Takdir Manusia(2)

Takdir Manusia(2)66%

Takdir Manusia(2) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3635 / Download: 2635
Ukuran Ukuran Ukuran
Takdir Manusia(2)

Takdir Manusia(2)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Takdir Manusia

Muthahhari Paperbacks

Kata Pengantar

Buku yang Anda pegang sekarang ini adalah serangkaian tulisan Murtadha Muthahhari yang pemah populer di tahun 80-an. Seiring dengan perkembangan zaman, buku-buku itu hilang di pasaran. Pemikiran Muthahhari dan Dr. Ali Syari'ati pemah mengguncang dunia intelektual Indonesia, ketika buku-buku mereka, seolah-olah menjadi buku teks wajib non-kurikuler bagi para mahasiswa.

Untuk menghidupkan kembali gejolak intelektualisme di kalangan mahasiswa, dan memberikan—menggunakan bahasa Muthahhari—transfusi darah segar bagi stagnansi kehidupan bangsa kita, kami berusaha untuk menghadirkan kembali karya-karya besar dari para pemikir Islam ini. Muthahhari dan Syari'ati telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan gerakan dan pemikiran kaum Muslimin di seluruh dunia.

Semoga semangat mereka berdua abadi selamanya.

PENDAHULUAN

Kemunculan dan Kejatuhan Muslimin

Persoalan qadha dan qadar bila dibahas, merupakan sesuatu yang bersifat filsafat dan memang dianggap demikian. Persoalan ilmiah dan kefilsafatan keduanya termasuk kategori khusus yang ditentukan oleh pokok persoalan dan kemajuan-kemajuan kajian yang dicapai masing-masing.

Filsafat, Matematika dan persoalan-persoalan alamiah dikelompokkan secara terpisah karena adanya berbagai sub judul dan sub kelompok yang dikaitkan dengan pokok persoalan ini. Dari keduanya pengajaran dan sudut pandang pokok masalah, persoalanpersoalan qadha dan qadar berasal dari kelompok yang sama dengan filsafat; namun di sini keduanya tidak akan dibahas secara filosofis.

Persoalan takdir ini akan dibahas dalam suatu rangkaian pembahasan di bawah topik, “Sebab-sebab Kejatuhan Kaum Muslimin”. Persoalan-persoalan ini dapat dibahas secara historis, kejiwaan, etika, keagamaan dan filsafat. Yang menghubungkan persoalanpersoalan ini satu sama lain adalah kajian atas dampak positif dan negatif pada kemunculan dan kejatuhan kaum Muslimin. Meskipun demikian, tujuan pengajuan pertanyaan ini adalah : Pertama, untuk mengetahui apakah kepercayaan kepada nasib mempengaruhi orang-orang beriman menjadi lamban dan malas, tanpa menghiraukan alasan kejatuhan dan kegagalan mereka? Apakah kepercayaan-kepercayaan itu merupakan jenis keyakinan yang tidak akan memiliki dampak yang tidak diinginkan, jika dipikirkan secara tepat. Kedua, bagaimana Islam telah mengajarkan keyakinan-keyakinan ini dan apakah akibat-akibat dari ajaran-ajaran Islam serta pengaruhnya pada perangai kaum Muslimin?

Saya tidak ingat persis kapan saya mulai mengenal sebab-sebab kejatuhan kaum Muslimin, dan kapan saya secara pribadi tertarik pada riset tentang ini, saya menyatakan secara pasti bahwa persoalan ini telah menarik perhatian saya lebih dari 20 tahun, dan saya telah mengkaji karya-karya lain tentang topik ini sepanjang waktu itu.

Kemudian, tatkala saya mendapati suatu penulisan atau masalah pembicaraan mengenai pokok masalah itu, saya menyimak dengan penuh hasrat dan sangat berkeinginan untuk mengetahui gagasan dan pandangan dari faktor yang lain. Pemah dalam suatu diskusi setelah ceramah tentang hadits Nabi "Islam merupakan agama yang paling unggul, dan tidak ada yang bisa melampauinya", kuliah itu diperluas sampai ke masalah ini. Walaupun apa yang telah saya dengar dan saya baca tentang pokok ini barangkali berguna, hal itu belum memuaskan saya; sejak saya menemukan diri saya sangat tertarik untuk memahami persoalan ini. Saya memutuskan untuk mempelajarinya sedalam mungkin, karena menemukan salah satu cara untuk reformasi di dunia Islam sekarang sangat tergantung pada pemahaman kita atas kejatuhannya pada masa lampau dan saat ini. Untuk mencapai hal itu, adalah sangat penting untuk meninjau kembali pandangan kaum Muslimin dan non-Muslimin yang ada dan kemudian untuk menghadirkan persoalan-persoalan ini, meski belum pemah diajukan dari sudut pandang ini hingga sekarang.

Saya telah mencatat keluasan topik dan menyadari bahwa jika ada beberapa studi yang memadai dan riset filosofis yang dilakukan, berlimpah persoalan yang bisa dikaji dan diselidiki. Penyelidikan atas semua ini adalah di luar kemampuan satu orang, atau memerlukan waktu paling sedikit beberapa tahun. Meskipun demikian, saya memutuskan untuk mengklasifikasikan dan meringkas materi-materi yang berhubungan dan membahas beberapa darinya sebagai contoh serta memberi yang lain dengan petunjuk-petunjuk itu. Beberapa macam simpati dan kerjasama telah dimunculkan untuk membahas suatu persoalan sosial Islam yang penting yang mengarah kepada suatu rangkaian yang sistematis dan pembahasan-pembahasan yang bermanfaat.

Tak disangkal lagi bahwa kaum Muslimin memiliki masa-masa kejayaan dan keagungan yang hebat sekali pada masa lampau. Bukan karena mereka telah mengatur dunia selama periode itu, menurut almarhum Adib Al-Mamalik Farahani, dan "telah meletakkan rajaraja di bawah penghormatan dan penguasaan lautan". Karena dunia telah melihat banyak penguasa dan penakluk yang memaksakan diri mereka sendiri atas yang lain untuk masa yang singkat, tetapi tidak bertahan lama. Mereka dilenyapkan dan dihancurkan secara gemilang. Mereka menyebabkan perubahan di dunia, dan membangun sebuah peradaban yang besar dan jaya yang berlangsung selama berabad-abad dan merupakan pembawa obor bagi umat manusia. Bahkan sekarang hal itu dianggap sebagai titik cerah dalam sejarah peradaban yang dibanggakan. Selama berabad-abad kaum muslimin telah menguasai seluruh dunia dalam sains, industri, filsafat, seni moralitas, serta organisasiorganisasi kemasyarakatan yang maju, yang dari itu orang lain mengambil banyak keuntungannya. Menurut penulis-penulis Barat yang jujur, peradaban Eropa baru yang hebat dan gemilang yang mengagumkan mata dan menakjubkan pikiran dengan keagungan di seluruh dunia itu, diilhami oleh kejayaan peradaban Islam.

Gustave Le Bon mengatakan "Beberapa orang Eropa malu untuk mengakui bahwa sebuah kelompok orang-orang kafir dan atheis- yang dimaksud adalah kaum Muslimin— telah menyebabkan Eropa Kristen meninggalkan kekejaman dan kebodohan, dan kemudian mereka menyembunyikannya. Pendapat ini sangat tidak berdasar dan memalukan sehingga ia dapat ditolak dengan mudah. Moral yang mempengaruhi orangorang Arab yang diawali dengan Islam ini, telah mendahului bangsa-bangsa Eropa yang tidak beradab, yang menggulingkan kerajaan Romawi ke arah kemanusiaan. Juga pengaruh mental kaum Musliminlah yang memperkenalkan sains, keahlian dan filsafat, yang kita benar-benar tidak mengetahuinya. Jadi kaum Muslimin adalah pelopor kita selama enam ratus tahun".[1]

Will Durant dalam History of Civilization mengatakan "Kebangkitan dan kejatuhan peradaban Islam merupakan suatu peristiwa sejarah yang besar. Selama lima abad dari tahun 81 H sampai 597 H. Islam merupakan suatu kekuatan pelopor dalam disiplin, perluasan wilayah, moralitas, pengembangan standar kehidupan, hukum-hukum kemanusiaan yang adil, toleransi agama (menghormati pikiran-pikiran dan gagasan orang lain), kepustakaan, riset keilmiahan kedokteran dan filsafat di dunia".[2]

la juga menambahkan "Dunia Islam memiliki berbagai pengaruh pada dunia Kristen. Bangsa Eropa telah mempelajari makanan, obat-obatan, baju perang, jaminan keluarga, rasa seni, peralatan-peralatan industri, perdagangan, navigasi, dan mereka mengambil istilah-istilah itu dari kaum Muslimin. Sarjana-sarjana Muslim Arab telah memelihara dan memperbaiki Matematika Yunani, Ilmu Pengetahuan Alam, Kimia, Astronomi, dan Kedokteran Yunani dan mengalihkan warisan Yunani yang telah diperkaya untuk Eropa. Para Fisikawan Arab telah mempelajari dan mengubah karya-karya Aristoteles untuk Eropa. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd menerangi filosof skolastik di Eropa. Pengaruh Islam dicapai melalui jalan-jalan perdagangan, Perang Salib dan terjemahan ribuan jilid bukubuku dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan perjalanan para Sarjana Guerbret, Edward Bani, Michel Scott dan lainnya ke Andalus".[3]

Will Durant mengatakan, "Hanya di zaman emas sejarah, satu bangsa telah dapat memiliki sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang terkenal dalam politik, pendidikan, kesusasteraan, astronomi, geografi sejarah, matematika, semantik, kimia, filsafat, kedokteran dan sebagainya, sebagaimana yang telah ada pada abad keempat Hijriah, dari Harun Al-Rashid sampai Ibnu Rusyd, pada masa yang singkat itu. Bagian dari kegiatankegiatan yang terkenal ini mengambil prinsip karya-karya Yunani, tetapi bagian utama khususnya dalam politik, sastra dan seni adalah penemuan mereka sendiri".[4]

Memang, ada fenomena yang menyala-nyala dan cahaya berkilauan, yang disebut Peradaban Islam di dunia yang musnah dan padam. Sekarang, dalam perbandingan dengan banyak bangsa di dunia dan mengingat kejayaan kaum Muslimin masa lalu, mereka sedang mengalami suatu kejatuhan dan kemandegan.

Berbagai pertanyaan muncul, apa yang terjadi sehingga kaum Muslimin mengalami kemunduran setelah semua kemajuan dan perbaikan dalam sains, pengetahuan, industri dan sistem-sistem itu? Apa dan siapa yang bertanggung jawab bagi kejatuhan dan kemunduran itu? Apakah ada orang-orang, bangsa atau keadaan tertentu yang membuat kaum Muslimin menyimpang dari jalan utama mereka, yang menuju ke arah kemajuan dan kesempumaan? Atau apakah ada faktor tertentu yang menyimpangkan kaum Muslimin dari jalan mereka secara tidak diharapkan? Namun adalah tabiat sejarah bahwa setiap bangsa mengalami suatu batas zaman kemajuan dan perubahan dan kemudian mundur ke arah kebinasaan, kejatuhan dan kehancuran.

Untuk penyimpangan dan kejatuhan kaum Muslimin, kita anggap Islam sendiri yang bertanggung jawab, sebagaimana anggapan beberapa Kristen barat fanatik atau kelompok minoritas? Atau apakah tidak ada kaitannya terhadap kaum Muslimin atau Islam? Apakah karena bangsa-bangsa non-Muslim yang telah menyebabkan kemunduran Islam selama 14 abad sejarahnya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal yang gampang. Suatu rangkaian panjang pembahasan dan riset yang cukup mesti dilakukan.

Apa yang diperlukan, sebagai suatu pengantar, untuk disampaikan dalam rangkaian pembahasan ini adalah grafik-grafik mengenai kejayaan dan kejatuhan kaum Muslimin yang terdiri dari pokok-pokok sebagai berikut;

1. Fondasi kemuliaan dan martabat peradaban Islam.

2. Sebab-sebab, motivasi-motivasi dan syarat-syarat peradaban Islam.

3. Pengaruh Islam pada kemuliaan kaum Muslimin.

4. Pengambilan peradaban Eropa modern dari Islam.

5. Keadaan dunia Islam sekarang ini dari pandangan kemunduran dan perlambatan.

6. Saat peradaban Islam telah dimusnahkan, Islam tetap sebagai sesuatu yang hidup aktif dan kekuatan yang luas, dan bersaing dengan seluruh kekuatan masyarakat baru dan revolusioner.

