• Mulai
  • Sebelumnya
  • 19 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 31101 / Download: 3291
Ukuran Ukuran Ukuran
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

pengarang:
Indonesia
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH



Masalah-masalah Kontemporer seputar Ketuhanan, Keadilan Ilahi, Al-Qur'an, Kenabian, Imamah
dan Hari Kiamat.

Dari: Tafsir Namuneh,
karya Ayatullah Makarim Syirazi.
Disadur oleh: Muhammad Husaini Husaini et. al
Alih Bahasa: A. Kamil


Penerbit
MAJMA JAHANI AHLUL BAIT

1
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Daftar Isi
Sekapur Sirih Penerbit

Sepatah Kata dari Ayatullah Al-'Uzhma Makarim Syirazi

Sekapur Sirih dari Penyadur

Ushuluddin

Mengenal Allah

1. Mengapa Kita Perlu Membahas Masalah ma'rifatullah?
2. Apakah Agama Muncul dari Ketakutan ataukah Kebodohan, ataukah dari Gejala-gejala Dua Faktor ini?
3. Mengapa Dzat Tuhan tidak Dapat Dipahami?
4. Apakah Pencipta juga Memiliki Pencipta?
5. Bagaimana Kita Beriman kepada Tuhan Yang Gaib?
6. Apakah Tauhid Dzat, Tuhid Sifat, Tauhid Fi'il, dan Tauhid Ibadah itu?
7. Mengapa Agama itu Perkara Fitri?
8. Kerusakan apakah yang akan Terjadi bilamana Tuhan yang Berkuasa itu Banyak?
9. Apakah Maksud dari liqâ'ullah?
10. Apakah Maksud dari wajhullah?
11. Apakah Maksud dari Sifat Jalâl dan Jamâl?
12. Apakah Maksud dari Cinta dalam kaitannya dengan Tuhan?
13. Apakah Hakikat Kehendak (irâdah) Tuhan itu?
14. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan?
15. Apakah Maksud dari Marah dan Murka Allah swt.?
16. Apakah Mungkin Allah Swt. Diindra?
17. Apakah Maksud dari 'Arsy Tuhan?
18. Apakah Perjanjian Alam dzar itu?
19. Apakah Maksud dari Petunjuk dan Kesesatan dari Tuhan?
20. Apakah Maksud dari Bertasbihnya segala sesuatu di alam semesta?
21. Bagaimana Menjabarkan Ilmu Tuhan tentang Kejadian-kejadian yang akan Datang?
22. Mengapa Taubat Orang yang Murtad secara Fitri tidak Diterima?
23. Mengapa Kita Menengadahkan Tangan ke Langit ketika Berdoa?

Keadilan Ilahi

24. Apakah Perbedaan Natural Manusia Sesuai dengan Prinsip Keadilan?
25. Apakah Perbedaan Rezeki di Tengah Masyarakat Sesuai dengan Prinsip Keadilan?
26. Apakah Falsafah dari Musibah yang Kerap Menimpa Kehidupan Manusia?
27. Mengapa Tuhan Menciptakan Setan?
28. Apakah Keabadian di dalam Neraka Selaras dengan Keadilan Ilahi?

Kenabian

29. Apakah Berakhirnya Silsilah Kenabian Selaras dengan Cara Manusia Menempuh Jalan Kesempurnaan?
30. Apakah Ajaran yang Dimiliki oleh Nabi saw. sebelum Diutus sebagai Nabi?
31. Apa Perbedaan antara Kenabian (nubuwah), Kepemimpinan (imâmah) dan Kerasulan (risâlah)?
32. Bagaimana Mungkin Kenabian dan Imâmah Diperoleh pada Usia Belia?
33. Apakah Hakikat Wahyu yang Serbamisteri itu?
34. Benarkah Nabi saw. itu seorang yang ummi?
35. Apakah Tujuan dari Mi'raj?
36. Apakah Mi'raj Sejalan dengan Perkembangan Sains Dewasa ini?
37. Apakah Kemaksuman Para Nabi Berdimensi Jabr (Determinasi)?
38. Apakah Perbedaan antara Mukjizat dan Kekuatan Supranatural Para Penyihir serta Petapa?
39. Tidakkah Kelahiran Nabi Isa a.s. hanya dari Seorang Ibu Bertentangan dengan Sains Mutakhir?
40. Apabila Ajaran Nabi Musa a.s. Sempurna, Apakah Nilai Ajaran Kristen dan Islam?
41. Apakah Mukjizat "Membelah Bulan" Dapat Ditafsirkan oleh Sains Modern?
42. Apakah Perbedaan antara Ilmu Gaib Para Nabi dan Ramalan Para Dukun dan Petapa?
43. Bagaimana Mengkompromikan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menafikan Keberasalan Ilmu Gaib dari Tuhan dengan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menetapkannya?
44. Siapakah Ruhul Kudus itu?
45. Mengapa Para Nabi Muncul dari Kawasan-kawasan Tertentu?
46. Apakah Nabi Ayyub a.s. Menderita Penyakit yang Menjijikkan?
47. Apakah Filsafat Banyaknya Istri Nabi saw.?

Al-Qur'an

48. Bagaimana Al-Qur'an Dapat Menjadi Sebuah Mukjizat?
49. Apakah Al-Qur'an Membenarkan Kandungan Taurat dan Injil?
50. Apakah Penghimpunan Al-Qur'an ke dalam Bentuk Kitab Dilakukan pada Masa Nabi saw. atau Sepeninggal Beliau?
51. Mengapa Haram Hukumnya Memberikan Al-Qur'an kepada Orang Kafir?

Imâmah

52. Sejak Kapan Imâmah Menjadi Isu?
53. Apakah Wilâyah Takwînî dan Wilâyah Tasyrî'î itu?
54. Apakah Hakikat Bai'at itu? Dan apakah Perbedaannya dengan Pemilihan Umum?
55. Apakah Bai'at Memiliki Peran dalam Legitimasi Kepemimpinan Seorang Nabi atau Imam?
56. Apakah Filsafat Intizhâr (Penantian) itu?

Hari Kiamat (Ma'âd)

57. Apakah Argumentasi Rasional atas Kejadian Hari Kiamat?
58. Apakah Ruh itu, dan Bagaimana Membuktikan Kesejatian Ruh?
59. Apakah Para Penemu Mendapatkan Ganjaran Ilahi?
60. Apakah Catatan Amal dan Filsafat Keberadaannya?
61. Apakah Timbangan Amal di Hari Kiamat itu?
62. Apakah Hakikat Jembatan (Shirâth) itu?
63. Apakah Filsafat Syafa'at itu? Apakah Syafa'at merupakan Pendorong untuk Melakukan Dosa?
64. Apakah Terdapat Kontradiksi antara Tauhid dan Syafa'at?

Furu'uddin

65. Apakah Rahasia Perubahan Kiblat?
66. Apakah Filsafat Shalat itu?
67. Mengapa Kita harus Melakukan Shalat pada Waktu-waktu Tertentu?
68. Apakah Filsafat Puasa?
69. Apakah Pemberian Separuh Khumus secara Khusus kepada Bani Hasyim Merupakan Diskriminasi?
70. Apakah Filsafat Zakat?
71. Apakah Filsafat Haji dan Rahasia yang Dikandungnya?
72. Apakah Hak-hak yang Diberikan Islam kepada Kaum Wanita?
73. Apakah Filsafat Hijab?
74. Bagaimana Islam Memperbolehkan Hukuman Fisik terhadap Wanita?
75. Mengapa Poligami Dibolehkan bagi Pria, tidak bagi Wanita?
76. Apakah Maksud dari Keadilan sebagai Syarat Poligami?
77. Apakah Filsafat Masa 'Iddah?
78. Apakah Filsafat Pengharaman Judi?
79. Apakah Menyanyi itu, dan apakah Filsafat Pelarangannya?
80. Apakah Filsafat Pengharaman Zina?
81. Apakah Filsafat Pengharaman atas Hubungan Homoseks?
82. Apakah Filsafat Pengharaman Minuman Beralkohol (Memabukkan)?
83. Apakah Filsafat Larangan Bersetubuh dengan Wanita yang sedang Menjalani Masa Menstruasi?
84. Apakah Filsafat Haramnya Pernikahan dengan Muhrim?
85. Apakah Tujuan dari Penciptaan Manusia?
86. Mengapa Allah tidak Menciptakan Manusia secara sempurna dari Sejak Awal Penciptaannya?
87. Apakah Tujuan dari Kesempurnaan Manusia?
88. Mengapa Allah swt. Menguji Manusia?
89. Siapakah yang Dimaksud dengan Setan di dalam Al-Qur'an?
90. Apakah Hakikat Jin itu?
91. Apakah Hakikat Malaikat itu?
92. Apakah Hakikat dan Falsafah Tawakal?
93. Apakah Falsafah Doa?
94. Mengapa Doa Kita Kadang-kadang tidak Dikabulkan?
95. Apakah Hakikat Mimpi itu?
96. Apakah yang Dimaksud dengan Sunnatullah?
97. Apakah Hukum qishash Bertentangan dengan Akal dan Naluri Manusia?
98. Tidakkah Hukuman Potong Tangan Mengandung Kekejaman?
99. Siapakah Dzul Qarnain itu?
100. Mengapa Sebagian Orang Zalim dan Pendosa malah Hidup dalam Nikmat dan tidak Mendapatkan Hukuman?
101. Mengapa Bangsa-bangsa yang tidak Beriman Hidup serbaada dan senang?
102. Jika Rezeki telah Dibagikan kepada Seluruh Makhluk, Mengapa Sebagian Orang Menderita Kelaparan?
103. Apakah Kriteria Dosa-dosa Besar?
104. Mengapa Kita harus Menyebut Nama Allah ketika Hendak Menyembelih binatang?
105. Apakah yang Dimaksud dengan Penyaksian Kalbu (Mukâsyafah dan Musyâhadah)?
106. Apakah Korelasi antara telah Dibagikannya Rezeki oleh Allah dan Usaha Manusia untuk Menjalani Kehidupan?
107. Apakah Kisah Ashabul Kahfi Sesuai dengan Ilmu Pengetahuan Modern?
108. Apakah yang Dimaksud dengan Tujuh Langit?
109. Apakah Hancurnya Tata Surya Matahari dan Bintang pada Saat Kiamat Sesuai dengan Sains Modern?
110. Apakah Tujuan dari Taqiyah?


2
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Sekapur Sirih Penerbit
Khazanah Ahlul Bait a.s. yang tersimpan utuh di dalam madrasah mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik, merupakan universitas lengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Madrasah ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada umat dan ulama-ulama besar Islam; pembawa risalah Ahlul Bait a.s. yang mampu menjawab secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar Islam.
Berangkat dari tugas-tugas yang diemban, Majmâ Jahâni Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan berbagai golongan dan aliran yang memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlul Bait a.s. dan penerus mereka yang senantiasa berusaha menjawab berbagai tantangan dan tuntutan, serta berdiri tegak di garis depan perlawanan sepanjang masa.
Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama Ahlul Bait a.s. itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas landasan logika dan argumentasi yang kokoh, jauh dari sentuhan hawa nafsu dan fanatisme buta. Mereka pun mengetengahkan karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang bersih kepada kalangan ulama dan pakar.
Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengajukan metode baru kepada para pencari kebe-naran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit pada khazanah Ahlul Bait a.s., dan oleh para penulis yang telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat, hasil karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini menjadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke segenap penjuru dunia, di era kemajuan intelektual yang telah mencapai kema-tangannya, sementara interaksi antarindividu semakin terjalin demikian cepatnya, hingga terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut melalui madrasah Ahlul Bait a.s.
Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia; kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan, gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangannya lembaga ini di masa-masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan khazanah Islam yang murni. Semoga Allah Swt. berkenan menerima usaha sederhana ini, melimpahkan taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini.
Kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dan penghargaan yang setinggi-tinggnya kepada Ayatullah al-Uzma Syaikh Makarim Syirazi dan Sayyid Husain Husaini dan kawan-kawan yang telah berupaya menyusun buku ini. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Akmal Kamil yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi di dalam penerbitan buku ini.

Divisi Budaya

Lembaga Internasional Ahlul Bait




Sepatah Kata dari Ayatullah Al-'Uzma Makarim Syirazi
Pertanyaan senantiasa menjadi kunci pengetahuan manusia. Setiap orang dan bangsa yang sedikit mengajukan pertanyaan akan menemukan peluang kecil untuk mendapatkan kunci tersebut. Pada dasarnya, mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban yang benar merupakan hak logis bagi setiap orang.
Al-Qur'an berulang kali menegaskan perkara ini, bahwa bertanyalah kepada ahli setiap bidang ilmu tentang sesuatu yang tidak jelas; "Bertanyalah kepada ahli, jika kamu tidak mengetahui."
Perintah Al-Qur'an ini menandaskan bahwa Islam tidak menetapkan batasan atas muslimin dalam mengajukan pertanyaan, bahkan atas nonmuslim, sebab redaksi ayat ini bersifat umum; tidak tertuju kepada muslimin saja. Ia memberikan izin kepada mereka untuk melontarkan secara gamblang segala bentuk pertanyaan mengenai pelbagai masalah; akidah, sosial, etika, politik, dan lain sebagainya.
Jelas bahwa mengajukan soal-soal yang menyimpang; untuk merusak dasar pemikiran dan keyakinan, menciptakan atau menumbuhkan keraguan dan goncangan pemikiran masyarakat secara umum, sikap kontroversial, debat kusir, keras kepala, dan fanatisme, sungguh tidak sejalan dengan kaidah di atas. Karena kenyataannya, semua itu bukanlah pertanyaan (yang sehat), tetapi agenda-agenda destruktif yang tidak manusiawi, yang dikemas dalam bentuk soal.
Berangkat dari kerangka ini, secara umum Al-Qur'an merupakan sebuah ensiklopedia besar pengetahuan Ilahi dan masalah-masalah kemanusiaan untuk berbagai kawasan dan tempat. Semua itu telah tertuang dalam ayat-ayat yang menganjurkan untuk bertanya. Sebagian besar masalah itu telah diulas secara teliti dan tuntas dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, karena masalah-masalah itu bukanlah termasuk masalah yang rumit.
Ketika menulis Tafsir Nemûneh (dengan bantuan para ulama), kami berupaya untuk menguraikan seluruh pertanyaan itu -khususnya yang bertalian dengan masalah-masalah kontemporer- secara seksama dan memberikan jawaban atasnya secara lugas.
Sebagai sebuah informasi penting yang layak diketahui, khususnya oleh para pemuda budiman yang sedang menuntut ilmu, Hujjatul Islam Aqai Husaini melalui kerjasama dengan Hauzah Ilmiah Qom-sebagaimana nama-nama mereka tertuang pada pendahuluan buku ini-telah berupaya secara teliti menyusun pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang terhimpun dalam 27 jilid Tafsir Nemûneh dan 10 jilid Payâm-e Qur'ân. Mereka menata secara sistematis seluruh pertanyaan tersebut sehingga terkumpullah sebanyak 180 soal-jawab penting. Sungguh mereka telah menyusun buku ini dengan sistematis dan mendesainnya bab-per-bab (syukur kepada Allah atas usaha mereka) dengan penuh cita-rasa dan kecintaan.
Saya berharap kumpulan soal-jawab ini dapat menjadi sebuah jendela baru yang terbuka lebar untuk segenap khalayak -khususnya para pemuda Muslim yang budiman- dalam masalah-masalah keislaman dan Qur'anik, serta menjadi bekal bagi semua untuk menyongsong Hari Kebangkitan.

Qom, Hauzah Ilmiah

Nashir Makarim Syirazi




Sekapur Sirih Dari Penyusun
Dengan Nama Allah Yang Mahakasih dan Mahasayang

Sepanjang sejarah, para ulama besar Syi'ah telah bersusah payah menyusun aneka ragam buku tafsir Al-Qur'an. Sebagian besar buku tafsir tersebut senantiasa menunjukkan kontribusinya bagi para ulama, Hauzah Ilmiah dan para pecinta Al-Qur'an. Kehadiran Tafsir Nemûneh mengisi kekosongan kitab-kitab tafsir lainnya yang tidak tersedia dalam Bahasa Persia. Dari sisi ini, Tafsir Nemûneh memiliki keistimewaan. Terlebih pada saat-saat sekarang ini; kecenderungan masyarakat dari berbagai lapisan kepada Al-Qur'an terus mengalami peningkatan.

Bekerjasama dengan beberapa ulama, Ayatullah Makarim Syirazi telah memberikan jawaban atas kebutuhan penting ini. Dengan merampungkan penyusunan buku tafsir yang bernilai ini, beliau telah memberikan khidmat yang tak ternilai kepada Al-Qur'an.
Sebagian dari keistimewaan buku tafsir ini yang menjadi titik all-inclusive (serba meliputi) dan daya tarik yang luar biasa adalah beberapa poin di bawah ini:
1. Meskipun buku ini ditulis dalam Bahasa Persia, namun sisi ilmiah dan penelitiannya terpenuhi secara baik. Buku tafsir ini sangat bermanfaat, baik bagi para ulama maupun bagi masyarakat umum yang ingin memahami Al-Qur'an.
2. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, alih-alih menguraikan masalah-masalah yang tidak begitu penting, buku ini lebih menitikberatkan penguraian masalah-masalah yang dapat berpengaruh positif pada upaya pembinaan kehidupan manusia, baik dalam skala sosial maupun personal.
3. Sesuai dengan subyek-subyek yang relevan dengan ayat-ayat yang dibahas, uraian-uraian singkat dan terpisah dijelaskan dalam buku tafsir ini sehingga para pembaca dapat menelaahnya secara global dan tidak perlu merujuk lagi kepada buku-buku tafsir yang lain.
4. Redaksi buku tafsir ini tidak menggunakan istilah-istilah rumit, sementara masalah-masalah penting ditambahkan pada catatan-catatan kaki, sehingga di samping bagi kaum cendekiawan dan ulama, juga berfaedah bagi para perujuk secara umum.
5. Buku tafsir ini berusaha menjawab masalah-masalah kontemporer dan memberikan solusi atas aneka ragam permasalahan yang menyangkut Ushuluddin, Furu'uddin dan pengetahuan-pengetahuan umum keislaman.

Berdasarkan poin-poin di atas ini, kami meminta izin dari Ayatullah Makarim untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawabannya yang termuat dalam buku tafsir ini secara terpisah dan menghaturkannya kepada masyarakat umum, khususnya para generasi muda. Sukur, keinginan ini dapat terwujud dengan kesepakatan beliau.
Dan bekerjasama dengan para sahabat yang budiman, Hujjatul Islam Ahmad Ja'fari, Hujjatul Islam Sayid Ali Ridha Ja'fari, Hujjatul Islam Sayid Murtadha Musawi, Hujjatul Islam Sayid Asghar Husaini dan Hujjatul Islam Muhammad Husain Muhammadi, kami menelaah serial Tafsir Nemûneh dan tafsir tematik Payâm-e Qur'an.
Dari kedua buku ini, hadir di hadapan Anda sebuah buku yang memuat 180 soal-jawab seputar masalah akidah. (Dengan berbagai pertimbangan, buku yang pada mulanya memuat 180 soal-jawab ini kemudian mengerucut menjadi 110 soal-jawab-pen.).
Terakhir ini, kami memandang perlu untuk menjelaskan beberapa poin berikut ini:
a. Jawaban atas sebuah pertanyaan seringkali terurai dalam beberapa buku tafsir. Kami telah merangkum, mengumpulkan dan menguraikannya di satu tempat.
b. Dalam kumpulan soal-jawab ini kami berupaya menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan tafsir ayat, lantaran tujuan utama kami adalah mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang mengemuka di tengah-tengah masyarakat kita, bukan menguraikan poin-poin tafsir yang harus menggunakan telaah komprehensif untuk mendapatkan tafsir ayat tersebut.
c. Barangkali terbetik pertanyaan; bukankah kumpulan soal-jawab ini hanyalah ulangan dari upaya Ayatullah Ustadz Ja'far Subhani yang telah membuahkan karya yang sama (pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban agama)? Dalam menjawab pertanyaan ini harus diperhatikan bahwa hanya terdapat 30 masalah yang serupa dari kedua buku ini.
d. Meskipun mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya dari buku ini tampaknya pekerjaan yang mudah, akan tetapi tingkatan beragam dari pekerjaan ini, misalnya menelaah satu seri buku tafsir, mengumpulkan soal-soal dan jawaban-jawabannya, menyusun dan mengkompilasi hal-hal yang bersifat pengulangan, banyak menyita waktu.
e. Kumpulan 180 soal dan jawab tersusun dari 143 masalah di buku Tafsir Nemûneh, 35 masalah di tafsir tematik Payam-e Al-Qur'an, 1 masalah dari buku Payâm-e Imam, syarah Nahjul Balaghah beliau dan satu masalah dari Afaridegâr-e Jahân (kumpulan kuliah beliau).

Semoga persembahan sederhana ini mendapatkan pengabulan dari Imam Zaman a.s. (semoga ruh kami menjadi tebusannya).

Qom

Sayid Husain Husaini

3
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Mengenal Allah

1. Mengapa kita perlu membahas masalah ma'rifatullah?
Tidak akan ada gerak tanpa motivasi. Tentu saja upaya untuk mengetahui masalah asal-usul keberadaan semesta juga tidak dapat terlaksana tanpa motivasi dan dorongan. Para filsuf dan ilmuwan menyebutkan tiga faktor fundamental dalam rangka mengenal Tuhan. Faktor tersebut senada dengan apa disinggung secara jelas oleh al-Qur'an, antara lain:
a. Motivasi Akal
b. Motivasi Fitri
c. Motivasi Kasih


a. Motivasi Akal
Setiap manusia pecinta kesempurnaan. Kecintaan ini bersifat substansial dan merata. Hanya saja, setiap orang melihat kesempurnaannya pada suatu hal tertentu, lalu mengusahakannya. Ada sekelompok orang yang, alih-alih mengejar air, mengejar kepuasan dan kesempurnaan semu serta mengira bahwa itu adalah realitas.
Motivasi ini kerap disebut sebagai "naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian". Lantaran naluri ini, manusia melihat dirinya memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal yang bertalian dengan nasibnya (dari perspektif untung dan rugi).
Akan tetapi, menyebut kecintaan ini sebagai naluri (gharizah) bukanlah suatu hal yang mudah, karena naluri biasanya digunakan pada hal-hal yang memiliki efek tanpa intervensi pemikiran dalam pelbagai perbuatan manusia atau segala makhluk lainya. Atas alasan ini, dalam urusan dunia fauna, istilah ini juga sering dipakai.
Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah "kecendrungan-kecendrungan transendental" yang digunakan oleh sebagian orang dalam masalah ini.
Secara umum, cinta pada kesempurnaan dan cenderung kepada keuntungan spiritual dan material serta menghindar dari segala bentuk kerugian mengarahkan seseorang untuk meneliti kemungkinan (ihtimâl) diperoleh atau tidaknya. Yakni, semakin kemungkinan memperoleh keuntungan itu kuat, atau semakin terjadinya kerugian itu besar, penelitian atas masalah ini semakin penting.
Adalah mustahil bagi seseorang yang memberikan kemungkinan tentang suatu perkara yang akan menentukan nasibnya, namun ia tidak memandang dirinya bertanggung jawab untuk meneliti perkara tersebut.
Dalam kategori ini, iman kepada Allah dan pengkajian agama merupakan perkara yang niscaya. Sebab, teks-teks agama banyak memuat persoalan nasib dan persoalan baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman.
Dalam menjelaskan masalah ini, sebagian orang membawakan beberapa perumpamaan. Misalnya, "Anggaplah kita melihat seseorang yang berada di persimpangan dua jalan. Kepada dirinya ia berkata, 'Tinggal di tempat ini sangat berbahaya, dan memilih jalan ini juga berbahaya, sedangkan jalan yang lain adalah jalan keselamatan.' Kemudian, ia menguraikan indikasi-indikasi dan bukti-bukti untuk keduanya. Tentu, ia perlu meneliti dua jalan di hadapannya itu. Mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal sehat."
Kaidah akal "menghindari kerugian yang mungkin ada" yang popular ini merupakan turunan dari motivasi akal. Kepada Nabi saw., Al-Qur'an menegaskan, "Katakanlah, 'Bagaimanakah pendapat Kamu seandainya Al-Qur'an ini berasal dari sisi Allah, kemudian Kamu mengingkarinya, siapakah yang lebih sesat dari orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?'" (Qs. Fushshilat [41]: 52)
Tentu saja, ayat ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan argumentasi logis. Sejatinya, bila ayat ini ditujukan kepada orang-orang keras kepala, pongah, dan fanatik, maka ia menyatakan bahwa sekiranya Anda menolak mutlak akan kebenaran Al-Qur'an, Tauhid dan adanya kehidupan setelah kematian (ma'âd), niscaya tidak ada argumentasi yang dapat menafikan semua kebenaran ini. Dengan demikian, kemungkinan yang tersisa adalah bahwa ajakan Al-Qur'an dan perkara hari kebangkitan sungguh sebuah kebenaran. Pada titik ini, pikirkanlah nasib buruk yang kelak akan Anda hadapi akibat kesesatan dan penentangan tak berdasar yang Anda lakukan terhadap ajakan Ilahi ini.
Pesan ayat ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum a.s. dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala pada kesempatan terakhir, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî. Marilah kita simak bersama!
Banyak informasi yang telah disampaikan kepada Imam Ash-Shadiq a.s. tentang Ibn Abi Al-Aujah; seorang materialis dan ateis. Sampai akhirnya mereka bertemu di musim haji. Sebagian dari sahabat Imam berkata, "Rupanya Ibn Abi al-Aujah kini telah memeluk Islam".
Imam berkata, "Ia kini lebih gelap dan lebih buta hatinya. Ia tidak akan pernah menjadi Muslim".
Tatkala melihat Imam, ia berkata, "Salam Sejahtera, wahai Tuanku!"
Imam menjawab dengan melontarkan pertanyaan kepadanya, "Untuk apa engkau datang kemari?"
Ia menjawab, "Di samping sudah menjadi kebiasaan kami, juga tradisi lingkungan menuntut demikian, aku hendak menyaksikan perbuatan orang-orang ini yang biasa dilakukan oleh para jin; menggundul kepala dan melempar jumrah."
Imam berkata, "Engkau masih saja tetap sesat dan keras kepala, Wahai Abdul Karim."
Sebelum Ibn Abi al-Aujah menjawab, Imam segera menukas, "Di musim haji ini, bukanlah tempat untuk berdebat!"
Lalu beliau menepikan aba'ah-nya seraya berkata, "jika benar seperti yang kau katakan bahwa Allah dan Hari Kiamat itu tidak ada -padahal tidaklah demikian- maka di samping kami adalah orang-orang selamat, engkau juga demikian. Namun, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang selamat, sedangkan engkau pasti binasa."
Ibn Abi al-Aujah menatap orang-orang yang menyertainya dan berkata, "Di lubuk hatiku yang paling dalam aku merasakan luka. Bawalah aku kembali!" Mereka membawanya pulang. Tidak lama setelah itu, ia meninggal.


b. Motivasi Kasih
Sebuah pepatah mengatakan, "Al-Insân 'abidul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan).
Dengan kandungan yang sama, Imam Ali a.s. pernah berkata, "Al-Insân 'abdul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan).
Pada hadis lain, beliau juga menegaskan, "Bil Ihsân tumlakul qulûb" (Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan).
Juga sebuah hadis yang dinukil dari Imam Ali a.s. mengatakan: "Wa afdhil man syi'ta takun amîrah(u)" (Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya engkau menjadi tuannya).
Akar dari semua pesan itu dapat dijumpai pada hadis Rasulullah saw., bahwa "Sesungguhnya Allah Swt. telah menjadikan hati takluk kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan murka terhadap siapa saja yang berlaku buruk kepadanya."
Kesimpulan dari semua itu ialah; barangsiapa berbuat khidmat atau kebaikan kepada orang lain, niscaya ia (penerima kebaikan itu) memiliki kecendrungan untuk mengenal pelaku kebaikan itu dan berterima kasih kepadanya. Dan semakin tinggi nilai sebuah kebaikan, semakin takluk pula hati penerima dan semakin tinggi keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan itu.
Namun, harus diperhatikan bahwa konsep "bersyukur kepada pemberi kebaikan" terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, jauh sebelum dibenarkan oleh akal sehat.
Kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah syair dari pujangga Arab ternama sebagai sebuah isyarat kecil;

Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.

Dalam hadis Imam al-Baqir a.s. dikatakan, "Pada suatu malam, Rasulullah saw. berada di rumah 'Aisyah. 'Aisyah bertanya kepada beliau, 'Mengapa Anda begitu bersusah-payah untuk beribadah padahal Allah swt. telah mengampuni segala dosa Anda, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang?'
Nabi saw. menjawab, 'Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?'"


c. Motivasi Fitri
Maksud fitrah di sini ialah perasaan-perasaan dan pengetahuan jiwa yang tidak memerlukan penalaran rasional.
Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang semerbak mewangi dan warnanya yang mempesona, kita merasakan ketertarikan dan gairah di dalam diri kita. Ketertarikan ini disebut sebagai kecintaan kepada keindahan. Kita tidak memerlukan penalaran untuk mencntai keindahan ini. Ya, cinta keindahan adalah satu dari sekian kecendrungan transendental jiwa manusia.
Upaya mengarahkan diri kepada agama, khususnya mengenal Tuhan, tidak hanya merupakan salah satu perasaan esensial (dzati) dalam relung jiwa manusia, tetapi juga sebagai salah satu dorongan yang paling kuat dalam fitrah dan jiwa seluruh manusia.
Berdasarkan dalil ini, tidak satu kaum atau bangsa pun, di masa lalu atau kini, yang tidak menjadikan pikiran dan ruh sebagai hakim atas jenis agama atau ideologi. Dan kenyataan ini menunjukkan kemendasaran perasaan mendalam ini.
Al-Qur'an, ketika menuturkan pengutusan nabi-nabi besar, seringkali menandaskan bahwa risalah utama mereka ialah memerangi syirik dan penyembahan berhala, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, karena masalah terakhir ini memang telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia. Dengan kata lain, manusia tidak menuntut masalah ini untuk menanamkannya pada setiap lubuk hati manusia. Akan tetapi, para nabi menuntut bagaimana menyirami pokok masalah itu dan membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok tersebut.
Ungkapan "allâ ta'budû illallâh" atau "allâ ta'budû illâ iyyâh" (jangan sembah selain Allah) diterangkan dalam bentuk menegasikan berhala-berhala, bukan menetapkan keberadaan Tuhan. Pelbagai ucapan para nabi tentang realita ini telah diuraikan dengan jelas di dalam Al-Qur'an, di antaranya dakwah Nabi saw , Nabi Nuh , Nabi Yusuf , dan Nabi Hud .
Terlepas dari semua ini, jiwa kita memiliki perasaan-perasaan fitri lain yang sangat mendasar. Di antaranya, ketertarikan yang luar biasa kepada pengetahuan.
Apakah mungkin kita menyaksikan sistem menakjubkan di alam semesta yang luas ini tanpa kita terdesak untuk mengenal pencipta sistemnya?
Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktu dan susah-payah selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan yang lainnya dengan cucuran keringat telah menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, tanpa tersisa dorongan selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri dalam lubuk hatinya? Apakah mungkin para ilmuwan ini tidak ingin mengenal sumber sejati samudera tak-bertepi ini semenjak azal (primordial) hingga abad (eternal)? Ketertarikan kepada pengetahuan adalah motivasi yang mengajak kita kepada ma'rifatullâh (mengenal Tuhan).
Alhasil, Akal kita menuntun kita kepada pengenalan kepada Tuhan ini, rasa kasih menarik kita kepada keinginan untuk itu, dan fitrah kitalah yang mendorong kita bergerak ke arahnya.

2. Apakah Agama Muncul dari Ketakutan ataukah Kebodohan, ataukah dari Gejala-gejala Dua Faktor ini?
Sebagian sosiolog dan psiko-analisis materialis Barat dan Timur bersikeras mengatakan bahwa sumber kemunculan agama dan ideologi terhadap ma'rifatullâh berasal dari rasa takut dan kejahilan atau faktor-faktor lain yang termasuk dalam kategori ini. Pendapat seperti ini dapat disimpulkan dalam empat asumsi mendasar.


a. Asumsi Kejahilan
Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, "Meskipun ilmu dan sains telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama."
Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya sebuah peristiwa.
Sederhananya, mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini keberadaan Tuhan dan agama.
Kesalahan mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin berikut ini:

Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?
Padahal dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.
Kita tidak pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud satu Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.

Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini. Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan aturan-aturan jagad raya ini merupakan langkah baru untuk pengenalan yang semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu, lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.


b. Asumsi Rasa Takut
Will Durant, seorang sejarawan kenamaan Barat, di dalam buku sejarahnya, ketika membahas "Sumber-sumber Agama", menukil pendapat Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini, manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian itu.
Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, "Aku berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat mendominasi."
Kekeliruan asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia. Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan. Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?
Dengan kata lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh. Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata apik serta fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari kenyataan itu.
kenyataan ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama, lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah "dungu" dalam menghadapi realitas telanjang ini dan "takut" terhadap kemajuan ideologi agama, sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.


c. Asumsi Faktor Ekonomi
Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai akibat dari perkara ini.
Untuk menghubungkan kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka mengajukan penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan menciptakan agama. kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku "Sosialisme wa Mazhab" (Sosialisme dan Agama) adalah, "Agama di tengah masyarakat merupakan candu." Dalam kasus ini terdapat sederet ungkapan yang serupa; terulang-ulang.
Untungnya, penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir'aun Mesir dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.
Lebih dari itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri. Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum, dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan transendental manusia.


d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika
Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, "Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya….". Setelah menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan". Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek, bukan sebuah motivasi.
motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa ia mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia menuturkan, "Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka." Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut "perasaan religius penciptaan" atau "perasaan religius keberadaan". Dan di tempat lain, disebut sebagai "takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad raya".
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, "Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan."
Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.

3. Mengapa Dzat Tuhan tidak Dapat Diketahui?
Poin utama dalam masalah nir-batasnya Dzat Allah dan terbatasnya akal adalah ilmu dan pengetahuan kita sebagai manusia.
Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas?
Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud nir-batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah Dia; Allah Swt. sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas.
Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan? Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin (mumkinul wujûd)., sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya.
Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh:

Pada akal seorang hakim hingga kapan Anda menggapai?
Tak 'kan pernah terlintas dalam benakmu jalan ini.
Akal tak 'kan memahami kedalaman Dzat-Nya,
bilamanakah sampai bongkahan kayu ke dasar laut!

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: "Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah". Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Allah. Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang Dzat Nir-batas melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal. Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat.
Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia? Ketika kita mengarahkan tangan ke arah realitas Dzat Allah, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup.
Dengan menyebutkan satu perumpamaan kita dapat menjelaskan masalah ini. Bahwa kita semua tahu bahwa ada kekuatan alam yang disebut sebagai kekuatan gravitasi. Segala sesuatu yang terlepas akan jatuh dan tertarik ke bawah. jika kekuatan gravitasi ini tidak ada, ketenangan dan ketentraman bagi seluruh makhluk di muka bumi tidak akan ada.
Ilmu tentang adanya gravitasi bumi bukanlah sesuatu yang hanya diketahui oleh para ilmuwan saja. Anak-anak yang berakal sehat pun dapat mencerap realitas gravitasi bumi ini dengan baik. Akan tetapi, hakikat gravitasi bumi itu apa, apakah ia adalah gelombang-gelombang frekuensi atau atom-atom atau kekuatan lain?
Dan anehnya adalah gravitasi bumi bertentangan dengan segala sesuatu yang kita kenal dari alam semesta ini. Secara lahiriah, untuk transformasi dari satu titik ke titik yang lain tidak memerlukan waktu yang cukup. Berbeda dengan cahaya yang memiliki gerakan tercepat dalam dunia materi ini. Akan tetapi, ketika mengalami transformasi dari satu titik ke titik yang lain, ia masih memerlukan waktu jutaan tahun lamanya. Namun, gravitasi bumi dapat berpindah dalam satu detik dari satu titik bumi ke titik bumi yang lain dalam waktu yang cukup pendek dan atau sekurang-kurangnya kecepatan yang dimilikinya lebih singkat dari yang kita dengar hingga kini.
Kekuatan macam apakah yang memiliki efek seperti ini? Bagaimanakah hakikat kekuatan ini? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Kita hanya memiliki pengetahuan global tentang kekuatan gravitasi ini sebagai salah satu makhluk. Kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya secara detail. Bagaimana kita dapat menguak ihwal Pencipta dunia materi dan hakikat metafisis yang merupakan wujud nir-batas dan dapat mengetahui kedalaman dzat-Nya?
Akan tetapi, dengan kondisi seperti ini pun kita dapat menyaksikan bahwa Dia selalu hadir, mengawasi setiap tempat dan bersama setiap wujud di alam semesta ini.

Seratus ribu jelmaan yang keluar dari-Mu,
Seratus ribu pandangan aku menyaksikan-Mu


4. Apakah Pencipta juga Memiliki Pencipta?
Galibnya, dalam pembahasan ma'rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, "Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?"
Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .
Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya "Why I am Not a Cristian?" (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian?)" berkata, "Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta."
Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma'rifatullâh dan dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.
Pembahasan ini sangatlah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hâdits) dan mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wâjib al-wujud yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya-tanya; siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qâ`im) atas Dzat-Nya sendiri. Dia tidak pernah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk diwujudkan.
Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal dari luar Dzat-Nya. Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari satu perspektif.
Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang-orang yang sepaham dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri' yakni, dalam ungkapan "apabila Tuhan memiliki pencipta..", kata pencipta akan terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious circle) yang tak berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.
Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wâjib al-Wujud), Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.
pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain,. Ketika kita bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain. Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?
Mereka juga tidak memiliki alternatif lain dalam menjawab soal ini. Mereka akan berkata, "Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada. Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah wâjib al-Wujud."
Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.
Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini, pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki sebab.
Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus memahami dengan baik perbedaan antara wujud hâdits dan azali, mumkin al-wujud dan wâjib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta adalah wujud-wujud yang hâdits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta, tidak akan memiliki pencipta.

5. Bagaimana Kita Beriman kepada Tuhan Yang Gaib?
Keberatan yang kerap dilontarkan oleh kaum materialis terhadap kaum mukmin adalah bagaimana mungkin manusia dapat menerima dan beriman kepada wujud yang tidak dapat diindra. Anda berkata bahwa Tuhan tidak memiliki jasad, tidak bertempat, tidak memiliki ruang, tidak bercorak dan …. Dengan perantara apa wujud seperti ini dapat diindra? Kami beriman kepada sesuatu yang dapat diindra. Wujud yang tidak dapat diindra adalah wujud yang sama sekali tidak wujud (ada).
Keberatan ini dari dapat dibahas dari beberapa sisi:


1. Sebab-sebab utama alasan penentangan kaum Materialis terhadap subjek ma'rifatullah tampak secara sempurna dalam masalah ini.
Salah satunya adalah kepongahan sains mereka dan menganggap ilmu-ilmu alam (baca: sains) sebagai superior atas seluruh realitas, seperti halnya mengkomparasikan segala sesuatu dengan ukuran ilmu-ilmu itu dan membatasi sarana pemahaman pada ebab-sebab natural dan material. Kita bertanya kepada mereka, apakah ranah aktifitas dan penetrasi seluruh ilmu alam memiliki batasan atau tidak?
Jelas bahwa jawaban atas soal semacam ini akan bernada afirmatif. Karena, wilayah ilmu-ilmu alam adalah seluruh wujud terbatas yang bersifat material, dan selesai. Oleh karena itu, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas dapat diindra oleh instrumen-instrumen alam.
Pada dasarnya, Tuhan dan seluruh wujud metafisis berada di luar wilayah alam. Sesuatu yang telah keluar dari wilayah natural, sekali-kali tidak dapat diindra dan ditafsirkan oleh sebab-sebab natural. Wilayah metafisika bersifat tidak terbatas dengan dirinya sendiri dan tidak dapat dikomparasikan dan dibandingkan ukuran dengan ilmu-ilmu alam, seperti halnya cabang dan spesifikasi beragam ilmu-ilmu alam itu sendiri. Setiap jenis ilmu alam, masing-masing memiliki instrumen dan ukuran-ukuran tersendiri yang tidak relevan dengan ilmu alam yang lain. Ilmu astronomi, anatomi, dan mikrologi, berbeda instrumen-instrumen pengkajiannya.
Seorang ilmuwan materialis tidak akan pernah memberikan izin kepada seseorang untuk bertanya kepada seorang astronom, "Coba Anda buktikan salah satu mikroba dengan menggunakan instrumen-instrumen dan alat kalkulasi astronomi!" Demikian pula kita tidak layak berharap dari seorang spesialis mikroba untuk dapat menyingkap bintang-bintang senja dengan menggunakan instrumen-instrumen mikrologi. Karena, mereka masing-masing hanya dapat digunakan dalam wilayah spesialisasi ilmunya dan tidak dapat digunakan di luar wilayah spesialisasi dan aplikasinya. Mereka tidak dapat berkata positif (iya) atau negatif (tidak) dalam menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, bagaimana kita mengetahui kebenaran ilmu-ilmu alam dalam membahas sesuatu yang berada di luar wilayah naturalnya, dengan pertimbangan bahwa wilayah penetrasinya terbatas pada alam, efek dan spesialisasinya saja.
Pada akhirnya, kebenaran yang dapat diyakini oleh seorang ilmuwan ilmu alam adalah sebatas ia dapat mengatakan bahwa, "Dalam masalah metafisika, aku memilih diam, karena masalah itu berada di luar batas pengkajian dan instrumen wilayah kerjaku. Bukan aku mengingkarinya."
Auguste Comte, salah seorang founding fathers (pendiri) aliran Empirisme dalam bukunya Beberapa Kalimat Tentang Filsafat Empiris berkata, "Karena kita tidak memiliki informasi sejak awal tentang seluruh wujud, kita tidak dapat mengingkari adanya wujud sebelum atau sesudahnya, sebagaimana kita juga tidak dapat membuktikannya".
Pendeknya, Empirisme menghindar dari menyampaikan setiap bentuk pendapat karena ketidaktahuan mereka dalam masalah ini. Demikian juga, ilmu-ilmu cabang yang menjadi fondasi Empirisme harus menghindarkan diri dari bentuk penilaian atas awal dan akhir seluruh wujud. Maksudnya, kami tidak mengingkari ilmu dan hikmah Ilahi serta wujud-Nya, dan kami menjaga diri dalam netralitas; antara penafian dan pembuktian.
Maksud kami adalah, bahwa alam metafisika tidak dapat disaksikan melalui jendela ilmu-ilmu alam. Menurut perspektif Ilahiyah (orang-orang mukmin), secara mendasar bahwa Tuhan yang dapat dibuktikan melalui sebab dan instrumen natural adalah bukan Tuhan.
Karena, sesuatu yang dapat dibuktikan oleh sebab-sebab natural, berada di dalam jangkauan materi dan spesialisasi ilmu-ilmu alam. Dan bagaimana wujud materi dan natural dapat diyakini menjadi pencipta materi dan alam?
Dasar keyakinan orang-orang beriman adalah bahwa Tuhan bebas dari segala bentuk materi dan aksiden-aksiden materi. Dan sekali-kali Ia tidak dapat dicerap melalui instrumen-instrumen materi.
Oleh karena itu, jangan pernah kita menantikan bahwa Pencipta seluruh wujud semesta dapat dilihat pada kedalaman langit melalui alat mikroskop dan teleskop. Pengharapan dan penantian ini adalah tidak pada tempatnya."


2. Tanda-tanda-Nya
Secara umum, instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengenal setiap wujud di jagad ini adalah melalui efek-efeknya. Kita hanya dapat mengenal setiap wujud dari efek-efek yang ditimbulkan dari setiap wujud tersebut, termasuk wujud-wujud yang dapat kita cerap melalui persepsi dan indra. Wujud-wujud ini juga kita kenal melalui efek-efeknya. Karena, tidak satu pun wujud yang tidak akan pernah masuk ke dalam pikiran kita, dan mustahil otak kita menjadi wadah seluruh wujud.
Sebagai contoh, sekiranya Anda hendak menentukan sebuah benda dengan mata dan mencerap wujud benda tersebut, pada mulanya, Anda letakkan mata Anda di hadapan benda yang telah Anda perkirakan letaknya, cahaya memendar di atasnya, dan dari bola mata, pendaran-pendaran cahaya itu akan terefleksi pada area khusus yang bernama retinoscopy. Kemudian, syaraf-syaraf indra penglihatan menangkap cahaya tersebut, dan sampai kepada otak dan lalu benda itu dapat dicerap oleh manusia.
Apabila hal itu dilakukan dengan jalan meraba, dengan syaraf di bawah kulit, benda tersebut memberikan informasi kepada otak lalu dicerap oleh manusia.
Kemudian pencerapan satu benda dari efeknya (warna dan suara) memberikan efek kepada indra peraba dan manusia tidak akan pernah meletakkan benda tersebut pada kapasitas otaknya. Dan sekiranya tidak ada warna, dan atau pencerapan tidak bekerja, ia tidak akan pernah mengenal benda tersebut.
Uraian ini harus kita sempurnakan. Satu efek telah memadai untuk dapat mengenal satu wujud,. Umpamanya, untuk dapat mengetahui apa yang pernah terjadi sepuluh ribu tahun silam pada suatu titik bumi, cukup kita menyingkap satu cerek keramik atau satu senjata yang telah berkarat dan mengadakan pengkajian mendalam atas efek-efek ini. Dari efek ini kita dapat memahami keadaan-keadaan dan desain kehidupan serta pemikiran masyarakat kala itu.
Dengan memperhatikan bahwa setiap wujud materi atau non-materi dapat dikenal melalui efek-efeknya, dan bahwameneliti satu efeknya akan memadai untuk mengenal satu wujud, lalu apakah seluruh wujud -yang penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan di seluruh penjuru alam semesta yang membentang ini- tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal Tuhan?
Untuk dapat mengenal satu wujud, cukup bagi Anda meneliti satu efek darinya, dan itu sudah memadai. Dari satu cerek keramik, setidak-tidaknya bagian dari kondisi masyarakat ribuan tahun silam dapat diketahui. Sekarang kita memiliki efek yang tidak terbatas, wujud yang tidak terbatas, dan sistem yang tidak terbatas. Apakah segala efek yang ada ini tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal-Nya?! Anda saksikan pada setiap sudut jagad terdapat tanda-tanda kekuasaan dan ilmu-Nya. Masihkah Anda berkata, "Kami tidak melihatnya dengan mata, kami tidak mendengarnya dengan telinga, kami tidak menyaksikannya melalui pisau anatomi, dengan teleskop!" Memangnnya mata diperlukan untuk segala sesuatu?


3. Kasat mata dan non-kasat mata
Untungnya alat yang diberikan oleh ilmu-ilmu sains adalah alat terbaik untuk menafikan keyakinan kaum materialis.
Kalau dulu seorang ilmuwan dapat berkata, "Kami tidak dapat menerima sesuatu yang tidak dapat dicerap oleh panca indra. Namun, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sedemikian berkembang telah terbuktikan, bahwa wujud yang bersemayam di alam semesta adalah tak terindra. Berdasarkan penelitian, derajat yang kini telah dapat dicerap semakin bertambah. Dalam relung alam semesta, karena banyaknya wujud yang tidak dapat dicerap indra, wujud-wujud yang telah dicerap -dibandingkan dengan wujud-wujud yang belum dapat dicerap- bernilai kosong.
Sebagai contoh, beberapa kasus di bawah ini kita renungkan bersama:

a. Dalam ilmu fisika, para ahli fisika berpendapat bahwa dasar warna tidak lebih dari tujuh warna. Warna yang pertama adalah merah dan yang terakhir adalah warna ungu. Akan tetapi, di balik itu semua terdapat seribu satu macam warna. Kita tidak dapat mencerap seribu satu macam warna ini. Dan mereka beranggapan bahwa beberapa hewan barangkali dapat melihat warna-warna tersebut.
Sebab perkara ini adalah jelas. Karena, warna dapat terlihat dari efek gelombang cahaya. Artinya, cahaya matahari dengan cahaya-cahaya yang lain tersusun dari warna-warni yang beraneka ragam. Aneka warna-warni inilah yang membentuk warna putih. Lantaran cahaya ini berpendar menyinari benda, benda yang tersinari tersebut mencerna bagian-bagian yang beragam dari warna-warni pada dirinya. Dan sebagian lainnya dipantulkan. Warna-warni yang dipantulkan ini adalah warna-warni yang kita saksikan. Oleh karena itu, benda-benda yang berada dalam kegelapan tidak memiliki warna.
Perubahan dan keragaman warna dihasilkan dari kuat dan lemahnya gelombang cahaya. Artinya, apabila gelombangnya kuat hingga mencapai 458 ribu miliar per detik, akan terbentuk warna merah. Dan pada gelombang 727 ribu miliar per detik, akan terbentuk warna ungu. Di antara warna ini, terdapat warna-warni yang beragam jumlahnya yang tidak dapat kita cerap dan cerna.

b. Gelombang suara yang dapat kita tangkap hanya pada 16 frekuaensi per detik hingga 20.000 frekuensi per detik. Lebih atau kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak tertangkap oleh pendengaran kita.

c. Gelombang cahaya yang dapat kita cerap dalam setiap detik adalah terhitung dari 458 ribu miliar hingga 727 ribu miliar. Lebih dan kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak dapat kita lihat.

d. Kita semua tahu bahwa bilangan makhluk yang dapat dilihat melalui kaca pembesar (virus dan bakteri) adalah lebih banyak dari jumlah manusia. Makhluk-makhluk tersebut tidak dapat dicerap oleh mata tanpa menggunakan mikroskop dan kaca pembesar. Alangkah banyaknya makhluk yang paling kecil yang hingga kini belum diketahui dan disingkap oleh sains.

e. Satu atom, dengan strukturnya yang tipikal, dan putaran elektron-elektron atas lingkaran proton-proton, dengan kekuatan raksasanya, tidak dapat dicerap dan dilihat oleh setiap indra. Dan setiap benda-benda alam natural terbentuk dari atom. Debu-debu yang kita lihat dengan susah-payah di udara terbentuk dari ribuan atom. Para ilmuwan yang berbicara ihwal atom, pendapat mereka tidak melampaui batas-batas teori dan asumsi, dan sementara itu, tidak seorang pun yang menafikan pendapat mereka itu.
Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa tak terindranya sesuatu adalah dalil atas ketiadaannya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan. Alangkah banyaknya bilangan benda-benda indrawi yang memenuhi jagad ini dan indra kita tidak mampu mencerapnya.
Sebagaimana bahwa sebelum penemuan atom atau wujud-wujud yang memerlukan lup atau kaca pembesar untuk melihatnya (seperti virus dan bakteri), setiap orang tidak berhak menafikan keberadaan wujud-wujud tersebut. Alangkah banyaknya bilangan wujud lain yang masih luput dari pandangan kita. Dan sains hingga kini masih belum dapat menguaknya untuk menyingkap rahasianya. Akal kita sekali-kali tidak memperkenankan kita -dalam kondisi seperti ini (keterbatasan sains dan impotensinya dalam mencerap wujud-wujud tersebut)- untuk berpendapat; menafikan atau menetapkannya.
Konklusinya adalah jangkauan indra dan instrumen-instrumen alam bersifat terbatas, dan kita tidak dapat membatasi semesta ini hanya pada indra dan instrument-instrumen tersebut.
Jangan sampai Anda berpikiran bahwa sebagaimana elektron dan proton-proton atau sebagian warna telah tersingkap dengan peralatan ilmiah dewasa ini, dan dengan kemajuan sains, kita akan dapat menyingkap segala ketidaktahuan, mungkin suatu saat alam metafisika dapat disingkap dengan instrumen-instrumen dan sebab-sebab natural!
Hal ini tidak mungkin dapat terwujud. Karena -sebagaimana telah kami jelaskan- dunia metafisika tidak dapat ditempuh melalui jalan-jalan natural dan material. Secara umum, jalan-jalan natural dan material ini keluar dari ranah aktifitas sebab-sebab materi.
Maksudnya, sebelum menyingkap dan mencerap wujud-wujud ini, tidak sah bagi kita untuk mengingkarinya dan kita tidak berhak untuk menghukuminya dengan alasan bahwa kita tidak dapat mencerapnya. Sebab-sebab natural tidak akan menunjukkan wujud-wujud ini kepada kita, sains tidak dapat membuktikannya kepada kita, dan...(bla..bla..bla, -AK) Kita mengetahui dengan niscaya ketidakmampuan sebab-sebab natural dan sains ini. Demikian juga dalam hubungannya dengan dunia metafisika, bahwa kita tidak dapat menafikannya.
Oleh karena itu, kita harus melepaskan metode-metode salah ini, sambil dengan teliti menelaah dalil-dalil rasional orang-orang mukmin. Baru setelah itu kita menyampaikan keyakinan kita. Niscaya akan mendapatkan konklusi yang positif.

4
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

6. Apakah Tauhid Dzat, Tuhid Sifat, Tauhid Fi'il, dan Tauhid Ibadah itu?

Tauhid Dzat
Banyak orang berpendapat bahwa makna Tauhid Dzat (Pengesaan Tuhan dalam Dzat) adalah, bahwa Tuhan adalah Esa dan bukan dua. Ungkapan ini bukanlah sebuah ungkapan yang cermat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s. Karena arti dari ungkapan ini adalah satu numerik. Artinya, dua bagi Tuhan dapat dikonsepsikan (tashawwur), akan tetapi tidak ada wujudnya di luar. Dan tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan yang salah.
Ungkapan yang benar yaitu bahwa Tauhid Dzat berarti bahwa Tuhan itu satu dan dua bagi-Nya tidak dapat dikonsepsikan. Dengan kata lain, tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sesuatu tidak serupa dengan-Nya, dan juga Ia tidak serupa dengan sesuatu, sebab Dia adalah Satu Wujud Nir-Batas Nan Sempurna memiliki sifat seperti ini.
Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadis. Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, "Apakah arti dari Allâhu Akbar?"
Beliau menjawab, "Allah adalah lebih Besar dari segala sesuatu." Dan beliau melanjutkan, "Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya?"
Lalu sahabat itu bertanya lagi, "Lalu apa tafsir Allâhu Akbar itu?"
Beliau menjawab, "Allah adalah lebih Besar dari penyifatan."


Tauhid Sifat
Ketika kita mengatakan bahwa satu cabang tauhid adalah Tauhid Sifat (pengesaan Tuhan dalam sifat), maksudnya ialah; sebagaimana Dzat-Nya adalah azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir), pun sifat-Nya,seperti ilmu, kuasa, dan lain sebagainya azali dan abadi. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sifat ini bukanlah tambahan (zâ'id) dari luar Dzat-Nya, tidak memiliki sisi aksidental ('âridh) dan teraksiden (ma'rûdh), melainkan sifat ini adalah Dzat-Nya sendiri.
Dan dari sisi ketiga, sifat-Nya tidak terpisah dengan sifat yang lainnya. Maksudnya, ilmu dan kuasa-Nya adalah satu, dan keduanya adalah Dzat-Nya itu sendiri.


Penjelasan
Bilamana kita merujuk kepada diri kita sendiri, kita melihat pada mulanya kita tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri kita. Tatkala kita terlahir ke dunia ini, kita tidak memilki ilmu, juga tidak memiliki kekuasaan. Secara gradual, sifat-sifat ini terbina dalam diri kita. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang kemudian muncul ini adalah perkara-perkara "lain" dari luar diri (dzat) kita. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hari kekuatan, ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan sirna. Dan juga dengan jelas kita melihat, antara ilmu dan kekuasaan yang kita miliki terpisah satu dengan yang lainnya. Kekuasaan berada pada raga kita dan ilmu berada pada ruh kita.
Akan tetapi, Tuhan sama sekali tidak dapat dikonsepsikan seperti di atas tadi. Seluruh Dzat-Nya adalah ilmu, dan seluruh Dzat-Nya merupakan kuasa. Dan segala sesuatu yang ada pada-Nya adalah satu. Tentu saja kita memastikan bahwa makna-makna ini tidak berada pada diri kita. Sifat-sifat dengan makna seperti ini tidak akrab dan tampak ruwet. Mak tidak ada jalan bagi kita selain menggunakan kekuatan logika dan filsafat, serta penalaran cermat.


Tauhid Fi'il
Artinya, setiap wujud, setiap gerak, setiap perbuatan di alam semesta ini kembali kepada Dzat Kudus Ilahi. Tauhid Fi'il berarti pengesaan Tuhan dalam perbuatan. Dzat Kudus-Nya adalah sebab-musabab, sebab seluruh akibat. Bahkan, perbuatan yang kita kerjakan -dalam satu makna- berasal dari-Nya. Ia yang memberikan kekuatan (qudrah), kebebasan (ikhtiyâr), dan kehendak (irâdah) kepada kita. Padahal -dengan demikian- kita adalah pelaku dari perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dan kita bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan.
Dari satu perspektif, Tuhan adalah pelaku perbuatan kita sendiri. Lantaran segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya. Tiada yang dapat memberikan pengaruh di dalam alam wujud ini kecuali Allah!


Tauhid Ibadah
Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kamâl mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kamâl). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus.
Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indah-Nya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs).
Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak.

7. Mengapa Agama itu Perkara Fitri?
Arti dari kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata, "Bunga ini elok rupanya", tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap Tuhan (ma'rifatullâh) juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.


Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Iman kepada Kebenaran
Barangkali seseorang mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan metode-metode untuk membuktikan kefitrahan ma'rifatullâh tidak tersedia. Kita mungkin dapat mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk hati kita, namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam ini, bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat menerima dengan puas?
Dalam menjawab ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak terbilang jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan tauhid. Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya dapat dibungkam.
Bukti-bukti ini dapat disimpulkan ke dalam enam bagian:


a. Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan bahwa agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu Sumber Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. Apabila kita menerima aksioma ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa komunitas manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada penyembahan akan kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (Pada setiap kaidah universal, terdapat pengecualian).
Will Durant, sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal berkenaan dengan kondisi tanpa-agama (dalam banyak masyarakat), mengakui suatu kebenaran, bahwa "Dengan adanya asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi tanpa-agama adalah sesuatu yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa agama adalah teladan yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai dengan kebenaran, dan ini -menurut pandangan seorang filsuf-merupakan salah satu hukum dasar sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori yang mennyatakan bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil. Sebaliknya, ia tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu".
Masih pada pembahasan yang sama, Durant menambahkan, "Di manakah letak sumber keutamaan yang sama sekali tidak akan pernah hilang dari sanubari manusia ini?"
Dalam Pelajaran-pelajaran Sejarah, berangkat dari rasa sedih dan geram, Durant berkata lebih tegas lagi, "Agama memiliki seribu jiwa. Setiap kali Anda membunuhnya, ia akan hidup kembali."
Apabila keyakinan kepada Allah Swt. atau agama memiliki dimensi adat, taklid, dikte atau propaganda orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak, serta terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan sebaik-baik bukti atas kefitrahan agama.


b. Argumentasi Para Arkeolog
Tanda-tanda forensik yang masih tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi tulisan dan penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki agama. Mereka percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan pasca kematian. Hal itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka yang masih tertimbun, dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup setelah mereka seperti; me-mummi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk mengantisipasi mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun. Semua ini adalah bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal (Tuhan) dan Hari Akhir (Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh khurafat dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini adalah pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal ini dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.


c. Kajian-kajian Psikis dan Temuan-temuan Para Psikoanalis
Dimensi spiritual manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan religius. Empat perasaan yang popular (atau empat kecenderungan transendental) dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi spiritual manusia. Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius.
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali, kepercayaan religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat seseorang menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi, pembahasan kita terfokus pada dasar masalah; ( yakni adanya kecenderungan terhadap Tuhan, Sumber Awal, dan Hari Akhir-pen.).


d. Kekecewaan Terhadap Propaganda Penentang Agama
Kita menyaksikan propaganda intensif anti-agama dalam lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak di belahan bumi Eropa dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan penggunaan pelbagai sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains Eropa (Renaissance) yang diusung oleh kaum cendikia dan politisi memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi gereja, gelombang anti-agama ini sedemikian hebat bangkit di Eropa sampai pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya penetrasi yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka untuk mengoncang seluruh fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi terpuruk, figur-figur religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada wujud Tuhan, mukjizat, Hari Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai bagian dari khurafat. Akhirnya, mereka membagi perkembangan umat manusia ke dalam empat periode: periode legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat, dan periode sains. Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan berlalu dari hadapan kita.
Dan sebagai konsekuensinya, dalam literatur-literatur Sosiologi yang telah mengalami kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah ini telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor natural. Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat terhadap kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para sosiolog.
Benar bahwa agama yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena arbitari (penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk mereka terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus, ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan tekanan-tekanan yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya tertuju kepada paus dan gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis juga -dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan. Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
Namun, kita melihat gelombang raksasa anti-agama ini tidak mampu memadamkan bara dan semangat agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius tumbuh bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah ini kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis yang kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil yang sebaliknya, bahwa yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah dilupakan orang.


e. Pengalaman Pribadi dalam Getirnya Kehidupan
Alangkah banyaknya orang yang belajar tentang kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang menyita energi mereka, seperti badai cobaan hidup yang keras dan keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi semua ini, seluruh gerbang penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika itulah ia merasakan sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan perhatiannya tertuju kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh kesulitan yang sedang dihadapinya. Hati bergantung kepadanya dan berupaya mencari pertolongan dari-Nya.
Bahkan kondisi ini pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan tidak memiliki kecenderungan religius. Mereka juga mengambil manfaat dari reaksi-reaksi ruh ini tatkala penyakit-penyakit akut dan kekalahan-kekalahan getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah bukti nyata atas realitas yang ditegaskan oleh Al-Qur'an tentang kefitrahan ma'rifatullâh dan keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut hati dan lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan ekspresif seruan lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas Agung Yang Mahatahu, Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau Tuhan. Boleh jadi seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak terletak pada pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas tersebut.
Para pujangga merefleksikan inti persoalan ini dalam lirik-lirik syair mereka yang indah:
Gejolak cinta kepada-Mu tiada yang mengingkari,
Menatap keindahan-Mu pelipur mata hati,
Gundah dan nestapa tatkala berpisah dari-Mu,
Bara cinta karena-Mu memerah dalam jiwaku terpatri.

Atau dalam syair yang lain:

Dalam relung diriku, aku tak mengenal lelah jiwa siapa?
Aku redup dan Dia dalam kebisingan dan kegaduhan.


f. Kesaksian Para Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius
Masalah kefitrahan ma'rifatullâh bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat saja. Ucapan-ucapan para ilmuwan, filsuf non-Muslim dan para pujangga dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh, Einstein, ketika memberikan penjelasan detail seputar pembahasan ini berkata, "Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali- ada pada setiap orang. Aku menamakannya 'Perasaan Religius Penciptaan'. Dalam agama ini, manusia merasakan dirinya begitu kecil-tak berharga, menemukan tujuan-tujuan umat manusia dan keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan fenomena semesta. Ia melihat dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia ingin terbang meninggalkan sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam bentuk satu realitas."
Pascal, seorang ilmuwan ternama, berkata, "Hati memiliki argumen-argumen yang tidak dapat dicapai oleh akal."
William James berkata, "Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan adalah religius (hati). Aku juga menerima bahwa formula dan tuntunan-tuntunan praktis filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah diterjemahkan dan teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain."
Max Muller berkata, "Para pendahulu kita, sejak pertama kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, mereka bahkan tidak mampu memberikan nama untuk Tuhan."
Di tempat lain, Muller menyampaikan keyakinannya yang bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata, "Agama dimulai dengan penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala. Setelah itu, penyembahan kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang mengkaji tentang kehidupan masa pra-sejarah dengan menggunakan bukti-bukti forensik, -AK.) membuktikan bahwa menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak zaman dahulu."
Seorang ahli sejarah bernama Palutark berkata, "Sekiranya Anda memandang pelataran semesta ini, Anda akan jumpai banyak tempat yang di situ tidak ada data mengenai rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri, politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di situ tidak ada Tuhan."
Samuel Kning dalam bukunya Jâme'eh-shinâsi (Sosiologi) berkata, "Seluruh umat manusia memiliki jenis agama. Meskipun para etnolog (ahli yang mengkaji tentang etnis, -AK.), petualang dan muballig pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang tidak memiliki agama dan kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa laporan-laporan mereka tidak memiliki landasan. Penilaian mereka hanya berdasarkan pada indikasi yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan agama mereka."
Pembahasan ini kami akhiri dengan meminjam ucapan Will Durant, sejarawan terkemuka kontemporer. Ia berkata, "Sekiranya kita tidak berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar pada masa pra-sejarah, maka kita tidak akan mengenal sejarah dengan baik seperti yang kita kenal sekarang ini."

8. Kerusakan apakah yang akan Terjadi bilamana Tuhan yang Berkuasa itu Banyak?
Pada ayat 22, surat Al-Anbiya' [21], kita membaca: "Sekiranya ada Tuhan selain Allah, maka akan terjadi kerusakan dan sistem-semesta akan saling bertabrakan."
Soal yang mengedepan di sini adalah banyaknya Tuhan akan menjadi sumber kerusakan di alam semesta, lantaran tiap-tiap mereka akan bangkit untuk memerangi satu sama lainnya. Akan tetapi, jika kita menerima mereka sebagai orang-orang bijak dan berpengetahuan, tentu saja dalam mengelola alam semesta ini mereka akan saling bahu-membahu.
Jawaban atas soal ini cukup sederhana. Kebijakan mereka tidak akan menafikan keberbilangan mereka. Ketika kita berasumsi mereka berjumlah banyak, berarti tidak adanya satu pendapat di antara mereka. Karena, apabila mereka adalah satu dari segala sisi, maka konsekuensinya adalah satu Tuhan. Oleh karena itu, jika ada jumlah banyak, pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam perbuatan, kehendak dan efek. Keadaan inilah yang akan menggiring semesta kepada kerusakan. (Perhatikan baik-baik!)
Argumentasi ini menjelaskan argumentasi Tamânu' dalam rumusannya yang berbeda-beda. Namun, mengupas seluruh argumentasi yang ada bukanlah tujuan pembahasan kita kali ini. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan rumusan argumentasi (tamânu') yang terbaik.
Pada rumusan lain, argumentasi ini bersandar pada proposisi bahwa apabila ada dua kehendak yang berlaku dalam penciptaan, alam semesta tidak akan pernah tercipta. Sementara ayat yang dinukil di atas, berbicara tentang kerusakan jagad dan terjadinya kekacauan dalam sistem semesta, bukan tidak terciptanya atau wujudnya alam semesta. (Perhatikan baik-baik!).
Menariknya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Hakam dari Imam Ash-Shadiq a.s., ketika menjawab seorang kafir yang meyakini banyaknya Tuhan, beliau bersabda: "Dua Tuhan yang engkau katakan ini, apakah mereka itu qadim atau azali dan kuat, ataukah lemah dan tidak berdaya, atau satunya kuat dan lainnya lemah?
Apabila keduanya kuat, mengapa salah satunya tidak menyingkirkan yang lain dan memikul tanggungjawab mengatur alam semesta? Apabila anggapanmu seperti ini bahwa yang satu kuat dan yang lain lemah, engkau telah menerima Tauhid, karena yang kedua adalah lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, ia bukanlah Tuhan.
Dan apabila engkau berkata bahwa ada dua Tuhan (yang sama-sama kuat), maka asumsi ini tidak akan keluar dari dua kondisi; entah mereka bersepakat dari seluruh sisi atau berbeda. Akan tetapi, ketika kita melihat penciptaan yang sistemik; bintang-gemintang di langit masing-masing bergerak pada orbitnya, silih bergantinya siang dan malam secara teratur, bulan dan matahari bergerak sesuai dengan garis lintasnya masing-masing, koordinasi pengaturan jagad raya dan sistematika hukum-hukumnya adalah dalil bahwa pengaturnya adalah satu.
Terlepas dari masalah ini, sekiranya engkau mengklaim Tuhan ada dua, maka di antara mereka pasti ada jarak (keunggulan) sehingga dualitas itu terwujud. Di sini, jarak tersebut sendiri adalah wujud yang ketiga yang harus azali juga. Dan dengan demikian, Tuhan menjadi tiga. Dan apabila engkau meyakini Tuhan adalah tiga, maka harus ada jarak (keunggulan) juga di antara mereka. Dengan demikian, engkau harus percaya pada lima wujud qadim dan azali. Dan dengan ini, bilangan Tuhan akan semakin banyak, dan masalah ini tidak berakhir dan tak tertuntaskan."
Permulaan hadis ini mengindikasikan burhan tamânu', dan di bagian akhirnya terdapat argumentasi lain yang dikenal sebagai argumentasi farjah (berbedanya poin persamaan dan poin perbedaan).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s.: "Dalil apa yang dapat membuktikan keesaan Tuhan?" Beliau bersabda, "Sistemika dan koordinasi pengaturan alam semesta dan sempurnanya penciptaan. Demikian Allah swt. berfirman, 'Sekiranya langit dan bumi terdapat Tuhan-Tuhan selain Allah, niscaya alam semesta ini akan mengalami kerusakan."

