendiri, maka tidak ada satu orang pun yang memiliki peluang untuk sukses menjadi khalifah?

5. Ketika Abu Bakar memuji keutamaan kaum Muhajirin sebagai kaum yang berasal dari suku Nabi, tidakkah ia tahu bahwa ada orang lain yang lebih kuat haknya untuk mengklaim karena mereka adalah anggota keluarga Rasulullah Saw dan darah daging Rasulullah Saw?
Karena aspek yang penuh pretensi inilah yang membuat 'Ali berkomentar: "Mereka berdalih dengan pohon (kesukuan) dan mereka merusakkan buahnya (keluarga Nabi)."
Bila kita melihat kejadian ini dengan kaca mata jernih, kita tidak mampu menyebutnya sebagai sebuah proses pemilihan, karena pemberi suara (seluruh kaum Muslimin bertebaran di seluruh semenanjung Arabia, atau, paling tidak, seluruh kaum Muslimin berada di Madinah) bahkan tidak tahu bahwa ada pemilihan ketika itu, apalagi bila dan dimana hal ini diadakan. Terlepas dari pemberi suara, bahkan calon-calon yang ada tidak sadar atas apa yang terjadi di Saqifah. Kembali kita teringat kata-kata Imam 'Ali berkenaan dengan dua poin yang disebutkan di atas:
Jika engkau mengklaim lebih memiliki wewenang atas urusan kaum Muslimin dengan musyawarah,
Bagaimana hal ini dapat terjadi bila mereka yang diajak bermusyawarah tidak ada!
Dan jika engkau membual di hadapan musuhmu tentang kekerabatan dengan Nabi,
Maka orang lain lebih memiliki hak dan lebih dekat kepadanya.
Dan kita bahkan tidak dapat menyebutnya sebagai sebuah "seleksi" karena mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui kejadian ini. 'Ali, 'Abbas, Utsman, Talha, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqas, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, 'Ammar bin Yasir, Miqdad, 'Abdur-Rahman bin 'Auf, tidak satu pun dari mereka yang bermusyawarah atau bahkan diberitahu perihal kejadian ini.
Satu-satunya dalil yang ditawarkan oleh khalifah ini adalah: "Status hukum apa saja yang dikenakan untuk kejadian Saqifah, karena Abu Bakar berhasil (karena tradisi kesukuan) mengambil kendali kekuasaan di tangannya, ia tetap merupakan seorang "khalifah konstitusional."
Dalam bahasa yang sederhana, Abu Bakar menjadi seorang khalifah konstitusional karena ia berhasil dalam tawarannya atas kekuasaan. Oleh karena itu, kaum Muslimin yang berpikir memuji kejadian ini, adalah lalai berpikir bahwa satu-satunya yang dapat dinilai dari kejadian ini karena kekuasaan. Ketika anda aman duduk di singgasana kekuasaan, segalanya berjalan baik. Anda akan menjadi kepala negara yang konstitusional.
Akhirnya, saya harus mengutip sebuah komentar dari 'Umar sendiri, yang menjadi dalang atas khalifah ini. Ia berkata dalam sebuah kuliahnya selama menjabat khalifah:
Aku telah diberitahu bahwa seseorang berkata: "Ketika 'Umar meninggal, aku akan menyatakan bai'at kepada fulan dan fulan." Baik, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersesat seperti ini, berpikir bahwa meskipun bai'at kepada Abu Bakar dilakukan dengan tergesa-gesa, hal ini akan menjadi beres. Tentu saja, karena tergesa-gesa, namun Allah telah menyelamatkan kita dari kejahatannya. Kini jika ada seseorang yang bermaksud untuk menirunya aku akan penggal lehernya.

Pencalonan 'Umar
Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi "demokrasi" yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa "pemilihan demokrasi" (apa saja artinya dalam konteks Saqifah) adalah sebagai basis dari kekhalifahan Islam. Namun hal ini tidaklah demikian adanya.
Abu Bakar merasa berhutang budi kepada 'Umar dalam mendudukkanya sebagai khalifah dan dia tahu bahwa jika masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, 'Umar tidak memiliki kans untuk menang. ('Umar dikenal sebagai orang yang bertabiat keras dan kasar). Oleh karena itu, Abu Bakar memutuskan untuk menominasikan Umar bin Khattab sebagai pengganti baginya.
At-Tabari menulis: "Abu Bakar memanggil Utsman - ketika dia dalam keadaan sekarat - dan memintanya untuk menuliskan sebuah perintah pengangkatan, dan mendiktekan kepadanya: "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Surat ini adalah surat perintah 'Abdullah bin Abi Quhafa (Abu Bakar) kepada kaum Muslimin. Mengingat…," kemudian ia jatuh pingsang. Utsman menambahkan kata-kata: "Aku mengangkat 'Umar bin al-Khattab sebagai penggantiku bagi kalian."
Lalu Abu Bakar siuman kembali dan berkata kepada 'Utsman untuk membacakan surat perintah itu untuknya. 'Utsman membacanya: "Abu Bakar berkata, Allahu Akbar, dengan gembira dan berkata, Aku pikir engkau takut jikalau orang-orang akan bersilang pendapat sesama mereka jika aku mati dalam keadaan tersebut."
'Utsman menjawab: "Iya." Abu Bakar berkata: "Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin." Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan di hadapan kaum Muslimin.
Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca apa yang telah ditulis olehnya dan Abu Bakar mendengar nama 'Umar, ia bertanya, "Bagaimana engkau menulis hal ini?" Orang yang menuliskan dikte berkata, "Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja." Abu Bakar menjawab: "Engkau betul."
Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, 'Umar meraih kedudukan khalifah berkat surat pengangkatan ini. Di sini anda teringat akan tragedi yang terjadi tiga hari atau lima hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw.
Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas bahwa: "Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw 'Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau. Rasulullah Saw berkata: "Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku." 'Umar berkata: "Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita." Perkataan 'Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama 'Umar. Ketika ketegangan dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, "Pergilah kalian dari sini."
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kaliad lebih dari suara Nabi…" (Qs. al-Hujurat:2) Perkataan Nabi adalah wahyu dari Allah, "Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."(Qs. an-Najm:3-4) Dan diperintahkan untuk mengikuti perintah tanpa adanya "sekiranya" dan "tetapi"; Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah." (Qs. al-A'raf:59)
Dan ketika Nabi, lima hari sebelum wafatnya, beliau ingin menuliskan petunjuk untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kesesatan, beliau dituduh "sedang meracau".
Ketika Abu Bakar yang tidak memiliki penjagaan Ilahi dari kesalahan, mulai mendiktekan surat pengangkatan dalam keadaan kritis; sehingga ia jatuh pingsan sebelum menyebutkan nama penggantinya, 'Umar tidak berkata bahwa ia sedang meracau!
Tidak ada orang yang tahu pasti atas apa yang dinginkan oleh Rasul untuk ditulis, tetapi kalimat yang digunakan oleh beliau memberikan petunjuk bagi kita bahwa yang diminta oleh beliau untuk ditulis adalah Kitabullah dan Itrahti. Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah telah mengumumkan:
Ayyuhannas!, Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain) Kitabullâh dan Itrahti, yang merupakan Ahl al-Baitku. Kalian tidak akan tersesat selamanya, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya.
Ketika beliau menggunakan kalimat yang sama lima hari sebelum wafatnya (…"Mari aku tuliskan sesuatu sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku"..), mudah untuk dimengerti bahwa Rasululullah Saw ingin menuliskan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang al-Qur'an dan Ahl al-Bait As.
Barangkali 'Umar telah menduga hal ini sebelumnya; karena tampak dari klaim yang digunakannya: "Kitabullâh cukup bagi kita." Ia ingin memberitahukan kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak ingin mengikuti Tsaqalain. Yang pertama sudah cukup baginya.
Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan 'Abdullah bin 'Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: "Dan sesungguhnya, Ia (Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama 'Ali, sehingga aku mencegahnya."
Barangkali dengan menggunakan kalimat "meracau" akan mewujudkan tujuannya bahwa jika sekiranya Rasulullah Saw menuliskan wasiat beliau, 'Umar dan pengikutnya akan mengklaim bahwa karena wasiat itu ditulis dalam keadaan meracau, maka tidak memiliki keabsahan.

Asy-Syuraa: Komite
Setelah berkuasa kurang-lebih sepuluh tahun, 'Umar terluka secara serius akibat tikaman seorang budak Zoroaster, Firuz.
'Umar merasa sangat berhutang budi kepada 'Utsman (karena surat pengangkatan tersebut) namun tidak ingin secara terbuka menominasikan 'Utsman sebagai penggantinya; juga tidak ingin melepaskan kaum Muslimin untuk menggunakan kebebasan setelah kematiannya. Ia secara cerdik menciptakan system ketiga.
Ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah telah wafat dan beliau rida dengan keenam orang Quraisy: 'Ali, Utsman, Talha, az-Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin 'Auf. Dan jika aku memutuskan untuk membuat (seleksi khalifah) dimusyarahkan di antara mereka, mereka dapat memilih salah satu dari keenamnya."
Mereka dipanggil ketika ia hampir mendekati kematian. Ketika ia melihat kepada mereka, ia bertanya, "Jadi, kalian semua ingin menjadi khalifah setelahku?" Tidak ada yang menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya. Lalu az-Zubair angkat bicara: "Apa yang engkau miliki untuk menyingkirkan kami dari pencalonan? Engkau telah mendapatkannya dan mengelolanya; dan kami tidak lebih kecil darimu dalam bangsa Quraisy baik dari sisi keturunan dan hubungan dengan Rasulullah Saw."
'Umar bertanya: "Jika sekiranya aku katakan tentang diri kalian semua?