7. Bangsa-bangsa Muslimin sedang berada di ambang kebangkitan dan kesadaran baru.

Setelah pengantar pembahasan ini, buku kecil yang terpisah, adalah perlu untuk memiliki sebuah pembahasan filosofis dan mendalam tentang "hakikat zaman", yang dikaitkan dengan filsafat sejarah. Untuk mengetahui, sebagaimana tanggapan beberapa sejarawan, sebab-sebab kemajuan dan perbaikan suatu bangsa akan juga menyebabkan kemundurannya. Dengan kata lain, sesuatu faktor dapat mengubah sebuah masyarakat hanya pada kondisi-kondisi khusus dan selama masa tertentu, dan terikat dengan periode tertentu dari perubahan sejarah manusia. Faktor ini bukan hanya tidak sanggup membimbing manusia ke depan jika keadaan, waktu dan tempat berubah dengan munculnya fajar sejarah baru, tetapi akan juga menyebabkan kemandegan, perlambatan dan kemunduran dengan sendirinya.

Kalau pendapat ini benar, maka setiap peradaban dimusnahkan oleh faktor-faktor yang sama yang telah menampakannya, kemudian tidak inembutuhkan perantara-perantara luar. Faktor-faktor kuno selalu mundur dan karena itu disebut reaksioner, sedangkan yang baru adalah progresif. Faktor-faktor kemasyarakatan baru menciptakan peradaban baru yang bertentangan dengan peradaban sebelumnya.

Jika prinsip ini benar, peradaban Islam tentu tidak terkecuali. Karena itu adalah sia-sia untuk membicarakan mengenai alasan-alasan kemunduran kaum Muslimin secara bebas dan sebagai bagian persoalan yang terpisah dari sebab-sebab dan faktor-faktor penciptaan peradaban Islam.

Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ini, adalah tidak perlu menganggap seseorang, bangsa atau peristiwa tertentu yang bertanggung jawab bagi kemunduran kaum Muslimin. Penghancuran peradaban Islam akan terjadi lebih cepat atau lebih lambat sebagaimana dengan peradaban manapun. Hal ini benar andaikan beberapa kehidupan lain dihadapi dengan kematian wajar atau yang tidak terduga. Peradaban Islam muncul, menyebar, melewati masa mudanya, dewasa dan kemudian mati. Keinginan pemulihannya adalah sebagaimana keinginan kebangkitan kembali dari kematiannya, yang tidak dapat dibenarkan sesuai dengan hukum-hukum alam dan hanya dapat dibenarkan melalui suatu mukjizat dan perbuatan gaib, yang betapapun melampaui kesanggupan manusia biasa.

Karena itu, setelah pembahasan pengantar yang menggambarkan kebesaran dan kejatuhan kaum Muslimin adalah saat untuk pembahasan filosofis dan kesejarahan kejatuhan yang tak dapat diabaikan, karena banyak ungkapan-ungkapan dangkal yang dipertahankan dalam hal ini, sementara banyak yang mempercayainya.

Penyempumaan pembahasan filosofis ini, dikaitkan dengan rangkaian-rangkaian pembahasan yang tergantung pada pemahaman pembicaraan mengenai cocok dan tidaknya Islam dengan keadaan-keadaan zaman. Pembahasan ini terdiri dari dua bagian: Pertama, semata-mata filosofis, sedang yang kedua keislaman. Kedua bagian ini dapat ditelusuri dan diselidiki sebagai "Islam dan urgensinya di dunia".

Bila kita terlepas dari pembahasan ini, kita tidak bisa menerima prinsip filsafat sejarah yang telah disebutkan di atas dan tidak perlu memandang sebab-sebab kejatuhan kaum Muslimin dan prestasi-prestasi mereka. Maka, bukan saatnya untuk mempelajari sebabsebab dan alasan-alasan stagnasi, ketergantungan, kemunduran kaum Muslimin, serta apapun yang dibicarakan orang lain.

Mengenai pandangan-pandangan orang lain, kaum Muslimin atau bukan, adalah sama, dan semua pokok persoalan, urusan dan peristiwa-peristiwa lazim dikaitkan dengan probabilitas dan kemungkinan ini, bagian ini harus ditelusuri pada tiga bab utama: Islam, kaum Muslimin dan perantara-perantara luar.

Masing-masing dari bagian-bagian ini terdiri dari sejumlah pokok dan persoalan. Misalnya, dalam bab tentang Islam, seseorang mungkin mengemukakan pemikiranpemikiran dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang efektif dalam kemunduran kaum Muslimin. Yang lain melihat etika-etika Islam, kelemahan dan sebab-sebab kemunduran, sementara yang lain bisa saja menyebut hukum-hukum kemasyarakatan Islam sebagai penyebab kejatuhan mereka.

Dalam bab kejatuhan kaum Muslimin dan perantara-perantara luar, ada juga bagian terbesar yang harus didiskusikan semuanya.

Di antara pemikiran-pemikiran dan kepercayaan-kepercayaan Islam, persoalan-persoalan berikut dikemukakan sebagai sekian di antara yang dipersalahkan.

1. Percaya kepada qadha dan qadar

2. Percaya kepada hari kiamat dan peremehan perkara-perkara dunia

3. Syafa'at

4. Taqiyah

5. Penantian Al-Mahdi

Dari lima perkara yang disebutkan di atas, tiga bersifat umum bagi kaum Syiah dan Sunni, sedangkan dua yang terakhir merupakan karakteristik kaum Syiah.

Kadang-kadang dikatakan bahwa alasan bagi semua kaum Muslimin itu adalah kepercayaan yang besar kepada qadha dan qadar, dan kadang-kadang dikatakan bahwa perhatian besar Islam tentang hari kiamat, hari akhirat, dan peremehan kehidupan duniawi, menyesatkan perhatian kaum Muslimin dari pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai persoalan-persoalan kehidupan ini. Kadang-kadang dikatakan bahwa kepercayaan kepada syafa'at yang muncul sepanjang sejarah Islam (kecuali bagi beberapa orang dan dewasa ini kelompok khusus), telah membuat kaum Muslimin tidak menghiraukan dosa-dosa yang berakibat negatif bagi kebahagiaan manusia. Penyandaran diri kepada syafa'at, memberanikan kaum Muslimin untuk melakukan perbuatan jahat dan kerusakan.

Apa yang dituduhkan terhadap Muslim Syiah, khususnya dalam pemikirannya, adalah taqiyyah dan penantian Al-Mahdi. Dikatakan bahwa taqiyyah mengajarkan kemunafikan dan, membuat kaum Syiah lemah. Juga dikatakan bahwa persoalan penantian Al-Mahdi telah menyita perhatian kaum Syiah terhadap pembangunan. Sementara rakyat dan bangsa-bangsa lain sedang memikirkan bagaimana cara untuk memperbaiki nasibnya, kaum Syiah menunggu tangan-tangan gaib untuk menjamahnya dan berbuat sesuatu.

Dalam etika-etika Islam, kebahagiaan, kedamaian, kesabaran, ketaatan dan kepercayaan dianggap menjadi sebab kemunduran kaum Muslimin. Di antara ajaran-ajaran Islam, persoalan pemerintahan dan perwakilan-perwakilannya, haruslah dipelajari karena, menurut beberapa orang, Islam tidak mengkhususkan sepenuhnya tugas dan tanggung jawab kaum Muslimin mengenai persoalan penting ini.

Hukum pidana Islam telah dicampakkan selama bertahun-tahun dan karena itu, banyak negeri Islam yang mengambil hukum di lain tempat, dan akan merasakan akibatnya. Bagaimanapun juga hukum pidana Islam merupakan salah satu topik yang harus dibahas.

Hukum-hukum perdata Islam memasukkan hal-hal yang berlawanan dengan yang dibangkitkan gelombang oposisi, seperti hak-hak wanita dan yang lain ialah hukumhukum ekonomi Islam mengenai kepemilikan, warisan dan sebagainya.

Kendala-kendala yang Islam telah menentukan hubungan Muslim dengan bukan Muslim, seperti mengenai perkawinan di antara mereka, atau ketidaksucian orang-orang bukan Muslim atau hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban internasional keislaman, adalah di antara topik-topik yang dibahas orang. Mereka menganggap ini sebagai sebab-sebab kemunduran kaum Muslimin.

Inilah semua pokok yang harus dikaji secara cermat dalam bab tentang "Islam", dalam rangkaian pembahasan ini. Untungnya, ada kesempatan yang tepat untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan demikian. Melalui penjernihan persoalan-persoalan ini maka kita dapat menguatkan keimanan para pemuda dan kaum cendekiawan serta menyingkirkan keragu-raguan dari pikiran mereka.

Kini giliran membahas "kaum Muslimin". Dalam bagian ini perhatian kita mengarah pada kaum Muslimin itu sendiri, yakni ajaran Islam tidak menyebabkan kemunduran umatnya; pengabdian dan penyimpangan mereka dari ajaran-ajaran Islam membawa mereka kepada kejatuhan dan mereka bertanggung jawab terhadap keterbelakangan mereka sendiri.

Bab ini terdiri dari beberapa bagian yang berbeda: pertama, persoalan-persoalan penyimpangan harus dikenali. Apakah itu berasal dari Islam, dan apakah semua atau sebagian kaum Muslimin ikut bertanggung jawab terhadap kemunduran ini.

Islam muncul di kalangan Bangsa Arab. Bangsa-bangsa lain seperti Iran, Mesir, India dan sebagainya berada di bawah panji Islam. Tiap-tiap bangsa ini memiliki identitas, rasa, etika dan karakteristik kesejarahan sendiri-sendiri. Suatu kajian mesti dilakukan untuk mengetahui apakah semua atau sebagian dari bangsa-bangsa ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni karena kebangsaan, ras atau pemujaan-pemujaan yang khusus bagi mereka. Akankah kaum Muslimin dan kehidupan mereka memiliki nasib yang lain jika, misalnya, Islam menyusup ke dalam bangsa-bangsa lain seperti Eropa? Ataukah kaum Muslimin tidak berperan dalam proses ini? Apakah semua hal yang terjadi dalam Islam dan kaum Muslimin disebabkan oleh seluruh kelompok kaum Muslimin ataukah hanya dari dua kelas berpengaruh, yakni penguasa dan ulama?

Terdapat sangat banyak referensi dalam bab tentang perantara-perantara luar yang harus kita perhatikan. Sejak awal, Islam telah mendapat tantangan secara keras dari luar maupun dalam; Yahudi, Kristen, tukang sihir dan kaum bid'ah di antara kaum Muslimin dan telah begitu aktif menikam Islam dari belakang. Kebanyakan mereka berpengaruh besar pada perubahan dan pengalihan kebenaran melalui tempaan dan kemapanan adat, atau melalui penciptaan berbagai sekte atau memperburuk percekcokan di antara kaum Muslimin. Dalam sejarah Islam banyak gerakan keagamaan dan politik dihasut oleh kaum kafir dalam usaha untuk melemahkan atau memusnahkan Islam.

Dunia Islam telah diserang secara keji oleh musuh-musuhnya. Serangan kaum Salib dan tentara Mongol merupakan contoh yang baik. Kedua invasi ini punya pengaruh yang besar terhadap kemunduran kaum Muslimin. Yang paling berbahaya dari semua ini adalah penjajahan barat, yang di abad-abad belakangan ini telah mengarahkan kaum Muslimin di bawah penindasan mereka.

Karena itu pokok-pokok yang harus dibicarakan dalam rangkaian pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Kejayaan dan kejatuhan kaum Muslimin. Ini merupakan pengantar untuk pembahasan yang lain.

2. Islam dan keadaan-keadaan sejarah. Pembahasan terdiri dari dua bagian: pertama, berkaitan dengan filsafat sejarah. Yang kedua, kualitas adaptasi hukum-hukumnya dengan faktor-faktor perubahan zaman.