9. Apakah Maksud dari liqâ'ullâh?
Dalam beberapa ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Hari Kebangkitan dan Hari Kiamat, terdapat redaksi liqâ' Allah (perjumpaan dengan Tuhan) atau liqâ' ar-Rabb (perjumpaan dengan Rabb). Redaksi ayat ini sarat makna dan memiliki kedalaman arti, betapa pun sebagian mufassir telah menafsirkan ayat-ayat ini secara sambil lalu.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksud dari liqâ' Allah adalah pertemuan para malaikat Allah Swt. pada Hari Kiamat. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa maksudnya adalah perjumpaan setiap makhluk dengan perhitungan (hisâb), ganjaran (jazâ'), dan pahala (tsawâb). Dan kelompok ketiga berpendapat bahwa maknanya adalah perjumpaan hukum dan perintah-Nya.
Semua pendapat tersebut mengambil arti redaksi Al-Qur'an tersebut secara implisit. Sementara kita mengetahui bahwa apabila penafsiran implisit bertentangan dengan dzahir sebuah ungkapan (eksplisit), sepanjang tidak ada dalil atasnya, harus kita tinggalkan.
Tak syak lagi bahwa maksud dari redaksi perjumpaan (liqâ') bukanlah melihat Tuhan. Lantaran perjumpaan indrawi (hissi) hanya berlaku pada benda-benda material yang terbatas di dalam ruang dan waktu, berwarna, dan kualitas-kualitas lain sehingga ia mampu untuk dilihat dengan mata kepala.
Dengan demikian, maksud dari perjumpaan di sini adalah syuhûd bâtini, perjumpaan dan pertemuan maknawi dan ruhani dengan Allah Swt. Karena pada Hari Kiamat, seluruh hijab akan tersingkap dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sedemikian nampak pada hari Mahsyar dan seluruh tempat persinggahan Kiamat, bahkan orang-orang kafir akan berjumpa dengan Allah Swt. melalui mata batin mereka (meskipun perjumpaan ini pasti berbeda).
Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mîzân berkata: "Hamba-hamba Allah Swt. berada dalam keadaan tanpa hijab antara mereka dengan-Nya. Lantaran ciri khas Hari Kiamat adalah penampakan seluruh hakikat. Demikian pada surat An-Nur (24), ayat 25, Allah Swt. berfirman, 'Pada hari itu mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah, Ia-lah Hak Yang Nyata.'"
Menariknya, dalam hadis sahih disebutkan bahwa seorang datang kepada Amirul Mukminin Ali a.s. dan berkata: "Aku terjatuh dalam kesangsian terhadap Al-Qur'an."
Beliau kembali bertanya: "Mengapa"?
Orang itu berkata: "Kita melihat banyak ayat Al-Qur'an yang menegaskan perjumpaan dengan Allah Swt. pada Hari Kiamat, dan di sisi lain Dia berfirman, 'Mata-mata tidak mampu menjangkaunya, dan Ia menjangkau seluruh mata.' Bagaimana ayat ini bisa dipertemukan dengan yang lainnya?"
Beliau menjawab: "Perjumpaan di sini bukan penyaksian dengan mat, akan tetapi perjumpaan pada Hari Kiamat dan bangkitnya orang-orang dari kuburan. Oleh karena itu, pahamilah bahwa seluruh liqâ' (perjumpaan) yang disebutkan dalam Al-Qur'an berarti kebangkitan."
Sebenarnya, Imam Ali a.s. memberikan tafsir ihwal perjumpaan dengan Allah swt. bahwa penyaksian (syuhûd) Allah swt. merupakan inherensi-inherensi dari syuhûd tersebut. Benar bahwa Hari Kiamat merupakan hari tersingkapnya pelbagai hijab dan tirai, tampaknya tanda-tanda Yang Maha Hak, dan tajallî (theophani) Allah kepada seluruh hati. Dan setiap orang -sesuai dengan tingkat pikirnya- dapat memahami ucapan beliau ini. Dan seperti yang telah kita katakan, bahwa syuhûd batini para kekasih Allah Swt. pada Hari Kiamat berbeda dengan perjumpaan orang-orang biasa.
Dalam masalah ini, Fakhrurrazi dalam At-Tafsir Al-Kabîr-nya memberikan penjelasan yang menarik. Ia menulis, "Manusia di dunia ini, lantaran hanyut dalam urusan-urusan duniawi dan berupaya untuk mengejar kehidupan dunia, kerap melalaikan Allah. Akan tetapi pada Hari Kiamat, seluruh perhatian duniawi ini akan hilang. Manusia dengan seluruh wujudnya akan tercurah kepada Tuhan semesta alam. Dan inilah arti dari perjumpaan dengan Allah Swt."
Hal ini boleh jadi berdasarkan pengaruh takwa, ibadah, dan penyucian jiwa (tahdzibun nafs) dalam kehidupan dunia ini yang dapat dijumpai pada sekelompok umat manusia. Sebagaimana dalam Nahjul Balaghâh ditegaskan, bahwa salah seorang sahabat alim Imam Ali, Dza'lab al-Yamani, bertanya kepada beliau, "Apakah Anda melihat Tuhan Anda?"
Imam a.s. menjawab, "Apakah mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?"
Dan ketika ingin memberikan penjelasan lebih lanjut, beliau menambahkan, "Seluruh mata kepala sekali-kali tidak akan pernah menyaksikan-Nya, namun mata hatilah -dengan cahaya iman- dapat menyaksikan-Nya."
Namun, syuhûd batini ini pada Hari Kiamat berlaku untuk semua orang. Karena, tanda keagungan dan kekuasaan Allah SWT pada hari itu sedemikian jelasnya sehingga setiap hati yang buta juga akan beriman penuh.

10. Apakah Maksud dari wajhullah?
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, "Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh)." Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?
Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.
Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini. Begitu jelas bahwa Allah Swt. tidak memiliki jasad dan wajah.

11. Apakah maksud dari sifat Jalâl dan Jamâl itu?
Galibnya, sifat-sifat Allah swt. diklasifikasikan menjadi dua: sifat Dzatiyah (sifat yang berhubungan dengan Dzat-Nya) dan sifat Fi'iliyah (sifat yang berhubungan dengan tindakan-Nya). Sifat Dzatiyah terbagi lagi menjadi dua: sifat Jamâl dan sifat Jalâl.
Maksud dari sifat Jamâl adalah sifat yang tetap bagi Allah swt. seperti, ilmu, kuasa, kekal, dan abadi. Oleh karena itu, sifat ini juga disebut dengan sifat tsubutiyah. Sementara, sifat Jalâl bermakna segala sifat yang ternafikan dari Allah Swt. (tidak ada pada wujud-Nya), seperti kebodohan, kelemahan, keberagaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sifat ini juga disebut dengan sifat salbiyah. Kedua sifat ini merupakan sifat yang berhubungan dengan Dzat Ilahi, dan tidak diperoleh akal dari perbuatan-perbuatan-Nya.
Sedangkan maksud dari sifat fi'iliyah adalah sifat yang bergantung kepada perbuatan-perbuatan Allah Swt. Maksudnya, sebelum Dia melakukan perbuatan, sifat itu tidak tersandang oleh diri-Nya. Dan setelah Dia melakukannya, sifat ini diatributkan kepada Allah Swt, seperti Mahapencipta (Khâliq), Maha Pemberi rezeki (Râziq), Maha Menghidupkan (Muhyi), dan Maha Mematikan (Mumit).
Dan sekali lagi kami tekankan bahwa sifat Dzatiyah dan sifat Fi'iliyah Allah swt. ini adalah berkarakter Nir-batas, sebab kesempurnaan yang dimiliki-Nya tak terhingga, juga demikian perbuatan-Nya. Akan tetapi,dalam pengertian ini, sebagian sifat-sifat utama sudah termasuk di dalamnya, dan sifat-sifat tersebut merupakan cabang dari sifat-sifat (sebagaimana di bawah) ini.
Dengan memperhatikan poin ini, dapat disimpulkan bahwa lima sifat Ilahi merupakan sifat asli yang membentuk nama-nama dan sifat-sifat kudus Ilahi, yaitu; wahdâniyah (kemahaesaan), 'ilm (mahamengetahui), qudrah (kemahakuasaan), azaliyah (kemahakekalan) dan abadiyah (kemahaabadian). Sedangkan sifat-sifat yang lain merupakan cabang dari sifat-sifat ini.

12. Apakah Maksud dari Cinta dalam kaitannya dengan Tuhan?
Di dalam surat Al-Buruj [85], ayat 14 ditegaskan, "Allah Yang Mahapengampun lagi Mahapengasih." Dengan memperhatikan ayat suci ini, soal yang mengedepan adalah apakah maksud dari mencintai dan menyukai sehubungan dengan Tuhan?
Terang bahwa makna cinta Tuhan berbeda dengan cinta manusia. Cinta manusia adalah satu bentuk, perhatian hati dan ketertarikan ruh, sementara Tuhan tidak memiliki hati, juga tidak memiliki ruh. Oleh karena itu, cinta Tuhan bermakna melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menghantarkan kebahagiaan dan kesenangan para hamba, dan merupakan tanda kasih (luthf) dan inayah (kepedulian) -Nya.
Berkenaan dengan Allah Swt., cinta bertaut dengan kesan luarnya. Ini bukanlah satu-satunya penafsiran atas ayat ini. Kita juga dapat menemukan penafsiran semacam ini berkenaan dengan sifat dan perbuatan-perbuatan Ilahi yang lain, seperti ayat yang mengatakan: "Allah memurkai para pendosa." Artinya, murka Allah tidak seperti kondisi seseorang yang sedang murka kepada para pendosa. Kalau tidak demikian, maka kemurkaan Nya bermakna desakan psikologis jiwa manusia, dan masalah ini tidak benar jika dinisbahkan kepada Allah.

13. Apakah Hakikat Kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Tidak syak lagi bahwa kehendak dengan makna yang ada pada manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).
Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:
a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).
b. Iradah Fi'liyah (kehendak dalam tahap tindakan).


a. Kehendak Dzatiyah
Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukum syariat.
Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.
Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.


b. Kehendak Fi'liyah
Kehendak Fi'liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi'liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.
Pendeknya, kehendak Dzatiyah Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi'liyah Allah Swt. adalah pengadaan itu sendiri.

14. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan itu?
Pada surat An-Nisa' [4], ayat 164 disebutkan, "Allah berfirman kepada Musa dengan langsung." Soal yang mengemuka dari ayat ini adalah apakah maksud dari Allah berfirman itu?
Maksud dari Allah swt. berfirman bukanlah berucap dengan lisan. Sebab, berucap dengan lisan dan dengan suara merupakan aksiden-aksiden ('awâridh) bentuk (benda). Dan Allah Swt. yang suci dari bentuk dan kebendaan tidak dapat disifati dengan sifat demikian.
Jadi, maksud dari berfirman adalah dengan perantara ilham hati atau pengadaan gelombang suara pada ruang. Dan hal itu tidak mustahil lantaran Allah swt. mampu mencipatkan gelombang suara pada ruang. Dan gelombang suara ini sampai ke telinga para nabi dan rasul-Nya, dan Tuhan menyampaikan pesannya melalui jalan ini. Firman Allah kepada Musa bin 'Imran di lembah Wadi Aiman -sebagaimana disebukan di dalam Al-Qur'an- memberikan kesaksian bahwa gelombang suara tercipta di sebuah pohon, dan Musa dipanggil ke arah pohon tersebut.

15. Apakah Maksud dari Marah dan Murka Allah Swt.?
Di dalam surat Fathir [35], ayat 39 disebutkan, "… dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka …." Berangkat dari ayat ini, soal yang mengedepan adalah apakah makna dari kemarahan dan kemurkaan Tuhan?
Kemarahan dan kemurkaan Allah swt. tidak bermakna sebagaimana kemarahan dan kemurkaan manusia. Karena, kemarahan pada diri manusia merupakan salah satu jenis emosi batin yang menjadi sumber reaksi cepat, kuat dan keras, dan memobilisasi kekuatan jiwa untuk membela diri dan menuntut balas.
Dalam kaitannya dengan Tuhan, tidak satu pun dari seluruh makna yang merupakan kelaziman wujud yang mungkin dan berubah-ubah itu layak disandangkan kepada-Nya. Kemarahan Tuhan berarti jauhnya rahmat dan kasih dari seseorang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan buruk.

16. Apakah Mungkin Allah Swt. Diindra?
Dalil-dalil rasional memberikan kesaksian bahwa Tuhan tidak akan pernah dapat dilihat oleh indra penglihatan. Karena, mata kepala hanya dapat melihat benda-benda atau -lebih tepatnya- sebagian kualitas dari benda-benda tersebut. Dan mata tidak akan pernah dapat melihat sesuatu yang bukan benda atau tidak memiliki kualitas kebendaan. Dengan kata lain, sekiranya sesuatu dapat dilihat dengan mata kepala, niscaya ia memiliki ruang, sisi dan materi. Sementara Dia lebih unggul dari semua ini. Ia adalah wujud Nir-batas. Atas dasar ini, Dia berada di luar alam materi, sebab materi segala sesuatu itu terbatas.
Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menceritakan -misalnya- Bani Israel dan permintaan mereka untuk melihat (ru'yah) Allah Swt. Dengan tegas, Al-Qur'an menafikan kemungkinan untuk dapat melihat Allah Swt.
Anehnya, mayoritas pemeluk mazhab Ahli Sunnah berkeyakinan bahwa sekiranya Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, Dia akan dapat dilihat pada Hari Kiamat kelak. Penyusun tafsir Al-Manâr menegaskan, "Ini adalah akidah Ahlusunah dan ulama hadis."
Lebih aneh lagi, para pemikir kontemporer (baca: para cendekiawan) juga cenderung kepada penafsiran seperti ini, bahkan, dengan getol membela pendapat ini. Sementara kerapuhan pandangan ini sangat jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan. Karena, relasi dunia dan akhirat (dengan memperhatikan prinsip Kebangkitan [ma'âd] Jasmani) tidak berbeda dalam masalah ini. Yakni, apakah Allah swt yang memiliki wujud nonmateri pada Hari Kiamat akan berubah menjadi wujud materiel dan dari derajat "Nir-batas" akan merosot ke derajat "terbatas"? Apakah Dia pada Hari Kiamat akan berubah menjadi benda dan subjek sifat-sifat benda? Dan apakah dalil-dalil rasional atas kemustahilan melihat Allah Swt. tidak memberikan perbedaan antara dunia dan akhirat? Sementara dalil rasional dalam ranah pembahasan ini tidak dapat berubah.
Adapun dalih yang dibawakan oleh sebagian mereka, yaitu bahwa boleh jadi di alam lain, manusia dapat melihat dan menangkap dalam pola lain, tidak dapat diterima sepenuhnya. Sebab, sekiranya maksud melihat ini adalah menangkap dengan pola materiel dan fisikal, bukan dengan mata hati dan kekuatan akal yang dapat menyingkap keindahan Tuhan, asumsi ini mustahil berlaku pada Tuhan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Maka itu, pandangan di atas yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan di dunia ini, akan tetapi mukminin dapat melihat-Nya pada Hari Kiamat, adalah sebuah kepercayaan yang irasional.
Satu-satunya alasan yang menyebabkan mereka membela kepercayaan ini adalah hadis yang disebutkan di dalam kitab-kitab induk hadis mereka yang menyebutkan bahwa Tuhan bisa dilihat pada Hari Kiamat. Akan tetapi, tidakkah kerapuhan pandangan ini -berdasarkan hukum akal- merupakan dalil atas adanya intervensi terhadap hadis itu dan invaliditas kitab-kitab yang memuat hadis-hadis seperti ini? Jika kita tidak tafsirkan hadis ini sebagai penyaksian mata hati atau sesuai dengan hukum akal, selayaknya kita tinggalkan saja hadis-hadis semacam ini.
Atau, jika dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur'an terdapat redaksi -yang secara lahir- menyiratkan bahwa Tuhan dapat dilihat, seperti ayat: "Wajah-wajah ketika itu berseri-seri, sembari melihat kepada Tuhannya" (QS. al-Qiyamah [75]: 23-24) dan ayat: "Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka" (QS. al-Fath [48]: 10), semua itu mengandung arti figuratif (majâzi), lantaran tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang bertentangan dengan hukum akal.
Menariknya, hadis-hadis Ahlul Bait menafikan dengan tegas kepercayaan keliru seperti ini, dan dengan redaksi yang telak mengkritisi orang-orang yang memegangnya. Misalnya, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s., Hisyam berkata, "Aku berada di sisi Imam Ash-Shadiq a.s. ketika Muawiyah bin Wahab (salah seorang sahabat Imam, -AK.) datang dan berkata, 'Wahai putra Rasulullah! Apa pendapat Anda tentang riwayat yang datang dari Nabi saw. yang menyebutkan bahwa beliau melihat Allah Swt.? Bagaiamana Nabi saw. dapat melihat-Nya? Demikian pula dalam riwayat lain yang dinukil dari beliau saw., bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah Swt. di Surga. Bagaimana mereka akan melihat-Nya?'
Imam Ash-Shadiq a.s. tersenyum dan berkata, "Wahai Mu'awiyah bin Wahab! Alangkah buruknya manusia yang telah berusia tujuh puluh -(atau delapan puluh)- tinggal dan hidup di kerajaan Tuhan dan menikmati karunia-Nya, tetapi belum juga mengenal-Nya dengan baik.
"Wahai Muawiyah bin Wahab! Nabi saw. sekali-kali tidak pernah melihat Allah Swt. dengan indra penglihatan ini. Ada dua macam penyaksikan; penyaksian dengan mata hati (batin) dan penyaksian dengan mata kepala. Setiap orang yang berkata bahwa Nabi saw. menyaksikan Tuhan dengan mata hati, ia telah berkata benar. Namun, bila ia mengatakan bahwa Nabi saw. menyaksikan-Nya dengan mata kepala, ia telah berdusta dan ia telah mengingkari Tuhan dan ayat-ayat Al-Qur'an. Karena, Nabi saw. bersabda, 'Barangsiapa menyerupakan Allah dengan hamba-Nya, sungguh ia telah kafir.'"
Dalam riwayat yang lain sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Tauhid Ash-Shaduq yang dinukil dari Ismail bin Fadhl yang berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s., 'Apakah Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat?' Beliau menjawab, 'Allah Swt. suci dari semua ini …. Mata tidak dapat melihat selain segala sesuatu yang memiliki warna dan kualitas, sementara Allah adalah pencipta warna-warna dan kualitas-kualitas.'"
Menariknya, di dalam hadis ini khususnya disebutkan kalimat warna. Dewasa ini, terbukti bahwa benda itu sendiri tidak dapat dilihat; ia akan terlihat beserta warnanya. Maka, jika suatu benda tidak memiliki warna, ia tidak akan pernah terlihat.

17. Apakah Maksud dari 'Arsy Tuhan?
Dalam ayat Al-Qur'an terdapat kira-kira dua puluh ayat yang mengisyaratkan 'Arsy Tuhan. Kini soal yang mengemuka adalah apakah maksud dari 'arsy Tuhan itu?
Berulang kali telah kami katakan bahwa dengan kata-kata yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi kehidupan materi yang serba terbatas ini, kita tidak dapat menjelaskan keagungan Tuhan, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. Atas alasan ini, dengan menggunakan arti figuratif, kata ini kita gunakan untuk menggambarkan seluruh keagungan Tuhan.
Dan di antara kata-kata yang memiliki karakter seperti ini adalah 'Arsy yang secara leksikal berarti atap atau singgasana yang berkaki panjang, sebagai lawan dari "Kursî" yang bermakna singgasana berkaki pendek. Lalu, kalimat ini digunakan dalam singgasana kekuasaan Ilahi sebagai 'Arsy Ilahi.
Apa maksud dari 'Arsy Ilahi itu dan apakah arti dari kalimat ini metaforik? Para penafsir, ahli hadis dan filsuf telah banyak menjabarkan masalah ini.
Terkadang 'Arsy ditafsirkan sebagai ilmu Nir-batas Allah Swt., terkadang ditafsirkan sebagai kemahamilikan (mâlikiyah) dan kemahaberkuasaan (hâkimiyah) Allah Swt., dan terkadang diartikan sebagai keserbasempurnaan (kamâliyah) dan kebesaran (jalâliyah) Tuhan. Sebab, setiap sifat-sifat ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya. Sebagaimana singgasana para sultan sebagai lambang keagungan mereka.
Benar bahwa Allah Swt. memiliki 'Arsy ilmu, 'Arsy kekuasaan, 'Arsy kemahapengasihan dan 'Arsy kemahapenyayangan.
Sesuai dengan tiga penafsiran di atas, arti 'Arsy kembali kepada sifat-sifat Dzat kudus Ilahi, bukan kepada wujud yang lain. Sebagian hadis Ahlul Bait a.s. yang sampai kepada kita juga menguatkan makna ini. Seperti sebuah hadis yang memuat pertanyaan Hafsh bin Giyats kepada Imam Ash-Shadiq tentang tafsir ayat "wasi'a kursiyyuhus samâwâti wal ardh". Imam berkata, "Maksud ayat ini adalah Ilmu Allah."
Dan dalam hadis yang lain, masih dari Imam Ash-Shadiq a.s., 'Arsy bermakna ilmu yang diwarisi oleh para nabi, dan Kursî berarti ilmu yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Dengan berinsprasi dari riwayat-riwayat yang lain, sebagian mufassir menafsirkan 'Arsy dan Kursî sebagai dua wujud yang agung dari makhluk-makhluk Allah Swt. Misalnya, sebagian orang berkata, "Maksud dari 'Arsy adalah kumpulan alam semesta." Dan terkadang disebutkan kumpulan langit dan bumi ini berada dalam Kursî, akan tetapi langit dan bumi di hadapan Kursî adalah laksana lingkaran cincin yang berada di jalan yang sangat luas, dan Kursî yang berada di hadapan 'Arsy, laksana lingkaran cincin di jalan yang amat luas.
Selain itu, 'Arsy acapkali dipredikasikan sebagai hati para nabi, para washi, dan mukminin yang kamil, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis, "Sesungguhnya hati seorang mukmin adalah 'Arsy Allah." Juga dalam hadis yang lain disebutkan, "Langit dan bumi tidak mampu memuat-Ku, akan tetapi Aku termuat dalam diri hamba-Ku yang mukmin."
Namun, jalan yang terbaik untuk memahami makna sejati dari 'Arsy -tentu saja sesuai dengan kadar kemampuan manusia- adalah menelaah secara teliti penggunaan kalimat ini dalam Al-Qur'an.
Pada banyak ayat Al-Qur'an, kita jumpai redaksi kalimat ini misalnya: "Allah [setelah berakhirnya penciptaan semesta] berkuasa atas 'Arsy." (QS. al-A'raf: 54, Yunus: 3, ar.Ra'd: 2, al-Furqan: 59, as-Sajdah:4, dan al-Hadid: 4). Dalam ayat-ayat yang lain, kita jumpai adanya penyifatan 'Arsy, seperti penyifatannya dengan al-'azhim pada ayat: "Ia-lah Tuhan 'Arsy yang agung." (QS. at-Taubah [9]: 129).
Dalam beberapa ayat Al-Qur'an, ada juga pembahasan mengenai pembawa 'Arsy. Terkadang disebutkan bahwa "'Arsy Allah berada di atas air."
Dari semua redaksi itu dan redaksi lain yang dinukil dari hadis-hadis, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa 'Arsy telah digunakan pada beberapa makna yang beragam, yang kendati demikian memiliki akar kata yang umum.
Salah satu makna 'Arsy adalah kedudukan pemerintahan, kepemilikan dan pengaturan alam semesta. Karena secara umum dan luas, kalimat 'Arsy digunakan sebagai ungkapan metaforik yang berarti kekuasaan seorang negarawan atas urusan suatu negara. Kita sering berkata, "Fulan tsalla 'arsyahu." Artinya adalah kiasan bahwa kekuasaannya telah tumbang. Dalam bahasa Persia juga kita berkata, "Pâyeha-ye takht-e u dar ham syekast (sendi kekuasaannya telah hancur)."
Arti lain dari 'Arsy adalah totalitas alam keberadaan. Karena, seluruh jagad ini menunjukkan keagungan-Nya. Dan acap kali 'Arsy diartikan sebagai alam atas ('ulyâ), dan Kursî bermakna alam bawah (suflâ).
Terkadang 'Arsy bermakna alam nonmateri dan Kursî berarti alam materi, dan digunakan lebih umum dari bumi dan langit. Sebagaimana dalam ayat Kursi disebutkan, "wasi'a kursiyyuhus samâwâti wal ardh".
Dan karena antara makhluk dan pengetahuan Allah Swt. tidak terpisah dari Dzat kudus-Nya, terkadang 'Arsy berarti sebagai ilmu Tuhan.
Dan apabila hati para hamba beriman disebut sebagai ('arsy ar-Rahman), karena hati merupakan tempat persemayaman makrifat terhadap Dzat kudus Ilahi dan tanda keagungan serta kekuasan Allah Swt.
Oleh karena itu, dari indikasi-indikasi (qarâ'in) yang ada, kita dapat memahami makna 'Arsy yang dimaksudkan. Akan tetapi, bagaimanapun, makna umum yang terdapat kata itu adalah kebesaran dan keagungan Allah Swt.
Pada ayat yang menjadi topik pembahasan disebutkan ungkapan "pembawa 'Arsy Ilahi". Barangkali maksud dari 'Arsy dalam ayat ini adalah pemerintahan (hukûmah) Allah Swt. dan pengaturan (tadbîr) alam semesta. Dan pembawa 'Arsy Ilahi adalah pelaksana pemerintahan dan pengaturan alam semesta. Juga boleh jadi bermakna kumpulan alam penciptaan atau alam metafisik, dan pembawanya adalah para malaikat yang memikul 'Arsy ini atas perintah Allah Swt. yang merupakan landasan pengaturan semesta ini.

18. Apakah Perjanjian di Alam dzar itu?
Dalam surat Al-A'raf (7), ayat 172 disebutkan, "Dan [ingatlah] tatkala Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Benar (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap hal ini (keesaan Tuhan).'"
Di dalam ayat ini, disebutkan pengambilan janji dari Bani Adam secara umum. Lalu, bagaimanakah bentuk perjanjian ini?
Maksud dari alam dan perjanjian ini adalah "alam potensi" dan perjanjian fitrah dan penciptaan. Urutannya adalah ketika Bani Adan keluar dalam bentuk sperma dari tulang sulbi seorang ayah memasuki rahim seorang ibu di mana ketika itu bentuk Bani Adam tidak lebih dari sebesar biji atom (dzarrah). Allah Swt. menganugerahkan potensi untuk mendapatkan tauhid sejati. Rahasia Ilahi ini diberikan dalam bentuk perasaan jiwa yang bersifat esensial (dzâtî) dan diletakkan sebagai karakter dan fitrahnya. Bani Adam itu dapat menyadari rahasia ini melalui akal dan nalarnya.
Oleh karena itu, seluruh manusia memiliki ruh tauhid, dan pertanyaan yang diajukan Tuhan kepadanya hanyalah berupa proses penciptaan. Jawaban yang mereka berikan juga melalui proses ini.
Redaksi-redaksi seperti ini dalam dialog-dialog keseharian juga tidak sedikit kita jumpai. Misalnya kita berkata, "Warna dan raut wajah seseorang menunjukkan rahasia batinnya" dan "Matanya yang sayu menandakan bahwa ia tidak tidur semalam."
Para pakar sastra (udabâ`) dan orator (khuthabâ`) Arab berkata, "Tanyakanlah kepada bumi ini siapakah yang membuka ruas sungai-sungaimu? Dan pepohonan yang ditanam dan menghasilkan buah-buahan? Apabila bumi tidak menjawab dengan lisan biasa, ia akan menjawabnya dengan penciptaannya."
Di dalam ayat Al-Qur'an, ungkapan dalam bahasa umum ini telah disebutkan, seperti, "... Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati dan taat kepada perintah-Mu.'" (QS. Fushshilat [33]: 11)

5
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

19. Apakah Maksud dari Petunjuk dan Kesesatan dari Tuhan?
Hidâyah secara leksikal berarti petunjuk disertai dengan perhatian. Hidâyah ini terbagi kepada dua; menunjukkan jalan dan menyampaikan sesuatu ke tujuannya secara langsung, atau dengan ungkapan lain; hidâyah tasyrî'î dan hidâyah takwînî.


Penjelasan
Tatkala seseorang menunjukkan jalan kepada orang yang sedang mencari sebuah alamat, terkadang ia menunjukkan alamat tersebut dengan lengkap; disertai dengan seluruh kriterianya. Akan tetapi, untuk menempuh jalan dan menuju ke tempat tujuannya, ia serahkan kepada si pencari alamat tersebut. Namun, terkadang ia mengambil tangannya, dan sambil menunjukkan jalan, ia juga mengantarkannya hingga mencapai tempat tujuannya.
Dengan kata lain, pada cara pertama, yang dijelaskan hanya aturan (qânûn), syarat-syarat untuk menempuh jalan dan mencapai tujuan. Namun, pada cara kedua, selain hal tersebut, segala sarana perjalanan juga dipersiapkan; menyingkirkan segala rintangan, mencarikan solusi atas masalah-masalah yang ada, dan membantu serta menjaga para pencari hingga mencapai tujuan.
Tentu saja, lawan dari hidâyah adalah kesesatan (dhalâlah).
Secara global, permasalahan ini akan menjadi jelas dengan menilik ayat-ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an menyatakan bahwa petunjuk dan kesesatan adalah perbuatan Tuhan. Dan keduanya dinisbahkan kepada Tuhan. Dan sekiranya kita ingin membahas seluruh ayat yang menyinggung perkara ini, tentu memeprlukan waktu yang panjang. Kami kira sudah memadai jika kita renungkan dua ayat berikut ini:
Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki. (QS. Al-Baqarah [2]: 213).
… tetapi, Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki dan menyesatkan siapa saja yang dikehendaki. (QS. An-Nahl [16]: 93)
Kita juga akan menjumpai ayat-ayat yang mengisyaratkan petunjuk (hidâyah) dan kesesatan (dhalâlah) yang serupa dengan redaksi kedua ayat di atas.
Dan selain itu, sebagian ayat Al-Qur'an dengan gamblang menafikan hidayah dari sisi Nabi saw. dan menisbahkannya hanya kepada Allah Swt. semata.
Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, melainkan Allah memberikan petujuk kepada siapa saja yang dikehendaki. (QS. Al-Qashash [28]: 56)
... Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk. Akan tetapi, Allahlah yang memberikan petunjuk [memberi taufik] kepada siapa yang dikehendaki .... (QS. Al-Baqarah [2]: 272)
Menelaah hanya pada permukaan ayat-ayat ini dan tidak menyentuh makna ayat tersebut telah menyebabkan sekelompok orang -dalam menafsirkan ayat-ayat ini- terjerembab ke dalam kesesatan, dan menyimpang dari jalan petunjuk serta terperosok dalam Determinisme (jabr). Bahkan, sebagian mufassir terkenal tidak lepas dari petaka ini dan terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal. Ia meyakini bahwa urusan petunjuk dan kesesatan dengan segenap tingkatannya merupakan bentuk Determinisme.
Anehnya, lantaran kontradiksi pekercayaan ini dengan prinsip Keadilan dan Hikmah Ilahi, mereka memberikan preferensi yang mengingkari keadilan secara terang-terangan.
Pada prinsipnya bahwa seandainya kita terima Determinisme, maka makna taklif (tugas-tugas syar'i, -AK), tanggung-jawab, pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab samawi tidak lagi berarti.
Akan tetapi, pendukung paham kebebasan penuh (ikhtiyâr) percaya bahwa tidak satu pun akal sehat yang dapat menerima asumsi bahwa Allah Swt. memaksa mereka untuk mengambil jalan kesesatan, dan setelah itu -karena keterpaksaan ini- mereka harus menerima hukuman. Atau ada sekelompok manusia yang telah diberi petunjuk dan setelah itu, tanpa alasan mereka diganjar pahala, padahal keistimewaan yang mereka dapatkan ini bukan karena amalan yang mereka lakukan.
Atas dasar paham inilah memilih cara-cara lain dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Penafsiran yang akurat dan relevan dengan seluruh ayat-ayat ihwal petunjuk dan kesesatan adalah penafsiran yang tidak sedikit pun berselisih dengan makna lahiriah ayat-ayat berikut ini:
Hidayâh tasyrî'î bermakna menunjukkan jalan secara umum tanpa adanya syarat dan ikatan. Sebagaimana ayat yang berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Ad-Dahr: 3) "... dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syura [42]: 52) Sangat jelas bahwa ajakan nabi ini adalah kepanjangan ajakan Tuhan, karena apa saja yang dimiliki oleh Nabi berasal dari-Nya.
Tentang kaum musyrikin dan sekelompok orang yang tersesat, Allah Swt. berfirman, "… dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka." (QS. An-Najm [53]: 23)
Adapun hidâyah takwînî bermakna menyampaikan (îshâl) ke tujuan dan menuntun tangan para hamba sehingga mereka dapat menempuh jalan yang berliku, serta menjaga dan menolong mereka hingga sampai di ambang keselamatan.
Hidâyah takwînî ini menjadi topik pembahasan dalam banyak ayat yang lain tanpa adanya kait dan syarat. Hidayah ini khusus bagi orang-orang yang ciri-ciri khas mereka telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Dan kesesatan yang berarti sebagai lawan dari hidayah, khusus bagi orang-orang yang ciri-ciri khas mereka juga telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an.
Kendati sebagian ayat-ayat ini bersifat mutlak, namun banyak pula ayat-ayat yang menjelaskan kait dan syaratnya secara teliti. Dan ketika ayat-ayat yang berkait (muqayyad) dan mutlak ini bersanding satu dengan yang lainnya, permasalahannya akan menjadi sangat jelas dan tidak tersisa lagi sedikit pun keraguan dan ambiguitas. Ayat-ayat ini tidak hanya tidak bertentangan dengan masalah kebebasan manusia, akan tetapi justru menekankannya.
Kini perhatikan baik-baik penjelasan di bawah ini!
Allah Swt berfirman: "...dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu [pula] banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada orang yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik." (QS. Al-Baqarah [2]: 26)
Ayat ini menyitir sumber kesesatan, kefasikan dan keluarnya mereka dari ketaatan dan perintah Allah Swt.
Pada kesempatan yang lain, Allah Swt. berfirman, "… dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah [2]: 258)
Ayat ini menerangkan masalah kezaliman (tirani dan despotisme) yang kemudian menjadi lahan tumbuhnya kesesatan.
Pada kesempatan ketiga, kita membaca, "... dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah [2]: 264)
Di dalam ayat ini dijelaskan ihwal kekufuran (kufr) yang menjadi ladang berseminya kesesatan.
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman: "… sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang pendusta dan sangat ingkar." (QS. az-Zumar [39]: 3)
Di dalam ayat ini juga berdusta dan kekafiran disebutkan sebagai awal kesesatan.
Dan di tempat lain disebutkan, "... sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berlebih-lebihan lagi pendusta." (QS. al-Ghafir [40]: 28) Maksudnya adalah bahwa perbuatan berlebih-lebihan (isrâf) dan berkata dusta menjadi penyebab kesesatan.
Tentu saja, apa yang telah kami sebutkan di sini hanyalah sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersangkutan dengan dengan pembahasan ini. Sebagian lainnya dengan redaksi yang sama banyak disebutkan secara berulang-ulang di dalam Al-Qur'an.
Konklusinya, penegasan Al-Qur'an bahwa kesesatan hanya berasal dari Allah Swt. semata, hanya khusus bagi orang-orang yang memiliki kriteria kufur, tirani, fasik, dusta, berlebih-lebihan, dan enggan berterima kasih.
Apakah orang-orang yang memiliki kriteria-kriteria seperti ini tidak pantas mendapatkan kesesatan?
Dengan ungkapan lain, apakah terjeratnya seseorang di dalam kriteria-kriteria ini tidak akan menjadi hijab dan kegelapan di dalam hatinya?
Lebih jelas lagi, perbuatan dan kriteria yang dimiliki orang itu mau atau tidak mau akan menjadi tirai yang menutupi mata, telinga dan akalnya sehingga ia akan masuk ke dalam jurang kesesatan. Mengingat bahwa seluruh benda dan efek seluruh sebab-sebab terjadi atas perintah Allah Swt., kesesatan dalam seluruh perkara ini dapat dinisbahkan kepada Allah Swt. Namun, penisbahan ini bersemayam pada ikhtiyar dan kebebasan berkehendak manusia.
Uraian di atas ini berkenaan dengan masalah kesesatan (dhalâlah). Adapun mengenai masalah petunjuk (hidâyah), Al-Qur'an juga menyebutkan sifat dan syarat-syaratnya. Hal ini menunjukkan bahwa petunjuk juga bukan tanpa sebab, tidak pula bertentangan dengan hikmah Ilahi.
Sebagian dari karakteristik yang menjadikan seseorang berhak mendapatkan petunjuk dan merengkuh kasih sayang Ilahi telah disebutkan pada ayat-ayat di bawah ini:
Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan [dengan kitab itu pula] Allah mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS.Al-Maidah [5]: 16)
Pada ayat ini, mengikuti perintah Allah Swt. dan merengkuh keridaan-Nya merupakan ladang berseminya petunjuk Ilahi.
... sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. (QS. ar-Ra'd [13]: 27)
Di sini ditegaskan bahwa taubat dan inâbah (kembali) merupakan penyebab datangnya petunjuk.
Dan orang yang berjihad [untuk mencari keridhaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami .... (QS.al-Ankabut [29]: 69)
Di sini dijelaskan bahwa jihad (kesungguhan); jihad yang tulus di jalan Allah swt. adalah syarat utama petunjuk.
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambahkan petunjuk dan menganugrahkan ketakwaan kepada mereka. (QS.Muhammad [47]: 17)
Di dalam ayat ini disebutkan, melintasi beberapa jalan petunjuk sebagai syarat keberlanjutan jalan ini menuju kemurahan (lutf) Allah Swt.
Konklusi dari ayat-ayat yang disebutkan di atas adalah, bahwa apabila taubat tidak datang dari para hamba, tidak mengikuti perintah-Nya, tidak berjihad dan berusaha, dan tidak melangkahkan kaki di jalan hak, maka kemurahan (lutf) Ilahi tidak akan mendatangi kehidupan mereka, tidak akan menuntun tangan mereka, dan tidak akan mengantarkan mereka mencapai tujuan.
Apakah mengkhususkan petunjuk untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini merupakan hal yang tak berdasar atau termasuk determinisme?
Anda perhatikan bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an dalam pembahasan ini sangat jelas dan gamblang. Orang-orang yang tidak mampu atau tidak ingin mengklasifikasikan hal-hal yang benar dari ayat-ayat petunjuk dan kesesatan telah terjebak dalam kesalahan fatal. Karena tidak melihat hakikat, terpaksa memilih jalan fiktif. Harus diakui bahwa lahan kesesatan ini telah dipersiapkan oleh dirinya sendiri.
Bagaimanapun, kehendak (masyiyah) Ilahi pada ayat-ayat hidayah dan kesesatan bersandar kepada kehendak (kebebasan) tersebut. Kehendak Ilahi itu sama sekali tidak akan berlaku tanpa dasar; tanpa hikmah. Tetapi pada setiap perkara, kehendak Ilahi itu memiliki syarat-syarat khusus yang selaras dengan sifat kemahabijaksaan Ilahi.

20. Apakah Maksud dari Bertasbihnya segala sesuatu di alam semesta?
Di dalam beberapa ayat Al-Qur'an disebutkan tasbih dan tahmîd (puja dan puji) seluruh makhluk semesta kepada Allah Swt. Barangkali yang paling gamblang dari ayat-ayat tersebut adalah firman Allah: "... dan tidak suatu pun melainkan bertasbih memuji kepada-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka ...." (QS. Al-Isra' [17]: 44). Dalam ayat ini disebutkan bahwa seluruh makhluk alam memuji dan bertasbih kepada Allah Swt.
Dalam penafsiran hakikat tasbih dan pujian ini, terdapat perbedaan pendapat yang tidak sedikit di antara para ulama, filsuf dan mufassir.
Sebagian mereka beranggapan bahwa tasbih dan pujian seluruh makhluk adalah dengan bahasa wujud masing-masing. Dan sebagian yang lain berkeyakinan bahwa tasbih dan pujian mereka adalah bahasa lisan. Kesimpulan pendapat mereka yang dapat kita terima adalah di bawah ini:
a. Sebagian berkeyakinan bahwa seluruh partikel alam cipta ini, dari yang kita anggap berakal, atau tanpa ruh dan tidak berakal, memiliki satu jenis pengetahuan. Dan pada wujudnya masing-masing, mereka bertasbih dan memuji Allah Swt. Kendati demikian, kita tidak mampu memahami jenis pengetahuan mereka dan mendengarkan alunan tasbih dan pujian mereka. Ayat-ayat seperti, "... di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah ...." (QS.Al-Baqarah [2]: 74), dan, "... Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah Kamu berkedua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati dan taat kepada perintahMu.'" (QS.Fushshilat [33]: 11) atau ayat-ayat senada yang dapat dijadikan sebagai bukti atas akidah ini.
b. Mayoritas mufassirin (pakar dalam bidang tafsir) meyakini bahwa tasbih dan pujian adalah sesuatu yang kita kenal sebagai bahasa wujud, bermakbna hakiki, bukan figuratif; dalam bahasa wujud, bukan bahasa lisan. (Perhatikan baik-baik!).


Penjelasan
Ketika kita melihat seseorang sedang bersedih dan tampak kurang tidur, kita dapat mengatakan kepadanya, "Meskipun engkau tidak menceritakan kesedihanmu, matamu menunjukkan bahwa engkau tidak tidur semalam suntuk, dan raut wajahmu memberikan kesaksian bahwa engkau sakit."
Bahasa wujud ini kerap sedemikian kuat dan energiknya sehingga ia dapat membuat bahasa lisan berada di bawah kekuatannya dan ia tidak dapat didustakan. Seorang pujangga bersyair,
Kuberkata dengan tipu dan kecoh, kututupi rahasia diri,
Tak tertutup darah berlalu dari pandanganku.
Untaian syair ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ali a.s. dalam ucapannya yang terkenal, "Seseorang tidak dapat menyembunyikan rahasia hatinya kecuali akan tersingkap dari kata-kata yang tersirat dan raut wajahnya."
Dari sisi lain, apakah seseorang dapat mengingkari sebuah papan yang amat indah sebagai tanda nilai seni yang tinggi (artistik) yang menjadi saksi atas kepandaian dan talenta seorang pelukis, lalu memuji dan memujanya? Apakah ia dapat mengingkari diwân (kumpulan bait) syair para pujangga besar dan ternama yang mengisahkan disposisi fitrah tinggi mereka, lalu senantiasa memujinya? Apakah dapat diingkari bahwa gedung-gedung tinggi dan pabrik-pabrik besar serta otak-otak rumit elektronika dan semisalnya adalah ungkapan lisan; tanpa wicara dari seorang pencipta dan perancangnya? tidakkah masing-masing sesuai dengan batas profesi dan karya mereka, pasti akan dipuji oleh orang-orang yang menyaksikannya?
Oleh karena itu, harus diterima bahwa keajaiban alam wujud dengan sistemnya yang menakjubkan, dengan rahasia dan misteri, dengan keagungan yang membawa kebaikan, dan dengan pekerjaan-pekerjaan sempurnanya akan sekalu bertasbih dan memuja Allah swt.
Bukankah tasbih tidak lain adalah penyucian dan pengudusan sesuatu dari segala aib dan noda? Bangunan dan sistem alam semesta yang dibuat oleh Penciptanya ini terbebas dari segala aib dan noda.
Bukankah pujian tidak lain adalah penjelasan atas kesempurnaan? Sistem penciptaan menyingkapkan kesempurnaan Tuhan; sistem yang bersumber dari ilmu dan kemahakuasaan-Nya yang Nir-batas, dari hikmah-Nya yang serba luas dan meliput.
Inilah makna tasbih dan pujian seluruh makhluk alam semesta secara umum, yang secara sempurna dapat kita pahami, dan tanpa kita perlu percaya bahwa seluruh atom-atom alam ini memiliki pengetahuan, lantaran kita tidak memiliki dalil pasti atas hal ini. Dan ayat-ayat yang disitir di atas juga memberikan kemungkinan besar bahwa yang dimaksudkan adalah bahasa wujud.
Akan tetapi, di sini masih tersisa pertanyaan. Yaitu, sekiranya maksud dari tasbih dan pujian itu hanyalah mengisahkan sistem penciptaan yang bersumber dari kesucian, keagungan dan kemahakuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, dan menjelaskan sifat Salbiyah dan Tsubutiyah Allah Swt., lalu mengapa Al-Qur'an menyatakan bahwa Kamu tidak memahami tasbih dan pujian mereka? Kalau benar bahwa sebagian orang (awam) tidak memahaminya, setidaknya ulama dapat memahami ihwal tersebut!
Ada tiga jawaban atas pertanyaan ini:
Pertama, mayoritas manusia, khususnya musyrikin tidak mengerti, sementara para ulama tergolong minoritas. Maka, mereka masuk ke dalam pengecualian, karena pada hal yang bersifat umum terdapat pengecualian.
Kedua, apa yang kita ketahui tentang rahasia semesta dibandingkan dengan apa yang tidak kita ketahui ibarat setetes air di samudra dan sebiji atom di gunung raksasa. Sejenak saja benar-benar merenungkannya, kita tidak dapat melekatkan nama ilmu atau pengetahuan atasnya.

Hingga titik aku mengetahui ilmuku,
Kini aku tahu bahwa aku tidak tahu.

Oleh karena itu, sejatinya kita tidak dapat mendengarkan tasbih dan pujian wujud-wujud ini, betapapun kita adalah seorang ulama. Karena apa yang kita dengarkan hanyalah sebuah kalimat dari sebuah buku besar. Maka dari itu, dapat diasumsikan melalui sebuah hukum umum atas seluruh makhluk, bahwa Kamu tidak mampu mengetahui tasbih dan pujian seluruh makhluk yang memiliki bahasa wujud ini. Karena apa yang kita ketahui bukanlah sesuatu sehingga dapat diperhitungkan.
c. Sebagian mufassir juga memberikan kemungkinan bahwa tasbih dan pujian seluruh makhluk secara umum di sini merupakan sintesa dari bahasa wujud dan bahasa lisan. Dengan kata lain, tasbih takwînî dan tasbih tasyrî'î. Kerena, kebanyakan manusia dan seluruh malaikat -berdasarkan pengetahuan- memuji dan memuja-Nya dan seluruh partikel alam semesta juga dengan bahasa wujud memuja kebesaran dan keagungan-Nya.
Meski dua jenis pujian dan tasbih berbeda satu dengan yang lainnya, namun secara umum makna tasbih dan pujian dalam arti luas adalah sinonim.
Meski begitu, tampaknya tafsir yang kedua dengan elaborasi yang kami uraikan di atas lebih melegakan hati dibandingkan yang lain.

21. Bagaimana Menjabarkan Ilmu Tuhan tentang Kejadian-kejadian yang akan Datang?
Kejadian-kejadian di masa datang belum memiliki wujud nyata sehingga ia termasuk dalam kekuasaan ilmu Tuhan. Lalu, apakah gambaran akan kejadian-kejadian itu berada dalam benak Tuhan? Sementara Tuhan tidak memiliki benak. Ilmu yang dimiliki-Nya tidak bersumber dari refleksi atau reaksi. Oleh karena itu, kita harus menerima bahwa Dia tidak memiliki ilmu tentang kejadian-kejadian akan terjadi. Sebab, ilmu presentif ('ilm al-hudhûrî) tidak berkaitan dengan masalah-masalah yang ma'dum (yang tidak ada), juga ilmu representif ('ilm al-hushûlî) tidak ada pada Tuhan (yakni, tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan memiliki ilmu hushûlî).
Meskipun pertanyaan ini berkaitan dengan kejadian-kejadian yang akan terjadi, akan tetapi ihwal kejadian-kejadian yang telah berlalu dan sirna juga masih dapat diuraikan di sini. Sebab, kejadian-kejadian masa lalu kini sudah tidak ada lagi. Wujud Fir'aun, Bani Israil, dan sahabat-sahabat Musa misalnya telah sirna, dan sejarah mereka juga telah berlalu. Kita hanya dapat menghadirkan gambaran mereka dalam benak kita sehingga kita dapat menyusuri sejarah kehidupan mereka. Karena ilmu yang kita miliki melalui jalan imajinasi. Maksudnya, kita membayangkannya di dalam benak kita. Akan tetapi, sekaitan dengan Allah Swt., benak dan gambaran-gambarannya tidak lagi berarti, karena ilmu Tuhan hanyalah ilmu hudhûrî. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mengerti bahwa Tuhan memiliki pengetahuan tentang kejadian yang telah berlalu?
Pertanyaan ini dapat dituntaskan melalui tiga jawaban berikut ini:

a. Tuhan senantiasa menguasai ilmu tentang Dzat-Nya nan kudus yang senantiasa menjadi sebab atas segala sesuatu. Dan ilmu ini disebut sebagai ilmu ijmâlî (pengetahuan global) terhadap seluruh kejadian dan makhluk alam semesta ini; sesudah dan sebelum penciptaannya.
Dengan kata lain, apabila kita tahu sebab terjadinya sesuatu, kita pasti mengetahui hasil dan akibatnya. Karena, setiap sebab ('illat) memiliki seluruh kesempurnaan akibat (ma'lûl), atau bahkan lebih sempurna.
Lebih jelasnya, kejadian-kejadian masa lalu belumlah sirna dan punah secara keseluruhan. Efek-efeknya masih tersisa di balik kejadian-kejadian masa kini. Demikian juga kejadian-kejadian masa datang tidak terpisah dengan kejadian-kejadian masa kini, dan bertalian erat dengan kejadian masa kini. Dengan demikian, "masa lalu", "masa datang" dan "masa kini" ibarat satu mata rantai yang menghasilkan sebab ('illat) dan akibat (ma'lûl) sehingga apabila kita mengetahui salah satunya, kita akan menemukan runtutan sebelum dan sesudahnya.
Misalnya, apabila aku mengetahui dengan pasti suhu udara seluruh planet bumi dengan seluruh partikular-partikular dan tipologinya, sebab dan akibatnya, gerakan planet bumi, masalah gravitasi dan repulsi, niscaya aku dapat mengetahui secara pasti suhu udara jutaan tahun yang lalu, atau jutaan tahun yang akan datang, lantaran kita memiliki data tentang masa lalu dan masa datang. Bukan data global (ijmali), karena data rincinya terefleksi dalam bagian file yang terkini.
Hari ini-persisnya-merupakan refleksi hari kemarin. Dan besok merupakan refleksi hari ini. Dan pengetahuan tentang seluruh bagian-bagian hari ini yaitu pengetahuan terhadap masa lalu dan masa datang.
Dengan demikian, jika kejadian-kejadian hari ini dengan segala tipologi dan kekhususannya berada di sisi Tuhan, ini berarti bahwa masa lalu dan masa datang juga berada di sisi-Nya.
Hari ini merupakan cermin masa lalu dan masa datang. Dan seluruh kejadian hari kemarin dan hari esok dapat kita saksikan pada cermin hari ini. (Perhatikan baik-baik).

b. Cara lain untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu kita harus memperhatikan satu perumpamaan yang nyata. Anggaplah seseorang yang terpenjara dalam biliknya yang hanya memiliki lubang kecil untuk keluar. Sementara ada sederetan unta melintas di hadapan lubang kecil ini. Pertama kali ia melihat kepala dan leher unta tersebut. Lalu punuknya, dan setelah itu kaki-kaki dan ekornya. Demikian juga unta-unta lainnya yang berada di dalam deretan tersebut. Dari lubang kecil ini, ia membuat masa lalu dan masa datangnya. Akan tetapi, bagi seseorang yang berada di luar bilik ini dan berdiri di atas atap terbuka, ia melihat seluruh sahara. Jelas, permasalahanya menjadi lain. Ia melihat seluruh deretan unta tersebut berada pada satu tempat yang sedang bergerak.
Dari sini akan menjadi jelas bahwa membangun sebuah pemahaman dari masa lalu, masa kini dan masa datang merupakan hasil dari keterbatasan pandangan manusia. Masa yang lalu bagi kita adalah masa yang datang bagi orang-orang terdahulu. Dan apa yang menjadi masa datang bagi kita, menjadi masa lalu bagi orang-orang yang akan datang.
Akan tetapi, Dzat yang hadir di setiap tempat, yang meliputi secara azali (tak berawal) dan abadi (tak berakhir), masa lalu, masa datang dan masa kini tidaklah berarti bagi-Nya. Seluruh kejadian yang terjadi sepanjang masa hadir di pada-Nya, (namun masing-masing berada pada kapasitas khasnya) dan Dia Mahatahu akan seluruh kejadian dan wujud yang ada di alam semesta ini; apakah ia berada di masa lalu, masa datang atau masa lalu. Dia menguasainya secara menyeluruh dan satu.
Tentu saja kita akui bahwa permasalahan ini bagi kita yang berada dalam penjara ruang dan waktu indrawi begitu sulit. Permasalahan ini memang memerlukan kajian yang teliti.

c. Cara lain untuk menjawab pertanyaan ini adalah cara yang menjadi landasan kebanyakan filsuf. Yaitu, bahwa Tuhan adalah Mahamengetahui Dzat-Nya, dan Dzat-Nya merupakan sebab ('illat) bagi terwujudnya seluruh makhluk. Ilmu terhadap sebab ('illat) adalah sumber ilmu terhadap akibat (ma'lûl).
Dengan ungkapan lain, Tuhan memiliki segala kesempurnaan seluruh makhluk, bahkan dalam bentuk yang paling sempurna. Tidak secuil pun cacat ada pada Dzat-Nya yang suci sebagaimana cacat yang dimiliki oleh seluruh mahkluk. Oleh karena itu, jika Dia Mahatahu akan Dzat-Nya, niscaya Dia mengetahui seluruh makhluk.
Dibandingkan dengan jawaban pertama, jawaban ini memiliki perbedaan yang amat tipis, sebagaimana akan tampak jelas bila diamati secara seksama dan akurat.

22. Mengapa Taubat Orang yang Murtad secara Fitri tidak Diterima?
Islam dalam urusannya dengan orang-orang yang belum menerimanya (Ahli Kitab) tidak pernah memaksa dan menyusahkan. Malahan Islam mengajak mereka dengan dakwah secara berkesinambungan dan tabligh yang diimplementasikan secara logis. Jika mereka tidak menerima Islam dan bersedia menerima syarat-syarat dzimmah (dilindungi), mereka dapat hidup bersama Muslimin secara damai. Dalam keadaan ini, keamanan mereka tidak hanya dijamin, tetapi Islam juga menanggung penjagaan harta, jiwa dan kepentingan-kepentingan lain mereka.
Akan tetapi, berkenaan dengan orang-orang yang telah memeluk Islam, lalu berpindah ke agama lain, Islam sangat ketat memperlakukan mereka. Sebab, hal ini akan mengakibatkan goncangan di dalam masyarakat Islam, dan termasuk sebuah pembangkangan terhadap sebuah pemerintahan Islam. Dan galibnya, mereka memiliki niat jahat, sehingga rahasia muslimin akan jatuh ke tangan musuh-musuh.
Oleh karena itu, orang-orang yang dilahirkan dari kedua orang tua Muslim lalu berpindah ke agama lain, maka darahnya -berdasarkan ketetapan pengadilan- terhitung mubah/halal, hartanya harus dibagikan kepada pewarisnya dan istrinya harus berpisah darinya, serta taubatnya -secara lahiriah- tidak diterima. Maksudnya ketiga hukum di atas (darahnya terhitung mubah, hartanya harus dibagikan kepada ahli warisnya dan istrinya harus bercerai darinya-pen.) harus diberlakukan ke atas orang-orang seperti ini. Meskipun demikian, jika ia benar-benar menyesal, taubatnya pasti akan diterima di haribaan Tuhan. (Tentu saja, apabila pelaku kesalahan itu adalah seorang wanita, taubatnya secara mutlak akan diterima).
Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan Islam dan ia bukanlah seorang keturunan Muslim, Islam masih memberikan tenggat kepadanya untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, taubatnya akan diterima dan seluruh hukuman tidak lagi berlaku atasnya.
Mungkin sebagian orang akan mengkritik, jika hukum politik murtad fitri ini dikenakan ke atas mereka sedangkan mereka tidak mengetahui hukum ini, barangkali hal ini termasuk salah satu jenis kekerasan, pemaksaan akidah dan menafikan kebebasan.
Akan tetapi, yang harus kita perhatikan adalah, bahwa hukum ini tidak akan dijatuhkan ke atas seseorang yang hanya sekedar memiliki keyakinan dalam hatinya namun tidak berusaha untuk menampakkannya pada level kehidupan sehari-hari. Jika ia telah mengekspresikan dan mengeluarkan statemen terbuka dan menentang pemerintahan yang mengatur sebuah kehidupan sosial, jelas bahwa kekerasan semacam ini bukan tanpa dasar, justru sangat selaras dengan prinsip kebebasan berpikir. Aturan semacam ini juga terdapat pada negara-negara Timur dan Barat dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Poin ini juga perlu mendapatkan perhatian bahwa menerima Islam harus sesuai dengan logika, khususnya bagi mereka yang terlahir dari seorang ibu dan bapak Muslim dan mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga Muslim. Tampaknya sangat kecil kemungkinan bahwa ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, berpindahnya ke agama lain dengan maksud konspirasi dan berkhianat adalah lebih biosa dimengerti ketimbang alasan terjerat dalam kesalahan dan tidak dapat memahami kebenaran. Jelas, orang seperti ini layak untuk mendapatkan hukuman.
Dalam pada itu, sebuah hukum sekali-kali tidak akan pernah mempertimbangkan satu-dua orang, akan tetapi ia lebih mementingkan mayoritas. Oleh karena itu, ia harus dinilai secara kolektif.
Pada hakikatnya, hukum ini memiliki filsafat asasi, yaitu menjaga kekuatan dalam negara Islam, mencegah keterpurukannya, dan penetrasi tangan asing dan munafikin. Karena sejatinya, murtad adalah salah satu jenis pembangkangan terhadap negara Islam. Mayoritas hukum internasional dewasa ini juga menghukumnya dengan eksekusi.
Sekiranya diberikan izin kepada setiap seorang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Muslim setiap hari dan pada hari itu juga ia meninggalkan Islam, tentu basis kekuatan Islam lambat laun akan porak-poranda, dan jalan akan terbuka bagi para musuh untuk melakukan penetrasi dan politik busuk mereka. Akibatnya, kondisi anarki menguasai masyarakat Islam. Oleh karena itu, hukum berkenaan dengan murtad yang telah disebutkan di atas, sejatinya adalah hukum politik yang dijatuhkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan dan masyarakat Islam. Berjuang melawan kekuatan dan unsur-unsur asing adalah kewajiban.
Terlepas dari masalah ini, seseorang yang telah melakukan penelitian dan menerima ajaran seperti Islam, kemudian meninggalkannya dan berpindah kepada ajaran lain, galibnya tidak memiliki motivasi yang tulus. Oleh karena itu, orang seperti ini dapat dikenakan hukuman berat. Dan jika hukum ini tampak lebih ringan terhadap wanita, hal itu dikarenakan seluruh hukuman yang dikenakan kepada mereka memang mendapat keringanan.

23. Mengapa Kita Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?
Umumnya, pertanyaan seperti ini dikemukakan oleh masyarakat umum. Allah Swt. tidak memiliki ruang dan tempat, lalu mengapa ketika memanjatkan doa sambil mengarahkan mata ke langit dan menengadahkan tangan ke atas sana? Memangnya-al'iyâdzubillah-Tuhan bersemayam di langit?
Pertanyaan ini juga pernah bergulir pada masa para Imam Maksum a.s. Hisyam bin Hakam berkata, "Seorang kafir zindiq datang kepada Imam Ash-Shadiq a.s. dan bertanya ihwal ayat 'ar-Rahmân 'ala al-'arsyi-stawa.'
Imam dalam menjelaskan ayat ini berkata, "Allah tidak memerlukan sedikit pun kepada ruang dan makhluk. Justru seluruh makhluk bergantung kepada-Nya."
Si kafir zindiq bertanya kembali, "Lalu apa bedanya ketika berdoa; Anda menengadahkan tangan ke langit atau menurunkan tangan Anda ke bumi?"
Beliau barkata, "Masalah ini dalam ilmu dan kekuasan Tuhan adalah sama saja. Akan tetapi, Allah Swt. memberikan tuntutan kepada para kekasih dan hamba-Nya untuk menengadahkan tangan mereka ke langit, ke arah 'Arsy Ilahi. Sebab, sumber rezeki berada di sana. Kami akan buktikan hal ini dengan apa yang ditegaskan oleh Al-Qur'an dan Nabi saw. Beliau bersabda, 'Tengadahkan tangan-tanganmu kepada Allah.' Dan sabda ini disepakati oleh seluruh umat.'"
Dalam hadis yang lain diriwayatkan dari Imam Amirul Mukminin Ali a.s., dalam kitab Al-Khishâl, "Ketika salah seorang dari Kamu telah menunaikan shalat, tengadahkanlah tanganmu ke langit dan sibukkan dirimu dengan berdoa."
Seseorang berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Bukankah Tuhan ada di mana saja?"
Imam bersabda, "Benar! Ia berada di mana saja."
Orang itu berkata lagi, "Lalu mengapa para hamba menengadahkan tangan mereka ke langit?"
Imam berkata, "Apakah engkau tidak membaca (dalam Al-Qur'an), 'Rezeki Kamu berada di langit dan apa saja yang dijanjikan kepadamu?' Dengan demikian, dari manakah manusia mencari rezeki kecuali dari tempatnya. Tempat rezeki dan janji Tuhan bersemayam di langit.
berdasarkan riwayat ini, umumnya rezeki seluruh manusia berasal dari langit; hujan yang memberikan kehidupan bumi yang mati tercurahkan dari langit, cahaya mentari yang menjadi sumber kehidupan bersinar dari langit, dan udara yang menjadi penyebab kehidupan berada di langit. Langit dikenal sebagai sumber berkah dan rezeki Ilahi. Dan ketika berdoa, memohon kepada Sang Pencipta dan Pemilik rezeki, perhatian kita hendaknya tertuju ke langit supaya masalah yang sedang kita hadapi terpecahkan.
Dalam sebagaian riwayat disebutkan falsafah lain di balik berdoa ke arah langit, yaitu untuk menunjukkan kerendahan dan kehinaan di haribaan Tuhan, dimana manusia ketika hendak menunjukkan kerendahan atau penyerahan diri di hadapan seseorang atau sesuatu, mereka mengangkat tangannya ke atas.


CATATAN KAKI:
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2, hal. 24.
Abdul Karim adalah nama asli Ibn Abi al-Aujah. Karena ia mengingkari keberadaan Tuhan, Imam ash-Shadiq as secara khusus memanggilnya dengan nama demikian supaya membuatnya malu.
Al-Kâfî, jilid 1, hal. 61, kitab at-Tauhid, bab Hudûts al-'?lam; Tafsir Nemûnehh, jilid 20, hal. 325.
Ghurar al-Hikâm
Idem.
Bihâr al-Anwâr, jilid 77, hal. 421, cetakan Akhundi.
Tuhaf al-Uqûl, hal. 37, bagian hadis-hadis Nabi saw.
Indikasi kepada ayat pertama surat al-Fath yang dapat dijumpai dengan gamblang pada Tafsir Nemûnehh, jilid 22, hal. 18.
Ushûl al-Kâfî, jilid 2, bab Syukr, hadis ke-6.
QS. Hud [11] : 2.
QS. Hud [11] : 26.
QS. Yusuf [12] : 40.
QS. al-Ahqaf [46] : 21.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2 hal. 34.
Jâme'eh Syinâsi (Sosiologi), Samuel Kanik, hal. 207.
Dunyâ-i keh Mibînam, (Dunia Yang Kusaksikan) hal. 57. Begitu aneh apa yang diucapkan oleh August Compte, "Sains telah memisahkan Bapak Semesta dari pekerjaannya dan ia-lah yang menggantikan peran-Nya!" Artinya, dengan menyingkap sebab-sebab natural, tidak ada ruang yang tersisa untuk beriman kepada Tuhan. ('Ilal-e Gerâyesy be Mâddigeri, hal. 76. Anda juga dapat merujuk buku Kritik Islam Terhadap Materialisme, Syahid Mutahhari, hal. 29-30, terbitan Alhuda Jakarta-AK.)
Târikh-e Tamaddun, terjemahan edisi Persia dari History of Civilizations, Will Durant, jilid 1, hal. 89.
Jahân-i keh Man Misyenâsam, hal. 54.
Dunyâ-i keh Mîbînam, hal. 53.
Dunyâ-i keh Mîbînam, hal. 56 dan 61.
Untuk keterangan yang lebih jeluk dan luas, Silakan rujuk "Anggizeh-e Peidâyesy-e Madzâhib" dan Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 2, hal. 44.
Makna "nir-terbatas" ini tidak dapat kita ilustrasikan. Apabila dipertanyakan bahwa bagaimana kalimat "nir-terbatas" ini digunakan, sementara dengan kalimat ini kita sedang memberikan sebuah kabar dan membicarakan hukum-hukumnya? Memangnya tashdiq (penegasan) tanpa tasawwur (gagasan) dapat terwujud? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, dalam menggunakan kalimat ini, kita mengambilnya dari dua singular (kalimat tunggal), nâ ('adam) nir yang bermakna tidak, dan mutânâhi yang bermakna terbatas. Maksudnya, kedua kalimat ini dapat kita konsepsikan secara terpisah nir dan terbatas. Setelah itu, kita sintesakan satu dengan yang lainnya dan mengisyaratkannya kepada wujud yang tidak tergagaskan dalam benak. Dari pengetahuan tentang wujud ini kita temukan pengetahuan global. (Perhatikan baik-baik).
Payam-e Qur'an, jilid 4, hal. 33.
Tafsir Ali bin Ibrahim berdasarkan nukilan dari Nur ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 170.
Payâm-e Imâm, Syarah Nahjul Balâghah, jilid 1, hal. 91.
Bertrand Russel, Cherâ Masîhî Nistam?
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 195.
Di antaranya segala sesuatu yang bersifat nonindrawi. Tidak satu pun dari realitas benda-benda tersebut yang terkuak bagi para ilmuwan. Planet bumi memiliki gerakan-gerakan yang beraneka ragam. Misal, gerakan pasang-surut yang memasuki kortex planet bumi. Dan akibat pengaruh dari gerakan pasang-surut tersebut, sehari dua kali tingkatan permukaan (surface) bumi di bawah kaki kita akan naik seukuran 30 centimeter. Dan tidak satu pun tanda-tanda yang dapat menuntun kita untuk dapat mengetahui gerakan ini. Yang lainnya, udara yang berhembus di seputar kita, yang nota-bene memiliki beban dan berat yang sangat besar, dan badan manusia mampu memikul seukuran 16 ribu kilogram dari berat dan beban udara tersebut. Tentu saja, tekanan ini akan dinetralkan ketika berhadapan dengan tekanan internal badan yang bagi kita bukanlah sesuatu yang merisaukan. Di sini pun, tidak seorang pun yang membayangkan bahwa udara memiliki berat dan beban. Sebelum masa Galileo dan Pascal, masalah ini masih misterius bagi seluruh manusia. Dan kini, meskipun sains memberikan kesaksian atas validitas perkara ini, akan tetapi indra kita tidak dapat merasakannya. Dan kebanyakan dari ilmuwan ilmu alam mengakui keberadaan wujud segala sesuatu yang bersifat nonindrawi. Contohnya, keberadaan ether -sesuai dengan keyakinan para ilmuwan ilmu alam- yang memenuhi segala tempat di alam tabiat ini dan sebagian orang beranggapan bahwa ether ini merupakan sumber seluruh maujud. Mereka menguraikan bahwa ether ini merupakan wujud yang tanpa beban, tanpa warna dan... yang memenuhi seluruh planet dan tempat serta merasuk (infiltrasi) ke dalam seluruh benda, dan tentu saja tidak terlihat oleh kita. (Ether, derivasi dari kata Yunani, aith?r yang berarti upper air (meta udara), di atas udara. Dalam chemistry (industri dan ilmu kimia), ether ini adalah sebuah cairan pelarut yang terbuat dari alkohol, tanpa warna dan tanpa beban. Biasanya digunakan untuk membius (anaestasia), dengan formula C2H5OC2H5. Biasa juga disebut sebagai diethyl ether-AK.).
Untuk menegaskan perkara ini, tidak ada salahnya kita menukil ucapan Flamariun dalam bukunya "Rahasia-rahasia Kematian". Ia berkata, "Manusia hidup dalam ngarai kejahilan dan ketidaktahuan. Dan ia tidak mengetahui bahwa susunan badan manusia ini tidak dapat menuntunnya kepada hakikat-hakikat. Kelima indra manusia ini menipunya dalam segala hal. Dan satu-satunya yang dapat menuntun manusia kepada hakikat dan kebenaran adalah akal, pemikiran dan akurasi ilmiah." Kemudian ia memulai menjelaskan satu persatu perkara yang tidak dapat dicerap oleh panca indra manusia dan membuktikan keterbatasan setiap indra. Ia berkata, "Oleh karena itu, kesimpulannya adalah bahwa akal dan pengetahuan kita hari ini memberikan hukum pasti kepada kita bahwa terdapat sebagian gerakan-gerakan atom, udara dan benda-benda, serta kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat oleh indra pengelihatan kita, dan kita tidak dapat merasakan benda non-kasat mata ini melalui panca indra. Dengan demikian, boleh jadi di sekeliling kita terdapat wujud-wujud yang lain selain atom, udara dan sebagainya; wujud-wujud hidup dan memiliki kehidupan yang tidak dapat kita rasakan. Aku tidak berkata bahwa benda-benda tersebut ada, akan tetapi aku berkata barangkali ia ada. Lantaran kesimpulan dari penjelasan-penjelasan sebelumnya adalah bahwa kita tidak dapat berkata segala yang tidak kita lihat berarti tidak ada. Oleh karena itu, ketika dengan argumentasi-argumentasi ilmiah telah terbukti bagi kita bahwa indra lahir yang kita miliki tidak memiliki kelayakan untuk dapat menyingkap seluruh wujud-wujud yang ada dan acap kali indra ini mengelabui kita serta menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan realitas kepada kita, kita tidak boleh mengkonsepsikan bahwa seluruh hakikat wujud terbatas pada apa yang kita rasakan dan saksikan. Akan tetapi, kita harus percaya yang sebaliknya, bahwa barangkali terdapat wujud yang tidak dapat kita rasakan. Sebelum ditemukannya mikroba, seseorang tidak berkhayal bahwa terdapat jutaan mikroba di sekeliling setiap benda dan kehidupan setiap makhluk yang menjadi medan laga bagi mikroba-mikroba tersebut. Kesimpulannya, indra lahir ini tidak memiliki kelayakan untuk menyingkap realitas seluruh wujud. Dan satu-satunya yang dapat memperkenalkan realitas wujud secara paripurna adalah akal dan pikiran kita. Menukil dari 'Alâ Itlan al-Madzhab al-Mâddi, karya Farid Wajdi, hal. 4.
?faridegâr-e Jahân, kumpulan tulisan berharga Ayatullah Makarim Syirazi, hal. 248.
Ma'ânî al-Akbâr, Syaikh Shaduq, hal. 11, hadis ke-1.
Tafsir Nemûneh, jilid 27, hal. 446.
History of Civilization, Edisi Persia, jilid 1, hal. 87 dan 89.
Idem.
Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 153.
Silakan rujuk Makalah Kuantaim, terjemahan Ir. Bayani, dalam buku, Hess-e Mazhabi yâ bo'd-e Chahâr-e Rûh-e Insâni.
Perlu diketahui bahwa agama yang dimaksud di sini adalah agama Kristen. Karena agama yang mendominasi lingkungan mereka kala itu adalah agama Kristen.
Dunyâ-i keh Mîbinam, dengan ringkasan, hal. 53.
Sair-e Hekmat dar Orupa, jilid 2, hal. 14.
Idem, hal. 321.
Idem, hal. 31.
Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 147.
Muqaddameh-ye Niyâyesh, hal. 31.
Jâme'eh-shenâsi, Samuel Kning, hal. 191.
History of Civilizations, Edisi Persia, Tarikh-e Tamaddun, jilid 1, hal. 88; Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 3, hal. 120.
Tauhid Shaduq, sesuai dengan nukilan dari Tafsir Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 417 dan 418.
Idem.; Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 373.
Tafsir al-Mîzân, jilid 15, hal. 103 dan jilid 10, hal. 69.
Ringkasan Tauhid Shaduq, hal. 267.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 5, hal. 44.
At-Tafsir al-Kabîr, Fakhrurrazi, ayat yang bersangkutan; Tafsir Nemûnehh, jilid 17, hal. 359.
Nahjul Balaghâh, ceramah ke-179.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 217.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 263.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, 59/4.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, 319/4.
Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)
Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 278; Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 379.
Tafsir Nemûneh, jilid 18, hal. 284.
Tafsir al-Manâr, jilid 7 hal. 653.
Ma'âni al-Akhbâr sesuai dengan nukilan dari tafsir al-Mizân, jilid 8, hal. 268.
Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 1, hal. 753.
Tafsir Nemûneh, jilid 5, hal. 381.
Bihâr al-Anwâr, jilid57, hal, 28, hadis ke-26-27.
Bihâr al-Anwâr, jilid 58, hal. 39.
Idem.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 20, hal. 35.
Tafsir Nemûneh, jilid 7, hal. 6.
Mufradat kalimat hadâ.
Perhatikan baik-baik! Hidâyah takwînî di sini bermakna luas. Termasuk setiap bentuk petunjuk selain jalan penjelasan undang-undang dan penunjukan jalan secara langsung.
Misalnya Fathir: 8, az-Zumar: 23, al-Muddatstsir: 31, al-Baqarah: 272, al-An'am: 88, Yunus: 25, ar-Ra'd: 27, dan Ibrahim: 4.
Nahjul Balâghah, Hikmah-hikmah Pendek, No. 26)
Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 134.
Tafsir Nemûneh, jilid 11, hal. 426.
Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 497.
Bihâr al-Anwâr, jilid 3, hal. 330; Tauhid ash-Shaduq, hal. 248, hadis ke-1, bab ke-36; bab ar-Radd 'alâ ats-Tsanawiyah wa az-Zanâdiqah.
Bihâr al-Anwâr, jilid 90, hal. 308, hadis ke-7. Hadis yang dinukil di atas terdapat juga pada Nûr ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 124 dan 125.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 270.

