Bab 20. Renungan
Nampaknya, ada perbedaan latar belakang dan sikap hidup antara ‘Umar dan Abu Bakar di satu pihak, dengan ‘Ali bin Abi Thalib pada pihak lainnya. ‘Umar, yang sebenarnya memerintah bahkan di saat Abu Bakar secara resmi menjabat khalifah, memiliki “naluri negarawan” yang besar, arif akan likuliku kekuasaan dan seperti lebih paham tentang bagaimana caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras, yangmeminjam katakata Khaldun “semua ingin berkuasa” dan “hanya dapat diperintah oleh seorang Nabi atau Wali.” Dia tahu meramu kekuatan dalam tangannya, dan secara keras berhasil mengatasi kemelut di saat kritis itu. ‘Umar bukanlah prajurit yang hebat keberaniannya dalam pertempuran di medan jihad. Namun dalam mengatasi “kemelut politik” ini, ia pemberani yang sedia juga menyerempetnyerempet bahaya. Orang jujur tidak dapat menutup mata atas kenyataan betapa ia berani menghalangi Rasul menuliskan wasiat. Wasiat yang kemudian disampaikan secara lisan itu berisi tiga pesanan. Pertama, pemberian hadiah kepada para utusan, supaya diteruskan. Kedua, supaya kaum musyrikin diusir dari jazirah Arab. Ketiga... “Aku lupa akan wasiat yang ketiga”, kata Muslim yang meriwayatkan hadis itu.
‘Umar juga berani memperlambat keberangkatan pasukan yang dipimpin Usamah, dengan mengulur Aur waktu, dengan alasan bahwa Usamah berusia terlalu muda. Ia malah berani menghapus kalimat azan, hayya ‘ala khairu’l ‘amal (Marilah melakukan amal yang baik), konon untuk lebih mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih memompa semangat pasukan yang sedang dikerahkannya ke berbagai penjuru. Ia berani menambahkan ke dalam versi azan, kalimat Ashshalatu khairun minannaum pada salat subuh, yang berarti, “Salat lebih baik ketimbang tidur!”
Ia menghapus sistem kawin mut’ah dalam rangka kebijaksanaan menghalangi para Sahabat meninggalkan Madinah berlamalama; dan masih banyak lagi.
‘Ali seorang Sahabat yang sangat terkenal keberanian dan ketangkasannya sebagai prajurit dalam medan jihad. Demikian banyak medan pertempuran yang diterjuninya, demikian banyak tokoh tokoh jahiliah yang tewas oleh pedangnya, dan tidak sedikit permusuhan dan dendam kesumat yang bersumber dari sini, di antaranya Mu’awiyah, yang kehilangan kakek, paman dan saudaranya, dalam pertarungan melawan ‘Ali. ‘Ali malah menentukan kemenangan dalam berbagai pertempuran.
Namun ‘Ali bukanlah orang yang berani menyerempetnyerempet prinsip keagamaan untuk meramu kekuatan dalam tangannya. Ia hanya menerapkan saja, sedang sumbemya adalah Rasul dan ajaran yang disampaikan beliau, AlQur’an. Tidaklah mengherankan apabila ‘Ali bertindak tanpa pamrih, selalu berpegang teguh pada prinsip. Ia adalah orang yang “prinsipalis”, dan bukan orang yang suka berkompromi, sedikitnya dalam melaksanakan ajaran agamanya.
Ada yang bilang bahwa tanpa kesengajaan, ‘Ali telah membangun musuh di sekelilingnya. Sanak keluarga korban yang tewas dalam pertempuran yang dilakukannya bersama Rasul, atau yang luka, termasuk luka hati. Yang terakhir ini telah dilakukan ‘Ali, misalnya, sekembalinya dari memimpin ekspedisi ke Yaman. Sementara pasukan ekspedisinya berkemah di luar kota, ‘Ali memasuki Makkah untuk menemui Nabi. Sekembalinya ke perkemahan, para anggota pasukannya telah mengenakan pakaian rampasan perang yang megahmegah, supaya dapat masuk kota dengan lebih gagah. ‘Ali melihatnya sebagai suatu pelanggaran disiplin, karena pakaianpakaian megah itu termasuk milik negara, baitu’l mal, dan memerintahkan agar seluruh pasukan menanggalkannya. Mereka memprotes, mengadu kepada Rasul. Tetapi tindakan ‘Ali dibenarkan Rasul.