Az-Zubair berkata: "Katakanlah kepada kami, karena walaupun kami memintamu untuk tidak mengatakannya, engkau tetap akan mengatakannya. Lalu 'Umar mulai menghitung kejahatan-kejahatan az-Zubair, Talha, Sa'ad bin Abi Waqqas dan 'Abdurrahman bin 'Auf. Lalu ia menoleh kepada 'Ali dan berkata, "Demi Allah engkau pantas untuk mendapatkannya (khalifah) jika saja karena bukan tabiat tegasmu. Bagaimanapun, demi Allah, jika engkau membuatnya menjadi pemimpinmu, ia akan pasti membimbingmu ke jalan yang benar dan jalan yang terang."
Lalu ia memandang kepada 'Umar dan berkata: "Ambillah dariku. Sepertinya seakan-akan aku melihat bahwa bangsa Quraisy telah meletakkan kalung ini (khalifah) di sekitar lehermu karena cintamu; kemudian engkau akan meletakkan Banu Umayyah dan Banu Abi Mu'ayt (sukunya 'Utsman) di pundak orang-orang (sebagai penguasa) dan memberikan kepada mereka secara eksklusif harta rampasan (ghanimah) kaum muslimin; dengan demikian sekelompok orang dari srigala-srigala Arab datang kepadamu dan membantaimu di pembaringan.
Demi Allah, jika bangsa Quraisy memberikan khalifah kepadamu, engkau pasti akan memberikan hak-hak eksklusif kepada Banu Umayyah dan jika engkau melakukan hal ini, kaum Muslimin akan membunuhmu."Lalu ia memegang kening 'Utsman dan berkata: "Jadi jika hal ini terjadi, ingatlah pesanku; karena pasti hal ini akan terjadi."
Kemudian 'Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya bahwa setelah penguburannya ('Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal; jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman 'Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan Abdurrahman 'Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum Muslimin."
Seorang penulis Syi'ah menukil, ketika 'Umar mengumumkan bahwa kelompok 'Abdurrahman bin 'Auf yang akan menang, 'Abdullah bin 'Abbas berkata kepada 'Ali, " Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita. Orang ini menghendaki 'Utsman menjadi khalifah." 'Ali menjawab, "Aku juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di dalam syura, karena 'Umar dengan siasat ini telah - setidaknya - menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi."
Mengapa Ibn 'Abbas dan 'Ali yakin bahwa 'Umar menghendaki 'Utsman yang menjadi khalifah? Karena konstitusi syura dan kerangka kerjanya.
'Abdurrahman bin 'Auf dan 'Utsman adalah saudara ipar, karena 'Abdurrahman bin 'Auf menikah dengan saudarinya 'Utsman; dan Sa'ad bin Abi Waqqas dan 'Abdurrahman adalah saudara sepupu.
Memandang kepercayaan yang diikat oleh keluarga dalam bangsa Arab, mustahil Sa'ad akan menentang 'Abdurrahman atau 'Abdurrahman tidak mengindahkan 'Utsman (saudara iparnya). Sehingga semua suara tersebut untuk 'Utsman, termasuk 'Abdurrahman yang memutuskan suara.
Talha bin 'Ubaidillah berasal dari suku Abu Bakar dan sejak hari Saqifah, Bani Hasyim dan Bani Taim bermusuhan satu sama lain. Dan dalam tataran pribadi, 'Ali telah membunuh pamannya, 'Umair bin 'Utsman, saudaranya Malik bin 'Ubaidillah dan kemenakannya 'Utsman bin Malik dalam perang Badar. Tidak mungkin baginya mendukung 'Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi 'Ali, dan setelah peristiwa Saqifah, ia mencabut pedangnya untuk memerangi mereka yang telah menerobos rumahnya 'Ali untuk membawanya kepada Abu Bakar. Dan tidak masuk akal untuk mengharapkan Zubair dapat membantu 'Ali. Dan pada sisi yang lain, ia sendiri dapat tergoda untuk menjadi khalifah.
Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh 'Ali dalam pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan jika Talha memilih 'Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat 'Abdurrahman yang akan didengar.
Setelah mengkaji kerangka kerja musyawarah ini, apa yang terjadi di dalamnya adalah hanya menarik minat akademik saja. Talha menjatuhkan suaranya kepada 'Utsman; dengan asumsi bahwa az-Zubair akan memilih 'Ali, dan Sa'ad memilih 'Abdurrahman bin 'Auf.
Pada hari ketiga, 'Abdurrahman menarik namanya dan berkata kepada 'Ali bahwa ia akan menjadikannya sebagai khalifah jika; 'Ali bersumpah untuk mengikuti Kitabullah, sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan 'Umar. 'Abdurrahman tahu betul jawaban 'Ali. 'Ali berkata, "Aku ikuti Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinanku sendiri."
Kemudian 'Abdurrahman mengajukan syarat yang sama kepada 'Utsman, yang memang telah bersedia untuk menerima syarat tersebut. Dengan demikian, 'Abdurrahman mendeklarasikan 'Utsman sebagai khalifah baru.
'Ali As berkata kepada 'Abdurahman: "Demi Allah, engkau tidak melakukannya kecuali dengan harapan yang sama, yang ia ('Umar) dapatkan dari temannya." (Ia bermaksud bahwa 'Abdurahman melantik 'Utsman sebagai khalifah dengan harapan bahwa 'Utsman juga akan menominasikannya sebagai penggantinya.)
Kemudian 'Ali berkata: "Semoga Allah menciptakan permusuhan di antara kalian berdua." Selang beberapa tahun 'Abdurahman dan 'Utsman saling bermusuhan satu sama lain; mereka tidak saling menyapa hingga 'Abdurahman wafat.
'Utsman; khalifah ketiga, dibunuh oleh kaum Muslimin yang tidak senang dengan nepotisme yang dipraktikkan olehnya. Keadaan ini tidak memberikannya peluang untuk memilih penggantinya. Kaum Muslimin, untuk pertama kalinya, benar-benar bebas menyeleksi (selection) atau mengeleksi (election) seorang khalifah sesuai dengan pilihan mereka; mereka berkerumun di hadapan pintu rumah 'Ali As.
Namun, dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak wafatnya Rasulullah Saw, tabiat dan pandangan kaum Muslimin telah berubah hingga pada keadaan bahwa banyak orang-orang popular menjumpai pemerintahan 'Ali berdasarkan kepada keadilan dan kesetaraan mutlak, persis seperti pemerintahan Rasulullah Saw, sehingga mereka tidak kuat mengikuti pemerintahannya.
Setelah syahada Imam 'Ali As, Imam Hasan ingin melanjutkan perang dengan Muawiyah. Namun banyak orang-orangnya, disuap oleh Mua'wiyah; dan banyak para komandan yang, ketika mereka diutus untuk menghadang Muawiyah, malah menyeberang menjadi pasukan Mua'wiyah dan menjadi musuh Imam Hasan As. Dalam keadaan seperti ini, Imam Hasan terpaksa menerima tawaran berdamai dari Muawiyah.
Setelah gencatan senjata ini, Ahlus Sunnah mengklaim bahwa kekuatan militer adalah jalan yang sah untuk memperoleh khalifah konstitusional.
Oleh karena itu, jalan keempat "konstitusional" khalifah muncul menjadi syarat di antara syarat-syarat menjadi seorang khalifah.

Pandangan Umum
Dalam ranah politik, biasanya konstitusi sebuah Negara disiapkan sebelumnya. Dan ketika tiba saatnya untuk memilih sebuah pemerintahan atau melantik dewan legislatif, setiap jawatan dilaksanakan berdasarkan provisi-provisi konstitusi. Apapun yang sejalan dengannya, akan dianggap sah dan legal dan sebaliknya, apa saja yang berlawanan dengan kaidah ini, ditolak karena tidak sah dan illegal.
Karena, menurut pandangan Ahlus Sunnah merupakan tugas umat untuk memilih seorang khalifah, wajib bagi Allah dan Rasul-Nya untuk menyediakan mereka sebuah konstitusi (dengan prosedur yang detail untuk memilih seorang khalifah). Dan jika tidak dilakukan, maka kaum Muslimin sendiri yang seharusnya bersepakat untuk menentukan langkah-langkah konstitusional sebagai pendahuluan sebelum prosesi pemilihan seorang khalifah.
Akan tetapi, cukup aneh jika hal ini tidak dilakukan. Dan kini kita temukan sebuah "konstitusi unik yang tidak past"i (unsettled) yang tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan konstitusi karena memang tidak ada; malah sebaliknya konstitusi yang mengikuti keadaan-keadaan.
Argumen paling baik yang diajukan oleh Ahlus Sunnah untuk mendukung klaim mereka adalah bahwa kaum Muslimin pada masa-masa awal memandang tugas mereka untuk mengangkat seorang khalifah, dan bahwa mereka memandang hal ini penting sehingga mereka melalaikan untuk menghadiri upacara pemakaman Rasulullah dan pergi ke Saqifah Bani Sa'idah untuk menyelesaikan permasalahan khalifah. Dari peristiwa itu mereka memutuskan bahwa pengangkatan seorang khalifah merupakan tugas umat.
Syi'ah mengklaim bahwa peristiwa Saqifah Bani Sa'idah adalah peristiwa illegal; Ahlus Sunnah mengklaim bahwa peristiwa ini legal dan benar. Bagaimana Ahlus Sunnah meletakkan klaim mereka sebagai argumen dan dalil?
Untuk meletakkan klaim sebagai dalil adalah seperti pepatah: "Perbuatanku sah karena aku telah melakukannya." Mahkamah manakah yang akan menopang argumen semacam ini?

Sisi Praktikal
Kesampingkan sisi akademis dari metode-metode ini, mari kita lihat akibat yang diderita oleh mereka karena masalah kepemimpinan dan mentalitas kaum Muslimin.