6
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Keadilan Ilahi

24. Apakah Perbedaan Natural Manusia Sesuai dengan Prinsip Keadilan?
Pada ayat 32, surat An-Nisa' [4] kita membaca, "Janganlah Kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain."
Dengan memperhatikan ayat suci ini, banyak di antara kita bertanya, mengapa sebagian orang memiliki bakat lebih dan bakat sebagian lainnya kurang, sebagaian rupawan dan sebagian lagi tidak demikian. Ada sebagian orang yang kuat tubuhnya,ada pula yang tubuhnya biasa-biasa saja. Apakah perbedaan natural ini sejalan dengan prinsip keadilan?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan dua poin di bawah ini.

1. Bagian pertama dari perbedaan antara raga dan ruh manusia merupakan akibat dari perbedaan strata dan kezaliman kehidupan sosial, atau sikap menganggap remeh setiap orang, dan sama sekali tidak berhubungan dengan dunia penciptaan. Umpamanya, kebanyakan putra-putri kaum hartawan dibandingkan dengan putra-putri kaum miskin, baik dari sudut pandang jasmani, lebih indah dan lebih kuat, juga dari sisi potensi dan talenta lebih besar. Semua ini dikarenakan mereka mendapatkan makanan dan kesehatan yang memadai, sementara putra-putri orang miskin berada dalam keserbakurangan. Atau sebagian orang karena sikap malas dan acuh tak acuhnya, kekuatan jasmani dan ruhnya sirna begitu saja. Perbedaan-perbedaan ini harus diyakini sebagai "perbedaan-perbedaan rekaan (diciptakan) dan tanpa dalil". Dengan hilangnya sistem strata yang korup, pengadaan keadilan sosial juga akan sirna, dan Islam dan Al-Qur'an tidak menyetujui perbedaan-perbedaan semacam ini.

2. Bagian lain dari perbedaan itu bersifat natural dan suatu kelaziman penciptaan manusia. Maksudnya, sekiranya sebuah masyarakat bersinggungan dengan keadilan sosial secara sempurna, setiap anggotanya ibarat sebuah pabrik; produknya tidak akan berbentuk dan bercorak sama. Tentu saja masing-masing akan memiliki kperbedaan dan keunikan yang khas. Namun, harus diketahui bahwa galibnya, anugerah-anugerah Ilahi, potensi jasmani dan ruhani manusia sedemikian sudah dibagikan kepada mereka sehingga masing-masing memiliki bagian-bagian tertentu dari potensi ruh dan jasmani tersebut. Maksudnya, sangat jarang dijumpai anugerah-anugerah Ilahi ini terdapat pada satu tempat atau satu orang. Sebagian memiliki kekuatan badan yang kuat, sebagian memiliki potensi dan talenta matematika yang baik, sebagian memiliki bakat bersyair, dan sebagian lainnya menyukai bidang perniagaan, sebagian peduli pada bidang agrikultur. Alhasil, setiap orang memiliki potensi dan talenta yang khas. Yang penting adalah masyarakat atau individu harus menemukan potensi dan talentanya tersebut serta membinanya dalam lingkungan yang sehat, sehingga setiap orang dapat menunjukkan dan mengeksplorasi kekuatannya.
Subjek ini juga harus diingat bahwa sebuah masyarakat ibarat sebuah raga manusia yang memerlukan tekstur-tekstur, urat dan sel-sel yang beraneka ragam. Maksudnya, sekiranya satu badan, seluruh sel-sel subtil dibuat seperti sel-sel mata dan otak, maka keberadaannya tidak akan berlangsung lama. Atau apabila seluruh sel-sel itu keras dan tidak fleksibel sebagaimana sel-sel tulang, dia tidak dapat melakukan pekerjaan yang memikul tanggungjawab yang beragam. Akan tetapi, seluruh sel-sel yang ada pada diri manusia harus dibentuk dari sel-sel yang beragam. Setiap sel memiliki tugas khusus; ada yang memiliki tugas berpikir, yang lainnya memiliki tugas melihat, tugas mendengarkan, tugas berkata-kata.
Demikian juga untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang sempurna diperlukan potensi-potensi, talenta-talenta dan struktur raga dan pikiran yang beragam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa sebagian anggota masyarakat harus menjalani hidupnya di bawah garis kemiskinan, atau pelayanan mereka tidak dianggap khidmat yang besar atau malah dihina. Sebagaimana sel-sel yang ada pada tubuh dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, semuanya mendapatkan manfaat dari makanan dan udara serta kebutuhan-kebutuhan lainnya sesuai dengan kapasitasnya.
Dengan kata lain, perbedaan struktur ruh dan jasmani pada bagian-bagian yang bersifat natural (bukan karena kekuatan paksa) menuntut kemahabijaksanaan (hikmah) Sang Pencipta, dan keadilan Ilahi tidak dapat dipisahkan dari kemahabijaksanaan Ilahi tersebut. Seperti contoh, sekiranya seluruh sel-sel badan manusia diciptakan dalam satu bentuk, hal itu tidak sesuai dengan kemahabijaksanaan Ilahi, begitu pula keadilan -yang bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempat yang selayaknya- tidak akan pernah terwujud. Demikian juga apabila suatu hari, seluruh masyarakat berpikiran yang sama dan memiliki potensi yang sama, pada hari itu juga kondisi mereka akan mengalami kekacauan.

25. Apakah Perbedaan Rezeki di Tengah Masyarakat Sesuai dengan Prinsip Keadilan?
Pada surat An-Naml [16], ayat 71 kita membaca, "Allah melebihkan sebagian atas yang sebagian lainnya di antara Kamu dalam urusan rezeki".
Pertanyaan yang muncul adalah apakah adanya perbedaan rezeki di antara masyarakat sejalan dengan asas keadilan Ilahi dan kesetaraan yang harus berlaku terhadap sistem kemasyarakatan manusia?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus memperhatikan dua poin di bawah ini secara cermat.

1. Tidak diragukan bahwa bagian penting perbedaan yang ada di antara masyarakat dari sisi keuntungan materi dan pendapatan, bertalian dengan perbedaan potensi yang ada pada diri mereka. Perbedaan potensi dan talenta jasmani dan ruhani yang menjadi sumber perbedaan pada kuantitas dan kualitas kegiatan ekonomi menyebabkan berbedanya pendapatan yang mereka peroleh; sebagian meraup keuntungan yang banyak dan yang lainnya memperoleh keuntungan yang sedikit. Tentu saja, acap kali kejadian yang hanya menurut kita bersifat aksidental, malah membuat sebagian orang mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Akan tetapi, hal ini dapat dihitung sebagai pengecualian. Yang menjadi dasar dan parameter asli pada kebanyakan urusan hidup ialah perbedaan kuantitas dan kualitas usaha. (Tentu saja tema pembahasan kita adalah sebuah masyarakat yang sehat dan bebas dari eksploitasi kaum tiran, bukan masyarakat yang menyimpang jauh dari aturan-aturan penciptaan dan nilai kemanusiaan).
Bahkan orang-orang yang kita jumpai cacat tangan dan kaki, kerapkali mendapatkan pendapatan banyak yang membuat kita takjub. Sekiranya kita merenungkan moralitas, ruh dan jasmani mereka dengan seksama dan melepaskan diri dari penilaian dangkal, kita akan melihat bahwa mereka -galibnya- memiliki kekuatan yang membuat mereka memperoleh apa yang sepatutnya. (Kembali kami tekankan, tema pembahasan kita adalah masyarakat sehat dan tidak korup).
Secara umum, perbedaan pendapatan bersumber dari perbedaan potensi dan talenta. Potensi dan talenta ini juga merupakan anugerah Ilahi. Boleh jadi dalam sebagian masalah bersifat perolehan (iktisâbi, dapat dicapai) namun dalam sebagian lainnya tidak. Bahkan dalam sebuah masyarakat sehat dari aspek ekonomi, perbedaan pendapatan juga sebuah realita yang tidak dapat diingkari. Kecuali jika kita mampu menciptakan manusia-manusia yang sejenis; satu warna dan satu potensi yang tidak memiliki satu pun perbedaan, justru masalah lain yang akan muncul.

2. Tidak diragukan juga bahwa ketika kita merenungkan nasib seseorang, batang sebuah pohon, dan sekuntum bunga, apakah mungkin struktur yang setimbang di antara anggota dan tubuh, dapat dijumpai persamaannya dari aspek apapun? Apakah kekuatan resistensi dan potensi akar pohon dari aspek apapun dapat disatukan dengan dedaunan bunga mawar yang lembut dan sedang bersemi, dan juga tulang tumit kaki dengan kelopak mata? Sekiranya Anda mampu menyatukan mereka, apakah Anda berpikir Anda telah melakukan pekerjaan yang benar?
Jika kita kesampingkan terlebih dahulu slogan-slogan yang mengecoh nalar (yang selalu menuntut persamaan di semua bidang), dan anggaplah suatu hari kita dapatkan manusia-manusia rekaan, dapat kita buat imaginer dari berbagai sudut pandang, dan menjejali planet bumi dengan manusia sebanyak lima miliar dalam satu bentuk, satu figur, satu talenta, satu pikiran, dan satu rupa dari setiap sisi, persis seperti kretek-kretek yang ditawarkan dari satu pabrik, apakah pada hari itu manusia memiliki kehidupan yang lebih baik? Tentu saja tidak. Alih-alih menjadi lebih baik, kehidupan manusia akan menjadi neraka yang di dalamnya setiap orang akan merasakan kejemuan. Semuanya akan bergerak kepada satu titik dan menghendaki sesuatu yang sama. Semuanya menghendaki satu kedudukan, menyukai satu jenis makanan, dan ingin mengerjakan satu pekerjaan.
Sangat jelas, usia kehidupan seperti ini segera akan berakhir. Dan seandainya kehidupan ini harus tetap berlangsung, kehidupan yang mereka alami adalah kehidupan kehilangan ruh; menjemukan, monoton, tidak ada bedanya dengan kematian.
Oleh karena itu, perbedaan potensi adalah demi memelihara keutuhan sistem masyarakat, bahkan membina potensi-potensi yang beragam adalah suatu kelaziman. Adapaun slogan-slogan kosong itu tidak dapat mengantisipasi kenyataan ini.
Namun, jangan sampai uraian ini ditafsirkan bahwa kami menerima masyarakat strata dan sistem eksploitasi. Tidak! Sama sekali tidak demikian! Maksud dari strata ini adalah strata alami, bukan rekayasa (baca : palsu). Perbedaan tidak hanya berfungsi sebagai penyempurna satu potensi dengan yang lainnya, akan tetapi juga berperan sebagai pendukung, bukan penghalang bagi kemajuan dan melanggar serta menganiaya yang lain.
Perbedaan strata (harap diperhatikan makna strata di sini adalah makna teknis; strata pengeksploitasi dan tereksploitasi) sekali-kali tidak sesuai dengan sistem penciptaan. Sistem yang sejalan dengan sistem penciptaan adalah perbedaan potensi dan usaha. Perbedaan antara sistem yang sejalan dengan penciptaan dan sistem yang tidak sejalan dengannya ibarat perbedaan antara bumi dan langit. (Perhatikan baik-baik!)
Dengan ungkapan lain, perbedaan pelbagai potensi harus digunakan pada rangka membangun, persis seperti perbedaan struktur anggota tubuh, atau sekuntum bunga. Dalam perbedaannya, ia saling membantu; tidak saling menggangu.
Singkatnya, perbedaan pelbagai potensi yang ada tidak seyogyanya disalahgunakan sehingga menjadi sebab terciptanya masyarakat strata.
Pada akhir ayat yang menjadi tema pembahasan kita kali ini Ia menegaskan, "Afabini'matillâhi yajhadûn."
Ayat ini menyiratkan bahwa perbedaan pada bentuk naturalnya, (bukan bentuk rekayasa dan cara-cara paksa) adalah limpahan anugerah Ilahi untuk menjaga sistem kehidupan masyarakat manusia.

26. Apakah Falsafah dari Musibah yang Kerap Menimpa Kehidupan Manusia?
Dalam surat Asy-Syura [42], ayat 30, kita membaca, "Dan musibah apa saja yang menimpa Kamu, maka semua itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri."
Dengan memperhatikan ayat ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: dari manakah asal pelbagai musibah yang menghampiri kehidupan kita?
Pada ayat ini terdapat beberapa poin yang layak mendapat perhatian:

1. Ayat ini dengan baik mengindikasikan bahwa musibah-musibah yang menimpa manusia adalah salah satu jenis hukuman dan peringatan Ilahi (betapapun memiliki eksepsi, sebagaimana akan kami singgung pada kesempatan mendatang). Dengan demikian, salah satu falsafah terjadinya peristiwa yang mengerikan itu akan menjadi jelas.
Menariknya, dalam hadis yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s., yang menukil dari Nabi saw., beliau bersabda, "Wahai Ali, ayat ini (Tidaklah menimpa Kamu musibah…) merupakan ayat yang terbaik dalam Al-Qur'an Al-Karim. Setiap goresan kayu yang menghujam ke dalam raga manusia dan setiap lalai dalam langkah terjadi akibat dosa yang dia perbuat. Dan apa yang dimaafkan oleh Tuhan di dunia ini lebih santun dari apa yang dimaafkan oleh-Nya di akhirat. Di akhirat sana terjadi peninjauan kembali, dan apa yang ditimpakan kepada manusia di dunia ini lebih adil ketimbang di akhirat, di mana Tuhan sekali lagi memberikan hukuman kepadanya.
Dengan demikian, musibah semacam ini selain meringankan beban manusia dalam kaitannya dengan masa mendatang, dia juga akan terkendali.

2. Meski ayat ini secara lahiriah bersifat umum, dan seluruh musibah termasuk di dalamnya, akan tetapi pada kebanyakan urusan yang bersifat umum terdapat pengecualian. Umpamanya, musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan yang menimpa para nabi dan imam a.s. yang berfungsi untuk meninggikan derajat atau menguji mereka. Demikian juga musibah berupa ujian yang menimpa selain para ma'shum a.s.
Dengan ungkapan lain, seluruh ayat Al-Qur'an dan riwayat menjawab bahwa ayat ini secara umum merupakan masalah yang mendapatkan takhshîsh (pengecualian), dan tema ini bukanlah sesuatu yang baru di kalangan para mufassir.
Ringkasnya, berbagai musibah dan kesulitan memiliki falsafah yang khas, sebagaimana yang telah disiratkan dalam pembahasan tauhid dan keadilan Ilahi. Berseminya potensi-potensi di bawah tekanan musibah, peringatan akan masa mendatang, ujian Ilahi, sadar dari kelalaian dan arogansi, dan penebus dosa adalah salah satu corak dari falsafah tersebut.
Akan tetapi, kebanyakan musibah yang harus diterima oleh kebanyakan orang -seperti telah terurai pada ayat di atas- secara umum memiliki sisi pembalasan dan tebusan.
Oleh karena itu, kita membaca dalam hadis, tatkala Imam Ali bin Husain a.s. telah memasuki istana Yazid, Yazid menoleh kepadanya dan berucap, "Wahai Ali! Musibah yang menimpamu berasal dari apa yang telah engkau lakukan." (Isyarat bahwa tragedi Karbala adalah hasil dari perbuatanmu sendiri).
Akan tetapi, Imam Ali bin Husain dengan segera menukas, "Tidaklah demikian! Turunnya ayat ini tidak berkenaan dengan kami. Ayat yang turun berkenaan dengan kami adalah ayat yang menegaskan bahwa, 'Setiap musibah di atas bumi, entah terjadi pada badan atau ruh Kamu, telah tercatat pada kitab Lauh Mahfuzh sebelum engkau diciptakan. Dan pengetahuan tentang urusan ini bagi Tuhan adalah mudah.' Ayat ini diturunkan untuk menjelaskan bahwa apa yang telah hilang dari tanganmu, jangan engkau tangisi, dan apa yang datang kepadamu, jangan membuatmu terlalu bergembira. (Tujuan dari musibah-musibah ini adalah supaya hatimu tidak hanyut dalam kesenangan dunia yang sementara, dan ini merupakan satu jenis pendidikan untukmu)."
Lalu, Imam menambahkan, "Kami adalah orang yang apabila sesuatu hilang dari tangan kami, kami tidak bersedih, dan apabila sesuatu datang ke tangan kami, kami tidak bergembira (Kami menganggap semua ini bersifat sementara dan kami hanya menambatkan hati kami kepada kasih (luthf) dan pertolongan (inayah) Tuhan)."

3. Terkadang musibah-musibah memiliki dimensi kolektif. Hal ini merupakan hasil dari dosa kolektif. Sebagaimana yang tertuang dalam ayat 41, surat Ar-Rum (30), "Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia ...."
jelas bahwa ayat ini berkenaan dengan sekelompok anak manusia yang -lantaran perbuatan-perbuatan mereka sendiri- terjerembab ke dalam musibah.
Dan pada ayat 11, surat Ar-Ra'd (13) disebutkan, "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya."
Ayat-ayat yang senada ini memberikan kesaksian bahwa antara perbuatan-perbuatan manusia dan sistem penciptaan dan kehidupannya memiliki hubungan yang berjalin erat, sehingga sekiranya ia menjejakkan kaki berdasarkan kaidah fitrah dan hukum-hukum penciptaan, keberkahan Ilahi akan meliputi kehidupannya. Dan apabila ia berbuat kerusakan, niscaya kehidupannya juga akan mengalami kerusakan.
Barangkali keterangan ini benar dalam hubungannya dengan setiap individu manusia; barangsiapa melakukan dosa, ia sendiri akan terpuruk ke dalam musibah dan petaka, baik jiwa, raga maupun harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Demikianlah kisah ayat di atas.
Dalam kaitannya dengan pembahasan ini, terdapat banyak riwayat di dalam sumber-sumber Islam. Kami sebutkan sebagiannya di sini sebagai pelengkap.

a. Dalam salah satu khutbah Nahjul Balaghah disebutkan, "… Demi Allah! Tidak ada satu kaum yang tercampakkan dari kehidupan mewah, setelah mereka nikmati, kecuali sebagai hasil dari dosa-dosa yang mereka lakukan. Karena sesungguhnya Allah swt. tidak akan berbuat aniaya terhadap para hamba-Nya. Meskipun, tatkala musibah datang menimpa mereka dan kesenangan menjauh dari kehidupan mereka, mereka berpaling kepada Allah swt. dengan niat yang tulus dan hati berharap semoga Ia mengembalikan segala yang telah sirna dari mereka dan mengobati segala sakit yang mereka derita."
b. Dalam Jâmi' al-Akhbâr, hadis yang dinukil dari Amirul Mukminin a.s., beliau berkata, "Musibah yang menimpa kaum penindas adalah untuk memberi pelajaran kepada mereka. Musibah yang menimpa kaum mukmin adalah ujian. Musibah yang menimpa para nabi adalah untuk peningkatan derajat. Dan musibah yang menimpa para wali adalah untuk karamah dan maqam (kedudukan maknawi)." Hadis ini adalah saksi nyata untuk hal-hal pengecualian yang telah kami jelaskan sebelumnya.
c. Dalam Ushûl al-Kâfî, hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s., beliau berkata, "Tatkala manusia bertambah dosa-dosanya dan tidak memiliki perbuatan yang bisa menebus dosa-dosa itu, Allah swt. akan mengazabnya sehingga azab itu menjadi tebusan atas dosa-dosanya itu."
d. Dalam kitab al-Kâfî terdapat bab tentang tema ini yang telah diringkas, dan ia memuat 12 hadis mengenai pembahasan yang sama.
Lagi pula, semua dosa ini adalah selain dosa-dosa yang -berdasarkan ayat yang jelas di atas- Allah akan meliputinya dengan maaf dan rahmat-Nya, dosa-dosa itu sendiri sangatlah banyak.


Mengoreksi Sebuah Kesalahan
Barangkali ada orang-orang yang menyalahgunakan ajaran Qur'anik ini; lalu setiap jenis musibah yang menimpanya, dia sambut dengan lapang dada seraya berkata, "Pasrahlah dalam menghadapi setiap kejadian yang tidak menyenangkan", dan mengambil kesimpulan reaktif, yaitu kesimpulan yang menakutkan dari kaidah edukatif dan semangat kreatif Al-Qur'an. Perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat berbahaya.
Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Qur'an yang memerintahkan kita pasrah diri dalam menghadapi setiap musibah dan melarang kita untuk berusaha memecahkan segala kesulitan. Atau ia memerintahkan kita untuk menyerahkan raga kita kepada para tiran, despot dan setiap peyakit. Akan tetapi, yang ditegaskan oleh Al-Qur'an adalah sekiranya segenap upaya engkau lakukan, namun kesulitan-kesuitan tetap menemanimu, ketahuilah bahwa engkau telah melakukan dosa. Dan hasil kesulitan-kesulitan yang menimpamu itu merupakan tebusan dan hasil dari perbuatanmu sendiri. Tengoklah kembali perbuatan-perbuatan yang telah kau lakukan pada masa-masa lalu, dan bertaubatlah atas dosa-dosamu, bangunlah dirimu dan perbaikilah kelemahanmu.
Dan apabila kita melihat di sebagian riwayat bahwa ayat ini diperkenalkan sebagai ayat yang terbaik, hal itu disebabkan oleh aspek pendidikan yang ditanamkan oleh musibah-musibah ini. Dari satu sisi, musibah itu dapat meringankan beban manusia dari pundaknya dan dari sisi lain, ia dapat menghidupkan pelita harapan dan cinta kepada Tuhan di sanubari dan jiwanya.

27. Mengapa Tuhan Menciptakan Setan?
Banyak yang bertanya bahwa sekiranya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan melalui jalan penyembahan (ibadah), keberadaan setan sebagai makhluk pembinasa adalah oposisi kesempurnaan. Apakah alasannya sehingga setan mesti ada? Ia adalah makhluk yang licik, penuh dendam, makar, penuh tipu-daya, dan beracun!
Apabila kita sedikit merenung, kita akan ketahui bahwa kehadiran musuh ini adalah untuk mendukung pencapaian manusia ke tingkat kesempurnaan.
Kita tak perlu pergi jauh. Kekuatan resistensi dalam menghadapi musuh-musuh senantiasa ada pada jiwa manusia dan ia dapat mengantarkannya ke jalan kesempurnaan.
Para komandan dan prajurit-prajurit tangguh dan terlatih adalah orang-orang yang berjibaku dengan musuh-musuh berat pada pertempuran-pertempuran besar.
Para politikus yang berpengalaman dan berpengaruh adalah mereka yang bertarung dengan musuh-musuh yang kuat dalam dunia politik yang kritis dan pelik.
Para jawara besar gulat adalah pegulat-pegulat yang berjajal dengan rival-rival tangguh dan berat.
Oleh karena itu, tidak perlu takjub bila kita menyaksikan para hamba Tuhan setiap hari semakin kuat dan gairah dalam bertempur secara berkesinambungan dengan setan.
Dewasa ini, para ilmuwan berkomentar tentang filsafat adanya mikroba-mikroba penggangu, "Sekiranya mikroba-mikroba tidak ada, maka sel-sel badan manusia pada suatu keadaan akan lemah dan kebas (karena kedinginan), dan kemungkinan tingginya postur manusia tidak akan melewati 80 sentimeter; semuanya dalam bentuk manusia-manusia cebol. Dengan demikian, manusia hari ini memperoleh kekuatan dan tinggi tubuh yang lebih karena mereka selalu dalam kontraksi dengan mikroba-mikroba pengganggu itu.
Demikian juga ruh manusia dalam berkonfrontasi dengan setan dan hawa nafsu.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa setan memiliki tugas untuk menyelewengkan para hamba Tuhan. Setan sejak awal penciptaannya memiliki kekudusan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Setan dengan ikhtiar penuhnya jatuh, menyimpang dan memilih sendiri untuk celaka. Oleh karena itu, Tuhan tidak menciptakan iblis sebagai setan. Ia sendiri yang menghendaki dirinya menjadi setan. Namun, tindakan setaninya itu tidak sekedar mencelakakan para hamba Tuhan, tetapi juga merupakan tangga kesempurnaan mereka. (Perhatikan baik-baik)
Kendati demikian, pertanyaan yang tersisa adalah mengapa Tuhan mengabulkan permohonannya untuk tetap hidup? Mengapa Tuhan tidak melenyapkannya sejak dahulu?
Jawaban pertanyaan ini sama dengan jawaban yang telah kami sebutkan di atas. Dengan ungkapan lain, alam semesta adalah arena ujian dan cobaan. (Ujian ini adalah wasilah pembinaan dan penyempurnaan manusia). Dan kita ketahui, ujian hanya berarti bila berhadapan dengan musuh-musuh besar, krisis-krisis kehidupan yang datang menekan.
Tentu saja, sekiranya setan tidak ada, hawa nafsu dan sifat was-was manusia akan ditempatkan menjadi medan ujian baginya. Namun, dengan kehadiran setan, tanur ujian ini semakin membara, lantaran setan adalah pelaku eksoteris (lahir), sementara hawa nafsu adalah pelaku esoteris (batin).


Jawaban atas Sebuah Pertanyaan
Satu pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana mungkin Tuhan membiarkan kita sendiri berkonfrontasi dengan musuh tanpa welas asih dan kuat ini?
Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan menaruh perhatian terhadap satu poin, yaitu -sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an- bahwa Allah swt. mempersenjatai mukminin dengan para malaikat sebagai lasykar mereka untuk membangun dunia bersama kekuatan-kekuatan gaib dan maknawi yang mereka miliki dalam rangka memerangi diri sendiri (jihâd an-nafs) dan bertempur melawan musuh.
Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah", kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka [dengan mengatakan], 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; gembirakanlah mereka dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat ....'" (QS. Fushshilat [33]: 30-31)
Poin penting lainnya adalah setan sekali-kali tidak akan masuk ke relung hati kita. Dan ia tidak akan dibiarkan melewati batas negara ruh tanpa memegang pasport. Serangannya tidak pernah membuat manusia lalai. Ia masuk ke dalam kediaman hati kita dengan ijin kita. Ya! Ia masuk melalui pintu, tidak melalui celah-celah rumah hati kita. Dan kitalah yang membuka pintu baginya untuk masuk. Demikianlah di dalam Al-Qur'an ditegaskan, "Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya [setan] hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah." (QS.An-Nahl [16]: 99-100)
Secara asasi, perbuatan-perbuatan manusialah yang menyediakan lapangan bagi setan untuk melakukan infiltrasi. Sebagaimana disinggung dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra' [17]: 27)
Namun di atas segalanya, untuk meraih keselamatan dari jerat-jerat setan dan prajuritnya dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti syahwat, pusat-pusat kerusakan, politik-politik busuk, sekte-sekte yang menyimpang, budaya-budaya rusak (fâsid) dan merusak (mufsid), jalan untuk selamat hanyalah berlindung kepada iman dan takwa, serta sinar kasih Tuhan Yang Mahakasih, dan menyerahkan diri kepada Dzat Yang Mahakudus. Al-Qur'an berfirman, "... kalau tidaklah karena rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja [di antaramu]." (QS. An-Nisa [4]: 83)

28. Apakah Keabadian di dalam Neraka Selaras dengan Keadilah Ilahi?
Di dalam surat Hud [11], ayat 106 kita membaca, "Adapun orang-orang yang celaka, maka [tempatnya] di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas [dengan merintih]. Mereka kekal di dalamnya ...."
Dengan menyimak ayat suci di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita dapat menerima manusia yang selama hidupnya -maksimal usianya seratus tahun, misalnya-melakukan pekerjaan buruk, dan lenyap dalam kekufuran dan dosa, namun usia seratus tahun ini harus dibayar dengan siksa seribu tahun?
Mereka yang mengajukan pertanyaan ini lalai akan satu poin penting, yaitu perbedaan antara hukuman konvensional dan hukuman penciptaan yang merupakan hasil dari rangkaian realitas perbuatan dan kehidupan.


Penjelasan
Terkadang pembuat hukum merumuskan sebuah hukum sehingga setiap orang yang melanggarnya harus membayar tebusan uang dalam jumlah tertentu, atau harus berdiam di dalam penjara selama beberapa waktu. Tentu, dalam asumsi seperti ini kesesuaian antara pelanggaran dan hukuman harus diperhatikan. Hanya lantaran pelanggaran kecil, ia tidak akan dieksekusi atau mendapatkan hukuman abadi. Dan sebaliknya, karena perbuatan seperti membunuh, lalu ia dikenakan hukuman sehari penjara saja, hukuman seperti ini tidaklah memiliki arti baginya. Hikmah dan keadilan menjawab bahwa kedua hukuman ini harus setimpal.
Akan tetapi, hukuman yang pada hakikatnya adalah efek natural sebuah perbuatan dan termasuk tipologi penciptaan, atau hasil langsung perbuatan tersebut di hadapan manusia, ia tidak menerima asumsi tersebut di atas, baik dalam kaitannya dengan efek-efek perbuatan di alam dunia ini ataupun di alam yang lain.
Contoh, seseorang melanggar aturan lalu-lintas; melaju melebihi batas kecepatan yang telah ditentukan, berlomba tanpa sebab, dan melintas zona terlarang. Barangkali karena beberapa kali melanggar aturan, ia mengalami tabrakan dan patah tangan serta kakinya, atau akan menderita kelumpuhan seusia hidupnya. Resiko buruk akibat sebuah kesalahan kecil ini jelas tidak mencerminkan keadilan (jika ditinjau dari sisi hukuman konvensional). Tapi, hal ini tidak berasal dari sisi hukuman-hukuman konvensional lalu-lintas jalan raya yang di dalamnya keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman harus mendapatkan perhatian. Kondisi ini merupakan dampak alami dari perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Dan ia sendirilah yang membuat dirinya terpuruk ke dalam kondisi tersebut.
Demikian juga ketika dianjurkan kepada Anda agar jangan mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol atau bahan-bahan psikotropika lainnya. Lantaran dalam waktu yang singkat, semua jenis minuman itu akan mengoyak hati, perut, otak dan syaraf Anda. Kini sekiranya Anda mengkonsumsinya, niscaya Anda akan menderita syaraf lemah, penyakit-penyakit hati, perut luka dan kerusakan pembuluh darah. Hanya beberapa hari menuruti hawa nafsu, Anda terpaksa menjalani sisa hidup Anda di dalam siksa yang pedih. Di sini tak seorang pun akan keberatan dengan ketaksetimbangan antara pelanggaran dan hukuman tersebut.
Kini anggaplah orang seperti ini -alih-alih seratus tahun usianya- seribu tahun atau sejuta tahun sekalipun ia bermukim di dunia ini, tentu saja ia harus menahan derita dan azab selama waktu yang panjang ini lantaran beberapa hari saja menuruti hawa nafsunya.
Tentang banyaknya azab dan hukuman kehidupan ukhrawi adalah masalah yang melebihi masalah duniawi. Dampak-dampak riel sebuah perbuatan dan hasil-hasil pembawa mautnya barangkali senantiasa bersandar kepada manusia. Perbuatan-perbuatan itu sendirilah nanti yang akan menjelma di hadapan manusia (tajassum al-a'mâl). Dan lantaran kehidupan alam sana adalah kehidupan abadi, perbuatan baik dan buruk juga abadi.
Sebelumnya telah kami singgung bahwa hukuman dan siksa pada Hari Kiamat memiliki dampak riel yang lebih kuat. Al-Qur'an berfirman, "Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh [azab] yang mereka selalu memperolok-olokkannya." (QS. al-Jatsiyah [45]: 33)
Al-Qur'an juga berfirman, "... dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah Kamu kerjakan." (QS. Yasin [36]: 54)
Muatan ayat ini, kendati terdapat sedikit perbedaan, juga terkandung dalam ayat-ayat yang lain.
Dengan demikian, ruang untuk pertanyaan ini tidak tersisa lagi, bahwa mengapa kesetimbangan antara hukuman dan pelanggaran tidak diperhatikan?
Manusia harus terbang dengan dua sayap iman dan amal saleh demi mendapatkan kenikmatan surgawi dan kebahagiaan berada di hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Kini, dengan menuruti hawa nafsu barang sedetik atau seratus tahun lamanya, ia telah mematahkan kedua sayapnya sendiri dan untuk selamanya ia harus menderita dalam kehinaan. Di sini, aspek ruang dan waktu, serta ukuran pelanggaran tidak menjadi pokok persoalan. Yang menjadi tolok ukur adalah sebab dan akibat serta dampak lama dan singkatnya. Sebuah korek kecil boleh jadi dapat membakar seisi kota. Dan dengan menanam satu gram duri, barangkali setelah beberapa waktu, sahara yang luas penuh dengan duri dan dapat menggangu manusia selamanya. Demikian juga dengan menanam satu gram bunga, barangkali dengan berlalunya sang waktu, akan tercipta sahara yang dihiasi bunga-bunga yang begitu indah mewangi sehingga semerbak baunya menggairahkan jiwa dan memuaskan hati.
Kini sekiranya seseorang bertanya apa keseimbangan antara sebatang korek dengan terbakarnya sebuah kota, dan antara beberapa tanaman kecil dengan sebuah sahara duri. Maka, perbuatan-perbuatan baik dan buruk juga demikian adanya. Dan barangkali dampak keabadian yang teramat panjang menjadi kenangan dan memori baginya. (Perhatikan baik-baik)
Masalah yang penting di sini adalah, para nabi besar dan washi Ilahi telah memberikan peringatan kepada kita bahwa dampak maksiat dan dosa ini adalah azab yang abadi, dan dampak ketaatan dan kebajikan adalah kenikmatan abadi. Persis seperti peringatan para penjaga taman yang telah menjelaskan kepada kita dampak keluasan tanaman berduri dan bunga tersebut. Dan kita sendiri dengan sadar yang memilih jalan ini.
Di sini kepada siapa kita harus ajukan keberatan, dan kesalahan siapa yang harus kita cari, serta hukum mana yang kita harus protes, selain pada diri kita sendiri?


CATATAN KAKI:
Tafsir-e Nemuneh, jilid 3, hal. 365.
Tafsir-e Nemuneh, jilid 11, hal. 312.
Majma' al-Bayân, jilid 9, hal. 31. Hadis yang serupa juga terdapat dalam ad-Durr al-Mantsûr dan Tafsir Rûh al-Ma'ânî dengan sedikit perbedaan. Hadis tentang masalah ini banyak jumlahnya.
Tafsir Ali bin Ibrahim, menukil dari Nûr ats-Tsaqalain, jilid 4, hal. 580.
Al-Mîzân, jilid 18, hal. 61.
Nahjul Balâghahh, khutbah 178.
Tafsir-e Nemuneh, jilid 20, hal. 440.
Tafsir-e Payâm-e Qur'ân, jilid 1, hal. 423.
Tafsir-e Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 501.

7
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Konsep Kenabian

29. Apakah Berakhirnya Silsilah Kenabian Selaras dengan Cara Manusia untuk Meniti Kesempurnaan?
Tidakkah mungkin aktifitas masyarakat akan berhenti? Tidakkah jalan kesempurnaan itu memiliki batas? Tidakkah kita melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa manusia sekarang ini telah mencapai ilmu pengatahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan manusia masa lalu?
Oleh karena itu, bagaimana mungkin kantor kenabian secara keseluruhan tutup dan manusia dalam meniti jalan kesempurnaannya akan kehilangan kepemimpinan nabi-nabi baru?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jelas bila kita perhatikan bahwa acapkali manusia mencapai tingkatan kedewasaan berpikir dan berbudaya, ia dapat melanjutkan perjalanannya menuju kesempurnaan dengan senantiasa memanfaatkan prinsip dan ajaran yang secara umum telah diberikan oleh nabi pamungkas, tanpa perlu lagi kepada syariat baru.
Ketika seseorang telah mencapai suatu jenjang pendidikan, ia masih memerlukan seorang pengajar dan arahan baru sehingga ia dapat menempuh jenjang berikutnya. Namun, tatkala ia mencapai jenjang doktoral, mujtahid dan spesialis di suatu bidang ilmu, ia tidak lagi menjalani pendidikannya di bawah bimbingan dosen atau guru baru, tetapi bersandar pada apa yang telah didapatkannya dari para dosennya yang terakhir. Ia meluangkan waktunya untuk kembali melakukan penelitian dan pengkajian ilmu yang telah diraihnya selama ini.
Dengan kata lain, ia memecahkan persoalan-persoalannya berdasarkan kaidah-kaidah umum yang telah diperolehnya dari dosen-dosen terakhir. Oleh karena itu, dengan berlalunya waktu, ia tidak memerlukan lagi agama dan ajaran baru. (Perhatikan baik-baik).
Setiap nabi terdahulu telah memberikan kepada manusia peta dari setiap bagian perjalanan ini sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan. Sangat jelas bahwa dengan mendapatkan peta perjalanan secara umum, ia tidak lagi memerlukan peta baru. Uraian ini merupakan penjelasan atas redaksi riwayat tentang berakhirnya silsilah para nabi. Dan Nabi saw. adalah peletak batu terakhir istana menawan dan kokoh risalah Ilahi ini.
Semua ini adalah pembahasan ihwal tidak perlu adanya ajaran dan agama baru. Akan tetapi, masalah kepemimpinan dan imâmah yang merupakan konsep universal untuk mengimplementasikan fondasi dan hukum-hukum serta menolong orang-orang yang lemah di tengah perjalanan, adalah masalah lain. Manusia sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri dari keperluan ini. Atas dasar inilah, berakhirnya silsilah konsep kenabian tidak berarti berakhirnya silsilah konsep imâmah, sebab penjelasan konsep kenabian dan implementasi praktisnya tanpa keberadaan seorang pemimpin maksum Ilahi mustahil dapat terwujud.

30. Apakah Ajaran yang Dimiliki oleh Nabi saw. sebelum Diutus sebagai Nabi?
Tidak syak lagi bahwa sebelum diutus menjadi nabi (bi'tsah), Nabi saw. tidak pernah sujud kepada berhala dan menyimpang dari garis tauhid. Dan sejarah kehidupannya dengan baik merefleksikan makna ini. Akan tetapi, ajaran manakah yang menjadi ikutan Nabi saw. sebelum periode pengutusan? Hal ini masih menjadi bahan dialog di antara ulama.
Sebagaian berpendapat bahwa Nabi saw. mengikuti ajaran Nabi Isa a.s., lantaran sebelum periode bi'tsah, ajaran yang resmi dan belum dihapus oleh ajaran lain adalah ajaran Nabi Isa a.s.
Sebagaian yang lain berpendapat bahwa Nabi saw. adalah pengikut ajaran Nabi Ibrahim a.s., karena Nabi Ibrahim a.s. merupakan Syaikh Al-Anbiyâ'; bapak para nabi. Sebagian ayat pun menerangkan Islam sebagai ajaran Nabi Ibrahim a.s., "... agama orang tuamu Ibrahim ...." (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Sebagian lagi mengungkapkan ketidaktahuan mereka dan berkata, "Kita tahu bahwa Nabi saw. memiliki ajaran. Namun, ajaran apa? Hal ini tidak jelas bagi kita."
Meski masing-masing pendapat itu memiliki alasan, tetapi tidak satu pun yang dapat dipastikan. Namun, yang lebih mendekati kebenaran di antara ketiga pendapat di atas adalah pendapat yang keempat; bahwa Nabi saw. secara pribadi memiliki program khusus dari sisi Allah Swt. dan beramal berdasarkan program tersebut. Program khusus ini adalah ajaran khusus Nabi saw. hingga masa Islam diturunkan untuknya.
Dalil pendapat ini bertolak dari sebuah hadis yang terdapat di dalam Nahjul Balâghah: "Sejak masa Rasul saw. disapih, Allah menugaskan malaikatnya yang terbesar guna membinanya sesuai jalan-jalan kemuliaan dan budi pekerti, siang dan malam." Penugasan malaikat ini adalah dalil atas adanya program khusus bagi Nabi saw.
Dalil lain adalah tidak satu pun sejarah yang melaporkan bahwa Nabi saw. sibuk beribadah di dalam sinagog (peribadatan agama Yahudi) dan gereja. Beliau tidak pernah berada di samping seorang kafir, dan juga tidak di sisi Ahli Kitab untuk beribadah di tempat-tempat ibadah mereka. Sementara itu, beliau harus melanjutkan tongkat estafet dari nabi-nabi sebelumnya di atas jalan tauhid. Dan Nabi saw. konsisten pada prinsip akhlak mulia dan penyembahan kepada Tuhan.
Di samping itu, terdapat riwayat yang mutawatir sebagaimana yang dinukil oleh Allamah al-Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr, bahwa Nabi saw. sejak usia belia ditopang oleh Ruhul Kudus. Berkat penopangan ini, beliau hidup berdasarkan ilham dari Ruhul Kudus.
Allamah Al-Majlisi secara pribadi meyakini bahwa Nabi saw. sebelum memegang kedudukan risalah telah menjadi seorang nabi. Terkadang para malaikat bercakap dengannya dan beliau juga mendengarkan suara mereka. Dan terkadang beliau memperoleh ilham dari Allah Swt. dalam mimpi. Setelah genap berusia empat puluh tahun, beliau mencapai kedudukan pengemban risalah, dan Al-Qur'an serta Islam secara resmi diturunkan kepada beliau. Allamah Al-Majlisi mengajukan enam dalil atas pendapat yang terakhir ini. Sebagian dalil-dalil tersebut sesuai dengan apa yang telah kami uraikan di atas.

31. Apa Perbedaan antara Kenabian (nubuwah), Kepemimpinan (imâmah) dan Kerasulan (risâlah)?
Berdasarkan arahan-arahan Al-Qur'an dan beberapa hadis yang menjelaskan orang-orang yang ditugaskan oleh Allah Swt., mereka memiliki kedudukan yang berbeda-beda:


a. Kedudukan Kenabian (Nubuwah)
Kedudukan kenabian adalah sebuah kedudukan penerimaan wahyu dari Allah Swt.. Oleh karena itu, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dan menyampaikannya kepada orang-orang yang menghendakinya.


b. Kedudukan Kerasulan (Risâlah)
Kedudukan kerasulan adalah kedudukan yang mengemban tugas penyampaian wahyu, penyebaran hukum-hukum Tuhan, dan pembinaan jiwa-jiwa manusia melalui pengajaran ilmu dan menyucian diri. Oleh karena itu, rasul adalah orang yang bertugas untuk mengajak manusia kepada Tuhan dengan segenap upaya serta memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Ia berusaha untuk mengusung sebuah revolusi budaya, pemikiran dan ideologi.


c. Kedudukan Kepemimpinan (Imâmah)
Imâmah adalah kepemimpinan umat. Sejatinya, imam adalah seorang yang -dengan membentuk sebuah pemerintahan Ilahi dan memperoleh kekuasaan yang diperlukan- berupaya untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Dan sekiranya tidak mampu secara resmi mendirikan pemerintahan, ia tetap harus berupaya semaksimal kemampuan yang dimilikinya.
Dengan kata lain, tugas-tugas imam adalah menjalankan ketentuan Ilahi, sementara tugas-tugas rasul adalah menyampaikan ketentuan-ketentuan ini. Atau, rasul "menunjukkan jalan", dan imam "mengantarkan sampai ke tujuan".
Jelas bahwa kebanyakan para nabi, seperti Nabi saw., memiliki ketiga kedudukan di atas. Nabi saw., di samping memperoleh wahyu dan menyampaikannya, juga bertugas dan berupaya membentuk sebuah pemerintahan dalam rangka penerapan hukum-hukum Ilahi, dan menggelontorkanya melalui jalan batin dalam pembinaan jiwa.
Singkatnya, imâmah merupakan kepemimpinan yang berdimensi bendawi dan maknawi, jasmani dan ruhani, lahir dan batin. Imam adalah kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, pemimpin agama, pembina akhlak, pemimpin lahir dan batin.
Dari satu sisi, imam memimpin orang-orang yang memiliki kelayakan menempuh jalan kesempurnaan dengan kekuatan spiritual. Dengan kekuatannya, ia mengajarkan orang-orang yang buta aksara dan dengan kekuasaan pemerintahannya atau kekuatan hukum lainnya, ia menerapkan asas keadilan.

32. Bagaimana Mungkin Kenabian dan Imâmah Diperoleh pada Usia Belia?
Di dalam surat Maryam [19], ayat 12 kita membaca, "Hai Yahya, ambillah al-Kitab [Taurat itu] dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak."
Berangkat dari ayat ini, soal yang kemudian mengemuka adalah bagaimana mungkin seorang manusia pada masa kecilnya telah mencapai kedudukan kenabian dan kerasulan?
Benar bahwa masa berseminya akal manusia biasanya memiliki batasan dan ukuran khusus. Akan tetapi, kita ketahui bahwa pada segenap manusia, terdapat orang-orang yang memiliki keistimewaan. Apa halangan bagi Allah Swt. -dengan alasan maslahat- menyingkat waktu sebagian hamba-hamba-Nya? Biasanya seseorang memerlukan waktu satu atau dua tahun untuk dapat berbicara. Sementara kita ketahui bahwa Nabi Isa a.s. telah dapat berbicara pada hari pertama kelahirannya ke dunia, itu pun dengan ucapan yang sarat makna yang -menurut kebiasaan umum- sebobot ucapan orang-orang dewasa.
Dari sini akan menjadi jelas bagi sebagian orang yang mempermasalahkan para Imam Syi'ah, yakni mengapa sebagian para imam maksum mencapai kedudukan kepemimpinan (imâmah) pada usia yang masih belia?
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah seorang sahabat Imam Al-Jawad bin Ali An-Naqi a.s. yang bernama Ali bin Asbath berkata, "Aku datang menghadap kepada Imam Al-Jawad a.s. (dan pada waktu itu beliau masih belia). Aku tegap berdiri di hadapannya dan memandangnya dengan seksama sehingga aku dapat mencamkan dalam benakku untuk kuceritakan segala apa yang telah terjadi kepada para sahabat sewaktu aku kembali ke Mesir (bahwa Imam al-Jawad a.s. masih belia). Pada saat aku berpikiran demikian, Imam Al-Jawad duduk (seakan-akan beliau dapat membaca seluruh pikiranku). Pandangannya mengarah kepadaku seraya berkata, 'Wahai Ali bin Asbath! Apa yang telah dilakukan oleh Allah Swt. mengenai imâmah persis dengan apa yang telah dilakukan oleh-Nya mengenai kenabian. Kadang-kadang Ia berfirman, '... Kami berikan kepada Yahya ....' dan kadang pula Dia berfirman tentang manusia, '... Tatkala manusia mencapai usia empat puluh tahun (masa baligh sempurna)....' Oleh karena itu, sebagaimana Allah Swt. mampu memberikan "hikmah" kepada manusia pada masa belianya, demikian juga Ia mampu untuk memberikan "hikmah" kepada manusia pada usia empat puluh tahun.'"
Sementara itu, ayat ini juga merupakan jawaban tegas bagi para pengkritik yang berpendapat bahwa Ali bukanlah pria pertama yang beriman kepada Rasulullah saw., lantaran ketika itu ia adalah seorang bocah kecil yang berusia sepuluh tahun, dan iman bocah sepuluh tahunan tidak dapat diterima.
Poin ini juga layak disebutkan di sini. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. kita membaca, "Sekelompok anak kecil datang kepada Nabi Yahya a.s. (yang masih kecil) seraya berkata, 'Ayo kita main bersama!' Yahya a.s. menjawab: 'Kita tidak diciptakan untuk bermain.' Di sini Allah Swt. berfirman, '... Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.'"
Tentu saja, maksud dari bermain di sini adalah menghabiskan waktu senggang tanpa alasan dan manfaat. Dengan ungkapan lain, sebuah kekonyolan. Karena, terkadang permainan digunakan untuk mencapai sebuah tujuan logis dan rasional. Sangat jelas bahwa permainan seperti ini termasuk pengecualian dalam masalah ini.

33. Apakah Hakikat Wahyu yang Serbamisteri itu?
Tidak syak lagi, kita tidak dapat menemukan data yang banyak tentang wahyu dan hakikatnya. Lantaran wahyu adalah salah satu jenis pengetahuan di luar jangkauan pengetahuan kita. Di samping itu, wahyu merupakan salah satu bentuk hubungan yang berada di luar hubungan-hubungan yang telah kita ketahui. Ranah wahyu bagi kita adalah sebuah ranah yang asing dan berada di luar pengetahuan kita.
Sebenarnya, bagaimana seorang manusia bumi dapat menjalin hubungan dengan Sumber Awal alam semesta? Bagaimana Tuhan Yang Azali dan Abadi serta Nir-batas dari segala dimensi dapat menjalin hubungan dengan makhluk yang serba terbatas dan mumkin al-wujud? Dan pada detik-detik turunnya wahyu, bagaimana Nabi saw. mendapatkan keyakinan bahwa hubungan ini bersumber dari-Nya?
Segenap soal yang diuraikan di atas merupakan pertanyaan-pertanyaan yang pelik bagi kita untuk menjawabnya. Dan bersikeras untuk memahaminya adalah sangat tidak beralasan.
Satu-satunya pembahasan yang rasional dan dapat diuraikan bagi kita adalah wujudnya atau kemungkinan adanya hubungan seperti ini bersifat misterius.
Kita berasumsi bahwa tidak satu pun dalil rasional yang dapat menafikan masalah seperti ini. Akan tetapi, sebaliknya, kita melihat dalam kosmos diri kita sendiri terdapat hubungan-hubungan batin yang tidak dapat kita interpretasikan. Hubungan-hubungan ini menunjukkan bahwa apa yang ada di atas rasa dan hubungan-hubungan kita juga memiliki cerapan dan pandangan-pandangan yang lain.
Tidak ada salahnya kita menjelaskan masalah ini dengan menyebutkan perumpamaan.
Anggaplah kita hidup di kota orang-orang buta -tentu saja orang-orang buta semenjak lahir- dengan dua mata yang mampu melihat. Segenap penduduk kota bercatur indra (seperti yang kita ketahui bahwa keseluruhan indra lahiriah manusia berjumlah lima) dan hanya kitalah orang yang berpanca indra. Dengan mata, kita melihat banyak kejadian yang terjadi di kota itu dan mewartakan kepada penduduk kota tersebut. Namun, mereka semuanya akan merasa takjub, apakah kelima indra misterius ini memiliki aktifitas yang sedemikian luas dan lapang? Semampu apa pun kita membahas indra penglihatan ini berikut aplikasinya, tidaklah berguna, kecuali kebingungan yang tersisa di benak mereka. Dari satu sisi, mereka tidak dapat mengingkari keberadaan panca indra ini, lantaran mereka mendapatkan efek beragam darinya dan merasakannya. Di sisi lain, mereka tidak dapat mendapatkan hakikat penglihatan tersebut, sebab mereka tidak pernah melihat seumur hidup mereka.
Kita tidak berasumsi bahwa wahyu merupakan indra keenam. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa wahyu ini merupakan satu jenis pengetahuan dan hubungan dengan alam gaib dan Dzat Kudus Ilahi. Karena kita tidak memiliki pengetahuan dan hubungan tersebut, kita tidak dapat mengetahui hakikatnya. Betapa pun kita beriman kepada keberadaannya melalui efeknya.
Maka sebatas ini, yang dapat kita lihat adalah adanya seorang manusia agung yang datang kepada umat manusia dengan membawa dakwah yang muatannya berada di luar pikiran mereka. Ia mengajak mereka kepada Tuhan dan ajaran-Nya dengan bukti mukjizat dan kekuatan supra-natural yang berada di luar kemampuan umat manusia, sehingga ia dapat mengadakan hubungan dengan dunia gaib. Efeknya tampak, namun hakikatnya laten.
Apakah kita telah mampu menyingkap seluruh rahasia jagad ini sehingga ketika kita bisa bersinggungan dengan fenomena wahyu dan sulit memahami hakikatnya, lalu mengingkarinya?
Kita bahkan di dunia ini melihat fenomena misterius yang tidak dapat kita interpretasikan. Coba perhatikan burung-burung yang suka eksplorasi, yang dalam perjalanan jauhnya melintasi angkasa dengan jarak delapan belas ribu kilometer dalam setahun, terbang dari kutub utara menuju kutub selatan dan demikian juga sebaliknya. Apakah kehidupan burung-burung yang sarat misteri itu sudah jelas bagi kita?
Bagaimana burung-burung ini menentukan arah terbangnya dan mengenal dengan baik jalan lintasnya? Terkadang pada waktu malam gelap gulita atau siang hari, mereka melanjutkan perjalanan panjang. Sementara ketika kita -tanpa alat-alat teknis dan penunjuk jalan- hendak melintasi bahkan satu per seratus jarak perjalanan mereka, segera kita akan kesasar. Hal ini merupakan sesuatu yang belum dapat disingkap oleh ilmu dan sains.
Sekelompok ikan yang habitatnya berada di kedalaman laut, biasanya pada saat bertelur mereka kembali ke tempat bertelur aslinya yang barangkali berjarak ribuan kilometer darinya. Dari mana mereka tahu dengan mudah tempatnya bertelur itu?
Fenomena-fenomena misterius seperti ini di alam yang kita huni ini sangatlah banyak. Dan segenap fenomena inilah yang mencegah kita untuk mengingkari dan menafikannya. Dan kita teringat penjelasan Ibnu Sina yang berkata, "Apabila Anda mendengar sesuatu yang aneh, janganlah segera Anda ingkari. Berikanlah sedikit kemungkinan sepanjang dalil pasti belum tersedia. Maka hal itu tidak akan menjadi kendala bagi Anda."
Kini lihatlah bagaimana upaya sia-sia kaum materialis dalam mengingkari masalah wahyu?


Logika Para Pengingkar Wahyu
Ketika masalah wahyu diuraikan, sebagian kaum materialis dengan tergesa-gesa seraya menyangkal: "Hal ini bertentangan dengan sains."
Dan ketika kita bertanya di manakah letak pertentanganannya dengan sains? Begitu yakin dan arogannya mereka mereka menjawab: "sekedar sesuatu tidak dapat dibuktikan oleh ilmu sains, sudah cukup bagi kami untuk mengingkarinya. Prinsip kami adalah asumsi bahwa segala sesuatu itu terbukti dengan standar empiris!"
Terlepas dari masalah ini, dalam menelaah penelitian-penelitian ilmiah tentang jiwa dan raga manusia, kita tidak bersinggungan dengan indra misterius yang dapat menghubungkan kita dengan dunia supranatural. Para nabi itu sejenis kita. Bagaimana dapat diyakini bahwa mereka memiliki pengetahuan dan indra di atas pengetahuandan indra kita?


Isykalan Dawam dan Jawaban Dawam
Keterlibatan kaum materialis tidak terbatas pada masalah ini saja. Dalam segenap urusan yang berkenaan dengan dunia metafisika, mereka bersikap seperti ini. Dalam mengoreksi kesalahan mereka, perlu kita sampaikan: "Janganlah Anda lupakan ruang lingkup ilmu. (Tentu saja bila maksud mereka adalah ilmu empirik). Parameter dan alat-alat yang digunakan untuk penelitian ilmiah, laboratorium, teleskop, mikroskop, ruang anatomi, semuanya bekerja dalam keterbatasan ini. Ilmu-ilmu dengan alat-alat dan parameter-parameter ini secara mutlak tidak dapat memberikan komentar di luar penelitian ilmu empirik; tidak menafikannya juga tidak memastikannya. Mengapa? Jawabannya juga jelas, bahwa parameter dan alat ilmu-ilmu itu memiliki kemampuan dan ruang lingkup aplikasi yang terbatas.
Instrumen setiap ilmu-ilmu alam juga khusus dalam ruang lingkupnya sendiri. Lebih dari itu, ia tidak memiliki kemampuan dan aplikasi. Sebagai contoh, apabila kita tidak melihat mikroba sel yang kita letakkan di balik teleskop raksasa astronomi, kita tidak dapat mengingkari keberadaan mikroba tersebut. Demikian juga, kita tidak dapat mempersoalkan apabila kita tidak dapat melihat planet Pluto dengan menggunakan mikroskop kecil.
Instrumen penelitian pada setiap subjek sesuai dengan disiplin ilmunya sendiri. Dan instrumen untuk mengenal dunia metafisik tidak lain adalah menggunakan penalaran akal yang membuka jalan bagi kita untuk masuk ke dunia tersebut.
Mereka yang mengeluarkan ilmu dari ruang lingkupnya, sejatinya bukanlah seorang ilmuwan, juga bukan seorang filsuf. Melainkan seorang pendakwa yang berbuat kekeliruan dan menyimpang dari jalannya.
Sebatas ini, kita melihat bahwa orang-orang besar datang dan mengetengahkan kepada kita masalah yang berada di luar kekuatan manusia dan menjalin hubungan dengan dunia di luar dunia materi. Namun, bagaimana hubungan misterius ini? Tidak jelas bagi kita. Yang terpenting adalah bahwa kita mengetahui adanya hubungan demikian.

34. Benarkah Nabi saw. itu seorang yang ummi?
Ada tiga kemungkinan yang populer ihwal pengertian "ummi": pertama, orang yang tidak belajar, kedua, orang yang lahir di bumi Makkah dan bangkit sebagai rasul (bi'tsah) dari Makkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat (yang buta huruf). Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini. Sebagaiman yang telah kami sebutkan, boleh jadi yang dimaksud adalah ketiga kemungkinan tersebut.
Realita bahwa Nabi saw. tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis, dapat diterima oleh para sejarawan. Dan Al-Qur'an juga dengan tegas menyebutkan kondisi beliau sebelum bi'tsah.
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya [Al-Qur'an] sesuatu kitab pun dan kamu tidak [pernah] menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya [kamu pernah membaca dan menulis], benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu. (QS. Al-'Ankabut [29]: 48)

Pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Makkah, ibu kota Hijaz, jumlah orang-orang yang mampu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dan hanya seorang wanita yang pandai membaca dan menulis.
Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi saw. belajar membaca dan menulis pada seorang guru, beliau akan terkenal saat itu. Seandainya kita tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya barkata, "Kamu kan pernah belajar"? Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.
Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Nabi saw. merupakan penegas kenabian beliau, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah dakwahnya dapat ternafikan.
Kedua hal ini merupakan pembahasan sebelum masa kenabian. Demikian juga, setelah periode bi'tsah, tidak ada catatan sejarah bahwa beliau pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayat beliau.
Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak belajar bukan berarti tidak berpendidikan (tidak pandai). Dan orang yang menafsirkan bahwa ummi itu bermakna tidak berpendidikan, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.
Melalui pengajaran Ilahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Nabi saw. untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak syak lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian.
Argumentasinya adalah sebagaimana yang dinukil dalam riwayat dari para imam Ahlul Bait a.s., "Nabi saw. dapat membaca dan atau memiliki kemampuan untuk membaca, juga kemampuan untuk menulis." Namun, Nabi saw. tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas dakwahnya kepadanya.
Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan ilmu, bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan. Beliau sendiri adalah kesempurnaan yang nyata.
Atau klaim sebagian orang bahwa ayat, "Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah...." (QS. Al-Jumu'ah [62]: 2) dan ayat-ayat lain dengan redaksi yang sama merupakan dalil bahwa Nabi saw. membacakan Al-Qur'an kepada masyarakat melalui tulisan. Klaim ini merupakan kesalahan besar. Karena, kosa kata tilâwah (membacakan, yang terdapat dalam ayat tersebut) dapat diartikan dengan membaca melalui tulisan dan membaca melalui hafalan. Mereka yang membaca Al-Qur'an, syair-syair, atau doa-doa melalui hafalan, dapat dikatakan bahwa mereka sedang melakukan tilâwah. Dan penggunaan semacam ini umum sekali.

35. Apakah Tujuan dari Mikraj?
Sudah jelas bagi kita bahwa Mikraj Rasulullah saw. tidaklah bermaksud untuk melihat Tuhan di atas langit sebagaimana anggapan orang-orang awam. Sayangnya, sebagian cendekiawan Barat, lantaran ketidaktahuannya atau ingin menggoncang Islam, menyoroti sedemikian rupa akan perjumpaan dengan Tuhan ini. Di antara mereka, Georgia dalam buku, Muhammad Payambariy keh az Nou Bayad Shenâkht berkata, "Dalam perjalanan Mikraj, Muhammad sampai di suatu tempat sehingga ia dapat mendengar suara pena Tuhan dan memahami bahwa Tuhan sedang sibuk menjaga hisâb (perhitungan) umat manusia. Akan tetapi, meskipun ia mendengar pena Tuhan, ia tidak melihat-Nya! Karena tidak seorang pun yang dapat melihat Tuhan meskipun ia adalah seorang nabi."
Hal ini menunjukkan bahwa jenis pena adalah pena kayu. Ketika bergerak di atas kertas pena itu bergerak kasar dan menimbulkan suara. Inilah salah satu contoh dari sekian khurafat dan takahayul.
Sebenarnya, tujuan Mikraj adalah agar ruh Nabi saw. menyaksikan rahasia keagungan Tuhan di jagad raya, khususnya menyaksikan alam atas yang merupakan kumpulan tanda-tanda keagungan-Nya. Selain itu, supaya beliau kembali menemukan pemahaman dan wawasan baru dalam memberikan petunjuk dan memimpin umat manusia.
Tujuan ini secara jelas tertuang di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 1 dan surat An-Najm [53], ayat 18.
Terdapat juga riwayat yang menarik mengenai tema ini yang bersumber dari Imam Ash-Shadiq a.s. dalam menjawab pertanyaan sebab Mikraj Rasul saw. Beliau berkata, "Allah Swt. sama sekali tidak memiliki ruang, dan tidak berada dalam lintasan waktu. Akan tetapi, Ia menghendaki para malaikat dan para penghuni langit menghormati Nabi saw. yang melintas di antara mereka. Dan juga ingin menunjukkan kepada Nabi-Nya akan keagungan-Nya yang serba menakjubkan, sehingga Nabi saw. menerangkannya kepada masyarakat setelah kembali."

36. Apakah Mi'raj Sejalan dengan Perkembangan Sains Dewasa ini?
Dahulu, sebagian filsuf meyakini objek selestial (planet-planet) sembilan pandangan Ptolemius yang berada di balik garis yang menyerupai irisan bawang. Mereka beranggapan bahwa penghalang utama Mikraj ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan adalah adanya objek selestial ini dan kemestian Kharq wa Ilitiyâm (conglutination).
Namun, dengan runtuhnya fondasi pandangan astronomi Ptolemius, masalah Kharq dan Ilitiyâm telah dilupakan. Akan tetapi, dengan kemajuan yang dicapai oleh ilmu astronomi, permasalahan baru muncul sekaitan dengan tema Mikraj dan tertuang dalam bentuk statemen-statemen sebagai berikut:
a. Untuk melakukan perjalanan ke angkasa, kendala pertama yang harus dihadapi adalah adanya kekuatan gravitasi bumi. Dan untuk mengalahkan kekuatan gravitasi ini, kita harus menggunakan peralatan super canggih (sophisticated). Sebab, untuk lari dari "domain gravitasi bumi" diperlukan kecepatan minimal sama dengan empat puluh ribu kilometer setiap jam.
b. Kendala yang lain, hampa udara di luar ruang bumi yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup.
c. Kendala ketiga, panas terik matahari dan dingin yang membekukan pada bagian matahari bersinar secara langsung dan bagian yang tidak terkena sinar matahari.
d. Kendala keempat, sinar-sinar yang berbahaya yang berada di luar atmosfer, seperti sinar-sinar kosmos, sinar ultra violet, dan sinar X (X-Ray). Jika sinar ini berukuran kecil dan mengenai badan manusia, ia tidak akan membahayakan organisme badan manusia. Namun, di luar atmosfer bumi sinar ini sangat luar biasa banyaknya dan pembawa maut. Akan tetapi, dengan adanya lapisan ozon, kita penghuni bumi terlindung dari pendarannya.
e. Problema kondisi tanpa beban. Meskipun manusia secara gradual dapat membiasakan diri dengan kondisi tanpa beban, akan tetapi bagi kita penduduk bumi apabila pindah ke atmosfir lain tanpa adanya pendahuluan dan berhadapan dengan kondisi tanpa beban, sangat sulit -kalau tidak mustahil- bagi kita untuk dapat bertahan.
f. Dan pada akhirnya, kesulitan waktu adalah halangan keenam dan merupakan halangan utama bagi manusia untuk dapat menembus atmosfir. Lantaran sains dewasa ini mengklaim bahwa tidak ada kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Dan apabila seseorang hendak melancong ke seantero langit, kecepatan yang dimilikinya haruslah melebihi kecepatan cahaya.
Dalam menanggapi statemen-statemen seperti ini perlu kiranya kita memperhatikan beberapa poin di bawah ini:
a. Kita mengetahui bahwa dengan segenap kesulitan yang ada dalam perjalanan ruang angkasa, pada akhirnya manusia dapat memecahkan kesulitan ini dengan kekuatan sains yang dimilikinya. Dan selain kesulitan waktu, segenap kesulitan lainnya telah terpecahkan, dan kesulitan waktu juga berkaitan dengan perjalanan ke tempat-tempat jauh.
b. Tanpa syak lagi bahwa masalah Mikraj tidak berdimensi biasa, melainkan terjadi berkat kekuatan dan kekuasaan nir-batas Tuhan. Dan seluruh mukjizat para nabi terjadi dengan cara seperti ini. Dengan ungkapan lain, hal itu dapat terjadi secara rasional dan terselesaikan dengan kekuatan Tuhan.
Tatkala manusia dengan kemajuan sains memiliki kemampuan untuk menciptakan peralatan-peralatan super cepat, sedemikian cepat sehingga keluar dari domain gravitasi bumi; manusia menciptakan beraneka macam pesawat sehingga sinar laser pembawa maut di luar lapisan ozon dapat terkendali, ia mengenakan pakaian-pakaian yang dapat menjaganya dari panas dan dingin yang luar biasa, dengan latihan ia dapat membiasakan dirinya dalam kondisi tanpa beban. Ringkasnya, manusia dengan memanfaatkan kekuataannya yang terbatas dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Lalu, mengapa dengan kekuatan nir-batas Ilahi, kesulitan-kesulitan ini tidak dapat terpecahkan?!
Kita percaya bahwa Allah Swt. telah menganugerahkan kepada Nabi saw. kendaraan super cepat yang layak untuk meniti perjalanan ruang angkasa ini dan melindungi beliau dari bahaya-bahaya yang ada selama dalam perjalanan. Bagaimana kendaraan ini dan apa namanya? Buraq? Rafraf? Atau kendaraan yang lain? Pokoknya, kendaraan yang dikendarai oleh Nabi saw. adalah kendaraan misterius dan asing di telinga kita.
Terlepas dari semua itu, asumsi kecepatan maksimal yang telah disebutkan di atas telah mengguncang kalangan para ilmuwan, meskipun seorang Einstein dengan asumsinya yang kesohor dengan susah payah mempercayai asumsi tersebut.
Para ilmuwan hari ini berpendapat bahwa gelombang gravitasi tidak memerlukan waktu, berpindah dari satu sudut dunia ke sudut dunia lainnya dan menyisakan efek, dan bahkan, ada kemungkinan bahwa gerakan gravitasi ini berhubungan dengan luasnya jagad raya. (Kita ketahui bahwa jagad raya ini mengalami perkembangan, bintang dan sistem tata surya [kosmos] dengan cepat saling menjauh satu sama lainnya). Dan terdapat sistem tata surya (kosmos) yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya menjauh dari pusat alam semesta. (Perhatikan baik-baik).
Singkatnya, kesulitan-kesulitan yang telah disebutkan di atas tidak satu pun yang menyebabkan akal menganggap Mikraj sebagai kejadian yang mustahil. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat terpecahkan dengan menggunakan peralatan dan kekuatan yang ada.
Di atas segalanya, masalah Mikraj tidak hanya tidak mustahil secara rasional, juga tidak mustahil secara empirik dan sains dewasa ini. Semua dapat menerima ihwal supranaturalnya Mikraj ini. Dengan demikian, meskipun masalah ini dibuktikan melalui dalil naratif (naqli) yang definitif, tentu kita harus menerimanya dengan lapang dada.