3. Qadha dan Qadar

4. Kepercayaan pada hari kebangkitan dan dampaknya pada kemunculan dan kejatuhan umat.

5. Syafa'at

6. Taqiyyah

7. Penantian

8. Etika-etika Islam

9. Pemerintahan menurut pandangan Islam.

10. Ekonomi Islam

11. Hukum-hukum Islam

12. Hak-hak Wanita dalam Islam

13. Hukum-hukum Internasional Islam

14. Hal-hal penyimpangan

15. Penempatan, perubahan dan penciptaan tradisi-tradisi

16. Pertentangan Syiah dan Sunni. Dampaknya pada kejatuhan kaum Muslimin

17. Asy'ariyah dan Mu'tazilah

18. Kebekuan dan penjelasan

19. Filsafat dan tasawuf

20. Para penguasa di dunia Islam

21. Kaum Ulama

22. Kegiatan-kegiatan yang merusak dari golongan minoritas di dunia Islam.

23. Sekte Syu'biah

24. Perang Salib

25. Kejatuhan Andalusia

26. Invasi kaum Mongol

27. Penjajahan

Kira-kira dua puluh tahun lalu, selama studi keagamaan saya di pusat agama di Qum, ketika untuk pertama kali saya menyadari bahwa orang-orang Barat menganggap kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan salah satu dari alasan-alasan atau penyebab utama bagi kemunduran kaum Muslimin, saya telah membaca jilid kedua dari buku Hayat Muhammad dengan editor Dr. Muhammad Husein Heikal. Kesimpulan akhir dari buku ini terdiri dari pembahasan:

1. Peradaban Islam seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an.

2. Kaum Orientalis dan peradaban Islam.

Dalam pembahasan kedua, terdapat kutipan dari seorang penulis Amerika terkenal, Washington Irving, yang menulis buku tentang kehidupan Nabi Muhammad. Kutipan Dr. Heikal, Washington Irving menjelaskan prinsip-prinsip dan doktrin (yurisprudensi) Islam pada akhir bukunya. Setelah menyebutkan Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan hari akhirat, ia mengatakan "Yang terakhir dan yang keenam dalam hukum-hukum Islam ialah percaya tentang determinisme. Untuk memperbaiki peperangannya, Muhammad telah menggunakan prinsip ini, karena sesuai dengan prinsip ini, kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini semuanya telah ditentukan oleh Allah dan telah ditulis bagi setiap orang catatannya, sebelum lahir ke dunia. Takdir, kelahiran dan kematian dari setiap orang telah ditentukan, tidak dapat diubah, dan tidak punya alternatif lain. Pandangan-pandangan semacam ini dianggap benar bagi kaum Muslimin dan mereka telah mempercayainya. Pada masa perang mereka menyerang musuh tanpa rasa takut. Bagi mereka mati dalam peperangan dianggap syahid yang dijamin sorga bagi mereka. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa apakah mereka terbunuh atau dikalahkan oleh musuh, mereka tetap menang.

Sebagian kaum Muslimin percaya, bahwa gagasan determinisme yang mengatakan bahwa manusia adalah tidak bebas untuk menghindari dosa dan menolak hukuman dan bahwa mengurangi kehendaknya dalam hal ini adalah bertentangan dengan keadilan dan rahmat Allah. Sejumlah aliran yang telah muncul itu berupaya dan masih mencoba untuk mengubah dan menjelaskan gagasan keimanan yang menakjubkan. Sekte-sekte itu hanya beberapa dan kurang diperhitungkan di kalangan para pengikut Sunnah Nabi. Tidak ada kepercayaan lain yang dapat menyeret prajurit-prajurit congkak dan bebal ke medan

Perang dan menjanjikan mereka bahwa mereka akan memperoleh ghanimah, jika mereka hidup, dan akan dimasukkan ke dalam sorga bila mereka syahid. Keyakinan inilah yang membuat mereka sangat berani dan bersemangat sehingga tidak ada tentara lain yang akan mampu menghadapi mereka. Betapapun demikian, kepercayaan yang sama mengandung racun yang menghapuskan pengaruh Islam. Tatkala para pengganti Nabi menghentikan aksi militer mereka dan menaklukkan dunia serta meletakkan senjata mereka, gagasan determinisme memperlihatkan watak penghancumya.

Kedamaian dan ketenangan telah melemahkan syaraf kaum Muslimin dan kebutuhankebutuhan kebendaan, yang pemakaiannya diperkenankan oleh Al-Qur'an, dan yang membedakan Islam dari Kristen sebagai agama atau kesucian dan penyangkalan diri, juga mempengaruhinya. Kaum Muslimin menganggap penderitaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, disebababkan takdir mereka dan dianggap pantas menerimanya, karena menurut pandangan mereka, ilmu dan usaha manusia tidak akan sanggup mengubahnya. Para pengikut Muhammad tidak mempedulikan prinsip, "Tolonglah dirimu maka Tuhan akan menolongmu" tetapi mempercayai sebaliknya. Dengan alasan yang sama "Salib" dipengaruhi "Bulan Sabit". Jika pengaruh "Bulan Sabit" masih ada di Eropa sekarang, hal itu dikarenakan pemerintahan-pemerintahan Kristen agung yang memutuskan demikian. Dengan kata lain, pengaruh yang permanen dari "Bulan Sabit" adalah akibat dari persaingan di antara para penguasa Kristen yang besar, atau pengaruh permanennya adalah suatu alasan untuk peraturan bahwa barangsiapa yang memperoleh segala sesuatu dengan kekuatan pedang, perolehan itu akan diambil kembali darinya dengan pedang pula.

Dalam menanggapi orang Amerika ini, Dr. Heikal memberikan penjelasan-penjelasan terperinci sesuai dengan rasa dan pikirannya bahwa, meskipun hal itu menyangkut beberapa pemikiran yang benar, sama sekali tanpa disiplin kefilsafatan dan karena itu dapat dikritik dan ditolak.

Dalam buku ini, kami akan menjelaskan betapa tanpa dasamya pemikiran tuan Irving dan para pemikir Barat lainnya. Juga akan diungkapkan bahwa terdapat pertentangan yang besar antara takdir dan Islam dengan gagasan determinisme.

Al-Qur'an Al-Karim telah menegaskan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berbagai ayat. Mereka yang memilih kemerdekaan dan menganggap determinisme sebagai konsep yang bertentangan dengan keadilan dan Rahmat Allah (yakni Syiah dan Mu'tazilah) tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur'an, sebagaimana yang diklaim oleh kaum orientalis, dan tujuan mereka bukan "mengatur" ungkapan Al-Qur'an; mereka telah menyesuaikan pandangan mereka dengan Al-Qur'an.

Washington Irving, yang meskipun menurut Dr. Heikal adalah seorang Kristen fanatik dan menyebut agama Kristen suci serta penuh kepuasan karena pengabdiannya pada masalah-masalah duniawi dan mengutuk Islam karena memperhatikan masalah-masalah kehidupan, menghimpun pengetahuan Ilahi kuno secara tajam.

Apakah mungkin menjadi seorang Atheis dan mengingkari keabadian ilmu Ilahi tentang segala sesuatu? Apakah tercela bagi Al-Qur'an untuk menganggap Tuhan sebagai wujud yang mengetahui semua peristiwa dan kejadian keabadian?

Irving mengatakan, "Para pengikut Muhammad Saw tidak mengindahkan kaidah, "Tolonglah dirimu, maka Tuhan akan menolongmu". Penulis ini tidak menghiraukan bacaan dan terjemahan Al-Qur'an, sekurang-kurangnya sekali, jika tidak tentu tidak mengemukakan anggapan seperti itu. Al-Qur'an menuliskannya secara eksplisit, Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (Duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan temsir.[5] Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.[6] Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tak dapat dihalangi.[7]

Para pengikut Muhammad telah menemukan ajaran yang paling baik, dan itu adalah :

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.[8]

Sebagai pengganti "Tolonglah dirimu" yang mungkin berarti kepentingan pribadi dan kerakusan, Al-Qur'an Al-Karim telah menyatakan, "Bantulah Tuhan" yang memiliki arti umum, manusiawi dan demi manusia. Misteri kemenangan "Salib" atas "Bulan Sabit", yang adalah nyata dan permanen bagi tuan Washington Irving, merupakan sebuah topik yang akan kita bicarakan dalam kesempatan pembahasan ini, bila pantas.

Pandangan ini bukan khas pendapat tuan Irving. Dengan mengaji karya dari penulis Barat tentang persoalan ini—bahkan mereka telah membuktikan kejujuran sampai tingkat tertentu—kita dapat melihat pemikiran mereka yang sama. Mereka semua memandang Islam sebagai agama determinisme. Kenyataannya adalah bahwa sebagian dari mereka tidak menganggap pemikiran ini sebagai sesuatu yang terlibat dalam kemunduran kaum Muslimin sedangkan yang lain menyebutkan keterlibatan sebagai faktor utama.

Will Durant dalam The History of Civilization, setelah menyebutkan konsep-konsep dari beberapa ayat dalam Al-Qur'an mengenai Ilmu dan Kehendak Ilahi, mengatakan bahwa determinisme adalah sebuah persyaratan ideologi Islam. la menambahkan: "Akibat kepercayaan ini kaum Muslimin menerima kehidupan yang sangat sulit dan ikhlas, tetapi pada abad-abad belakangan ini kepercayaan yang sama telah menghalangi perbaikan bangsa-bangsa Arab dan melumpuhkan pemikiran mereka".[9]

Meskipun demikian, Gustave Le Bon berpendapat bahwa kepercayaan terhadap takdir determinisme tidak berperanan dalam kemunduran kaum Muslimin dan penyebabpenyebab kejatuhan itu mesti dicari pada hal lain.

Pada mulanya saya bermaksud untuk menyebutkan semua pokok mengenai kejayaan dan kemunduran kaum Muslimin dalam pengantar buku ini, namun kemudian saya mengubah niat saya dan memutuskan untuk memasukkan pokok-pokok masalah itu dalam sebuah buku tersendiri dan menempatkannya pada permulaan rangkaian pembahasan ini. Karena saya menyadari bahwa hal itu menjadi panjang jika semua rincian yang penting ditulis dan kata pengantar akan menjadi lebih panjang daripada buku itu sendiri, karena itu saya memutuskan untuk mencukupkan kata pengantar ini, yang merupakan suatu sampel dari keseluruhan pokok masalah untuk sementara, dan kemudian memberikan perincian yang berkenaan dengan pokok masalah itu dalam suatu buku tersendiri serta memasukkannya dalam kata pengantar untuk volume pertama dari rangkaian pembahasan ini.

Dalam buku ini semua pokok masalah dan persoalan mengenai qadha dan qadar tidak dipaparkan, karena tujuan utama adalah untuk melacak akibat dari pemikiran dan gagasan ini pada kemunduran kaum Muslimin. Oleh karena itu, bagian yang tidak relevan dikesampingkan.

Takdir mempunyai sejarah yang panjang di kalangan kaum Muslimin dan telah dikemukakan sejak permulaan Islam. la dibahas oleh para mufassir, penceramah, filosof, sufi, bahkan para penyair dan sastrawan. Pelacakan proses persoalan ini di kalangan kelompok-kelompok ini, dengan sendirinya memerlukan sebuah buku tersendiri. Lagi pula, terdapat banyak sekali ayat dan hadis yang merupakan contoh-contoh kedalaman ideologi Islam mengenai persoalan itu. Ayat-ayat dan hadis-hadis yang sama telah menjadi petunjuk bagi para filosof Muslim dan telah memperkaya serta menyegarkan kembali filsafat ketuhanan Islam yang tidak dapat dibandingkan dengan filsof Yunani sebelum Islam. Penyelidikan ayat-ayat dan hadits-hadits ini merupakan suatu pembahasan yang panjang dan menarik.

Selanjutnya, dalam ideologi Islam terdapat persoalan-persoalan mengenai pokok masalah ini. Mempertimbangkan prinsip-prinsip alasan yang logis pada satu sisi dan karya-karya hadits pada sisi yang lain, tak dapat diungkapkan secara mudah. Sebagai contoh, peristiwa Al-Qadr yang secara jelas disebutkan dalam Al-Qur'an secara umum disepakati oleh Syiah maupun Sunni. Demikian juga persoalan "Kejadian" merupakan salah satu ideologi khusus Syiah dan berasal dari Al-Qur'an.

Jika gagasan determinisme kehendak bebas, kualitas kebebasan manusia, dan kehendak adalah juga ditelusuri dari berbagai aspek kejiwaan, moral, kefilsafatan dan sosial, ia akan mencakup halaman yang banyak sekali.

Sekarang Anda menyetujui bahwa jika semua ini diungkapkan dalam buku yang Anda pegang ini, ia akan menjadi sebuah buku yang tebal dan tidak sesuai satu judul, "Pembahasan Mengenai Sebab-sebab Kemunduran Kaum Muslimin".

Semoga Allah Yang Mahakuasa membantu dan merahmati kita.

20 Dzulhijjah 1385H.

BAGIAN KEDUA

Sistem Kausalitas Umum

Qadha dan Qadar

Qadha berarti penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang qadhi (hakim), dinamakan demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara antara kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan. Al-Quran al-Karim menggunakan kata ini dengan menisbahkannya, kadang-kadang kepada Allah dan kadang-kadang kepada manusia, untuk memisahkan dua pokok bahasan dalam pembicaraan dan juga untuk memisahkan antara dua penciptaan di alam ini.

Qadar berarti kadar dan ukuran tertentu. Kata ini juga seringkali digunakan dalam AlQuran untuk menunjukkan arti ini.

Kejadian-kejadian alam, ditinjau dari sudut keberadaannya di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti, dapat dikelompokkan ke dalam qadha Ilahi, dan dari sudut sifatnya yang terbatas pada ukuran dan kadar tertentu serta pada kedudukannya dalam ruang dan waktu, dapat dikelompokkan ke dalain qadar Ilahi.