Dalam masa tiga puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw, segala cara yang mungkin dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dan membuat aturan-aturan baku seperti eleksi, seleksi, nominasi dan kekuatan militer. Hasilnya, adalah bahwa hari ini setiap penguasa Muslim yang menghendaki untuk menduduki takhta kekhalifahan dan "kepemimpinan spiritual" kaum Muslimin; dan hal ini merupakan kekurangan dasar dari pandangan kaum Muslimin yang hingga hari ini senantiasa menjadi penyebab utama instabilitas politik dunia Islam. Setiap penguasa Islam; sebagai seorang Muslim, telah diajarkan bahwa "supremasi militer" merupakan sebuah jalan konstitusional untuk menjadi khalifah. Mereka mencoba untuk melemahkan penguasa Muslim yang lain sehingga ia sendirilah yang dapat muncul sebagai penguasa yang paling agung di antara penguasa-penguasa kaum Muslimin. Dengan cara seperti ini, "konstitusi" ini secara langsung telah menyumbangkan kelemahan bagi dunia Islam hari ini.
Terlepas dari itu, mari kita lihat sekali lagi betapa metode ini terbukti segera setelah ia diciptakan. Keempat sisi batas khalifah ini sangat tidak aman sehingga seseorang bisa saja memasukinya, tanpa memandang ilmu atau perilakunya. Khalifah pertama setelah Mu'awiyah adalah anaknya, Yazid, yang"dinominasikan" oleh Mua'wiyah dan memiliki "kekuatan militer" yang besar. Kaum Muslimin memberikan bai'at mereka selama masa pemerintahan Mua'wiyah; dengan demikian, terdapat ijma' juga dalam bai'at ini. Jadi Yazid juga merupakan "khalifah konstitusional". Namun bagaimana iman dan perilakunya? Yazid adalah orang yang terang-terangan mengingkari Rasulullah Saw. Ia secara jujur menyatakan keyakinannya dalam sebuah syair: "Bani Hasyim telah memainkan sebuah lakon untuk meraih kerajaan; sejatinya tidak ada kabar (dari Tuhan) juga tidak ada wahyu."
Ia tidak percaya tentang adanya Hari Kiamat: "Wahai kekasihku! Jangan engkau percaya akan bersua denganku setelah mati, karena apa yang mereka katakan kepadamu tentang wujud kita akan dibangkitkan untuk hisab hanyalah sebuah mitos yang membuat hati lupa akan kesenangan hidup di dunia nyata ini."
Setelah memangku jabatan khalifah, ia secara terbuka bermain-main dengan salat; dan menunjukkan sikap acuhnya terhadap agama dengan mengenakan jubah ulama pada anjing-anjing dan monyet-monyet. Judi dan bermain dengan beruang adalah permainan favoritnya untuk menghabiskan waktu. Ia menghabiskan waktunya dengan meminum anggur, di mana saja dan kapan saja, tanpa ragu. Ia tidak menghormati kaum wanita, bahkan orang-orang yang termasuk muhrimnya seperti, ibu tiri, saudara, bibi dan putri. Mereka ibaratnya seperti wanita-wanita lain di matanya.
Ia mengutus pasukannya ke Madinah. Di kota suci Nabi itu harta-harta para penduduk dijarah secara bebas. Tiga ratus gadis-gadis, terpisah dari wanita-wanita lainnya, diserang oleh tentara-tentaranya. Tiga ratus qurra (pembaca al-Qur'an) dan tujuh ratus sahabat-sahabat Nabi dibantai secara brutal.
Masjid suci ditutup selama berhari-hari. Para tentara Yazid menggunakannya sebagai kandang kuda mereka. Masjid suci ini menjadi tempat persinggahan anjing-anjing dan mimbar Nabi dicemari.
Akhirnya, komandan lasykar memaksa orang-orang Madinah untuk tunduk di hadapan Yazid dengan memberikan bai'at mereka dengan perkataan seperti ini: "Kami adalah budak-budak Yazid; terserah kepadanya apakah ia memberikan kembali kepada kami kebebasan atau menjual kami di pasar budak." Mereka yang ingin memberikan bai'at dengan syarat bahwa Yazid harus mengikuti dustur al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw, dibunuh oleh antek-antek Yazid. Mungkin relevan jika kita menyitir hadits Nabi yang pernah bersabda bahwa: "Semoga Allah melaknat orang yang memberi ketakutan kepada orang-orang Madinah!"
Kemudian pasukan itu, atas perintah Yazid, bertolak ke Makkah. Kota paling suci Allah itu dikepung. Mereka tidak dapat memasuki kota, lalu mereka menggunakan manjaniq (ketapel): sebuah alat militer kuno yang digunakan untuk melontarkan batu besar terhadap sasaran yang jauh). Dengan alat ini, mereka melontarkan batu-batuan dan obor yang menyala ke Ka'bah. Kiswah (plafon Ka'bah) terbakar dan salah satu bagian dari bangunan suci itu rusak berat.

Al-Walid dan Harun al-Rasyid
Aturan ini, bukan sebagai sebuah pengecualian, sudah menjadi aturan umum. Contohnya adalah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang merupakan salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Suatu malam ia sedang minum-minuman keras bersama selirnya, hingga mereka berdua mendengar azan subuh. Ia bersumpah bahwa sang selir tersebut akan memimpin salat. Sang selir mengenakan jubah khalifah dan memimpin salat dalam keadaan yang sama dengan al-Walid, yaitu sedang mabuk.
Suatu hari ia menggangu putri belianya di hadapan wanita budak putrinya tersebut. Ia berkata (itu bukan Islam) itu merupakan agama Majusi. Al-Walid mendendangkan sebuah kuplet: "Pria yang peduli akan (lisan) orang-orang, mati dalam keadaan duka; pria yang berani, akan mendapatkan seluruh kesenangan duniawi.
Harun al-Rasyid, khalifah masyhur dari negeri Seribu Satu Malam ini dianggap sebagai salah seorang khalifah yang paling berpengaruh, ingin tidur bersama salah seorang selir ayahnya. Wanita tersebut secara tegas menolak dan mengatakan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan zina karena kedudukan wanita itu sebagai ibu baginya. Harun al-Rasyid memanggil al-Qadi Abu Yusuf dan berkata kepadanya untuk menemukan cara untuk memuaskan syahwatnya. Si Qadi berkata: "Dia hanyalah merupakan wanita budak."
Apakah engkau akan menerima apa saja yang ia katakan? Tidak.
Jangan terima perkataannya."
Jadilah sang khalifah memuaskan nafsunya.
Ibn Mubarak berkomentar: "Aku tidak tahu siapa di antara tiga orang ini yang lebih mengagetkan: Khalifah yang menaruh tangannya di dalam darah dan harta kaum Muslimin dan tidak menghormati ibu tirinya; atau wanita budak yang menolak untuk mengabulkan keinginan sang khalifah; atau Qadi yang memberikan fatwa kepada sang khalifah untuk menghina ayahnya dan tidur bersama selir ayahnya yang nota-bene masih merupakan ibu tirinya sendiri."

Pengaruh-pengaruh Kepercayaan Terhadap Keadilan Ilahi dan Ismah Para Nabi
Telah dijelaskan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah ihwal "khalifah konstitusional" melemahkan kaum Muslimin secara politik dan memaksa mereka untuk mentaati setiap orang yang berhasil meraih kekuasaan tanpa memandang kualifikasi atau karakternya.
Seakan-akan hal ini tidak cukup untuk memaksa mereka untuk merubah pandangan dan keyakinan agamanya.
Pertama-tama, mayoritas khalifah yang pernah berkuasa, kosong dari nilai-nilai agama dan ketakwaan. Untuk menjustifikasi khalifah yang seperti ini, mereka mengklaim bahwa bahkan para nabi biasa melakukan kesalahan. Oleh karena itu, keyakinan mereka terhadap ismah para nabi telah berubah.
Karena barangkali ada ratusan orang yang lebih alim, bertakwa dan lebih memenuhi kualifikasi untuk menjadi khalifah ketimbang khalifah yang berkuasa, mereka dipaksa untuk berkata bahwa tidak ada yang salah dalam memberikan preferensi kepada orang yang lebih rendah tingkat keilmuan, keimanannya (inferior) atas seorang yang memiliki tingkat keilmuan, keimanan yang lebih tinggi dan berkualifikasi.
Syi'ah mengajarkan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan jahat sesuai dengan standar akal-sehat. Tindakan memberikan preferensi kepada yang lebih inferior ketika ada orang yang lebih superior adalah perbuatan jahat, Ahlus Sunnah menyatakan bahwa tidak ada yang baik atau buruk dalam dirinya, apa saja yang diperintahkan oleh Allah adalah baik; apa saja yang dilarang adalah buruk.
Tentang akal, mereka mengingkari keberadaannya di dalam agama. Tidak mungkin menjelaskan secara detail data yang menunjukkan bagaimana keyakinan Ahlus Sunnah "konstitusional khalifah" mempengaruhi seluruh teologi Islam, namun dengan penjelasan secara singkat diharapkan bisa memadai untuk sementara waktu. Jelas bahwa untuk melindungi para khalifah, tidak hanya para nabi disingkirkan dari kedudukan ismah, tapi juga Allah disingkirkan dari keadilan-Nya. Dari sudut pandang ini, kita dapat dengan mudah mengerti signifikansi penuh ayat yang diturunkan di Ghadir Khum.
Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diwahyukan keapdamu dari Tuhanmu; (tentang khilafah Imam 'Ali As) dan jika engkau tidak melakukannya, engkau tidak menyampaikan pesan Ilahi (sama sekali); Dan Allah akan menjagamu dari ganguan manusia (Qs. al-Maidah:54)
Kesucian keyakinan dan amal Islam bergantung kepada khalifah 'Ali As; jika satu pesan tidak disampaikan, maka seakan-akan tidak ada pesan yang disampaikan sama sekali. Keterjagaan seluruh ajaran agama bergantung kepada Khalifah 'Ali setelah Rasulullah Saw.

Apakah Syi'ah Tidak Demokratis?
Musuh-musuh Syi'ah melihat suksesi yang terjadi pada masa-masa para khalifah awal dan para imam dan lalu mereka mengklaim bahwa ajaran Syi'ah adalah ajaran yang tidak sejalan dengan demokrasi. Seluruh dua belas Imam berasal dari satu keluarga sementara empat khalifah berasal dari suku yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa madzhab Sunni adalah madzhab yang menerima demokrasi dalam prinsip, yang dianggap sebagai sistem terbaik pemerintahan. Ajaran Syi'ah, dalam benak mereka, bersandarkan kepada aturan hereditas dan dengan demikian bukan sebuah sistem yang baik.
Pertama, tidak ada sistem pemerintahan yang baik atau yang buruk secara esensial; yang ada adalah pemerintahan baik atau buruk tergantung kepada orang yang memegang kekuasaan di tangannya. Dengan demikian, Syi'ah percaya bahwa seorang imam adalah insan ma'sum, terbebas dari setiap kekurangan, cacat dan lebih unggul dalam keutamaan, berarti kekuasaanya akan lebih sempurna dan lebih adil. Pada satu sisi adalah keadilan tanpa kompromi yang ditunjukkan oleh Imam 'Ali As, Imam pertama, selama masa singkat imamah beliau, dan di sisi lain, hadits yang diterima dari Nabi Saw tentang imam terakhir, al-Mahdi, bahwa "Ia akan mengisi semesta dengan keadilan dan kesetaraan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan." Premis kami bukanlah sebuah abstraksi semata.
Kedua, kita harus mengingat bahwa seluruh khalifah Sunni sejak Abu Bakar hingga khalifah terakhir Abbasiyah, al-Mu'tasim Billah (dibunuh oleh Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M) yang berasal dari suku Quraisy. Apakah hal ini tidak berarti bahwa sebuah keluarga telah berkuasa atas seluruh kaum Muslimin yang terbentang dari Cina bagian utara hingga Spanyol selama enam setengah abad lamanya?
Ketiga, sistem khalifah Sunni, sebagaimana telah disinggung di atas, tidak pernah berdasarkan kepada sistem demokrasi. Khalifah pertama ditimpakan atas kaum Muslimin Madinah oleh beberapa orang sahabat; khalifah kedua dinominasikan oleh khalifah pertama; ketiga dipilih secara nominal oleh lima orang, yang hakikatnya satu orang saja yang memilih. Mu'wiyah mengambil kursi kekhalifaan dengan kekuatan militer. Sistem yang berlaku sebelum dirinya, lebih tepat disebut oligarki; sistem setelahnya merupakan sistem monarki.
'Umar mengambil keputusan bahwa seorang non-Arab ('Ajam) tidak dapat mewarisi sesuatu dari seorang Arab kecuali mereka lahir di Arab. Dan juga, hukum Sunni mengalami kemunduran, dan yang paling tragis adalah tidak mengizinkan seorang pria non-Arab menikah dengan seorang wanita Arab, hal ini juga berlaku bagi seorang non-Quraisy atau non-Hasyimi menikah dengan seorang wanita Quraisy atau Hasyimi. Sesuai dengan hukum fiqh madzhab Syafi'i, seorang budak, bahkan yang telah dibebaskan, tidak dapat menikah dengan seorang wanita merdeka. Kenyataan ini, meskipun deklarasi resmi Nabi bahwa: "Tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, seorang non-Arab atas Arab, seseorang yang berkulit putih atas seseorang yang berkulit hitam, kecuali ketakwaan. Manusia berasal dari Nabi Adam dan Adam berasal dari tanah."
Meskipun praktik yang sudah mapan telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau menikahkan saudara sepupunya kepada Zaid bin Haritsa, seorang budak merdeka, dan menyerahkan saudari 'Abdurrahman bin 'Auf (seorang Quraisy) untuk menikah dengan Bilal, seorang budak merdeka Etiopia.
Hukum fiqh Syi'ah secara terang menjelaskan bahwa: "Dibolehkan untuk menikahkan seorang wanita merdeka dengan seorang budak, seorang wanita Arab dengan seorang pria non-Arab, seorang wanita Hasyimi dengan seorang pria non-Hasyimi, dan sebaliknya. Demikian juga, dibolehkan seorang wanita terpelajar atau berasal dari keluarga kaya-raya dengan seorang pria awam atau keadaan ekonominya pas-pasan atau profesi-profesi rendah lainnya.
Dalam masalah pembagian ghanimah (harta rampasan perang), Rasulullah Saw telah membangun sebuah sistem kesetaraan; harta ini dibagikan secara merata kepada seluruh orang yang mengambil bagian dalam perang tersebut. Abu Bakar melanjutkan sistem ini, namun 'Umar pada tahun 15 H, hanya empat tahun berselang setelah wafatnya Nabi, merubah sistem ini. Ia menetapkan gaji tetap tahunan kepada orang-orang, klan-klan dan suku-suku: "Abbas, paman Nabi, diberi jatah 12.000 atau 25.000 Dinar pertahun; 'Aisyah, 12.000; istri-istri Nabi yang lain, masing-masing mendapat jatah 10.000; orang-orang yang turut serta dalam perang Badar, masing-masing 5.000; mereka yang ambil bagian dalam perang antara perang Badar dan perang Hudaibiyyah, masing-masing, 4000; mereka yang ikut dalam perang setelah perang Hudaibiyyah dan sebelum perang Qadisiyyah, masing-masing, 3000. Jumlahnya secara berkala berkurang dua Dinar pertahun.
Sistem seperti ini merusak tatanan dalam masyarakat Muslim sehingga kekayaan yang menjadi tujuan utama mereka dalam hidup dan yang memberikan mereka manfaat dari agama mereka. Pandangan mereka menjadi materialistik dan, sebagaimana telah disebutkan sebelumya, mereka tidak mentolerir sistem pembagian merata yang kemudian dihidupkan kembali oleh Imam 'Ali dalam khutbah pertamanya setelah mengambil kedudukan khalifah. 'Ali diriwayatkan berkata: "Baiklah, setiap orang dari Muhajirin dan Ansar, dari sahabat-sahabat Nabi, yang berpikir bahwa ia lebih baik dari orang lain karena persahabatannya (biarlah mereka ingat) keunggulan bersinar di hadapan Allah kelak ganjarannya dan upahnya yang diberikan oleh Allah. (Ia tidak boleh berharap menerima ganjarannya di dunia ini). Setiap orang yang menjawab panggilan Allah dan Nabi-Nya, dan menerima kebenaran agama kita dan masuk di dalamnya, dan menghadap kiblat kita, berhak atas seluruh hak yang digariskan dalam Islam; dan seluruh kekayaan adalah milik Allah; harta ini akan dibagikan secara merata di antara kalian; tidak ada preferensi di dalamnya bagi seseorang terhadap yang lainnya.
Mereka yang selama dua puluh tahun sebelum kekhalifaan 'Ali terbiasa menerima pembagian yang tidak adil ini, memberi nasihat dan meminta kepada Imam 'Ali untuk berkompromi terhadap prinsip Islam, mereka berkomplot untuk menyingkirkan mereka; dan 'Ali ternyata tak henti-hentinya sangat peduli terhadap masalah ini.
Setelah kemenangan Umayyah, ketidakadilan di antara kaum Muslimin berlanjut. Bahkan jika seseorang menerima Islam, ia (pria atau wanita) tidak menerima hak-haknya sebagai Muslim. Dalam beberapa keadaan mereka lebih buruk dari teman-teman non-Muslimnya. Kaum non-Muslim hanya diwajibkan untuk membayar Jizyah, namun Muslim harus membayar jizyah dan zakat. Selama masa Bani Umayyah (kecuali dua setengan tahun di bawah khalifah 'Umar bin 'Abudl 'Aziz), jizyah dipungut atas seluruh non-Arab termasuk kaum Muslimin.
Tidak sulit membayangkan betapa sedikit kebijakan ini dapat membantu perjuangan Islam. Selama berabad-abad seluruh negara-negara yang kota-kota dan ibukotanya "Islami" menolak untuk masuk Islam. Bahkan kaum Barbar (yang memenuhi panggilan dakwah Islam setelah resistansi pertama mereka terhadap invasi Arab dan berkhidmat sedemikian baik di Spanyol dan Prancis), secara keseluruhan tidak masuk Islam hingga pendirian kerajaan yang bermadzhab Syi'ah di Maghrib. Ketika Idris bin 'Abdillah, cicit dari Imam al-Hasan dan pendiri dinasti Idris (789-985 M), bergerak melawan mereka, paling banyak di antara mereka adalah non-Muslim ketika itu. Keadaan ini adalah hasil dari perlakuan buruk pada masa-masa sebelumnya. Kita mendengar bahwa ketika Yazid bin 'Abdil Malik menduduki singgasana Umayyah dan melantik Yazid bin Abi Muslim sebagai Gubernur Maghrib, gubernur ini ,memungut kembali jizyah dari orang yang menjadi Muslim dan memerintahkan mereka untuk kembali ke kampung mereka. Bani Idris mengubah kebijakan ini dan melebarkan secara penuh hak-hak bagi seluruh kaum Muslimin, kebijakan ini membawa kaum Barbar itu masuk Islam.