37. Apakah Kemaksuman Para Nabi Berdimensi Jabr (Determinasi)?
Tatkala menelaah pembahasan ihwal ''ishmah", sebagian besar orang akan segera bertanya kepada diri mereka sendiri bahwa kedudukan 'ishmah merupakan sebuah anugerah Ilahi yang secara mesti diberikan kepada para nabi dan para imam. Dan seseorang yang menerima anugerah ini mendapat jaminan terjaga dari dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, kemaksuman mereka tidak termasuk sebagai keutamaan dan kehormatan bagi mereka. Siapa saja telah terliputi anugerah ini, ia akan terjaga dari segala dosa dan kesalahan, dan hal ini merupakan kemestian dari Allah swt.
Dengan demikian, berkat kedudukan 'ishmah, mustahil bagi mereka untuk dapat melakukan dosa dan kesalahan. Dan jelas bahwa meninggalkan kemustahilan tidak termasuk sebagai sebuah keutamaan. Umpamanya, sekiranya kita tidak berbuat aniaya terhadap orang-orang yang datang dalam kurun waktu seratus tahun yang akan datang atau seratus tahun sebelumnya, hal itu tidak akan menjadi kebanggaan bagi kita, lantaran tidak mungkin bagi kita untuk melakukan perbuatan ini.
Meskipun pembahasan ini tidak terfokus pada masalah pokok 'ishmah para nabi, akan tetapi mereka mempertanyakan keutamaan para nabi tersebut. Kini dengan memperhatikan beberapa poin di bawah ini, pertanyaan ini dapat terjawab dengan jelas:

a. Mereka yang menguraikan masalah ini tidak memperhatikan akar-akar 'ishmah para nabi. Mereka beranggapan bahwa kedudukan 'ishmah, misalnya, 'ishmah (kekebalan) terhadap sebagian penyakit yang bisa melalui jalan suntik dan bisa juga melalui jalan imunisasi. Dan barangsiapa telah diberikan suntikan, ia tidak akan pernah menderita penyakit, suka atau tidak suka.
Akan tetapi, kekebalan para maksum dari dosa bersumber dari derajat pengetahuan dan ketakwaan mereka. Persis seperti menghindar dari dosa-dosa yang dilakukan oleh setiap orang di antara kita berkat ilmu dan iman yang kita miliki. Ibarat seekor kancil dengan badan telanjang tidak akan melangkahkan kakinya di lorong dan di jalan. Demikian juga orang yang memiliki informasi cukup ihwal unsur-unsur destruktif obat-obat terlarang (psikotropika) bahwa pengaruh obat-obatan ini akan menyebabkan kematian secara perlahan. Maka, ia tidak akan pernah mau menjamahnya. Tentu saja, meninggalkan obat-obat terlarang ini merupakan sebuah keutamaan baginya yang bersumber dari ilmu yang dimilikinya. Dan pengetahuan ini -meskipun sedikit- tidak menimbulkan unsur pamaksaan, karena ia masih memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi obat-obat terlarang tersebut.
Atas alasan ini, kita berupaya meningkatkan derajat ilmu kita melalui pendidikan dan pengajaran, sehingga sekurang-kurangnya ilmu ini dapat melindungi diri dari dosa-dosa besar, perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.
Apakah mereka yang meninggalkan perbuatan dosa lantaran pendidikan dan pengajaran ini bukanlah sebuah keutamaan dan kebanggaan?
Dengan ungkapan lain, meninggalkan dosa bagi para nabi adalah mustahil secara praktis (muhâl 'âdî), bukan mustahil secara rasional (muhâl aqlî). Dan kita ketahui bahwa kemustahilan praktis selaras dengan kebebasan (ikhtiyar). Contoh, seorang alim dan mukmin membawa minuman keras ke masjid dan meminumnya di tengah-tengah barisan jamaah. Perbuatan ini tentu saja secara praktis mustahil, tidak secara rasional.
Singkatnya, ketinggian derajat ilmu dan iman para nabi sebagai sebuah kebanggaan dan keutamaan mereka, menjadi sebab utama sebuah kebangaan dan keutamaan lain, yaitu kedudukan 'ishmah. (Perhatikan baik-baik!).
Dan sekiranya seseorang bertanya; dari manakah mereka mendapatkan ilmu dan iman demikian itu? kita akan menjawab bahwa mereka mendapatkannya melalui inayah Allah Swt. Akan tetapi, dengan catatan (qaid) bahwa inayah-inayah Allah itu bukannya tanpa alasan. Mereka mendapatkan inayah Ilahi ini karena mereka memiliki kelayakan untuk itu. Sebagaimana Al-Qur'an menegaskan perihal Nabi Ibrahim, "Dan [ingatlah], tatkala Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat [perintah dan larangan], lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia ....'". (QS. Al-Baqarah [2]: 124)
Ihwal Nabi Yusuf a.s., Al-Qur'an menuturkan, "Dan tatkala ia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Yusuf [12]: 22)
Redaksi "Kadzâlika Nujzil Muhsinin (demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik) merupakan bukti atas apa yang kita maksudkan; bahwa mereka mendapatkan itu karena kelayakan tersebut. Nabi Yusuf telah menyiapkan dirinya sehingga layak menerima anugerah agung Ilahi.
Tentang Nabi Musa a.s., terdapat redaksi yang menjelaskan realitas ini. Al-Qur'an menyebutkan, "...Kami telah menguji dengan beberapa ujian; maka tinggallah engkau selama beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan, wahai Musa." (QS. Thaha [20]: 40)
Jelas bahwa dalam diri para nabi ini terdapat berbagai kelayakan dan potensi. Namun, mengaktualkan potensi dan kelayakan ini bukan karena determinasi (ijbâr), tetapi berdasarkan kehendak bebas mereka sendiri sehingga dapat melintasi jalan ini. Dan betapa banyak orang yang memiliki berbagai kelayakan, tetapi ia tidak mengaktualkannya dan tidak mengoptimalkannya. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, para nabi mendapatkan anugerah mulia ini lantaran mereka memikul tanggung jawab yang berat di pundak mereka. Dengan kata lain, Allah Swt. memberikan kekuatan dan kemampuan kepada mereka sesuai dengan kadar tanggung jawab yang mereka emban, dan hendak menguji mereka dengan tanggun jawab ini.

b. Jawaban yang lain yang dapat diberikan atas pertanyaan di atas adalah, meskipun dengan dukungan inayah Ilahi ('ishmah) tersebut para nabi telah kebal dari perbuatan dosa dan kesalahan sehingga mereka dapat menarik kepercayaan umat dan menjadi pelita hidayah bagi mereka, namun pada saat yang sama, pintu "tark al-aulâ" (meninggalkan yang lebih utama); yaitu sebuah pekerjaan yang tidak termasuk sebagai perbuatan dosa dan bukan kelas mereka untuk melakukannya, masih terbuka di hadapan mereka.
Kebanggaan mereka terletak pada upaya meninggalkan tark al-aulâ, dan upaya ini merupakan ikhtiar penuh mereka. Apabila tark al-aulâ datang menyapa kehidupan mereka, tak ayal lagi mereka akan mendapatkan celaan ('itâb) Ilahi secara setimpal. Dan terkadang mereka tersandung dari pelbagai deprivasi. Keutamaan apakah yang lebih besar dari realita bahwa lantaran menaati perintah Ilahi mereka meninggalkanidak melakukan tark al-aulâ?
Oleh karena itu, kebanggaan para nabi terletak pada penerimaan tanggung jawab sesuai dengan kadar anugerah dari Tuhan. Dan bahkan terletak pada keengganan mereka untuk menjamah ladang tark al-aulâ. Dan sekiranya tark al-aulâ mendatangi mereka, mereka dengan segera harus menebusnya.

8
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

38. Apakah Perbedaan antara Mukjizat dan Kekuatan Supranatural Para Penyihir serta Petapa?
a. Mukjizat bersandar pada kekuatan Ilahi, sementara sihir dan kekuatan supranatural para penyihir dan petapa (murtâdhan) bersumber dari kekuatan manusia. Dengan demikian, mukjizat bersifat nir-batas dan begitu agung, sedangkan kekuatan sihir dan supranatural para petapa (asketik) bersifat terbatas.
Dengan kata lain, mereka hanya dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan lantaran telah melakukan latihan. Dan untuk mewujudkan kekuatan tersebut mereka telah memiliki persiapan. Mereka sekali-kali tidak dapat melakukan perbuatan yang diusulkan kepadanya. Hingga kini, belum dijumpai seorang petapa dan penyihir berkata, "Aku siap memenuhi apa pun yang Kamu inginkan." Sebab, mereka dapat melakukan perbuatan sihir dan supranatural itu hanya berdasarkan pelatihan yang dijalaninya.
Benar bahwa para nabi secara pribadi menunjukkan mukjizat dan sebelum adanya tuntutan dari manusia, seperti Al-Qur'an bagi Nabi saw., mukjizat tongkat dan tangan bercahaya bagi Nabi Musa a.s., menghidupkan para mayit bagi Nabi Isa a.s. Namun, ketika umat meminta sesuatu yang baru, seperti, membelah bulan, mengenyahkan segala musibah yang dipaksakan oleh Fir'aun, turunnnya makanan dari langit untuk para Hawariyyun, dan semisalnya, mereka sekali-kali tidak menolaknya. (Tentu saja dengan catatan, bahwa permintaan itu untuk mendapatkan kebenaran, bukan karena keras kepala dan angkuh).
Oleh karena itu, kita melihat dalam kisah Nabi Musa a.s., bagaimana Fir'aun meminta kesempatan yang panjang dari beliau sehingga ia dapat mengumpulkan para tukang sihirnya dan mempersiapkan segala sesuatunya. "Maka himpunkanlah segala daya [sihir] kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris ...." (QS. Thaha [20]: 64) Mereka memusatkan seluruh kekuatan dan mendemonstrasikannya. Sementara Nabi Musa a.s. tidak memerlukan persiapan-persiapan pendahuluan ini. Dan setelah menyaksikan sihir para penyihir tersebut, beliau tidak meminta waktu untuk bertempur dengan mereka, karena beliau bersandar kepada kekuatan Ilahi, sedangkan para penyihir bersandar kepada kekuatan terbatas manusia.
Atas dasar ini, dalil kekuatan supranatural manusia dapat tertandingi dan diserupai, dimana orang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Atas dasar ini pula, pembawa kekuatan ini sama sekali tidak pernah berani menantang orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan orang yang memiliki kekuatan ini juga tidak pernah mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melakukan seperti apa yang telah dilakukannya. Sedangkan, mukjizat -lantaran tidak dapat dilakukan oleh manusia (dengan kekuatannya)- selalu disertai dengan tantangan. Nabi saw. bersabda, "Sekiranya seluruh bangsa jin dan manusia berkumpul untuk mendatangkan Al-Qur'an, mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu."
Masih atas dasar ini, ketika kekuatan supranatural manusia berhadapan dengan mukjizat, kekuatan itu segera tumbang, dan sihir tidak akan pernah dapat menandingi mukjizat, persis seperti tidak adanya manusia yang mampu menandingi kekuatan Allah swt.
Contoh permasalahan ini dapat terlihat dengan baik pada kisah Nabi Musa a.s. dan Fir'aun. Fir'aun mengumpulkan tukang-tukang sihir dari berbagai penjuru negeri Mesir, dan dalam beberapa waktu mereka melakukan persiapan untuk mendemonstrasikan sihir mereka. Pada akhirnya, kekuatan sihir mereka lenyap tatkala berhadapan dengan kekuatan mukjizat Nabi Musa a.s. dalam sekejap mata.

b. Karena berasal dari sisi Allah Swt., mukjizat tidak memerlukan pendidikan dan pengajaran yang berkelanjutan. Sedangkan sihir, apabila murid tidak belajar dengan baik dari gurunya, ia tidak akan dapat mendemonstrasikannya dengan baik di hadapan khalayak, dan akan mengalami rasa malu di hadapan publik.
Dengan ungkapan lain, mukjizat dapat terjadi pada setiap detik tanpa adanya pengalaman sebelumnya, sedangkan kekuatan supranatural bersifat gradual dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan kemahiran dan kepandaian, dan tidak akan pernah terlaksana secara seketika dan tak terduga-duga.
Masalah ini juga telah diisyaratkan dalam kisah Fir'aun dan Nabi Musa. Fir'aun menuding tukang sihir sebagai guru mereka dan Musa mengajarkan kepada mereka rahasia-rahasia sihir kepada Kamu.
... sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian .... (QS. Thaha [20]: 71)

Dengan alasan ini, para tukang sihir itu senantiasa mengajarkan sihir kepada murid-muridnya dan berlatih dengan mereka selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

c. Kondisi orang yang mendemonstrasikan mukjizat merupakan bukti atas kebenaran mereka.
Cara lain untuk membedakan kekuatan mukjizat dan kekuatan supranatural manusia adalah membandingkan pembawa kedua kekuatan ini. Pembawa mukjizat memiliki tugas dari sisi Allah swt. untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Ia memilki sifat-sifat yang pantas dengan tugasnya. Sedangkan para tukang sihir, peramal, dan petapa tidak memiliki tugas seperti ini, juga tidak mengupayakan tujuan-tujuan seperti ini. Biasanya, tujuan mereka tidak keluar dari salah satu dari tiga hal berikut ini:
- Membuat orang-orang awam terpedaya.
- Mencari popularitas di tengah-tengah masyarakat.
- Memperoleh keuntungan materi dengan memberikan hiburan kepada mereka.
Tatkala kedua kelompok ini (para nabi dan tukang sihir dan semisalnya) berada dalam sebuah medan, untuk waktu yang lama mereka tidak akan dapat menyembunyikan niat dan tujuan-tujuan laten mereka, sebagaimana para penyihir Fir'aun. Sebelum memasuki medan, mereka meminta imbalan dan upah, dan Fir'aun juga menjanjikan upah penting bagi mereka,
Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun seraya berkata, "[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?" Ahli sihir berkata, "Wahai Musa! Kamulah yang akan melemparkan lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan?" (QS. Al-A'raf [7]: 113-114)
Sementara para nabi berulang kali berkata, "Aku tidak meminta sepeser pun upah dari Kamu." (QS. Aasy-Syua'ara [26]: 109)
Pada dasarnya, realita bahwa para penyihir itu rela melayani Fir'aun yang lalim dan tiran, telah memadai bagi kita untuk dapat dijadikan bukti sebagai pembeda antara sihir dan mukjizat.
Sudah jelas bahwa manusia melalui perbuatan-perbuatannya, semakin mahir ia menutupi tujuan dan pikirannya, semakin jelas bentuk aslinya.
Singkatnya, dengan menelaah kehidupan masa lalu orang-orang ini dan bagaimana mereka menggunakan kekuatan supranatural ini, dan demikian juga, dengan memperhatikan kebersamaan mereka dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang beragam dalam masyarakat, perilaku dan perbuatan mereka ini merupakan pedoman yang baik untuk membedakan antara sihir dan mukjizat. Dan terlepas dari perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan di atas, cara menentukan perbedaan antara mukjizat, sihir dan kekuatan supranatural yang lain, dapat dilakukan dengan mudah melalui cara seperti ini.
Al-Qur'an dengan redaksi-redaksi akurat mengisyaratkan realitas ini. Di satu tempat ia berfirman, "... Musa berkata, 'Apa yang Kamu lakukan itulah yang merupakan sihir. Sesungguhnya Allah akan menampakkan kebatilannya.' Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus pekerjaan orang-orang yang berbuat kerusakan berlangsung.'" (QS.Yunus [10]: 81)
Benar! Para penyihir merupakan orang-orang yang rusak dan perbuatan mereka batil. Tentu saja perbuatan demikian tidak dapat memberikan hasil bagi perbaikan sebuah masyarakat.
Di tempat lain, Al-Qur'an menyebutkan, "Kami berkata, 'Janganlah engkau takut, sesungguhnya engkaulah yang paling unggul.'" (QS. Thaha [20]: 68) Kemudian ia menambahkan, "Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu-daya tukang sihir [belaka]. Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja mereka datang." (QS. Thaha [20]: 69)
Benar bahwa perbuatan sihir itu adalah licik, dan tentu saja moralitas penyihir senada dengan kelicikan tersebut. Mereka adalah orang-orang licik dan tidak jujur, dan akan segera dapat dikenali dari seluruh perbuatan dan sifat-sifatnya. Sedangkan keikhlasan, kekudusan dan kebenaran para nabi merupakan menyataan yang dibuktikan oleh mukjizat mereka dan memberikan penjelasan yang lebih gamblang.

39. Tidakkah Kelahiran Nabi Isa a.s. hanya dari Seorang Ibu Bertentangan dengan Sains Mutakhir?
Tanpa syak lagi bahwa kelahiran ini terjadi melalui mukjizat. Sains modern tidak dapat menafikan kemungkinan terjadinya masalah ini. Malahan sebaliknya. Ia dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya masalah ini, khususnya masalah virginitas yang terlihat di antara kebanyakan hewan. Dengan memperhatikan masalah koagulasi sperma, tidak terkhusus kepada manusia saja, masalah ini secara umum mungkin dibuktikan.
Dokter Alexis Carell, seorang fisiolog dan biolog ternama berkebangsaan Prancis, dalam buku Insân Maujud-e Nâshenakhteh (Manusia Wujud Misterius) menuliskan: "Jika kita memikirkan equilibrium saham dari ibu dan bapak (bertemunya sperma dan ovum-AK.) dalam reproduksi, kita harus mengingat percobaan-percobaan laub dan batâyun yang ada pada seekor katak tanpa interfensi spermatozoid. Dengan menggunakan teknik khusus, ia dapat melahirkan katak yang lain."
Dengan demikian, boleh jadi sebuah faktor kimia atau fisika menggantikan sel baru. Namun, bagaimanapun wujudnya, faktor materi senantiasa bersifat niscaya adanya.
Oleh karena itu, dalam pandangan sains, yang jelas di dalam proses melahirkan anak adalah adanya nutfah betina (ovum) dari pihak ibu. Kalau tidak, nutfah jantan (spermatozoa) merupakan faktor lain yang dapat menggantikan peran ovum tersebut. Dengan alasan ini, masalah virginitas merupakan sebuah realitas yang dapat diterima oleh dunia fisiologi dewasa ini, betapa pun hal ini sangat jarang terjadi.
Terlepas dari ini semua, hal itu terjadi di bawah hukum-hukum penciptaan dan kekuasaan Tuhan, sebagaimana Al-Qur'an berfirman, "Sesungguhnya perumpamaan [penciptaan] Isa di sisi Allah adalah ibarat [penciptaan] Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Jadilah [seorang manusia]!' Maka, jadialah ia." (QS. Ali 'Imran [3]: 59).
Maksudnya, kekuatan mukjizat penciptaan Adam tidak begitu penting dibanding kekuatan mukjizat penciptaan Isa.

40. Apabila Ajaran Nabi Musa a.s. Sempurna, Apakah Nilai Ajaran Kristen dan Islam?
Setiap ajaran yang pernah ada hanya diperuntukkan untuk masa dan zamannya. Pada masanya ia merupakan ajaran yang sempurna dan lengkap, dan mustahil ajaran yang cacat turun dari sisi Allah Swt. Barangkali untuk masa-masa berikutnya, ajaran itu sudah tidak utuh dan memadai, sebagaimana suatu program lengkap dan sempurna untuk pendidikan tingkatan SD tidak sesuai dengan pendidikan tingkatan SMP. Dan rahasia pengutusan para nabi dengan kitab samawi yang beragam, termasuk Nabi saw. dan ajaran pamungkas juga demikian adanya.
Akan tetapi, tatkala umat manusia memiliki kesiapan untuk menyambut ajaran pamungkas, maka ajaran ini diturunkan kepada mereka. Mereka tidak lagi memerlukan kepada ajaran yang baru, ebagaimana orang-orang yang telah lulus beradasarkan pengetahuan yang dimilikinya, dapat terus melaju melalui telaah yang dilakukannya. Pengikut agama seperti ini tidak lagi memerlukan ajaran baru, dan dapat hidup sempurna melalui ajaran pamungkas ini.

41. Apakah Mukjizat "Membelah Bulan" Dapat Ditafsirkan oleh Sains Modern?
Dalam ayat pertama, surat Al-Qamar [54] kita membaca, "Telah dekat [datangnya] saat itu dan telah terbelah bulan."
Ayat suci ini berkisah tentang mukjizat agung Syaq al-Qamar (membelah bulan).
Menurut riwayat yang masyhur -sebagian ulama juga mengklaimnya sebagai riwayat yang mencapai derajat tawâtur- kaum musyrikin datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Sekiranya engkau berkata benar dan engkau adalah seorang utusan Allah, belahlah bulan di hadapan kami." Rasulullah saw. bersabda, "Jika aku melakukannya apakah Kamu akan beriman kepadaku?" "Iya!", jawab mereka. Dan pada malam itu, tepatnya malam keempat belas, Rasulullah saw. memohon kepada Allah swt. supaya mengabulkan permintaan mereka. Tiba-tiba bulan terbelah dua, dan Rasul memanggil mereka satu per satu seraya bersabda, "Lihatlah!"
Tentang bagaimana mungkin benda besar langit dapat terbelah dan seluk-beluk kejadian seperti ini, apa akibat yang ditimbulkan atas planet bumi dan tata surya, bagaimana dua bagian bulan itu setelah terbelah, dan bagaimana mungkin kejadian seperti ini dapat terjadi, sementara sejarah alam semesta tidak pernah berkisah tentang kejadian ini? Dengan memperhatikan pelbagai temuan dan telaah para astronom, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah begitu pelik. Lantaran temuan menyatakan, "Kejadian seperti ini bukan hanya tidak mustahil, melainkan contoh kejadian seperti ini telah disaksikan berulang kali, meskipun masing-masing kejadian ini memiliki faktor khusus."
Dengan kata lain, seringkali terjadi ledakan dan belahan-belahan pada tata surya dan planet-planet lainnya. Di sini kami akan sebutkan beberapa contoh sebagai berikut:


a. Penemuan Tata Surya (Solar System)
Pendapat ini diterima oleh segenap ilmuwan bahwa seluruh planet yang berada dalam tata surya -pada mulanya- termasuk di dalam matahari, kemudian mereka berpisah. Dan setiap saat ia berputar pada orbitnya. Namun, berkenaan dengan faktor penyebab terjadinya hal ini terdapat teori yang berbeda.
Laplace (1749-1827) berkeyakinan bahwa faktor penyebab terjadinya perpisahan ini adalah "kekuatan lari dari poros" yang dahulu merupakan bagian ekuator matahari, (dan kini juga demikian adanya). Berputar mengelilingi matahari, dan kecepatan perputaran pada daerah ekuator menjadi penyebab bagian-bagiannya terpisah dari matahari, lalu bercerai-berai di ruang angkasa dan berputar mengelilingi poros aslinya, yaitu matahari.
Akan tetapi, penelitian-penelitian yang diadakan kemudian oleh para ilmuwan selepas Laplace berujung kepada teori lain. Mereka berpendapat bahwa berpisahnya ekuator ini terjadi karena pasang-surut yang luar biasa dalam tingkatan matahari beradasarkan melintasnya satu bintang raksasa dari dekat ekuator tersebut.
Para pendukung teori ini tidak memandang cukup bahwa gerakan orbit matahari pada saat itu merupakan penjelas berpisahnya bagian-bagian ekuator tersebut. Mereka pun bersandar kepada asumsi yang lain. Kata mereka: "Gerakan pasang-surut ini menghasilkan gelombang raksasa pada permukaan matahari, persis seperti jatuhnya sebongkah batu raksasa di sebuah samudra. Dan efeknya, penggalan matahari, satu per satu, terlempar keluar, dan berputar pada poros matahari."
Secara umum, apa pun faktor pemisahnya, seluruh ilmuwan ini berkeyakinan bahwa tata surya terjadi melalui proses pembelahan dan pemisahan.


b. Asteroid
Asteroid-asteroid merupakan batu-batu raksasa yang berada di langit yang berputar mengelilingi tata surya. Terkadang ia disebut sebagai planet kecil dan serupa dengan bintang. Yang besar dari asteroid ini, kucurannya mencapai 25 kilometer. Akan tetapi, biasanya ia berukuran lebih kecil dari kucuran 25 kilometer.
Para ilmuwan ruang angkasa berkeyakinan bahwa asteroid-asteroid ini merupakan bintang-bintang raksasa lainnya yang bergerak di antara orbit planet Mars dan Jupiter. lalu, lantaran faktor-faktor yang tidak diketahui, asteroid-asteroid ini meledak dan pecah.
Hingga kini, lebih dari lima ribu asteroid yang telah ditemukan. Di antara asteroid ini, ada yang lebih besar dilihat dari sisi volume, ukuran, dan durasi gerakannya mengelilingi matahari. Sebagian ilmuwan itu memberikan signifikansi terhadap asteroid ini, dan terkadang berpendapat bahwa asteroid ini dapat digunakan oleh para pelancong ruang angkasa sebagai posko.
Hal ini merupakan contoh yang lain dari terpecahnya celestial body di langit.


c. Meteor
Meteor merupakan batu-batu kecil yang berada di langit. Acapkali ukuran komet-komet ini tidak melebihi satu biji kemiri. Ia mengitari orbit khas lingkaran matahari dengan laju yang sangat cepat. Dan terkadang jalannya mengalami interseksi dengan orbit planet bumi, dan tertarik ke arah bumi.
Lantaran benturan keras dengan udara yang menguasai planet bumi, batu-batu kecil ini akan menjadi panas dan membara, serta menyala karena kecepatannya yang luar biasa bak kilat. Kita melihatnya dalam bentuk garis bersinar indah pada kisi-kisi (atmosfer) langit. Dan kita menyebutnya anak panah meteor.
Kerap kita membayangkannya sebagai bintang jatuh. Meteor yang kecil dalam jarak yang sangat pendek akan terbakar, dan kemudian menjadi debu.
Poros rotasi meteor bersambung dengan poros bumi dengan dua poin. Atas dasar ini, pada bulan Murdâd dan ?bân (keduanya adalah nama bulan Iran yang hampir bertepatan dengan bulan Juli dan Agustus [Murdâd], Oktober dan November [?bân] -AK.) terlihat banyak meteor yang berbentuk dua garis yang saling memotong dua poros.
Para ilmuwan berkata, "Meteor ini adalah sisa-sisa komet-komet yang disebabkan oleh kejadian yang tidak diketahui, meledak dan saling bertabrakan."
Semua ini adalah contoh dari adanya insyiqâq (terbelah) di planet langit.
Bagaimana pun, masalah ledakan dan pembelahan yang terjadi di planet-planet langit bukanlah sebuah kejadian yang baru. Dan hal itu tidak mustahil dari sudut pandang sains, bahkan dalam persfektif mukjizat.
Kembali kepada masalah insyiqâq. Dalam keadaan normal, berdasarkan kekuatan gravitasi yang berada di antara kedua garis tersebut, sangat memungkinkan peristiwa ini dapat terjadi.
Ilmu perbintangan kuno -yang masih berbasis pada pandangan Ptolemius dan objek selestial sembilan (planet-planet)nya yang mirip irisan bawang yang satu dengan lainnya bersambung menjadi satu sehingga peristiwa kharq dan iltiyâm- mustahil terjadi bagi kebanyakan orang. Selain mengingkari Mikraj jasmani, ia juga mengingkari terbelahnya bulan. Karena, kedua hal ini menjadi penyebab kharq dan iltiyâm pada obyek selestial. Akan tetapi, dewasa ini asumsi objek selestial Ptolemius telah musnah dan hanya menjadi sebuah legenda dan ilustrasi semu. Dengan demikian, tidak ada ruang lagi bagi kita untuk membahasnya.
Barangkali, perlu diingatkan di sini bahwa terbelahnya bulan tidak terjadi di bawah satu faktor natural yang biasa, melainkan memiliki dimensi mukjizat. Karena mukjizat tidak termasuk sesuatu yang mustahil, maka masalah ini juga bukan termasuk hal yang mustahil.

42. Apakah Perbedaan antara Ilmu Gaib Para Nabi dan Ramalan Para Dukun dan Petapa?
Dengan memperhatikan satu poin, pertanyaan ini akan menjadi jelas. Poin itu adalah ramalan-ramalan para petapa dan kabar-kabar gaib para astrolog (ahli nujum) tidak dapat dianggap sebagai informasi yang meyakinkan dan lepas dari kesalahan. Ramalan mereka terkadang benar, terkadang juga keliru. masing-masing memiliki contoh yang banyak. Oleh karena itu, informasi mereka sekali-kali tidak dapat dianggap sebagai ilmu gaib. Kemudian, kerap mereka sendiri mengakui bahwa informasi yang mereka miliki bersumber dari setan, dan mereka tidak selamanya berkata benar kepada kita.
Dengan ungkapan lain, informasi yang mereka peroleh itu berdasarkan pelatihan yang mereka tempuh selama ini. Mereka melihat phantom (momok) dari kejauhan di ufuk benak mereka. Dan mereka menafsirkan phantom ini. Terkadang tafsir ini benar, terkadang juga keliru. Ibarat orang yang bermimpi, terkadang penakwilannya terhadap mimpi tersebut benar, terkadang juga keliru.
Informasi yang bersumber kepada kesangsian dan sumber yang tidak paten sekali-kali tidak akan disebut sebagai ilmu gaib.

43. Bagaimana Mengkompromikan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menafikan Keberasalan Ilmu Gaib dari Tuhan dengan Sebagian Ayat atau Riwayat yang Menetapkannya?
Di sini terdapat cara yang beragam untuk itu:

1. Cara yang paling masyhur adalah ilmu gaib yang khusus pada Tuhan merupakan ilmu Dzati dan independen. Dengan demikian, tidak seorang pun yang mendapatkan informasi tentang gaib secara mandiri. Apa pun yang dimilikinya bersumber dari anugrah Tuhan, dan berdimensi natural.
Bukti dari kompromi ini adalah surat Al-Jin [72], ayat 26 dan 27, "[Ia adalah Tuhan] Yang Maha Mengetahui yang gaib. Maka Ia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya ...."
Juga dalam Nahju Balâghah terdapat indikasi yang sama, tatkala Imam Ali a.s. memberikan berita tentang kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang (dan meramalkan serangan Mongol ke berbagai negeri Islam). Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda memiliki ilmu gaib?" Amirul Mukminin tersenyum simpul dan menjawab, "Ini bukan ilmu gaib. Ilmu ini aku terima dari pemilik ilmu, Nabi saw!"
Kompromi demikian ini banyak diterima oleh para ilmuwan dan peniliti.

2. ada dua bagian ilmu gaib: bagian khusus untuk Tuhan dan tidak seorang pun yang tahu kecuali Diri-Nya, seperti datangnya Hari Kiamat dan masalah-masalah yang serupa dengannya. Bagian ilmu ini juga telah diajarkan kepada para nabi dan para imam maksum as.
Disebutkan di dalam Nahjul Balâghah pada khutbah yang sama yang telah kami sebutkan di atas, "Ilmu gaib hanya berlaku pada ilmu tentang Kiamat dan apa yang difirmankan oleh Tuhan dalam ayat, 'Ketahuilah bahwa Kiamat adalah khusus urusan Tuhan dan Ia-lah yang menurunkan hujan dan apa yang terkandung dalam rahim ibu, dan tidak seorang pun yang tahu apa yang dilakukannya esok atau di bumi mana ia akan mati.'"
Lalu, dalam mengomentari ayat ini, beliau menambahkan, "Allah Swt. mengetahui apa yang terkandung dalam rahim seorang ibu; pria atau wanita, baik atau buruk, pemurah atau pelit, orang yang bahagia atau sengsara, dan ahli firdaus atau neraka? .… Semua ini merupakan ilmu gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt. Selain itu, Dia telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Nabi saw. dan beliau mengajarkannya kepadaku."
Barangkali sebagian orang mendapatkan ilmu ijmâli (global) tentang keadaan janin atau turunnya hujan. Akan tetapi, ilmu tafshîlî (detail) dan pengetahuan tentang partikular-partikular hal ini khusus bagi Allah Swt., seperti ilmu tentang Hari Kiamat. Kita hanya memiliki ilmu global tentang hal itu, dan tidak memiliki pengetahuan tentang rincian perkara tersebut. Dan sekiranya terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa para nabi atau imam mengetahui sebagian kondisi seseorang atau akhir usianya, ilmu itu hanya bersifat global.

3. Cara lain untuk mengompromikan kedua kelompok ayat dan riwayat ini adalah, bahwa rahasia gaib tercatat di dua tempat: pertama, pada al-Lauh al-Mahfûzh yang tidak ada perubahan di dalamnya dan tak seorang pun yang mengetahuinya, dan kedua, di Lauh al-Mahw wa al-Itsbât yang merupakan ilmu tentang kelaziman-kelaziman (iqtidhâ`), bukan sebab memadai ('illah tâmmah). Dengan alasan ini, ia dapat berubah. Dan apa yang tidak diketahui oleh orang lain bertalian dengan bagian ini.
Oleh karena itu, terdapat dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam Ash-Shadiq a.s., "Allah Swt. memiliki ilmu yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Diri-Nya, dan Ia mengajarkannya kepada para malaikat dan nabi. Kami mengetahui apa yang diberikan kepada para malaikat dan para nabi."
Imam Ali bin Husain a.s. berkata, "Apabila tidak ada ayat dalam Al-Qur'an, aku akan memberitahukan apa yang terjadi pada masa lalu dan peristiwa yang berlaku hingga Hari Kiamat." Seseorang bertanya, "Ayat yang mana?" Beliau menjawab, "Allah Swt. berfirman, 'Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki. Dan di sisi-Nya ada Ummul Kitab (al-Lauh al-Mahfûzh).'"
Penganugrahan ilmu -menurut kompromi ini- berdasarkan keniscayaan dan ketidakniscayaan ilmu tersebut, sedangkan pada kompromi sebelumnya berdasarkan derajat pengetahuan. (Perhatikan baik-baik!).

4. Cara kompromi lain adalah, bahwa Allah secara aktual mengetahui segala rahasia yang gaib. Akan tetapi, para nabi dan wali boleh jadi secara aktual tidak memiliki banyak pengetahuan tentang rahasia-rahasia gaib. Akan tetapi, ketika mereka menghendaki, Allah Swt. mengajarkannya kepada mereka. Dan tentu saja kehendak ini dapat terlaksana sesuai dengan izin -Nya.
Dengan demikian, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mempaparkan bahwa mereka tidak mengetahui hal-hal yang gaib, menyiratkan bahwa mereka tidak memilikinya secara aktual, dan ayat-ayat dan riwayat yang menyatakan bahwa mereka mengetahuinya hendak menekankan bahwa mereka punya kemampuan untuk mengetahuinya.
Hal ini persis seperti seseorang yang menyerahkan surat kepada temannya untuk disampaikan kepada si penerima. Di sini, si pembawa surat ini tidak mengetahui isi surat tersebut, sementara ia dapat membuka surat itu untuk mengetahui isinya. Terkadang pemilik surat memberikan izin kepada si pembawa surat untuk menelaah isi surat tersebut. Dengan demikian, ia dapat mengetahui isi surat tersebut. Dan terkadang si pemilik surat tidak memberikan izin kepadanya.
Bukti atas kompromi ini adalah kumpulan riwayat yang terdapat pada kitab al-Kâfî pada bab "Para imam setiap saat hendaki untuk mengetahui sesuatu, mereka diajarkan ilmu tersebut". Contoh, hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s., "Tatkala seorang imam berkehendak untuk mengetahui sesuatu, Allah Swt. mengajarkan kepadanya".
Kompromi ini dapat memecahkan banyak permasalahan berkenaan dengan ilmu Nabi saw. dan imam a.s. Di antaranya, bagaimana mereka minum minuman atau makan makanan yang beracun, padahal tidak boleh hukumnya seseorang melakukan pekerjaan yang membahayakan jiwanya? Di sini Nabi saw. atau imam tidak memiliki izin untuk berkehendak mengetahui rahasia-rahasia gaib sehingga hal itu menjadi terang bagi mereka.
Mungkin alasan kemaslahatan membuat Nabi saw. dan Imam a.s. tidak mengetahuinya, atau hal itu sebagai ujian bagi mereka sehingga menjadi faktor kesempurnaan mereka, sebagaimana hal itu terjadi dalam kisah Lailatul Mabit, ketika Imam Ali a.s. tidur di atas pembaringan Nabi saw.
Menurut sebuah nukilan, beliau tidak mengetahui apakah akan terbunuh atau selamat pada waktu musyrikin Quraisy menyerang pembaringan tersebut di pagi harinya. Merupakan sebuah kebanggaan ketika Imam Ali tidak mengetahui akhir dari pekerjaan ini, sehingga ujian Ilahi itu dapat terlaksana. Sekiranya beliau mengetahui bahwa tidur di atas pembaringan Nabi saw. untuk tujuan tersebut dan di pagi harinya beliau akan terbangun dalam keadaan selamat, maka pengorbanan beliau ini tidak menjadi sebuah kebanggaan. Dan sepertinya, kandungan yang tersirat dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat ihwal signifikasi sikap pengorbanan tidak membenarkan bila Imam Ali a.s. mengetahui apa yang akan terjadi.
Ya! Konsep ilmu irâdî (yang dikehendaki) merupakan jawaban atas seluruh masalah yang ada.

5. Cara kompromi yang lain, terdapat pada riwayat yang beragam ihwal ilmu gaib, (betapa pun cara ini hanya berlaku benar pada sebagian riwayat ini). Riwayat itu adalah, bahwa para pendengar (mukhâtab) yang dimaksudkan oleh riwayat ini beragam. Mereka yang memiliki potensi dan kesiapan untuk menerima ilmu gaib yang dimiliki oleh para imam, ilmu itu akan disampaikan kepada mereka secara keseluruhan dan selayaknya. Akan tetapi, orang-orang selain mereka, baik berpotensi lemah atau kurang, akan diberikan ilmu gaib seukuran dengan pemahaman mereka.
Misal, dalam sebuah hadis kita membaca bahwa Abu Bashir dan beberapa orang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berada dalam suatu majelis. Imam a.s. memasuki majelis dalam keadaan marah. Setelah duduk beliau berkata, "Sungguh aneh orang yang menyangka kami memiliki ilmu gaib. Tidak seorang pun yang mengetahui ilmu gaib selain Allah swt. Sekarang aku ingin mendidik budakku yang lari dari tanganku, dan aku tidak tahu di kamar mana ia berada."
Perawi hadis ini berkata, "Tatkala Imam Ash-Shadiq a.s. berdiri, aku dan sebagian sahabat beliau masuk ke dalam rumah dan kami berkata, "Semoga kami menjadi tebusan Anda, wahai Imam! Anda telah menyebutkan budak Anda. Kami tahu bahwa Anda memiliki banyak ilmu dan kami tidak menyebut itu sebagai ilmu gaib."
Imam a.s. memberikan penjelasan bahwa maksud beliau adalah pengetahuan beliau tentang ilmu gaib.
Jelas bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis tersebut tidak memiliki potensi dan persiapan yang diperlukan untuk dapat memahami makna ilmu gaib ini dan makrifat tentang kedudukan seorang imam.
Harus diperhatikan bahwa kelima cara di atas ini selaras satu dengan yang lainnya dan segenap cara ini dapat diterima. (Perhatikan baik-baik!).


Cara Lain untuk Membuktikan Ilmu Gaib Para Imam
Di sini, terdapat dua cara lain untuk membuktikan bahwa para nabi a.s. dan para imam maksum a.s. secara global mengetahui perihal ilmu gaib.
Pertama, kita ketahui bahwa lingkup penugasan mereka terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Akan tetapi, risalah Nabi saw dan imâmah para imam a.s. bersifat universial dan abadi. Bagaimana mungkin orang yang memiliki tugas seluas ini, tidak memiliki pengetahuan kecuali pengetahuan tentang masa dan wilayahnya yang terbatas? Apakah mungkin seseorang, seperti gubernur, dapat mengurus sebuah wilayah besar dengan baik, sementara ia tidak mengetahui wilayah tersebut?
Dengan ungkapan lain, Nabi saw. dan imam a.s. pada masa hidupnya sedemikian mereka menjelaskan dan menjalankan hukum-hukum Tuhan sehingga mereka dapat menjadi jawaban atas segenap kebutuhan seluruh manusia pada setiap zaman dan tempat. Dan hal ini tidak mungkin terwujud kecuali setidak-tidaknya mereka mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia ilmu gaib.
Kedua, tiga ayat Al-Qur'an yang sekiranya kita dudukkan sejajar dengan masalah ilmu gaib Nabi saw. dan para Imam a.s., maka perkaranya akan menjadi jelas. Ayat pertama bercerita tentang seseorang yang hendak membawa singgasana Ratu Saba' dalam sekejap mata ke hadapan Nabi Sulaiman a.s.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku ...." (QS. An-Naml [27]: 40)
Dalam ayat yang lain Ia berfirman, "... katakanlah, 'Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan [begitu juga] antara orang-orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab.'" (QS. ar-Ra'ad [13]: 43)
Di sisi lain, terdapat hadis yang berjumlah sangat banyak yang terdapat di buku-buku referensi Ahli Sunnah dan Syi'ah. Abu Said Al-Khudzri pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang makna ayat "Alladzîna 'indahû 'ilmun minal kitab". Rasul bersabda, "Ia adalah washî saudaraku, Sulaiman bin Dawud." Ia bertanya lagi, "Siapakah yang di dalam dirinya terdapat ilmu seluruh al-Kitab?" Beliau bersabda, "Ia adalah saudaraku, Ali bin Abi Thalib".
Ungkapan 'ilmun minal Kitâb yang berkisah tentang 'Asif menunjuk kepada ilmu juzî (partikular) dan ungkapan 'ilmul Kitâb yang bercerita tentang Ali a.s. merujuk kepada ilmu kullî (universal). Dengan memperhatikan kedua ungkapan tersebut perbedaan antara kedudukan ilmu 'Asif dan Ali a.s. akan menjadi jelas.
Dari sisi yang ketiga, di dalam surat An-Nahl [16], ayat 89 disebutkan, "... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab [Al-Qur'an] untuk menjelaskan segala sesuatu ....".
Mengenai seseorang yang memiliki ilmu tentang rahasia-rahasia Kitab semacam ini, ia pasti mengetahui rahasia-rahasia gaib. Dan hal ini merupakan dalil yang jelas bahwa boleh para wali Allah mengetahui rahasia-rahasia gaib sesuai dengan kehendak-Nya.

44. Siapakah Ruhul Kudus itu?
Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 78 disebutkan, "Dan Kami menguatkannya [Isa bin Maryam] dengan Ruhul Kudus."
Berangkat dari ayat ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah Ruhul Kudus tersebut?
Para penafsir ulung memiliki penafsiran yang beragam ihwal Ruhul Kudus ini.

a. Sebagian mengatakan bahwa Ruhul Kudus itu adalah Jibril. Oleh karena itu, makna ayat yang sedang dibahas adalah Tuhan menolong dan menguatkan kenabian Nabi Isa melalui Malaikat Jibril.
Bukti dari pendapat ini adalah surat An-Naml [27], ayat 102 yang berfirman, "Katakanlah bahwa Ruhul Kudus itu adalah kebenaran yang turun dari Tuhanmu."
Akan tetapi, mengapa Malaikat Jibril disebut sebagai Ruhul Kudus? Lantaran wujud ruh para malaikat merupakan masalah yang jelas dan penggunaan kata ruh pada mereka adalah sangat tepat. Dan penambahan kalimat al-kudus setelah kalimat itu adalah tanda kesucian dan kekudusan luar biasa malaikat ini.

b. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Ruhul Kudus adalah kekuatan gaib yang menguatkan Nabi Isa a.s. Dengan kekuatan misterius Ilahi tersebut, Nabi Isa -atas perintah Ilahi- dapat menghidupkan orang-orang yang sudah mati.
Tentu saja, kekuatan gaib ini dapat ditemukan dalam diri seorang mukmin dalam bentuknya yang lemah disebabkan adanya perbedaan derajat iman. Dan pertolongan-pertolongan Tuhan tersebut yang membantu manusia dalam menunaikan ketaatan dan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan atasnya dan mencegahnya dari melakukan apa yang dilarangnya.
Dalam sebagian hadis tentang sebagian para penyair yang menyanjung Ahlul Bait, kita membaca bahwa setelah mereka membaca syair-syair untuk seorang imam, beliau berkata kepada mereka, "Ruhul Kudus telah berhembus di lisanmu dan apa yang Kamu lantunkan tersebut berkat pertolongannya".

c. Sebagian mufassir lainnya menafsirkan bahwa Ruhul Kudus bermakna Injil.
Namun, kedua tafsir yang pertama tampaknya lebih mendekati kebenaran.

45. Mengapa Para Nabi Muncul dari Kawasan-kawasan Tertentu?
Pertanyaan ini muncul karena melihat realita bahwa para Nabi Ulul 'Azmi yang memiliki syariat dan kitab samawi -sesuai dengan masa mereka- hanya diutus untuk kawasan Timur Tengah. Nabi Nuh a.s. bangkit dari tanah Irak dan pusat dakwah Nabi Ibrahim adalah Irak dan Syam (Syiria), serta beliau juga melakukan perjalanan ke Mesir dan tanah Hijaz. Nabi Musa a.s. bangkit dari negeri Mesir, kemudian datang ke Palestina. Pusat kelahiran, kebangkitan dan dakwah Nabi Isa as juga Palestina dan Syam. Dan Nabi saw. bangkit dari tanah Hijaz. Pada umumnya, Nabi-nabi yang lain juga hidup di daerah-daerah ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Timur Tengah adalah kawasan bangkitnya para nabi.
Apakah ada dalil bahwa mereka secara keseluruhan bangkit dari kawasan ini? Dan apakah kawasan-kawasan lain tidak memerlukan nabi atau mereka tidak memiliki persiapan untuk menyambut nabi tersebut?
Dengan memperhatikan secara cermat sejarah ditemukannya umat manusia dan lahirnya peradaban mereka, masalah ini tidak lagi menyisakan keheranan. Sebab, para sejarawan besar dunia menjelaskan bahwa tanah Timur, (khususnya Timur Tengah) adalah tempat kelahiran peradaban dan sebuah kawasan yang bernama Hilâl Khasib (bulan sabit [awal bulan] yang penuh dengan keberkahan, dan hal ini adalah isyarat kepada sebuah kawasan yang bermula dari sungai Nil hingga Dajlah dan Eufrat. Dan letak geografis kawasan-kawasan tersebut berbentuk sebuah bulan besar yang terrefleksi di atas peta geografis), tempat lahirnya peradaban besar seluruh dunia.
Peradaban Mesir Kuno terkenal sebagai peradaban yang paling kuno, peradaban Babylon di Irak, peradaban Yaman di sebelah selatan Hijaz, dan demikian juga peradaban Iran dan Syiria, semuanya merupakan model peradaban-peradaban yang dikenal oleh manusia.
Karya-karya sejarah yang penting di kawasan ini masih tersimpan. Dan adanya batu-batu prasasti adalah bukti nyata atas klaim ini.
Kunonya peradaban manusia di kawasan-kawasan ini dapat dilacak kembali ke tujuh ribu tahun silam. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, hubungan dekat di antara peradaban manusia dan munculnya nabi-nabi besar, lantaran manusia yang berperadaban lebih memerlukan ajaran-ajaran Ilahi, sehingga selain menjamin terlaksananya hukum-hukum dam hak-hak sosial, mengantisipasi keonaran dan kerusakan, juga menyemaikan fitrah Ilahi pada diri manusia. Atas alasan ini, hajat manusia dewasa ini -khususnya negara-negara yang berasal dari peradaban industri- kepada ajaran-ajaran Ilahi lebih besar ketimbang pada zaman-zaman sebelumnya.
Kaum-kaum yang brutal atau setengah brutal tidak memiliki kesiapan yang cukup untuk menerima agama-agama. Dan sekiranya mereka menerima agama, mereka tidak memiliki kekuatan untuk menyebarkannya.
Akan tetapi, tatkala agama muncul di pusat peradaban, dengan segera ia akan menyebar ke kawasan-kawasan lainnya. Sebab, Lantaran masyarakat di tempat-tempat lain, untuk memecahkan masalah-masalah mereka, selalu mengadakan perjalanan bolak-balik ke kawasan ini. Belum lagi sarana penyebaran di kawasan ini lebih banyak.
Barangkali kita bertanya, lalu mengapa Islam sebagai ajaran terbesar Ilahi muncul di kawasan yang terbelakang?
Apabila kita melihat dengan benar peta geografi, daerah yang tertinggal ini (Makkah) sebenarnya pusat di antara kawasan-kawasan sekitarnya. Pada waktu itu, terdapat lima perdaban besar yang tersisa, dan Makkah merupakan sentral bagi kawasan-kawasan seperti ini.
Di belahan timur, terdapat peradaban Romawi dan Syamat, peradaban Iran, Kulde dan Asyur terletak di bagian selatan, peradaban Yaman di sebelah barat, dan peradaban Mesir Kuno. Tatkala Islam menyebar dalam kondisi geografis demikian, seluruh peradaban ini berada di bawah supremasi Islam dan melebur di dalamnya. Islam mengadopsi unsur positif dari peradaban ini, dan membuang unsur negatifnya, serta menambahkan nilai-nilai akidah dan praktikal kepadanya. Maka, peradaban Islam yang cemerrlang menyinari segenap peradaban ini.
Ringkasnya, dengan memperhatikan uraian di atas, jelas bahwa mengapa Allah swt. mengutus para nabi besarnya di kawasan Timur Tengah dan mengapa belahan timur bumi hingga kini menjadi tempat munculnya agama-agama besar Ilahi.

46. Apakah Nabi Ayyub a.s. Menderita Penyakit yang Menjijikkan?
Wajah suci Nabi besar ini menjadi manifestasi (mazhhar) kesabaran dan ketabahan, sehingga ketabahan Nabi Ayyub a.s. menjadi pepatah di kalangan seluruh umat. Di dalam Al-Qur'an, terdapat surat Ash-Shaf. Dari permulaan hingga akhir kisah Nabi Ayyub as, Allah Swt mengekspresikan sebaik-baik pujian kepada beliau.
Akan tetapi, sayangnya nasib Nabi besar ini tidak terjaga dari pelecehan orang-orang dungu atau musuh-musuh yang berpengetahuan. Mereka memunculkan khurafat ihwal Nabi Ayyub a.s. sehingga kekudusan dan kesuciannya ternodai. Misal, mereka mengekspresikan bahwa ketika Nabi Ayyub menderita penyakit yang menimpa badannya, tubuhnya sedemikian bau dan busuk sehingga penduduk membuangnya dari kota.
Tanpa syak lagi, riwayat seperti ini adalah karangan belaka, betapapun banyaknya riwayat itu. sebab, risalah para nabi menjawab bahwa masyarakat pada setiap masa dapat berinteraksi dengan mereka setiap dikehendaki. Dan apa yang menjadi sumber kejijikan dan kebencian masyarakat dan terciptanya kesenjangan orang-orang dengan mereka, entah tertimpa penyakit-penyakit yang menjijikan, cacat jasmani, atau kekasaran moral, tidak akan ada pada mereka, karena filsafat risalah bertentangan dengan semua ini.
Al-Qur'an bertutur ihwal Nabi saw., "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu." (QS.Ali 'Imran [3]: 159)
Ayat ini merupakan dalil bahwa nabi tidak boleh berlaku demikian sehingga orang-orang di sekitarnya tidak menjauh darinya.

47. Apakah Filsafat Banyaknya Istri Nabi saw.?
Pernikahan Nabi saw. dengan beberapa orang wanita adalah untuk memecahkan rangkaian persoalan sosial dan politik dalam kehidupan beliau. Karena kita ketahui bahwa tatkala Nabi saw. menyerukan dakwah Islam, beliau hanyalah seorang diri. Hingga beberapa lama, selain beberapa orang yang beriman kepadanya, beliau bangkit melawan segenap kepercayaan sesat yang telah merajalela di lingkungannya. Dan beliau mengumumkan perang (ideologi) kepada semua pihak. Wajarlah kiranya jika seluruh kaum dan kabilah di lingkungan tersebut memobilisasi massa untuk melawan Sang Nabi.
Seluruh sarana yang dapat digunakan untuk mematahkan persekongkolan musuh yang kotor ini, harus diberdayakan. Salah satu strategi dan sarana tersebut adalah menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan melalui jalan pernikahan dengan kabilah-kabilah yang beragam. Karena, pernikahan dan hubungan kekerabatan adalah jalinan yang termasuk paling kokoh dan kuat pada masyarakat Arab jahiliyah. Dan mereka berpandangan bahwa menantu kabilah merupakan bagian dari mereka, membelanya adalah wajib, dan meninggalkannya terlantar termasuk perbuatan tercela.
Terdapat indikasi-indikasi banyak di hadapan kita yang menunjukkan bahwa pernikahan Nabi saw. setidak-tidaknya lebih bernuansa politis.
Dan sebagian pernikahan beliau, seperti pernikahannya dengan Zainab, didasari tujuan untuk mematahkan tradisi jahiliyah sebagaimana tertuang dalam surat Al-Ahzab [33], ayat37. Sebagian lainnya adalah untuk mengurangi jumlah musuh, menjalin persahabatan dan menarik kecintaan orang-orang atau kaum yang fanatik dan keras kepala.
Jelas bahwa seseorang yang berusia dua puluh lima tahun, masa prime time, menikah dengan wanita janda yang berusia empat puluh tahun dan merasa puas diri dengan seorang janda hingga usia tiga puluh lima tahun, kemudian ia melakukan pernikahan dengan berbagai wanita, tentu saja beliau memiliki alasan dan filsafat di balik pernikahan-pernikahan ini.
Sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata karena motivasi atau dorongan seksual, sebab pernikahan bagi bangsa Arab pada masa itu sangat sederhana dan biasa, dan bahkan terkadang istri pertama yang melakukan lamaran untuk istri kedua bagi suaminya, dan mereka tidak percaya pada pembatasan jumlah istri. Bagi Nabi saw., pernikahan-pernikahan yang dilakukan beliau pada masa mudanya, selain tidak ada kendala sosial, atau tidak dikenakan syarat-syarat berat agar memiliki kekayaan yang banyak, juga tidak dinilai sebagai aib dan cela.
Menariknya, menurut catatan sejarah disebutkan bahwa Nabi saw. hanya sekali menikah dengan seorang wanita perawan, yaitu 'Aisyah. Selebihnya, istri-istri beliau adalah wanita-wanita janda, yang tentu saja tidak dapat dilihat dari sisi adanya motivasi seksual di balik pernikahan ini.
Bahkan, kita membaca di sebagian catatan sejarah bahwa Nabi saw. menikah dengan beberapa wanita dan tidak melaksanakan acara walimah, dan Nabi saw. tidak pernah bersenggama dengan mereka, bahkan beliau cukup merasa puas dengan lamaran beberapa wanita dan beberapa kabilah. Sebatas itu mereka sudah merasa gembira dan bangga bahwa wanita dari kabilah mereka disebut sebagai istri Nabi saw., dan ini merupakan kehormatan bagi mereka. Dengan demikian, hubungan dan jalinan sosial mereka dengan Sang Nabi semakin kokoh dan solid, serta semakin bertekad dalam membela beliau.
Dari sisi lain, jelas bahwa Nabi saw. bukanlah seorang mandul dan kenyataannya, beliau hanya memiliki beberapa anak sebagai buah hatinya. Sekiranya pernikahan-pernikahan ini disebabkan oleh daya tarik seksual, tentu saja beliau akan memiliki banyak anak dari wanita-wanita yang dinikahinya.
Juga harus diingat bahwa sebagian dari wanita-wanita ini, seperti 'Aisyah, menjadi istri Nabi saw. pada usia yang sangat belia. Oleh karena itu, setelah sekian tahun berlalu, baru ia dapat menjadi istri Nabi saw. yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dengan putri belia seperti ini memiliki motivasi-motivasi yang lain, dan tujuan utamanya adalah seperti yang telah kami singgung di atas.
Meski musuh-musuh Islam hendak berdalih dengan melecehkan pernikahan-pernikahan Nabi saw., dan membuat sebuah dongeng palsu dari pernikahan-pernikahan tersebut, akan tetapi usia tua Nabi saw. ketika melakukan pernikahan-pernikahan ini dari satu sisi, dan beragamnya usia dan kabilah wanita-wanita ini dari sisi lain, serta berbagai indikasi lainnya sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, menjadi realitas yang dapat menerangi dan menepis tuduhan dan konspirasi keji yang dialamatkan kepada Nabi mulia saw. ini.


CATATAN KAKI:
Tafsir-e Nemûneh, jilid 17, hal. 345.
Untuk penjelasan lebih lanjut, Anda dapat menelaahnya dalam kitab Bihâr al-Anwâr, jilid 18, hal. 277.
Tafsir-e Nemûneh, 440/1.
Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 325.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 27.
Futûh al-Buldân, Buladzuri, cet. Mesir, hal. 459.
Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 332, dalam penafsiran ayat pertama surat al-Jumu'ah.
Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 400.
Muhammad Payambariy keh az Nou Bayad Shenâkht, hal. 125.
Tafsir al-Burhân, jilid 2, hal. 400; Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 16.
Objek selestial (planet-planet) ini berjumlah sembilan. Antara lain, Mercurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto-AK.
Kharq berarti membuka dan mengoyak, dan Iltiyam berarti bergabung bersama. (Kedua terma ini akrab digunakan dalam pembahasan ilmu kalam [teologi], bahwa ketika seseorang melintas menembus objek selestial yang ibarat garis bawang tersebut, maka garis tersebut akan terkuak, terenggut [kharq] dan setelah itu mengalami konsiliasi, tersambung kembali [ilitiyam]-AK.). Sebagian filsuf terdahulu percaya bahwa perkara ini (Mikraj) tidak mungkin terjadi pada objek selestial.
Untuk penjelasan lebih jauh, silakan rujuk Hameh Mikhâkhand Bedânand (Semua Orang Pengen Tahu), ihwal masalah Mikraj, membelah bulan (syaq al-Qamar), ibadah pada dua kutub yang telah kami bahas. Silakan juga lihat Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 17.
Redaksi, tsumma ji`ta 'alâ qadarin yâ Musa terkadang bermakna kelayakan untuk menerima wahyu, dan terkadang bermakna masa menerima perintah risalah.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 193.
Dalam tradisi masyarakat India, ritus-ritus asketik ini dipraktikan melalui jalan-jalan haram, menyiksa jiwa dan raga dengan tujuan memperkuat ruh dan jiwa untuk memperoleh kesaktian. Padanan terma murtâdhan dalam Bahasa Inggris adalah asceticism atau petapa dalam Bahasa Indonesia-AK.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 288.
Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 58.
Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 41.
Segala objek yang secara terus-menerus hadir di langit. Contoh, bintang dan planet-AK.
Tafsir Nemûneh, jilid 23, hal. 9 dan jilid 23, hal. 13.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 234.
Nahjul Balâghah, Khutbah ke-128.
Idem.
Bihâr al-Anwâr, jilid 26, hal. 160, hadis ke-5.
Nûr ats-Tsaqalaîn, jilid 2, hal. 512, hadis ke-160.
Al-Kâfi, bab "innal a`immah idzâ Syâ`û an(y) ya'lamu 'ullimû", hadis ke-3. Terdapat juga riwayat lain pada bab yang sama juga dengan redaksi yang sama.
Ushûl al-Kâfî, jilid 1, bab an-nâdir fi dzikr al-ghaib, hadis ke-3.
Silakan rujuk Ihqâq al-Haqq, jilid 3, hal. 280-281; Nûr ats-Tsaqalain, jilid 2, hal. 523.
Tafsir Nemûneh, jilid 25, hal. 146.
Pujangga yang terkenal pada masa Rasulullah saw. adalah Hassan bin Tsabit. Kita membaca bahwa Rasulullah saw berkata tentangnya, "Sepanjang engkau membela kami dengan syair-syairmu, Ruhul Kudus pasti bersamamu."
Tafsir al-Manâr.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 338.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan bahwa Kufah dan masjid-masjid terdapat di zaman Nabi Nuh a.s. Dan kediaman Nabi Nuh a.s. terdapat pada sebuah tanah yang makmur di tepi Sungai Eufrat yang berada di sebelah barat Kufah. Lihat Tafsir 'Ayyâsyî, surat Hud, hadis ke-19.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 7, hal. 367.
Tafsir Nemûneh, jilid, 19, hal. 303.
Bihâr al-Anwâr, jilid 22, hal. 191-192.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 17, hal. 381.

9
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Al-Qur'an

48. Bagaimana Al-Qur'an Dapat Menjadi Sebuah Mukjizat?
Sebagai pendahuluan, kami akan menukil ihwal keagungan Al-Qur'an dari beberapa ucapan para pembesar agama dan bahkan, orang-orang yang dicap sebagai orang yang memerangi Al-Qur'an.


a. Abul A'la Al-Ma'arri
Orang yang telah menyatakan perang melawan Al-Qur'an ini berkata, "Pendapat masyarakat, baik dari kalangan Muslim maupun nonmuslim, sepakat bahwa kitab yang dibawa oleh Muhammad saw. membuat akal-akal mereka tumbang di hadapan Al-Qur'an. Dan hingga kini tak seorang pun dapat menghadirkan dan menyajikan yang serupa dengannya. Gaya bahasa kitab ini tidak menyerupai gaya-gaya bahasa yang akrab digunakan di kalangan bangsa Arab, termasuk orasi para orator, epik, syair pujangga, dan prosa ruhaniawan Yahudi. Keunggulan dan keperkasaan kitab ini sedemikian hebat sehingga sekiranya satu ayat dari kalimat Al-Qur'an diletakkan di antara kalimat-kalimat yang lain, ayat itu akan bergemerlapan ibarat bintang di malam gulita."


b. Walid bin Mughirah al-Makhzumi
Walid bin Mugairah adalah orang yang memiliki popularitas dan tersohor di kalangan bangsa Arab. Untuk memecahkan pelbagai masalah sosial, mereka menggunakan pikiran dan pendekatan managerial Walid ini. Karena itulah mereka menamainya sebagai Raihan Quraisy (Kusuma Suku Quraisy) . Setelah mendengar Nabi saw. membaca beberapa ayat dari surat Al-Ghafir (Al-Mu'min), ia menghadiri majelis suku Bani Makhzum dan berkata, "Demi Allah! Aku bersumpah, aku mendengar dari Muhammad sesuatu yang tidak serupa dengan perkataan-perkataan manusia dan juga tidak dapat disamai oleh peri-peri …. Ucapannya memiliki keindahan dan kelezatan yang khas. Di atasnya (seperti cabang-cabang pohon-pohon yang berbuah) penuh buah dan di bawahnya (ibarat akar-akar pepohonan muda) penuh air. Ucapannya unggul atas segalanya dan selainnya tidak akan dapat mengunggulinya."


c. Carlyle
Sejarawan dan cendekiawan terkemuka Inggris berkomentar perihal Al-Qur'an, "Sekiranya sekali waktu kita mengalihkan pandangan kita kepada Kitab Suci ini, hakikat-hakikat unggul dan rahasia-rahasia unik keberadaan, kandungan-kandungan mutiaranya memiliki keistimewaan sehingga keagungan dan realitasnya dengan baik dapat terlihat. Dan hal ini merupakan keunggulan besar yang khusus dimiliki Al-Qur'an. Tidak satu pun keunggulan yang dimiliki Kitab Suci ini tampak pada buku-buku ilmiah, politik, ekonomi, dan buku-buku lainnya. Benar bahwa membaca sebagian buku memberikan kesan yang dalam di benak seseorang. Namun, hal itu tidak dapat dibandingkan dengan apa yang ditinggalkan Al-Qur'an pada benak seseorang. Dari dimensi ini, harus diakui bahwa keunggulan pertama Al-Qur'an dan pilar-pilar asasinya bertaut dengan hakikat, dimensi-dimensi kudus, obyek-obyek unggul permasalahan dan muatan-muatan pentingnya yang tidak dapat disangsikan. Keutamaan terakhir adalah menciptakan kesempurnaan dan kebahagiaan umat manusia. Dan Al-Qur'an memiliki ajaran yang dapat menciptakan kesempurnaan dan kebahagiaan ini dengan baik."


d. John Davenport
Penyusun buku 'Uzr-e Taqsiri beh Pishgâh-e Muhammad wa Qur'ân menulis, "Al-Qur'an sedemikian sucinya sehingga tidak memerlukan secuil pun perbaikan dan penyuntingan. Boleh jadi sejak awal hingga akhirnya dibacakan tanpa seseorang merasakan sekecil pun kejenuhan di dalamnya." Ia menambahkan, "Dan semua orang menerima bahwa Al-Qur'an turun dengan sefasih-fasih ungkapan, dan dengan dialek suku Quraisy yang merupakan dialek yang paling beradab dan paling wibawa di kalangan bangsa Arab …. Dan (Kitab ini) juga penuh dengan sejelas-jelasnya masalah dan sekuat-kuat perumpamaan ...."


e. Goethe
Penyair dan cendekiawan berkebangsaan Jerman berkata, "Al-Qur'an merupakan karya yang (terkadang) dengan perantara redaksinya yang berat. Pada mulanya, pembaca akanterkejut, kemudian terpukau akan daya tariknya, dan pada akhirnya, terlena dengan keindahannnya yang tak terkira."
Di tempat lain, ia berkata, "Bertahun-tahun lamanya para pendeta tidak memberikan berita tentang Tuhan. Mereka telah membuat kami jauh dari hakikat-hakikat Al-Qur'an yang agung dan pembawanya nan kudus, Muhammad saw. Namun, sebanyak langkah kami ayunkan di jalan ilmu dan pengetahuan, tirai kejahilan dan puritanisme yang tidak berguna tersingkap (dari dunia kita), dan dengan segera, kitab (Al-Qur'an) yang tak tersifati ini membuat semesta alam tertarik dan menyisakan kesan yang dalam pada ilmu dan pengetahuan. Pada akhirnya, ia menjadi poros pemikiran dunia."
Ia juga berkata, "Pada mulanya, kami bersikap acuh tak acuh terhadap Al-Qur'an. Akan tetapi, tidak lama berselang Kitab ini menarik perhatian kami, dan kami terjerembab dalam keheranan sehingga kami pun tertunduk pasrah dalam berhadapan dengan kaidah dan hukum ilmiah serta kebesarannya."


f. Will Durant
Ia mengatakan, "Al-Qur'an yang berada di tangan Muslimin ini sedemikian membawa kebesaran jiwa ('izzah an-nafs), keadilan, dan ketakwaan sehingga tidak satu pun titik di jagad raya ini yang sebanding dengannya."


g. Jaul Lobum
Seorang cendekiawan dan penulis berkebangsaan Prancis dalam bukunya, "Tafsîl-e ?yât" berkata, "Ilmu dan pengetahuan penduduk dunia ini berasal dari muslimin, dan mereka mendulangnya dari lautan ilmu (Al-Qur'an), serta sungai-sungai Al-Qur'an mengalir untuk manusia sejagad …."


h. Dinuwart
Orientalis ini menulis, "Harus kita akui bahwa ilmu pengetahuan dunia, astronomi, filsafat, dan matematika yang menyebar di Eropa, galibnya adalah berkat pengajaran Al-Qur'an dan kita berhutang budi kepada muslimin. Bahkan dari sudut pandang ini, Eropa merupakan sebuah kota dari negeri Islam."


i. Vacsia Vagleiri
Seorang dosen universitas Nepal ini dalam buku "Pishraft-e Sari'-e Islâm" (Kemajuan Pesat Islam), menulis, "Kitab samawi Islam merupakan contoh dari sebuah mukjizat. Al-Qur'an adalah sebuah kitab yang tidak dapat ditiru. Metode Al-Qur'an dalam ilmu kesatraan belum ada model sebelumnya. Kesan yang diciptakan oleh gaya bahasa Al-Qur'an menunjukkan keunggulan dan keistimewaannya pada ruh manusia …. Bagaimana mungkin "kitab yang sarat dengan mukjizat ini" adalah buatan Muhammad, sedangkan ia tidak belajar pada seorang pun dari bangsa Arab. Dalam kitab ini Kita melihat pelbagai khazanah dan perbekalan ilmu yang berada di atas bakat dan kemampuan pikiran orang paling jenius sekali pun dan filsuf terbesar dan politikus yang berpengaruh dan ahli hukum kawakan. Berangkat dari sisi ini, Al-Qur'an bukan merupakan karya seorang manusia yang terpelajar dan seorang cendekiawan."
Salah satu argumentasi kebenaran Al-Qur'an dan keberasalannya dari Allah swt. adalah tidak adanya pertentangan dan perbedaan pada segenap kandungannya. Untuk menjelaskan hakikat ini, mari kita renungkan bersaman uraian di bawah ini:
Kondisi jiwa manusia senantiasa mengalami perubahan. Konsep kesempurnaan, dalam keadaan normal, tanpa pengecualian, termasuk kondisi pikiran, lisan, dan pikiran, serta ucapan-ucapannya dapat menciptakan gejolak dalam dirinya dengan berlalunya hari, bulan, dan tahun. Sekiranya kita amati dengan seksama tulisan seorang penulis, sekali-kali tidak akan pernah sama. Bahkan, pada permulaan dan penutup penulisan sebuah buku, ia pasti mengalami perbedaan, khususnya apabila ia sedang mengalami pengalaman dan peristiwa besar yang berlangsung. Peristiwa-peristiwa yang merupakan landasan bagi suatu revolusi pemikiran, sosial, dan ideologi, berfungsi sebagai pondasi pemikiran dari berbagai dimensi. Betapapun menghendaki ucapannya memiliki kesatuan arah dan keutuhan dengan ucapan-ucapan sebelumnya, ia tidak akan mampu, khususnya apabila ia tidak belajar atau terbina di dalam lingkungan yang terbelakang.
Akan tetapi, Al-Qur'an dalam masa 23 tahun diturunkan sesuai dengan kebutuhan dan keperluan masyarakat yang berada pada kondisi dan tempat yang sangat berbeda. Al-Qur'an membahas tema-tema yang beragam, dan tidak seperti buku-buku biasa yang melulu membahas masalah sosial, politik, filsafat, hak-hak, atau sejarah. Terkadang ia berbincang tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan rahasia-rahasia penciptaan, dan terkadang menerangkan hukum dan undang-undang, adab, dan peradaban. Di lain waktu, ia berkisah tentang umat-umat terdahulu dan nasib mereka yang mengerikan. Terkadang ia juga berbicara tentang nasihat dan wejangan, ibadah dan hubungan antara hamba dan Tuhan.
Meminjam ucapan Dr. Gustav Lebon, bahwa sebagai kitab samawi umat Islam, Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada ajaran-ajaran dan aturan-aturan agama saja, melainkan juga membahas masalah aturan-aturan sosial dan politik.
Galibnya, kitab dengan tipologi semacam ini mustahil bebas dari kontradiksi, pertentangan, dan statemen-statemen yang berlainan, serta plus-minus yang banyak. Akan tetapi kaitannya dengan berbagai dimensi, kita saksikan bagaimana seluruh kandungan ayat-ayat Al-Qur'an selaras dan seirama dengan yang lainnya, bebas dari segala bentuk kontradiksi, pertentangan, perbedaan dan inkoordinasi. Dengan baik kita dapat menduga bahwa kitab ini bukan merupakan hasil pemikiran manusia, melainkan berasal dari Tuhan, sebagaimana Al-Qur'an menjelaskan realitas ini dengan indah.
Di dalam surat Hud [11], ayat 12-14, Al-Qur'an menegaskan mukjizatnya, "Ini bukanlah sebuah perkataan biasa dan bukan pula refleksi otak manusia, melainkan wahyu dari langit yang bersumber dari ilmu dan kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas". Dengan alasan ini, Al-Qur'an melancarkan tantangan dan mengajak seluruh penghuni jagad raya untuk berjajal dengannya. Orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi saw dan bahkan, hingga hari mencoba untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur'an. Namun, mereka tidak mampu. Mereka telah mengerahkan seluruh jiwa dan raga dengan menantang segala kesulitan untuk menciptakan Al-Qur'an baru. Akan tetapi, mereka tidak mampu melakukan tindakan untuk mengungguli ayat-ayatnya. Dengan ini, jelas bahwa pekerjaan seperti ini pada dasarnya tidak dapat dilakukan oleh manusia. Apakah mukjizat tidak lebih dari hal ini?"
Seruan Al-Qur'an ini masih saja terngiang di telinga kita. Mukjizat ini bersifat abadi, sebagaimana ia menantang seluruh penduduk jagad dan segenap pusat-pusat riset dunia untuk membuat bandingannya; tidak hanya dari sisi kefasihan (elokuensi), balâghah (retorika); daya tarik redaksi dan keelookan makna, tetapi juga dari sisi muatan dan kandungannya. Ilmu pengetahuan yang -menurut manusia masa itu- belum tersingkap, undang-undang yang menjamin kebahagiaan dan keselamatan manusia, penjelasan-penjelasan yang kosong dari setiap bentuk kontradiksi, sejarah-sejarah yang tidak dkotori oleh setiap jenis khurafat, dan semisalnya, semua itu sudah dijelaskan oleh Kitab ini.
Bahkan, menurut Sayid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl Al-Qur'an, tatkala sekelompok kaum materialis di Rusia hendak meremehkan Al-Qur'an dalam kongres kaum Orientalis yang diselenggarakan pada tahun 1945 M, mereka berkata, "Kitab ini bukanlah refleksi pemikiran manusia (Muhammad), melainkan ia mesti bersumber dari hasil usaha dan upaya sekelompok orang-orang besar! Bahkan, tidak dapat dipercaya bahwa seluruh kandungannya ditulis dari jazirah Arab. Yang pasti, sebagian darinya ditulis di luar jazirah Arab."
Dari satu sisi, karena logika mereka mengingkari keberadaan Tuhan dan masalah wahyu, mereka mencarikan penafsiran yang bercorak materialistik untuk ayat Al-Qur'an. Dan dari sisi lain, karena mereka tidak mampu meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan produk otak manusia di jazirah Arab, terpaksa mereka mencarikan penafsiran yang konyol. Dalam penafsiran ini, mereka membagi Al-Qur'an kepada produk jazirah Arab dan produk luar jazirah Arab. Penafsiran ini diingkari oleh sejarah secara keseluruhan.