Para ahli di bidang teologi Islam menggunakan istilah-istilah dan keterangan-keterangan khusus di bidang ini. Hal ini berhubungan dengan masalah ilmu (pengetahuan) Allah Maha Pencipta SWT serta tingkatan-tingkatan pengetahuan-Nya. Pada gilirannya, hal ini berhubungan pula dengan banyak masalah lainnya, antara lain mengenai pentahkikan (penelitian seksama) atas wujud alam semesta. Sehingga, dalam buku ini, kami tidak akan memasuki bidang pembahasannya. Adapun yang dapat dibahas di sini bahwa semua kejadian alam secara umum haruslah termasuk di antara tiga kemungkinan atau hipotesis berikut:

a. Bahwa semua kejadian tidak berkaitan dengan masa lalu yang mendahuluinya, baik keterdahuluan dalam waktu atau lainnya, dan karena itu eksistensinya tidak berkaitan dengan segala yang mendahuluinya. Demikian pula segala ciri khas atau karakteristiknya. Dengan hipotesis ini, maka qadha dan qadar tidak ada artinya lagi setelah penyangkalan terhadap adanya kaitan antara eksistensi serta berbagai karakteristiknya yang berhubungan dengan waktu dan tempat, dengan masa lalu dan ketentuan (qadar) yang mendahuluinya. Berdasarkan teori ini, teori kausal atau sistem sebab-akibat harus pula diingkari, dan sebagai gantinya, menerima faktor "kebetulan" sebagai tafsiran adanya segala sesuatu.

Padahal, prinsip sebab-akibat atau kausalitas umum dan keterkaitan yang dharuri dan pasti antara segala kejadian, dan bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.

b. Mengakui bahwa setiap kejadian mempunyai suatu sebab yang mendahului, tapi menolak adanya sistem sebab-akibat yang berlaku antara segala kejadian. Dengan demikian, segalanya adalah akibat langsung dari sebab yang pertama dan utama, yaitu Allah SWT. Di seluruh alam ini tidak ada penyebab dan pelaku kecuali satu, yaitu Zat Ilahi. Daripada-Nya muncul semua maujud secara langsung. Iradat-Nya berkaitan dengan setiap kejadian, secara sendiri-sendiri, terpisah dari Iradat-Nya yang lain. Hal itu dapat dibayangkan atau diperkirakan seperti demikian: Qadha berarti pengetahuan dan kehendak Ilahi berkenaan dengan terwujudnya suatu kemaujudan. Setiap kali, pengetahuan dan kehendak-Nya itu terpisah dari pengetahuan dan kehendak-Nya yang lain.

Dengan ini, kita harus menyetujui dan menerima bahwa tak ada pelaku kecuali Allah. Pengetahuan Allah secara azali (sejak dahulu dan permulaan zaman), sudah menyatakan bahwa peristiwa yang "ini" terjadi pada waktu yang "ini"; peristiwa yang "itu" pasti terjadi tanpa adanya sesuatu (sebab) yang ikut campur dalam perwujudannya. Semua perbuatan dan tindakan manusia termasuk katagori ini. Jadi, sesuatu yang mewujudkan suatu perbuatan dan tindakan, secara langsung dan tanpa lantaran, adalah qadha dan qadar Ilahi atau, dengan kata lain pengetahuan dan iradat Ilahi. Daya dan kekuatan manusia itu sendiri sama sekali tidak memiliki suatu peran serta dalam pemunculan perwujudannya. Kalaupun tampak daya dan kekuatannya, maka itu hanya peran secara lahiriah dan khayali (imajinatif) belaka, tidak lebih dari itu. Inilah inti kepercayaan jabr serta berkuasa penuhnya nasib. Akidah seperti ini, jika menjadi anutan suatu masyarakat ataupun perorangan, pasti akan menghancurkan kehidupannya dan menariknya ke arah kesimaan.

Pikiran seperti ini, di samping keburukannya secara praktis dan sosial, tertolak oleh logika dan batal sepenuhnya ditinjau dari sudut dalil-dalil intelektual dan filosofis seperti yang disebutkan pada pembahasan-pembahasan mengenai hal itu. Keterkaitan sebab dan akibat di antara semua kejadian adalah sesuatu yang tak mungkin dipungkiri. Bukan hanya ilmu-ilmu fisika serta penyaksian inderawi dan eksperimental saja yang merupakan dalil berlakunya sistem sebab-akibat, tapi ilmu Ilahi pun telah memberikan bukti yang paling tepat dan teliti mengenai hal ini. Demikian pula Al-Quran al-Karim menguatkan berlakunya sistem ini.

c. Pernyataan bahwa konsep dan sistem sebab-akibat umum berkuasa atas alam serta seluruh peristiwa dan kejadian di dalamnya. Setiap peristiwa memperoleh esensi wujudnya, bentuknya, karakteristiknya yang berkaitan dengan ruang dan waktu serta kekhasan wujudnya yang lainnya dari penyebab-penyebab yang mendahuluinya. Demikian pula adanya ikatan kuat yang tak mungkin terlepas antara masa lalu, masa kini dan masa mendatang, dengan semua maujud dan sebab yang mendahuluinya. Atas dasar itu, nasib setiap maujud berada di tangan suatu maujud lainnya, yaitu penyebab yang telah mewajibkan kewujudannya dan memberinya kepastian dan keharusan serta seluruh karakteristik wujudnya, dan bahwa penyebab itu pada gilirannya diakibatkan oleh penyebab lainnya dan begitulah seterusnya.

Kesimpulannya, konsekuensi sikap menerima teori kausal atau sistem sebab-akibat umum ialah menerima pula bahwa setiap peristiwa memperoleh kepastian wujud, karakteristik, bentuk, kadar dan kualitasnya dari penyebabnya.

Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah kita berperilaku sebagai para ahli teologi yang mempercayai bahwa asal segala ketetapan (qadha) dan sumber segala ketentuan (qadar) adalah "Sebab dari segala sebab" ataukah kita tidak berakidah seperti itu dan tidak mengetahui sebab yang pertama seperti ini.

Karena itu, tidak ada perbedaan dalam masalah ini, ditinjau dari sudut praktis dan sosial, antara seorang ahli teologi dan seorang materialis. Sebab, seluruh bentuk pembenaran bagi kepercayaan kepada takdir, bersumber pada akidah tentang kausalitas dan hukum sebab-akibat umum, baik bagi yang tergolong ahli teologi ataupun materialis.

Memang perbedaan antara keduanya ialah bahwa takdir, dalam pandangan seorang materialis, adalah suatu ketentuan yang benar-benar bersifat eksternal, sedangkan dalam pandangan seorang ahli teologi, takdir adalah ketentuan yang sadar akan dirinya. Dengan kata lain, seorang materialis berpendirian bahwa nasib setiap maujud ditentukan oleh penyebab-penyebabnya yang terdahulu sementara penyebab-penyebab ini tidak mengetahui peran dan khasiatnya (ciri khasnya) sendiri. Sedangkan seorang ahli teologi melihat bahwa rangkaian panjang penyebab ini, yakni penyebab-penyebab yang berada di luar lingkup waktu, mengetahui dan menyadari perbuatan dan khasiatnya sendiri. Oleh sebab itu, penyebab-penyebab ini dalam ajaran-ajaran Ilahiyah diberi nama-nama tertentu seperti kitab, loh, pena dan sebagainya, namun dalam aliran materialisme tidak ada sesuatu yang patut menyandang nama-nama ini.

Jabr (Determinisme)

Dari uraian-uraian yang telah lalu, kita beroleh kesimpulan bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Halnya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan. Bahkan, yang benar ialah bahwa Allah SWT telah mengharuskan perwujudan segala sesuatu melalui lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang khusus.

Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap maujud berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan dengannya, baik dengan anggapan adanya konsep Ilahi atau tidak, yakni baik sistem sebab akibat ini merupakan sistem yang terpisah dan mandiri ataupun ia berdiri dengan sesuatu yang lain dan bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab adanya sistem sebab-akibat tersebut, baik terpisah dan mandiri ataupun tidak, tak ada pengaruhnya terhadap masalah nasib dan kebebasan manusia.

Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.

Sebab seandainya kita, dengan kepercayaan ini, bermaksud menolak keterkaitan antara sebab dan akibat, yang di antaranya termasuk kemampuan dan daya manusia, kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha dan qadar seperti ini adalah suatu khurafat (nonsens) yang mustahil bisa terwujud, sesuai dengan dalil-dalil pasti yang ditegakkan oleh ilmu filsafat ketuhanan, sehingga tak ada lagi tempat untuk syak dan ragu.

Jika dengannya kita bermaksud menetapkan keterikatan yang mesti antara sebab dan akibat, maka yang demikian itu adalah suatu kebenaran yang diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus dikatakan oleh para ahli teologi saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang mempercayai prinsip kausal umum. Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa kaum teologis mengangkat rangkaian sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala sesuatu atau sebab dari segala sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang berdiri sendiri dengan Zat-Nya, yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan (qadha) dan ketentuan (qadar). Namun perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit pun dalam menetapkan adanya jabr (determinisme) ataupun menafikannya.

Kebebasan dan Ikhtiar

Di sini akan timbul pertanyaan: Jika kita menjadikan qadha dan qadar Ilahi berkaitan, secara langsung dan tanpa perantaraan suatu sebab, dengan segala kejadian, maka apa artinya kebebasan? Bagaimana kita dapat mempertemukan kepercayaan kepada sistem kausal umum dengan kepercayaan kepada kebebasan manusia? Seandainya kita mau menerima pengertian tentang kebebasan manusia, apakah kita diharuskan sepenuhnya memisahkan perbuatan-perbuatan manusia dari penyebab eksternal yang bagaimanapun, sehingga dengan demikian kita hanya menerima hipotesis yang pertama? Jawabnya adalah: Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang telah mendorong banyak pemikir, pada masa lalu dan kini, untuk berlindung di balik apa yang mereka namakan "kehendakbebas" (free will) yang tidak berhubungan dengan sebab apapun. Dengan ini berarti bahwa mereka menerima baik "konsep kebetulan" walaupun dalam kerangka kehendak manusia. Akan tetapi, telah kaini tegaskan[10] bahwa prinsip kausal merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat diingkari atau dikecualikan, dan seandainya kita memutuskan semua kaitan antara perbuatan manusia dan sebab-sebabnya yang mendahuluinya, niscaya kita akan terpaksa menerima pendapat mengenai tiadanya ikhtiar bagi manusia.

Manusia sesungguhnya dicipta sebagai makhluk yang bebas dan berikhtiar, dalam arti bahwa ia diberi pikiran dan kehendak. Manusia, dalam perbuatannya, tidaklah sama seperti batu yang anda gelindingkan lalu ia pun menggelinding dan kemudian jatuh karena pengaruh daya tarik bumi tanpa memiliki kehendak sedikit pun. Atau seperti tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecuali satu jalan saja, sehingga pada saat terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu, ia tumbuh dengan bentuk yang biasa. Atau seperti seekor binatang yang melakukan perbuatan akibat dorongan nalurinya. Tidak! Manusia selalu mendapati dirinya berada di persimpangan jalan, agar ia memilih salah satu yang dikehendakinya di antara jalan-jalan itu dengan sepenuh kemerdekaan dan sesuai dengan kehendaknya serta pemikirannya. la tidak majbur (terpaksa) melintasi salah satu saja daripadanya. Yang menentukan salah satu dari jalan-jalan itu adalah cara berpikimya dan kebebasan memilihnya.

Di sini menonjollah faktor-faktor kepribadian, sifat-sifat moral dan spiritual, pengalaman-pengalaman pendidikan dan keturunan, nilai-nilai intelektual dan pandangan-pandangan jauh manusia, sehingga ia dapat mengetahui sampai sejauh mana masa depannya, bahagia ataupun sengsara, berkaitan dengan faktor-faktor tersebut atau, dengan kata lain, dengan jalan yang dipilihnya bagi dirinya sendiri.

Perbedaan antara manusia dan api yang membakar, air yang menenggelamkan dan tanaman yang tumbuh bahkan binatang yang berjalan adalah unsur ikhtiar (kebebasan memilih). Sebab semua yang tersebut di atas, tidak dapat memilih jalannya sendiri. Hanya manusia sajalah yang dapat memilih jalannya dengan kebebasan. Setiap kali menjumpai beberapa jalan, kepastian melintasi salah satu daripadanya tidak memperoleh kekuatan melainkan dari kehendak pribadinya.

Takdir yang Definitif dan yang Tidak Definitif

Berbagai riwayat keagamaan dan isyarat-isyarat Al-Quran berbicara tentang "takdir yang definitif" (mahtum) dan takdir yang tidak definitif. Hal itu menunjukkan adanya dua jenis qadha dan qadar atau takdir, yakni yang mengalami perubahan dan yang definitif dan dharuri (tidak boleh tidak) yakni tidak dapat mengalami perubahan.