Pemujaan Arabisme ini dipandang bahkan lebih terjalin berkelindan dalam keputusan para penguasa ketika itu yang memandang bahwa jika sebuah warga negara dalam sebuah negara yang ditaklukkan menerima Islam, ia tidak dapat diterima sebagai seorang Muslim atau diakui hak-haknya sebagai Muslim kecuali ia menyambungkan dirinya sebagai seorang klien terhadap beberapa suku Arab. Klien semacam ini disebut mawali. Bahkan mereka menjadi objek ejekan dan ketimpangan, perlakuan oleh patron aristokrat mereka dan pada saat yang sama berlanjut diekploitasi oleh birokrat yang berkuasa.
Dengan membatasi hak berkuasa hanya kepada dua belas Imam Ma'sum, Allah memotong akar-akar perseteruan, percekcokan, kekacauan, dan pemilihan palsu, serta ketimpangan sosial dan ras.

Apakah Imamah Sebuah Kekuasaan Dinasti?
Beberapa orang berkata bahwa madzhab Syi'ah berpegang bahwa Rasulullah Saw hendak membangun sebuah dinasti monarkis bagi keluarganya (yang tampaknya ia gagal melakukan hal ini).
Hal ini menandakan bahwa sebagaimana Rasulullah Saw jauh dari segala tujuan mementingkan diri sendiri, madzhab Syi'ah pasti keliru dalam hal ini. Akan tetapi orang-orang ini juga berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Imam berasal dari suku Quraisy." Akankah mereka berkata bahwa hadits ini bermaka bahwa Rasulullah Saw hendak membangun sebuah kerajaan bagi sukunya sendiri? Akankah mereka berkata bahwa Rasulullah Saw mengatakan kata-kata ini karena "tujuan mementingkan diri-sendiri."
Telah dijelaskan bahwa Abu Bakar mendiamkan kaum Ansar Madinah dengan berkata bahwa karena Rasulullah Saw berasal dari suku Quraisy, bangsa Arab tidak akan menerima setiap orang non-Quraisy menjadi khalifah. Argumen inilah yang berhasil mendiamkan orang-orang Ansar.
Dengan argumen yang sama, jika seorang anggota keluarga Rasulullah (Ahl al-Bait) dijadikan khalifah, seluruhnya akan mentaatinya dan tidak akan ada kesulitan atau perseteruan yang muncul kemudian. Aspek ini dari pengangkatan 'Ali As, telah diakui juga oleh beberapa penulis non-Muslim. Tuan Sedilot menulis: " Jika prinsip hereditas suksesi (hak 'Ali As) diakui sejak pertama, hal ini akan mencegah timbulnya kekacauan yang menenggelamkan Islam dalam pertumpahan darah….Suami Fatimah tergabung dalam kepribadiannya hak mengganti sebagaimana warisan sah Nabi, demikian juga dengan hak eleksi.
Kenyataannya adalah bahwa orang-orang yang keberatan ini telah melalaikan poin ini sama sekali. Madzhab Syi'ah tidak pernah mengklaim bahwa "warisan" ada hubungannya dengan imamah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, seorang Imam haruslah ma'sum, lebih unggul atas umat dalam kebaikan dan mansus min Allah (diangkat oleh Allah).
Namun perkara ini adalah salah satu anugerah dari Allah, dianugerahkan kepada Nabi Ibrahim As dan Rasulullah Saw bahwa, dalam kenyataan dan praktiknya, seluruh Imam yang mengikuti mereka berasal dari keluarganya sendiri; mereka semua memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk imamah adalah keturunan mereka (Nabi Ibrahim dan Rasulullah Saw).[]



5
Imamah(Khalifah Rasulullah Saw)

CATATAN KAKI
1 . Lihat, Al-'Allamah al-Hilli: al-Babu 'l-hadi 'Asyar, Edisi Bahasa Inggris. penj. W. M. Miller, hal. 62; Mughniyyah: Falsafat Islamiyyah, hal. 392.
2 . Lihat, al-Khâtib at-Tabrizi: Mishkatu 'l-Masabih, Terjemahan Bahasa Inggris oleh James Robson, vol.l, hal. 45; al-Majlisi telah mengumpulkan dalam sebuah bagian yang lengkap, hadits-hadits yang bertalian dengan masalah ini dalam Biharu 'l-Anwar, vol. 28, hh.2-36; al-Qummi, Syaikh Abbas: Safinatu 'l-Bihar, vol. 2, hal-hal. 359-360.
3 . Lihat, Najmu 'l-Hasan: an-Nubuwwah wa 'l-khilâfah, penj. Liqa' 'Ali Haidari, hal. 2-3
4 . Lihat, Ibn Hisyâm: as-Sirah an-Nabawiyyah, vol.l, hal. 313-314.
5
6 . Lihat, al-Bukhâri: as-Sahih, vol. 5, hal. 191; Ibn Katsir :al-Bidayah wa 'n-Nihaya, vol. V, hal. 40.
7. Lihat, Abu'l-Fidâ:' al-Mukhtasar , vol.1, hal-hal. 143-144; al-Ya'qubi : at-Târikh ,vol. 2, hal. 59.
8. Ibn 'Abdi 'l-Barr: al-lsti'âb, vol. 4, hal. l679; Ibn Abi 'l-Hadid mengutip akhir kalimat akhir sebagai berikut: "Dengan namanya Abu Sufyan bersumpah, tidak ada azab dan perhitungan (hisab), juga tidak ada Surga dan Neraka, juga tidak ada hari kebangkitan dan hari hisab. (Lihat, Syarh Nahju 'l-Balâghah,vol. 9, hal. 53).
9 . Lihat, Ibn Abi 'l-Hadid: op. cit., vol. 16, hal. 136.
10 . Lihat, Sibt ibn al-Jauzi: 'Tadzkirah, peny. S.M.S. Bahru 'l 'Ulum, hal. 261; at-Tabari, at-Târikh, vol.13, hal. 2174.
11 .Untuk penjelasan "Seorang besar" lihat, as-Suyuti: Lubabu u'n-nuqul fi asbabi'n-Nuzul dicetak bersama Tafsiru 'l-Jalalayn, hal. 289, 649.
12 . al-'Allamah al-Hilli: al-Babu 'l-hadi 'asha, Terjemahan Bahasa Inggris oleh W.M. Miller,hal. 50 dan hal-hal. 62-64.
13 . Ibid. hal. 69.
14 . Ibid. hal. 64-68.
15 . Ibid. hal. 68.
16 . Ibid., hal. 69.
17 . Lihat, as-Suyuti: Târi'khu 'l-Khulafa, hal.217.
18 . Lihat, Holy Qur'an, terjemahan Bahasa Inggris oleh, S. V. Mir Ahmed Ali, fn. 1857, hal. l261 .
19 . Lihat. Wahidu 'z-Zaman: Tafsir Wahidi, pada batas terjemahan al-Qur'an oleh penulis yang sama, parag. 22 catatan kaki. 7, hal. 549.
20 .Lihat,Wahidu'z-Zaman: Anwârul-Lughah, pada.22,hal.51.
21 . Lihat, al-Gazali: Ihyâ''Ulumi'd-Din, vol. I, bag.2, hal. 10.
22 . Ibn Abdi 'l-Barr:al-Isti'âb,vol.2,hal. 470.
23 . Lihat, al-Qunduzi: Yanabi'u 'l -Mawaddah, hal. 253.
24 . Lihat, Ibn 'Abdi 'l-Barr: al-Isti'âb, vol. 3, hal. 1 1 15.
25 . Lihat, Ibn Hajar al-Haitami: Sawa'iqu 'l-Muhriqah, hal.72, Ibn Hajar al-'Asqâlani: Fathu 'l-Bari, vol. 8, hal. 81.
26 . Lihat, Amritsari, Arjahu 'l -Matâlib, hal. 112.
27 . Lihat, Ibnu 'l-Atsir: al-Kamil, vol.5, hal. 62-63; al Baghawi: at-Tafsir, vol. 4, hal.127; al-Khazin: at-Tafsir, vol. 4, hal. 127; al-Bayhaqi: Dala 'ilu 'n-nubuwwah, vol. I, hal.428-430; as-Suyuti: ad-Durru 'l-mantsur, vol.5, hal.97; al-Muttaqi al-Hindi: Kanzu 'l-'ummal , vol.15, hal. 100,113,115-117; Abu 'l -Fida': al -Mukhtasar, vol. I, hal .116-117 , at -Tabari: at Tarikh, vol. I hal.171-173; Carlyle , T.:On Heroes, Hero Worship and the Heroic in History, hal.54; Gibbon, E. : The Decline and Fall of the Roman Empire, vol. 3, hal. 94; Davenport, J.: An Apology for Muhammed and the Koran , hal.21; Irving, W.: Mahommet and His Successors, hal.45. (Untuk detailnya, lihat al-Amini: al-Ghadir , vol. 2, hal.278-279.
28 . Lihat, at-Tabari, at-Tafsir, vol. 6, hal. 186; as-Suyuti: ad-Durru 'l-mantsur, vol. 2, hal-hal. 293-294; ar-Razi: at-Tafsiru 'l-kabir, vol.12, hal. 26; az-Zamakhsyari: at-Tafsir al-Kasysyaf, vol.l, hal.649; al-Jassas: Ahkamu 'l-Qur'an,vol. 2, hal-hal. 542-543; al-Khazin: at-Tafsir, vol. 2, hal. 68.
29 . Lihat, al-Qunduzi: Yanabi'u 'l-Mawaddah, hal.168; Amritsari: Arjahu 'l-Matâlib, hal.448.
30 . Lihat, Siddiq Hasan Khan: Manhaju 'l-wusul,hal.13.