49. Apakah Al-Qur'an Membenarkan Kandungan Taurat dan Injil?
Di dalam banyak ayat Al-Qur'an al-Majid, kita jumpai redaksi ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an membenarkan muatan kitab-kitab sebelumnya.
Di dalam surat Al-Ma'idah [5], ayat 48 disebutkan, "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran dengan membenarkan apa yang telah diturunkan sebelumnya, yaitu kitab-kitab [yang diturunkan sebelumnya] .…"
Perintah ini telah menyebabkan sekelompok mubaligh Yahudi dan Masehi memasukkan ayat ini sebagai bukti tertulis atas tidak terjadinya penyimpangan dan distorsi (tahrîf) terhadap kitab Taurat dan Injil. Mereka berkata, "Kitab Taurat dan Injil pada masa Nabi saw. tentu saja tidak memiliki perbedaan dengan Taurat dan Injil hari ini. Sekiranya terjadi distorsi di dalam Taurat dan Injil, tentu saja bertalian dengan masa sebelumnya. Dan karena Al-Qur'an menyatakan validitas Taurat dan Injil pada masa Nabi saw., dengan demikian Muslimin harus mengakui secara resmi bahwa Taurat dan Injil ini merupakan kitab-kitab samawi yang tidak terjamah oleh campur -tangan manusia."
Banyak ayat Al-Qur'an yang memberikan kesaksian bahwa tanda-tanda Nabi saw. dan ajarannya terdapat di dalam kitab-kitab yang telah terdistorsi (muharraf) di tangan Yahudi dan Nasrani pada masa itu. Sebab tentu saja, distorsi kitab-kitab samawi ini bukan berarti bahwa seluruh kitab-kitab yang ada adalah batil dan bertentangan dengan realitas yang ada. Melainkan sebagian kandungan Taurat dan Injil yang asli masih terdapat di sela-sela kitab ini, dan tanda-tanda kenabian Nabi saw. masih dapat ditemukan kitab-kitab samawi yang berada di tangan Yahudi dan Nasrani ini.
Dengan demikian, kemunculan Nabi saw. dan kitab samawinya secara praktis membenarkan seluruh tanda-tanda kenabian Nabi saw. tersebut, lantaran sesuai dengannya.
Oleh karena itu, makna penegasan Al-Qur'an tentang Taurat dan Injil adalah karakteristik Nabi saw. dan Al-Qur'an, serta tanda-tanda yang dimilikinya sesuai dengan apa yang terdapat dalam Taurat dan Injil.
Penggunaan kosa kata tashdîq (membenarkan) dalam makna muthâbaqah (harfiyah) dapat juga ditemukan dalam ayat-ayat yang lain. Misalnya, di dalam surat Ash-Shaffat [37], ayat 105 yang ditujukan kepada Nabi Ibrahim, disebutkan, "Qad shaddaqta(r) ru'yâ (sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu)". Maksudnya adalah, bahwa perbuatanmu sesuai dengan kebaikan yang engkau lihat. Di dalam surat Al-A'raf ayat 157 disebutkan, "[Yaitu] orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang [namanya] mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka ...." Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sifat-sifat yang terdapat dalam diri beliau sesuai dengan apa yang dijumpai dalam Taurat.
Secara umum, ayat-ayat yang telah disebutkan di atas telah menjelaskan sikap Al-Qur'an berkenaan dengan Taurat dan Injil, dan bahwa tanda-tanda kebenaran Nabi saw. terdapat di dalam kedua kitab samawi itu. Akan tetapi, hal itu tidak menunjukkan kebenaran seluruh kandungan Taurat dan Injil. Karena, selain itu masih terdapat banyak ayat yang menyebutkan realita distorsi yang telah dialami oleh kedua kitab itu. Dan hal ini merupakan saksi hidup atas kepicikan klaim di atas.

50. Apakah Penghimpunan Al-Qur'an ke dalam Bentuk Kitab Dilakukan pada Masa Nabi saw. atau Sepeninggal Beliau?
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa nama surat pertama Al-Qur'an adalah Fâtihatul Kitâb. Fâtihatul Kitâb berarti pendahuluan kitab. Dan suatu hadis yang dinukil dari Nabi saw. menyatakan bahwa pada masa beliau, surat ini juga dikenal dengan nama ini.
Dari sini, titik terang pada satu masalah penting dalam Islam ini menjadi tampak. Masalah tersebut adalah -berbeda dengan pendapat yang telah popular bahwa Al-Qur'an pada masa Nabi saw. hanya berbentuk lembaran yang terpisah-pisah, kemudian baru dikumpulkan pada masa Abu Bakar, Umar, atau Utsman- bahwa Al-Qur'an pada masa Nabi saw. sendiri telah terkumpul sesuai dengan bentuknya hari ini, dan surat pertamanya adalah surat Al-Hamd. Jika tidak demikain, surat ini bukan sebagai surat pertama yang turun kepada Nabi saw. dan juga tidak ada dalil lain untuk menamakan surat ini dengan nama Fâtihatul Kitâb.
Bukti-bukti lain yang banyak juga menegaskan bahwa Al-Qur'an dalam bentuk kumpulan yang kini berada di tangan kita telah dikumpulkan pada masa Nabi saw. atas perintah beliau.
Ali bin Ibrahim menukil dari Imam Ash-Shadiq a.s. bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Ali a.s., "Wahai Ali! Kumpulkanlah Al-Qur'an yang berada pada potongan-potongan sutra, kertas, dan semisalnya yang terpisah-terpisah itu." Imam Ash-Shadiq a.s. menambahkan, "Ali a.s. pergi dari majelis tersebut dan mengumpulkan Al-Qur'an di dalam potongan kain berwarna kuning, lalu menorehkan stempel di atasnya."
Bukti yang lain adalah Kharazmi, seorang ulama besar Ahli Sunnah, dalam buku Al-Manâqib menukil dari Ali bin Riyah bahwa Ali bin Thalib dan Ubay bin Ka'b mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi saw.
Bukti ketiga adalah pernyataan Al-Hakim, seorang penulis kenamaan Ahli Sunnah dalam kitab Al-Mustadrak. Ia menukil ucapan Zaid bin Tsabit, "Kami berada di hadirat Nabi saw. Kami mengumpulkan Al-Qur'an dari potongan-potongan terpisah. Dan masing-masing dikumpulkan sesuai dengan bimbingan Nabi saw. Kami meletakkan pada tempatnya masing-masing. Akan tetapi, dengan tulisan yang terpisah-pisah ini, Nabi saw. memerintahkan Ali untuk mengumpulkannya pada satu tempat. Kami mendapatkan peringatan keras dari Nabi untuk tidak memperlakukannya dengan buruk."
Sayid Murtadha, ulama besar Syi'ah berkata, "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasulullah saw. sebagaimana bentuknya pada hari ini".
Thabarani dan Ibnu 'Asakir menukil dari Syi'ah bahwa enam orang dari Anshar mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi saw. Qatadah bercerita, "Aku pernah bertanya kepada Anas, 'Siapakah yang mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi saw.?' Ia menjawab, 'Empat orang dan mereka semua berasal dari Anshar: Ubay bin Ka'b, Muadz, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.'" Masih lagi riwayat yang lain. Jika kita menukilnya di sini, pembahasan kita akan melebar.
Lebih dari itu, selain hadis-hadis yang terdapat di dalam buku-buku referensi Ahli Sunnah dan Syi'ah, pemilihan nama Fâtihatul Kitâb untuk surat Al-Hamd -sebagaimana yang telah kami singgung di atas- merupakan saksi hidup untuk membuktikan hal ini.


Pertanyaan
Pertanyaan yang muncul di sini ialah bagaimana pendapat ini dapat dipercaya, sementara di kalangan sekelompok ulama terkenal tersebar pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an dikumpulkan pasca wafatnya Rasulullah saw. (melalui Ali a.s. atau orang lain)?
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dijelaskan bahwa Al-Qur'an yang dikumpulkan oleh Ali a.s. bukan Al-Qur'an itu sendiri. Akan tetapi, kumpulan dari Al-Qur'an, tafsir, dan asbâbun nuzul ayat-ayatnya.
Tentang Al-Qur'an yang dikumpulkan oleh Utsman, hal itu hanyalah sebuah perintah darinya untuk menyatukan penulisan Al-Qur'an disertai dengan bacaan dan harakat demi menghindari perbedaan antarbacaan (qirâ'ah).
Akan tetapi, desakan sekelompok orang bahwa Al-Qur'an tidak dikumpulkan pada masa Nabi saw. dan kebanggaan ini sudah menjadi hak Utsman atau khalifah pertama, barangkali hanya bertujuan menciptakan keutamaan semata baginya. Oleh karena itu, setiap bentuk keutamaan ini dinisbahkan kepada orang yang dinukilkan dalam riwayat tersebut.
Pada dasarnya, bagaimana mungkin dapat dipercaya Nabi saw. menyepelekan pekerjaan teramat penting ini? Padahal, beliau sangat menaruh perhatian, bahkan terhadap pekerjaan-pekerjaan kecil sekalipun. Bukankah Al-Qur'an ini merupakan undang-undang dasar umat Islam, kitab agung pendidikan dan pengajaran, pondasi seluruh program-program Islam dan akidahnya? Apakah tidak dikumpulkannya Al-Qur'an pada masa Nabi saw. tidak mengandung resiko penyepelean terhadap sebagian Al-Qur'an dan atau munculnya perbedaan di kalangan muslimin?
Di samping itu, hadis masyhur "Tsaqalain" yang dinukil oleh Ahli Sunnah dan Syi'ah bahwa Nabi saw. bersabda, "Telah aku tinggalkan dua pusaka berharga di antara Kamu: Kitab Allah dan 'Itrahku", menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan sebuah kitab yang telah dikumpulkan.
Apabila kita meneliti riwayat-riwayat yang menceritakan pengumpulan Al-Qur'an oleh beberapa sahabat di bawah pengawasan Nabi saw. dengan jumlah pengumpul yang berbeda-beda, tentu hal itu tidak akan menimbulkan polemik. Barangkali setiap riwayat tersebut memperkenalkan beberapa orang dari para pengumpul tersebut.

51. Mengapa Haram Hukumnya Memberikan Al-Qur'an kepada Orang Kafir?
Memang, tidak diperkenankan memberikan Al-Qur'an kepada nonmuslim yang akan merongrong kehormatannya. Akan tetapi, sekiranya kita tahu bahwa seorang nonmuslim ingin melakukan penelitian terhadap Islam dan ia hendak mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh, maka tidak hanya diperbolehkan memberikan kitab ini, bahkan boleh jadi hukumnya adalah wajib. Maksud mereka yang melarang pemberian tersebut berdasarkan tujuan selain ini.
Oleh karena itu, institusi-institusi besar Islam menuntut supaya Al-Qur'an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Dan untuk penyebaran dakwah Islam, Al-Qur'an diberikan kepada mereka yang sedang berusaha untuk mencari kebenaran dan dahaga akan hakikat.


CATATAN KAKI:
Tafsir Nemûneh, jilid 17, hal. 381.
Sebuah eulogi (pujian) yang diberikan kepada seorang Arab-pen..
Majma' al-Bayân, jilid 10, surat al-Muddatstsir.
Dinukil dari permulaan buku Sâzemânha-ye Tamaddun-e Emperâtur-e Islâm.
Idem, hal. 114.
Idem, hal. 91
Dari buku 'Uzr-e Taqsiri beh Pishgâh-e Muhammad wa Qur'ân.
Al-Mu'jizah al-Khâlidah, sesuai nukilan dari kitab Qur'an Bar Farâz-e A'sâr.
Pishraft-e Sari'-e Islam dalam pembahasan ihwal mukjizat al-Qur'an disadur dari buku Qur'ân va ?khirin Payâmbar.
Qur'ân wa ?khirîn Payâmbar, hal. 309; Tafsir Nemûneh, j ilid 4, hal. 28.
Tafsir Nemûneh, jilid 9, hal. 42.
Tafsir fî Zhilâl Al-Qur'an, jilid 5, hal. 282.
Tafsir Nemûneh, jilid 11, hal. 410.
Tafsir Nemûneh, jilid 1, hal. 210.
Redaksi asli riwayat ini adalah "Wantalaq 'Ali as fa jama'ahu fî tsubûtin ashfar tsumma khatama 'alaih". Lihat Târikh Al-Qur'ân Abu 'Abdillâh Zanjâni, hal. 24.
Majma' al-Bayân, jilid 1, hal. 15.
Muntakhab Kanz al-'Ummâl, jilid 2, hal. 52.
Shahîh Bukhâri, jilid 6, hal. 102.
Tafsir Nemûneh, jilid1, hal. 8.
Idem, jilid 19, hal. 417.




Imâmah

52. Sejak Kapan Imâmah Menjadi Isu?
Pasca wafatnya Nabi saw., perbincangan tentang pengganti beliau mengemuka. Sekelompok orang berkeyakinan bahwa Nabi saw. tidak menentukan pengganti selepas beliau, dan urusan ini dilimpahkan di atas pundak umat supaya mereka duduk bersama dan bermusyawarah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka; pemimpin yang mengendalikan urusan pemerintahan dan bertindak sebagai wakil rakyat (umat) untuk memerintah atas mereka.
Musyawarah ini tidak pernah terwujud, karena pada suatu kesempatan, hanya satu kelompok kecil sahabat yang memilih seorang khalifah, dan pada kesempatan yang lain, pemilihan khalifah berbentuk penunjukan (intishâbi), serta pada kesempatan ketiga, pemilihan ini hanya diemban oleh enam orang yang keseluruhannya bersifat penunjukan juga (intisâbi).
Para pendukung pemikiran ini disebut Ahli Sunnah.
Kelompok lain berkeyakinan bahwa imam dan pengganti (khalifah) Nabi saw. harus ditentukan oleh Allah swt., lantaran ia mesti seperti Nabi saw.; maksum dari dosa dan kesalahan serta memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga ia dapat mengemban kepemimpinan material dan spiritual, menjaga pondasi agama, menjelaskan hukum-hukum Tuhan kepada umat, menguraikan Al-Qur'an secara detail, dan menjaga keutuhan Islam.
Kelompok ini dinamakan sebagai Imamiyah atau Syi'ah. Dan penamaan berasal dari hadis-hadis Nabi saw. yang masyhur.
Dalam Tafsir Ad-Durr Al-Mantsûr, salah satu buku referensi tafsir standar Ahli Sunnah yang terkenal, tentang penafsiran ayat "Ulâ`ika hum khoirul Bariyyah", terdapat sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari. Ia berkata, "Suatu hari kami berada di hadirat Nabi saw. Tiba-tiba Ali datang ke arah kami. Nabi saw. bersabda, 'Ia dan Syi'ahnya pada Hari Kiamat adalah orang-orang benar.' Setelah itu, turunlah ayat 'Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah sebaik-baik makhluk.'".
Al-Hakim An-Naisyaburi, salah seorang ulama terkenal Ahli Sunnah yang hidup pada abad kelima Hijriah, menukil muatan riwayat yang sama dari Nabi saw. dalam kitabnya yang terkenal, Syawâhid at-Tanzîl dan jumlah riwayat ini melebihi angka dua puluh. Di antaranya, riwayat Abbas yang berkata, "Ketika turun ayat 'Innaladzîna ?manû wa 'amilush-Shôlihât ...', Nabi saw. bersabda kepada Ali, 'Maksud dari ayat ini adalah engkau dan Syi'ahmu.'"
Dalam hadis yang lain dari Abu Barzah, ketika Nabi saw. membacakan ayat ini, beliau bersabda, "Mereka adalah engkau dan Syi'ahmu."
Banyak lagi dari ulama Islam dan ulama Ahli Sunnah, seperti Ibn Hajar dalam Ash-Sawâ'iq Al-Muhriqah-nya dan Muhamamad Asy-Syablanji dalam Nûr Al-Abshâr-nya, juga menyebutkan hadis ini.
Oleh karena itu, dengan kesaksian riwayat-riwayat ini, Nabi saw. telah memilih nama Syi'ah sebagai pengikut jalan Ali dan pendukung beliau. Maka itu, sangat mengherankan sekali jika sebagian orang menggangap nama ini sebagai penanda kesialan dan keburukan. Mereka menganggap huruf syin pada awal kata Syi'ah merupakan hal yang mengingatkan kepada keburukan, kesialan, dan kata-kata buruk serta konotasi lainnya.
Sebenarnya, ungkapan-ungkapan ini bagi seorang peneliti yang memiliki kecenderungan untuk menerima pelita argumentasi logis sangat mengherankan. Karena, untuk setiap huruf dari huruf-huruf abjad Hijaiyah (dari alif sampai ya') dapat dipilihkan kata-kata baik atau buruk (sebagai ungkapannya).
Secara umum, sejarah kemunculan Syi'ah tidak terjadi pasca wafatnya Rasulullah saw., tetapi bahkan pada masa hidup beliau. Dan kata ini dilekatkan kepada penolong dan pendukung Imam Ali a.s. Seluruh orang mengenal Nabi saw. sebagai Rasulullah. Mereka tahu bahwa beliau tidak berbicara atas dasar hawa dan nafsunya sendiri, wamâ yantiqu 'anil hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ. Dan jika beliau bersabda, "Engkau dan pengikutmu adalah orang-orang yang berjaya dan benar pada Hari Kiamat", sabda beliau ini merupakan sebuah realitas.

53. Apakah Wilâyah Takwînî dan Tasyrî'î itu?
Sebagaimana telah kita ketahui, wilâyah terbagi menjadi dua bagian: wilâyah Tasyrî'î dan wilâyah Takwînî.
Maksud dari wilâyah Tasyrî'î (tata-cipta) adalah pemerintahan dan pengurusan konstitusional dan Ilahi. Wilâyah ini terkadang dapat dijumpai dalam ukuran terbatas, seperti wilâyah bapak dan kakek atas anak kecil. Dan terkadang dalam ukuran yang luas, seperti wilâyah seorang penguasa umat Islam atas seluruh masalah-masalaah yang bertalian dengan pemerintahan dan penyelenggaraan negara Islam.
Adapun maksud dari wilâyah takwînî adalah pengaturan cipta seseorang terhadap alam semesta dan penciptaan berdasarkan perintah dan izin Tuhan. Wilâyah ini dapat berseberangan dengan kebiasaan dan proses natural semesta dan prosedur sebab-akibat. Misalnya, dengan izin dan kekuasaan Tuhan, ia dapat menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau menghidupkan orang-orang mati, dan pekerjaan-pekerjaan lain semacam ini. Yang penting, setiap bentuk pengaturan spiritual (tasharruf ma'nawî) yang tidak biasa ditemukan pada jiwa dan tubuh manusia.
Wilâyah Takwînî terbagi menjadi empat bagian. Sebagiannya dapat diterima, dan sebagian lainnya tidak.


a. Wilâyah Takwînî dalam Urusan Penciptaan Alam Semesta
Artinya, Tuhan memberikan kemampuan kepada para hamba atau malaikatnya sehingga ia dapat menciptakan hal tertentu, atau membatalkan halaman keberadaan, dengan keyakinan bahwa perkara ini bukanlah sebuah perkara yang mustahil dapat terwujud. Karena, Allah swt berkuasa atas segala sesuatu. Dan Ia mampu memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi, segenap ayat Al-Qur'an menunjukkan bahwa penciptaan alam semesta; langit dan bumi-bumi, jin, manusia, malaikat, flora dan fauna, gunung-gunung, dan lautan, seluruhnya terlaksana dengan kekuasaan Allah Swt., bukan melalui perantara hamba atau malaikat tertentu. Oleh karena itu, seluruh penciptaan dinisbahkan kepada Allah Swt. Dan tidak satu pun urusan lepas dari hubungannya dengan Allah. Dengan demikian, pencipta tujuh langit, tujuh bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah Tuhan Yang Mahakuasa semata.


b. Wilâyah Takwînî sebagai Perantara Anugerah
Artinya, setiap bentuk pertolongan, rahmat, berkah, dan kekuasaan bersumber dari Tuhan. Semua itu sampai kepada hamba-Nya atau wujud-wujud lain yang berada di jagad raya ini melalui jalan para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang terpilih. Seperti air minum di rumah-rumah perkotaan, seluruhnya melalui jalan pipa utama. Pipa ini mengalirkan air dari sumber mata air dan mengantarkannya ke seluruh tempat. Pipa ini disebut sebagai perantara menebarkan anugerah.
Menurut akal, makna ini bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Contohnya dapat ditemukan dalam alam mikro kosmos pada tubuh manusia dan pembagian materi (mâddah) kehidupan kepada sel-sel melalui jantung dan urat nadi. Apa kendalanya jika pada makro kosmos juga demikian nyatanya?
Akan tetapi tanpa syak, pembuktian hal ini memerlukan dalil yang cukup. Dan sekiranya dapat dibuktikan, tetap hal itu terjadi dengan izin Allah swt.


c. Wilâyah Takwînî Terbatas
Umpamanya, menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang-orang sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi dan semisalnya.
Contoh-contoh dari jenis wilâyah Takwînî ini terdapat secara gamblang dalam Al-Qur'an ihwal sebagian para nabi. Demikian juga pada riwayat-riwayat yang menjadi bukti atas jenis wilâyah ini. Oleh karena itu, tidak hanya dari sudut pandang rasional, bentuk Wilâyah Takwînî ini dapat terwujud, akan tetapi juga terdapat banyak dalil-dalil tekstual yang mendukung masalah ini.


d. Wilâyah Takwînî sebagai Doa untuk Terwujudnya Urusan-urusan Yang diharapkan
Aktualisasi wilâyah ini melalui perantara kekuasaan (qudrah) Tuhan. Dengan demikian, Nabi saw. dan para imam maksum a.s. berdoa, dan sesuai dengan kehendak Tuhan, doa tersebut terkabulkan.
Jenis Wilâyah Takwînî ini juga dapat terlaksana menurut akal dan teks agama. Banyak ayat dan riwayat yang menjadi contoh wilâyah ini. Mungkin dari satu sisi, kita tidak dapat menamakan hal ini sebagai wilâyah Takwînî, lantaran terkabulkannya (istijâbah) doanya berasal dari sisi Tuhan.
Banyak riwayat yang mengisyaratkan asma Allah yang agung (al-ism al-a'zhâm) yang berada dalam penguasaan Nabi dan para imam a.s. atau sebagian dari wali-wali Allah. Dengan perantaraan asma ini, mereka dapat mengatur tata cipta jagad raya ini.
Terlepas dari hakikat asma yang agung ini, riwayat-riwayat semacam ini dapat menjadi saksi atas adanya bagian ketiga dari wilâyah Takwînî ini, dan sesuai secara penuh dengan wilâyah tersebut.

54. Apakah Hakikat Bai'at itu? Dan apakah Perbedaannya dengan Pemilihan Umum?
Bai'at adalah satu jenis perjanjian dan kontrak antara pemberi bai'at dari satu sisi, dan penerima bai'at dari sisi lain. Muatan bai'at ini adalah ketaatan, mengikuti, menolong, dan membela orang yang dibai'at. Dan sesuai dengan syarat yang disebutkan dalam bai'at, bai'at memiliki tingkatan.
Berdasarkan ayat Al-Qur'an dan hadis, bai'at merupakan sejenis kontrak yang mengikat ('aqd lâzim) dari sisi pemberi bai'at. Ia wajib mengamalkan apa yang telah diikrarkannya dalam bai'at tersebut. Dengan demikian, hal ini termasuk bagian dari kaidah umum; "Aufû bil 'Uqûd (Penuhilah akad-akad itu)." (QS.Al-Maidah [5]: 1)
Oleh karena itu, orang yang memberikan bai'at tidak berhak untuk meninggalkan bai'at-nya. Akan tetapi, apabila menurut penerima bai'at tidak baik, ia dapat mencabut dan meninggalkan bai'at tersebut. Ketika itulah pemberi bai'at baru terbebas dari keharusan menaati janji yang diikrarkannya.
Sebagian orang beranggapan bahwa bai'at itu ibarat pemilihan atau sejenisnya. Padahal pemilihan persis kebalikan dari bai'at. Maksudnya, esensi pemilihan hanya mewujudkan satu jenis tugas, tanggung jawab, dan kedudukan bagi orang-orang yang dipilih. Dengan kata lain, pemilihan merupakan satu jenis perwakilan dan representasi dalam menunaikan sebuah pekerjaan. Sementara pemilih dalam pemilihan ini memiliki tugas-tugas, (seperti seluruh representasi), bai'at tidak demikian adanya.
Dengan ungkapan lain, pemilihan adalah pemberian kedudukan, dan sebagaiamana yang telah kami sebutkan, seperti perwakilan dan representasi, sementara bai'at adalah pergikatan ikrar untuk taat.
Pada sebagaian efeknya, mungkin kedua kategori ini memiliki kesamaan. Akan tetapi, kesamaan ini tidak berarti kesatuan esensi. Maka, dalam masalah bai'at, pemberi bai'at tidak dapat untuk meninggalkan bai'at-nya, sementara dalam urusan pemilihan, dalam banyak kasus, para pemilih memiliki hak untuk menanggalkan pemilihan sehingga mereka dapat mendepak secara kolektif orang yang dipilih. (Perhatikan baik-baik).

55. Apakah Bai'at Memiliki Peran dalam Legitimasi Kepemimpinan Seorang Nabi atau Imam?
Nabi saw. dan para imam maksum a.s. yang ditunjuk oleh Allah swt. secara langsung tidak pernah memerlukan bai'at. Maksudnya, ketaatan kepada Nabi saw. dan para imam maksum a.s. dan penunjukkan dari sisi Tuhan bersifat niscaya dan mesti, baik atas mereka yang berbai'at atau mereka yang tidak.
Dengan kata lain, kedudukan kenabian dan imâmah adalah wajib untuk ditaati. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amr di antara Kamu." (QS. An-Nisa' [4]: 59)
Dari sini munsul satu pertanyaan, yaitu mengapa Nabi saw. berulang kali mengambil bai'at dari para sahabat dan orang-orang yang baru memeluk Islam?, sebagaimana tersebut di dalam Al-Qur'an secara jelas: bai'at Ridhwân dalam surat Al-Fath [48], ayat 18, dan bai'at dengan penduduk Makkah dalam surat Al-Mumtahanah [60].
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita tekankan bahwa seluruh bai'at itu merupakan satu jenis pengukuhan atas loyalitas yang diambil pada kondisi-kondisi tertentu, dan digunakan khususnya dalam menghadapi keadaan kritis. Hal ini dilakukan supaya di bawah siluetnya, bai'at ini dapat menghembuskan berkahnya kepada setiap orang.
Akan tetapi, bai'at yang dilakukan oleh para khalifah adalah sebagai penerimaan kedudukan khilafah (pemerintahan). Betapapun demikian, kami meyakini bahwa khilafah Nabi saw. bukan sebuah kedudukan yang diperoleh melalui bai'at, melainkan semata-mata dari sisi Allah swt. dan terwujud melalui persona Nabi saw. dan para imam maksum a.s.

56. Apakah Filsafat Intizhâr (Penantian) itu?
Dalam ajaran Islam, keyakinan akan kemunculan Imam Mahdi a.s. bukan produk impor ajaran agama lain. Konsep ini merupakan ajaran yang paling tegas dari seseorang yang meletakkan pondasi Islam (Nabi saw.). Umumnya aliran-aliran Islam dalam masalah ini bersepakat, dan hadis-hadis yang berkaitan dengannya adalah mutawâtir.
Kini, marilah kita melangkah ke kejadian-kejadian yang terjadi selama masa penantian ini pada kondisi aktual dan terkini komunitas Islam, dan kita lihat apakah kemunculan manusia seperti ini sebegitu fiktifnya sehingga lalai dari keadaan sekitarnya dan pasrah terhadap segala bentuk kondisi? Atau sebenarnya keyakinan ini adalah satu jenis seruan kepada kebangkitan dan pembangunan individu dan masyarakat?
Apakah penantian ini dapat menciptakan gerakan (baca: dinamika) atau stagnasi? Apakah ia membawa beban responsibilitas atau malah membuat kita lari dari tanggung jawab? Dan akhirnya, apakah penantian ini merupakan pelelap atau pembangkit?
Namun, sebelum menjelaskan dan mengkaji pertanyaan-pertanyaan ini, seharusnya kita memperhatikan satu poin yang sangat penting, yaitu bahwa aturan-aturan yang paling maju dan pemahaman yang unggul sekalipun, jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak ahli atau tidak laik, mungkin akan menimbulkan penyelewengan yang sedemikian bermetamorfosis sehingga ia akan memberikan hasil yang sama sekali bertentangan dengan tujuan utama dan bergerak di atas jalan yang sebaliknya. Banyak contoh yang bisa dibawakan di sini. Dan masalah penantian-sebagaimana yang kita akan lihat-berada pada asumsi ini.
Di atas segalanya, untuk melepaskan diri dari setiap bentuk kesalahan dalm mengevaluasi pembahasan seperti ini, hendaknya kita mengambil air dari sumbernya sehingga tidak menyisakan kontaminasi yang barangkali datang dari sungai-sungai dan saluran-saluran di pertengahan jalan.
Sekaitan dengan masalah "penantian", sebagian kita secara langsung bertolak menuju teks-teks asli Islam, lalu kita jadikan berbagai redaksi riwayat yang menegaskan masalah ini sebagai objek kajian, sehingga kita mendapatkan banyak masukan dari tujuan utama kita, yaitu menulusuri masalah penantian (intizhâr) ini.
Kini mari kita renungkan baik-baik beberapa riwayat di bawah ini:
a. Seseorang bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s. perihal seseorang yang beriman pada imamah para Imam dan menantikan munculnya pemerintahan hak, sedangkan ia akan meninggal. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam menjawab pertanyaan ini berkata, "Ia ibarat orang yang menyertai pemimpin revolusi dalam kemah, dan setelah itu jeda beberapa waktu." Beliau melanjutkan, "Ibarat orang yang bertempur di sisi Rasulullah saw." Kandungan riwayat seperti ini banyak jumlahnya dengan redaksi yang berbeda-beda.
b. Sebagian hadis lain menyatakan, "Ibarat pejuang yang mengayunkan pedang di jalan Allah."
c. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, "Seperti orang yang beserta Rasullah saw. dengan pedang yang menebas kepala musuh."
d. Dalam riwayat yang lain, "Ibarat orang yang berada di bawah panji Al-Qâ'im."
e. Dalam riwayat lain, "Ibarat orang yang berjihad di hadapan Rasulullah saw."
f. Dalam riwayat lain, "Sebagaimana orang yang syahid bersama Rasulullah saw."
Tujuh perumpamaan atas penantian kemunculan Imam Mahdi a.s. terdapat dalam enam riwayat di atas. Semua itu dapat menjadi penjelas satu realita. Yaitu, adanya sebuah bentuk hubungan antara masalah penantian dari satu sisi, dan jihad melawan musuh di sisi yang lain.
g. Hadis yang beragam juga menegaskan bahwa penantian akan pemerintahan seperti ini dinayatakan sebagai ibadah yang paling tinggi:
Muatan riwayat ini berasal dari Nabi saw. dan Amirul Mukminin a.s. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda; "Sebaik-baik amal umatku adalah menantikan faraj (keluasan dan kebebasan) yang berasal dari sisi Tuhan".
Dalam hadis yang lain, Nabi saw. bersabda, "Sebaik-baik ibadah adalah menantikan faraj (keluasan dan kebebasan)."
Kita ketahui bahwa hadis ini mengindikasikan penantian faraj dengan makna yang luas atau dengan pengertian khusus, yaitu penantian kemunculan pembaru agung semesta. Dengan demikian, signifikansi penantian dalam pembahasan kita kali ini akan semakin terang.
Dengan menyimak segenap redaksi riwayat ini, indikasinya adalah penantian revolusi sebesar itu senantiasa disertai dengan satu jihad yang menyeluruh dan ekstensif, sehingga kita dapat bertolak menuju pengertian penantian, lalu dari semua itu kita mengambil sebuah konklusi.


Pengertian Penantian
Galibnya, Intizhâr (penantian) adalah kondisi seseorang yang berada dalam kesedihan dan ia berusaha untuk menciptakan keadaan yang lebih baik.
Sebagai contoh, orang sakit yang menantikan datangnya kesembuhan atau orang tua yang menantikan anaknya kembali dari perjalanan. Dalam keadaan sakit dan berpisah dengan anak, seseorang merasa sedih, dan ia berupaya untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Sebagaimana juga seorang peniaga yang susah akibat gejolak pasar dan menantikan redanya krisis ekonomi. Peniaga ini menghadapi dua kondisi: "pasrah dengan kondisi yang ada" dan "upaya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik".
Oleh karena itu, masalah penantian pemerintahan hak dan adil (Mahdi) dan bangkitnya pembaru dunia sebenarnya terdiri dari dua unsur: unsur negasi (nafy) dan unsur afirmasi (itsbât). Unsur negasinya adalah menolak pasrah dengan kondisi yang ada dan unsur afirmasinya adalah kehendak kepada keadaan yang lebih baik.
Apabila kedua unsur ini mengakar dalam ruh manusia, keduanya akan menjadi dua cabang amal yang ekstensif. Kedua cabang amal ini akan menolak seluruh koordinasi dan kerjasama dengan faktor-faktor tiran, korup, dan bahkan, berusaha untuk memerangi mereka, dari satu sisi. Dan dari sisi lain, ia akan membangun diri dan berswadaya, mempersiapkan diri dari sisi jiwa dan raga, materi dan maknawi untuk membentuk pemerintah tunggal universal dan komunal.
Dan hendaknya kita perhatikan baik-baik bahwa kita melihat kedua unsur yang telah disebutkan di atas bersifat konstruktif dan merupakan faktor penggerak, inspiratif dan pembangkit.
Dengan memperhatikan pengertian dasar intizhâr (penantian), makna pelbagai riwayat tentang ganjaran dan hasil kerja para penanti yang telah kami nukil di atas akan dapat dipahami dengan baik. Kini kita memahami bahwa mengapa para penanti sejati terkadang ibarat orang-orang yang terhitung berada dalam kemah Imam Mahdi a.s., di bawah panji imam, seperti seseorang yang mengayunkan pedang di jalan Allah, atau bersimbah dengan darah dalam meraih syahadah.
Apakah semua ini bukan merupakan indikasi atas adanya tingkatan dan derajat perjuangan yang berbeda di jalan hak dan keadilan yang sesuai dengan derajat persiapan setiap orang?
Maksudnya, sebagaimana tolok ukur loyalitas para mujahid di jalan Allah dan peran mereka berbeda satu dengan yang lainnya, begitu pula penantian, persiapan, dan konstruksi diri juga memiliki derajat yang berbeda. Masing-masing dari sudut pandang "mukaddimah" dan "hasil" memiliki kesamaan. Masing-masing adalah perjuangan dan masing-masing menuntut persiapan dan konstruksi diri. Seseorang yang berada dalam tenda pemimpin pemerintahan seperti itu berarti ia berada pada sentral komando sebuah pemerintahan universal. Tidak ada tempat bagi seseorang yang lalai dan alpa. Tempat itu tidak diperuntukkan bagi setiap orang. Tempat itu adalah tempat bagi orang yang layak dan patut sesuai dengan keadaan dan signifikansi yang dimilikinya.
Demikian juga seseorang yang memiliki kebaikan di hadapan pemimpin revolusi ini; berperang dengan para penentang pemerintahan keadilan dan kebaikan, memiliki persiapan ruhani, pikiran, dan kesiagaan tempur.
Untuk keterangan lebih jauh tentang efek dan realitas-realitas penantian kemunculan Imam Mahdi a.s, silakan simak penjelasan di bawah ini.


Penantian adalah Siaga Penuh
Sekiranya aku dzalim dan korup, bagaimana mungkin aku menantikan seseorang yang pedangnya digunakan untuk menumpahkan darah orang-orang dzalim dan korup?
Sekiranya aku ini manusia busuk, bagaimana mungkin aku menantikan revolusi yang kobaran pertamanya membakar orang-orang yang busuk?
Prajurit yang berada dalam penantian jihad agung akan selalu meningkatkan kesiagaan tempurnya. Spirit angin revolusi akan selalu berhembus ke arahnya dan ia akan selalu memperbaiki segala titik kelemahan yang dimilikinya. Hal itu lantaran kualitas penantian disertai dengan tujuan penantian.
Penantian datangnya musafir biasa dari perjalanan.
Penantian kembalinya seorang sahabat yang budiman.
Penantian tibanya musim menuai hasil.
Setiap penantian ini bergantung kepada satu jenis persiapan. Di antaranya, rumah harus tersedia dan alat-alat untuk menyambut orang yang selalu dinantikan harus dipersiapkan. Dan pada penantian yang lain, sarana-sarana yang diperlukan, seperti arit, cangkul, dan traktor, pun harus dipersiapkan.
Kini pikirkanlah mereka yang menantikan kebangkitan seorang pembaru agung dunia, pada hakikatnya memiliki penantian revolusi dan perubahan radikal, yang merupakan revolusi yang paling fundamental dan luas di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Revolusi yang berbeda dengan revolusi-revolusi sebelumnya yang tidak memiliki dimensi lokal, melainkan bersifat mendunia dan menyeluruh, dan bahkan termasuk seluruh dimensi kehidupan manusia. Revolusi ini adalah revolusi politik, kultur, ekonomi, dan moral.


Filsafat Pertama: Konstruksi Diri Setiap Individu
Sebelum segala sesuatunya, perubahan besar ini memerlukan unsur-unsur persiapan setiap orang sehingga ia mampu memikul beban berat revolusi yang menguasai dunia ini. Dan ini pada mulanya memerlukan peningkatan informasi, pemikiran, persiapan spiritual, dan intelektual untuk koordinasi dalam mengawali program agung ini. Pandangan parokial, wawasan sempit, pemikiran yang menyimpang, kedengkian, ikhtilaf yang tak sehat dan irasional, segala bentuk kemunafikan, dan ketercerai-beraian tidak sesuai dengan sikap penanti sejati.
Poin penting di sini ialah bahwa untuk program sekrusial itu, penanti sejati tidak akan berperan sebagai penonton belaka. Ia sejadk dini harus berada pada barisan para revolusioner.
Iman pada hasil dan akhir dari perubahan ini sekali-kali tidak melepaskannya berada pada barisan penentangnya. Dan menempatkan dirinya di barisan revolusi juga memerlukan perbuatan-perbuatan suci dan jiwa yang tulus dan mempersenjatai diri dengan informasi dan keprawiraan yang memadai.
Sekiranya aku bermental korup dan buruk, maka dalam penantian militeristik yang tidak membuat orang-orang buruk kecuali terhina dan terhempas, bagaimana mungkin aku menunggu dalam penantian?
Apakah untuk menyuling spiritual, intelektual, dan penyucian jiwa dan raga dari polusi noda-noda, penantian ini tidak cukup?
Prajurit yang berada dalam masa penantian sebuah jihad pembebasan, niscaya selalu dalam keadaan siaga sempurna dan memperoleh senjata yang pantas untuk memasuki medan tempur seperti ini. Ia akan membangun basis pertahanan dan meningkatkan kesiapan tempur orang-orangnya. Ia selalu mengokohkan semangat mereka dan senantiasa menjaga supaya bara cinta dalam sanubari setiap prajurit untuk peperangan seperti ini tetap menyala. Prajurit yang tidak memiliki persiapan semacam ini, sekali-kali ia tidak akan pernah melewati masa penantian, dan kalau ia mengatakan dalam kondisi penantian, sungguh ia telah berkata dusta.
Menantikan seorang Pembaru dunia berarti bersiaga secara penuh, baik dari sisi intelektual dan moral, maupun materi dan maknawi, untuk perbaikan tatanan seluruh jagad. Pikirkanlah betapa konstruktifnya kesiagaan semacam ini.
Reformasi di seantero dunia dan mengakhiri segenap kezaliman bukanlah sebuah cerita komedi dan pekerjaan ringan. Bersiagalah untuk tujuan agung ini, dan Anda harus selaras dengan tujuan tersebut. Maksudnya, seluk dan beluk tujuan tersebut!
mewujudkan revolusi semacam ini memerlukan seorang yang berjiwa besar, bertekad kuat, suci, bercita-cita tinggi, bersiaga penuh, dan memiliki pandangan yang dalam.
Dan konstruksi diri demi tujuan seperti ini menuntut tersedianya program-program yang paling serius pada bidang moral, intelektual, dan sosial. Inilah makna penantian sejati. Apakah ada yang dapat mengatakan bahwa penantian semacam ini tidak konstruktif dan tidak membangun?


Filsafat Kedua: Swadaya Masyarakat
Pada saat menjalankan tugas, para penanti sejati tidak hanya berbuat untuk dirinya, tetapi ia juga memperhatikan keadaan yang lain. Di samping membenahi diri sendiri, ia juga berupaya memberbaiki orang lain. Sebab, misi agung dan berat sebesar "penantian" bukanlah sebuah agenda perseorangan. Agenda ini adalah sebuah program yang harus melibatkan seluruh unsur revolusi. Tugas harus dilakukan secara kolektif dan komunal. Pelbagai usaha dan upaya harus terkoordinasi. Seluk-beluk koordinasi ini harus seagung program revolusi semesta yang dinantikan.
Di sebuah medan luas peperangan kolektif, tidak seorang pun yang lalai dari memikirkan keadaan orang lain. Ia senantiasa berhati-hati. Setiap lini lemah yang ia lihat, segera diperbaiki. Setiap keadaan yang membawa petaka, secepatnya ia tanggulangi. Ia selalu menguatkan setiap bagian kelemahan dan ketidakmampuan yang ada. Karena, tanpa partisipasi aktif dan koordinatif, seluruh pejuang (mujâhid) tidak akan dapat mengemban misi ini.
Oleh karena itu, selain berupaya memperbaiki diri, penanti sejati juga memiliki tugas untuk memperbaiki orang lain. Hal ini merupakan hasil konstruktif lainnya dalam menantikan kebangkitan seorang pembaru dunia, dan inilah filsafat seluruh keutamaan para penanti sejati yang telah diperhitungkan.

Filsafat Ketiga: Penanti Sejati dalam Lingkungan Korup Tidak Akan Mendapatkan Solusi
Efek penting lain dari penantian Imam Mahdi a.s. ialah bahwa hal ini tidak akan pernah terwujud dalam lingkungan yang korup dan ketidakpasrahan dalam menghadapi segala gejala busuk.


Penjelasan
Manakala kerusakan merajalela dan mayoritas orang tertercemari, kerap orang-orang suci menemui jalan buntu yang pelik; jalan buntu yang bersumber dari gerakan-gerakan reformis yang putus asa.
Terkadang mereka berpikir, semuanya telah terjadi, dan tidak ada lagi harapan perbaikan. Upaya dan usaha dalam menjaga dirinya untuk tetap suci malah sia-sia. Putus asa seperti ini boleh jadi menggiring mereka secara bertahap kepada kerusakan dan pasrah pada lingkungan, mereka tidak dapat menjaga dirinya sebagai seorang saleh yang minoritas yang melawan kesalahan mayoritas, lalu berbaur lenyap di dalamnya. Hal ini akan membuatnya kehilangan wibawa dan harga diri.
Satu-satunya hal yang dapat dilakukan sehingga harapan masih tersisa di dalam diri mereka dan mengajak untuk selalu bersikap resistan, konsisten, dan sabar, serta tidak membiarkan mereka larut dalam lingkungan korup adalah berharap pada reformasi akhir jaman, disertai dengan semangat untuk tidak menyerah dalam berusaha, untuk menjaga diri agar tetap suci, dan melakukan perbaikan atas orang lain.
Apabila kita perhatikan ajaran-ajaran Islam, putus asa dari ampunan merupakan salah satu dosa besar. Barangkali orang-orang yang tidak ahli dalam bidang ini akan terkejut mengapa keputusasaan dari rahmat Tuhan dianggap sedemikian penting, bahkan lebih penting dari dosa-dosa yang lain? Jawabannya, karena para pendosa yang putus asa dari rahmat Tuhan tidak punya motivasi untuk menebus kesalahan atau-setidaknya-meninggalkan maksiatnya itu. Logika hidupnya adalah kini air telah dingin di hadapanku, persetan apakah segalon atau seratus galon? Kunodai duniaku, dan aku tidak merasa gundah. Tidak ada yang lebih legam melebihi warna hitam. Akhirnya adalah jahanam. Aku yang kini telah membelinya untuk diriku, kini aku takut apa lagi? Dan logika-logika lain semacam ini.
Akan tetapi, tatkala setiap hari harapannya tumbuh dan berharap maaf dari Tuhan, harapan terhadap perubahan kondisi yang ada ini akan menjadi titik awal perubahan dalam hidupnya. Demikian ini akan membawanya untuk menghentikan dosa dan kembali kepada kesucian dan perbaikan.
Atas dasar ini, asa dan harapan dapat dijadikan sebagai salah satu faktor determinan dalam pendidikan orang-orang korup. Demikian juga bagi seorang saleh yang hidup di lingkungan yang korup. Tanpa asa dan harapan, ia tidak dapat menjaga dirinya dari noda korupsi ini.
Kesimpulannya adalah, bahwa betapa pun rusaknya tatanan dunia, harapan terhadap kemunculan seorang pembaru dunia semakin besar dan ini menanamkan kesan mendalam pada jiwa orang-orang yang percaya pada kemunculannya. Harapan ini membantu mereka berhadapan dengan gelombang kerusakan. Ia tidak hanya tidak kehilangan asa dengan merajalelanya kerusakan, lebih dari itu ia juga melihat adanya sebuah titik harapan.


Semakin Dekat datangnya Janji, Semakin Membara Api Cinta
Ia melihat dirinya sampai kepada tujuan dan berupaya berjuang melawan kerusakan atau menjaga dirinya dengan kerinduan dan cinta.
Dari pembahasan sebelumnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kesan penantian hanya dapat memberikan hasil konsep yang tidak direduksi atau diselewengkan, sebagaimana dilakukan kelompok penentang yang menyelewengkan maknanya atau kelompok pendukung yang mereduksi kandungannya. Sekiranya makna sejati penantian tersebut benar-benar dihayati dan diaktualkan secara individu dan sosial, ia akan menjadi sebuah faktor edukasi dan konstruksi diri, gerakan dan harapan.
Di antara bukti-bukti jelas yang menegaskan subjek pembahasan kita kali ini adalah ayat "Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh ...." Diriwayatkan dari para imam maksum a.s. bahwa maksud ayat ini adalah Imam Mahdi a.s. beserta para sahabatnya.
Dan dalam hadis yang lain kita membaca, "Ayat ini turun berkenaan dengan Mahdi a.s."
Pada ayat ini, Imam Mahdi a.s. beserta sahabatnya dikenal sebagai "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh". Dengan demikian, terealisirnya revolusi semesta ini tanpa iman yang kokoh yang dapat menjauhkan segala bentuk kelemahan dan kekejian, serta tanpa amal saleh yang menjadi kunci pembuka jalan untuk perbaikan semesta tidak akan mungkin dapat terwujud. Mereka yang berada dalam penantian memiliki agenda semacam ini. Di samping informasi yang dimilikinya harus ditingkatkan, ia juga harus berupaya untuk memperbaiki amalan-amalannya.
Orang-orang seperti ini tidak hanya akan memberikan kabar gembira untuk selainnya demi terwujudnya pemerintahan Imam Mahdi a.s. dan tidak juga bekerja sama dengan kaum dzalim. Mereka selalu mengutamakan amal saleh. Mereka bukan penakut dan lemah yang takut kepada siapa saja, termasuk kepada bayangannya sendiri. Mereka juga bukan orang-orang malas, tanpa gairah.
Inilah efek konstruktif keyakinan terhadap konsep kebangkitan Imam Mahdi a.s. dalam komunitas Islam.
Di samping itu, ia juga harus berusaha untuk meningkatkan ilmu dan imannya, dan berupaya maksimal untuk memperbaiki amal dan perbuatannya.


CATATAN KAKI:
Ad-Durr al-Mantsûr, jilid 6, hal. 379 dalam penafsiran surat al-Bayyinah [98], ayat 7.
Syawâhid at-Tanzîl, jilid 2, hal. 357.
Idem, hal. 359.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 9, hal. 22.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 9, hal. 161.
Pada tragedi Karbala disebutkan bahwa Imam Husain a.s. pada malam Asyura membaca doa sembari menyatakan apresiasi dan respek terhadap para sahabat dan penolongnya. Imam Husain a.s. menarik bai'at mereka, sehingga mereka bebas ke mana pun mereka hendak pergi. (Akan tetapi, mereka tetap setia kepada Imam Husain a.s.). Silakan rujuk Al-Kâmil, karya Ibn Atsir, jilid 4, hal. 57.
Tafsir Nemûneh, jilid 22, hal. 71.
Al-Mahâsin sesuai dengan nukilan Bihâr al-Anwâr, cetakan lama, jilid 13, hal. 136.
Al-Kâfî, sesuai dengan nukilan dari Bihâr al-Anwâr, jilid 13, hal. 137.
Al-Kâfî, sesuai dengan nukilan dari Bihâr al-Anwâr, jilid 13, hal. 136.
Bihâr al-Anwâr, cetakan lama, jilid 13, hal. 14.
Tafsir Nemûneh, jilid7, hal. 378.

10
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Hari Kiamat (Ma'âd)

57. Apakah Argumentasi Rasional atas Kejadian Hari Kiamat?
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak terbilang jumlahnya tentang Hari Kiamat (sekitar ratusan ayat), terdapat dalil-dalil rasional ('aqlî) yang sebagiannya secara garis besar akan kami uraikan di sini.


a. Argumentasi Hikmah
Apabila kita memandang kehidupan dunia ini tanpa adanya kehidupan yang lain, maka kehidupan dunia ini akan terasa nihil dan tanpa makna. Persis seperti kita beranggapan bahwa kehidupan di alam rahim tanpa adanya kehidupan dunia setelahnya adalah hampa.
Berdasarkan tata cipta, apabila manusia pada awal detik-detik penciptaannya akan binasa dan mati, betapa kehidupan alam rahim akan menjadi sebuah kehidupan yang tanpa makna? Demikian juga apabila dibayangkan kehidupan dunia ini terputus dari kehidupan lainnya, kehidupan ini akan mengalami kehampaan. Haruskah kita hanya hidup selama -kurang-lebih- tujuh puluh tahun di alam dunia ini dengan segenap masalah yang kita hadapi, lalu kita musnah begitu saja? Beberapa lamakah kita menjalani masa muda, dan tanpa pengalaman "Hingga menjadi matang wahai bocah ingusan" usia ini akan berakhir?
Beberapa lama kita harus mengejar ilmu pengetahuan, dan setelah memperoleh segala pengetahuan, salju ketuaan datang menerpa kita.
Lalu, untuk apa kita hidup? Menyantap beberapa porsi makanan, memakai beberapa potong pakaian, bangun dan tidur, yang berulang-ulang terus menerus, melanjutkan aktivitas hidup yang membosankan dan melelahkan?
Sebenarnya, apakah langit yang membentang dan bumi yang menghampar, dan seluruh pendahuluan dan pengakhiran, seluruh guru, seluruh perpustakaan besar, dan seluruh pekerjaan-pekerjaan rumit dalam penciptaan kita dan makhluk-makhluk yang lain; seluruhnya dialokasikan untuk makan, tidur, pakaian, dan kehidupan materi?
Di sinilah mereka yang menolak kejadian Hari Kiamat harus mengakui kenihilan dan ketakbermaknaan hidup mereka. Ironisnya, sebagian mereka melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan diri dari kehidupan nihil ini, dan itu malah menjadi kebanggaan bagi mereka.
Bagaimana mungkin seseorang yang beriman kepada Allah swt. dan kemahabijaksanaan-Nya yang tak terhingga, meyakini bahwa kehidupan dunia ini bukan sebagai penduluan untuk memasuki kehidupan abadi di alam lain?
Al-Qur'an berfirman, "Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu secara main-main [saja], dan bahwa Kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al-Mukminun [23]: 115)
Maksudnya, apabila kamu tidak kembali ke sisi Tuhan, maka dunia ini akan mengalami kesia-siaan dan ketanpamaknaan.
Ya! Kehidupan dunia ini akan memiliki makna dan sesuai dengan hikmah Ilahi jika "ad-dunyâ mazra'atul âkhirah" (dunia ini merupakan ladang akhirat). Kita harus memandang dunia ini sebagai lintasan untuk memasuki alam yang lebih luas. Dunia ini merupakan lahan persiapan untuk menjelang dunia lain, dan pasar bagi kehidupan akan datang.
Demikianlah Amirul Mukminin Ali a.s. bersabda dalam kalimat yang sarat makna: "Dunia ini adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya, tempat aman bagi mereka yang memahaminya; kediaman yang kaya bagi siapa yang mengumpulkan bekal di dalamnya (untuk kehidupan masa datang), istana nasihat bagi yang mengambil nasihat darinya, masjid bagi para pecinta Tuhan, kediaman ibadah para malaikat Allah, rumah bagi wahyu Ilahi, dan tempat perniagaan bagi yang berbakti kepada Tuhan."
Ringkasnya, menelaah dan mengkaji keadaan dunia ini dengan baik akan memberikan kesaksian bahwa di balik kehidupan dunia ini masih terdapat kehidupan yang lain. "Dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama. Maka mengapa engkau tidak mengambil pelajaran [untuk penciptaan yang kedua]?" (QS. Al-Waqi'ah [56]: 62)


b. Argumentasi Keadilan ('Adâlah)
Dengan memperhatikan sistem semesta dan undang-undang penciptaan, seluruhnya menunjukkan bahwa segala sesuatunya berlaku sesuai dengan perhitungan yang matang.
Dalam struktur badan kita, sedemikian sistem itu beroperasi secara adil sehingga secuil pun perubahan yang terjadi akan menjadi sebab penyakit dan kematian. Gerakan jantung, sirkulasi darah, kelopak mata, dan bagian sel-sel badan kita termasuk dalam sistem yang apik dan akurat yang berlaku di alam semesta. "Wa bil-'adl qâmat as-samâwâti wal-ardh." Dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak." Apakah manusia hanyalah sebuah potongan ganjil di alam semesta yang membentang ini?
Benar bahwa Allah Swt. menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia hingga ia diuji dan dapat melintas dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Akan tetapi, sekiranya manusia menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, apa yang akan terjadi? Apabila para tiran dan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan menyalahgunakan anugerah Ilahi ini, apa yang dituntut oleh keadilan Ilahi?
Benar bahwa sekelompok orang yang buruk perbuatannya di dunia ini akan dikenakan hukuman atau setidaknya sebagian dari hukuman tersebut. Akan tetapi, tentu saja tidak seluruh pelaku kejahatan mendapatkan hukuman atas perbuatannya, atau seluruh orang-orang suci dan baik tidak mendapatkan ganjaran dari perbuatan baik mereka di dunia ini secara tunai. Lalu, apakah mungkin kedua kelompok ini berada pada satu telapak keadilan Ilahi? Menurut Al-Qur'an: "Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berbuat dosa [orang kafir]? Mengapa kamu [berbuat demikian]; bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (QS. Al-Qalam [68]: 35-36)
Di tempat lain Al-Qur'an menegaskan, "... Patutkah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?" (QS. Ash-Shaf [61]: 28)
Secara umum, tidak ada keraguan tentang perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Allah swt, sebagaimana juga ganjaran yang dapat diterima dunia ini tidaklah memadai. Mahkamah fitrah, dan reaksi dosa-dosa dengan sendirinya (tanpa adanya Kiamat) pun tidaklah cukup. Oleh karena itu, kita mesti menerima bahwa dalam upaya menegakkan keadilan Ilahi harus terdapat sebuah mahkamah pengadilan yang bersifat menyeluruh, sehingga sekecil apa pun kebaikan atau perbuatan buruk harus diperhitungkan di dalamnya. Apabila tidak, asas keadilan tidak akan pernah dapat tegak.
Dengan demikian, harus kita terima bahwa penerimaan keadilan Tuhan sama dengan penerimaan adanya Hari Kiamat (ma'âd) dan Hari Kebangkitan. Al-Qur'an menyebutkan, "Kami akan tegakkan neraca-neraca keadilan pada Hari Kiamat." (QS. Al-Nabi' [21]: 47)
Al-Qur'an juga menegaskan, "Pada Hari Kiamat mereka akan dihukum berdasarkan keadilan dan mereka tidak akan dizalimi dan dianiaya." (QS. Yunus [10]: 54)


c. Argumentasi Tujuan Penciptaan
Berbeda dengan anggapan kaum materialis, manusia dalam pandangan dunia tauhid memiliki tujuan dalam penciptaannya. Tujuan ini dalam terma filsafat disebut sebagai takâmul (kesempurnaan), dan dalam bahasa Al-Qur'an dan hadis dikenal sebagai qurb ilallôh (kedekatan diri kepada Tuhan) atau ibadah (penghambaan). "Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Di bawah cahaya penghambaan ini, mereka mencapai kesempurnaan dan merengkuh kedekatan kepada Allah swt.
Apakah tujuan agung ini dapat tercapai jika kematian merupakan akhir dari segalanya? Tanpa ragu, jawaban adalah tidak (negatif).
Kehidupan setelah kematian di dunia ini melazimkan adanya dunia lain dan penyempurnaan manusia menjalani proses kontiunitas. Dan tempat menuai hasil ladang dunia ini adalah alam sana. Bahkan, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, di dunia yang lain, perjalanan menuju kesempurnaan (takâmul) ini berlanjut sehingga tujuan akhir ini dapat tergapai.
Konklusinya, pencapaian tujuan penciptaan ini tanpa keberadaan ma'âd tidak akan dapat terwujud. Dan sekiranya kita memutus relasi kehidupan ini dengan kehidupan pasca kematian, maka seluruh kehidupan ini misterius, dan kita tidak akan pernah memiliki jawaban atas pertanyaan mengapa dan mengapa.

58. Apakah Ruh itu, dan Bagaimana Membuktikan Kesejatian Ruh?
Di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 85 kita membaca, "Ketika bereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh merupakan urusan-Ku.'"
Para penafsir besar, sejak dulu hingga kini, telah membahas makna ruh. Di sisi pertama-tama, kita amati makna ruh secara leksikal, lalu penggunaannya dalam Al-Qur'an, kemudian tafsir ayat dan riwayat yang bertautan dengan masalah ini.


a. Ruh Secara Leksikal
Ruh secara leksikal berarti "nafs" dan "berlari". Sebagian mufassir menjelaskan bahwa ruh dan rîh (angin), keduanya berakar kata satu. Dan apabila ruh manusia yang merupakan substansi mandiri yang abstrak disebut dengan nama ini, lantaran ia bergerak dan membawa kehidupan. Selain itu, keduanya (angin dan ruh) tidak terindra secara kasat mata.


b. Ruh di Dalam Al-Qur'an
Penggunaan kalimat ruh dalam Al-Qur'an sangat beragam. Terkadang bermakna ruh muqaddas yang menguatkan Rasulullah saw. dalam menyampaikan risalah, seperti yang tertuang dalam ayat, "... Dan Kami menganugerahkan kepada Isa bin Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus ..." (QS. Al-Baqarah [2]: 253)
Terkadang pula disebut sebagai kekuatan maknawi Ilahi yang menguatkan kaum mukmin, seperti dalam ayat, "Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya ...." (QS. Al-Mujadalah [58]: 22).
Arti lain dari ruh itu adalah "malaikat khusus wahyu" dan disifati sebagai amin, seperti dalam ayat, "... ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin [Jibril] ke dalam hatimu [Muhammad] agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (QS. Asy-Syu'ara' [26]: 193-194), dan acapkali bermakna malaikat besar dari malaikat-malaikat khusus Tuhan, atau makhluk agung dari jenis malaikat, seperti dalam ayat, "Dan pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-Nya untuk mengatur segala urusan." (QS. Al-Qadr [97]: 4) dan dalam ayat, "Pada hari itu, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf ...." (QS. An-Naba' [78]: 38).
Terkadang ruh juga bermakna Al-Qur'an dan wahyu samawi, "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu [Al-Qur'an] dengan perintah Kami ...." (QS. Asy-Syura [42]: 52)
Dan pada akhirnya, ruh terkadang pula bermakna ruh insani, sebagaimana pada ayat penciptaan Nabi Adam a.s., "Kemudian Ia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam [tubuh]nya ruh [ciptaan]-Nya." Demikian juga pada surat Al-Hijr, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh [ciptaan-Ku], maka tunduklah engkau kepadanya dengan bersujud." (QS. Al-Hijr [15]: 29)


c. Penafsiran Ruh
Inti persoalan kita kali ini adalah apakah yang dimaksudkan dengan ruh? Ruh manakah yang dimaksudkan sehingga beberapa orang begitu antusias bertanya tentang hakikatnya. Nabi saw. dalam menjawab pertanyaan ini bersabda, "Ruh adalah urusan Tuhan-ku dan Kamu tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit."
Dari beberapa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut dan selainnya, yang ditanyakan oleh beberapa penanya itu adalah hakikat ruh manusia. Ruh agung inilah yang membedakan kita dengan hewan-hewan dan menjadi kemuliaan superlatif kita. Seluruh kekuatan dan aktifitas kita bersumber darinya, dan dengannya kita dapat melakukan aktifitas dan kehidupan dunia ini. Berkatnya kita dapat menyingkap rahasia-rahasia ilmu dan menemukan jalan untuk menyelami kedalaman seluruh wujud. Mereka ingin mengetahui apa hakikat makhluk yang menakjubkan ini.
Ruh memiliki struktur yang berbeda dengan struktur materi. Asas yang berlaku atasnya bukanlah asas yang berlaku atas materi, serta tipologi fisis dan kimawi. Nabi saw. ditugaskan dalam satu kalimat yang ringkas dan padat: "Ruh berasal dari alam amr." Artinya, ruh merupakan ciptaan yang sarat dengan rahasia.
Lalu, supaya tidak terkejut dengan jawaban yang diberikan, ditambahkan bahwa ilmu Anda dan manfaat yang Anda peroleh darinya bukanlah apa-apa (nothing). Oleh karena itu, sangat menakjubkan sekali Anda tidak mengetahui rahasia-rahasia ruh, betapa pun ia lebih dekat kepada Anda dari segala sesuatu.
Dalam Tafsir 'Ayyâs diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya tentang tafsir ayat tersebut. Mereka menjawab, "Sesungguhnya ruh adalah makhluk Tuhan yang memiliki penglihatan, kekuatan, dan kekuasaan. Tuhan meletakkan ruh di dalam hati para nabi dan kaum mukmin."
Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari salah satu dari kedua imam tersebut: "Ruh berasal dari alam malakût dan kekuasaan Tuhan."
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari sumber Syi'ah dan Ahli Sunnah, kita membaca bahwa musyrikin Quraisy menukil pertanyaan dari Ahli Kitab dan hendak menguji Nabi saw. Ahli Kitab berkata kepada mereka bahwa apabila Muhammad memberikan kabar yang banyak tentang ruh kepada Kamu, itu merupakan indikasi ketidakbenarannya. Namun, Nabi saw. menyampaikan ucapan yang singkat dan sarat makna kepada mereka. Sebuah ucapan yang sangat menakjubkan.
Akan tetapi, dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait, ihwal tafsir ayat di atas yang sampai kepada kita, dijumpai bahwa ruh diterangkan sebagai makhluk yang agung; Malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini yang menyertai Nabi saw. dan para imam a.s., dan mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang menyeleweng.
Riwayat-riwayat ini tidak hanya tidak bertentangan dengan tafsir ayat yang kami utarakan di atas, bahkan selaras satu dengan yang lainnya. Hal itu lantaran ruh manusia memiliki derajat. Derajat ruh yang melekat pada diri Nabi saw. dan para imam a.s. adalah derajat paling tinggi. Dan berkat ruh itu, mereka terjaga dari segala bentuk dosa dan kesalahan, serta memberikan pengetahuan dan ilmu yang luar biasa. Tentu saja derajat ruh mereka ini lebih tinggi dari seluruh malaikat, termasuk Jibril dan Mikail. (Perhatikan baik-baik)


Primordialitas dan Kemandirian Ruh
Sejarah ilmu dan pengetahuan manusia menunjukkan, permasalahan ruh, struktrur, tipologi, dan rahasia-rahasianya senantiasa menjadi perhatian para ilmuwan. Setiap ilmuwan berupaya untuk mendekati hakikatnya.
Dengan alasan ini, ulama dan kaum cendekiawan banyak melontarkan pendapat mereka tentang ruh. Barangkali ilmu dan pengetahuan kita hari ini, bahkan ilmu dan pengetahuan orang-orang di masa mendatang, tidaklah akan memadai untuk dapat menyingkap seluruh rahasia ruh. Dan meskipun ruh lebih dekat kepada kita dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, tetapi bagaimana substansi ruh dan apa yang ada di alam materi dengan kedekatan kita dengannya, dapat berbeda secara total. Kita tidak perlu terlalu kaget! Kita tidak dapat memahami rahasia dan kerumitan ciptaan yang menakjubkan dan makhluk metafisis ini.
Akan tetapi, secara umum, kendala ini tidak berasal dari ruh. Dengan pandangan akal yang tajam, kita dapat melihat lanskap ruh. Kita dapat mengetahui asas dan sistem universal yang belaku atas ruh.
Asas yang paling penting yang harus kita ketahui di sini adalah masalah primordialitas dan kemandirian ruh. Para penganut aliran-aliran materialis beranggapan bahwa ruh itu adalah materi dan bersumber dari tipologi materi otak dan sel-sel syaraf, dan segala sesuatu yang berada di balik itu adalah nihil. Hanya ini yang dapat kita bahas, tidak lebih. Sebab, persoalan "keabadian ruh" dan masalah "tajarrud sempurna atau tajarrud barzakhi" bersandar kepadanya.
Akan tetapi, sebelum memasuki pembahasan ini, kami memandang perlu untuk menjelaskan satu poin. Yaitu, melekatnya ruh pada badan manusia -sebagaimana sebagian orang beranggapan demikian- tidak sebagaimana hulul (menitis) sebagaimana angin merasuk ke dalam kesturi. Akan tetapi, hal itu adalah sebuah bentuk hubungan sebentuk hegemoni, kepemilikan, dan pengaturan ruh atas tubuh; yang diibaratkan oleh sebagian orang dengan melekatnya makna pada sebuah kata.
Tentu saja masalah ini akan menjadi jelas di sela-sela pembahasan kemandirian ruh. Kini kita kembali kepada pembicaraan utama kita.
Tak syak lagi bahwa ada perbedaan antara manusia dan batu dan kayu yang tidak memiliki ruh. Karena, kita merasakannya dengan jelas bahwa antara kita, manusia dengan wujud-wujud yang lain yang tanpa ruh, bahkan tumbuh-tumbuhan yang tanpa jiwa terdapat perbedaan. Kita, manusia memahami, mengkonsepsi, mengambil keputusan, berkehendak, mencinta, membenci dan .... Akan tetapi, tumbuh-tumbuhan dan bebatuan tidak satu pun memiliki kualitas perasaan (sense) ini. Oleh karena itu, antara kita, manusia dengan mereka terdapat satu perbedaan prinsipal, yaitu kepemilikan ruh insani.
Baik kaum materialis juga mazhab lain tidak mengingkari orisinilitas keberadaan ruh dan jiwa. Dan atas alasan keduanya (jiwa dan ruh), mereka menyebut psikologi dan psikoanalisis sebagai ilmu positif. Kedua ilmu ini, meskipun kira-kira keduanya telah melalui masa infant (balita), akan tetapi keduanya merupakan ilmu yang digunakan oleh para dosen dan peneliti di pusat-pusat pendidikan besar dunia. Dan sebagaimana yang akan kita lihat, jiwa dan ruh merupakan dua realitas yang tidak terpisah, melainkan merupakan tingkatan-tingkatan yang berbeda satu realitas.
Pada pembicaraan hubungan antara ruh dan raga dan efek mutual (saling mempengaruhi) di antara keduanya, akan menggunakan istilah "jiwa" untuknya. Dan pada pembahasan fenomena-fenomena ruh yang terpisah dari raga, kita menggunakan istilah ruh.
Kesimpulannya adalah tidak seorang pun yang mengingkari realitas yang bernama ruh dan jiwa yang berada dalam relung diri kita.
Kini harus kita lihat di manakah letak pertikaian yang melelahkan antara kaum materialis dan filsuf metafisika itu terjadi?
Jawabannya adalah, para cendekiawan Ilahi dan filsuf metafisika berkeyakinan bahwa selain materi-materi yang membentuk jasad manusia itu, terdapat sebuah realitas dan substansi yang tidak berasal dari dimensi materi, melainkan jasad manusia berada di bawah pengaruh langsungnya.
Dengan kata lain, ruh merupakan sebuah realitas metafisis. Struktur dan aktifitasnya bukan struktur dan aktifitas materi (fisik). Benar bahwa ruh ini senantiasa bertaut dengan materi, akan tetapi ia bukan materi dan tidak bercirikan materi.
Sebaliknya, para filsuf materialis berpendapat bahwa kita adalah suatu wujud yang mandiri dari materi yang bernama ruh, atau kita tidak memiliki nama lain selain materi. Apa pun yang ada merupakan materi benda dan atau efek fisik dan kimia darinya.
Organ-organ yang kita miliki yang bernama syaraf (nerve) dan otak (brain) yang memberikan aktifitas-aktifitas hidup adalah seperti organ-organ tubuh materi lainnya dan bekerja berada di bawah hukum-hukum materi.
Kelenjar yang berada di bawah lisan kita yang bernama "kelenjar saliva" (air liur) di samping melakukan aktifitas fisika, ia juga melakukan aktifitas kimia. Ketika makanan masuk ke dalam mulut, lubang-lubang artaziyan (lubang yang di dalamnya air meluap-luap) secara otomatis akan bekerja. Sedemikian lembabnya sehingga dengan ukuran itu, air itu digunakan untuk mengunyah dan menghaluskan makanan. Makanan-makanan berkuah, berkuah sedikit, dan kering, masing-masing -sesuai dengan kebutuhannya- mendapatkan bagian dari air liur (saliva) ini.
Bahan acid (asam) khususnya ketika terlalu tebal, acid ini menambahkan aktifitas terhadap saliva-saliva ini. Hingga saliva ini mendapatkan jatah yang lebih banyak dari air dengan ukuran yang cukup berair dan tidak akan mencederai dinding -dinding perut.Dan bila kita menelan makanan, aktifitas lubang-lubang ini akan menjadi diam.
Singkatnya, sistem yang berlaku atas mata-mata air yang meluap-luap ini sangat menakjubkan, sehingga sekiranya sesaat saja keseimbangan atau hitungannya saling berbenturan, air liur di mulut kita yang curam, dan atau seukuran lisan dan tenggorakan akan menjadi kering dan butiran-butiran makanan akan mengganjal di tenggorokan kita.
Pekerjaan fisik ini merupakan pekerjaan saliva. Akan tetapi, kita ketahui pekerjaan utama saliva (air liur) adalah pekerjaan kimiawi. Bahan-bahan yang beragam akan bergantung bersamanya dan akan tersintesakan dengan makanan, serta akan mengurangi pekerjaan perut.
Kaum materialis berkata, "rangkaian syaraf dan otak kita mirip dengan rangkaian kelenjar air liur (saliva), dan memiliki aktifitas-aktifitas fisis dan kimiawi (yang secara keseluruhan disebut sebagai fisis-kimiawi) dan kegiatan-kegiatan ini kita sebut dengan nama fenomena-fenomena ruh atau ruh."
Mereka berkata, "Manakala kita tenggelam dalam kegiatan berpikir, akan muncul satu rangkaian gelombang elektrik, khususnya dari otak kita. Hari ini, gelombang dengan intrumen-instrumennya diambil dan direkam di atas kertas, khususnya pada rumah-rumah sakit jiwa. Dengan menelaah gelombang ini, mereka menemukan terapi-terapi untuk mendiagnosa dan mengobati orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan. Kegiatan ini adalah kegiatan fisis otak kita.
Di samping itu, sel-sel ketika berpikir atau melakukan kegiatan-kegiatan kejiwaan lainnya memiliki satu fakultas perbuatan dan infialat kimiawi.
Oleh karena itu, ruh dan fenomena-fenomena ruh tidak lain adalah bagian tipikal fisik dan perbuatan, serta reaksi kimiawi sel-sel otak dan syaraf kita.
Dari uraian ini, mereka mengambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Kegiatan kelenjar-kelenjar air liur dan efek-efeknya yang beragam tidak terdapat pada badan, sebelum atau pun setelahnya. Kegiatan-kegiatan ruh kita juga akan lahir seiring dengan dijumpainya otak dan instrument-instrumen syaraf, dan akan hilang seiring dengan datangnya kematian.
b. Ruh merupakan ciri benda. Maka ia adalah materi dan tidak memiliki dimensi metafisis.
c. Ruh termasuk seluruh hukum-hukum yang berkuasa atas badan kita.
d. Tanpa raga, ruh tidak memiliki wujud yang mandiri. Ruh tidak dapat lepas dari raga.