Dengan tegak teguh atas pendirian ini, ‘Ali juga menolak tawaran Abu Sufyan dan pamannya ‘Abbas untuk merebut kembali kekuasaan dari tangan Abu Bakar. Abu Sufyan bukanlah penganut Islam yang taat. Sekali lagi nampak bahwa ‘Ali menunjukkan diri sebagai tokoh yang tidak hendak berkompromi dalam masalah keagamaan. ‘Ali lebih dikenal sebagai “pintu ilmu”, sebagai “Harun” dari Rasul dan sebagai “wali” kaum mu’minin. Dengan berpegang teguh pada nas agama, ia mengajukan tuntutannya. Dialogdialog Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Khaththab menunjukkan tuntutan ini. Kendati pun ‘Ali tidak dapat mengatasi kekuatan lawannya, dan ‘Ali bersama pengikutnya berlaku taat kepada khalifahkhalifah yang sebelumnya, namun jelas bahwa ini tidak berarti suatu pembenaran dengan sepenuh hati.
Memang boleh jadi ‘Umar tetap menganggap ‘Ali sebagai Imam, marji’ tempat ia bertanya, seperti terbukti dari ucapan ‘Umar, “Kalau tidak ada ‘Ali, niscaya celakalah ‘Umar!” tetapi pandangan ‘Ali mengenai Imamah jelas bukanlah sekedar tempat rujukan seperti itu. Imam bertugas menyampaikan dan menyelesaikan. Hal ini terbukti dari tindakan ‘Umar yang menerima jabatan khalifah sebagai hibah dari Abu Bakar, tanpa membicarakannya dengan ‘Ali. Kalau saja tak ada perbedaan pandangan ini, peristiwa Saqifah mungkin sekali tak pernah terjadi.
Latar belakang kesukuan turut pula mengambil peranan. ‘Umar sendiri berkata bahwa “orang Arab tidak menyukai kenabian dan kepemimpinan sesudah Rasul berada dalam tangan Banu Hasyim.” Di pihak lain, keluarga mana pula yang diinginkan menjadi pemimpin; ini pun belum jelas. Islam muncul dan menumpulkan rasa kesukuan, malahan melebur semuanya dan membentuk suatu ikatan baru yang berdasar ajaran Islam. Gagasan ini jelas tidak mudah dan makan waktu lama. Wafatnya Nabi sebagai tokoh pemersatu, yang terasa demikian cepatnya, menampilkan kembali sifatsifat suku Badui dari dalam diri mereka. Kaum Quraisy sendiri khawatir akan perpecahan yang bakal timbul apabila arus balik ke masa jahiliah itu tak terbendung. Abu Bakar yang berasal dari kabilah kecil Banu Taim bukan dari dua kekuatan besar Banu Hasyim dan Banu ‘Umayyah yang saling bersaing sejak dahulu barangkali cocok untuk menetralisi prasangka kesukuan jahiliah ini. Maka Abu Bakar pun dipilih sebagai tokoh yang dapat diajak berkompromi.
Boleh jadi yang jadi faktor penentu kemenangan Abu Bakar adalah persaingan jahiliah antara Banu Aws dan Banu Khazraj. Sejak ratusan tahun sebelumnya, mereka telah saling bertempur habishabisan. Dengan berperang sendiri maupun bersukusuku dengan sukutuku Yahudi, mereka terus makin lama makin lemah, dan terancam punah bersamasama. Hanya Rasul yang memang mereka mohon datang berhijrah yang dapat menjadi pendamai, malahan mengikat mereka dalam kesetiaan baru kepada agama Islam yang menyelamatkan mereka dalam sepuluh tahun terakhir.
Kini pemersatu itu telah tiada. Tibatiba masa depan mereka diancam masa lalu; saling curiga, saling bunuh dan saling menghabisi. Tak ada satu calon yang hadir disepakati bersama. Kedua suku sedang maju ke masa lampau: waswas dan prasangka. Sebenarnya Islam telah memutuskan ikatan lama dan menggantinya dengan tali persaudaraan Islam. Tetapi kala itu ‘ashabiyah,’ fanatik kesukuan yang telah mendarah daging selama ratusan tahun muncul kembali. Rasul menekannya selama tiga belas tahun tetapi meledak kembali tepat setelah Rasul wafat dan jenazahnya masih hangat. Sementara itu “ancaman orang luar” kaum Muhajirin ikut mempersatukan mereka. Prasangka jahiliah muncul, dendam bebuyutan kambuh. Dalam suasana debat tak menentu itu munculah kekuatan ketiga itu kaum Muhajir yang dipimpin Abu Bakar dan ‘Umar memasuki balairung.