Di sini akan timbul pertanyaan sekitar arti takdir yang tidak definitif. Pada saat kita melihat suatu peristiwa tertentu dengan penuh perhatian, kita akan bertanya: Adakah pengetahuan Ilahi yang azali meliputi peristiwa itu atau tidak? Jika ia tidak meliputinya, maka hal ini berarti tidak hanya qadha dan qadar. Tapi jika ia meliputinya, maka peristiwa itu secara dharuri sudah pasti terjadi. Jika tidak, maka konsekuensinya ialah tidak cocoknya pengetahuan Allah dengan kenyataan, serta berlawanannya sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan kehendak-Nya. Hal ini tentunya menunjukkan kekurangsempurnaan Zat Allah (Mahasuci lagi Mahatinggi Dia dari segala kekurangan).

Dengan kata lain, yang lebih teliti dan lebih mencakup, dapat dikatakan bahwa takdir, dalam kenyataannya, ialah munculnya semua lantaran dan sebab dari kehendak dan pengetahuan Allah, yaitu sebab dari segala sebab. Atas dasar itu, qadha menurut istilah ialah pengetahuan akan sistem yang paling baik dan yang merupakan pembuat dan pewujud sistem tersebut.

Dari segi lain, hukum sebab-akibat seperti yang kita ketahui, mewajibkan adanya kepastian dan keharusan, mengingat bahwa konsekuensi hukum kausal ialah terjadinya sesuatu yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan khususnya dan yang telah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu tertentu, secara pasti, definitif, dan tidak mungkin menemui kegagalan. Persis demikian pula halnya dengan tidak akan terjadinya peristiwa itu, di luar persyaratan dan kondisi tersebut, juga merupakan sesuatu yang definitif dan tidak boleh tidak.

Ilmu-ilmu memperoleh kepastian berdasarkan konsep ini. Kemampuan seseorang melakukan peramalan secara ilmiah adalah sekadar pengetahuannya akan berbagai lantaran dan sebab. Demikian pula, mengingat bahwa qadha dan qadar adalah pengharusan dan penentuan terjadinya peristiwa-peristiwa melalui sebab-sebab dan akibat-akibat, maka pada hakikatnya, qadha dan qadar adalah inti kemestian dan kepastian itu sendiri.

Berhubung dengan itu, bagaimanakah kiranya dapat dilakukan pembagian qadha dan qadar menjadi yang definitif dan tidak definitif, atau yang dapat mengalami perubahan dan yang tidak dapat mengalami perubahan?

Di sini tampaknya kita menemui jalan buntu, seakan-akan tak ada pilihan lain kecuali menyatakan seperti kaum Asy'ariyah, bahwa qadha dan qadar hanya satu macam saja dan tidak dapat mengalami perubahan atau pergantian; dan bahwa nasib manusia tidak mungkin menyimpang dari yang telah digariskan atasnya. Dengan demikian, kita telah mencabut dari manusia segala kemampuan untuk mengubah nasibnya, juga kebebasan dan kehendaknya. Atau kita berpendapat seperti kaum Mu'tazilah yang mengingkari qadha dan qadar serta pengaruhnya atas segala peristiwa alam, atau paling sedikit atas tindakan dan perbuatan manusia. Ada atau tidakkahjalan keluar dari kebingungan ini?

Rasanya kita harus mengalihkan perhatian ke arah suatu titik yang amat penting. Yaitu, sebagaimana konsekuensi teori kaum Asy'ariyah, yang bertumpu atas dasar "tidak mungkinnya qadha dan qadar mengalami pergantian", telah menyebabkan penafian kemampuan dan ikhtiar manusia serta ketiadaan kekuasaannya atas masa depannya, maka teori kaum Mu'tazilah pun tidak merupakan terapi yang tepat untuk itu. Sebab, di samping kemusykilan yang berkaitan dengannya, seperti ditunjukkan oleh ilmu Ketuhanan, ditinjau dari sudut keberlawanannya dengan ketauhidan, teori tersebut juga tidak berguna dalam mengembalikan esensi kemampuan dan ikhtiar bagi manusia. Seandainya tidak menerima masalah takdir sesuai dengan pemahaman Ilahiyah pun, kita akan tetap berada dalam kebingungan di hadapan pemahaman materialistis mengenai hal itu, yakni adanya kekuasaan qat'iy (pasti) yang tidak tunduk pada sistem kausal umum maupun kekuasaan hukum-hukum yang bersumber daripadanya.

Dapatkah kita mengingkari pengaruh hukum sebab-akibat dalam perlangsungan peristiwa-peristiwa atau, paling sedikit, dalam perbuatan manusia?!

Dalam kenyataannya, kaum Mu'tazilah dan pengikut-pengikut mereka memang telah melakukan hal itu, yakni mengingkari konsep keharusan sebab-akibat, sedikitnya pada si pelaku yang bebas memilih atau berikhtiar. Beberapa pemikir Barat modern juga telah mengadaptasi pikiran-pikiran kaum Mu'tazilah dalam masalah ini, lalu mereka berbicara tentang "kehendak bebas" (free will), yakni bebas dari hukum kausal, sampai-sampai mereka mendakwakan bahwa hukum kausal hanya berlaku di dunia materi yang terbentuk dari atom-atom, bukannya di dunia spiritual atau dunia internal atom-atom itu sendiri.

Pada waktu ini, kami tidak hendak menarik pembahasan ini ke hukum kausal, tetapi kami persilakan pembaca yang terhormat membaca catatan-catatan kami dalam buku Ushul alFalsafah wal-Madzhab al-waqi'i (Dasar-dasar Filsafat dan Aliran Pragmatisme), jilid III. Di sini kami hanya mencukupkan diri dengan nnenyatakan bahwa kebimbangan para pemikir tersebut mengenai berlakunya hukum kausal secara umum, ialah disebabkan mereka mengira bahwa hukum tersebut bersifat eksperimental. Oleh sebab itu, ketika eksperimen-eksperimen ilmiah yang dilakukan orang, menemui kegagalan dalam menyingkap hubungan antara hukum sebab-akibat dan terwujudnya akibat tertentu setelah adanya sebab tertentu, para pemikir tersebut mengira bahwa hal ini berada di luar sistem sebab-akibat.

Pada hakikatnya, hipotesis tentang tumbuhnya semua kaidah dan hukum ilmiah pada diri manusia serta kesempurnaan pemikirannya, berdasarkan perasaan dan eksperimen, merupakan penyebab utama timbulnya kebingungan yang menimpa teori-teori filsafat Barat, yang kemudian mempengaruhi pula kaum penirunya di Timur.

Bagaimanapun juga, tindakan mengingkari sistem sebab-akibat umum, adalah sesuatu yang mustahil. Seandainya diterima juga, kemusykilan arti takdir dari jenis yang tidak definitif tetap tidak terpecahkan, baik kita menyetujui teori takdir Ilahi ataupun tidak.

Kemusykilan tersebut, secara ringkas, ialah bahwa setiap kejadian, termasuk di dalamnya perbuatan manusia, menjadi definitif (terlaksana qadha-nya) jika telah sempurna sebabsebab dan lantaran-lantarannya. Ia pun memperoleh bentuk dan ciri-ciri khasnya dari sebab-sebab takdir tersebut. Dengan demikian, prinsip sebab-akibat adalah identik dengan determinisme dan keharusan kemunculan. Tidak mungkin ada perubahan dan tidak mungkin ada pergantian.

Oleh sebab itu, setiap orang mengakui teori kausal, termasuk kaum materialis, pasti diliputi kemusykilan dan pertanyaan. Di satu pihak mereka telah menerima keharusan sebab-akibat (determinisme) dan di lain pihak, menyatakan nasib manusia sebagai sesuatu yang dapat diubah, di samping memberikan kepadanya peran penguasa atas nasibnya itu.

Berdasarkan itu, teori kaum Mu'tazilah yang bertumpu atas penafian qadha dan qadar dalam pengertian Ilahi, yakni penafian totalitas kehendak Ilahi dan kemampuan-Nya yang mencakup seluruh kejadian alam, serta penyangkalan terhadap ilmu Ilahi sebagai awal dari sistem alam secara umum, sama sekali tidak berguna sebagai terapi bagi problem yang amat rumit tersebut.

Mengkhayalkan Sesuatu yang Mustahil

Bila yang dimaksudkan dengan perubahan dan pergantian dalam takdir yang tidak definitif dari sisi Ilahi adalah bahwa Ilmu dan iradat (pengetahuan dan kehendak) Ilahi menetapkan sesuatu kemudian faktor lain yang mandiri (yang tidak berasal dari takdir) mewujudkannya dengan cara yang berlawanan dengan ilmu dan iradat Ilahi itu, ataupun faktor eksternal yang mandiri itu bertindak mengubah ilmu dan Iradat Ilahi, maka hal ini mustahil.

Demikian pula, dari sudut kausalitas umum, bila yang dimaksud adalah bahwa sistem ini menetapkan sesuatu kemudian muncul faktor lain di hadapannya dan mencegahnya dari pelaksanaan penetapannya itu, maka hal ini juga mustahil.

Sebab, semua faktor dalam wujud ini hanya timbul dari ilmu dan iradat Allah saja, dan semua faktor yang muncul di alam ini tidak lain adalah penampakan Ilmu dan iradat Allah serta alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya. Demikian pula setiap faktor yang kita amati dengan seksama berada di bawah pengaruh hukum sebab-akibat dan merupakan suatu penampakan darinya. Tidak ada artinya membayangkan munculnya suatu faktor yang bukan merupakan penampakan iradat Ilahi dan bukan sebagai alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya, ataupun membayangkan adanya faktor berpengaruh yang berada di luar hukum sebab akibat, atau berlawanan dengannya.

Dengan begitu, perubahan dan pergantian pada nasib, dalam arti munculnya suatu faktor yang berlawanan dengan qadha dan qadar atau berlawanan dengan hukum sebab-akibat adalah mustahil.

Kenyataan yang Mungkin Terjadi

Adapun perubahan nasib dalam arti bahwa penyebab perubahan itu sendiri merupakan suatu penampakan aktifitas qadha dan qadar serta satu dari serangkaian sistem sebabakibat atau, dengan kata lain, perubahan nasib dengan ketentuan nasib dan penggantian takdir dengan penetapan takdir itu sendiri, maka hal itu merupakan suatu kenyataan, kendati tampak aneh dan musykil.

Yang lebih aneh lagi ialah bila kita memusatkan pandangan kepada qadha dan qadar dari sudut pandang sisi Ilahi. Sebab, perubahan qadha dan qadar di sisi ini akan menimbulkan perubahan di "alam atas" pada loh-loh, kitab-kitab malakut serta Ilmu Ilahil Mungkinkah melakukan perubahan dalam Ilmu Ilahi? Keanehan akan makin mencapai puncaknya ketika kita membayangkan kejadian-kejadian di alam bawah (alam dunia), khususnya kehendak dan perbuatan-perbuatan manusia, sebagai menjadi penyebab timbulnya perubahan-perubahan, penghapusan dan penetapan di "alam atas" pada sebagian loh-loh takdir dan kitab-kitab malakut (supra natural).

Bukankah sistem "alam bawah" (duniawi) dan inderawi, bersumber pada sistem "alam atas" dan pusat Ilmu Ilahi serta muncul daripadanya? Bukankah alam dunia ini rendah dan alam atas itu tinggi? Bukankah alam nasut (manusiawi) diatur dan diperintah oleh dunia supra natural (malakut). Mungkinkah, meski hanya sesekali, sistem alam bawah atau bahkan sebagian daripadanya, yakni alam manusia, mampu memberi pengaruh pada sistem atas dan pusat ilmu Ilahi, ataupun menyebabkan adanya beberapa perubahan tertentu padanya walaupun perubahan-perubahan ini sendiri berdasarkan qadha dan qadar?

Begitulah pertanyaan demi pertanyaan yang aneh-aneh akan bermunculan di dalam pikiran... Adakah ilmu (pengetahuan) Allah dapat mengalami perubahan?! Ataukah hukum Allah dapat mengalami pembatalan?! Dapatkah yang rendah berpengaruh pada yang tinggi.

Jawaban tegas atas pertanyaan ini ialah : Ya, ilmu Allah dapat mengalami perubahan, dalam arti bahwa Allah mempunyai suatu pengetahuan tertentu yang dapat mengalami perubahan. Hukum Allah dapat mengalami pembatalan, dalam arti bahwa Allah SWT memiliki beberapa hukum yang memang dapat mengalami pembatalan. Dan bahwa yang rendah adakalanya dapat memberikan pengaruhnya terhadap yang tinggi, dan bahwa sistem alam bawah, terutama kehendak dan perbuatan manusia, bahkan kehendak manusia semata-mata, adakalanya dapat "mengguncang" alam atas dan menyebabkan timbulnya beberapa perubahan padanya. Inilah kekuasaan tertinggi manusia atas nasibnya.