Argumentasi Kaum Materialis atas Ketakmandirian Ruh
Untuk membuktikan bahwa ruh dan seluruh fenomena-fenomenanya adalah materi; dan bahwa ruh berasal dari ciri-ciri fisis dan kimiawi sel-sel otak dan syaraf, aliran-aliran materialis membawakan beberapa bukti yang kita catat di bawah ini:
1. Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa dengan non-aktifnya satu fungsi sentral syaraf, satu bagian efek ruh akan tidak bekerja dengan aktif. Misalnya, burung kakatua yang telah diobservasi. Bila kita ambil bagian-bagian khusus dari otaknya, ia tidak akan mati. Namun, kebanyakan pengetahuan yang dimilikinya akan hilang. Apabila ia disuap, ia akan memakan dan mengunyahnya. Dan apabila ia tidak disuap dan makanan itu hanya ditumpahkan di hadapannya, ia tidak akan menyetuhnya dan ia akan mati karena kelaparan.
Demikian juga, serangan-serangan otak yang menyerang manusia. Atau karena faktor sebagian penyakit, otaknya tidak akan bekerja. Survei telah membuktikan bahwa bagian pengetahuannya akan hilang dari ingatannya.
Beberapa waktu yang lalu, kita membaca dalam surat kabar, seorang pemuda yang menuntut ilmu. Lantaran serangan otak yang menimpanya pada sebuah kecelakaan di daerah sekitar Ahwaz (nama sebuah provinsi di bagian selatan Iran-AK.), pemuda ini lupa segalanya setelah beberapa waktu kejadian ini berlalu. Bahkan, ia tidak mengenal ibu dan saudara perempuannya. Ketika ia dibawa ke kampung halamannya; tempat ia dibesarkan, ia merasa asing di tempat itu.
Kejadian ini dan semisalnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan dekat antara "kegiatan-kegiatan sel-sel otak" dan "fenomena-fenomena ruh".
2. Tatkala manusia berpikir, perubahan-perubahan fisis pada tataran otak akan semakin banyak. Otak lebih banyak mengkonsumsi makanan dan mengeluarkan bahan fosfor. Ketika kita tidur, lantaran otak tidak menjalankan aktifitas berpikir, ia hanya menkonsumsi sedikit makanan. Dan hal ini sendiri adalah dalil atas kematerian efek-efek berpikir.
3. Sekian banyak observasi menunjukkan bahwa beban otak setiap pemikir galibnya lebih dari ukuran medium. (Ukuran medium otak pria kira-kira 1400 gram dan ukuran medium otak wanita sedikit kurang dari ukuran medium otak pria).
4. Apabila kekuatan berpikir dan pengetahuan adalah dalil atas keberadaan ruh yang independen, maka hal ini juga harus kita terima pada binatang. Lantaran mereka pada kadar tertentu juga memiliki pengetahuan.
Kesimpulannya, kami merasa bahwa ruh kita bukanlah wujud yang mandiri dan independen. kemajuan-kemajuan pengetahuan yang bertalian dengan hakikat manusia juga memberikan penegasan atas realitas ini.
Dari rangkaian di atas ini, kaum materialis mengambil kesimpulan bahwa kemajuan dan perkembangan fisiologi manusia dan hewan -hari demi hari- semakin mengukuhkan realitas ini. Mereka berpandangan bahwa antara fenomena-fenomena ruh dan sel-sel otak terdapat hubungan yang erat.


Poin-poin Lemah Penalaran ini
Kesalahan besar yang menjadi petaka bagi kaum materialis dalam penalaran seperti ini adalah kesalahan mereka dalam menempatkan antara "instrumen kerja" dan "pelaku kerja". Untuk mengetahui kesalahan ini, kami akan bawakan sebuah perumpamaan ke hadapan Anda. (Perhatikan baik-baik)
Semenjak masa Galileo, telah muncul pendukung gagasan perubahan pada penelitian ruang angkasa. Galileo yang berkebangsaan Italia bersama pembuat kaca mata, berhasil menciptakan teropong kecil. Namun, tentu saja Galileo sangat gembira. Di malam hari, ia mengamati bintang-bintang di langit dengan menggunakan teropong. Ia menemukan panggung yang menakjubkan di hadapan matanya, yang hingga saat itu, tidak seorang pun yang pernah melihatnya. Ia sadar bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting. Dan sejak hari itu, seluruh penelitian atas rahasia-rahasia dunia atas (baca: tata surya) jatuh ke tangan manusia.
Hingga hari itu, seluruh manusia serupa dengan seekor kupu-kupu yang hanya dapat melihat di sekelilingnya. Akan tetapi, tatkala menggunakan teropong, mereka juga dapat menyaksikan pepohonan di sekeliling hutan besar penciptaan ini.
Masalah ini mengalami modifikasi hingga teropong-teropong raksasa dibuat. Ukuran lensanya lima meter atau lebih. Mereka memasang teropong-teropong ini di dataran-dataran tinggi atau gunung-gunung yang sesuai dan memiliki udara segar. Teropong yang menjadi peralatan mereka ini, terkadang seukuran satu bangunan beberapa lantai. Dengan media teropong tersebut, manusia dapat melihat alam-alam yang terdapat di dunia atas yang selama itu -meskipun seperseribu alam atas tersebut- tidak pernah disaksikan oleh mata biasa.
Kini Anda pikirkan, apabila suatu hari teknologi manusia memungkinkan untuk membuat teropong-teropong seukuran seratus meter dengan perlatan-peralatan yang mampu meliput satu kota, betapa dunia yang akan kita jumpai.
Sekarang, pertanyaan yang muncul adalah, jika Anda ambil apabila teropong-teropong ini, niscaya bagian atau bagian-bagian pengetahuan dan penyaksian kita akan benda-benda langit itu akan tidak lagi aktif. Yakni, apakah kita yang menyaksikan benda langit itu atau teropong? Apakah teropong dan teleskop sekedar media kerja pengamatan kita yang dengannya kita melihat atau pelaku kerja dan yang dengan sendirinya melihat dan mengamati?
Pada kaitannya dengan otak, juga tidak seorang pun yang mengingkari bahwa tanpa sel-sel otak, proses berpikir menjadi mustahil. Akan tetapi, apakah otak adalah media kerja bagi ruh atau ruh itu sendiri?
Singkatnya, seluruh dalil-dalil kaum materialis yang telah diketengahkan di sini hanya dapat membuktikan bahwa di antara sel-sel otak dan kerja pencerapan kita, terdapat hubungan. Akan tetapi, tidak satu pun dari dalil-dalil itu yang membuktikan bahwa otak adalah pelaku, bukan sekedar media pencerapan. (Perhatikan baik-baik).
Berangkat dari sini, jelas bahwa orang-orang mati tidak dapat memahami sesuatu, karena hubungan ruh mereka telah terputus dengan badan mereka, bukan lantaran ruh telah binasa. Seumpama bahtera atau pesawat yang seluruh instrumen nir-kabelnya tidak lagi berfungsi. Di sini bahtera, para pemandu, dan nakhoda tetap ada. Namun, orang-orang yang tinggal di tepi pantai tidak dapat mengadakan hubungan dengan mereka, lantaran media komunikasi di antara mereka telah terputus.


Argumentasi Kemandirian Ruh
Dalam masalah ruh, kaum materialis bersiteguh bahwa fenomena-fenomena ruh merupakan ciri dan gejala sel-sel otak. Pikiran, hafalan, inovasi, cinta, kebencian, dan amarah, serta ilmu dan pengetahuan, seluruhnya berada dalam jajaran masalah laboratorium dan di bawah hukum-hukum materi. Akan tetapi, filsuf yang mendukung kemandirian ruh memiliki bukti-bukti kuat dalam menolak pandangan kaum materialis. Kami akan uraikan bukti-bukti tersebut dalam beberapa poin di bawah ini:


a. Gejala Realistik (Pengetahuan tentang Inner World)
Pertanyaan pertama yang dapat diajukan kepada kaum materialis adalah, sekiranya pikiran-pikiran dan fenomena-fenomena ruh adalah gejala "fisis-kimiawi" otak, pasti tidak akan ada perbedaan mendasar antara aktifitas otak dan aktifitas perut, ginjal, atau hati. Hal itu lantaran aktifitas perut, misalnya, adalah mensintesakan antara aktifitas-aktifitas fisik dan kimia dengan prosedur khasnya melalui mengunyah dan mempersiapkan badan untuk mengeluarkan acid-acid makanan. Demikian juga aktifitas saliva (air liur) -sebagaimana yang telah disebutkan di atas- merupakan sintesa antara aktifitas fisik dan aktifitas kimia. Sementara kita melihat aktifitas ruh berbeda dengan semua itu.
Seluruh aktifitas anggota badan masing-masing -kurang-lebih- serupa dengan yang lainnya, kecuali otak. Semua ini bersangkutan dengan dimensi-dimensi internal. Sementara fenomena-fenomena ruh memiliki dimensi eksternal dan menerangkan kepada kita ihwal keadaan eksternal keberadaan kita.
Untuk lebih jelasnya, kita renungkan beberapa poin di bawah ini:
Pertama, apakah dunia luar (diri kita) ada atau tidak? Tentu saja, ada. Kaum idealis yang mengingkari keberadaan dunia luar berpendapat, apa pun yang ada hanyalah kita dan konsep kita. Dunia luar ibarat panggung yang kita lihat dalam dunia mimpi; hanyalah sebuah khayalan. Mereka cukup getol dengan kesalahannya. Dan kesalahan mereka telah kami telah buktikan di tempat yang lain. Pembuktian ini berkisar tentang bagaimana kaum idealis pada tataran praktis menjadi kaum realis. Dan apa yang dipikirkan pada lingkungan perpustakaan, tatkala melangkahkan kaki ke lorong, jalan dan kehidupan umum, mereka melupakan semua idenya.
Kedua, apakah kita mengetahui kehidupan dunia luar atau tidak? Tentu saja jawaban pertanyaan ini adalah afirmatif (iya). Karena kita memiliki data yang melimpah tentang dunia luar. Dan kita memiliki informasi yang banyak tentang makhluk-makhluk yang berada di seputar kita atau bahkan, makhluk-makhluk yang mendiami tempat yang jauh dari kita namun berada di luar jangkuan kita. Pertanyaannya, apakah dunia luar dapat masuk ke dalam ruang internal wujud kita? Tentu saja tidak. Akan tetapi, kita dapat memahami keberadaan dunia luar dengan menggunakan gejala yang nyata dan riel. Gambaran dunia luar berada dalam benak kita.
Gejala nyata ini bukan gejala fisis-kimia otak. Lantaran gejala fisis-kimia otak ini merupakan reaksi efek-efek kita atas dunia luar. Istilahnya, merupakan akibat dari aktifitas fisis-kimia otak. Persis dengan efek-efek yang disisakan oleh makanan pada perut kita; hanya efek makanan atas perut, aksi dan reaksi fisis dan kimia tersebut yang membuat perut mengetahui makanan-makanan yang disodorkan kepadanya. Lalu bagaimana otak kita dapat mengetahui dunia luar?
Dengan kata lain, untuk mengetahui wujud-wujud eksternal, ia memerlukan satu jenis pengetahuan tentangnya. Dan lingkungan kerja ini bukanlah pekerjaan sel-sel otak. Sel-sel otak hanya dapat menerima efek dari luar. Dan efek ini seperti efek-efek anggota badan lainnya dari keadaan dunia luar. Kita dapat memahami perkara ini dengan baik.
Apabila efek dari dunia luar adalah dalil atas pengetahuan kita terhadap dunia luar, mestinya kita dapat memahaminya dengan perut dan lisan kita, sementara tidaklah demikian adanya.
Kesimpulannya, keadaan unik perangkat pengetahuan kita merupakan dalil bahwa terdapat suatu hakikat lain di sana, yang hukum-hukumnya sama sekali berbeda dengan hukum-hukum fisik dan materi. (Perhatikan baik-baik).


b. Kesatuan Pribadi

Argumentasi lain tentang kemandirian ruh yang dapat disebutkan di sini adalah kesatuan pribadi sepanjang usia seorang manusia.

Penjelasan
Apabila kita dalam segala hal dapat sangsi dan ragu, dalam perkara ini kita tidak akan merasa ragu bahwa kita ini ada.
Tentang "Aku ada dan dalam keberadaanku", aku tidak memiliki keraguan. Pengetahuanku tentang keberadaanku disebut sebagai ilmu hudhûrî (pengetahuan dengan kehadiran), bukan ilmu hushûlî (pengetahuan dengan perolehan). Maksudnya adalah bahwa aku hadir dalam diriku dan tidak terpisah dariku.
Bagaimanapun, pengetahuan kita tentang diri kita merupakan pengetahuan yang paling jelas. Pengetahuan ini tidak memerlukan penalaran. Penalaran yang terkenal adalah penalaran yang dilakukan oleh Descartes, seorang filsuf besar Prancis, yaitu "Aku berpikir, maka aku ada". Tampaknya penalaran ini bukan penalaran yang benar dan hanya bersifat lateral. Lantaran sebelum ia membuktikan wujudnya, ia sudah mengakui wujudnya sendiri! (Sekali ia berkata "aku", kembali ia berkata "aku berpikir"). Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, "aku" ini sejak awal hingga akhir usia hanya memiliki satu kesatuan (pribadi), tidak lebih. "Aku hari ini" adalah "aku kemarin" dan "aku dua puluh tahun yang lalu". Sejak kecil sampai sekarang ini, Aku adalah seorang, tidak lebih. Aku adalah orang yang dulu dan hingga akhir usia juga aku tetap orang yang sama, bukan orang lain. Tentu saja, aku belajar, aku telah memiliki ilmu, aku telah mencapai kesempurnaan, dan aku akan tetap mencapainya, akan tetapi aku tidak menjadi orang lain.
Dengan demikian, seluruh manusia sepanjang hidupnya dikenal sebagai seorang manusia; aku memiliki satu nama, aku memiliki satu tanda pengenal, dan sebagainya.
Kini kita lihat, apakah wujud satu yang telah memenuhi segenap usia kita ini? Apakah ini merupakan partikel atom, sel-sel badan, atau kumpulan sel-sel otak, serta aksi dan reaksi otak? Di sepanjang usia kita, semua ini berulang kali akan berganti. Kira-kira dalam setiap tujuh tahun, seluruh sel-sel akan mengalami pergantian (shift). Lantaran kita ketahui bahwa jutaan sel dalam badan kita setiap hari akan mati, dan jutaan sel baru akan tumbuh menggantikannya. Sebagaimana sebuah bangunan yang batu batanya secara gradual keluar, dan batu-batu bata yang baru akan datang menggantikan pekerjaan batu-batu bata yang lama. Setelah beberapa waktu, bangunan ini secara keseluruhan akan berganti meskipun orang-orang awam tidak mengetahuinya. Tak ubahnya seperti kolam renang besar. Dari satu sisi, air baru secara perlahan akan masuk ke dalam kolam renang, dan dari sisi lainnya, air yang lama akan keluar. Jelas bahwa setelah beberapa lama, seluruh air yang ada dalam kolam tersebut akan berganti, meskipun orang-orang yang melihatnya secara lahiriah tidak mengetahui perubahan ini, bahkan mereka melihat bahwa kolam renang tersebut tetap pada keadaaanya semula.
Secara umum, setiap wujud yang menerima makanan dan dari sisi lainnya menkonsumsi makanan tersebut, secara perlahan-lahan akan mengalami pembaruan dan pergantian.
Oleh karena itu, seorang anak manusia yang berusia tujuh puluh tahun, perubahan yang terjadi pada anggota badannya kira-kira sebanyak sepuluh kali (mengingat setiap tujuh tahun mengalami perubahan-AK.). Atas perhitungan ini, apabila kita -sebagaimana kaum materialis- harus memandang manusia sebagai jasad dan kumpulan organisme otak dan syaraf, serta akumulasi ciri-ciri fisis-kimiawi, maka "aku" ini dalam masa tujuh puluh tahun mengalami sepuluh kali pergantian dan bukan lagi orang yang sebelumnya, padahal tidak satu pun fitrah (wijdân) yang akan menerima asumsi ini.
Berangkat dari sini, jelas bahwa selain bagian-bagian material, terdapat satu hakikat tunggal yang permanen pada segenap usia kita, dan ia tidak akan pernah berubah sebagaimana bergantinya bagian-bagian materi. Ia adalah bentuk dasar wujudnya, maka standar kesatuan pribadi kita adalah hakikat tunggal tersebut.


Menghindari Sebuah Kekeliruan
Sebagian orang beranggapan bahwa sel-sel otak tidak akan berganti. Mereka berkata, "Dalam buku fisiologi, kami membaca bahwa jumlah sel-sel otak sejak semula hingga akhir usia adalah satu jenis saja. Maksudnya, sel-sel ini tidak akan bertambah dan juga tidak akan berkurang selamanya. Sel-sel ini hanya akan menjadi besar. Akan tetapi, sel-sel ini tidak akan melahirkan sel baru untuk meneruskan keturunannya. Dari sudut pandang ini, tidak dapat diilustrasikan kerusakan pada sel-sel ini. Oleh karena itu, kita percaya bahwa dalam keseluruhan badan kita terdapat satu kesatuan yang permanen yang merupakan sel-sel otak itu sendiri. Dan sel-sel inilah yang menjadi standar kesatuan pribadi kita.
Namun, pandangan ini merupakan sebuah kesalahan besar, karena mereka telah mencampur-adukkan dua masalah. Yang telah dibuktikan oleh sains dewasa ini ialah bahwa dari sisi jumlah, sel-sel otak semenjak semula hingga akhir usia bersifat permanen; tidak bertambah, tidak pula berkurang, bukan atom yang menjadi pembentuk sel-sel ini yang tidak akan berubah. Sebab, bagaimana yang telah kami sebutkan, sel-sel badan menerima makanan secara terus-menerus dan atom-atom (dzarrât) yang telah tua akan hilang secara bertahap. Persis seperti seorang yang senantiasa dari satu sisi menerima dan dari sisi lain memberi. Tentu saja modal orang seperti ini akan berganti secara perlahan, betapa pun banyaknya. Sebagaimana kolam renang, yang dari satu sisi air yang baru dialirkan ke dalamnya dan dari sisi lain, air yang lama dialirkan keluar. Dengan demikian, dalam beberapa waktu, muatan-muatan kolam akan berganti secara keseluruhan, meskipun ukuran air tetap dan tidak berubah.
Begitu pula, sel-sel otak itu tidak permanen. Sebagaimana sel-sel yang lain, sel-sel ini akan mengalami pergantian dan perubahan.


c. Ketidaksesuaian antara Kecil dan Besar
Anggaplah, Anda duduk di tepi pantai yang indah. Beberapa perahu kecil dan sebuah kapal besar bergerak di atas ombak. Dari satu sisi, kita melihat matahari terbenam di sebelah barat dan dari sisi lain, kita melihat bulan berada dalam keadaan bersinar (terbit). Burung-burung menawan di pantai selalu bermain di atas air dan berdiri, dan gunung menjulang tinggi, puncaknya mencapai langit.
Kini, untuk beberapa detik, kita pejamkan mata kita. Lalu, kita ilustrasikan apa yang telah kita saksikan itu di dalam benak kita. Gunung dengan segala ketinggiannya, laut dengan segala keluasannya, dan kapal raksasa dengan segala kebesarannya kini menjelma dalam benak kita. Artinya layar pemandangan yang luar biasa besarnya itu berhadapan dengan ruh kita, atau papan gambar itu kini berada dalam ruh kita.
Pertanyaannya di sini adalah, di manakah tempat gambar raksasa ini? Apakah sel-sel maha mikro otak dapat menerima peta yang maha makro seperti ini? Tentu saja tidak. Oleh karena itu, kita harus memiliki bagian lain dari diri kita di balik badan fisis ini; bagian yang sedemikian luasnya sehingga meliput seluruh pemandangan itu di dalamnya.
Apakah gambaran satu bangunan yang tingginya 500 meter dapat dilukiskan pada satu tanah yang berukuran beberapa millimeter? Tentu saja, tidak. Sebab, satu wujud yang lebih besar dengan tetap menjaga kebesarannya tidak akan sesuai dengan wujud yang lebih kecil. Kelaziman persesuaian ini, baik sama dengannya atau lebih kecil darinya, dapat diterapkan di sini.
Kini, bagaimana kita dapat memberikan ruang bagi gambaran-gambaran mental yang luar biasa besarnya di dalam sel-sel mikro otak?
Kita dapat mengilustrasikan planet bumi yang berukuran 40.000.000 meter dalam benak kita. Kita dapat menjelmakan planet matahari yang berukuran 1.200.000 lebih besar daripada planet bumi. Demikian juga, galaksi-galaksi yang ukurannya jutaan lebih luas dari matahari kita. Seluruhnya ada dalam pikiran kita., apabila mereka ingin menggambarkan ilustrasi-ilustrasi ini dalam sel-sel kecil otak, sesuai dengan hukum ketidaksesuaian besar dan kecil, tidak akan mungkin dapat terjadi. Maka, kita harus mengakui suatu wujud yang lebih unggul di atas otak fisis ini yang merupakan sentral penerimaan gambaran-gambaran raksasa ini.
Sebuah Pertanyaan Penting
Barangkali disebutkan bahwa gambaran-gambaran benak kita adalah mikrofilm-mikrofilm atau peta-peta geografis, dan di dalam peta-peta ini telah ditulis satu angka fraksional seperti berikut: 1 per 1.000.000 atau 1 per 100.000.000 yang menunjukkan skala mikronya. Hal itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa gambar ini harus kita besarkan sesuai dengan rasio di atas hingga peta yang real dapat kita peroleh. Dan juga banyak kita lihat potret-potret kapal raksasa yang telah diambil yang tidak dapat menunjukkan kebesaran kapal tersebut. Oleh karena itu, untuk menunjukkan kebesaran kapal itu, maka sebelum mengambil foto tersebut, kita menempatkan manusia di atas kapal tersebut, dan foto keduanya dapat diambil, sehingga berdasarkan perbandingan, kebesaran kapal tersebut semakin jelas.
Melalui gambaran-gambaran mental, kita juga dapat memperoleh gambaran-gambaran mikro yang dengan skala-skala tertentu telah dimikrokan dengan rasio yang sama. Dengan memakrokan gambaran tersebut, gambaran yang sebenarnya dapat diperoleh. Dan tentu saja, peta-peta mikro ini dapat memiliki ruang pada sel-sel otak kita. (Perhatikan baik-baik).


Jawaban
Masalah penting di sini ihwal mikrofilm-mikrofilm yang biasanya mereka besarkan dengan media projector dan memberikan reaksi di atas layar atau pada peta-peta geografi angka yang ditulis di bawahnya membantu kita mengalikan peta tersebut dengan angka yang telah ditentukan itu. Dan gambaran besar yang sebenarnya kita refleksikan dalam benak kita. Kini pertanyaan yang muncul adalah di manakah layar besar yang digunakan oleh mikrofilm-mikrofilm mental untuk merefleksikan gambar raksasa tersebut? Apakah layar besar ini adalah sel-sel otak itu sendiri? Tentu saja, tidak. Dan peta mikro geografi yang kita kalikan dengan angka besar itu dan kita merubahnya menjadi gambaran raksasa, tentu saja memerlukan tempat. Apakah tempat ini adalah sel-sel mikro otak itu sendiri?
Dengan kata lain, dalam perumpamaan mikrofilm dan peta geografi yang berada pada dunia luar, tempat film dan gambar-gambar yang berbentuk mikro itu adalah layar yang telah menerima gambar tersebut. Akan tetapi, pada gambaran mental kita, gambaran-gambaran ini persis seperti ukuran wujud luarnya. Dan tentu saja gambaran-gambaran ini memerlukan tempat seukuran dirinya, dan kita ketahui bahwa sel-sel otak lebih kecil dari gambaran dan mikrofim tersebut untuk dapat merefleksikan gambaran dan mikrofilim itu dengan segala kebesarannya.
Ringkasnya, kita mengilustrasikan gambaran-gambaran benak ini sebesar ukurannya yang terdapat di dunia luar. Dan gambar raksasa ini tidak dapat terefleksikan dalam sel-sel mikro. Dengan demikian, ia memerlukan tempat dan dari sini kita dapat memahami adanya suatu wujud hakiki di balik sel-sel ini.


d. Gejala-gejala Ruh bukan Kualitas materi
Dalil lain yang dapat menuntun kita kepada kemandirian dan kenonmaterian ruh adalah bahwa pada gejala-gejala ruh, kita melihat kualitas-kualitas yang tidak serupa dengan kualitas-kualitas materi. Karena:
Pertama, makhluk-makhluk memerlukan (waktu) dan berdimensi gradual (berproses).
Kedua, dengan berlalunya waktu, makhluk-makhluk tersebut akan menjadi usang (out of date).
Ketiga, materi dapat dianalisa atau dipecah kepada bagian-bagian wujud lainnya.
Akan tetapi, gejala-gejala mental tidak memiliki ciri-ciri dan efek-efek yang tersebut di atas. Kita dapat menggambarkan semesta persis dengan semesta yang kita huni sekarang ini dalam benak kita, tanpa melewati lintasan waktu dan tidak perlu berproses gradual.
Terlepas dari masalah ini, potret-potret masa lalu yang kita gambarkan dalam benak kita semasa kita kecil, dengan berlalunya waktu tidak mengalami antiquasi (kekunoan), tidak usang, dan tetap seperti ukuran aslinya. Boleh jadi otak manusia mengalami keusangan. Akan tetapi, dengan usangnya otak, rumah yang merupakan gambaran dua puluh tahun sebelumnya dalam benak kita terekam dengan baik dan tidak usang, dan memiliki konstansi yang merupakan ciri khas dunia metafisis.
Ruh kita dalam hubungannya dengan gambaran dan potret-potret, memiliki ciptaan yang menakjubkan dan pada detik itu kita dapat menggambarkan segala jenis peta dalam benak kita tanpa memerlukan sedikit pun pendahuluan. Gambaran benda-benda langit, galaksi-galaksi dan makhluk-makhluk bumi, laut, pegunungan, dan semisalnya bukanlah ciri khas satu wujud materi, akan tetapi ciri khas wujud metafisis.
Di samping itu, kita ketahui misalnya, 2+2=4, dan kita dapat menganalisa salah satu dari dua ekuivalen ini; angka dua atau angka empat. Akan tetapi, kita tidak dapat menganalisa equivalensi seraya mengatakan ada equivalensi seperdua dan setiap setengah bukan setengah yang lainnya. Equivalensi merupakan satu pemahaman yang tidak dapat dianalisis; ada atau tiada. Sekali-kali tidak dapat dibagi menjadi dua. (Antara ada dan tiada tidak dapat dibagi, setengah ada atau setengah tidak. Proposisi ini mustahil adanya-AK.)
Oleh karena itu, pemahaman mental ini tidak dapat dianalisa. Atas dasar ini, ia tidak dapat bersifat materi, sebab apabila ia materi, ia tersusun. Begitu pula,ruh kita yang merupakan pusat pemahaman ini bukanlah materi dan tidak dapat bersifat materi. Maka, ruh adalah wujud nonmateri. (Perhatikan baik-baik).

11
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

59. Apakah Para Penemu Mendapatkan Ganjaran Ilahi?
Dengan menelaah sejarah ilmu pengetahuan, inovasi-inovasi dan penemuan, kita melihat bahwa sekelompok ilmuwan, bertahun-tahun lamanya menanggung jerih payah hingga dapat melakukan invensi dan inovasi demi mengurangi beban yang dipikul oleh sesamanya.
Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Betapa ia bersusah payah melakukan invensi yang sarat beban ini. Dan barangkali jiwanya menjadi tebusan untuk pekerjaan ini. Akan tetapi, ia telah berhasil menerangi dunia, mengaktifkan pabrik-pabrik. Berkat invensinya, susia-susia yang dalam, pepohonan yang hijau, dan ladang-ladang garapan bermunculan. Singkatnya, ia telah menggoncang wajah dunia.
Bagaimana dapat diyakini ia atau yang lainnya, seperti Louis Pasteur yang menemukan mikroba, yang telah menyelamatkan jutaan manusia dari kematian, serta puluhan orang sepertinya, akan dikirim ke jurang neraka dengan alasan mereka tidak beriman? Tetapi orang-orang yang pada masa hidupnya tidak satu pun pekerjaan yang dibaktikan untuk kemanusiaan, akan menghuni Firdaus sebagai kediaman abadinya?
Berdasarkan pandangan dunia Islam, hanya mengkaji dan menelaah suatu pekerjaan tidaklah memadai. Akan tetapi, pekerjaan yang bermuatan iman yang membentuk sebagai motovasi dan pendorong perbuatannya. Telah banyak terlihat orang-orang yang membangun rumah sakit, sekolah-sekolah atau bangunan-bangunan sosial lainnya dan mereka memiliki pretensi terhadap bantuan-bantuan kemanusiaan ini, bahwa tujuan mereka hanyalah pelayanan kemanusiaan terhadap masyarakat sehingga mereka merasa berhutang kepadanya. Sementara di balik semua kebajikan itu, terselubung tujuan lain, yaitu menjaga kedudukan, kekayaan, atau popularitas, dan mengokohkan kepentingan-kepentingan materinya. Bahkan, mereka melakukan perbuatan-perbuatan khianat yang jauh dari pandangan orang-orang.
Namun sebaliknya, terdapat seseorang yang melakukan pekerjaan kecil, dengan ketulusan yang sempurna dan motivasi murni insani dan ruhani.
Kini dokumen-dokumen orang-orang besar ini, baik dari sudut pandang perbuatan maupun dari sudut pandang motivasi, harus dikaji kembali. Tentu saja, motivasi tidak keluar dari beberapa hal di bawah ini:
Pertama, acapkali tujuan utama dari invensi atau penemuan tersebut adalah sebuah perbuatan destruktif, (seperti penemuan energi atom yang pertama kalinya dimaksudkan untuk merakit bom atom), sementara kemasalahatan manusiawinya ditempatkan pada prioritas kedua. Tujuan asli dari para penemu dan inventor ini bukanlah untuk hal ini (mendatangkan kemaslahatan) atau hal ini ditempatkan pada sasaran kedua. Kondisi sekelompok penemu ini sangat jelas.
Kedua, terkadang tujuan penemu adalah eksploitasi dan popularitas. Sejatinya, mereka tak ubahnya dengan peniaga. Untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar, mereka mendirikan fasilitas umum, menciptakan lapangan kerja bagi sekelompok orang, dan memberikan penghasilan bagi pemerintah. Mereka tidak memiliki tujuan selain mendapatkan keuntungan dan pendapatan. Dan apabila ada pekerjaan yang lebih menghasilkan, mereka akan segera menggarapnya.
Tentu saja, sekiranya perniagaan semacam ini dilakukan berdasarkan standar hukum syar'i, tidak termasuk pekerjaan haram dan pelanggaran, akan tetapi tidak termasuk sebagai perbuatan suci.
Para penemu ini di sepanjang sejarah tidaklah sedikit. Ciri-ciri khas pemikiran mereka yaitu apabila ada keuntungan yang lebih besar, misalnya antara industri farmasi yang memberikan keuntungan dua puluh persen dan industri heroin yangmenghasilkan lima puluh persen, tentu mereka akan memberikan mengusahakannya meskipun melalui jalan-jalan yang berbahaya bagi keadaan masyarakat sekalipun.
Keadaan kelompok ini juga jelas. Mereka tidak menuntut apa-apa dari Tuhan, dan tidak juga dari sesamanya. Dan ganjaran mereka hanyalah keuntungan dan popularitas yang ingin dicapai.
Ketiga, kelompok ini memiliki motivasi humanis, atau mereka memiliki motivasi Ilahi, karena mereka percaya kepada Tuhan. Terkadang bertahun-tahun lamanya mereka lalui hidup dengan segala kesusahan di sudut laboratorium-laboratorium dengan harapan; mereka dapat memberikan pelayanan terhadap sesamanya. Dan ia dapat memberikan persembahan kepada dunia kemanusiaan, memecah rantai yang mengekang kakinya yang luka, dan menyapu deru dan debu yang memenuhi wajah-wajah lelah.
Apabila orang-orang semacam ini memiliki iman dan motivasi Ilahi, yang sebagian dari mereka tidak demikian, dan apabila tidak memiliki iman dan motivasinya adalah manusia atau masyarakat, tanpa syak lagi mereka akan mendapatkan ganjaran yang sesuai dari Allah Swt. Ganjaran ini boleh jadi mereka dapatkan di dunia, dan mungkin juga di dunia yang lain. Tentu saja Tuhan semesta alam tidak akan memasung keadilan mereka. Namun, bagiamana? Uraian persoalan ini tidak terang bagi kita.
Sebatas ini dapat kita katakan bahwa Tuhan tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan ini begitu saja. (Namun, jika mereka menolak iman karena kekurangan yang tak disengaja (jâhil qâshir) , masalahnya akan menjadi sangat jelas).
Dalil atas masalah ini, di samping hukum akal, juga disinggung oleh ayat dan riwayat.
Sejauh pengetahuan kita, tidak satu pun dalil yang menyatakan bahwa redaksi "Allah tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan" tidak meliputi orang-orang seperti ini. Lantaran orang-orang yang melakukan kebaikan (muhsinîn) yang disebutkan dalam Al-Qur'an tidak hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin. Oleh karena itu, kita melihat saudara-saudara Yusuf tatkala mereka datang kepadanya tanpa mereka kenali, sementara mereka beranggapan bahwa Yusuf adalah 'Aziz Mesir (panggilan terhormat untuk seorang penguasa di Mesir-pen.), mereka berkata kepada Yusuf, "Kami melihat engkau adalah bagian dari orang-orang yang baik."
Terlepas dari itu, ayat "Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan walaupun sebiji atom ia akan mendapatkan ganjaran, dan barangsiapa yang mengamalkan keburukan walaupun sebiji atom, ia akan mendapatkan keburukannya" dengan jelas juga menyinggung orang-orang seperti ini.
Dalam hadis dari Ali bin Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim a.s. disebutkan, "Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang kumin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisai dari api neraka …. Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin."
Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz'an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, "Serendah-rendahnya azab Jahannam adalah yang menimpa Jadz'an." Rasulullah saw. ditanya, "Mengapa?" Beliau bersabda, "Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar."
Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada 'Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai, "Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya."
Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s. yang menyebutkan, "Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, 'Allah Swt. berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.' Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, 'Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.'
Orang itu berkata, 'Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?' 'Iya', jawab beliau. Orang itu berkata, 'Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.'"
Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa iman, bahkan wilâyah (imamah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.
Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu'), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar'i, shalatnya sahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.
Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.

60. Apakah Catatan Amal dan Filsafat Keberadaannya?
Dalam surat Al-Isra' [17], ayat 13 disebutkan, "Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. 'Bacalah kitabmu ....'"
Pertanyaannya, apakah catatan amal ini dan apakah tujuan dari diadakannya?
Dari kumpulan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa seluruh amal manusia secara detail akan tercatat dengan baik di dalam catatan amal mereka. Dan di Hari Kiamat, sekiranya ia telah berbuat kebaikan, ia akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan, dan apabila ia telah melakukan keburukan, ia akan menerima catatan amalnya dengan tangan kiri.
Tanpa syak, catatan amal ini bukan dari jenis kitab dan buku biasa. Oleh karena itu, sebagian mufassir berkata bahwa catatan amal ini tidak lain adalah "ruh insan" yang merekam seluruh amal dan perbuatan manusia. Sebab, setiap amal yang kita perbuat, mau tidak mau, akan menyisakan kesan pada ruh kita. Atau, catatan amal ini adalah anggota tubuh kita, bahkan kulit kita, bahkan tanah, udara, dan ruangan yang di dalamnya kita melakukan amal dan perbuatan. Karena amal kita yang telah lalu berperan pada raga kita dan seluruh atom badan kita, lalu bereaksi pada tanah dan udara. Kendati kesan ini bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan, namun jelas sekali bagaiman kuatnya kesan tersebut. Dan kita kelak pada suatu hari dapat melihat dan membacanya.
Kata "membaca" jangan sampai menyelewengkan kita dari apa yang disebutkan oleh tafsir di atas. Sebab, membaca juga memiliki pengertian yang luas; mencakup setiap jenis penyaksian. Umpamanya, dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap berkata: "Dari matanya, aku membaca keputusan apa yang akan diambil", atau "Aku melihat dampak amalan yang dilakukan si fulan itu". Dalam konteks ini, kita juga menggunakan kata membaca. Begitu pula, kini kata ini digunakan umum dalam pengambilan foto dari orang sakit.
Berangkat dari sini, kita membaca di dalam Al-Qur'an bahwa tulisan-tulisan catatan amal ini sama sekali tidak dapat dinegasikan. Karena, semua itu adalah dampak hakiki dan kausal dari amal itu sendiri, ibarat suara manusia atau gambar yang telah direkam dan diambil, atau dampak dari sidik jarinya.


Filsafat Catatan Amal
Tak syak lagi bahwa penjelasan yang luas ihwal catatan amal yang terdapat dalam berbagai ayat dan riwayat, khususnya yang berkaitan dengan seluruh rincian perbuatan, ucapan, dan niat, tercatat secara utuh di dalamnya. Maksud utama dair catatan amal semua itu adalah efek edukatif. Berulang kali telah kami katakan bahwa Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa seluruh ajaran-ajaran hak ini digunakan sebagai media tahdzîb al-Nafs, penyempurnaan ruh, penguatan fondasi-fondasi moral dan takwa. Selain itu, catatan amal juga memberikan peringatan kepada manusia untuk berhati-hati atas ucapan dan perbuatannya, karena segala sesuatunya tercatat, dan kelak pada Hari Kiamat akan ditunjukkan kepadanya secara lengkap dan utuh.
Benar bahwa kekuasan ilmu Tuhan berada di atas semua ini. Barangsiapa yang memiliki iman yang sempurna terhadap kekuasaan ilmu Tuhan dan kehadiran wujud-Nya di segala ruang dan waktu, niscaya ia tidak memerlukan kepada catatan amal. Akan tetapi pada umumnya manusia, hal itu dapat menjadi efek yang positif baginya.
Seseorang yang mengetahui bahwa tape recorder senantiasa menyertai langkahnya, dan sebuah kamera yang senantiasa meneropong dan mengambil gambarnya, baik ketika sepi dan ramai, lahir dan batin, luar dan dalam dirinya, dan akhirnya, seluruh film dan kaset itu menjadi dokumentasi yang hidup dan tidak dapat diingkari, serta akan dibeberkan pada mahkamah besar keadilan, niscaya ia akan selalu berhati-hati dalam ucapan dan perbuatannya. Dengan ini, kekuatan takwa akan berkuasa pada wujudnya, secara lahir maupun batin.
Meyakini adanya catatan amal yang akan mencatat segala perbuatan yang besar dan kecil, iman kepada para malaikat yang siang dan malam bertugas merekam dan mencatat amal perbuatan manusia, dan iman kepada realitas bahwa di Mahsyar, catatan amal ini akan dibentangkan di hadapan seluruh penduduk Masyhar sehingga seluruh dosa yang tersembunyi akan nampak jelas dan hal itu akan mempermalukannya di hadapan kawan dan lawan, iman kepada semua itu dapat menjadi faktor pencegah yang luar biasa terhadap perbuatan dosa.
Sebaliknya, catatan amal orang-orang yang melakukan kebaikan akan menjadi penyebab kehormatan dan kewibawaan mereka. Bahkan, dari perumpamaan kaset dan film yang disebutkan di atas, hal itu lebih utama, tinggi, dan lebih berpengaruh. Motivasi penting semacam ini akan menjadi pendorong perbuatan baik. Akan tetapi, terkadang iman lemah dan terkadang juga hijab lalai akan menjadi penyebab jauhnya manusia dari realitas penting ini. Kalau tidak, iman terhadap kaidah Al-Qur'an ini sudahlah memadai untuk mendidik manusia.

61. Apakah Timbangan (mîzân) Amal di Hari Kiamat itu?
Mereka yang beranggapan bahwa timbangan-timbangan pada Hari Kiamat seperti timbangan-timbangan di dunia ini, terpaksa harus meyakini bahwa untuk menimbang amal dan perbuatan manusia pada Hari Kiamat diperlukan semacam timbangan berat dan beban sehingga seluruh amalan dapat tertimbang dengan timbangan tersebut.
Akan tetapi, indikasi-indikasi yang ada menunjukkan bahwa maksud dari mîzân adalah sebuah alat timbangan yang bermakna umum. Karena, kita ketahui bahwa segala sesuatu memiliki alat yang layak untuk menimbang diri mereka. Alat timbangan (ukur) panas disebut sebagai mîzânul harârah. Media untuk mengukur udara disebut termometer.
Oleh karena itu, maksud dari timbangan amal dan perbuatan umat manusia yang melakukan kebaikan dan keburukan ditimbang dengan mîzân tersebut. Allamah Al-Majlisi menukil dari Syaikh Mufid, "Amirul Mukminin dan para imam dari putra-putra beliau a.s. merupakan para mîzân keadilan pada Hari Kiamat."
Dalam Ushûl Al-Kâfî dan Ma'ânî Al-Akhbâr diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s. bahwa seseorang datang kepada beliau dan bertanya ihwal makna ayat, "Kami meletakkan timbangan-timbangan keadilan pada Hari Kiamat". Imam bersabda, "Timbangan-timbangan keadilan itu adalah para nabi dan para washî."
Dalam sebuah doa ziarah umum Amirul Mukminin Ali a.s., kita membaca, "Assalâmu 'ala mîzân al-A'mâl" (Salam atas timbangan amal).
Pada hakikatnya, orang-orang besar dan teladan ini merupakan timbangan amal dan perbuatan. Amal dan perbuatan setiap orang akan menjadi berat lantaran keserupaannya dengan mereka, dan amal perbuatan yang tidak serupa dengan mereka tidak akan memiliki bobot sama sekali atau sedikit bobotnya. Bahkan di dunia ini, para wali Allah adalah tolok ukur timbangan (amal). Hanya saja pada Hari Kiamat, masalah ini akan tampak.

62. Apakah Hakikat Jembatan (Shirâth) itu?
Meskipun pengetahuan detail tentang realitas-realitas yang bertalian dengan Kiamat dan dunia pascakematian sebagai dunia yang lebih utama dari dunia ini bagi penduduk dunia tidak mungkin adanya, akan tetapi perkara ini tidak lantas menjadi kendala untuk mengetahuinya secara global.
Yang dapat dipahami dari beberapa ayat dan riwayat adalah, bahwa shirâth merupakan jembatan yang melintang antara jalan neraka dan surga yang akan dilintasi oleh orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berbuat keburukan. Orang-orang yang berbuat kebaikan dengan cepat akan melintasi jembatan tersebut dan mendapatkan anugerah-anugerah yang tak-berkesudahan dari Allah swt.. Sementara orang-orang yang berbuat keburukan akan jatuh dan menjadi penghuni neraka. Bahkan, dari sebuah riwayat dapat dipahami bahwa kecepatan melintas manusia dari jembatan tersebut tergantung kepada timbangan iman, ikhlas, dan amal saleh mereka.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan, "Sebagian orang melintas di atas jembatan tersebut laksana kilat, sebagian melintas laksana kuda cepat, sebagian merangkak, sebagian bak orang-orang yang berjalan, dan sebagian bergelantung untuk dapat melintasi jembatan tersebut. Terkadang api jahannam membakar sebagian dan membebaskan sebagian."
Mengapa harus melalui neraka untuk dapat sampai ke surga? Di sini terdapat poin-poin teliti yang perlu diperhatikan.
Dari satu sisi, penghuni surga, dengan menyaksikan jahanam, dapat mengetahui nilai dan keutamaan surga. Dan dari sisi lain, kondisi jembatan pada saat itu merupakan manifestasi (tajassum) kondisi kita di dunia ini. Mereka harus melintasi jahannam yang membakar hingga dapat mencapai surga ketakwaan. Dan dari sisi ketiga, jembatan ini merupakan ancaman serius bagi semua pendosa dan pemaksiat bahwa pada akhirnya lintasan mereka melalui jalan tipis dan licin serta berbahaya ini.
Oleh karena itu, dalam hadis Mufaddal bin Umar dari Imam Ash-Shadiq a.s. ihwal shirâth disebutkan, "Shirâth adalah jalan yang membentang menuju makrifat dan pengetahuan tentang Allah swt."
Selepas itu, beliau menambahkan, "Shirâth terbagi menjadi dua: shirâth di kehidupan dunia ini dan shirâth di kehidupan akhirat. Shirâth dunia adalah ketaatan kepada imam yang wajib hukumnya. Barangsiapa yang mengenalnya dan mengikuti petunjuknya, ia akan dapat melintasi shirâth yang membentang di atas jahannam. Dan barangsiapa yang tidak mengenalnya di dunia ini, langkah kakinya akan bergetar di atas shirâth akhirat dan akan terpuruk pada api jahannam.
Dalam Tafsir Imam Hasan Al-'Askari a.s., kedua shirâth ini ditafsirkan sebagai shirâth yang lurus (mustaqîm) yang seimbang antara gulluw (kelebihan) dan taqsir (kekurangan), dan shirâth akhirat.
Nuktah yang layak untuk diperhatikan adalah bahwa dalam riwayat-riwayat, melintas dari jalan ini penuh resiko dan berbahaya. Dalam hadis yang dinukil dari Rasulullah saw. (dan juga dari Imam Ash-Shadiq a.s.) disebutkan, "Sesungguhnya di atas neraka terdapat sebuah "jisr" (jembatan) yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang".
Shirâth mustaqîm (lurus) dan hakikat wilâyah (imamah) dan 'adâlah (keadilan) di dunia ini juga demikian adanya. Ia lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang, lantaran garis lurus ini tidak lain adalah garis yang tipis. Dan selainnya, apa pun itu, adalah garis-garis yang menyimpang di kiri dan kanan.
Wajar kiranya shirâth Kiamat merupakan manifestasi nyata (tajjassum 'aini) dari shirâth dunia ini.
Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, ada sekelompok orang yang melintas dengan cepat di atas jalan yang sangat berbahaya ini; di bawah pelita iman dan amal saleh.
Tanpa syak bahwa hubungan dengan Nabi saw. dan Allah swt. dapat memudahkan untuk dapat melintas jalan yang berbahaya ini. Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. menyebutkan: "Pada Hari Kiamat, tatkala shirâth dibentangkan di atas jahannam, hanya orang-orang yang dapat melintasinya,yaitu orang-orang yang memiliki izin. Dan izin itu adalah wilâyah Imam Ali."
Makna hadis yang serupa dengan hadis ini, meskipun berlainan redaksi, juga diriwayatkan dari Sayidah Fatimah Az-Zahra a.s.
Jelas bahwa wilâyah Imam Ali dan Fatimah a.s. tidak terpisah dari wilâyah Nabi saw. dan Al-Qur'an, Islam, dan para imam yang lain. Pada kenyataannya, kalau tidak berhubungan dengan para imam besar ini dari sisi iman, akhlak dan amal, seseorang tidak akan dapat melintasi jembatan ini. Dan dalam masalah ini, terdapat banyak hadis yang mengungkapkan kenyataan ini.
Hal terakhir yang perlu disinggung di sini adalah dimensi tarbiyah pada iman terhadap shirâth; lintasan yang mengerikan, menggetarkan, lebih tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang. Lintasan itu memiliki beragam terminal. Pada setiap terminal, seseorang akan ditanya; di satu tempat ditanya ihwal shalat, di tempat lain ditanya soal amanah dan silaturahmi, di satu tempat tentang keadilan, dan seterusnya. Melintasi lintasan ini tanpa izin dari wilâyah Nabi saw. dan Imam Ali dan berakhlak sebagaimana akhlak mereka, tidak akan berhasil. Dan akhirnya, cara melintasi jembatan tersebut sesuai dengan kadar cahaya iman dan amal saleh seseorang. Apabila seseorang tidak dapat melintasi jembatan tersebut dengan selamat, niscaya ia terpuruk ke dalam neraka jahannam, sekali-kali tidak akan mendapatkan sumber nikmat materi dan anugerah maknawi, yaitu kenikmatan surgawi dari sisi Allah swt.
Atas dasar uraian ini, beriman kepada shirat tentu akan terefleksi pada amal perbuatan dan pendidikan manusia. Imamlah akan menuntunnya dalam memilih jalan kehidupan, dan memilah antara hak dan batil dengan teliti, serta berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan.

63. Apakah Filsafat Syafa'at itu? Apakah Syafa'at merupakan Pendorong untuk Melakukan Dosa?
Syafaat bukanlah pendorong untuk melakukan dosa, bukan juga lampu hijau untuk melakukan maksiat. Syafaat bukan merupakan faktor yang membuat orang terbelakang dan bukan perbuatan nepotisme, persekongkolan pada kehidupan dunia ini. Syafaat merupakan masalah signifikan dalam urusan pendidikan dari berbagai dimensi, serta memiliki efek positif dan konstruktif.
Poin-poin positif dan konstruktif syafaat antara lain:


a. Menumbuhkan Asa dan perjuangan melawan putus asa
Banyak hal yang menjadi sebab kuatnya hawa-nafsu sehingga seseorang terjerembab dalam perbuatan dosa besar. Menyusul perbuatan dosa tersebut, patah arang dan putus asa menyergap mereka yang telah berbuat dosa. Putus asa ini membuat orang lebih tercemari dan malah memberikan semangat dalam berbuat dosa. Sebab, mereka berpikir segalanya telah terjadi, lalu pasrah apakah terjadi sekali atau seratus kali.
Akan tetapi, harapan akan syafaat para wali Allah memberikan berita gembira kepada mereka. Dan apabila mereka berhenti melakukan dosa, dan memperbaiki diri, barangkali dosa-dosa mereka yang sebelumnya dapat tertutupi dengan kebaikan dan kesucian melalui jalan syafaat. Oleh karena itu, harapan akan syafaat membantu orang untuk berhenti melakukan perbuatan dosa dan kembali ke arah perbaikan dan takwa.


b. Menjalin Hubungan dengan Para Wali Allah
Dengan memperhatikan makna syafaat yang disebutkan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa syafaat bergantung kepada adanya relasi antara pemberi syafaat (syâfi') dan penerima syafaat (musyafa' 'anhu), yaitu hubungan dan relasi maknawi dari aspek iman, dan sebagian merupakan keutamaan serta termasuk kebaikan.
Tentu saja seseorang yang berharap syafaat, ia akan berusaha untuk menjalin hubungan ini, berbuat untuk meraih keridhaan mereka, tidak merusak tangga-tangga yang telah didakinya, dan tidak meruyak hubungan cinta dengan mereka.
Kumpulan dari semua itu akan menjadi faktor determinan dalam proses pendidikan dan secara gradual akan mengeluarkannya dari barisan orang-orang penyimpang dan pendosa. Atau setidaknya, di samping segumpal noda-noda dosa, ia dapat melakukan perbuatan baik, dan menghindarkan diri dari keterjerumusan yang lebih besar dalam perangkap setan.


c. Memperoleh Syarat-syarat Syafaat
Dalam ayat-ayat Al-Qur'an disebutkan syarat-syarat yang beragam tentang syafaat. Yang terpenting di antaranya adalah izin Allah swt. Tentu saja, seseorang yang memiliki harapan akan syafaat, sebaiknya menyediakan lahan untuk diberikan syafaat, yaitu ia harus melakukan perbuatan sehingga menjadi kecintaan dan kekasih Allah swt.
Pada sebagian ayat ditegaskan bahwa pada Hari Kiamat, syafaat hanya akan berguna bagi orang yang diberikan izin oleh Tuhan untuk mendapatkan syafaat dan ia ridha atas firman-Nya. (QS. Thaha [20]: 109)
Pada ayat 28, surat Al-Anbiya [21] disebutkan bahwa orang-orang yang diampuni (dosa-dosanya) melalui syafaat adalah hanya orang-orang yang telah mencapai makam irtidhâ' (keridhaan Tuhan). Dan sesuai dengan ayat 78, surat Maryam [19], orang-orang tersebut memiliki perjanjian dengan Tuhan. Dan sebagaimana yang telah kami sampaikan, seluruh kedudukan ini akan dapat dicapai melalui iman kepada Allah swt. dan kepada mahkamah keadilan-Nya, serta pengakuan akan nilai baik atau buruknya suatu perbuatan, dan kesaksikan terhadap kebenaran seluruh aturan-Nya yang diturunkan untuk umat manusia.
Selain itu, pada sebagian ayat lain disebutkan bahwa pemberian syafaat tidak termasuk untuk orang-orang dzalim. Dengan demikian, orang-orang yang berharap mendapatkan syafaat harus berada di luar barisan kaum dzalim.
Seluruh dimensi syafaat ini akan menyebabkan orang-orang yang berharap mendapatkan syafaat memperbaiki perbuatannya di masa lalu dan untuk hari esok, mengambil keputusan untuk menjadi lebih baik. Dimensi syafaat ini bernilai positif dan berperan besar dalam urusan pendidikan.


d. Perhatian terhadap Silsilah Para Pemberi Syafaat
Memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh para pemberi syafaat yang disebutkan dalam Al-Qur'an, demikian juga elaborasi yang terdapat dalam riwayat adalah dalil lain atas aspek pendidikan dalam masalah syafaat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. disebutkan, "Lima hal yang memberikan syafaat pada Hari Kiamat, antara lain Al-Qur'an, silahturahmi, amanah, Nabimu, dan Ahlul Baitnya".
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Nabi saw. disebutkan, "Pelajarilah Al-Qur'an, karena Al-Qur'an merupakan pemberi syafaat pada Hari Kiamat."
Dari beberapa riwayat juga dapat dipahami bahwa sebaik-baik pemberi syafaat adalah taubat. Riwayat tersebut dinukil dari Imam Ali a.s., "Tidak ada syafaat yang lebih menyelamatkan daripada taubat".
Dalam beberapa riwayat dijelaskan pula bahwa syafaat dapat diberikan oleh para nabi, para washî, kaum mukmin, dan malaikat. Seperti hadis yang dinukil dari Nabi saw. bahwa, "Syafaat adalah milik para nabi, washî, kaum mukmin, dan malaikat. Dan di antara mukminin yang dapat memberikan syafaat adalah kabilah Rabi'ah dan Mudhar! Dan sekurang-kurangnya syafaat kaum mukmin adalah mereka dapat memberikan syafaat kepada tiga puluh orang."
Dalam hadis lain yang dinukil dari Imam Ash-Shadiq a.s. tercatat bahwa pada Hari Kiamat, Allah swt. membangkitkan orang alim dan orang 'âbid. Tatkala mereka berada di mahkamah Ilahi, dikatakan kepada si abid, "Bergeraklah menuju Firdaus." Dan kepada si alim dikatakan, "Berdirilah dan berikanlah syafaat kepada manusia berkat pendidikan baik yang engkau lakukan kepada mereka."
Sementara itu, redaksi-redaksi hadis ini -khususnya redaksi yang tertuang pada hadis yang terakhir di atas- secara jelas menunjukkan bahwa syafaat merupakan kelahiran baru, hubungan maknawi antara orang-orang baik, suci, kaum mukmin, dan para ulama.
Tentang para syuhada, Nabi saw. bersabda, "Seorang syahid dapat memberikan syafaat kepada sekitar tujuh puluh ribu orang dari keluarga dan kerabatnya (serta selainnya)." Bahkan, sebuah riwayat menegaskan bahwa yang memberikan syafaat kepada manusia adalah ketaatannya kepada Allah swt. dan mengamalkan kebenaran".
Singkatnya, pembicaraan kita adalah ihwal kumpulan riwayat yang berjumlah sangat banyak yang terdapat dalam sumber-sumber hadis.
Konklusi jelas yang dapat kita ambil di sini adalah syafaat merupakan urusan terpenting dalam pendidikan islami yang menunjukkan nilai-nilai tinggi Islam dengan memperhatikan jenis pemberi syafaat. Seluruh muslimin termotivasi untuk bergerak ke arah nilai-nilai ini dan sifat-sifat pemberi syafaat, serta menjalin hubungan dengan mereka. Dengan ini, masalah syafaat terbebas dari setiap bentuk penafsiran yang tidak benar dan batil.

64. Apakah Terdapat Kontradiksi antara Tauhid dan Syafaat?
Anggapan adanya kontradiksi antara masalah tauhid dan masalah syafaat sudah cukup populer. Hal ini muncul lantaran propaganda yang dilakukan oleh para penganut Wahabiyah, dan investasi mereka dalam perkara ini harus mendapatkan perhatian yang serius.
Pada prinsipnya, Ideologi Wahabiyah berkisar pada beberapa poros. Poros yang paling jelas berputar pada masalah Tauhid Af'âli dan Tauhid Ibadah. Cabang-cabang tauhid ini sedemikian rupa mereka tafsirkan sehingga nampaknya terdapat pertentangan antara masalah syafaat, tawasul, pertolongan arwah para nabi dan wali, dan syafaat mereka di sisi Allah swt. hanya engan alasan bahwa seluruh mazhab Islam (selain Wahabi) menerima semua masalah ini, mereka (kaum wahabi) menghukumi mubah darah, jiwa, dan kehormatan mereka, layaknya orang-orang musyrik jahiliyah. Lantaran ideologi semacam ini, mereka telah menumpahkan banyak darah orang-orang Hijaz dan Irak dan menjarah harta mereka, serta melakukan perbuatan aniaya yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam.
Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran ini (wafat tahun 1206 H.) dalam sebuah kitab yang berjudul Risâlah Arba'ah Qawâ'id telah menjelaskan masalah ini. Berikut kami petikkan kesimpulannya di bawah ini:
Melepaskan diri dari syirik dapat dilakukan dengan mengenali empat kaidah:
1. Kaum musyrik yang berperang melawan Nabi saw. mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta, Pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Al-Qur'an berfirman, "Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka katakanlah, 'Mengapa Kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?'" (QS. Yunus [10]: 31)
Dengan demikian mereka percaya kepada tauhid râziqiyyah (yang memberikan rezeki), khâliqiyah (yang menciptakan), mâlikiyah (yang memiliki kekuasaan mencipta), dan tadbîr (yang mengatur).
2. Keserbasalahan perbuatan kaum musyrik adalah seperti yang mereka katakan, "Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak [pula] kemaslahatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.' Katakanlah, 'Apakah Kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, baik di langit dan tidak [pula] di bumi?' Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu." (QS. Yunus [10]: 18)
3. Nabi saw. memerangi seluruh orang yang beribadah kepada selain Tuhan, seperti orang-orang yang menyembah pepohonan, bebatuan, matahari, dan bulan. Atau mereka yang menyembah para malaikat, para nabi, dan kaum saleh. Nabi saw. tidak membedakan di antara keduanya. Kedua kelompok ini adalah musyrik.
4. Kaum musyrik pada masa kini (maksudnya adalah seluruh mazhab muslimin selain Wahabi) lebih buruk dari kaum musyrik Jahiliyah. Karena, jika dalam kondisi normal dan tenang, mereka menyembah berhala, dan tatkala merasa susah dan kepayahan, mereka hanya menyembah kepada Tuhan. Keadaan ini seperti yang dikisahkan Al-Qur'an, "Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]." (QS. al-'Ankabut [29]: 65)
Anehnya, sedemikian mereka kokoh dan teguh dalam pernyataan mereka, namun pada hakikatnya mereka terjerat di dalam mughalathah (kerancuan berpikir). Dengan mudahnya mereka menganggap mubah harta dan jiwa orang-orang yang berseberangan dengan mereka dan membolehkan membunuh mereka. Syaikh Sulaiman, seorang tokoh aliran sesat ini berkata dalam "Al-Hidâyah As-Sunniyah-nya; "Kitab dan Sunnah memberikan kesaksian bahwa barangsiapa yang menjadikan para malaikat, para nabi, Ibnu Abbas, dan Abu Thalib sebagai perantara antara mereka dan Allah swt. sehingga lantaran kedekatan mereka dengan-Nya, mereka akan mendapatkan syafaat di hadirat Allah swt., maka orang seperti ini adalah kafir dan musyrik; harta dan jiwa mereka mubah hukumnya, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan berpuasa".
Ketegaran dan kekokohan mereka pada penghukum keji dan memalukan ini, yaitu menganggap mubah darah dan harta kaum muslimin, dalam beberapa peristiwa sejarah yang berbeda, seperti pembunuhan massal masyarakat Tha'if di Hijaz (pada bulan Shafar 1342) dan pembunuhan massal di Karbala, Irak (18 Zulhijjah 1216) menjadi bukti dan saksi atas kebiadaban mereka.


Poin-poin Deviasi Penalaran Wahabiyah
1. Ayat-ayat Al-Qur'an dengan tegas menerangkan bahwa masalah syafaat telah termuat di dalam Al-Qur'an dan Islam. Begitu pula, syarat-syarat yang dimiliki oleh orang yang memberikan syafaat dan orang yang menerima syafaat tercantum dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang mengklaim Islam dan Al-Qur'an tetapi mengingkari kaidah ini, karena terdapat bukti-bukti nyata yang menegaskan kaidah ini. Dan kita terkejut bagaimana mereka (Wahabiyah) menggangap diri mereka sebagai muslim lalu menolak kaidah yang merupakan hal-hal yang sudah gamblang agama dan Al-Qur'an (dharûriyât). Apakah mungkin seorang muslim dapat mengingkari dharûriyât dan kebenaran Al-Qur'an?
2. Syafaat yang dibela di dalam Al-Qur'an merupakan syafaat yang kembali kepada garis utamanya, yaitu izin Allah swt. Kalau Dia tidak memberikan izin syafaat, seseorang tidak berhak untuk mendapatkan syafaat. Dengan kata lain, syafaat berasal dari izin Allah swt., bukan syafaat yang dimiliki oleh para sultan, yang berasal dari bawah dan berdasarkan hubungan pribadi.
Syafaat ini (dari Allah swt.) semacam penegasan atas prinsip tauhid, sebab garis utamanya berasal dari sisi Allah swt. Tauhid ini lepas dari segala bentuk syirik. Akan tetapi, Wahabiyah salah menempatkan antara syafaat qur'ani dan syafaat setani dari para sultan. Mereka mengingkari syafaat qur'ani. Mereka beranggapan bahwa syafaat semacam ini bertentangan dengan tauhid. Justru sesungguhnya mereka telah mengkritisi anggapan mereka sendiri dalam masalah ini, bukan terhadap syafaat qur'ani.
3. Syafaat sesungguhnya sejenis penyebab keselamatan, sebagaimana keyakinan akan adanya sebab-sebab di dalam alam semesta ini, seperti efek sinar matahari dan deras air hujan dalam pertumbuhan pohon-pohon, selaras dengan rinsip tauhid. Dan pada kenyataannya, perbuatan mereka sebentuk syafaat dalam tata cipta (takwînî). Begitu pula di alam tata hukum syaria't (taysri'i), adanya sebab-sebab demikian untuk ampunan dan keselamatan juga terwujud berkat izin Allah swt. Hal ini tidak hanya selaras dengan tauhid, akan tetapi juga menegaskannya. Dan syafaat ini disebut sebagai syafaat tasyrî'î.
4. Syafaat berhala-berhala yang dinafikan oleh Al-Qur'an, dari satu sisi, adalah lantaran para penyembah berhala itu menempatkan wujud-wujud yang sama sekali tak berpengaruh ini sebagai pemberi syafaat kepada mereka. Oleh karena itu, di permulaan ayat 18, surat Yunus [10] yang secara khusus menjadi sandaran mereka, dengan gamblang ditegaskan, "Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemaslahatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'"
Tentu saja syafaat jenis ini tidak ada kaitannya dengan syafaat para nabi dan wali. Syafaat jenis ini adalah syafaat arca-arca bebatuan dan baja yang tak berakal. Dari sisi lain, syafaat yang dicela oleh Al-Qur'an adalah syafaat yang berasaskan keyakinan pada kemandirian (istiqlâl) pemberi syafaat, yaitu mereka dapat memberikan efek dan pengaruh terhadap nasib manusia tanpa adnya izin dari Allah swt. Oleh karena itu, di dalam surat Az-Zumar [39], ayat 3 yang secara khusus menyinggung dalil mereka, ditegaskan, "... dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka selain supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.' Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan."
Sesuai dengan ayat ini, mereka menganggap sesembahan itu sebagai wali, pengurus, dan pelindung lalu mereka menyembahnya. Anggapan dan penyembahan ini merupakan kesalahan besar mereka.
Akan tetapi, apabila seseorang yang sama sekali tidak menyembah malaikat, para nabi, dan wali Allah, namun menganggap mereka sebagai budiman, santun, dan pemberi syafaat di hadirat Allah Swt dan dengan izin-Nya, ia sama sekali tidak termasuk dalam kategori kecaman ayat-ayat ini.
Para pengikut aliran Wahabiyah, lantaran ketidakcakapan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an ihwal syafaat, iman, kufur, dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah Swt. terhadap para pemberi dan penerima syafaat, mereka campur-adukkan masalah ini dengan kepercayaan para penyembah berhala.
Lantaran tidak melihat hakikat,
Ia menyusuri jalan legenda.
5. Pendapat para pengikut alirah Wahabiyah -bahwa para penyembah berhala Arab masih menganggap penciptaan, kepemilikan, dan pemberian rezeki termasuk sifat-sifat khusus Allah swt. dan kesalahan mereka hanya pada masalah media dan syafaat berhala-berhala tersebut- adalah salah satu kesalahan mereka yang bersumber dari ketidakcakapan ilmiah dan kurangnya penguasaan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Banyak ayat yang sebagiannya diyakini oleh mereka tentang sifat-sifat berhala tersebut, seperti surat al-'Ankabut [29], ayat 65, "Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]".
Dapat dipahami bahwa redaksi ayat ini dengan baik menunjukkan bahwa untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam keadaan normal, mereka mengadukannya kepada berhala-berhala, kendati dalam kondisi payah mereka menyebut nama Tuhan.
Di dalam surat Fathir [35], ayat 40, , Allah swt. memerintahkan Nabi saw., "Katakanlah, 'Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang Kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku [bagian] manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka memiliki andil dalam [penciptaan] langit ...."
Apabila musyrikin beranggapan bahwa sifat pencipta hanya khusus milik Tuhan, dan memandang berhala-berhala sebagai pemberi syafaat, pertanyaan di ayat ini tidaklah bermakna, lantaran mereka menjawab, "Kami tidak meyakini berhala tersebut sebagai pencipta. Berhala itu kami anggap sebagai satu-satunya media antara makhluk dan pencipta. Memangnya harus ada media antara makhluk dan pencipta?
Hal ini menandaskan adanya sebuah bentuk syirik dalam penciptaan. Dan Nabi saw. ditugaskan untuk menerangkan kebohongan mereka dengan bertanya; siapakah yang menciptakan berhala-berhala tersebut?
Di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 111, juga mengindikasikan anggapan mereka bahwa berhala-berhala tersebut serupa dengan Tuhan dalam kepemilikan (mâlikiyah) dan pemerintahan (hâkimiyah) atas alam semesta. Bahkan mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut membantu Tuhan ketika menghadapi masalah. "Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong pun [untuk menjaga-Nya] dari kehinaan dan agungkanlah Ia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya."
Firman yang terdiri dari tiga bagian ini, masing-masing menafikan kepercayaan para penyembah berhala yang menyatakan bahwa "para malaikat itu adalah putri-putri Tuhan" (walad dapat digunakan pada putra atau putri) , berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dan menganggapnya sebagai pembantu Tuhan.
Jelas bahwa apabila kepercayaan ini tidak ada pada lingkungan seperti itu, redaksi Al-Qur'an ini tidak akan berarti apa-apa.
Patut untuk diperhatikan bahwa Al-Qur'an di berbagai tempat menengarai para penyembah berhala sebagai orang-orang musyrik dan perbuatan mereka merupakan perbuatan syirik. Sekiranya mereka tidak berkeyakinan akan adanya persekutuan antara Tuhan dan berhala, dan hanya memandang bahwa berhala-berhala tersebut sebagai pemberi syafaat di hadirat Tuhan, maka redaksi ayat ini tidak benar. Teks syirik dan musyrik menyatakan pandangan mereka bahwa berhala-berhala tersebut sekutu Tuhan dalam rubûbiyah atau khâliqiyah, dan semisalnya. (Tentu saja berhala-berhala batu dan kayu tersebut merupakan lambang dan manifestasi dari para orang saleh dan para malaikat).
Dengan kata lain, mereka percaya bahwa berhala-berhala tersebut dengan sendirinya dan mandiri mengelola alam semesta. Sesuai keterangan mereka, berhala-berhala tersebut merupakan sesuatu yang serupa dengan Tuhan, tidak sekedar sebuah media dan perantara di sisi-Nya.
Khususnya redaksi-redaksi beragam yang tertuang dalam Al-Qur'an bagaimana menyodorkan pembahasan ini secara jelas. Misalnya, dalam surat Al-'Ankabut [29], ayat 22, "... dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah."
Ayat ini menyiratkan kepercayaan para penyembah berhala. Ayat ini menyebutkan bahwa berhala-berhala tersebut adalah pelindung dan wali mereka (selain Tuhan). Kenyataan ini yang tercetuskan dalam surat Al-Jatsiyah [45], ayat 10, "... dan tidak akan berguna lagi bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan [mereka] selain Allah ...."
Redaksi "selain Allah" (mindunillah) secara berulang disebutkan dalam Al-Qur'an sehubungan dengan masalah kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan makhluk-makhluk yang menyita perhatian mereka selain Tuhan. Sehingga berhala-berhala tersebut menjadi wali, penolong, dan pembela mereka. Dan hal ini merupakan syirik rubûbiyah, yang tidak terkait dengan masalah syafaat.
Singkatnya, Al-Qur'an dalam pelbagai ayat mengkritisi secara tajam kaum musyrikin. Pertama, berhala-berhala tersebut merupakan makhluk yang tidak mengerti apa-apa. Mereka menganggapnya sebagai sumber kejadian (mabda' atsar). Dan kedua, berhala-berhala tersebut berada di samping pengaturan Tuhan, dan mereka yakin terhadap rubûbiyah berhala tersebut.
Tentu saja, ucapan para penyembah Jahiliyah serbakontradiksi. Mereka bukanlah orang-orang yang berpengetahuan dan berpikiran logis. Mereka menjelaskan ucapan-ucapan mereka tanpa bebas dari kontradiksi dan kerancuan. Oleh karena itu, sembari mereka beranggapan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi, mereka juga memperkenalkan berhala-berhala tersebut sebagai mindunillah dan terpisah dari Tuhan; sebagai wali dan pembela bagi mereka. Terkadang mereka menyebutkan masalah syafaat di sisi Tuhan, dan hal ini berarti adanya keyakinan terhadap syirik af'âli (menyukutan Tuhan dalam perbuatan-Nya-AK.).
Semua ini merupakan telaah dari sekumpulan ayat-ayat dan kondisi mereka. Lagi pula, mereka tidak beranggapan bahwa syafaat itu adalah bergantung kepada izin Tuhan.
Oleh karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila seseorang menanti syafaat kepada manusia-manusia soleh dan para wali Allah (tidak mencarinya dari berhala-berhala bebatuan dan pepohonan) dan mempercayai mereka hanyalah sebagai pemberi syafaat di sisi Tuhan, (bukan sekutu dalam otoritas [wilâyah], pembela, dan pengatur), serta syafaat mereka dapat terlaksana berdasarkan izin-Nya (tidak mandiri dari-Nya), maka ini dibenarkan. Masalah kemudian yang akan mengemuka ialah jika seseorang tidak mengindahkan salah satu dari tiga prinsip (Tauhid, Kenabian dan Hari Kiamat) ini dan melampaui batas-batasnya.