Banu Aws, dan Kharaj bagai disentak diktum Arab lama: “Kawan dari musuh saya adalah musuh saya.” dan implikasinya dapat mengerikan: siapa saja di antara keduanya memilih bersekutu dalam bentuk baiat atas Muhajirin, maka celakalah yang tidak membaiat. Khazraj misalnya, akan terancam oleh baiat Banu Aws, atas Muhajirin; begitu pula sebaliknya. Andai kata saja ada ‘Ali bin Abi Thalib yang dipanggilpanggil saat itu, mereka pun tak dapat ngotot memilih ‘Ali ketika ‘Umar sedang berapiapi dengan calonnya Abu Bakar. Masalahnya kiranya hanya memilih kaum Muhajirin. Karena mustahil Banu Aws dan Khazraj punya pemimpin bersama. Maka pilihan lain adalah binasa. Mereka saling curiga, penuh prasangka. Dan bila kaum Muhajirin sampai memihak salah satunya, maka yang lain akan tertindas habishabisan. Dan ini baru dialami Khazraj lima belas tahun yang lalu.
Apakah pemimpin Muhajirin itu bernama Abu Bakar atau ‘Umar, itu bagi mereka cuma soal sepele yang tak berperan. Karena sebenarnya detik itu mereka sedang mempertaruhkan sesuatu yang tak terkira besarnya: kelangsungan hidup, kedua suku mereka. Diktum politik kekuatan menunjukkan kebesarannya, dan Banu Aws dan Khazraj tersedot dengan mulus ke dalam perangkapnya.
Tatkala Basyir bin Sa’d dari Banu Khazraj
bergerak membaiat Abu Bakar, maka dengan cepat saingannya, Usaid bin Hudhair dari Banu Aws mengikutinya, dan satu persatu anggota kedua suku yang bersaing itu datang menjabat tangan Abu Bakar. Mereka berbondongbondong membaiat Abu Bakar, dengan segunung alasan demi kelestarian hidup mereka sendiri, dan sebutir alasan karena kemuliaan Abu Bakar. Di Saqifah Bani Saidah, suku Aus dan Khazraj yang menyimpan dendam bebuyutan ratusan tahun, sebenarnya membaiat kelangsungan hidup kedua suku mereka, dan bukan membaiat Abu Bakar. Bagi kaum Muhajirin, ini adalah bukti segala keutamaan Abu Bakar.
Mungkin juga ada sentuhan kemujuran dan kebetulan. Syaikh Mufid menceritakan dalam bukunya alJamal bahwa Banu Aslam kebetulan sedang datang, berbelanja ke Madinah. Umar segera membawanya ke Masjid dan membaiat Abu Bakar. Kalau kita bayangkan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir hari pasaran telah dirubah Nabi menjadi hari Khamis, maka banyak juga kabilah yang dapat dihadang Umar di pasar dalam tiga hari setelah Rasul wafat, untuk dibawa ke Masjid dan membaiat Abu Bakar.
Bab 21. Penutup
Peristiwa Saqifah telah memunculkan dua aliran ke permukaan; yang satu mengikuti tradisi ketiga khalifah, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Meskipun ‘Ali bi Thalib dimasukkan ke dalam Khulafa ur Rasyidin, tetapi buah pikiran ‘Ali bin Abi Thalib yang bagaimanapun berlandaskan agama secara murni, sekurangkurangnya menurut keyakinan ‘Ali dan para pengikutnya buah pikirannya dalam sosial politik maupun fiqih ini tidak mendapat tempat di kalangan ini. Kalaupun ada orang mengemukakan pendapat ‘Ali, maka ini hanyalah sekedar untuk menunjukkan kerukunannya dengan ketiga khalifah yang pertama, dan usaha ‘Umar secara teratur untuk menyingkirkan dirinya dari arena ‘politik’, tidak diungkapkan dengan sewajarnya. ‘Kutukan’ terhadapnya dalam khotbahkhotbah Jum’at selama lebih dari delapan puluh tahun oleh kekuatan politik yang menyusul kemudian, serta permusuhan dan penindasan terhadap para pengikutnya, hampir menghilangkan sama sekali buah pikiran ‘Ali dalam aliran ini. Aliran ini makin melembaga dan kemudian dikenal sebagai Ahlus Sunnah.
Aliran lainnya mengikuti ahlu’lbait yang dikenal dengan Syiah atau pengikut ‘Ali atau Syiah, yang sebenarnya telah ada di zaman Rasul. Salman alFarisi, Abu Dzarr alGhifari, Miqdad bin Aswad dan ‘Ammar bin Yasir disebut sebagai empat tonggak Syiah, alarkan alarba’ah.
Sahabat dan para pengikut ‘Ali berpendapat bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin umat sesudah Rasul, ‘Wilayat alammah’, sebagaimana dapat dibaca pada “Nas bagi ‘Ali.” Ia dianggap paling dekat dengan Rasul, dalam darah, keimanan, ilmu, kesabaran, zuhd, tidak bercacat dan berani. Ia mengikuti alQur’an dan Sunnah secara utuh dalam perkataan maupun perbuatan. Ia dianggap telah ditunjuk Allah dan RasulNya sebagai Imam kaum Muslimin yang masih dalam masa “bayi” yang sedang berkembang pesat. Dengan demikian, reaksi dari para pengikutnya, Syiah ‘Ali atau Syiah, sehubungan dengan peristiwa Saqifah bukanlah masalah politik yang menuntut kekuasaan. Bagi mereka hal itu adalah masalah agama sematamata, sebagai reaksi wajar atas penyimpangan yang sebenarnya dapat dipahami dengan melihat catatan sejarah di kalangan Sunni sendiri.