31 . Lihat, al-'Amini: al -Ghadir, vol 1, hal. 14-18 .
32 . Ibid., hal. 62-63.
33 . Ibid., hal.73-81
34 . Ibid ., hal. 73-151.
35 . at-Tirmidhi: as-Sahih, vol. 2, hal.298.
36 . Lihat, at-Tahawi: Musykilu 'l-Athar, vol.2, hal. 308.
37 . Lihat, al-Hakim: al-Mustadrak, vol.3, hal-hal.109-110.
38 . Lihat, al-Amini: al-Ghadir, vol. 1, hal. 295.
39 . Ibid, hal. 294-313.
40 . Lihat, Subhi' as-Salih: 'Ulumu 'l-Hadits wa Mustalahatuh, hal. 145
41 . Ibid., hal.l56.
42 . Lihat, al-Khatib at-Tabrizi: Misykatu 'l-Masabih , hal.557; Mir Khwand: Habibu 's-siya, vol. 1, pt. 3, hal. 144; at-Tabari: al-Wilayah , ar-Razi: at-Tafsiru 'l-Kabir, vol. 12, hal. 49-50; Ahmad: al-Musnad , vol. 4, hal. 281; Ibn Abi Shaybah: al-Musanna, Abu Ya'la: al-Musnad, Ahmad ibn 'Uqdah: al-Wilayah dan banyak yang lain. [Lihat juga, al-Amini: al-Ghadir, vol. 1, hal. 270 dan hal. 283 - untuk referensi lebih lengkap.]
43 . Lihat, al-Amini : al-Ghadir, vol. I, hal. 340.
44 . Lihat, al-Amini: al-Ghadir, hal., 344-350, untuk referensi lebih lengkap.
45 . Ibid. , hal. 370-371.
46 . Lihat, al-Wahidi: Asbabu 'n-nuzul, hal. 40; as-Suyuti: ad-Durru 'l-mantsur, vol. 2, hal. 38.
47 . Hadits ini dapat dijumpai dalam banyak kitab-kitab hadits. Lihat misalnya, at Tirmidzi: as-Sahih, vol. 2, hal. 308; Ibnu 'l-Atsir: Usdu 'l-Ghabah, vol. 2, hal. 12; as-Suyuti: ad-Durru 'l-mantsur, vol. 6, hal. 7; al-Muttaqi al-Hindi: Kanzu 'l-'Ummal, (Hyderabad, 1312 H), hal. 48
48 . Lihat, Ibn Majah: as-Sunan, hal.l2; Ahmad: al-Musnad, vol. 1, hal. 174; an-Nasa'i: al-Khasa'is, hal. I5-16; atTahawi: Mushkilu 'l-Athar, vol. 2, hal. 309; al-Muhibb at-Tabari: Dzakhatiru 'l-'Uqba, hal.63.
49 . Lihat, as-Suyuti: ad-Durru 'l-Mantsur, vol. 6, hal. 209, at-Tabari: at-Tafsir, vol. 10, hal. 47; an-Nasa'i: al-Khasa 'is, hal. 20.
50 . Lihat, al-Khati'b al-Khwarazmi: al-Manaqib, hal. 56; al-Hammuyi: Fara'idu 's-simtayn, vol. 1, hal. 176; al-Khati'b al-Baghdadi: Tari'kh Baghdad, vo1. 14, hal. 321.
51 . Sebagaimana dikutip dalam Kitab Mafatihu 'l-Matâlib, hal.396; al-Ganji: Kifayatu 't-Tâlib, hal. 176.
52 . Al-Qur'an, 47:33; Lihat juga, 3:32,132; 5:92; 8:1,20, 46; 24:54; 58:13; 64:12.
53 . Al-Qur'an,4:13;Lihat juga, 4:69; 24:52; 33:71; 48:18.
54 . Al-Qur'an, 62:2; lihat juga, 2:129; 3:164.
55 . Lihat, as-Saduq:' Ilalu 'sh shara'i', vol. I, hal . 123 .
56 . ar-Razi : at-Tafsiru 'l-kabir, vol.10, hal. l44.
57 . Meskipun kita tetap memberi hormat kepada pendapat-pendapat yang lain, dan khususnya kepada keyakinan saudara-saudara kita dari Ahlus Sunnah, pada saat yang sama, penulis tidak memiliki alternatif lain kecuali mengkritisi pendapat ar-Razi dengan contoh-contoh tersebut. Tentu saja, kita tidak menganggap bahwa pendapat ar-Razi ini merupakan manifesto seluruh saudara Ahlus Sunnah, (Penerbit).
58 . Lihat, al-'Ayyashi: at-Tafsir, vol. 1, hal-hal.249-250; Fayd al-Kashani: at-Tafsir ) as-Safi), vol.1, hal.364.
59 . al-Khazzaz: Kifayatu 'l-Athar, hal. 53
60 . al-Qunduzi' Yanabi 'u 'l-mawaddah, hal-hal 444-447
61 . Lihat, at-Taftazani: Syarh 'Aqa'idi'n-Nasafi, hal.185.
62 . Lihat, Miller,W.M.: terjemahan, al-Babu 'l-hadi 'asyar.
63 . Lihat, at-Taftazani: Syarhu 'l-Maqâsidi' t-Tâlibi'n, vol. 2, hal. 272. Lihat juga, al-Hafiz 'Ali' Muhammad and Amiru 'd-Din: Fulku 'n-Najat fi 'l-Imâmah wa 's-salat, vol. 1, hal. 203.
64 . Lihat, at-Taftazani, op. cit.
65 . Lihat, as-Suyuti, Târikhu 'l-Khulafa', hal.71.
66 . Lihat, at-Taftazani: op. cit.
67 . Lihat, Ghiyathu 'd-Din: Ghiyathu 'l-Lughat, hal. 228.
68 . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1820; Ibnu'l-Atsir: al-Kâmil, peny. C.J.Tornberg, Leiden,1897, vol.2, hal-hal. 325 folio; Ibn Qutaybah: al-lmâmah wa's-Siyasah, Kairo, 387/1967, vol. 1, hal-hal. 18 folio.
69 . Lihat, Mir Khwand: Rawdatu 's-Safa, vol 2, hal. 221.
70 . Lihat, al-Halabi: as-Sirah, vol. 3, hal. 357. [11] Ibn Qutaybah: al-Imâmah wa 's-Siyasah, vol. 1,hal. 4; al-Mawardi: al-Ahkamu 's-Sultâniyyah, hal. 7.
71 . Lihat, Ibn Qutaibah, al-Imâmah wa 's-Siyasah, vol. 1, hal. 4; al-Mawardi, al-Ahkamul Sultâniyyah, hal. 7.
72 . Lihat, ar -Radi , Nah ju 'l -Balâghah, Edisi Subhi Salih, Beirut, hal. 98.
73 . Ibid., Perkataan no.l90, [hal-hal.502-503] . Kata-kata Imam 'Ali dinukil oleh asy-Syarif Radi di bawah perkataan no. 190 yang berbunyi sebagai berikut: "Alangkah anehnya! Dapatkah seseorang menjadi khalifah melalui persahabatannya dengan Nabi bukan melalui persahabatan dan kekerabatan?" Menakjubkan untuk disimak bahwa edisi Subhi Salih dan Muhammad Abduh (Beirut, 1973), telah melalaikan kata-kata "tapi tidak melalui persahabatannya!" Untuk versi yang lebih lengkap dari perkataan ini, silahkan lihat, Ibn Abi' l-Hadid, Syarh Nah ju'l- Balâgha, Kairo,1959, vol. 18, hal. 416.
74 . Lihat, al-Bukhari ': as-Sahih, " Kitabu 'l-Muhakibin ", Kairo, (tanpa tahun), vol.8, hal.210; at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1821.
75 . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, hal-hal. 2138-2139.
76 . Lihat, Ibn Abi 'l-Hadid: Syarh.Nahju 'l-Balâgha vol. 1, hal-hal. 163-165.
77 . Lihat, Muslim: as-Sahih " Kitabu 'l-Wasiyyah ", Babu 't-tarki 'l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, " Kitabu 'l-'llm") hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu 't-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu 'iI' tisam bi 'l -Kitab wa 's-Sunnah, hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan nama orang yang menuduh beliau meracau ('Umar, -penj.); dan di mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih santun, ia menyebutkan nama pembicara - 'Umar - dengan jelas. Ibn Sa'd: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355.
78 . Lihat, Ibn Abi 'l-Hadid: Syarh, vol. 12, hal. 21, (dinukil dari Târi'kh Baghdad).
79 . Ibid., vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa 's-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan at-Tabari: at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41.
80 . Lihat, Ibn Abi 'l-Hadid :Syarh, hal.189.
81 . Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad , (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa'idi Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard, hal .47 ].
82 . Analisa ini dinisbahkan kepada 'Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara 'Ali dan pamannya 'Abbas.
83 . Lihat, catatan kaki no. 9 bagian pertama.
84 . Lihat, Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 291.
85 . Lihat, as-Suyuti: Tanrikhu 'l-Khulafa', hal. 209, [Lihat juga, terjemahan Inggrisnya oleh Major H.S. Jarrett, hal.213]; Abu'l-Fida': at-Târikh, vol.I, hal.192; Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 288; Mir Khwand: Rawdatu 's-Safa, vol. 3, hal. 66; Ibn Hajar al-Haytami: as-Sawa'iqu 'l-Muhriqah, hal. 79.
86 . Ibid.
87 . Lihat, ad-Diyar Bakri: Tarikhu 'l-Khâmis, vol. 2, hal. 320, sebagaimana dikutip oleh Nawwab Ahmad Husayn Khan Payanwan dalam Tari'kh Ahmad, hal. 328 [Ibn Shakir: Fawatu 'l-wafayat, vol.4, hal-hal.255-259.