CATATAN KAKI:
Penggalan syair ini dikutip dari gubahan pujangga besar Persia, Sa'adi Syirazi. Bisyâr safar bâyad kard
Tâ pukhte syawad hei khâmi

Lakukanlah banyak perjalanan,
Hingga menjadi matang wahai bocah ingusan

Biasanya syair ini digunakan untuk memompa semangat kaum muda untuk melakukan perjalanan dan belajar dari pengalaman dan perjalanan tersebut-AK.
Nahjul Balâghah, kalimat-kalimat pendek, no. 131.
Tafsir ash-Shâfî, di bawah ayat 7, surat ar-Rahman (55).
Tafsir Nemûneh, jilid 18, hal. 479.
Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 216.
Idem, hal. 216.
Psikologi, Dokter Irani, hal. 23.
Basyar az Nazar-e Mâddi (Manusia dari Persfektif Sang Materialis), Dr. Irani, hal. 2.
Dalam buku fisiologi juga diisyaratkan masalah ini. Sebagai contoh, silakan Anda rujuk buku Hormon-hormon, hal. 11 dan buku Fisiologi Hewan yang disusun oleh Dokter Mahmud Behzad et. al., hal. 32
Pembahasan ini adalah ringkasan dari buku Ma'âd, Jahân Pas az Marg (Dunia Pasca Kematian), Bakhsh-e Istiqlâl-e Ruh, dan Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 250.
Redaksi ini merupakan figuratif (kinâyah) yang berarti memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Jâhil qâshir ini adalah kebalikan dari jâhil muqashshir. Yaitu, seorang yang memiliki kapabilitas untuk mendapatkan ilmu. Namun, ia mengabaikan dan lebih memilih untuk tetap tidak tahu-pen.
Surat Yusuf [12]: 90, dan juga surat-surat yang lain.
Bihâr al-Anwâr, jilid 3, cetakan Kumpani, hal. 377.
Idem, hal. 382.
Safinat al-Bihâr, jilid 2, hal. 607.
Idem.
Tafsir Nemûneh, jilid 10, hal. 313.
Tafsir ash-Shâfî.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 107.
Tafsir al-Burhân, jilid 3, hal. 61; Ushûl al-Kâfî, jilid 1, hal. 419. Hadis semacam ini juga terdapat pada kitab-kitab tafsir lainnya.
Muhaddits al-Qomi dalam Mafâtîh al-Jinân, menempatkan doa ziarah ini sebagai ziarah pertama ziarah mutlak.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 159.
?mâli ash-Shadûq, majlis 33.
Ma'ânî alAkhbâr, hal. 32, hadis ke-1.
Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 69, hadis ke-18.
Mîzân al-Hikmah, jilid 5, hal. 348. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq as disebutkan, "Di atas neraka terdapat ungkapan shirâth, bukan jisr." Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 64, hadis ke-1.
Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 68, hadis ke-11.
Bagi Anda yang hendak mengkajinya lebih dalam, silakan rujuk Bihâr al-Anwâr, jilid 8, bagian shirâth, khususnya riwayat 12, 13, 14, 15, 16, 17
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 191.
Mîzân al-Hikmah, jilid 5, hal. 122.
Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 251, cetakan Beirut, Dar ash-Shadr.
Nahjul Balâghah, khutbah ke-176.
Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 58, hadis ke-75.
Bihâr al-Anwâr, hal. 56, hadis 66.
Majma' al-Bayân, jilid 2, hal. 538 (di bawah surat Ali 'Imran [3], ayat 171)
Gurar al-Hikam.
Dalam kitab Tafsir al-Mîzân, setelah menafsirkan bahwa syafaat adalah pengaruh sebab-sebab (asbâb) terhadap akibat (musabbabât), dijelaskan bahwa para pemberi syafaat terbagi menjadi dua bagian, pada alam takwînî dan alam tasyrî'î, dan di antara para pemberi syafaat tasyrî'î adalah taubat, iman, amal saleh, Al-Qur'an, para nabi, para malaikat, dan kaum mukmin. Dalam hal ini, penyusun Tafsir al-Mîzân berdalil dengan ayat yang bertalian dengan syafaat yang diberikan oleh orang-orang ini dalam pengampunan dosa-dosa, kendati titel ayat tersebut tidak bertaut dengan masalah syafaat. Misalnya, surat Az-Zumar [39], ayat 54, Al-Hadid [57], ayat 28, Al-Ma'idah [5], ayat 9 dan 16, An-Nisa' [4], ayat 64, al-Mu'min [40], ayat 7, dan Al-Baqarah [2], ayat 286). Silakan juga rujuk Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 523.
Risâlah Arba'ah Qawâ'id, karangan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi, hal. 24 hingga 27, sesuai dengan nukilan dari Kasyf al-Irtiyâb, hal. 163.
Walad bermakna anak yang dilahirkan yang dinisbahkan kepada kecil, besar, putra atau putri, singular atau plural. Silakan rujuk, Mufradât ar-Râghib.
Tafsir Payâm-e Qur'ân, jilid 6, hal. 536.

12
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

Furu'uddin

Shalat

65. Apakah Rahasia Perubahan Kiblat?
Diubahnya arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah membuat setiap orang bertanya-tanya. Orang-orang yang mengira bahwa setiap hukum itu harus permanen akan selalu mempertanyakan, "Kalau memang kita diharuskan mengarahkan wajah kita ke arah Ka'bah dalam shalat, mengapa kita tidak diperintahkan sejak awal? Dan jika memang Baitul Maqdis itu lebih dahulu sebagai Kiblat para nabi terdahulu, lalu mengapa diubah?"
Musuh-musuh Islam pun mempunyai kesempatan besar untuk menghasut. Mereka berkata, "Pada awalnya memang beliau (Nabi Muhammad saw.) mengarahkan wajahnya ke Kiblat para nabi terdahulu. Kemudian, setelah berhasil memenangkan suku bangsanya, beliau segera mengubah arah itu dengan Kiblat bangsanya." Mungkin juga mereka akan mengatakan, "Demi menarik perhatian para pengikut agama Yahudi dan Nashrani, pertama-tama beliau menerima Baitul Maqdis sebagai Kiblat. Kemudian, ketika usahanya itu tidak membuahkan hasil, beliau segera menggantinya dengan Ka'bah."
Sudah jelas bahwa provokasi semacam itu yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat -di mana cahaya ilmu dan keimanan mereka belum terpatri kuat, sementara sisa-sisa kemusyrikan dan penyembahan berhala masih terlihat- membuat muslimin merasa khawatir dan iman mereka tergoncang. Oleh karena itu, di dalam surat al-Baqarah [2], ayat 143, Al-Qur'an menegaskan bahwa pengubahan kiblat itu betul-betul merupakan ujian besar untuk mengetahui sikap orang-orang yang beriman dan orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya di antara sebab-sebab perubahan arah Kiblat ialah bahwa pada masa itu, Ka'bah adalah tempat penyimpanan patung-patung kaum musyrikin. Oleh karena itu, untuk sementara waktu umat Islam diperintahkan menghadapkan wajah mereka ke arah Baitul Maqdis dalam shalat. Dengan demikian, barisan mereka terpisah dengan barisan kaum musyrikin. Adapun ketika beliau saw. dan muslimin hijrah ke kota Madinah dan pemerintahan Islam telah dibentuk, serta barisan mereka telah nampak jelas berbeda dengan kaum musyrikin, maka tidak perlu lagi melanjutkan tradisi ritual tersebut. Ketika itu, arah Kiblat dikembalikan ke Ka'bah yang merupakan sentral tauhid yang paling lama dan peninggalan para nabi yang paling tua.
Sudah pasti, orang-orang yang menganggap Ka'bah itu merupakan tonggak kesukuan tidak merasa tentram menghadapkan wajahnya ke arah Baitul Maqdis ketika shalat. Sebagaimana pula mereka tidak akan pernah merasa tentram ketika Kiblat itu dikembalikan ke arah Ka'bah setelah mereka terbiasa menghadapkan wajahnya ke arah Kiblat yang pertama.
Melalui perintah tersebut, keimanan kaum muslim betul-betul diuji sehingga sisa-sisa kemusyrikan yang masih bersarang dalam diri mereka menjadi sirna, hubungan mereka dengan polusi syirik terputus, dan akhirnya dapat menerima perintah Ilahi tersebut dengan penuh ketulusan hati.
Sebagaimana telah kami singgung bahwa Allah swt. tidak mempunyai dan tidak membutuhkan tempat. Kiblat hanya sebagai lambang persatuan barisan umat Islam dan demi menghidupkan ruh tauhid. Perubahan arah Kiblat tersebut sama sekali tidak membuat sesuatu menjadi goyah. Dan yang penting adalah kepasrahan dalam menerima perintah Ilahi dan menghancurkan berhala-berhala fanatik, kecongkakan, dan kesombongan.

66. Apakah Filsafat Shalat itu?
Ayat 45 surat Al-'Ankabut membahas filsafat agung shalat. Ayat itu berbunyi, "Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar."
Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk mengetahui faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia). yaitu keyakinan terhadap wujud Allah (permulaan) dan Hari kebangkitan (ma'âd) yang berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.
Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan takbir, mengakui bahwa Allah swt.; Dzat yang Lebih Baik dan Lebih Tinggi dari segala yang ada dan akan mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Dengan mengucapkan pujian dan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk dari-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus, dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. (Kandungan dari surat Al-Fatihah).
Tanpa syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan memahami bahwa setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang hak dan benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan.
Manusia semacam ini, ketika melakukan shalat dengan membungkukkan badannya untuk ruku', laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan kemuliaan-Nya dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan kesombongan yang ada pada dirinya.
Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya.
Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih.
Semua faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam dirinya; sebuah gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap dosa yang menumpuk di hadapannya.
Amal semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari semalam. Bahkan, ketika ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih gulita pun, ia telah tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya.
Di pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh kehidupan materi, tiba-tiba suara takbir muazin akan menghentakkan dan menyadarkannya untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya, kemudian bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat istirahatnya pun, ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh isi hatinya, mengadu, menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati dan menciptakan hatinya sebagai pusat cahaya-Nya.
Setelah itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut kedatangan shalat, terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan menyucikan diri, menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari kemarahan, kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam mencegah diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar.
Hanya saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan terbatas.
Adalah mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan shalat tidak mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan, betapapun shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa. Tentu saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila mereka meninggalkan shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa.
Lebih jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari perbuatan keji dan mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dan setiap shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat tersebut.
Di dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa Rasulullah saw., terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, "Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut."
Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, "Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya".
Kelanjutan ayat di atas menegaskan,"Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain]."
dzahir ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat shalat. Bahkan, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari mencegah perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat Allah swt. Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan. Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah dikarenakan dzikir merupakan sebab dari pencegahan tersebut.
Pada prinsipnya, mengingat Allah swt. merupakan inti detak kehidupan kalbu manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang bisa mencapai tingkatan semacam ini.
Di dalam surat Ar-Ra'd [13], ayat 28 ditegaskan, "Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram."
Pada dasarnya, ruh seluruh ibadah -baik ibadah shalat maupun selain shalat- adalah mengingat Allah swt. Berbagai bacaan, gerakan, mukaddimah, ta'qîb, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah swt di dalam hati manusia.
Perlu diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah diisyaratkan prinsip filsafat shalat. Kepada Nabi Musa a.s. Allah swt. berfirman, "Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku."
Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya." Lalu, Mu'adz bertanya kepada beliau, "Meskipun jihad di jalan Allah?" Beliau menjawab, "Iya! Karena Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].'"


Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat
Meskipun filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang, akan tetapi pemberian atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam akan menuntun kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah ini.

a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan -pada akhirnya- filsafat shalat adalah mengingat Allah swt. yang pada ayat di atas ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan ibadah-ibadah yang lain.
Tentu saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir sebagai mukaddimah berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis ketika menafsirkan ayat waladzikrullâh Akbar berkata, "(Zikir adalah mengingat Allah ketika hendak melakukan pekerjaan halal dan haram." (Yaitu, mengingat Allah awt. ketika melakukan perbuatan yang halal dan menutup mata dari perbuatan yang haram).

b. Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan Ilahi, karena -mau tidak mau- shalat yang dilakukan oleh manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis kita membaca, Rasulallah saw. pernah bertanya kepada para sahabat, "Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat sebuah sungai yang mengalir dengan bening dan bersih, kamu mandi dan mencuci badannya lima kali dalam sehari semalam di dalam sungai itu, Apakah masih tersisa daki dan kotoran di badan Kamu?" Mereka menjawab, "Tidak ada, ya Rasulallah!" Lalu beliau melanjutkan,"Shalat sebagaimana halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang melakukan shalat, maka dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan terhapus dan menjadi bersih karenanya."
Dan dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang ada di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat.

c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hatinya. Kita mengetahui bahwa "iman" dan "takwa" merupakan tanggul yang paling kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud dalam ayat di atas bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi mereka itu diceritakan kepada para imam a.s. Mereka berkata, "Janganlah bersedih, karena shalat akan memperbaiki mereka", dan ternyata memang demikian.

d. Shalat akan Menghancurkan Kelalaian
Musibah paling besar yang dialami oleh para pencari jalan kebenaran adalah lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara kontinyu yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat akan senantiasa membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan membangun ingatannya untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan.
Dengan shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa diperdengarkan, dan merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia mempunyai sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan alat yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam sehari semalan.

e. Shalat menghilangkan kesombongan dan 'ujub
Dengan shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri sendiri akan bisa terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam manusia melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil yang tak berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap dirinya bukanlah apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak Terbatas.
Shalat akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia, serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.
Dengan dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah iman, dalam rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, "Allah mewajibkan iman untuk membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk membersihkan diri dari kesombongan."

f. Shalat sebagai penyempurnaan akhlak.
Shalat merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan spiritualitas manusia, karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi yang terbatas dan dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu mengajaknya melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan para malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa dirinya telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya.
Pengulangan amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan dengan menyandar pada sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan yang dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang bervariasi dalam Al-Qur'an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak di dalam wujud manusia.
Oleh karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat shalat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, "Shalat merupakan perantara untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang yang bertakwa."

g. Shalat mengisi nilai pada seluruh amal
Shalat memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan oleh manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan, dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci, serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan amal-amal tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan menyebarkan bibit-bibit amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan menguatkan keikhlasan yang ada di dalam wujudnya.
Oleh karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul Mukminin Ali bi Abi Thalib a.s. ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman pedang Ibnu Muljam (la'natullah 'alaih) berkata, "Jagalah shalat! Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu."
Kita mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk mendirikan kemah patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku yang tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada lagi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan pengaruh.
Dalam sebuah hadis, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Masalah pertama yang akan dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang lain dan apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh amal-amal yang lain."
Mungkin dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat merupakan rumus dan rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila hal ini dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan yang merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi kotor dan terpolusi sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat yang disyaratkan.

h. Shalat membawa kesucian hidup
Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat, yaitu dengan memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah ajakan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.

i. Shalat sebagai Pelindungan Diri dari Maksiat
Shalat selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat keterkabulan, atau dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang sempurna dalam dua hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif untuk meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa.
Dalam kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu banyak faktor lain yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat. Di antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah riwayat ditegaskan, "Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat seseorang yang meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat."
Dalam banyak riwayat kita membaca, "Salah satu dari golongan yang shalatnya tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh kaum zalim dan penganiaya."
Dalam sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat yang dilakukan oleh seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah terkabul. Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan haram, mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh manakah pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan terpenuhinya syarat-syarat keterkabulan tersebut.

j. Shalat Penguat Semangat Disiplin
Shalat akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku', dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.
Semua poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam shalat dengan tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila keistimewaan shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di mana sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini. Selain itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya.
kami menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat dengan sebuah hadis yang telah dinukil dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
Dalam menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, "Tujuan disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan Allah swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan haribaan-Nya dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui dosa-dosa serta memohon pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan meletakkan dahi di seluruh hari untuk berkhidmat kepada-Nya.
Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu kelalaian yang akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan mabuk dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu' dan tawadhu', serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala sesuatu dalam agama dan dunianya.
Selain konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia tidak melupakan Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali tidak akan mampu mengalahkannya.
Dengan perhatiannya terhadap Allah swt. dan berdiri di haribaan suci-Nya, ia akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan akan menghindarkannya dari segala kerusakan."

67. Mengapa Kita harus Melakukan Shalat pada Waktu-waktu Tertentu?
Sebagian mengatakan bahwa kami bukannya mengingkari filsafat shalat atau menghilangkan perhatian terhadapnya. Kami tidak pula mengingkari adanya pengaruh-pengaruh konstruktif yang muncul dari pelaksanaan shalat. Tetapi, apa perlunya shalat itu harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu? Apakah tidak lebih baik apabila kita memberikan kebebasan saja kepada masyarakat dalam melaksanakan shalat, sehingga mereka bisa melaksanakan kewajiban shalat ketika mereka mempunyai waktu dan kesiapan jiwa?


Jawab
Pengalaman membuktikan bahwa apabila masalah-masalah pendidikan tidak didominasi oleh kedisiplinan, keketatan, dan syarat-syarat tertentu, maka sebagiannya akan dilalaikan. Hal ini akan menyebabkan goyahnya pondasi dan akar masalah tersebut. Oleh karena itu, masalah semacam ini harus diatur secara cermat di bawah pengawasan kedisiplinan dan dengan terpenuhinya syarat-syarat tertentu sehingga tidak akan ada alasan yang dibuat-buat, supaya seseorang bisa meninggalkan apa yang telah menjadi kewajibannya. Khusus pada pelaksanaan ibadah ini dalam waktu tertentu, dan khususnya yang dilaksanakan dengan cara berjamaah, mempunyai pengaruh dan keagungan yang sangat khas yang tidak bisa diingkari. Pada hakikatnya, dengan melakukan shalat secara berjamaah, ia akan menciptakan munculnya satu kelas besar untuk pembentukan dan perbaikan diri manusia.1

68. Apakah Filsafat Puasa?
Puasa dalam wujud manusia memiliki berbagai dimensi dan dampak yang begitu banyak, baik dari sisi materi maupun maknawi (spiritual), dan yang paling penting dari semua dimensi yang ada adalah dimensi akhlak dan pendidikannya.
Di antara manfaat penting yang ada dalam puasa adalah melembutkan jiwa, menguatkan kehendak yang ada dalam diri, dan menyeimbangkan insting.
Seseorang yang melakukan puasa, selain harus merasakan kelaparan dan kehausan dalam wujudnya, ia juga harus menutup matanya dari kelezatan dan kenikmatan biologis, serta membuktikan dengan amal bahwa ia tidaklah seperti hewan yang terkungkung di dalam kandang dan rerumputan. Karena ia mampu menahan diri dari godaan nafsu dan lebih dominan dari hawa nafsu serta syahwatnya.
Pada hakiatnya, fisafat terpenting puasa terletak pada dimensi ruhani dan maknawi. Yaitu, seseorang yang memiliki seluruh ikhtiyar dan kewenangan dalam berbagai macam makanan serta minuman, di mana setiap kali merasa lapar dan haus ia langsung bisa menikmati apa yang diinginkannya. Keadaannya sebagaimana pepohonan yang tumbuh menyandar di samping dinding yang terletak di pinggiran sebuah aliran air. Pepohonan semacam ini begitu lembut, kurang mampu bertahan dan sangat rentan terhadap serangan berbagai penyakit, serta tidak mempunyai kekuatan bertahan lama. Apabila beberapa hari saja akarnya tidak menyentuh aliran air, pepohonan ini akan segera layu dan menjadi kering.
Lain halnya dengan pepohonan yang tumbuh di sela-sela bebatuan sahara atau yang tumbuh di tengah gunung tandus dan di jalanan yang gersang. Pepohonan yang batang serta dahannya senantiasa dimanjakan oleh angin topan dan teriknya panas matahari yang membakar serta dinginnya angin musim dingin, serta pepohonan yang tumbuh dengan segala kekurangan sejak masa dini pertumbuhannya ini, menjadikannya sebagai sebatang pohon yang tegar, kuat, penuh kemandirian, dan pantang menyerah.
Demikianlah halnya dengan puasa. Ia mempengaruhi jiwa manusia seperti ini. Dan pada batasan-batasan tertentu, ia akan memberikan pertahanan dan kekuatan kemauan dan daya dalam melawan segala peristiwa yang sulit. Ketika naluri liarnya telah terkontrol dengan baik, maka puasa ini akan memancarkan pula cahaya dan kejernihan di dalam kalbunya.
Ringkasnya, puasa dapat memberikan lompatan yang menakjubkan dari alam hewani menuju ke alam malaikat. Al-Qur'an berfirman, "Supaya Kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2]: 183) Ayat ini menjelaskan filsafat diwajibkannya puasa yang mengisyaratkan pada kompleksitas hakikat tersebut.
Demikian juga, hadis masyhur "Puasa merupakan perisai dalam menghadapi api neraka" 1 mengisyaratkan pula tentang persoalan ini.
Dalam hadis yang lain, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. bertanya kepada Rasulallah saw., "Apa yang harus kita lakukan supaya setan menjauhi kita?" Rasulullah saw. bersabda, "Dengan berpuasa, wajah setan akan berubah menjadi hitam, infak di jalan Allah akan melobangi punggungnya, bersahabat karena Allah dan menjaga amal yang salih akan memotong ekornya, sedangkan beristighfar akan memutuskan urat nadi kalbunya." 2
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Nahjul Balaghah menjelaskan filsafah ibadah. Berkenaan dengan puasa, beliau berkata; "Puasa itu untuk menguji keikhlasan seorang amba."3
Demikian juga di hadis yang lain, Rasulallah saw. bersabda; "Sesungguhnya surga mempunyai sebuah pintu yang bernama Rayyân.Tidak seorang pun yang melewati pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa."
Almarhum Shaduq r.a. dalam Ma'ânî Al-Akhbâr-nya ketika menjelaskan hadis tersebut menulis, "Latar belakang pemilihan nama Rayyân untuk salah satu pintu surga ini adalah kesulitan yang biasanya dihadapi oleh orang-orang yang melakukan puasa, yaitu rasa dahaga. Ketika orang-orang yang berpuasa memasuki surga dan melewati pintu ini, mereka akan meneguk air minum yang ada di dalamnya, sehingga setelah itu mereka tidak akan pernah merasa kehausan lagi untuk selamanya."


Pengaruh Sosial Puasa
Telah jelas dan bukan merupakan suatu topik yang tersembunyi bahwa puasa merupakan sebuah pelajaran persamaan dan persaudaraan di antara individu masyarakat. Dengan melakukan ajaran ini secara baik dan benar, orang-orang yang mampu sebagaimana para fakir miskin akan ikut merasakan bagaimana menikmati kelaparan dan juga dengan menghemat penggunaan makanan pada siang dan malam hari, mereka akan bisa bergegas untuk membantu para fakir miskin.
Tentunya bisa saja terjadi, dengan hanya menceritakan keadaan orang-orang yang ditimpa kelaparan dan kekurangan ini, orang-orang yang mampu pun akan bisa memberikan atensinya kepada mereka. Tetapi, apabila problem ini dimanifestasikan dalam bentuk praktis, ini akan memberikan kesan yang lebih dalam lagi. Puasa dengan ciri penting seperti ini akan memberikan warna intuitif dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, dalam hadis masyhur dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya tentang sebab disyariatkannya puasa atas manusia. Beliau menjawab" "Puasa diwajibkan bagi manusia karena di dalamnya terdapat hak persamaan antara orang-orang fakir dengan oang-orang yang cukup. Hal ini dimaksudkan supaya orang-orang yang cukup bisa merasakan bagaimana rasa lapar, sehingga mereka mau memberikan haknya kepada yang fakir. Karena orang-orang yang cukup umumnya bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan, maka Allah swt. menginginkan adanya persamaan di antara hamba-hamba Nya, dan memberikan rasa lapar, lemas, kesakitan, dan kesulitan serta kepayahan kepada golongan yang cukup ini. Pada akhirnya di dalam kalbu-kalbu mereka akan terbentuk rasa iba dan belas kasih kepada orang-orang yang menderita kelaparan."
Sebenarnya, apabila negara-negara kaya di dunia ini melakukan puasa beberapa hari saja dalam setahun dan ikut merasakan rasa lapar, apakah mungkin kelaparan di dunia masih ada?


Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan dan Kesembuhan
Dalam ilmu kedokteran masa kini dan masa lalu telah banyak bukti bahwa "imsâk" (menahan lapar) mempunyai pengaruh luar biasa yang tidak bisa dipungkiri dalam penyembuhan berbagai macam penyakit. Hanya sedikit para dokter yang tidak menyinggung kenyataan ini dalam tulisan-tulisannya.
Kita mengetahui bahwa penyebab munculnya banyak penyakit adalah karena manusia berlebihan dalam menyantap beragam makanan, karena kelebihan bahan-bahan tidak bisa tercerna dengan baik di dalam pencernaannya, maka bahan ini akan muncul dalam bentuk lemak yang mengganggu bagian-bagian badan atau berubah menjadi lemak serta kelebihan gula yang tertinggal di dalam darah. Bahan-bahan lebih ini berada di sela-sela urat badan, yang pada hakikatnya merupakan lumpur berbau busuk yang sangat efektif sebagai lahan berkembang biaknya berbagai macam mikroba dan penyakit-penyakit infeksi. Dalam keadaan ini, jalan terbaik yang bisa dipergunakan untuk melawan penyakit tersebut adalah menghancurkan dan membersihkan lumpur barbau busuk tersebut dari badan dengan cara imsâk dan puasa.
Puasa akan membakar sampah-sampah dan bahan-bahan lebih yang tidak dapat dicerna di dalam badan manusia. Pada dasarnya, dengan melakukan puasa akan terjadi pembaharuan di dalam tubuh manusia.
Puasa, selain merupakan waktu istirahat bagi sistem pencernaan yang perlu mendapat perhatian, juga merupakan faktor berpengaruh besar dalam membantu kerja sistem pencernaan. Dan mengingat bahwa sistem ini merupakan sebuah sistem yang paling peka di antara keseluruhan sistem yang ada di dalam tubuh manusia, sementara di sepanjang tahun senantiasa melakukan pekerjaan, istirahat sejenak bagi sistem ini merupakan suatu hal yang lazim dan amat diperlukan.
Jelaslah kiranya, bahwa orang-orang yang melakukan puasanya sesuai dengan aturan yang ada dalam Islam, tidak dibenarkan berlebih-lebihan dalam menyantap makanan ketika berbuka puasa dan sahur, agar mereka memperoleh kesehatan maksimal. Jika tidak demikian, maka bisa jadi hasil yang muncul akan berlawanan dengan yang seharusnya.
Alex Sufrin, seorang ilmuwan Rusia, dalam bukunya menulis, "Penyembuhan dengan cara berpuasa mempunyai manfaat yang khas untuk penyakit amnesia, diabetes, mata, lemah pernafasan, penyakit jamur yang kronis, luka dalam dan luar, TBC, hydropsy, rematik, kulit yang terkelupas, penyakit kulit, ginjal, liver, dan penyakit-penyakit lainnya. Tetapi, penyembuhan dengan cara berpuasa ini tidak hanya bermanfaat untuk penyakit-penyakit yang tertera di atas, bahkan penyakit-penyakit yang berhubungan langsung dengan jasmani manusia yang bercampur dengan sel-sel badan, seperti kanker, shiphlish, TBC, serta tipes pun bisa disembuhkan dengan melakukan puasa"
Dalam sebuah hadis masyhur, Rasulullah saw. bersabda, "Berpuasalah supaya Kamu menjadi sehat."
Dalam hadis terkenal lainnya tertulis, "Usus besar merupakan sarang penyakit, dan menahan makan merupakan obat paling utama."

69. Apakah Pemberian Separuh Khumus secara Khusus kepada Bani Hasyim Merupakan Diskriminasi?
Sebagian orang menduga bahwa pajak dalam Islam sebanyak dua puluh persen yang meliputi berbagai harta benda dan setengahnya hanya dikhususkan untuk para sayyid serta keturunan Rasul saw. bisa dianggap sebagai satu jenis pengistimewaan keturunan. Tentu saja, perhatian secara khusus karena adanya hubungan famili menyebabkan ditemukannya diskriminasi di dalamnya, di mana hal semacam ini sama sekali tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial dalam masyarakat Islam dan dengan konsep universalitasnya.


Jawab
Orang-orang yang mempunyai persepsi semacam ini belum melakukan pengkajian yang detail dan lengkap terhadap syarat-syarat dan norma-norma hukum Islam, karena jawaban atas pertanyaan di atas telah terangkum secara sempurna dalam syarat-syaratnya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, separuh dari khumus yang berhubungan dengan para sayyid dan Bani Hasyim itu hanya dapat diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Itu pun sesuai dengan kebutuhan mereka dalam masa satu tahun saja, dan tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, golongan para sayyid dan keturunan Bany Hasyim yang bisa mengunakan separuh khumus ini hanyalah orang-orang yang telah kehilangan pekerjaannya dan berada dalam keadaan sakit, atau anak-anak yatim. Demikian juga orang-orang yang karena suatu problem menyebabkan biaya hidupnya mengalami kebuntuan. Mereka yang demikian ini berhak untuk mempergunakan separuh dari khumus, sesuai dengan kebutuhannya.
Atas dasar ini, orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan, baik secara aktual maupun potensial, dan bisa mencari penghasilan untuk menjalankan roda kehidupannya, sama sekali tidak dibenarkan untuk mengambil bagian dari separuh khumus.
Ucapan-ucapan yang biasa diutarakan oleh sebagian awam bahwa para sayyid bisa mengambil haknya dari khumus meskipun mereka memiliki talang air yang terbuat dari emas, merupakan sebuah perkataan yang kasar, vulgar dan tidak mempunyai argumen sedikit pun.
Kedua, para sayyid dan Bani Hasyim yang kekurangan dan membutuhkan sama sekali tidak berhak untuk mengambil sedikit pun bagian dari zakat, dan sebagai gantinya, mereka bisa memanfaatkan bagian dari khumus ini.
Ketiga, apabila saham sayyid, yaitu separuh dari khumus ini, melebihi apa yang mereka butuhkan, maka kelebihannya harus diserahkan ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk urusan yang lain.
Demikian pula, apabila saham sayyid yang ada tidak mencukupi kebutuhan mereka, maka untuk memenuhi kebutuhan mereka, bisa mengambilkannya dari Baitul Mal atau dari saham zakat.
Dengan memperhatikan ketiga poin di atas, jelas bahwa pada hakikatnya, tidak ada sedikit pun perbedaan yang diletakkan antara sayyid dan selain sayyid dari segi materi.
Orang-orang dari kalangan selain sayyid yang membutuhkan, bisa mengambil biaya hidup tahunannya dari zakat. Akan tetapi, ia tidak bisa memperolehnya dari khumus, sedangkan orang-orang dari kalangan sayyid yang membutuhkan, hanya bisa memanfaatkan khumus dan tidak mempunyai hak sama sekali untu memanfaatkan zakat.
Pada hakikatnya, dalam topik pembahasan ini terdapat dua kotak yang berbeda di mana yang satu adalah kotak yang dikhususkan untuk khumus dan yang satunya lagi adalah kotak yang dikhususkan untuk zakat, dan masing-masing dari kedua kelompok ini hanya mempunyai hak untuk mempergunakan salah satu dari kedua kotak tersebut. Itu pun dengan ukuran yang sesuai. Yaitu, sekadar kebutuhannya selama satu tahun. (Perhatikan hal ini dengan cermat).
Akan tetapi, orang-orang yang tidak cermat dalam memahami syarat-syarat yang ada dalam masalah ini mengatakan bahwa saham untuk para sayyid yang diletakkan di dalam Baitul Mal lebih besar dari yang diletakkan untuk para selain sayyid, atau mengatakan bahwa para sayyid mempunyai keistimewaan yang lebih dan khusus.
Hanya satu pertanyaan yang masih tersisa yang timbul dalam menanggapi masalah ini, yaitu apabila tidak ada sedikit pun perbedaan dari sisi hasil antara kedua kelompok ini, lalu apa yang akan diperoleh dari sistem ini?
Jawaban dari pertanyaan di atas pun bisa disimpulkan dengan memberikan perhatian pada satu topik bahasan, yaitu perbedaan penting antara khumus dengan zakat, dan perbedaan tersebut adalah, bahwa zakat diperoleh dari kekayaan yang pada hakikatnya merupakan bagian dari kekayaan umum masyarakat Islam, sehingga penggunaan dari zakat ini secara umum berada dalam bagian ini, akan tetapi khumus diperoleh dari kekayaan yang berhubungan dengan pemerintahan Islam. Yaitu, biaya pengeluaran dari sistem pemerintahan Islami yang ada serta pelaksana-pelaksana pemerintahan ini terjamin dari khumus tersebut.
Oleh karena itu, ketidakikutsertaan para sayyid dari perolehan kekayaan umum (zakat) ini, pada hakikatnya adalah untuk menjauhkan keturunan Rasulullah saw. dari bagian umum, sehingga mereka tidak akan terjerumus ke dalam persepsi-persepsi dan statemen-statemen salah yang diutarakan oleh para penentang yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah meyiapkan keturunannya untuk mendominasi kekayaan umum. Akan tetapi dari sisi yang lain, orang-orang dari kalangan sayyid yang membutuhkan harus pula terjamin, dan semua ini telah terantisipasi dalam hukum-hukum Islam. Yaitu, mereka akan mengambil manfaat dari anggaran pemerintahan (Islam), bukan dari anggaran yang dimiliki oleh umum.
Pada hakikatnya, khumus bukan saja tidak merupakan satu keistimewaan yang diberikan kepada sayyid, malah sebagai satu cara untuk mengesampingkan mereka mengingat maslahat umum di dalamnya dan atau supaya tidak ada sedikitpun prasangka buruk yang akan muncul karenanya.

70. Apakah Filsafat zakat?
Dengan memperhatikan realita bahwa Islam tidaklah muncul dalam bentuk sebuah perguruan yang hanya mengelola norma-norma akhlak, akidah ataupun filsafat, akan tetapi Islam telah menapakkan kakinya sebagai sebuah "agama yang sempurna" yang di dalamnya telah terantisipasi seluruh kebutuhan material dan spiritual manusia. Islam telah ada sejak zaman Rasululullah saw. dengan terbentuknya pemerintahan bersama; Islam mempunyai perhatian yang khusus terhadap orang-orang miskin; Islam senantiasa memerangi perbedaan kasta dalam tingkatan sosial. Maka jelaslah bahwa peran Baitul Mal, khususnya zakat sebagai salah satu dari sumber Baitul Mal ini, pastilah memegang peran yang amat krusial.
Tidak ada keraguan lagi bahwa di dalam masyarakat terdapat orang-orang yang kehilangan pekerjaan, sakit, cacat jasmani, dan juga para yatim yang tidak memiliki pelindung dan lain sebagainya, yang tentunya merupakan problema yang perlu mendapat perhatian dan solusi.
Demikian juga, untuk mempertahankan ketahanan intern dalam menghadapi serangan musuh, negara pun membutuhkan kehadiran para tentara yang siap untuk berjihad di mana kompleksitas biaya untuk mereka ini dibebankan di atas pundak pemerintah.
Demikian juga dengan para pegawai pemerintahan Islam, pekerja sosial, kehakiman, fasilitas-fasilitas komunikasi, dan pusat penyebaran agama, masing-masing membutuhkan pembiayaan, yang tanpa adanya penopang harta yang teratur dan meyakinkan, semua ini tidak akan mampu bertahan lama.
Atas dasar ini, di dalam Islam persoalan zakat yang pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk "pajak penghasilan dan produksi" dan "pajak atas kekayaan yang tidak bergerak", mendapatkan perhatian yang khusus. Karena, zakat berada dalam jajaran ibadah paling penting dan dalam banyak hal, zakat telah disebutkan pula secara bersama-sama dengan shalat dan bahkan, termasuk salah satu syarat bagi terkabulnya shalat yang dilakukan oleh seseorang.
Orang-orang yang enggan dan mengingkari pemberian zakat dianggap sebagai orang-orang yang murtad. Mereka harus dinasehati dengan cara yang baik dan lembut. Apabila nasehat tidak memberikan pengaruh yang nyata, maka kita dibenarkan meminta bantuan dari pihak aparat keamanan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah kisah terkenal tentang ashâb Ar-r'iddah (kelompok yang enggan menunaikan zakat) setelah wafatnya Rasul saw. Khalifah masa itu bangkit untuk melawan mereka, dan bahkan, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menandatangani perlawanan ini dan secara khusus beliau menjadi salah satu dari pemegang bendera di medan perang. Kisah ini sangat terkenal dalam sejarah Islam.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Barangsiapa enggan membayarkan satu qirath dari zakatnya, maka ia bukanlah seorang mukmin, bukan pula seorang muslim, dan tidak ada karamah (kehormatan) padanya."
Menarik untuk diperhatikan, bahwa dalam begitu banyak riwayat yang autentik, ukuran zakat ini telah ditentukan secara cermat dan teliti di dalam Islam, sehingga apabila keseluruhan muslim menunaikan zakat dari kekayaannya dengan cara yang benar dan sempurna, bisa dipastikan tidak akan ada lagi seorang pun di dunia ini yang hidup dalam keadaan fakir.
Dalam salah satu hadis, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Apabila seluruh masyarakat menunaikan zakat dari kekayaan mereka, tidak akan tersisa seorang muslim pun yang berada dalam keadaan fakir dan kekurangan. Dan sesungguhnya tidak akan ada orang yang fakir, kekurangan, kelaparan, dan hidup tanpa pakaian di dalam sebuah masyarakat, kecuali karena dosa-dosa orang-orang yang kaya."
Dari berbagai riwayat bisa pula kita simpulkan bahwa pembayaran zakat akan menyebabkan terjaganya kekayaan dan memperkuat fundamen kekayaan itu sendiri, sedemikian rupa sehingga apabila masyarakat melupakan prinsip penting Islam ini, itu akan memunculkan jurang pemisah yang amat dalam antara unsur-unsur sosial yang ada. Dan hal ini tentu saja bisa menjadi sebuah lonceng bahaya bagi kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang cukup.
Dalam sebuah hadis, Imam Musa bin Ja'far a.s. berkata, "Jagalah kekayaanmu dengan cara membayar zakat."
Kandungan makna semacam ini banyak pula ditemukan dalam hadis-hadis lain yang dinukil dari Rasulallah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

13
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

71. Apakah Filsafat Haji dan Rahasia yang Dikandungnya?
Haji adalah sebuah ibadah besar yang pada hakikatnya mempunyai empat dimensi, di mana setiap dimensi itu lebih mengakar dan lebih menguntungkan dari dimensi yang lainnya.


a. Dimensi Etis Haji
Filsafat haji yang paling penting terletak pada perubahan akhlak yang muncul dalam diri manusia. Ritualitas yang dilakukan ketika ihram akan secara total mengeluarkan manusia dari suluk-buluk kenikmatan materi dan kelebihan-kelebihan lahiriah yang mereka miliki, seperti aneka warna pakaian dan perhiasan. Dengan diharamkannya berbagai kelezatan untuk para muhrim (orang-orang yang melakukan ihram) dan dengan menenggelamkan manusia dalam pensucian diri sebagai salah satu kewajiban muhrim, ia telah mengeluarkan mereka dari dunia materi dan tenggelam dalam alam cahaya spiritualitas yang jernih. Mereka yang biasanya merasa berat dengan menyangga atribut-atribut berat semacam derajat tinggi dan medali-medali di atas punggungnya, tiba-tiba ia akan merasakan bebannya menjadi begitu ringan, muncul perasaan rileks, santai, dan mudah dalam melihat segala problema.
Setelah itu, ritual haji berjalan dari ritual yang satu ke ritual yang lainnya. Sebuah ritual yang akan membuat kecintaan maknawi manusia kepada Tuhannya,sesaat demi sesaat dan setapak demi setapak akan menjadi semakin kuat dan indah. Ritual yang mampu menciptakan komunikasi mereka dengan Sang Khaliq menjadi semakin lekat dan dekat. Ritual yang akan melepaskan diri dari masa lalu yang gelap dan bergelimang dosa dan mengalihkannya pada tatapan masa depan yang terang dan bening penuh cahaya.
Perhatian terhadap ibadah haji ini terutama terletak pada hakikat dari ritual haji itu sendiri, yang pada setiap langkahnya merupakan kenangan dari perjalanan Nabi Ibrahim a.s. sang pemenggal kepala berhala, dan Nabi Ismail a.s. sang dzabîhullah (yang disembelih oleh Allah), serta ibundanya Hajar. Sebuah kenangan terhadap perjuangan dan usaha keras mereka, serta kenangan dari sebuah ketakwaan yang agung. Dan kenangan-kenangan inilah yang setapak demi setapak terpahat dan terukir di hadapan mata jutaan manusia. Dan dengan memperhatikan bahwa bumi Makkah pada umumnya, dan Masjidil Haram, Ka'bah dan tempat untuk melakukan thawaf pada khususnya, akan mengingatkan kita pada kenangan-kenangan yang ditinggalkan oleh Rasulallah saw., pemimpin-pemimpin besar Islam, khususnya para imam ma'shum, dan para pejuang muslimin pada masa-masa permulaan Islam. Hal ini akan membuat semakin mendalamnya revolusi akhlak dalam diri manusia, sedemikian rupa sehingga mereka senantiasa melihat wajah Rasulullah saw. dan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pada setiap sudut dari Masjidil Haram dan bumi Makkah, dan mereka mendengar suara-suara mereka yang antusias, menggelora, dan penuh semangat dari segala penjuru.
Ya! Mereka semua saling merapatkan tangan dan membentuk sebuah medan untuk menuju pada suatu perubahan dan revolusi akhlak dalam hati dan kalbu-kalbu yang telah siap, sebagaimana manusia yang membalik lembaran-lembaran kehidupan lama yang merupakan sebuah cerita yang tidak ada kesudahannya, lalu memulai untuk mengisi lembaran baru dalam kehidupan mereka.
Bukanlah tanpa dalil apabila dalam riwayat-riwayat Islam ditegaskan, "Seseorang yang melaksanakan hajinya dengan sempurna, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana seseorang yang baru saja lahir dari perut ibunya."
Ya! Untuk muslimin, haji merupakan kelahiran yang kedua, sebuah kelahiran yang akan menjadi permulaan kehidupan baru bagi manusia.
Tentu saja, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa berkah dan pengaruh agung dari ritualitas haji ini -dan apa yang nanti akan kami jelaskan selanjutnya- bukanlah untuk orang-orang yang mencukupkan diri dengan hanya melaksanakan lapisan luar dari pelaksanaan haji dengan membuang intinya. Pengaruh dan berkah ini tidak pula untuk mereka yang menganggap haji hanya sebagai sebuah variasi kehidupan, sebuah alat untuk mendapatkan kesenangan, untuk refreshing, pamer, riya, atau untuk melengkapi peralatan materi seseorang. Karena dengan begini, mereka sama sekali tidak akan pernah menyentuh ruh dan hakikat haji. Oleh karena itu, bagian yang akan mereka dapatkan hanyalah sebatas apa yang mereka pedulikan dan apa yang mereka cari.


b. Dimensi Politik Haji
Seperti yang telah dikatakan oleh salah seorang faqih Islam, selain ritual haji merupakan ibadah yang paling murni dan paling mendalam di antara ibadah-ibadah yang ada, juga merupakan sebuah mediator yang paling berpengaruh untuk memperoleh tujuan politik Islam.
Hakikat dari sebuah ibadah adalah mengarahkan perhatian dan memfokuskan konsentrasi kepada Allah swt., sedangkan hakikat dari politik adalah mengarahkan perhatian pada ciptaan Allah swt. Kedua hal ini saling berbaur sedemikian rupa hingga berbentuk sebagaimana keburaman warna sebuah kain (karena banyaknya warna yang bercampur di dalamnya).
Haji merupakan komponen fundamental untuk mempersatukan barisan Muslimin.
Haji merupakan salah satu elemen untuk melawan fanatisme suatu negara, keturunan, ras, dan kaum yang berada di dalam istana-istana yang terletak di perbatasan geografi.
Haji merupakan sebuah alat untuk menghancurkan para penghujat dan menghilangkan pengaruh-pengaruh kekuatan-kekuatan arogan yang memegang kekuasaan di negara-negara Islam.
Haji adalah suatu sarana untuk menyebarkan berita politik negara-negara Islam dari satu titik ke titik yang lain.
Dan akhirnya, haji adalah salah satu faktor yang berpengaruh untuk melepaskan rantai-rantai ketertawanan dan penjajahan, serta unsur yang berpengaruh untuk menciptakan kebebasan muslimin.
Dengan alasan ini, pada masa kekuasaan pemerintahan arogan dan keji semacam Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah atas bumi suci Islam, mereka senantiasa memata-matai seluruh kegiatan komunikasi dan kontak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin, sehingga dengan cara ini mereka akan bisa menghancurkan setiap gerakan yang mengarah pada kebebasan dan kemerdekaan.
Tibanya masa pelaksanaan haji merupakan sebuah katup kecil yang mengarah pada kemerdekaan dan merupakan tempat untuk melakukan komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat besar Islam, dan juga merupakan tempat untuk memaparkan persoalan-persoalan politik.
Atas alasan ini, ketika menjelaskan filsafat haji Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: "Allah telah mensyariatkan haji untuk menguatkan agama Islam".
Bukanlah tanpa alasan jika salah satu dari pengamat politik asing yang terkenal, dalam statemennya yang penuh makna mengatakan, "Celakalah muslimin apabila mereka tidak mengetahui makna dari ritual haji, dan celakalah para musuh apabila mereka memahami makna ritual haji."
Dalam riwayat-riwayat Islam yang lain juga ditegaskan bahwa haji adalah sebuah jihad bagi orang-orang yang lemah. Sebuah jihad yang bahkan pria lanjut usia dan wanita renta pun mampu untuk merefleksikan keagungan dan kemegahan umat Islam ini dengan kehadirannya di medan haji, dan mampu untuk menggoncangkan kubu pertahanan para musuh dengan lingkaran barisan shalat yang mengelilingi rumah Allah secara berlapis-lapis, serta dengan teriakan suara yang mengumandangkan kebersatuan dan keagungan Allah swt.


c. Dimensi Kultural Haji
Komunikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim di musim haji bisa menjadi sebuah faktor yang paling bepengaruh dalam pertukaran budaya dan pikiran. Khususnya, reuni agung yang ada dalam pelaksanaan haji ini merupakan perwakilan hakiki dan alami dari kelompok-kelompok muslim dunia. Karena, dalam pemilihan personil untuk berziarah ke rumah Allah tidak ada sedikit pun faktor pemalsuan yang berpengaruh. Para penziarah Ka'bah dari berbagai kelompok, ras, keturunan, dan dengan bahasa yang mereka pergunakan untuk melakukan percakapan, bangkit dan berkumpul menjadi satu di tempat tersebut.
Oleh karena itu, dalam riwayat Islam kita membaca bahwa salah satu dari manfaat haji adalah penyebaran sunah-sunah Rasulullah saw. ke seluruh penjuru dunia.
Hisyam bin Hakam, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Aku pernah bertanya kepada beliau tentang filsafat haji dan thawaf di sekeliling Ka'bah. Beliau menjawab, 'Allah telah menciptakan hamba-hamba-Nya ... dan Ia telah memberikan perintah-perintah kepada mereka bagaimana jalan untuk mendapatkan kebaikan agama dan dunia. Dan salah satu cara tersebut adalah dengan menetapkan berkumpulnya manusia dari barat hingga timur (dalam pelaksanaan haji) sehingga manusia bisa saling mengenal antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing bisa saling mengetahui keadaan yang lainnya. Setiap kelompok saling menukar modal-modal perdagangan dari kota yang satu ke kota yang lain .... Begitu juga, supaya mereka mengenal sunnah, peninggalan-peninggalan, dan berita-berita dari Rasulullah saw., sehingga masyarakat akan senantiasa mengenang dan tidak melupakannya.'"
Dengan alasan ini pula, pada masa krisis politis -di mana para khalifah dan pemimpin arogan kejam tidak memberikan izin terhadap penyebaran hukum-hukum Islam kepada muslimin- dengan memanfaatkan kesempatan musim haji ini, mereka mampu menyelesaikan kendala-kendala yang mereka hadapi, dan mampu menyibakkan tirai yang telah menutupi wajah-wajah hukum Islam dan sunah Rasulullah saw. dengan melakukan kontak dan komunikasi dengan para imam ma'shum a.s. dan ulama besar Islam.
Dari sisi lain, haji bisa pula diangkat sebagai sebuah pertemuan besar dan konggres kebudayaan untuk mengumpulkan para ilmuwan dan pakar intelektual Islam selama mereka berada di Makkah, sehingga mereka bisa mengutarakan kepada sesamanya apa yang menjadi pikiran dan solusinya.
Pada prinsipnya, salah satu kemalangan besar -di mana dengan adanya perbatasan di antara negara-negara Islam telah menyebabkan munculnya perbedaan budaya di antara mereka- adalah karena kaum muslim dari setiap negara hanya memikirkan keadaan diri mereka sendiri. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat Islam yang tadinya bersatu menjadi sebuah masyarakat yang terkoyak dan bercerai-berai, dan pada akhirnya mereka akan hilang tanpa bekas. Ya! Dengan adanya pelaksanaan haji, kemuraman masa depan-seperti telah digambarkan di atas-akan bisa diantisipasi.
Betapa menarik ucapan Imam Ash-Shadiq a.s. dalam kelanjutan riwayat yang dinukilkan oleh Hisyam bin Hakam tersebut, "Apabila setiap kaum dan bangsa hanya berbicara tentang bangsa dan kaumnya sendiri, dan hanya memikirkan tentang apa problem yang terjadi di dalam dirinya, mereka semua akan berada di ambang kehancuran dan negara-negara mereka akan rusak. Demikian juga, keuntungan-keuntungan yang telah mereka peroleh sebelumnya akan menjadi terhenti dan berita-berita yang benar akan tertutupi oleh tirai kekaburan."


d. Dimensi Ekonomi Haji
Berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang, memanfaatkan kongres besar haji ini dalam menguatkan pondasi perekonomian Islam bukan hanya tidak bertentangan dengan hakikat haji, bahkan berdasarkan riwayat-riwayat Islam, sisi ini adalah salah satu filsafat haji yang ada.
Apa sulitnya muslimin yang berada dalam pertemuan yang begitu besar ini meletakkan satu pondasi pembentukan sebuah pasar bersama yang islami dan mempersiapkan pusat pertukaran dan perdagangan di antara mereka? Karena perlu diketahui bahwa keuntungan dari transaksi semacam ini tidak akan masuk ke kantong musuh dan tidak pula akan menyebabkan perekonomian mereka bergantung kepada negara asing. Dan ini tidak berart sama penyembahan terhadap dunia, akan tetapi justru sebuah ibadah dan jihad.
Oleh karena itu, dalam riwayat itu pula, selain Hisyam bin Hakam telah mendengarkan penjelasan tentang filsafat haji dari Imam Ash-Shadiq a.s. secara tegas dan jelas, ia juga menangkap sebuah isyarat bahwa salah satu dari tujuan haji adalah untuk memperkuat perdagangan muslimin dan mempermudah hubungan perekonomian di antara mereka.
Dalam sebuah hadis yang lain, ketika menafsirkan ayat, "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu" (QS. Al-Baqarah [2]: 198), Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Maksud dari ayat tersebut adalah usaha untuk mencari rezeki. Ketika manusia telah keluar dari keadaan ihramnya dan menyelesaikan pelaksanaan manasiknya, pada musim itu juga mereka melakukan transaksi jual beli. Dan melakukan hal ini bukan saja tidak berdosa, bahkan malah memiliki pahala."
Makna dan kandungan yang sama terdapat pula dalam hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. yang menjelaskan filsafat haji secara panjang lebar. Di akhir hadis beliau berkata, "Liyasyhadû manâfi'a lahum (supaya mereka menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka)."
Ucapan terakhir beliau ini (liyasyhadû manâfi'a lahum) selain mengisyaratkan tentang keuntungan maknawiyah, juga mengisyaratkan adanya keuntungan materi di mana keduanya, apabila dilihat dari satu sisi, sama-sama merupakan keuntungan maknawiyah.
Pendek kata, apabila ibadah yang agung ini dimanfaatkan secara benar dan sempurna, dan para peziarah rumah Allah dalam melakukan aktifitasnya di bumi suci ini mempunyai kesiapan kalbu untuk memanfaatkan kesempatan besar ini dalam menyelesaikan berbagai problem yang ada dalam masyarakat Islam dengan membentuk berbagai kongres politik, budaya, dan perekonomian, maka ibadah ini dari setiap segmennya akan mampu menjadi sebuah penuntas masalah. Mungkin dengan dalil ini pulalah Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Tidak akan runtuh agama (Islam) selama rumah Ka'bah masih berdiri tegak."
Demikian juga dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menegaskan bahwa melupakan rumah Allah berarti mati. Beliau berkata, "Jagalah kedudukan rumah Tuhanmu! Janganlah kamu kosongkan rumah Allah, karena sesungguhnya apabila kamu meninggalkannya, Allah akan menarik kesempatan itu darimu."
Karena pentingnya hal ini, ketika muslimin pada suatu musim hendak meliburkan haji selama satu tahun saja, wajib bagi pemerintahan Islam untuk mengirimkan mereka ke Makkah dengan cara paksa.


Haji, Ibadah Penting untuk Pembentukan Insan
Perjalanan haji pada hakikatnya merupakan sebuah hijrah besar, sebuah perjalanan Ilahi, sebuah medan yang luas untuk pembentukan dan penyucian jiwa insan, serta sebuah jihad akbar.
Ritual haji pada hakikatnya menunjukkan sebuah ibadah yang telah membaur secara mendalam dengan kenangan-kenangan dari usaha dan perjuangan keras yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Nabi Ismail a.s., serta istrinya Hajar. Apabila kita melalaikan pengkajian atas rahasia-rahasia haji ini, akan begitu banyak hakikat dari ritual haji ini yang berada dalam teka-teki. Ya! Kunci dari teka-teki ini adalah kepedulian pada keberbauran yang mendalam ini.
Pada saat kita mendatangi tempat penyembelihan binatang kurban yang terletak di Mina, kita akan tercengang dan muncul pertanyaan di dalam hati kita, untuk apakah semua binatang kurban yang sedemikian banyak ini? Pada prinsipnya, apakah penyembelihan hewan memang bisa merupakan sebuah cincin dari kumpulan mata rantai sebuah ibadah?
Akan tetapi, ketika kita mengingat kembali peristiwa penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. terhadap anak semata wayang yang paling dicintai dan disayanginya, seorang putra yang merupakan buah pernikahan dari sekian tahun usianya yang harus dikorbankan dan dipersembahkan di jalan Allah, yang kemudian termanifestasi menjadi sebuah sunah dalam bentuk penyembelihan kurban di tanah Mina, maka kita akan memahami filsafat dari amal ini.
Penyembelihan kurban merupakan sebuah rumus bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada jalan penghambaan dan pengabdian. Penyembelihan kurban merupakan sebuah manifestasi untuk mengosongkan kalbu manusia dari segala sesuatu selain Allah dan kita akan bisa mengambil manfaat edukasi dari manasik ini dengan cukup ketika kita telah mampu mengukir dan memahat keseluruhan peristiwa penyembelihan Ismail a.s. dan kekuatan spiritual yang dimiliki oleh bapak serta anak ini ketika melakukan penyembelihan dalam pandangan kita, dan pada akhirnya, spiritualitas tersebut pun akan menyorotkan cahayanya ke dalam wujud manusia.
Ketika kita pergi ke Jamarât, yaitu tiga buah tiang yang terbuat dari batu khusus -di mana para haji ketika melakukan ritualnya melempari ketiganya dengan batu dan pada setiap lemparannya, mereka melemparkan tujuh buah batu dengan ritual yang khas- maka teka-teki dari ritualitas ini pun terhampar di hadapan kita yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apa kira-kira arti dari melemparkan sekian banyak batu ke arah sebuah tiang batu yang tanpa ruh ini? Dan kira-kira persoalan apakah yang akan bisa terpecahkan dengan ritual semacam ini?
Akan tetapi, apabila kita mengingat kembali bahwa semuanya ini merupakan kenangan dari perlawanan Nabi Ibrahim a.s., sang Pahlawan Tauhid dalam menghadapi godaan setan yang telah menampakkan dirinya sebanyak tiga kali untuk menghalangi langkah beliau dan mempunyai maksud untuk membuat keraguan dan kelemahan dalam menghadapi medan jihad akbar ini, dan setiap kali itu pula Ibrahim sang Pahlawan melemparinya dengan batu supaya setan menjauh darinya, maka kandungan dari ritual ini pun akan menjadi jelas bagi kita.
Arti ritual ini adalah, bahwa kita semua pun sepanjang usia berada di dalam medan jihad akbar yang senantiasa berhadapan dengan bisikan setan. Dan selama kita tidak melemparinya dan tidak memperlihatkan sedikit pun reaksi supaya ia melarikan diri dari kita, kita tidak akan pernah memperoleh, bahkan separuh kemenangan sekalipun.
Apabila Anda memiliki harapan bahwa supaya Allah Yang Agung, Pemilik Segala Kesempurnaan memandang Anda dengan pandangan kasih dan rahmat-Nya sebagaimana Ia menyampaikan salam-Nya kepada Nabi Ibrahim dan mengabadikan ajaran dan kenangannya dalam sunah-sunah agama-Nya, Anda harus melanjutkan garis yang telah ada ini.
Kemudian, pada saat kita menapakkan kaki ke Shafa dan Marwah, dan kita melihat orang-orang secara berkelompok dan berbondong-bondong berjalan dari gunung kecil di sini ke arah gunung yang lebih kecil lagi di bagian sana, kemudian dari sana kembali lagi ke gunung yang ini, dan mereka mengulangi perbuatannya lagi di mana terkadang mereka melakukannya dengan berlari, akan tetapi tak jarang pula melakukannya dengan berjalan tanpa menghasilkan sesuatu pun, tentu saja kita akan terheran-heran; amal apa lagi ini? Dan kira-kira apa arti yang akan diperoleh dari ritual semacam ini?
Akan tetapi, ketika kita mengurut benang sejarah ke belakang, kemudian mengingat kembali kisah jerih payah seorang wanita penuh iman bernama Hajar yang dengan semangat luar biasa mencarikan air di tengah sahara yang kering dan membakar untuk menyelamatkan si buah hatinya, Ismail dari kehausan, dan bagaimana kemudian Allah swt. mengabulkan seluruh usaha dan jerih payahnya dengan memancarkan dan mengalirkan air Zamzam di bawah telapak kaki Ismail kecil, tiba-tiba kita seakan tersentak, roda zaman berputar ke belakang dan tabir kekaburan tersingkap. Lalu pada saat itu, kita akan melihat posisi diri kita telah berada di samping Hajar, bersama-sama melangkahkan kaki dalam menguras tenaga dan keringat untuk meraih rahmat-Nya. Karena kita mengetahui bahwa perjalanan di jalan Allah tanpa adanya usaha dan kemauan, tidak akan pernah bisa membawa kita ke tempat manapun.
Walhasil, dari segala apa yang telah kami katakan sebelumnya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa haji haruslah diajarkan dengan (menjelaskan) segala rumus dan rahasia yang tersembunyi di baliknya, kemudian mengukir dan memahat seluruh kenangan Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s. dan Hajar setapak demi setapak, sehingga selain filsafat dari semua kejadian ini bisa dipahami, pengaruh-pengaruh akhlak yang dalam dari haji juga bisa menghujamkan cahayanya di dalam jiwa-jiwa mereka yang melakukannya. Tanpa adanya hakikat-hakikat tersebut, haji berarti hanya dilakukan pada bagian lapisan luarnya saja, tidak lebih dari itu.

72. Apakah Hak-hak yang Diberikan Islam kepada Kaum Wanita?
Dengan kemunculan Islam dan sistem pendidikan khas yang dimilikinya, kehidupan wanita pada masa ini telah memasuki babak baru, sebuah era kehidupan dengan interval yang amat maju dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Di era baru ini, wanita telah menjadi sosok mandiri yang mendapatkan seluruh hak-haknya, baik dari sisi individual maupun sosial. Pondasi pengajaran Islam dalam masalah wanita adalah sebagaimana yang kita baca di dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Yaitu, sebagaimana wanita mempunyai kewajiban yang berat di dalam masyarakat, mereka juga mempunyai hak-hak yang perlu pula untuk mendapatkan perhatian dan kepedulian.
Islam senantiasa menganggap kedudukan wanita sejajar dengan kedudukan pria dari sisi hakikat kesempurnaan insani, kemauan serta hak pilihnya, dan Islam memandang wanita berada di dalam perjalanan kesempurnaannya yang merupakan tujuan penciptaan. Oleh karena itu, mereka diletakkan secara berdampingan dengan pria dan sejajar dalam satu barisan, lalu menyeru mereka berdua dengan satu nada, "Wahai manusia", atau "Wahai orang-orang yang beriman".
Islam juga melazimkan adanya program-program pendidikan dan akhlak untuk mereka.
Melalui ayat-ayat semacam "... dan barangsiapa mengerjakan amal yang salih, baik pria maupun wanita, sedangkan ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga ...." (QS. Al-Mu'min [40]: 40), Islam telah menjanjikan adanya kebahagiaan dalam mencapai kesempurnaan untuk keduanya.
Melalui ayat seperti "Barangsiapa mengerjakan amal salih, baik pria maupun wanita dan ia berada dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS. An-Nahl [16]: 97) Islam menegaskan bahwa setiap pria maupun wanita bisa melakukan dan melaksanakan ajaran-ajaran hidup yang ada di dalam Islam untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan material, dan menapakkan langkahnya dalam kehidupan suci yang merupakan puncak dari segala ketenangan.
Islam telah menganggap kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria dalam keseluruhan makna kemandirian dan kebebasannya, dan Al-Qur'an dengan ayat seperti "Kullu nafsin bimâ kasabat rahînah" atau "Man 'amila sôlihan falinafsih wa man asâ'a fa'alaihâ" menegaskan bahwa kebebasan yang ada di sini adalah kebebasan individu secara umum, baik kebebasan bagi pria maupun bagi wanita. Oleh karena itu, dalam aturan tentang hukuman pun, kita melihat dalam ayat "Wanita yang berzina dan pria yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera ...." (QS. An-Nur [24]: 2)
Pada sisi lain, karena kemandirian merupakan kelaziman dari kehendak dan hak memilih, Islam memberikan kemandirian ini dalam hak-hak kepemilikan secara luas kepada wanita dan tidak ada sedikit pun halangan baginya dalam melakukan jenis-jenis transaksi kekayaan, dan wanita juga merupakan pemilik kekayaan dan modalnya sendiri. Dalam sebuah ayat kita membaca, "... bagi pria terdapat bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita terdapat bagian dari apa yang mereka usahakan ...." (QS. An-Nisa' [4]: 32)
Dengan memperhatikan bahwa kosa kata "iktisaba" berlainan dengan kosa kata "kasaba" yang artinya adalah suatu usaha mendapatkan suatu kekayaan yang hasilnya menjadi milik seseorang yang mencarinya, demikian pula dengan memperhatikan kaidah umum bahwa "manusia menguasai kekayaan yang dimilikinya sendiri". Dari sini dapat dipahami bagaimana Islam menghormati hak kepemilikan dan aktivitas ekonomi wanita, dan tidak meletakkan perbedaan antara wanita dengan pria.
Ringkasnya, wanita dalam Islam merupakan sebuah komponen fundamental dalam kehidupan masyarakat, dan sama sekali tidak dibenarkan melakukan transaksi dengannya berdasarkan anggapan; melakukan transaksi dengan sebuah wujud yang kosong dari kehendak dan hanya bergantung kepada seorang pengayom.


Jangan Salah Memaknai "Persamaan"
Hanya ada satu topik bahasan penting yang harus diperhatikan dalam masalah ini (dan Islam telah memberikan perhatian yang khusus terhadapnya, tetapi sebagian kelompok mengingkari masalah ini dengan mendasarkan pada satu rantai sentimental yang berlebihan dan tanpa perhitungan). Masalah tersebut adalah adanya perbedaan spiritual dan jasmani antara pria dengan wanita dan perbedaan kewajiban mereka.
Betapapun kita mencoba untuk mengingkari hal tersebut, kita tetap tidak akan bisa mengingkari dan menyangkal hakikat bahwa antara dua gender ini terdapat perbedaan yang mencolok, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Hal ini telah sering dibahas secara panjang lebar dalam berbagai jenis buku, sehingga tidak perlu bagi kami untuk mengulangi lagi pembahasan dalam masalah ini.
Pendek kata, karena wanita merupakan sentral bagi fenomena keberwujudan manusia dan pertumbuhan tunas-tunas baru berada dalam pangkuan dan tanggung jawabnya, dan mereka telah diciptakan dengan struktur jasmani yang sesuai untuk melakukan hal-hal tersebut, seperti mengandung dan mendidik generasi masa depan, maka dari aspek ruhani mereka mempunyai bagian yang lebih besar dalam kelembutan perasaan dan kasih sayang.
Dengan adanya perbedaan ini, apakah bisa dikatakan bahwa pria dan wanita harus senantiasa berjalan secara sejajar dalam semua hal, dan dalam keseluruhan aktifitas pun mereka harus seratus persen tidak mempunyai perbedaan? Bukankah sebelumnya telah dijelaskan bahwa kita harus menjadi pendukung keadilan sosial? Tidakkah keadilan menyatakan bahwa setiap individu harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya dan memanfaatkan pemberian-pemberian, kelebihan-kelebihan, dan wujudnya sendiri?
Oleh karena itu, bukankah mengikutsertakan seorang wanita dalam aktifitas-aktifitas yang berada di luar batas ruh dan jasmaninya merupakan suatu hal yang bertentangan dengan hakikat keadilan?
Di sinilah kita melihat, selain menjadi pendukung keadilan, Islam juga mendahulukan peran pria pada sebagian aktifitas-aktifitas sosial dan masyarakat yang lebih banyak membutuhkan kekerasan dan kecermatan, seperti sebagai seorang pelindung dan pengayom sebuah bahtera rumah tangga, sedangkan kedudukan asisten rumah tangga diserahkan kepada wanita.
Sebuah rumah dan masyarakat masing-masing membutuhkan adanya pemimpin, dan problematika kepemimpinan pada puncaknya terfokus pada diri person itu sendiri. Apabila tidak demikian, akan terjadi kekacauan. Dalam kondisi semacam ini, manakah yang lebih baik untuk dijadikan sebagai kandidat? Pria ataukah wanita? Semua pakar yang jauh dari fanatisme mengatakan bahwa keadaan biologis pria menyebabkan kepemimpinan dan pengaturan keluarga berada dalam tanggung jawabnya, dan wanita menjadi asistennya.
Meskipun sebagian kelompok memaksakan diri untuk tidak mempedulikan hakikat ini, akan tetapi kondisi kehidupan mereka di luar, bahkan di dunia sekarang ini dan di negara-negara yang yang mengklaim dirinya telah memberikan kebebasan mutlak dan persamaan derajat yang penuh kepada pria dan wanita, memperlihatkan bahwa perilaku mereka dalam masalah ini tetap saja sebagaimana yang telah disebutkan di atas, meskipun perkataan mereka berlawanan dengan apa yang mereka lakukan.


Nilai Spiritual Pria dan Wanita
Al-Qur'an menganggap pria dan wanita dalam pencapaian kedudukan spiritual dalam syarat-syarat yang mirip adalah sama di hadapan Allah swt., dan Dia sama sekali tidak mempedulikan adanya perbedaan gender dan perbedaan-perbedaan struktur jasmani, yang dampaknya tentu akan menghasilkan perbedaan pada sebagian tanggung jawab dalam masyarakat sebagai sebuah perbedaan yang krusial dalam proses kesempurnaan manusia, selain dalam pandangan Allah swt. Kedua gender ini -yaitu pria dan wanita- secara sempurna berada dalam sebuah barisan yang sejajar dan berada dalam satu level. Oleh karena itulah mereka disebutkan secara bersama-sama di dalam berbagai ayat suci Al-Qur'an.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang begitu banyak telah diturunkan pada suatu masa dan zaman di mana terdapat begitu banyak bangsa dan negara di dunia ini yang ragu terhadap kemanusiaan gender wanita, dan wanita telah mereka anggap sebagai sebuah wujud yang terkutuk dan sumber segala dosa, penyelewengan, dan kematian.
Banyak negara yang ada pada waktu itu menyepakati bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang wanita di hadapan haribaan Tuhan Yang Agung sama sekali tidak akan terkabulkan. Banyak bangsa Yunani yang menganggap wanita sebagai sebuah maujud yang najis, kotor, dan muncul dari perbuatan setan. Bangsa Romawi dan sebagian Yunani berpendapat bahwa pada prinsipnya, wanita tidak mempunyai hakikat selayaknya manusia. Oleh karena itu, hakikat manusia hanya milik para pria.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada kurun terakhir ini, para ahli agama atau pemuka Masehi di Spanyol telah membahas persoalan apakah wanita adalah -sebagaimana pria- mempunyai ruh manusia, dan apakah ruhnya akan tetap abadi setelah kematiannya? Dan setelah melakukan pembahasan secara berkesinambungan seputar topik ini, akhirnya mereka sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat tragis; bahwa karena ruh wanita merupakan ruh yang barzakhi dan terletak di antara ruh manusia dan ruh hewan, maka ruh mereka tidak akan abadi, kecuali ruh yang dimiliki oleh Maryam.
Dari sini jelas bahwa dakwaan dan hujatan yang dilontarkan oleh sebagian orang-orang yang apriori dan miskin dari informasi ini, yang menuduh bahwa Islam adalah agama untuk pria dan bukan untuk wanita, betapa jauh dari hakikat yang ada. Secara global, apabila dalam sebagian norma-norma Islam telah muncul perbedaan tanggung jawab sosial dikarenakan perbedaan syarat jasmani dan kelembutan yang berbeda antara wujud pria dan wanita, ini sama sekali bukan untuk merendahkan dan menghancurkan citra spiritual wanita.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, dan pintu-pintu kebahagiaan terbuka di hadapan mereka berdua dalam satu bentuk. Al-Qur'an berfirman, "Sebagian dari Kamu adalah dari sebagian (yang lain)." Maksudnya adalah bahwa mereka semua berasal dari satu jenis dan kelompok.