Harus diakui bahwa hal ini akan menimbulkan keheranan, akan tetapi kenyataan masalah yang amat agung dan mengagumkan inilah yang disebut sebagai masalah bada' (kemunculan sesuatu yang sebelumnya belum muncul) yang dibicarakan oleh Al-Quran al-Karim pertama kali dalam sejarah ma'rifat (pengetahuan) manusia, yaitu dalam firman-Nya:

"Allah menghapus apa saja yang dikehendaki-Nya dan menetapkan, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab." (QS 13 : 39)

Masalah bada' ini tidak ada padanan dan persamaannya dalam semua konsep dan doktrin ilmiah manusiawi, dan di antara kelompok-kelompok Islam tidak bisa dijumpai kecuali pada para ulama dari kelompok Syi'ah Itsna Asyariyah. Dengan mengikuti ucapanucapan Ahlul Bait (alaihimussalam), mereka dapat mencapai hakikat ini dan dengan begitu meraih kehormatan dan kebanggan ini.

Di sini kami tidak dapat, secara terperinci, memasuki pembahasan filosofis yang amat canggih ini serta memberikan penjelasan yang luas mengenainya. Kami hanya mencukupkan diri dengan memberikan sepintas isyarat demi menandaskan bahwa teori bada' memiliki dasar dalam Al-Quran. Dan bahwa ia merupakan salah satu hakikat filosofis yang sedemikian halusnya, sampai-sampai para filosof Syi'ah pun tak berhasil mencapai kedalamannya kecuali sebagian dari mereka. Yaitu yang termasuk para peneliti dan pemerhati Al-Quran serta peninggalan-peninggalan para pemimpin utama, yakni Nabi saw., serta para imam Ahlul Bait (alaihiimissalam), khususnya yang tersebut dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib a.s.

Sudah barang tentu kita tidak boleh berpuas diri dengan imajinasi kaum awam yang dikembangkan oleh orang-orang dungu dan mereka namakan bada', kemudian mereka kritik dan sanggah berdasarkan apa yang mereka bayangkan.

Betapapun juga, dalam risalah ringkas ini, kami tidak dapat memasuki pembahasan yang canggih ini. Kami hanya akan membahasnya dari segi persoalan terbaginya qadha dan qadar, serta kemungkinan perubahan nasib ditinjau dari sudut kenyataan yang telah ditentukan dan teori kausal umum, serta melihat kemungkinan bahwa qadha dan qadar terdiri atas dua macam: yang pasti dan tidak tersentuh perubahan, dan yang tersentuh perubahan. Jika demikian, bagaimana hal itu dapat dijelaskan?

Maujudat (segala suatu yang ada di alam ini) terbagi atas dua bagian :

a. Yang hanya bisa terdiri atas satu jenis khusus seperti hal-hal yang bersifat mujarrad (abstrak, ruhani).

b. Yang bisa terdiri atas lebih dari satu jenis, yaitu benda-benda materi atau sesuatu yang berasal dari materi tertentu dan merupakan dasar pembentukan benda-benda lainnya, seperti segala sesuatu yang dapat dirasa dan diraba.

Benda-benda alami dapat mengambil berbagai bentuk, memiliki kemampuan berintegrasi dan, dengan pengaruh beberapa faktor tertentu, dapat menjadi daya dan kekuatan, sementara beberapa faktor lainnya dapat mengubahnya menjadi makin sempurna ataupun makin kurang sempurna. Jadi, ia memiliki kemampuan menghadapi berbagai faktor, sebagaimana pengaruh yang dialaminya dari suatu faktor berbeda dengan yang dari faktor lainnya. Suatu benih yang menjumpai lingkungan yang serasi, lalu tidak dijangkiti penyakit-penyakit tumbuh-tumbuhan, akan tumbuh subur dan mencapai kesempurnaannya. Akan tetapi, dengan berkurangnya salah satu faktor keserasian lingkungannya, atau dengan adanya penyakit yang menimpanya, ia tidak dapat tumbuh dengan baik. Demikianlah, setiap benda alami memiliki ribuan kondisi, sehingga membentuk dirinya dengan beraneka bentuk sesuai dengan perbedaan kondisi ini.

Dengan ini kita mengetahui bahwa berbagai mujarrad di alam ruhani berbeda sepenuhnya dari keadaan benda-benda material. Pada yang pertama, qadha dan qadar menjadi definitif, dalam arti nasibnya berada di tangan sebabnya yang tunggal yang tak mungkin berubah. Adapun dalam hal benda-benda yang dapat mengalami perubahan dan menerima warna-warna serta berada di bawah pengaruh hukum gerak, maka qadha dan qadar baginya tidak definitif, dalam arti bahwa qadha tidak menentukan nasibnya. Bahkan, nasib setiap akibat mengikuti jenis penyebabnya. Lagi pula, disebabkan ia berhubungan dengan berbagai sebab, maka ia pun memiliki nasib yang berbeda-beda pula. Setiap sebab yang mana pun dapat mengisi tempat yang lain. Dengan demikian, kita tidak dapat melukiskan takdir dalam benda-benda dengan kemestian dalam arti ini. Bahkan setiap kali faktor-faktor itu bertambah, bertambah pulalah ragam nasib bendabenda itu.

Dengan sebab tertentu, seseorang ditimpa penyakit lalu timbullah rasa sakit. Dengan sebab yang tersembunyi dalam obat, hilanglah penyebab sakit itu dan berubahlah nasib orang itu. Seandainya dua orang dokter memberikan dua lembar resep, yang satu mendatangkan mudarat dan yang lainnya mendatangkan manfaat, maka dua keadaan yang berbedalah yang menunggu si sakit. Ikhtiar (pilihan) antara keduanya berada di tangannya. Ikhtiar inipun berkaitan dengan serangkaian sebab dengan cara yang tidak melucuti orang itu dari ikhtiarnya. Dengan kata lain, kendatipun telah tetap pilihannya atas salah satu dari kedua resep tersebut, tidaklah berarti bahwa selanjutnya ia tidak memiliki pilihan atau resep lainnya. Sebab, kemungkinan untuk memilih resep yang kedua tetap ada dan terpelihara.

Dengan demikian, dapatlah diketahui adanya bermacam-macam qadha dan qadar yang masing-masing dapat menempati posisi yang lainnya. Hal ini, yakni pergantian tempat yang satu dengan lainnya, sesuai pula dengan hukum qadha dan qadar. Atas dasar ini, seandainya seorang penderita sakit minum obat lalu ia sembuh, yang demikian itu adalah dengan ketentuan qadha dan qadar. Dan jika ia tidak minum obat itu lalu tetap menderita sakit, atau minum obat yang mendatangkan mudarat lalu mati, maka hal itu juga sesuai dengan qadha dan qadar. Seandainya ia menjauhkan diri dari lingkungan penyakit dan tetap terjaga daripadanya, maka hal itu juga sesuai dengan ketentuan qadha dan qadar. Selanjutnya, segala yang dilakukan dan menimpanya adalah salah satu jenis qadha dan qadar; tidak mungkin ia berada di luar lingkungan qadha dan qadar.

Arti seperti ini diungkap secara jelas dalam untaian syair Hakim Maulawi, seorang penyair Iran terkenal.[11]

Makna tersembunyi dalam ungkapan

'Telah keringlah sang pena',

membangkitkan semangat tinggi

di antara seluruh bangsa

Pena kehendak Ilahi sejak dulu menetapkan

setiap perbuatan memiliki hasil dan ganjaran.

Jika membongkar, reruntuhanlah yang kau jumpai

jika membangun, kejayaanlah yang kau temui

jika tangan bertindak, ia pun memotong;

jika anggur bersemayam, ia pun memabukkan.

Setelah kezaliman, datanglah kehancuran.

Setelah keadilan, segera datang kemuliaan.

Adakah kau kira akal yang arif dan lurus

Memisahkan Allah dari kucisa-Nya yang azali

Seraya berkata: 'Telah berlaku hukum qadha'...?

Tinggalkan keluhan! Tinggalkan tangis ini!

Tidak! Bukan itu maksud ungkapan:

'Telah keringpena sang qadha'

Keadilan dan kezaliman pastilah tak sama...

Rahasia Persoalan Ini

Qadha bukanlah faktor pelaku yang mempengaruhi di samping faktor-faktor lainnya, tapi ia adalah awal mula dan tempat berseminya semua faktor alamiah. Semuanya merupakan tanda-tanda esensinya dan tercakup dalam prinsip kausal umum. Jika ia mustahil berada di samping faktor-faktor yang mempengaruhi, mustahil pula ia mencegah berlakunya pengaruh setiap sesuatu dari faktor-faktor itu. Betapa hal itu dapat dibayangkan, sedangkan ia adalah sumber faktor yang akan dicegahnya daripada meneruskan pengaruhnya itu.

Oleh sebab itu, jabr (determinisme) dalam arti yang berakhir dengan paksaan atas manusia oleh qadha dan qadar, adalah mustahil. Memberikan pengaruh seperti ini pada qadha dan qadar, padahal ia adalah asal mula segala faktor penyebab di wujud ini, dan bukannya sekedar satu di antara faktor-faktor lainnya, adalah sesuatu yang mustahil.

Memang, adakalanya tampak pengaruh qadha dan qadar seperti itu, dalam hal seseorang memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. Tapi ini bukanlah jabr seperti yang diistilahkan itu. Kita kini membahas jabr dalam arti pengaruh langsung qadha dan qadar terhadap kehendak manusia, baik dalam bentuk faktor negatif yang mencegah berpengaruhnya kehendak itu, ataupun faktor positif yang memaksanya melaksanakan sesuatu.

Dengan kata lain, rahasia persoalan adanya kemungkinan suatu perubahan nasib ini, terkandung dalam kenyataan bahwa qadha dan qadar mewajibkan terwujudnya setiap maujud melalui sebab-sebabnya yang khusus baginya, serta kemustahilan kewujudannya tanpa itu. Pada segi lainnya, sebab-sebab dan akibat-akibat alami beraneka ragamnya, sedangkan benda-benda di alam ini dapat terpengaruh oleh bermacam-macam sebab pada saat bersamaan.

Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain jika kita membayangkan qadha dan qadar seperti cara kaum Asy'ariyah membayangkannya, dalam arti kita membayangkan sistem kausal umum dan gerakan sebab-akibat sebagai sesuatu yang tidak memiliki hakikat, atau seperti yang dibayangkan oleh kaum "Asy'ariyah yang setengah-setengah", yang memberikan pada qadha dan qadar, dengan beberapa pengecualian tertentu, kemungkinan ikut campur secara langsung dalam perjalanan peristiwa-peristiwa. Namun, qadha dan qadar seperti ini tidak pernah terwujud dan tidak mungkin terwujud.

Keistimewaan Manusia

Perbuatan dan tindakan manusia termasuk dalam kejadian-kejadian yang atasnya tidak terdapat qadha dan qadar yang deterministis, sebab ia bertautan dengan beribu-ribu sebab dan lantaran, termasuk di dalamnya berbagai macam kemauan dan pilihan yang dimiliki dan dialami oleh manusia.

Segala kemampuan yang terkumpul dalam jumlah besar pada benda-benda, tumbuhtumbuhan dan perbuatan naluriah hewan, terdapat pula pada perbuatan-perbuatan manusia. Dalam pertumbuhan pohon apa pun, atau dalam perbuatan naluriah hewan apa pun, terdapat beribu-ribu kondisi alami yang memungkinkannya terwujud. Semua kondisi seperti ini terdapat pula pada perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan manusia; lebihlebih lagi karena kepada manusia diberikan akal, perasaan, kemauan moril serta kekuatan untuk memilih.

Manusia memiliki kemampuan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kendati perbuatan itu sesuai dengan naluri alamiah dan dorongan biologisnya serta tidak ada pencegah atau hambatan eksternalnya. Akan tetapi, ia meninggalkannya setelah berpikir dan memperbandingkan besar kecilnya kemaslahatan dalam persoalan tersebut. Sebagaimana ia juga memiliki kemampuan melaksanakan suatu pekerjaan yang ia ketahui berlawanan sepenuhnya dengan wataknya atau kecenderungannya sendiri, serta tak adanya faktor yang memaksanya untuk itu. Sebab ia berpikir dan melihat adanya kemaslahatan dalam hal itu.

Manusia, seperti juga binatang, berada di bawah pengaruh berbagai dorongan kejiwaan serta keinginan-keinginannya sendiri. Akan tetapi manusia bukannya tidak berdaya sama sekali di hadapan itu semua, atau dapat dieksploitasi secara paksa oleh dorongandorongan dan keinginan-keinginan tersebut. la memiliki kebebasan dalam berhadapan dengannya; dalam arti sekiranya semua faktor dharuri mengharuskan dilakukannya sesuatu oleh hewan, maka ia pasti bergerak melaksanakannya secara terpaksa; sementara seorang manusia, seandainya telah terkumpul di hadapannya semua faktor dharuri tersebut, ia masih tetap memiliki akal dan kemauan, yang dengannya ia dapat melakukan perbuatan itu ataupun meninggalkannya.