88 . Lihat, as-Suyuti: Tari'khu 'l-Khulafa', hal. 291.
89 . Ibid.
90 . Lihat, Prophethood karya S.A.A. Rizvi, hal.9-18
91 . Lihat, Justice of God karya S.A.A. Rizvi, hal-hak. 1-2.
92 . Lihat, Abu Dawud: as-Sunan, vol.4,hal-hal.106-109;Ahmad: al-Musnad, vol.l, hal-hal 377-430; vol.3, hal.28; al-Hakim: al-Mustadrak, vol. 4, hal-hal 557-865.
93 . Lihat, Malik: al-Muwatta, vol. 2, hal. 60.
94 . Lihat, al-Jaziri: al-Fiqh 'ala 'l-Madzahibi 'l-Arba'ah, vol. 4, hal.60.
95 . Lihat, as-Suyuti: ad-Durru 'l-Mantsur, vol. 6, hal. 98.
96 . Lihat, Ibnu 'l-Qayyim: Zadu 'l-Ma'ad, vol. 4, hal. 22.
97 . Lihat, al-Muhaqqiq al-Hilli: Syara'i'u 'l-lslâm, "Kitâbu 'n-Nikah, vol. 5, hal. 300; al-Hakim: Minhâju 's.-Salihin, Kitabu ' n-Nikah, vol. 2, hal . 279 .
98 . Lihat, at-Tabari : at-Târikh, Annales I, vol.5, hal-hal. 2411- 2414; Nicholson,R.A. : A Literary History of the Arabs, hal.187.
99 . Lihat, Ibn Abi 'l-Hadid: Syarh, vol.7, hal-hal.35-47; Lihat juga khutbah Imam 'Ali no. 126 dalam Nahju 'l-Balâghah.
100 . Jizyah: pajak yang dibayar oleh non-Muslim, yang berada di bawah pemerintahan Muslim,(penerbit).
101 . Lihat,at-Tabari: at-Tarikh, Annales II), vol. 3, hal-hal. 1354-1367.
102 . Lihat, al-Amin: Islamic Shi'ite Encyclopedia, vo1. 1, hal-hal. 38-41.
103 . Lihat, Sedillot, L.P.E.A., Histoire des Arabes, terjemahan Arab, hal.126-127.


SUMBER-SUMBER RUJUKAN
" Abu Daud, ٍSulaiman bin al-As'at al-Azdi as-Sajistani (202/817 - 275/889): as-Sunan, Kairo (tanpa tahun).
" ABU'L-FIDA ', 'Imadu 'd-Din, Ismâ'il ibn 'Ali ibn Mahmud al-Ayyubi (672/1273 - 732/1338): at-Târikh al-Mukhtasar fi akhbari 'l-Basyar, Beirut, (tanpa tahun).
" AHMAD, Abu 'Abdillâh, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (164/780 - 241/855): al-Musnad , Kairo, 1313 H.
" 'ALI MUHAMMAD dan AMIRU 'D-DIN ; Fulku 'n-najat fi 'l-Imâmati wa 's-salât, Lahore, edisi kedua,1950.
" AL-'ALLAMAH AL-HILLI, Abu Mansur, al-Hasan ibn Yusuf ibn 'Ali ibn al-Mutâhhar al-Asadi (648/1250 - 726/1325) : al-Bâbu 'l-hadi 'Asyar terjemahan bahasa Inggris oleh W.M. Miller, Luzac & Co., London,1958.
" AL-?MIN, Hasan : Islamic Shi'ite Encyclopaedia, Beirut, (tanpa tahun).
" AL-?MINI, asy-Shaykh 'Abdu 'l-Husayn ibn Ahmad at-Tabrizi an-Najafi (1320/ 1902 - 1390/1970) : al-Ghadir, edisi ketiga, Beirut,1387/1967.
" AMRITSARI, 'Ubaydullah : Arjahu 'l-matalib, Lahore, 1318 H.
" AL-'AYY?SYI, Abu 'n-Nadr, Muhammad ibn Mas'ud as-Sulami as-Samarqandi (wafat pertengahan abad ke 3/ 9 abad .: at-Tafsir, Teheran, (tanpa tahun).
" AL-BAGHAWI, Abu Muhammad, al-Husayn ibn Mas'ud asy -Syafi'i (436/ 1044 - 510/1117): at-Tafsir Ma'alimu 't-tanzil ) , pada margin al-Khazin's at-Tafsir), Kairo, 1375/1955.
" AL-BAYHAQI, Abu Bakr, Ahmad ibn al-Husayn an- Naysaburi asy-Shafi'i (384/994 - 458/1066): Dalâ 'ilu 'n-nubuwwah, Kairo, 1389/1969.
" AL-BUKH?RI, 'Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Ismâ'il (194/810 - 254/870):: as-Sahih, Kairo, (tanpa tahun).
" CARLYLE, T.: On Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History, edisi Edinburgh (tanpa tahun)
" DAVENPORT, J.: An Apology for Mohammed and the Koran, London, 1869.
" AD-DIYAR BAKRI, Husayn ibn Muhammad asy-Syafi'i ( wafat kira-kira 966/ 1559), Târikhu 'l -Khamis, Kairo,1283 H.
" FAYD AL-KASH?NI , Muhammad Muhsin (1010/1599 - 1094/1690), at-Tafsir as-Safi , Teheran,1374 H.
" AL-GANJI, Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Yusuf asy-Syafi'i (wafat 658/1260) Kifayatu 't-talib fi manaqib 'Ali ibn Abi Tâlib) , an-Najaf al-Ashraf (Iraq),1937.
" AL-GHAZZALI, Abu Hamid, Muhammad ibn Muhammad at-Tusi ash-Shafi'i (450/1058- 505/1111), Ihya 'ulumi 'd-din, Beirut, 1975 .
" GHIYATHU 'D-DIN, Muhammad ibn Jalalu 'd-Din Rampuri (abad ke 13/19) Ghiyathu 'l-lughat, Nawal Kishore Press, Lucknow,1867.
" GIBBON, E.: The Decline and Fall of the Roman Empire, The Modern Library, New York, (tanpa tahun).
" AL-HAKIM, Abu 'Abdillah, Ibnu 'l-Bayyi', Muhammad ibn 'Abdillah an-Naysaburi ash-Shafi'i (321/933 - 405/1014 (, al-Mustadrak 'ala 's-Sahihaynو Hyderabad,1335 H.
" AL-HAKIM, as-Sayyid Muhsin at-Tabataba'i (1306/1889 - 1390/1970), Minhaju 's-salihin, Daru'z- Zahra', Beirut, edisi ke-10 (tanpa tahun).
" AL-HAMMUYI, Abu Ishaq, Ibrahim ibn Muhammad al-Juwayni (644/ 1246 -742/1322), Fara'idu 's-simtayn, Beirut (2 vol.), 1978.
" IBN 'ABDI 'L-BARR, Abu 'Umar, Yusuf ibn 'Abdillah al-Qurtubi al-Malih (368/978 - 463/1071), al-Isti'ab fi ma'rifati 'l-Ashâb, Kairo, (4 vols.), 1380/1960.
" IBN ABI 'L-HADID, 'Izzu 'd-Din 'Abdu 'l-Hamid (586/1190 - 566/1257), Syarh Nahj 'l-Balâghah, Mesir, eidisi kedua, (20 vol).
" IBNU 'L-ATHIR, Abu 'I-Hasan, 'Izzu 'd-Din, 'Ali ibn Muhammad al- Jazari ash-Shafi'i (555/ 1160 - 630/1233), al-Kamil fi 't-Târi'kh , Beirut,1385/1965.
" -Usdu 'l -Ghabah, Kairo, 1285 H.
" IBN HAJAR AL-'ASQALANI, Shihabu 'd-Din, Abu 'l-Fadl, Ahmad ibn 'Ali asy-Syafi'i (773/1372 - 852/1449), Fathu 'l-bari fi- Syarh Sahi'hi 'l-Bukhari), Cairo, 1378 H.
" IBN HAJAR AL-HAYTAMI, Abu 'l-'Abbas, Ahmad ibn Muhammad al-Makki ash-Shafi'i (909/1503 - 973/1566), as-Sawa'iqu 'l-Muhriqah, tanpa nama penerbit atau tanggal yang disebutkan oleh penulis)
" IBN HISHAM, Abu Muhammad, 'Abdu 'I-Malik ibn Hisham al -Bakri (wafat 213/ 828), s-Sirah an-naba - wiyyah, Mesir, (tanpa tahun).
" IBN KATHIR, Abu 'I-Fida', Isma'il ibn 'Umar ad-Dimashqi ash-Shafi'i (701/1302 - 774/1373), al-Bidayah wa 'n-nihayah, Beirut, edisi perdana, 1966.
" IBN MAJAH, Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (209/824 -273/887), as-Sunan, Delhi, (tanpa tahun)
" IBNU 'L-QAYYIM, Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Abi Bakr, Ibn Qayyimi 'l-Jawziyyah ad-Dimashqi asy- Syafi'i (691/ 1292 - 751/1350), Zadu 'l-ma'ad, Kairo, 1950.
" IBN QUTAYBAH, Abu Muhammad, 'Abdullah ibn Muslim ad-Dinawari (213/828 - 276/889), al- Imamah wa's-Siyasah, Kairo, 1387/1967; dan Beirut, 1401/1981.
" IBN SA'D, Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Sa'd al-Baghdadi (168/784 - 230/845), at-Tabaqat al-Kabir, Beirut, (tanpa tahun).
" IBN SHAKIR, Muhammad ibn Shakir al-Kutubi (wafat 764/1363), Fawatu 'l-wafayat, Beirut, 1974.