Tatkala Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, protes telah disampaikan, dengan mengemukakan argumentasi secara intensif, dan sebagai jawaban atasnya dikemukakan bahwa kaum Muslimin pada saat itu memerlukan pemimpin, segera, dan telah terlaksana. Sikap ‘Ali yang tidak mau melakukan perlawanan bersenjata terhadap kekuasan yang ada itu, seperti penolakannya terhadap bantuan yang ditawarkan Abu Sufyan, adalah sematamata untuk mencegah kehancuran umat. Tetapi sikap diamnya selama lebih dari 24 tahun, tidak pernah menyertai ekspedisi militer atau menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan, menunjukkan “protes”nya.
Para pengikutnya sampai sekarang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw ditunjuk sendiri oleh Allah SWT untuk menerima dan menyampaikan wahyu, mengajar, mendidik serta melatih umat. Sebagai pengemban amanat Allah, Rasul sebagai guru pun tidak dipilih dan diangkat manusia. Prinsip pemilihan pemimpin umat pada tahap awal sejarah pembangunan aqidah belum dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Mereka tak bisa memahami betapa mungkin Rasul tidak meninggalkan wasiat dalam urusan sebesar ini, sedang AlQur’an memerintahkan wasiat, Al Qur’an 2:180. Sekiranya Abu Bakar dan ‘Umar berkeyakinan akan prinsip pemilihan, mengapa pula Abu Bakar mewasiatkan kekhalifahan itu kepada ‘Umar, dan ‘Umar menerimanya sebagai suatu hal yang wajar?
Meskipun kaum Syi’ah merupakan minoritas, dituduh sebagai “pembangkang” dan disalah tafsirkan, namun mereka memenuhi syarat sebagai suatu mazhab, sebagaimana difatwakan oleh Syaikh alAzhar Mahmud Syaltut.
Mereka bertauhid seperti kita, meyakini bahwa Allah SWT itu Esa. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya serta menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan Rasul Nya.
Dan seperti kita pula menjadikan Ka’bah sebagai qiblah dan tempat bertawaf. Samasama shalat fardhu lima kali sehari, melakukan nahi dan munkar seperti kita, meyakini AlQur’an AlHakim yang sama sebagai Kitab Allah, samasama memfardhukan haji bagi yang kuasa, puasa dalam bulan Ramadhan, meyakini Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir seperti kita, percaya kepada malaikatmalaikat, percaya kepada hari akhirat serta qadha’ dan qadar.
Perbedaannya hanya terletak pada masalah Imamah dan ‘adalah, keadilan, yang dijadikan masalah sentral dengan memasukkan keduanya dalam ushuluddin, prinsip keagamaan, yang dapat dipahami apabila kita mengikuti argumenargumen yang digunakan oleh ‘Ali dan para Sahabat Rasul yang mendukungnya mengenai peristiwa Saqifah. Perbedaanperbedaan kecil dalam soal fiqh, telah ada, dan jelas, sejak zaman ‘Ali bin Abi Thalib sendiri; ini diketahui oleh para ulama.
Kemudian perbedaan ini makin jelas dengan “ditutupnya pintu ijtihad” di kalangan Sunni setelah munculnya keempat Imam Sunni sekitar dua abad kemudian, sementara Syiah terus membuka pintu ijtihadnya. Pintu ijtihad yang selalu terbuka ini disebabkan kaum Syiah meletakkan penalaran aqliyah sebagai sumber hukum, di samping AlQur’an, Sunnah dan Ijmak. Akhirnya, bagaimanapun juga, banyak orang yang cenderung memperuncing perbedaan antara mazhabmazhab, dan menikmati prasangka, tanpa menyadari bahwa perbedaanperbedaan ini, seperti warna kulit, “diwarisi”nya sejak empat belas abad yang lalu, diawali oleh “perbedaan pendapat” antara para Sahabat.
Buku ini ditulis sebagai studi untuk memahami akibatakibat yang ditimbulkan oleh “perbedaan pendapat” para Sahabat tersebut, atau, paling sedikit, untuk menghidupkan tasamuh, toleransi, antara sesama Muslim, karena ukhuwwah Islamiyah wajib hukumnya. Bukankah perbedaan pendapat sesama ummat itu rahmat?