Terlaksananya perbuatan itu bergantung pada persetujuan akal sebagai kekuasaan legislatif tertinggi, serta kemauan sebagai kekuatan eksekutif. Dari sini diketahui bahwa manusia dapat mempengaruhi nasibnya sebagai pelaku yang dapat memilih. Dalam arti, setelah terkumpulnya semua kondisi alami yang berpengaruh, ia masih tetap memiliki pilihan dan kebebasan untuk melakukan ataupun meninggalkannya.

Kebebasan manusia tidak berarti bahwa perbuatannya terlepas bebas dari hukum kausal, sebab hal ini tidak berkaitan dengan ikhtiar, di samping kemustahilan terlepasnya ia dari hukum sebab-akibat itu sendiri. Bahkan, pada hakikatnya, kebebasan macam ini identik dengan jabr. Sebab, apa bedanya manusia menjadi majbur (terpaksa) melalui faktor khusus yang memaksanya melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak dan kecenderungannya, ataupun perbuatan itu sendiri terbebas dari hukum kausal dan dari segala keterikatan dengan sebab apa pun, termasuk keterikatannya dengan manusia itu sendiri, sehingga perbuatannya itu dapat terjadi dengan sendirinya tanpa tanpa adanya pengaruh apa pun?!

Kita menyetujui pendirian tentang adanya kebebasan manusia dalam hal bahwa perbuatan seseorang timbul dari manusia itu sendiri, dengan sepenuh kemauan dan kerelaannya, serta dengan konsentrasi kekuatan pencerapannya; dan bahwa tiada faktor apa pun yang memaksanya melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya, baik faktor qadha dan qadar atau apa pun lainnya.

Kesimpulannya, kesempurnaan sebab-sebab dan lantaran-lantaran merupakan realisasi qadha dan qadar Ilahi. Makin beraneka ragamnya sebab-sebab serta kejadian-kejadian yang dapat berlangsung pada peristiwa apa pun, maka makin beraneka ragam pula jenis qadha dan qadar berkenaan dengan kejadian-kejadian tersebut. Keadaan apa saja yang telah terjadi, maka hal itu pasti terjadi oleh sebab qadha dan qadar Ilahi; dan keadaan apa saja yang telah tidak terjadi, maka itu pun tidak terjadi oleh sebab qadha dan qadar Ilahi pula.

Tinjauan Singkat atas Masa Permulaan Islam

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang hirz (tulisan yang mengandung ayat-ayat suci sebagai penangkal penyakit),[12] yakni apakah hirz itu dapat menghentikan perjalanan qadar? Rasulullah saw. menjawab : "Itu termasuk di antara qadar Allah."

Diriwayatkan dari Imam Ali (alaihissalam) bahwa ia pernah bangkit dan pindah dari bawah sebuah dinding yang mulai miring ke dinding yang lain. Seseorang bertanya kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apakah anda lari dari qadha Allah?" Beliau menjawab: "Aku lari dari qadha Allah ke qadha-Nya SWT." Jadi, ia lari dari sejenis qadha kepada sejenis lainnya. Jatuhnya dinding yang telah miring merupakan qadha Ilahi, dalam arti bahwa ia secara wajar dan alamiah akan menjatuhi kepala seorang manusia pada saat terlaksananya segala persyaratannya. Akan tetapi bila manusia itu menarik dirinya dari tempat tersebut, ia akan tetap selamat dari bencana; dan ini pun merupakan qadha Ilahi pula. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan ia tertimpa oleh bencana itu sementara ia berada dalam keadaan yang kedua sebagai akibat dari faktor-faktor lainnya. Inipun pada gilirannya termasuk qadha dan qadar.

Hakim Maulawi, si penyair, berkata:

Meninggalkan keraguan mengajarkan pada kita

Bahwa dari qadha kita lari ke qadha lainnya.

Tidaklah mungkin berlangsung usaha melawan qadha

Karena setiap usaha adalah bagian dari qadha.

Setiap orang yang mempelajari hidup kaum Muslimin terdahulu, akan mengetahui dengan jelas bahwa mereka memahami qadha dan qadar dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan kekuasaan manusia atas nasibnya, dan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi padanya hanyalah dalam kerangka qadha dan qadar. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang fatalis, melainkan selalu mencari kejayaan dengan jihad dan upaya sungguh-sungguh. Mereka berdoa kepada Allah agar beroleh rizki berupa qadha yang terbaik, mengingat banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi atas segala sesuatu. Patutlah diperhatikan bahwa mereka meminta "qadha (ketetapan) yang terbaik", bukannya "sesuatu yang terbaik dari yang diqadha dan ditakdirkan". Hal seperti ini banyak sekali kita jumpai dalam berbagai doa Islami. Yang lebih mengherankan lagi ialah terdapatnya ungkapan-ungkapan seperti ini, hatta pada orang-orang kebanyakan di kalangan kaum Muslimin pada permulaan Islam.

Ibn Atsir mengutip[13] dari Tarikh at-Tabari, isi surat yang dikirimkan oleh Sa'd bin Abi Waqqas kepada Umar bin Khattab, antara lain: "Ketetapan Allah pasti berlangsung. Qadha-Nya mengantarkan keuntungan ataupun kerugian yang ditakdirkan bagi kita. Kepada-Nyalah kita memohon qadha yang terbaik dan qadar yang terbaik pula, dalam keselamatan."

Dalam Syarh Ibn Abil Hadid atas Nahjul Balaghah, khutbah Nonior 132, disebutkan bahwa Umar r.a., dalam perjalannya menuju Syam dan sebelum memasuki daerah itu, mendengar berita adanya wabah sampar. Ketika bermusyawarah dengan orang-orang yang bersamanya, mereka semuanya mencegahnya meneruskan perjalanan, kecuali Abu Ubaidah bin Jarrah yang waktu itu menjabat panglima pasukan Muslim di Syam. Ia berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, adakah Anda melarikan diri dari takdir Allah?" Umar menjawab: "Ya, aku lari dari takdir Allah dengan takdir-Nya dan kepada takdir-Nya." Pada saat itu, seseorang mengaku pernah mendengar Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang yang berada di luar kota yang terkena wabah sampar agar jangan memasukinya, dan orang-orang yang berdiam di dalam kota agar jangan keluar dari sana. Hal itu mengakhiri kebimbangan Umar dan ia pun membatalkan niatnya untuk memasuki kota tersebut.

Demikianlah yang dapat dipahami dari sumber-sumber berita dari kedua kelompok, Syi'ah dan Sunnah, bahwa Nabi saw. membicarakan masalah qadha dan qadar di antara para sahabatnya. Juga Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) berulangkali menyebut masalah itu dalam ucapan-ucapannya. Di antara yang membangkitkan rasa kekaguman ialah bahwa pengajaran atau pendidikan yang gemilang ini telah memberikan, kepada kaum Muslimin, segala kecerdasan dan kecermatan dan sepenuhnya menjauhkan mereka dari pemahaman yang bersifat fatalisitis dan, sebaliknya, tidak pernah mendorong mereka ke arah itu. Sebagai hasilnya, pemahaman seperti itu tidak pernah menjadikan mereka membayangkan diri mereka kehilangan kehendak dan kebebasan memilih. Makna ini ditegaskan oleh tindakan dan ucapan-ucapan kaum Muslimin pada permulaan masa Islam sebagai dinukilkan di sana sini.

Namun para ahli ilmu-kalam yang datang setelah itu, yang hendak melakukan analisis dan menyusun pembuktian-pembuktian berdasar itu semua, temyata tidak mampu membedakan antara takdir dan jabr. Sampai hari ini pun, setelah berlalunya enipat belas abad semenjak masa itu, hanya sedikit saja orang, di Barat dan di Timur, yang mampu membuat perbedaan antara kedua akidah tersebut. Sumber asli pendapat yang benar ialah Al-Quran al-Karim yang berbicara tentang berbagai jenis qadar seperti di dalam ayat mulia berikut:

Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan 'ajal lainnya' yang ditentukan di sisi-Nya. (QS 6 : 2)

Ketika Al-Quran berbicara tentang lauh mahfuzh, kitab azali dan takdir yang mendahului, ia berkata : "Dan tiada sesuatu yang basah ataupun yang kering kecuali tercatat di dalam kitab yang nyata." (QS 6 : 59). Juga: "Tiada suatu musibah di bumi ataupun dalam diri kamu kecuali telah ada dalam suatu kitab sebelum Kami menciptakannya." (QS 57 : 22). Di waktu yang sama, ia berkata: "Setiap hari Dia berada dalam sesuatu kesibukan." (QS 55 : 29).

Rasulullah saw. pernah ditanya: "Adakah kita ini berada dalam suatu urusan yang telah selesai diputuskan atau dalam urusan yang baru dimulai?" Jawab beliau: "Dalam sesuatu yang telah selesai dan sesuatu yang baru dimulai".[14]

Alam yang Tidak Terkena Perubahan

Telah kami nyatakan bahwa pembicaraan tentang kedua jenis qadha dan qadar dapat dijumpai melalui ucapan para Imam, baik dalam doa ataupun lainnya, dan telah kami jelaskan pula bahwa hal-hal mujarrad (abstrak) yang berasal dari "alam atas" memiliki qadha dan qadar definitif tidak seperti halnya maujud-maujud alamiah. Harus ditambahkan di sini, bahwa di alam ini pun ada hal-hal yang bersifat definitif, yakni termasuk dalam qadha dan qadar definitif yang tidak mungkin mengalami perubahan.

Setiap maujud di alam ini didahului oleh ketiadaan, dan harus diakibatkan oleh suatu maujud lainnya. Hal ini merupakan qadha definitif. Kemudian setiap maujud tentunya berjalan menuju kefanaan dan kesimaan bila tidak berubah menjadi maujud non-material.

Inipun qadha dan qadar definitif. Semua maujud alamiah mencapai suatu titik yang dari sana ia tidak mungkin dapat mengubah arahnya. Ia menjadi tiada atau melintasi arah yang telah ditentukan itu. Hal ini berarti bahwa ia berada di bawah kekuasaan takdir yang definitif. Contohnya, sperma laki-laki pada saat bertemu dengan telur perempuan, lalu sel yang telah dibuahi (zygot) itu menetapkan jenis bahan dasar yang kelak ikut menentukan masa depan si bayi dengan segala karakteristik yang diwarisinya, dan dengan begitu pasti mempengaruhi nasib dan masa depannya. Jelas sekali bahwa seandainya sperma laki-laki yang sama itu membuahi telur perempuan lainnya, niscaya akan terbentuk bahan dasar yang lain pula. Setelah terbentuknya bahan dasar, ia tidak dapat diubah lagi menjadi bahan dasar lain. Hal ini berarti bahwa qadha dan qadar dalam tahapan ini adalah dari jenis yang definitif. Demikian pula tahapan-tahapan berikutnya, yang berlangsung dalam rahim, merupakan sesuatu yang pasti dan definitif. Itulah sebabnya, mengapa kita dapati beberapa riwayat menyatakan bahwa rahim adalah satu di antara loh-loh qadar.

Sistem-sistem yang Tetap

Sebagaimana hukum-hukum dan sistem-sistem yang berlaku di alam ini tidak tersentuh perubahan dan pergantian, meskipun maujud-maujud alamiah berubah dan berganti, namun sistem-sistem alamiah tetap tak berubah.

Maujud-maujud alamiah selalu berubah dan berusaha mencapai kesempurnaan. Masingmasing menjalani cara yang bermacam-macam. Adakalanya ia mencapai kesempurnaan, tapi adakalanya ia berhenti. Kadang-kadang ia berjalan cepat, tapi kadang-kadang pula lambat, sementara nasibnya diubah oleh berbagai faktor yang berbeda. Namun sistemsistem alamiah tidak pernah berubah ataupun berusaha mencapai kesempurnaan, tapi ia tetap dalam keadaan yang sama.

Al-Quran al-Karim berbicara tentang sistem-sistem yang tetap dan menamakannya sunnatullah (hukum Allah):

Kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS 33 : 62)

Sebagai contoh, Al-Quran menyebutkan bahwasannya kemenangan akhir adalah bagi orang-orang bertakwa dan bahwa bumi ini pada akhimya disediakan bagi hamba-hamba Allah yang saleh; semua itu merupakan sunnah Allah yang tak berubah;

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah Kami tulis dalam Lanhul Mahfuzh, bahwasannya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh .(QS 21 : 105)

Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orangorang yang bertakwa . (QS 7 : 128)

Di antara berbagai sunnah Allah yang definitif ialah selama manusia tidak mengubah sendiri kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan mereka, maka Allah tidak akan mengubah kondisi umum mereka.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13 : 11)

Termasuk sunnah Allah yang definitif ialah bahwa orang yang berkuasa atas sekelompok manusia selalu berada dalam keadaan yang saling bersesuaian, yakni antara yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam hal mental, karakter dan kecenderungankecenderungan mereka.