" IRVING, Washington (1783 - 1859), Mahomet and His Successors, London, (Part of the Astor Prose Series), 1905.
" AL-JASSAS, Abu Bakr, Ahmad ibn 'Ali ar-Razi al-Hanafi (305/917 - 370/980), Ahkamu 'l-Qur'an, Istanbul, 1338 H.
" AL-JAZIRI, 'Abdu 'r-Rahman ibn Muhammad (1299/1882 - 1360/1941), al-Fiqh 'ala 'l-mazhahibi 'i- arba'ah, Beirut, 1969.
" AL-KHATIB AL-BAGHDADI, Abu Bakr, Ahmad ibn 'Ali asy-Syafi'i (392/1002 - 463/1072), Târi'kh Baghdad, Beirut, (tanpa tahun).
" AL-KHATIB AL-KHWARAZMI, Abu'l-Mu'ayyad, al- Muwaffaq ibn Ahmad al-Hanafi (484/1091 - 567/1172), al-Manâqib, an-Najaf al-Asyraf (Iraq),1965.
" AL-KHATIB AT-TABRIZI, Waliyyu'd-Din Muhammad ibn 'Abdillah (fl. Abad ke-8/ 14), Mishkatu '1-masabi'h, terjemahan bahasa Inggris oleh James Robson, Pakistan, 1975.
" AL-KHAZIN, 'Ala'u'd-Din, 'Ali ibn Muhammad al-Baghdadi asy-Syafi'i (678/1280 - 741/1341), at-Tafsir Lubabu 't-Ta'wil fi' ma'âni 't-Tanzi'l , Kairo 1375/1955.
" AL-KHAZZAZ, Abu 'l-Qâsim, 'Ali ibn Muhammad ibn 'Ali (abad ke-4/9), Kifâyatu 'l-Athâr, Iran, 1981.
" AL-MAJLISI, al-'Allamah, Muhammad Bâqir ibn Muhammad Taqi (1037/1628 1110/1699), Bihâru 'l-Anwâr, Teheran, 1392 H.
" MALIK IBN ANAS, Abu 'Abdillah, al-Asbahi al-Madani (93/712 - 179/795), al-Muwatta', Kairo, 1353 H.
" AL-MAWARDI, Abu 'l-Hasan, 'Ali ibn Muhammad ibn Habib asy-Syafi'i (364/974 - 450/1057), al- Ahkamu 's-Sultâniyyah, Kairo, 1966.
" MILLER,W.M., lihat, al-'Allamah al-Hilli.
" MIR AHMED ALI, S. V., The Holy Qur'an, dengan terjemahan Bahasa Inggris dan tafsirnya, Karachi,1964.
" MIR KHWAND , Muhammad ibn Khwand Shah ibn Mahmud (wafat 903/1498), Rawdatu 's-Safa ', Nawal Kishore Press, Lucknow, (tanpa tahun).
" AL-MUFID, ash-Shaykh, Abu 'Abdillah, Muhammad ibn Muhammad ibn an-Nu'man (336/948 - 413/1022), al-Irsyâd, Teheran, 1351 S, [Terjemahan Inggris I. K. H. Howard, London,1981].
" AL-MUGHNIYYAH, Muhammad Jawad : Falsafat Islâmiyyah, Daru 't-Ta'aruf, Beirut, 1398/1978.
" AL-MUHAQQIQ AL-HILLI, Najmu 'd-Din, Abu 'l-Qasim, Ja'far ibn al-Hasan, Ibn Sa'id al-Hudhali (602/ 1206 - 676/1277), Shara 'i'u 'l-Islâm, Kitabu 'n-Nikah, an-Najaf al-Asyraf (Iraq),1969.
" AL-MUHIBB AT-TABARI , Muhibbu 'd-Din, Abu 'l- 'Abbas, Ahmad ibn 'Abdillah ash-Shafi'I (615/1218 - 694/1295), Dzakha'iru 'l-'Uqba fi manaqibi dzawi 'l-Qurba, Beirut, 1974.
" MUSLIM, Abu 'I-Husayn, Muslim ibn al-Hajjaj an-Naysaburi (204/820 - 261/875), as-Sahih, Kairo, (tanpa tahun).
" AL-MUTTAQI AL-HINDI, 'Ala'u 'd-Din, 'Ali ibn Husami 'd-Din (885/1480 - 975/1567), Kanzu 'l-'ummal, Hyderabad, 1388/1968.
" NAJMU 'L-HASAN, Sayyid: an-Nubuwwah wa 'l-Khilafah, penj., Liqa' 'Ali' Haydari, Lucknow, 1934.
" AN-NASA'I, Abu 'Abdi 'r-Rahman, Ahmad ibn 'Ali' asy-Syafi'I (215/830 - 303/915), al-Khasa'isu 'l- 'Alawiyyah, Mesir,1348 H.
" NAWWAB AHMAD HUSAYN KHAN: Târikh Ahmadi, Haqq Brothers (Maktaba Rizviya), Lahore (tanpa tahun).
" NICHOLSON, R.A (1868 - 1945), A Literary History of the Arabs, Cambridge, 1979.
" AL-QUMMI, Shaykh 'Abbas (1294/1877 - 1359/1941), Safinatu 'l-Bihâr, an-Najaf al-Asyraf, 1355 H.
" AL-QUNDUZI, as-Sayyid Sulayman ibn Ibrahim al-Hanafi (1220/1805 - 1294/1877), Yanabi'u 'l- Mawaddah, Istanbul, 1301 H.
" AR-RADI, asy-Syarif, Abu 'l-Hasari, Muhammad ibn al-Husayn al-Musawi (359/970 - 406/1015), Nahju'l-Balâghah )edisi Subhi as-Sahh), Beirut, 1387/1967.
" AR-RAZI, Fakhru 'd-Din, Muhammad ibn 'Umar asy-Syafi'i (544/1150 - 606/1210), at-Tafsiru 'l-Kabir, Kairo, 1357/1938.
" RIZVI, S. S. A,. Prophethood, Dar-es-Salaam (Tanzania), edisi kedua, 1975. -Justice of God, Mombasa (Kenya), edisi ketiga, 1980.
" AS-SADUQ, Abu Ja'far, Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn, Ibn Babawayh al-Qummi (kira-kira 306/919 - 381/991), Ilalu'sh-Syara'i', an-Najaf al-Asyraf, 1385/1966.
" SEDILLOT, L. P. E. A (1808 - 1875), Histoire des Arabes, terjemahan Bahasa Arab oleh, 'Adil Zu'aytir, Cairo, 1367/1948.
" SIBT IBN AL-JAWZI, Syamsu'd-Din, Yusuf ibn Qiza'-ughli ibn 'Abdillah al-Hanafi (581/1185 - 654/1256), Tadzkirat Khawassi 'l-Ummah, peny. S. M. S. Bahru 'l-'Ulum, dicetak kembali di Teheran, (tanpa tahun).
" SIDDIQ HASAN KHAN, (1248/1832 - 1307/1889), Manhaju 'l-Wasul ila Islahi Ahaditsi 'r-Rasul, Shah-jahani Press, India, (tanpa tahun).
" SUBHI AS-SALIH, 'Ulumu 'l-Hadits wa Mustalahatah, Beirut, 1978.
" AS-SUYUTI, Jalalu 'd-Din, 'Abdu 'r-Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad asy-Shafi'I (849/1445 - 911/1505), Lubabu 'n-Nuqul Fiasbabi 'n-Nazal, dicetak bersama Tafsiru 'l-jalalayn, Daru 'l-Kitabi l-'Arabi, Beirut, (tanpa tahun).
" -Târi'khu 'l-Khulafa', Kairo, 1371/1952: [terjemahan Bahasa Inggris oleh Major H. S. Jarrett, dengan judul "History of the Caliphs ", Karachi, 1977. ]
" -ad-Durru 'l-manthur, Beirut, (tanpa tahun).
" AT-TABARI, Ibn Jarir, Muhammad (224/839 - 310/932), Tari'khu 'l-Umam wa 'l-Muluk, Leiden,1980, dan Mesir, (tanpa tahun).
- at-Tafsir Jami'u 'l-Bayan fi Tafsiri'l-Qur'an, Egypt, Bulaq, 1326 H.
" AT-TAFTAZANI, Sa'du 'd-Din, Mas'ud ibn 'Umar asy-Syafi'i (712/1312 - 793/1390), Syarh Aqaidi'n- Nasafi, Istanbul, 1326 H, Syarhu l-Maqasidi 't-Talibin, Istanbul,1305 H.
" AT-TAHAWI, Abu Ja'far, Ahmad ibn Muhammad al-Hanafi (239/853 - 32 /933), Musykilu 'l-Athâr, Hyderabad, 1333 H.
" AT-TIRMIDZI, Abu 'Isa, Muhammad ibn 'Isa as-Sulami (209/824 - 279/892), as-Sahih, Kairo, 1292 H.
" WAHIDU ' Z -ZAMAN: Tafsir Wahidi, Lahore, (tanpa tahun). Anwaru 'l-lughah, Banglore,1334 H.
" AL-WAHIDI, Abu 'I-Hasan, 'Ali ibn Muhammad asy- Syafi'i (wafat 468/1076), Asbabu 'n-nuzul, (tanpa nama penerbit atau tanpa tahun).
" AL-YA'QUBI' Ibn Wadih, Ahmad ibn Ishâq (d.a.d. 292/905), at-Tarikh, Beirut, 1960.
" AZ-ZAMAKHSYARI, Mahmud ibn 'Umar al-Hanafi (467/1075 - 538/1144), at-Tafsir al-Kasysyaf, Beirut, (tanpa tahun).


6