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain. (QS 6 : 129)

Di antaranya ialah bahwa kaum mutrafin (kaum elite yang berfoya-foya) yang terdapat pada suatu bangsa dan melakukan perbuatan-perbuatan tirani, kefasikan dan kedurhakaan serta bertindak semau-maunya, maka mereka akan menyebabkan kehancuran bangsa itu.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada kaum mutrafin di negeri itu supaya menaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancumya. (QS 17 : 16)

Demikian pula, keberhasilan khalifah kaum mukminin, yang menyiapkan diri untuk berjihad dalam medan perjuangan hidup, di atas bumi merupakan ketentuan yang pasti takkan berubah.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di Bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. (QS 24 : 55)

Di antaranya pula ketentuan bahwa akibat kezaliman adalah kehancuran:

Dan penduduk negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. (QS 18 : 59)

Dalam suatu hadis Nabi saw. disebutkan: "Kekuasaan adakalanya tetap tinggal bersama dengan kekufuran, tetapi tidak akan tinggal bersama kezaliman."

Beberapa Pendapat Lainnya

Sesuai dengan yang telah kami jelaskan terdahulu, terbaginya qadha dan qadar menjadi definitif dan tidak definitif, berasal dari kondisi khas maujud-maujud. Suatu maujud yang memiliki berbagai kapasitas dan aneka sebab, dapat dipengaruhi oleh semuanya itu, sehingga ia ditarik oleh masing-masing sebab ke suatu arah tertentu. Maujud ini memiliki beraneka ragam kemampuan yang sesuai dengan keterikatannya dengan sebab-sebab yang beraneka ragam pula. Atas dasar ini, dapatlah dikatakan bahwa qadha dan qadar bagi maujud seperti ini tidaklah definitif. Adapun maujud yang hanya mempunyai satu kapasitas saja, yang tak memiliki kemungkinan kecuali melintasi satu jalan saja dan tidak memiliki ikatan kecuali dengan satu sebab saja, tidaklah memiliki kecuali satu nasib yang definitif saja, yang tak mungkin berubah. Dengan kata lain, definitif atau tidaknya berasal dari sisi kepasifan, bukannya dari sisi keaktifan, yakni satu kepasifan atau berbagai kepasifan yang meliputinya.

Oleh sebab itu, benda-benda mujarrad (abstrak) yang kehilangan kapasitasnya, seperti halnya berbagai maujud alamiah yang dalam beberapa keadaan, juga tidak memiliki kapasitas hanya untuk satu masa depan saja, nasibnya bersifat definitif. Sedangkan kumpulan yang terdiri atas berbagai fenomena alami yang memiliki lebih dari satu kapasitas inaka nasibnya pun tidak definitif.

Itulah ringkasan penjelasan tentang soal qadha dan qadar yang definitif dan yang tidak definitif. Masalah ini juga telah ditafsirkan dengan berbagai penafsiran lainnya. Adakalanya dengan ukuran kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa kejadian yang perubahan serta penggantiannya tak berada dalam tangan manusia, maka takdirnya menjadi definitif; sedangkan yang berada di bawah ikhtiar (kemampuan memilih) manusia, maka takdirnya tidak definitif. Contohnya: manusia, paling tidak di masa sekarang, tidak memiliki kemampuan mengubah kondisi cuaca panas, dingin, salju, hujan, dan angin atau kondisi bumi gempa, badai dan banjir. Masingmasing kondisi itu, yang dapat terjadi, baik diingini oleh manusia ataupun tidak, adalah hal-hal definitif. Ketentuan takdir Allah dalam hal itu pasti bersifat definitif. Akan tetapi, perubahan kondisi-kondisi sosial dan perbaikan keadaan berdasar ukuran-ukuran keadilan, demikian pula kesejahteraan sosial serta kebahagiaan umum, semua itu berada dalam lingkup kemampuan dan di bawah kehendak manusia. Ia dapat mengubahnya, dan dengan demikian hal tersebut tidak definitif. Demikian pula, ketentuan takdir Allah atasnya juga tidak definitif.

Penafsiran seperti ini tidak benar, sebab tidak ada keharusan untuk menjadikan kemampuan dan kapasitas manusia dalam hal-hal yang dapat dilakukannya, sebagai penentu definitif atau tidak definitifnya takdir. Selain dari itu, logika berita-berita dan riwayat-riwayat keagamaan tidak bersesuaian dengan penafsiran seperti ini.

Ada lagi sebagian orang yang menafsirkan definitif atau tidak definitifnya takdir dengan ukuran terpenuhinya kondisi-kondisi yang dibutuhkan atau tidak terpenuhinya. Dalam arti bahwa semua maujud memiliki berbagai macam kapasitas dan ikatan dengan beraneka ragam sebab. Sesuai dengan ikatan-ikatannya dengan beraneka ragam sebab itulah ia memiliki berbagai kapasitas pula. Jadi, pada hakikatnya, nasibnya berada di tangan sebab-sebab tersebut. Setiap sebab memegang nasib tertentu suatu maujud. Tentunya jelas bahwa sebagian dari sebab-sebab itu mendapat kesempatan untuk terjadi dan sebagiannya yang lain tidak mendapat kesempatan sehingga tidak terjadi. Jelas pula bahwa terjadinya yang sebagian itu hanyalah disebabkan terjadinya sebab-sebab dan terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya, sebagaimana tidak terjadinya sebagiannya yang lain disebabkan tidak terjadinya sebab-sebab itu dan tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan atau kondisi-kondisinya. Demikian pulalah halnya dengan sebab-sebab dan kondisi-kondisi lainnya, dalam tahapan ketiga, keempat dan seterusnya.

Ketentuan-ketentuan takdir definitif ialah ketentuan-ketentuan yang berada di tangan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang terwujud (atau yang terjadi). Adapun ketentuanketentuan takdir yang tidak definitif ialah yang berada di tangan sebab-sebab yang baginya tidak tersedia kesempatan untuk terjadi atau terwujud. Kita misalkan ada seseorang yang memiliki kesiapan jasmani untuk hidup selama seratus lima puluh tahun, dengan catatan jika ia mengikuti dan melaksanakan dengan sempurna persyaratanpersyaratan kesehatan. Akan tetapi jika ia tidak memperhatikannya, usianya akan berkurang hingga separuhnya saja. Maka yang ditakdirkan baginya ialah hidup selama seratus lima puluh tahun jika ia mengikuti persyaratan-persyaratan kesehatan, atau tujuh puluh lima tahun jika ia tidak mengikutinya. Dengan demikian jika orang tersebut tidak mengikuti pesan-pesan itu lalu meninggal dalam usia tujuh puluh lima tahun, kita dapat mengatakan bahwa bagi orang ini ditakdirkan dua usia, masing-masing dengan syarat. Hanya saja, salah satu dari kedua persyaratan itu terpenuhi (terwujud) sedangkan yang lain tidak. Maka takdir yang terlaksana persyaratannya dan menjadi kenyataan adalah qadha dan qadar definitif; adapun yang tidak terjadi itulah qadha dan qadar yang tidak definitif.

Pada perumpamaan itu, dapat dikatakan bahwa kedua takdir tersebut adalah seperti dua peraturan hukum bagi satu pribadi dalam kerangka dua persyaratan yang berlainan. Misalnya, peraturan menentukan bahwa si tertuduh, jika mengakui kejahatannya, akan dijatuhi hukuman tertentu; sedangkan jika tidak mengaku dan tidak ada bukti-bukti penguat tuduhan tersebut, maka ia harus dibebaskan. Dalam hal ini, jika si tertuduh mengaku, ia akan dihukum, sehingga dengan demikian, peraturan tentang "hukuman atas dasar pengakuan" telah terlaksana dan menjadi definitif. Tetapi jika ia tidak mengaku dan pegangan lainnya tidak ada, maka ia harus dibebaskan, karena peraturan "hukuman atas dasar pengakuan" tidak memperoleh kepastian dan kedefinitifannya.

Sesuai dengan penafsiran ini, yang dimaksud dengan kepastian dan kedefinitifan ialah terwujudnya persyaratan dan kesesuaian praktis dengan bunyi peraturan. Padahal, peraturan itu, ditinjau dari sifatnya sebagai konsep umum, memiliki kepastian dari kedua sisinya.

Tak ada kebimbangan dalam hal ini, karena rangkaian hukum dan peraturan yang pasti berlaku atas alam semesta. Semua peraturan hukum, ditinjau dari sifatnya sebagai peraturan-peraturan yang menyeluruh, bersifat definitif tanpa terkecuali. Misalnya saja, hukum tentang pencapaian usia seratus lima puluh tahun bagi seseorang vang memiliki kesiapan jasmani untuk itu bilamana ia mengikuti persyaratan kesehatan, adalah hukum yang berlaku secara pasti di seluruh alam. Dan bahwa berkurangnya usianya menjadi tujuh puluh lima tahun bilamana tidak mengikuti persyaratan tersebut juga merupakan hukum yang definitif pula. Semua hukum dan sunnah yang pasti adalah penampakan dan saluran qadha dan qadar Ilahi. Berdasarkan itu, qadha dan qadar yang definitif berarti hukum, sunnah dan aturan yang telah terpenuhi persyaratan-persyaratan atau kondisi kondisi kewujudannya dan terlaksana secara praktis di alam ini. Sedangkan qadha dan qadar yang tidak definitif, adalah hukum dan sunnah alamiah yang tidak terpenuhi persyaratannya dan tidak mencapai realisasi praktis.

Penafsiran seperti ini, meskipun pada dasarnya dapat diterima dan tidak jauh dari berbagai ungkapan riwayat keagamaan, tidak dapat dianggap sebagai tafsiran yang tepat bagi ungkapan-ungkapan dalam riwayat-riwayat itu yang menggunakan istilah: "takdir lazim" (yang harus) dan "takdir tidak lazim" (yang tidak harus) serta "takdir hatmiy" (definitif) dan "takdir tidak hatmiy" (tidak definitif). Sebab, pengertian yang telah diterima secara luas ialah bahwa yang dimaksud dengan qadha dan qadar lazim dan tidak lazim ialah qadha dan qadar yang memiliki kemungkinan untuk menerima perubahan yang tidak memiliki kemungkinan untuk itu. Sebagaimana juga telah diterima bahwa hal tersebut termasuk kasus-kasus yang bilamana terwujud persyaratan berlakunya suatu hukum umum tertentu di dalamnya, maka kemungkinan perubahannya tetap ada. Kasus itu pada dasarnya memang memiliki kemungkinan untuk menjadi suatu bentuk lainnya. Oleh sebab itu, meskipun dengan pengendaian terpenuhinya semua persyaratan, takdir yang tidak definitif tidak kehilangan fungsinya bila dilihat dari sudut tinjauan yang tadi.

Penafsiran lainnya ialah bahwa takdir yang definitif adalah yang telah ditegaskan terjadinya oleh Allah SWT dan itu pasti akan terjadi, adapun takdir yang tidak definitif ialah yang terhadapnya iradat (kehendak) Allah bersikap netral; atau, meskipun tidak netral, tidak ada pengharusan berkenaan dengan salah satu dari dua hal tersebut. Contohnya dalam peraturan hukum taklif (pewajiban) yang dibebankan atas seseorang. Dalam hal ini, adakalanya si pemberi perintah menegaskan sesuatu dan mengharuskannya, maka hukumannya menjadi wajib. Dalam hal lain, si pemberi perintah atau pembuat hukum terhadap suatu perbuatan bersikap netral; baik dikerjakan ataupun tidak, maka hukumnya menjadi mubah. Adakalanya kita mendapati keinginannya lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa pengharusan (pewajiban), maka hukumnya menjadi mustahab (disukai) atau makruh (tidak disukai).

Demikianlah halnya dengan soal-soal fisis (yang bersangkutan dengan alam). Adakalanya terdapat hukum yang mewajibkan, maka itulah qadha dan qadar definitif. Adakalanya terdapat hukum netral atau lebih condong ke arah terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu, tanpa keharusan, maka dalam hal-hal ini berlakulah qadha dan qadar yang tidak definitif.

Namun, penafsiran seperti ini sangat jauh dari sifat ilmiah dan dari realitas karena sama sekali menafikan qadha dan qadar. Mustahil kehendak Allah mengenai suatu kejadian bersikap netral dan acuh tak acuh, ataupun tidak netral tapi tidak pula sungguh-sungguh mengharuskan, sebagaimana mustahilnya pengecualian sesuatu dari hukum sebab-akibat atau tetap beradanya di bawah kendalinya tanpa adanya pengharusan mengerjakan salah satu dari dua hal.

Bagaimanapun, pcngikiasan hal-hal fisis dengan hal-hal yang berkenaan dengan pengalaman tradisional adalah sesuatu yang tidak sempurna.


3