73. Apakah Filsafat Hijab?
Tak syak lagi, pada kurun kita yang sebagian orang menamakannya sebagai peradaban modern, abad telanjang dan abad kebebasan seksual, dan setiap orang yang mengikuti kebebasan naluri secara mutlak ini menganggap wanita sebagai bagian dari kebebasan ini. Bagi mereka, membicarakan masalah hijab merupakan suatu topik yang tidak menyenangkan, dan terkadang mereka menganggapnya sebagai sebuah dongeng yang hanya berkaitan dengan masa lampau.
Akan tetapi, adanya kerusakan dan kebejatan yang tidak terhitung banyaknya dan problematika yang semakin hari semakin bertambah sebagai konsekuensi dari kebebasan radikal dan tanpa syarat ini telah menyebabkan hadirnya beberapa pihak yang bersedia untuk mendengarkan arti hijab ini.
Tentu saja, pada lingkungan yang Islami, khususnya di dalam lingkungan Iran pasca Revolusi, sebagian banyak persoalan yang berkaitan dengan masalah ini telah bisa terpecahkan dan sebagian banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul berkaitan dengannya praktis telah bisa terjawab dengan jawaban yang cukup dan memuaskan. Akan tetapi, sekali lagi, dikarenakan pentingnya kepedulian terhadap masalah ini, layak sekiranya tema ini diangkat kembali untuk dibahas secara lebih luas dan lebih rinci.
Masalah yang muncul pada tema kali ini adalah, apakah wanita-wanita harus senantiasa berada di dalam kewenangan semua pria untuk memenuhi keinginan dan kenikmatan-kenikmatan visual, audial, dan sentuhan (kecuali hubungan seksual) ataukah dalam masalah-masalah ini, mereka hanya khusus berada di bawah kewenangan suami-suami mereka?
Aksentuasi bahasan berada pada titik bahwa apakah para wanita telah terjebak dalam sebuah perlombaan tanpa akhir untuk memperlihatkan keindahan tubuh, daya tarik syahwat dan keerotisannya kepada semua pria ataukah masalah ini harus disingkirkan dari lingkungan masyarakat, lalu mengkhususkannya dalam lingkungan keluarga dan dalam kehidupan bersuami istri saja?
Tentu saja, Islam mendukung pilihan kedua di antara kedua tawaran di atas, di mana hijab merupakan bagian dari program ini. Sementara Barat dan orang-orang yang kebarat-baratan lebih mengarahkan dukungannya pada pilihan pertama, yaitu program liberalisme dan kebebasan seksual.
Islam mengatakan bahwa seks secara umum bisa didapatkan dari hubungan seksual dan kelezatan-kelezatan visual, audial, dan sentuhan khusus yang dilakukan dengan para suami, dan selain dari ini adalah dosa dan merupakan sumber dari kekotoran, kemaksiatan, kekejian, dan kebusukan masyarakat.

Filsafat hijab bukanlah sesuatu yang tersembunyi, karena:

a. Ketelanjangan wanita yang secara alami akan diikuti dengan munculnya fenomena-fenomena semacam berhias diri, kegenitan, senantiasa ingin menarik perhatian lawan jenis, dan lain sebagainya, akan membuat kaum pria, khususnya para pemuda berada dalam sebuah keadaan yang senantiasa terusik tegang, sebuah ketegangan yang menyebabkan terkoyak urat-urat saraf mereka, dan menyebabkan terlecutnya penyakit-penyakit saraf yang bahkan terkadang menjadi sumber kemunculan penyakit jiwa. Memangnya, seberapa mampukah urat saraf manusia menerima beban untuk memikul ketegangan semacam ini?
Bukankah semua ahli kesehatan telah mengatakan bahwa ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan akan menjadi penyebab munculnya sebuah bahkan beberapa penyakit? Terutama jika kita memperhatikan bahwa hasrat seksual merupakan naluri yang paling kuat dan paling mengakar dari keseluruhan naluri yang dimiliki oleh manusia, dan dalam sepanjang perjalanan sejarah, hasrat seksual telah menjadi sumber segala kejahatan dan peristiwa-peristiwa buas, menyeramkan, dan pembawa kematian, sampai-sampai mereka berpendapat, "Tidak ada satu pun peristiwa penting yang bisa Anda temukan, kecuali terdapat tapak kaki seorang wanita di dalamnya."
Apakah mendekati bahaya secara konstan dengan cara penelanjangan terhadap naluri seksual ini dan memperbesar baranya, tidak bisa diibaratkan sebagai bermain dengan api? Apakah pekerjaan semacam ini logis dan masuk akal?
Islam menginginkan pria muslim dan wanita muslimah mempunyai ruh yang tenang, saraf yang sehat, dan mata dan telinga yang bersih dari segala polusi kemaksiatan, dan ini merupakan salah satu filsafat hijab.

b. Data statistik yang akurat dan juga laporan-laporan yang ada memperlihatkan bahwa pertambahan kebebasan seksual di muka bumi ini telah mengakibatkan kenaikan secara terus menerus pada pertikaian, perceraian, dan putusnya komunikasi dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini disebabkan -menurut pribahasa- "Apapun yang dilihat oleh mata, diingat pula oleh hati". Yang dimaksud dengan "hati" di sini adalah keinginan dari sebuah nafsu liar yang dengan cara apapun dan bagaimanapun akan lari untuk mengejar apa yang menjadi keinginannya, sehingga dengan demikian setiap hari hati akan mengikatkan diri pada sesuatu yang telah menawan dan menambatnya, lalu mengucapkan selamat tinggal kepada yang lainnya.
Akan tetapi, dalam lingkungan yang didominasi oleh hijab dan norma-norma Islam yang lain akan ditemukan adanya ikatan yang suci dan indah dari dua suami istri yang mempunyai rasa saling memiliki antara satu dengan yang lainnya. Perasaan, cinta, kasih sayang, dan kelembutan hanya mereka tuangkan secara privat di antara mereka berdua.
Akan tetapi, dalam budaya kebebasan mutlak, di mana wanita muncul dalam bentuk sebuah benda fisik milik bersama -paling tidak dalam tahapan selain hubungan seksual- didapatkan bahwa kesucian dari sebuah ikatan perkawinan antara suami dan istri tidak lagi menyisakan makna, dan keluarga-keluarga yang ada begitu cepat akan mengalami kehancuran serapuh sarang laba-laba, lalu anak-anak pun akan muncul sebagai sosok-sosok layu yang hidup tanpa pelindung dan pengayom.

c. Berkembangnya kerusakan, kemaksiatan, perbuatan-perbuatan zina dan semakin banyaknya anak-anak yang dilahirkan dari persetubuhan yang tidak sah merupakan fenomena yang paling menyakitkan dari tidakadanya hijab ini. Kami berpikir bahwa hal ini tidak lagi membutuhkan adanya data statistik lagi, karena dalil-dalil atas masalah tersebut telah tampak secara sempurna dan jelas, khususnya di dalam masyarakat Barat.
Kami tidak mengklaim bahwa sebab utama kerusakan dan kehadiran anak-anak yang tidak sah ini adalah tidakadanya hijab, dan kami pun tidak mengklaim bahwa penjajahan yang busuk dan tercela, serta siasat politik imperialis tidak berperan di dalamnya, akan tetapi kami mengatakan bahwa salah satu sebab utama di dalam masalah tersebut adalah kebebasan seksual dan ketiadaan hijab.
Dengan memperhatikan "kemaksiatan dan perzinaan" yang semakin merejalela di dalam lingkungan masyarakat, dan yang lebih parah lagi, "anak-anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah" yang hal ini merupakan sumber dari berbagai macam malapetaka dalam masyarakat sosial, baik pada masa dulu maupun sekarang, akan semakin terlihat jelas dampak dari dimensi-dimensi berbahaya yang akan muncul dari problem ketiadaan hijab ini.
Ketika kita mendengar bahwa pada setiap tahunnya di negara Inggris -sesuai dengan data statistik yang ada- telah lahir sebanyak lima ratus ribu bayi-bayi di luar pernikahan yang sah, dan ketika kita mendengar adanya sekelompok ilmuwan Inggris yang memberikan alarm tanda bahaya kepada para petinggi pemerintahan sehubungan dengan masalah ini -bukan karena masalah etika ataupun agama, melainkan- karena kemungkinan munculnya bahaya yang sedemikian mengerikan bagi keamanan masyarakat yang akan ditimbulkan oleh anak-anak ini pada masa mendatang, sehingga begitu banyak berkas kejahatan hampir senantiasa ditemukan adanya tapak kaki mereka yang ikut berperan di dalamnya, kita akan memahami persoalan ini secara sempurna, dan kita pun mengetahui bahwa masalah semakin merajalelanya kerusakan dan maksiat. Bahkan mereka yang sama sekali tidak mempunyai kepedulian terhadap mazhab dan program-program etika sekalipun, akan menganggap hal ini sebagai bom yang akan memunculkan sebuah tragedi yang mengerikan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menjadi sebab tersebarnya kerusakan seksual di dalam masyarakat akan dianggap sebagai sebuah ancaman yang serius bagi keamanan masyarakat, sedangkan dampak yang akan ditimbulkannya, meskipun kita telah memperhitungkannya dengan cermat, akan tetap membawa kerugian bagi masyarakat tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan yang mendalami masalah pendidikan memperlihatkan pula bahwa di sekolah-sekolah yang di dalamnya terdapat para pelajar putri yang belajar secara bersama-sama dengan para pelajar putra, dan juga di pusat-pusat kegiatan yang para aktivisnya bergabung antara pria dengan wanita yang tidak ada ikatan sama sekali dalam pergaulan mereka, akan lebih banyak disaksikan munculnya kemalasan dalam bekerja, kelemahan mental, dan tidak adanya rasa tanggung jawab.

d. Masalah kebejatan wanita dan jatuhnya citra dirinya pun perlu mendapatkan sorotan yang serius. Dalam masalah ini tidak lagi membutuhkan kehadiran grafik dan data statistik. Ketika orang-orang yang berada di dalam sebuah masyarakat telah menginginkan kehadiran wanita dengan tubuh moleknya yang tidak tertutupi, tentu saja konsekuensi yang akan ditimbulkan dari masalah ini adalah adanya peningkatan konsumsi dan semakin banyaknya permintaan terhadap alat-alat kosmetika dan semakin kuatnya keinginan wanita untuk terus mempercantik dan memperlihatkan dirinya. Ketika para wanita dengan daya tarik tubuh telah menjadi sarana untuk eksploitasi, advertasi barang, dan aksesori yang diletakkan di tengah-tengah lobby, dan telah menjadi sebuah obyek yang dipergunakan untuk menarik kedatangan para turis dan wisatawan dan lain sebagainya, maka citra diri wanita dalam masyarakat yang semacam ini akan jatuh terpuruk hingga hanya sebatas harga sebuah boneka, atau bahkan sebuah barang yang tak berguna, dan nilai-nilai luhurnya sebagai seorang manusia akan terlupakan secara total. Ketika itu, satu-satunya kebanggaan wanita yang tersisa hanyalah penampilan muda, kecantikan, dan daya tarik, serta kemolekan tubuh.
Dengan demikian, wanita akan berubah menjadi sebuah alat fisik belaka yang dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu birahi dan insting liar seorang penipu dan setan yang berwajah manusia.
Dalam masyarakat seperti ini, bagaimana seorang wanita bisa mengaktualisasikan ilmu, kecerdasan, dan pengetahuan yang dimilikinya, serta bagaimana ia bisa mendapatkan harkat tinggi yang semestinya kredibilitas akhlaknya?
Sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat menyakitkan bila di negara-negara Barat dan negara-negara yang kebarat-baratan serta negara Iran sendiri sebelum revolusi, paling banyak nama, tokoh-tokoh terkenal, penyanyi, uang, penghasilan dan fasilitas pada para wanita yang bebas, liberal dan tanpa batas ini, dikenal sebagai seorang yang professional danahli di bidangnya. Dan ironisnya, pada setiap tempat di mana mereka menapakkan kaki, para pejabat di lingkungan yang bobrok dan kotor ini akan bergegas menyambut kedatangan mereka dan membungkukkan badan di hadapan mereka.
Syukur kepada Allah swt., bahwa kita tidak lagi menemukan lingkungan yang penuh dengan keadaan-keadaan kotor seperti ini. Saat ini, para wanita telah merubah dirinya dari kebejatan lamanya dan dari keadaannya sebagai sebuah boneka budaya dan iklan barang-barang tak berharga menjadi sosok wanita yang telah menemukan kembali citra dirinya, mengenakan hijab pada tubuhnya tanpa adanya rasa terisolasi dan rendah diri, dan mereka pun tetap hadir di segenap medan dan dalam setiap bidang-bidang penting dalam pembangunan masyarakat. Bahkan, mereka tetap hadir pula di medan perang dengan tidak menanggalkan hijab islaminya.


Kritik dari Para Penentang Hijab
Pada pembahasan ini, kita akan membahas sanggahan-sanggahan dan apriori-apriori yang dilontarkan oleh kaum penentang hijab, yang hal ini harus dibahas secara lebih sederhana dan praktis:

1. Kritikan paling penting di mana mereka semua menyepakatinya sebagai sebuah kritik yang mendasar terhadap masalah hijab adalah jumlah wanita yang sekarang ini sebenarnya telah membentuk separuh dari masyarakat yang ada. Saat ini, mereka telah menjadi sebuah kelompok besar yang terkungkung dan terisolisasi karena kehadiran hijab, yang resikonya membuat mereka tertinggal di bidang ilmu, teknologi, dan kebudayaan, terutama pada masa pertumbuhan ekonomi seperti saat ini yang membutuhkan tenaga-tenaga aktif manusia. Hijab telah menyebabkan tenaga wanita menjadi tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Demikian juga, tempat wanita di dalam pusat-pusat kebudayaan dan pusat-pusat kegiatan masyarakat pun akan menjadi kosong. Dengan demikian, mereka hanya akan muncul sebagai obyek pasif dan pengguna saja, yang tentu saja hal semacam ini telah menjadikannya sebagai beban bagi masyarakat.
Sebenarnya, mereka yang mempergunakan logika ini telah lupa atau membiarkan dirinya lupa akan beberapa hal, karena:
Pertama, siapa yang mengatakan bahwa hijab bisa menyebabkan munculnya rasa terisolisir, terbelakang, dan kemunduran bagi seorang wanita dan menjauhkannya dari perannya di kancah masyarakat? Jika pada masa lalu begitu penting bagi kita bekerja keras dalam mencari argumentasi untuk menjawab topik bahasan ini, sekarang setelah Revolusi Islam Iran meletus, argumentasi tersebut tidak diperlukan lagi. Karena kita bisa menyaksikan sendiri di hadapan kita, betapa banyak terlihat kelompok-kelompok wanita yang hadir di semua tempat dengan tetap mengenakan hijab Islami mereka. Di kantor-kantor, pabrik, demonstrasi politik, demikian juga di radio, televisi, rumah-rumah sakit, pusat kesehatan, terutama di posko-posko kedokteran untuk membantu orang-orang yang terluka di medan perang, di pusat-pusat kebudayaan dan universitas-universitas, dan pada akhirnya, di medan perang berhadapan dengan musuh pun kita tetap bisa menemukan para wanita yang tidak mau ketinggalan dalam peran mereka melawan musuh dengan mengenakan hijabnya secara sempurna.
Ringkasnya, kondisi yang ada sekarang ini merupakan sebuah jawaban yang merontokkan semua sanggahan-sanggahan di atas. Dan apabila pada pembicaraan sebelumnya kita membahas kemungkinan munculnya kondisi seperti ini, sekarang kita akan mengatakan bahwa kita telah berhadapan dengan realitas dan kenyataannya. Para filsuf mengatakan bahwa sekuat-kuatnya bukti terhadap kemungkinan akan wujud sesuatu adalah terjadinya sesuatu itu. Dan realita ini adalah sesuatu yang tidak membutuhkan penjelasan lagi.
Kedua, lebih dari itu, apakah pengelolaan rumah tangga, pendidikan anak-anak yang terhormat di masa depan, dan pembentukan manusia-manusia mandiri yang mampu menggerakkan roda besar masyarakat ini dengan kekuatannya sendiri bukan suatu pekerjaan yang patut untuk dipertimbangkan?
Mereka yang tidak memperhitungkan risalah agung wanita ini sebagai sebuah pekerjaan yang positif berarti tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang peran keluarga dan pendidikan anak-anak dalam pembentukan satu masyarakat yang sehat dan gairah. Mereka menyangka bahwa pria dan wanita kita sebagaimana layaknya para pria dan para wanita Barat, yang meninggalkan santapan paginya dan menyerahkan anak-anaknya ke tempat-tempat penitipan anak atau meletakkannya di dalam sebuah ruangan lalu mengunci pintu tepat di hadapan mereka karena kesibukan kantor, pabrik-pabrik dan sepertinya. Sesungguhnya orang tua semacam ini tidak sadar bahwa perbuatannya itu ibarat menenggakkan racun kepada anaknya sendiri untuk mencicipi penjara pada saat seharusnya mereka tumbuh mekar dan menciptakan mereka menjadi kuncup bunga yang layu. Mereka lupa bahwa hal semacam ini telah membuat harga diri mereka terkoyak, dan menciptakan anak-anak yang tanpa ruh dan kosong dari kasih sayang, yang pada akhirnya akan membentuk masa depan masyarakat yang terpuruk ke dalam bahaya.

2. Sanggahan lain yang mereka lontarkan adalah, bahwa hijab merupakan sebuah pakaian yang tidak memberi kebebasan pada gerak tangan dan kaki yang tentunya tidak akan sesuai dengan aktifitas-aktifitas masyarakat, khususnya pada era teknologi modern ini. Seorang wanita berhijab senantiasa harus memperhatikan hijab dan chadurnya, anak-anaknya, atau program-program yang dimilikinya.
Sayangnya, para penyanggah ini lupa akan satu hal bahwa hijab tidak selamanya bermakna chadur. Hijab adalah pakaian penutup bagi wanita. Sekarang untuk tempat yang menerima kehadiran chadur, maka tentunya hal ini adalah lebih baik. Akan tetapi, tempat yang tidak menerima kehadiran chadur ini, mereka bisa mencukupkan diri dengan mengenakan pakaian penutup.
Para wanita petani dan wanita desa, terutama para wanita yang bekerja di ladang pertanian padi -yang sejatinya paling penting dan paling sulitnya pekerjaan adalah masa penanaman bibit dan panen hasil pertanian berada di dalam tanggung jawab mereka, akan menjawab sanggahan ini secara praktis. Mereka memperlihatkan bahwa seorang wanita desa dengan hijab islami di tubuhnya, bahkan tanpa menganggap bahwa hijab telah menjadi penghalang bagi pekerjaannya, hatta dalam berbagai masalah, lebih baik dan lebih banyak melakukan pekerjaannya daripada pria.
3. Kritikan lain yang dilontarkan oleh para penentang hijab adalah dengan memperhatikan bahwa hijab telah menyebabkan jarak antara pria dan wanita, ini malah akan membuat semakin rakusnya birahi alami pria, dan selayaknya hijab akan memadamkan api syahwat pria, tetapi yang akan terjadi di sini malah sebaliknya, yaitu dengan adanya hijab, birahi pria akan semakin berkobar. "Manusia akan menjadi rakus terhadap apa yang dihalanginya" kata sebuah pepatah.
Jawaban dari sanggahan atau -lebih tepatnya- statemen yang keliru ini adalah dengan melakukan komparasi antara masyarakat hari ini -di mana hijab bisa dikatakan telah menguasai semua pusat aktifitas tanpa terkecuali- dengan masa rezim tiran Vahlevi, dimana wanita telah dipaksa untuk menanggalkan hijab.
Pada masa itu, setiap kelompok dan pertemuan yang ada merupakan pusat kebejatan moral dan keluarga-keluarga yang luar biasa bebas telah menguasai massa, grafik perceraian pun mencuat naik. Demikian juga kelahiran bayi-bayi di luar pernikahan melonjak, dan munculnya berbagai kebejatan lainnya.
Kami tidak mengklaim bahwa hari ini mereka semua telah terhapus sampai ke akar-akarnya. Tetapi, tanpa ragu lagi, degradasi moral yang ada pada masa itu telah sedemikian banyak mengalami penurunan, dan masyarakat kita dari sisi ini telah menemukan kembali keselamatannya. Apabila Yang Maha Mengatur Segalanya menghendaki kondisi akan tetap berlangsung seperti ini dan segala yang tidak seimbang akan mencapai keharmonisannya, masyarakat kita pasti akan sampai pada level yang layak dilihat dari sisi kesucian keluarga dan penjagaan terhadap nilai-nilai wanita.

74. Bagaimana Islam Memperbolehkan Hukuman Fisik terhadap Wanita?
Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 34 difirmankan, "... dan wanita-wanita yang kamu khawatir akan nusyûznya, maka nasehatilah mereka, [dan apabila hal ini tidak membawa pengaruh baginya, maka] pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, [dan apabila hal ini pun tidak menampakkan hasilnya serta tidak ada cara lain lagi yang bisa membuatnya mau melakukan kewajibannya kecuali dengan paksaan yang keras, maka], dan pukullah mereka ...."
Dari sini muncul sebuah pertanyaan, bagaimana Islam memperbolehkan hukuman fisik didijatuhkan ke atas wanita?
Dengan memperhatikan makna ayat dan juga riwayat yang menjelaskan masalah ini yang penjelasan rincinya telah tertuang di dalam kitab-kitab fiqih dan juga dengan penjelasan-penjelasan yang telah diberikan oleh para psikolog terkini, jawaban dari pertanyaan ini tidaklah terlalu merumitkan. Karena:
Pertama, di dalam ayat dikatakan bahwa dibenarkan menjatuhkan hukuman fisik pada orang-orang yang tahu akan kewajibannya, yaitu ketika tidak ada satupun cara efektif yang bisa ditempuh. Dan kebetulan, tema ini bukanlah tema baru yang khusus pada Islam saja. Dalam sistem hukum di dunia seringkali berlaku ketika cara yang lunak tidak lagi efektif untuk mendesak seseorang melakukan kewajibannya, maka mereka akan menempuh cara-cara kekerasan, seperti pemukulan. Bahkan dalam persoalan-persoalan yang khusus, terkadang mereka bersepakat untuk menjalankan cara dan hukuman yang lebih keras lagi yang terkadang sampai pada bentuk eksekusi gantung.
Kedua, yang dimaksud dengan hukuman fisik di sini -demikian juga yang telah termaktub di dalam kitab-kitab fiqih- haruslah dijalankan dengan cara yang lembut dan lunak sehingga tidak menyebabkan patah atau terlukanya bagian dari anggota badan, dan tidak pula menyebabkan kememaran.
Ketiga, para psikiater saat ini sependapat bahwa sebagian wanita menderita masochism (kepuasan karena disiksa), terkadang keadaan ini begitu parah pada diri mereka sehingga satu-satunya cara untuk menenangkannya hanyalah dengan cara memberikan hukuman fisik. Oleh karena itu, mungkin saja ditemukan individu yang dengan hukuman fisik yang ringan akan bisa mendapatkan kepuasan. Maka itu, hukuman fisik merupakan salah satu cara penyembuhannya secara psikologi.
Jelas, bila salah satu dari tahapan-tahapan di atas dapat memberikan pengaruh yang nyata dan membuat wanita itu bersedia melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka pria tidak berhak sama sekali mencari-cari alasan untuk menyiksa wanita. Oleh karena itu, kelanjutan dari ayat di atas mengatakan, "... kemudian ketika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya ...."
Dan mungkin dipertanyakan bahwa keadaan-keadaan kejam, liar, dan abnormal saja terdapat pula pada pria. Apakah pria juga layak untuk mendapatkan hukuman semacam ini?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kami akan mengatakan, "Tentu saja." Posisi pria persis sebagaimana wanita. Apabila mereka menentang kewajibannya, mereka pun akan terkena hukuman pula, hatta hukuman fisik. Hanya saja, karena pekerjaan seperti ini keluar dari tanggung jawab para wanita, maka wajib atas hakim syar'i untuk memahamkan kewajiban-kewajiban mereka dengan cara dan jalan yang beraneka-ragam, hatta dengan cara ta'zîr (hukuman fisik).
Terdapat sebuah cerita yang masyhur tentang seorang pria yang melakukan kekerasan terhadap istrinya dan sama sekali tidak mau menyerah di hadapan kebenaran. Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memaksanya untuk menerima kebenaran dengan kekerasan, dan bahkan beliau mengancamnya dengan pedang.
Di akhir cerita itu, sekali lagi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memperingatkan kepada para pria untuk tidak memancing ikan di dalam air keruh dari keberadaan dirinya sebagai pelindung keluarga, dan hendaklah mereka selalu menyadari kekuatan Yang Maha Kuat yang mempunyai kekuatan paling tinggi dari semua kekuatan yang ada. "Karena sesungguhnya Allah adalah Mahatinggi dan Mahabesar."

14
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

75. Mengapa Poligami Dibolehkan bagi Pria, tidak bagi Wanita?
Al-Qur'an membenarkan adanya poligami atau beristri lebih dari satu (dengan terpenuhinya syarat-syarat yang berat dan dalam batasan yang telah ditentukan). Di sini, kita berhadapan dengan serangan dari para penentang poligami yang bangkit untuk menentang hukum Islam ini dengan hanya berdasarkan kajian sepintas dan di bawah pengaruh emosi, terutama orang-orang Barat yang lebih giat melontarkan kitik ini terhadap kita.
Mereka mengatakan bahwa Islam memberikan izin kepada para pria untuk membangun "rumah selir" untuk dirinya dan memiliki istri dalam jumlah yang tak terbatas. Padahal, Islam sendiri tidak pernah memberikan izin kepada pria untuk membangun "rumah selir" sebagaimana yang mereka utarakan itu, tidak pula memberikan izin untuk ia beristri dalam jumlah yang tak terbatas dan tanpa syarat.


Penjelasan
Dengan mengkaji keadaan lingkungan yang sangat varian sebelum Islam, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa poligami pada masa itu dalam batasan yang tak terbatas merupakan suatu hal yang biasa dilakukan dan bahkan, di sebagian kasus, ketika para penyembah berhala telah menjadi muslim, mereka masih mempunyai lebih dari sepuluh istri atau kurang dari itu. Oleh karena itu, poligami bukanlah hasil persepsi Islam. Hanya saja, Islam hadir untuk memberi batasan atas poligami ini sesuai dengan fondasi kelaziman hidup manusia, yaitu dengan membuat sejumlah batasan dan syarat yang sangat berat.
Undang-undang Islam disusun berdasarkan kebutuhan riel manusia, bukan berdasarkan desakan lahiriah. Masalah poligami pun di dalam Islam mendapat perhatian demikian pula. Tidak seorang pun yang mengingkari bahwa lelaki lebih banyak terancam kematian akibat kecelakaan dibandingkan wanita. Dalam peperangan, korban terbanyak adalah kaum pria.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa usia pria lebih panjang dibandingkan usia wanita, karena para wanita pada usia-usia tertentu akan kehilangan kesiapan seksualnya dan hal ini tidak terjadi pada pria.
Demikian juga, wanita ketika sedang berada dalam keadaan haid atau hamil, secara praktis akan menjumpai larangan-larangan melakukan hubungan seksual. Sementara itu, larangan semacam ini tidak berlaku pada pria.
Selain semua itu, terdapat banyak wanita yang karena satu dan lain hal telah kehilangan suami-suami mereka dan tidak bisa lagi dijadikan sebagai istri pertama; hal ini kemudian menjadi perhatian pria. Apabila masalah poligami ini tidak mendapatkan perhatian, maka kelompok wanita ini akan menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tanpa suami. Sebagaimana yang dilaporkan oleh berbagai media massa, bahwa terdapat sekelompok wanita janda mengadukan keluhan mereka akan ketidakbahagiaan kehidupan yang mereka jalani karena keterbatasan dalam poligami ini. Bagi mereka, menghalangi poligami merupakan sebuah sikap yang kejam dan arogan.
Dengan memperhatikan realitas di atas ini, di mana keseimbangan antara pria dan wanita menjadi terganggu hanya lantaran satu sebab, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus memilih salah satu dari ketiga jalan di bawah ini:
Pertama, pria telah puas dan telah merasa cukup dalam segala hal dengan hanya mempunyai satu istri, dan wanita-wanita yang tersisa akan tetap hidup tanpa bersuami hingga akhir usia mereka, dan harus memendam seluruh kebutuhan fitriyah dan desakan-desakan batinnya yang lain.
Kedua, pria hanya mempunyai seorang istri yang sah. Akan tetapi, mereka melakukan hubungan seksual yang bebas dan tidak halal dengan wanita yang tak bersuami, yakni sebagai istri simpanan.
Ketiga, seseorang yang secara biologis mampu mengelola lebih dari satu istri, dan mempunyai kekayaan serta akhlak yang tidak akan menimbulkan masalah bagi mereka, juga mempunyai kemampuan untuk bersikap keadilan secara sempurna di antara para istri dan anak-anaknya, diberikan izin kepada mereka untuk memiliki istri lebih dari satu orang untuk dirinya.
Jelas, tidak ada lagi jalan lain selain ketiga tawaran di atas.
Memilih tawaran pertama berarti kita harus siap untuk melawan fitrah, naluri, kebutuhan ruh dan kebutuhan biologis manusia, serta tidak mempedulikan kelembutan emosi kelompok wanita yang tak bersuami itu. Dan ini tentu sebuah peperangan yang tidak akan ada kemenangan di dalamnya. Jika kemudian diasumsikan bahwa cara semacam ini bisa dilakukan, dampak sampingan yang tidak manusiawi akan begitu jelas terlihat oleh siapa pun.
Dengan kata lain, problem poligami dalam keadaan-keadaan yang urgen tidak seharusnya dikaji hanya dari pandangan istri pertama saja. Akan tetapi, hal itu harus dikaji pula dari pandangan istri kedua. Dan mereka yang berkeberatan dengan poligami dari istri pertama adalah orang-orang yang melihat masalah hanya menitikberatkan pada satu dari ketiga sudut pandang yang ada. Karena sebenarnya, masalah poligami ini harus diteliti dan dikaji dalam ketiga sudut, baik dari sudut pandang pria, istri pertama, atau pun dari sudut pandang istri kedua, begitu pula aspek kemaslahatan majemuk. Oleh karena itu, kali ini kami akan mencoba mencari jalan penyelesaian yang obyektif.
Apabila kita memilih jalan yang kedua, maka kita harus memperbolehkan degradasi moral secara resmi. Selain itu, para wanita simpanan yang dijadikan sebagai pemuasan kebutuhan seksual tidaklah mempunyai jaminan masa depan. Pada hakikatnya, citra diri mereka telah dilecehkan, dan ini semua sesuatu yang tidak akan diperkenankan oleh siapa pun yang berpikiran sehat.
Oleh karena itu, hanya tawaran ketigalah yang masih tersisa sebagai jawaban positif; bukan saja untuk memenuhi keinginan-keinginan fitrah dan kebutuhan-kebutuhan naluri para wanita, akan tetapi juga akan menghindarkan kelompok wanita itu dari dampak-dampak buruk dekadensi moral dan ketakbahagiaan hidup mereka, serta dapat melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan dosa.
Tentunya, harus diperhatikan bahwa dibenarkannya poligami, meskipun pada sebagian waktu, merupakan sebuah urgensi masyarakat dan tergolong ke dalam hukum Islam yang begitu jelas. Akan tetapi, pemenuhan syarat-syarat poligami ini pada masa lampau amat berbeda jauh dengan saat ini, karena kehidupan masa lalu sangat sederhana. Oleh karena itu, perhatian penuh terhadap persamaan antara para istri sangatlah mudah dan akan bisa diselesaikan dalam diri kebanyakan individu.
Akan tetapi, pada zaman kita sekarang, orang-orang yang hendak melakukan poligami haruslah menjaga keadilan dalam semua aspek. Maka, kapan saja ia dapat memenuhi aspek-aspek keadilan, ia bisa melakukan poligami. Pada prinsipnya, melaksanakan perkara yang satu ini tidak seharusnya dilakukan atas dasar hawa nafsu dan pemenuhan kebutuhan seksual yang liar.
Yang menarik adalah orang-orang yang tadinya menentang poligami ini, seperti orang-orang Barat, dalam sepanjang perjalanan sejarah, mereka telah menghadapi sebuah kenyataan yang kebutuhan mereka sendiri dalam masalah ini sangatlah jelas. Misalnya, setelah Perang Dunia Kedua, negara-negara yang mengalami peperangan, khususnya negara Jerman, merasa tersedak untuk memenuhi kebutuhan mereka akan masalah ini, sehingga mereka memaksa sekelompok pemikir untuk mencari solusi; bagaimana menyelesaikan kesulitan mereka dalam soal pelarangan poligami ini. Bahkan, mereka meminta program poligami Islam dari Universitas Al-Azhar dan meletakkannya sebagai bahan kajian. Akan tetapi, munculnya serangan keras dan deras dari pihak gereja telah memaksa mereka untuk menghentikan kerja program ini. Konsekuensinya adalah terjadinya kerusakan moral yang amat mengerikan dan kebebasan seksual yang begitu liar yang memerata di seluruh negara yang mengalami peperangan.
Lebih dari semua ini, hasrat sebagian pria pada poligami tidak bisa dipungkiri. apabila hasrat ini dicemari oleh hawa nafsu, itu tidak dapat dibenarkan. Kadang-kadang kemandulan istri dan keinginan kuat suami untuk memperoleh anak telah menjadikan hasrat ini menjadi logis. Atau terkadang karena adanya hasrat seksual yang amat kuat dari pria di sisi ketakmampuan istri pertama untuk memenuhi tuntutannya, membuat pria tidak mempunyai pilihan selain mengambil istri kedua. Bahkan, apabila dengan cara legal tidak bisa dilakukan, ia pun akan mengambil cara yang ilegal. Kewajaran pemenuhan kebutuhan seksual pria ini pun tidak bisa dipungkiri.
Oleh karena itu, bahkan di negara-negara yang secara hukum memberlakukan pelarangan poligami, secara praktis begitu banyak cara telah mereka lakukan untuk menjalin hubungan dengan berbagai wanita, sehingga hal ini telah umum. Dalam lingkungan seperti ini, seorang pria bisa melakukan hubungan ilegal dengan sejumlah wanita.
Ahli sejarah terkenal asal Prancis, Gustave Loebon, menganggap hukum poligami Islam yang yang bersyarat dan terbatas ini merupakan salah satu keistimewaan agama ini. Ketika ia mengkomparasikannya dengan hubungan bebas dan ilegal yang dilakukan oleh para pria dengan beberapa wanita di negara Eropa, ia menulis, "Di negara Barat, kendati kondisi alam tidak bisa mewujudkan adat poligami, monogami (beristri satu) merupakan hal yang hanya kami lihat di dalam kitab-kitab hukum saja. Padahal, kami tidak menyangka akan bisa dipungkiri bahwa imbas dari adat ini tidak ada dalam pergaulan nyata kami. Sebenarnya, saya bingung dan tidak tahu apa kurangnya perkawinan poligami yang sah dan terbatas yang ada di Timur dari poligami semu Barat. Bahkan, saya mengatakan bahwa dari segala aspek, yang pertama lebih baik dan lebih layak dari yang kedua."
Tentu saja, tidak bisa kita pungkiri bahwa sebagian dari muslimin berpikir dangkal akan hakikat hukum Islam ini mencuri kesempatan; menggunakan hukum ini untuk membangun "rumah selir" yang menjijikkan untuk dirinya sendiri dan melanggar batas dalam menegakkan hak-hak wanita serta istri-istri mereka. Akan tetapi, dampak buruk yang muncul ini bukan lantaran hukum yang ada. Juga apa yang mereka perbuat tidak seharusnya dianggap sebagai nilai-nilai Islam. Sebab, adakah hukum yang dinilai baik, sementara tidak seorangpun dapat mengambil keuntungan darinya?


Sebuah Pertanyaan
Sebagian bertanya, bahwa bisa jadi persyaratan yang telah dikatakan di atas juga terdapat pada diri wanita. Lalu, apakah dalam keadaan ini terdapat izin bagi mereka untuk melakukan poliandri (bersuami banyak)?
Jawaban untuk pertanyaan di atas tidaklah begitu sulit, karena:
Pertama, bertentangan dengan apa yang sudah lumrah di kalangan umum; dimana hasrat seksual pada diri pria lebih besar dibandingkan dengan hasrat seksual wanita karena beberapa faktor. Di antaranya, gangguan-gangguan yang berhubungan dengan seks kebanyakan wanita, seperti masalah friggid; sebuah kasus yang hal muncul dan berlawanan dengan apa yang ada pada diri pria. Sebagaimana hal ini juga dapat ditemukan pada makhluk lain, bahwa pemenuhan seksual biasanya dimulai dari pihak jantan.
Kedua, poligami tidak akan menimbulkan problem sosial, sementara apabila poliandri dibenarkan, akan muncul begitu banyak masalah. Masalah yang paling sederhana ialah tidak diketahuinya nasab anak; ke suami manakah akan bersambung. Tentu saja anak yang dilahirkan dalam keadaan ini tidak akan mendapat kepedulian sedikit pun dari suami-suami tersebut. Bahkan, sebagian pemikir sepakat bahwa seorang anak yang tidak diketahui siapa ayahnya, pasti akan mendapatkan sedikit kecintaan dari ibunya. Dengan demikian, anak ini akan berada dalam kekosongan mutlak dari sisi kasih sayang. Dan pada dasarnya, kondisi mereka itu menjadi suram dan tak menentu.
Mungkin tidak perlu untuk diingatkan lagi bahwa menggunakan alat kontrasepsi dengan kapsul-kapsul dan semisalnya, sama sekali tidak meyakinkan hasilnya, bukan pula metode yang akurat untuk mencegah kelahiran anak. Sebab, banyak wanita yang ditemukan gagal atau keliru dalam menggunakannya sehingga menyebabkan kegagalan pencegahan kehamilan. Oleh karena itu, tidak ada seorang wanita pun yang mampu untuk mempercayainya seratus persen.
Atas pertimbangan ini, poliandri atau bersuami lebih dari satu tidak akan pernah didukung oleh alasan yang logis. Adapun poligami bagi pria -dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat sahnya poligami- mempunyai dasar yang logis dan bisa dilaksanakan.

76. Apakah Maksud dari Keadilan sebagai Syarat Poligami?
Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 3 kita membaca, "... Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka [kawinilah] seorang saja ...."
Demikian juga pada surat yang sama, ayat 129 difirmankan, "Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri[mu] walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Pertanyaannya, apakah maksud dari keadilan dalam poligami ini? Apakah keadilan di sini hanya berhubungan dengan kehidupan, seperti tidur seranjang, fasilitas hidup dan kemudahan-kemudahan materi, ataukah ia juga mencakup urusan-urusan hati, kecintaan, dan kelembutan emosi?
Tidak syak lagi bahwa keadilan dalam kasih sayang dan cinta di luar kemampuan manusia. Siapakah orang yang mampu mengontrol cinta dan kasih sayangnya sedangkan unsur-unsur kasih sayang itu sendiri berada di luar dirinya? Atas dasar inilah Allah swt. tidak memasukkan keadilan yang semacam ini sebagai sebuah kewajiban.
Masih lanjutan ayat di atas, Allah swt. berfirman, "Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri[mu] walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Oleh karena itu, selama kasih sayang batin tidak akan menyebabkan diprioritaskannya sebagian istri di atas sebagian lainnya, tidaklah dilarang. Yang wajib untuk dilaksanakan oleh pria adalah kepeduliannya dalam menegakkan keadilan secara lahiriyah.
Dengan penjelasan ini, jelas bahwa orang-orang yang mengambil kesimpulan dengan menggabungkan ayat 3 dan ayat 129 dari surat An-Nisa' bahwa poligami di dalam Islam dilarang secara mutlak, dengan dalil bahwa dalam ayat pertama disyaratkan keadilan dan pada ayat kedua, syarat keadilan ini tidak lagi mungkin dipenuhi oleh pria, sungguh mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang besar.
Karena, sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya, keadilan yang berada di luar kemampuan manusia adalah keadilan dalam urusan hati dan batin, dan ini bukanlah bagian syarat poligami. Yang menjadi syarat keadilan di sini berkaitan dengan hal-hal yang zahir dan praktis. Dalil atas ini adalah akhir ayat 129 dari surat ini: "Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ...."
Kesimpulannya, orang-orang yang menyoroti sebagian ayat ini dan melupakan sebagian lainnya akan terdampar dalam kesalahan ketika menghadapi persoalan poligami; kesalahan yang yang sangat mengagetkan bagi setiap pengkaji.
Kebetulan riwayat-riwayat Islam menjelaskan bahwa orang pertama yang melancarkan hujatan terhadap poligami adalah Ibnu Abil Auja', seorang ateis materialis pada zaman Imam Ash-Shadiq a.s. yang melontarkan kritikan ini kepada Hisyam bin Hakam, seorang ilmuwan mujahid Islam dan sahabat beliau. Hisyam yang tidak menemukan jawaban dari pertanyaan Ibnu Abil Auja' ini keluar dari kota Kuffah menuju ke Madinah untuk mendapatkan jawaban dari Imam a.s.. Ketika melihat kedatangan Hisyam di luar musim haji dan umrah ini, beliau terheran-heran. Akan tetapi, setelah ia mengutarakan pertanyaan tersebut, Imam Ash-Shadiq a.s. memahaminya. Dalam jawabannya, beliau berkata, "Maksud dari keadilan dalam surat An-Nisa', ayat 3 adalah keadilan dalam memberi nafkah (memperhatikan hak-hak istri, perbuatan, dan perlakukan terhadap istri). Akan tetapi, maksud dari keadilan pada ayat 129 yang dianggap mustahil adalah keadilan dalam hasrat dan kasih sayang. (Oleh karena itu, poligami, bukanlah suatu hal yang dilarang dan bukan pula suatu hal yang mustahil selama menjaga persyaratannya)." Ketika Hisyam kembali lalu memberikan jawaban ini kepada Ibnu Abil Auja', ia bersumpah bahwa jawaban Hisyam ini bukanlah dari dirinya sendiri, tetapi ia mendapatkannya dari orang lain.
Dengan ini jelaslah bahwa apabila kata keadilan pada kedua ayat itu diartikan dengan dua arti yang berbeda, ini lantaran adanya indikasi yang sangat jelas yang terdapat di dalam kedua ayat tersebut. Karena pada penjelasan ayat tersebut secara tegas dikatakan bahwa "janganlah Kamu tujukan keseluruhan kasih sayang kalbu Kamu hanya pada satu istri". Dengan demikian, pria memiliki lebih dari satu istri dibenarkan dengan syarat; ia tidak melakukan kedzaliman terhadap salah satu dari mereka secara praktis, meskipun dari sisi perasaan batin ia terikat secara berbeda kepada tiap-tiap istrinya. Di permulaan ayat 3 surat tersebut, secara tegas dibolehkan praktik poligami.

77. . Apakah Filsafat Masa 'Iddah?
Dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 228 Allah swt. berfirman, "Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri [menunggu] tiga kali qurû' [suci]."
Dari sini muncul pertanyaan, apakah filsafat yang terkandung di dalam hukum Islam ini?
Dengan melihat bahwa biasanya ketidakharmonisan rumah tangga merupakan sebuah pukulan yang menyakitkan dalam masyarakat yang tidak bisa dipulihkan. Maka itu, Islam meletakkan aturan-aturan untuk menghalangi terkoyaknya ikatan suci rumah tangga ini hingga tahapan terakhir yang mungkin untuk dilakukan. Dari satu sisi, Islam menganggap talak sebagai cara paling tercelanya yang dihalalkan oleh Allah swt. Dan dari sisi lain, Islam merujukkan perselisihan rumah tangga ini kepada pengadilan keluarga yang dibentuk oleh sanak saudara kedua pihak sebagai penengah untuk mendamaikan mereka dan mencegah penceraian.
salah satu hukum yang kuat memperlambat dan menghambat goncangan perceraian ini adalah kewajiban menjalani masa 'iddah, yang batasan waktunya telah ditentukan selama tiga qurû', yaitu tiga kali suci dari masa haid.


'Iddah, Alat Perdamaian dan Rujuk Kembali
karena faktor-fakor yang beragam, seringkali jiwa seseorang berada pada level terendah, yang dengan munculnya satu perbedaan kecil saja tumbuh rasa balas dendam yang sedemikian rupa pada dirinya sehingga daya pikir menjadi lumpuh. Dan biasanya, perpecahan keluarga akan terjadi pada kondisi semacam ini. Akan tetapi, sering pula suami dan istri menyesali perbuatan mereka beberapa saat setelah terjadinya keributan, terutama karena mereka melihat bahwa dengan hancurnya keharmonisan akan menyebabkan berbagai masalah keluarga.
Di sinilah ayat yang menjadi topik bahasan mengatakan "Para wanita harus menjalani masa 'iddah dan bersabar sampai gelombang berlalu serta awan yang menutupi langit kehidupan mereka hilang".
Hal ini terutama terlihat dari aturan Islam yang tidak memperbolehkan keluarnya istri dari rumah selama masa 'iddah. Aturan ini akan memberikan pengaruh yang sangat baik untuk membangkitkan keinginan untuk menyadari diri, yang tentu saja akan sangat berpengaruh pula dalam memperbaiki hubungan dengan suaminya.
Oleh karena itu, dalam surat Ath-Thalaq kita membaca, "Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka. ... kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru."
Biasanya, mengenang kembali masa-masa bahagia dan indahnya kehidupan sebelum perceraian dapat mengembalikan rasa kasih sayang dan kedekatan yang hangat, dan akan memperkuat kecintaan yang telah memudar.


'Iddah, Alat Indetifikasi Keturunan.
Bentuk lain dari filsafat menjalani masa 'iddah adalah untuk memperjelas keadaan wanita dari sisi kehamilan. Benar apabila dikatakan bahwa dengan melihat satu kali haid, umumnya bisa disimpulkan bahwa seorang wanita tidak sedang hamil. Akan tetapi, seringkali terjadi seorang wanita mengalami haid di awal kehamilannya. Oleh karena itu, ditetapkan hukum bahwa masa 'iddah wanita adalah tiga kali keluarnya darah haid dan suci setelahnya supaya bisa diketahui secara pasti bahwa ia tidak sedang mengandung anak dari suami yang lalu, sehingga ia bisa menikah dengan pria lain.

78. Apakah Filsafat Pengharaman Judi?
Hanya sedikit orang yang tidak mengatahui berbagai kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh judi. Untuk memberi penjelasan yang lebih luas tentang sekelumit dari dampak buruk judi, kami akan menguraikan persoalan ini secara singkat namun padat.


Judi, Faktor Terbesar Pemicu Ketegangan.
Seluruh ilmuwan dan psikolog sepakat bahwa ketegangan mental merupakan faktor utama berbagai penyakit, seperti kurangnya beragam vitamin, luka lambung (magh), gila, penyakit-penyakit ringan saraf dan mental, dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut dalam banyak kondisi disebabkan oleh ketegangan. Dan judi merupakan faktor utama yang bisa memacu ketegangan dalam diri seseorang, sehingga salah seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika menegaskan, "Pada setiap tahun, di negara ini terdapat dua ribu orang yang meninggal dunia hanya karena ketegangan yang ditimbulkan oleh judi, karena dalam keadaan yang sedang saja, jantung seorang pokker (pejudi) akan berdetak lebih dari seratus kali dalam satu menit. Judi kadang-kadang menimbulkan serangan jantung dan stroke pula, dan yang pasti, ia akan menyebabkan penuaan dini."
Selain itu, berdasarkan pendapat para ilmuwan, seseorang yang sibuk dengan bermain judi, bukan saja jiwanya yang menjadi kejang, bahkan seluruh sistem tubuhnya berada dalam satu keadaan yang luar biasa. Detakan jantungnya akan bertambah kencang, bahan-bahan gula yang terdapat di dalam darahnya hilang, kelenjar sekresi dalam akan mengalami kekacauan, wajah menjadi pucat, dan tidak mempunyai selera makan. Setelah permainan judi usai, hal itu akan dilanjutkan dengan sebuah perang urat saraf yang selanjutnya akan mengantarkannya ke tempat tidur dalam keadaan kritis. Biasanya untuk meredakan ketegangan saraf dan mendapatkan ketenangan badan, ia bergantung pada alkohol dan obat-obatan yang membahayakan. Dalam kondisi ini, bahaya-bahaya semacam ini harus ditambahkan pula sebagai bahaya langsung yang ditimbulkan dari permainan judi.
Dari pendapat para ilmuwan yang lain, kita temukan bahwa "Pemain judi adalah orang sakit yang senantiasa membutuhkan pengawasan mental. Yang harus diusahakan adalah memberikan pemahaman kepadanya bahwa kekosongan mentallah yang telah mendorongnya ke arah perilaku busuk ini, supaya ia berminat untuk melakukan penyembuhan terhadap dirinya."


Hubungan Judi dan Tindak Kriminal
Salah satu data statistik dari yayasan terbesar di dunia membuktikan bahwa tiga puluh persen dari tindak kejahatan berkaitan langsung dengan judi, dan ia merupakan faktor pemicu terjadinya tujuh puluh persen kejahatan yang lain.


Kerugian Ekonomis Judi
Di sepanjang tahun, jutaan dan bahkan milyaran kekayaan masyarakat dunia habis dalam permainan judi. Di samping itu, berjam-jam tenaga manusia di dalam permainan ini musnah begitu saja. Bahkan pada jam-jam yang lain, semangat untuk melakukan kerja rutin akan menjadi hilang. Misalnya, dalam sebuah laporan dikatakan bahwa di kota Mounte Carlo sebagai salah satu pusat perjudian terkenal dunia, terdapat seorang pemain judi yang telah menghabiskan uang sebanyak 40 juta rupiah dalam permainan judinya hanya dalam waktu 19 jam. Dan ketika pintu gedung perjudian ditutup, ia langsung menuju ke hutan untuk menghancurkan otaknya dengan sebuah senapan dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengerikan ini. Laporan itu menambahkan bahwa hutan-hutan di Mounte Carlo telah berkali-kali menyaksikan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh pejudi-pejudi.


Bahaya Sosial Judi
Terkadang, banyak para pejudi lantaran menang dalam permainan dan dalam satu jam mungkin bisa meraup jutaan rupiah, mereka tidak bersedia lagi untuk menyalurkan modalnya ke berbagai pekerjaan produksi atau perekonomian. Akhirnya, produksi dan perekonimian akan tetap pincang sebagaimana awalnya. Jika diamati lebih cermat lagi, akan tampak bahwa semua pemain judi dan keluarga mereka menjadi beban bagi masyarakat. Alih-alih memberikan manfaat kepada masyarakat, mereka malah memanfaatkan jerih payah masyarakat. Terkadang juga, kalah dalam perjudian menyebabkan mereka terpaksa melakukan pencurian untuk menebus kekalahannya tersebut.
Ringkasnya, bahaya yang ditimbulkan oleh judi telah mencapai batas yang bahkan sebagian dari negara-negara nonmuslim telah memutuskan pelarangan judi ini, meskipun pada prakteknya mereka tetap melakukan dan menyebarluaskan permainan tersebut. Misal, Inggris telah menetapkan pelarangan judi pada tahun 1753, Amerika pada tahun 1855, Rusia pada tahun 1854, dan Jerman pada tahun 1873.
Di akhir pembahasan ini, menarik kiranya apabila kita menengok sedikit data akurat sebagian peneliti yang menemukan bahwa sembilan puluh persen perampokkan, sepuluh persen kebejatan moral yang lain, empat persen pertikaian dan kerusuhan, lima belas persen penyelewengan seksual, tiga puluh persen perceraian, dan lima persen bunuh diri merupakan dampak-dampak buruk perjudian.
Apabila kita merumuskan definisi global mengenai judi, kita harus katakan bahwa judi adalah mengorbankan harta dan harga diri untuk mendapatkan harta orang lain dengan penipuan, kelicikan, kebohongan dan kadangkala sekedar kesenangan tanpa tujuan apapun.

79. Apakah Menyanyi itu, dan apakah Filsafat Pelarangannya?
Berkenaan dengan keharaman menyanyi, tidak ada kesulitan yang terlalu berarti. Persoalannya terletak pada identifikasi subjek (tasykhîsh al-maudhû') dari nyanyian itu sendiri; apakah setiap suara yang bagus dan menarik merupakan sebuah nyanyian?
Tentu saja tidak demikian. Karena di dalam riwayat, hal ini telah dijelaskan, dan kebiasaan muslimin pun telah menegaskan bahwa hendaklah Al-Qur'an, azan, dan yang semisalnya diucapkan dengan suara yang merdu.
Apakah yang dimaksud dengan nyanyian adalah setiap suara yang di dalamnya terdapat nada yang mendayu-dayu?
Hal ini pun belum pasti dan belum bisa dibuktikan. Apa yang bisa dipahami dari berbagai pendapat para fuqaha dan ahli hadis dalam masalah ini adalah, bahwa nyanyian yaitu dengan nada yang mengandung lahwu (hiburan yang melupakan Tuhan), permainan belaka, dan menggoyangkan. Dengan ungkapan lain, nyanyian adalah sebuah irama yang sesuai untuk acara pesta-pora dan para pemaksiat.
Dengan ungkapan ketiga, bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nyanyian adalah suara yang bisa membangkitkan nafsu syahwat, dan seseorang yang berada dalam keadaan ini akan berkhayal bahwa suara tersebut akan sangat sempurna apabila terdapat pula minuman keras dan penyimpangan seksual di dalamnya.
Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian bahwa terkadang sebuah irama dan isinya, kedua-duanya merupakan bentuk nyanyian, lahwu dan kebatilan, seperti lirik-lirik cinta dan asmara dinyanyikan dengan iringan musik yang menggairahkan. Dan kadang-kadang hanya iramanya yang tergolong nyanyian, seperti syair-syair yang mengandung ayat-ayat suci Al-Qur'an, doa, dan munajat dinyanyikan dengan irama yang sesuai untuk acara maksiat dan pesta pora. Hukum keduanya adalah haram. (Perhatikan hal ini dengan baik).
Perlu pula untuk diingat bahwa terkadang terdapat dua ragam arti nyanyian, yaitu arti umum dan arti khusus. Arti khusus adalah seperti apa yang telah kami jelaskan di atas, yaitu irama yang menjadi pembangkit syahwat dan sesuai untuk acara-acara maksiat, pesta pora, dan kebatilan.
Sementara arti umum nyanyian adalah segala sesuatu yang bersuara merdu. Oleh karena itu, mereka yang mengartikan nyanyian secara umum akan mengakui adanya dua macam nyanyian, yaitu nyanyian yang halal dan nyanyian yang haram.
Maksud dari nyanyian yang haram adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, dan maksud dari nyanyian yang halal adalah suara merdu dan indah yang tidak menimbulkan kemaksiatan dan tidak sesuai untuk acara maksiat dan pesta-pora.
Oleh karena itu, berkenaan dengan dasar keharaman nyanyian, kira-kira tidak ada perbedaan pendapat. Perbedaan yang ada adalah pada bagaimana cara mengartikan nyanyian tersebut.
Tentu saja, nyanyian mempunyai mishdâq (obyek luar) yang beragam pula (sebagaimana umumnya konsep-konsep yang lain) yang membuat manusia tidak tahu apakah suara itu sesuai dengan acara pesta-pora dan kemaksiatan ataukah tidak. Dalam kondisi ini, kita kembali kepada prinsip praktis barâ'ah (prinsip bebas hukum selama tidak ada dalil). Yaitu, kita menghukuminya sebagai nyanyian yang halal. (Tentu saja setelah cukup diketahui akan pengertian umum ('urf) nyanyian mengenai arti-arti di atas).
Dari sini, jelas bahwa suara dan irama menggelora dan penuh semangat yang relevan dengan medan perang atau olah raga dan yang semisalnya bukanlah dalil atas keharamannya.
Tentu saja, dalam masalah nyanyian terdapat pula pengecualian-pengecualian. Ada yang setuju, ada pula yang menolak. Belum lagi perkara-perkara lain yang harus dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih.
Akhir kata yang kami anggap perlu untuk kami tekankan adalah apa yang telah kami jelaskan di atas. Yaitu hal yang berkaitan dengan nyanyian itu sendiri. Sedangkan penggunaan alat musik dan keharamannya memerlukan pembahasan lain lagi yang keluar dari topik ini.


Filsafat Pengharaman Nyanyian
Dengan mencermati substansi nyanyian dan segenap persyaratannya yang telah kami jelaskan di atas, filsafat pengharaman nyanyian ini akan semakin jelas. Sekilas saja kita akan berhadapan dengan degradasi moral di bawah ini:
Pertama, nyanyian adalah pemicu kerusakan akhlak.
Sebagai bukti terbaik, pengalaman memperlihatkan bahwa sebagian banyak dari individu yang berada dalam pengaruh harmoni nyanyian akan meninggalkan jalan ketakwaan dan penyucian diri, lalu melangkahkan kakinya untuk mengikuti syahwat dan kemaksiatan.
Biasanya, acara dan pentas nyanyi merupakan pusat berbagai macam kemaksiatan, dan nyanyianlah yang menjadi sumber penyebab munculnya kemaksiatan tersebut.
Sebagian laporan yang kami baca dalam jurnal-jurnal luar negeri menunjukkan bahwa seringkali terjadi dalam acara yang menghidangkan irama nyanyian yang khas begitu memunculkan ketegangan pada sekelompok gadis dan pemuda sehingga mereka yang menikmati irama ini laksana hewan liar dan begitu agresif sehingga menimbulkan begitu banyak tragedi yang sangat memalukan untuk dituangkan dalam tulisan.
Dalam tafsir Rûh Al-Ma'ânî telah menukil ucapan salah seorang tokoh Bani Umaiyah yang mengatakan kepada mereka, "Hindarilah nyanyian, karena nyanyian akan mengurangi rasa malu, membangkitkan syahwat, menghancurkan harga diri seseorang, pengganti minuman keras, dan ia dapat memabukkan sebagaimana minuman keras".
Ucapan ini menunjukkan dengan jelas bahwa mereka, para tokoh Bani Umaiyah pun sebenarnya telah memahami kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh nyanyian ini.
Dan apabila kita melihat dalam sumber-sumber riwayat yang disebutkan secara berulang-ulang bahwa nyanyian akan mengembangbiakkan jiwa kemunafikan dalam kalbu manusia, hal itu menunjukkan bahwa ruh kemunafikan adalah ruh yang tercemar dan ternoda oleh kerusakan dan yang menyebabkan seseorang akan mengesampingkan diri dari takwa dan penahanan diri.
Demikian pula disebutkan dalam berbagai riwayat bahwa sebuah rumah yang di dalamnya terdapat nyanyian, malaikat tidak akan memasukinya, karena adanya noda kemaksiatan di dalamnya. Dan karena para malaikat adalah makhluk-makhluk suci dan pencari kesucian, mereka senantiasa menghindari setiap tempat yang telah tercemari oleh kemaksiatan.
Kedua, nyanyian akan membuat seseorang lupa dari mengingat Allah.
Ungkapan lahwu yang terdapat dalam definisi nyanyian pada sebagian riwayat mengisyaratkan bahwa nyanyian sedemikian rupa memabukkan syahwat manusia sehingga menyebabkannya melupakan Allah swt.
Dalam sebuah hadis, Imam Ali a.s. berkata, "Segala sesuatu yang membuat manusia melupakan Allah (dan menenggelamkannya ke dalam syahwat) berada dalam hukum judi."
Ketiga, nyanyian akan memberikan pengaruh yang dapat merusak syaraf.
Nyanyian dan musik pada hakikatnya merupakan salah satu faktor penting yang membahayakan urat syaraf. Dengan kata lain, bahan-bahan beracun terkadang memasuki badan manusia melalui mulut dan minuman, seperti minuman keras, terkadang pula melalui pembauan dan indera penciuman, seperti heroin, terkadang juga melalui suntikan, seperti morfin, dan tak jarang pula memasuki tubuh manusia dengan melalui alat audial, seperti nyanyian.
Dengan dalil inilah sehingga terkadang nyanyian dan irama yang khas begitu mampu menghanyutkan manusia ke dalam lamunan, lalu menciptakan sebuah kondisi mabuk bagi seseorang. Tentu saja, kadang kala tidak sampai pada tahapan seperti ini. Akan tetapi, tetap saja akan menimbulkan bahaya pada kadar yang ringan.
Atas dasar ini pulalah terdapat begitu banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh bahan-bahan memabukkan yang berada di dalam nyanyian, baik bahaya yang ditimbulkannya ringan maupun berat.
"Perhatian yang cermat terhadap biografi para pengamat musik terkenal menunjukkan bahwa di sepanjang usianya, mereka secara bertahap mengalami kegelisahan-kegelisahan jiwa sehingga secara perlahan-lahan syaraf yang dimilikinya akan menjadi rusak. Sebagian lagi terkena penyakit jiwa, dan sekelompok lainnya kehilangan bakat-bakat puitisnya dan menuju ke gejala-gejala kegilaan. Sebagian lainnya lumpuh dan tak berdaya, sebagiannya lagi mengalami tekanan darah tinggi kemudian terkena stroke secara mendadak ketika mendengar bunyi musik."
Dalam sebagian buku yang menulis tentang pengaruh negatif nyanyian dan musik terhadap syaraf manusia telah diungkapkan keadaan sebagian para pemusik dan penyanyi terkenal yang tiba-tiba mengalami serangan jantung pada saat berlangsung acara, lalu meninggal dengan cara mendadak pada saat itu pula.
Ringkas kata, pengaruh negatif nyanyian dan musik terhadap syaraf manusia pada akhirnya menyebabkan kegilaan, menaikkan tekanan darah, detakan jantung, dan dampak-dampak buruk lainnya yang sedemikian jelas hingga tidak membutuhkan pembahasan lebih banyak lagi.
Dari data-data kematian di era kita, dapat disimpulkan bahwa kematian mendadak yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan yang telah lalu. Terdapat banyak faktor yang telah menyebabkan timbulnya kenaikan yang terus-menerus ini, di antaranya adalah minat yang semakin meningkat pada nyanyian dan musik di seluruh dunia.
Keempat, nyanyian adalah salah satu sarana yang dimanfaatkan oleh penjajah.
Para penjajah dunia senantiasa merasa takut akan timbulnya kesadaran di kalangan masyarakat, khususnya apabila kesadaran tersebut menguat pada generasi muda. Maka itu, sebagian cara perluasan agresi mereka adalah menenggelamkan masyarakat ke dalam kelalaian, ketidaktahuan, kekurangan informasi, dan dengan penyediaan segala macam sarana hiburan yang tidak sehat.
Saat ini, narkotika tidak hanya mempunyai sisi perdagangan saja, bahkan sebuah sarana utama bagi kepentingan politik para agresor. Pembangunan pusat-pusat kemaksiatan, klub-klub judi, dan sarana-sarana hiburan tak sehat, seperti penyebarluasan nyanyian dan musik, merupakan salah satu dari alat penting yang mereka paksakan untuk merusak pikiran masyarakat. Dengan alasan inilah sebagian besar tempo penyiaran radio di seluruh dunia diisi oleh musik dan dijadikan sebagai program pokok pada sarana interaksi masyarakat.

80. Apakah Filsafat Pengharaman Zina?
1. Munculnya fenomena pertikaian dalam rumah tangga dan hilangnya komunikasi hangat antara anak-anak dengan kedua orang tua mereka, muncul dalam sekejap karena fenomena zina. Padahal komunikasi ini sebegitu pentingnya sehingga tidak saja akan menyebabkan pengenalan mereka terhadap masyarakat, melainkan juga akan menyebabkan kepedulian sempurna anak-anak terhadap masyarakat dan menanamkan rasa kasih sayang yang akan menjadi faktor pelanjut kepedulian tersebut.
Ringkasnya, sebuah masyarakat yang di dalamnya banyak anak-anak yang lahir secara tidak sah dan tidak mempunyai ayah, dibangun di atas pondasi komunikasi keluarga yang tak sehat dan akan mengalami kegoncangan.
Untuk memahami pentingnya tema ini, cukuplah kita sejenak berpikir bahwa apabila zina diperbolehkan dalam seluruh kehidupan masyarakat dengan mencabut pernikahan resmi dari mereka, maka anak-anak tanpa identitas yang lahir dari kondisi semacam ini tidak akan pernah menjadi bahan kepedulian siapa pun, tidak di permulaan kelahiran mereka dan tidak pula di puncak masa remaja mereka.
Dari sini, salah satu elemen kasih sayang yang mempunyai peran penentu dalam memerangi kejahatan dan kekerasan akan tercabut, dan sebenarnya hal ini akan mereduksi sebuah masyarakat insani menjadi sebuah masyarakat hewani sepenuhnya yang diliputi dengan kekerasan dalam semua lini kehidupannya.

2. Perbuatan tercela dan menjijikkan ini telah menyebabkan munculnya berbagai keributan dan kekacauan dalam diri individu dan masyarakat pengikut hawa nafsu. Kasus-kasus yang telah ditulis dan dinukil dari sebagian kondisi yang ada dalam lingkungan buruk dan pusat kemaksiatan telah menjelaskan realitas ini secara gamblang, di mana terjadinya penyelewengan seksual senantiasa dibarengi pula dengan tragedi kriminal terburuk.

3. Pengalamam telah memperlihatkan dan sains juga telah membuktikan bahwa perbuatan zina ini telah menyebabkan tersebarnya berbagai macam penyakit, dan meskipun telah dipersiapkan seluruh usaha untuk memerangi dan menghambat resiko perbuatan ini, data yang ada tetap saja masih menunjukkan betapa masih banyaknya orang yang bersedia mengorbankan keselamatan dirinya dengan perbuatan ini.

4. Perbuatan ini biasanya akan diikuti dengan kenaikan data aborsi, pembunuhan anak-anak, dan pemutusan keturunan, lantaran pelaku-pelaku wanita itu sama sekali tidak akan bersedia untuk membina anak-anak yang mereka hasilkan dari perbuatan mereka sendiri. Justru pada prinsipnya, keberadaan seorang anak merupakan penghalang besar bagi mereka dalam meneruskan perbuatan-perbuatan menjijikkan tersebut. Oleh karena itu, mereka senantiasa berusaha untuk menyingkirkan anak-anak ini dari kehidupan mereka.
Dan pendapat bahwa anak-anak semacam ini bisa dikumpulkan di dalam yayasan-yayasan yang berada di bawah lindungan pemerintah adalah sebuah khayalan belaka, karena kegagalan dalam pelaksanaannya begitu jelas dan telah terbukti betapa susahnya mendidik anak-anak yang tidak mempunyai ayah dan ibu dalam kondisi mereka seperti ini. Lagi pula, yang dihasilkan bukanlah insan-insan yang berpotensi melainkan hanya semacam anak-anak yang keras hati, pelaku kriminal yang tidak memiliki citra diri sama sekali, dan kekosongan dari segala sesuatu.

5. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa tujuan dari pernikahan bukanlah hanya untuk memenuhi hasrat seksual seseorang saja. Akan tetapi, untuk bersama-sama membentuk kehidupan dan kehangatan emosi, serta ketenangan pikiran, di mana pendidikan anak dan kerja sama dalam semua aspek kehidupan merupakan dampak-dampak positif dari sebuah perkawinan. Tanpa adanya garis pengkhususan wanita untuk seorang pria dan tanpa adanya pengharaman zina, tidak satu pun dari tujuan itu akan terwujud.
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Terdapat enam pengaruh buruk dari zina; tiga bagiannya akan terjadi di dunia dan tiga bagian yang lain akan terwujud di akhirat. Pengaruh yang akan terjadi di dunia adalah, bahwa zina akan mengambil kejernihan (nurâniyah) seseorang, memutuskan rezeki, dan mempercepat kehancuran manusia. Sedangkan tiga pengaruh yang akan terjadi di akhirat adalah murka Allah swt., susahnya penghisaban, dan keabadian di dalam api neraka."

81. Apakah Filsafat Pengharaman Homoseks?
Meskipun di dunia Barat tingkat penyimpangan seksual luar biasa tingginya, akan tetapi perilaku homoseksual yang menjijikkan ini bukanlah suatu hal yang mereka benci. Bahkan terdapat informasi bahwa di sebagian negara, seperti Inggris, dengan rasa tiada malu, mereka telah mampu melewati Parlemen dan mendapatkan legalitas perbuatan ini secara konstitusional. Akan tetapi, meratanya degradasi moral ini sama sekali tidak akan menghilangkan keburukannya. Kerusakan yang menimpa akhlak, jiwa, dan sosial masyarakat akan tetap nampak di tempatnya masing-masing.
Terkadang sebagian penganut pandangan Materialisme, dalam rangka mengapologikan perbuatan tercela mereka ini, mengatakan bahwa kami sama sekali tidak mempunyai alasan kesehatan apapun yang bisa menghalangi kami untuk tidak melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, mereka lupa bahwa, pada prinsipnya, setiap penyelewengan seksual yang terjadi senantiasa akan memberikan dampak pada keseluruhan spiritualitas dan konstruksi wujud manusia, dan akan menghancurkan keseimbangannya.


Penjelasan
Secara alami dan normal, manusia mempunyai hasrat seksual terhadap lawan jenisnya, dan hasrat ini merupakan akar paling fundamental dari naluri manusia sekaligus sebuah garansi bagi kelangsungan keturunan manusia itu sendiri.
Segala sesuatu yang menyebabkan hasrat ini menyimpang dari jalan yang seharusnya, maka ini merupakan sebuah penyakit dan akan memunculkan penyimpangan jiwa dalam diri manusia.
Seorang pria yang setuju dengan homoseks atau seorang pria yang melakukan perbuatan semacam ini, sebenarnya ia bukanlah pria yang sempurna. Dalam kitab-kitab yang membahas masalah seks disebutkan bahwa homoseks merupakan salah satu penyimpangan seksual yang paling penting.
Dampak lanjut dari perbuatan ini adalah terbunuhnya hasrat seksual terhadap lawan jenisnya. Orang-orang yang melakukannya secara bertahap dan sedikit demi sedikit akan menemukan perasaan kewanitaan di dalam dirinya, dan keduanya akan diserang oleh kelemahan gairah seksual yang disebut dengan "dyscrasia" sedemikian rupa sehingga setelah beberapa lama, mereka tidak akan mampu melakukan hubungan seksualnya secara alami (hubungan seksual dengan lawan jenis).
Dengan memperhatikan bahwa hasrat seksual pihak pria kepada wanita mempunyai pengaruh dalam organisme tubuh dan juga dalam mental, serta karakter khasnya. Maka jelaslah bahwa seberapa berat bahaya yang dialami oleh jasmani dan ruhani manusia dengan hilangnya perasaan alami tersebut. Bahkan, mungkin saja orang-orang yang telah terjerumus dalam penyimpangan seksual semacam ini akan sampai pada tingkat kelemahan seksual yang sedemikian parahnya sehingga ia tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mendapatkan anak.
Dilihat dari sisi psikologi, orang-orang semacam ini biasanya bukanlah individu-individu yang sehat. Berkaitan dengan hal tersebut, mereka merasakan semacam rasa keterasingan dan terisolir dari keluarga dan masyarakat di dalam diri mereka.
Kekuatan kehendak yang merupakan syarat setiap keberhasilan akan hilang secara bertahap dari dirinya dan sebagai gantinya, akan muncul semacam kebingungan dan ketidakseimbangan jiwa dalam diri mereka.
Apabila mereka tidak mengambil keputusan untuk cerpat memperbaiki diri dan segera meminta bantuan dari para tabib jasmani atau psikolog ketika berada dalam keadaan mendesak sehingga perbuatan ini menjadi kebiasaan bagi dirinya, maka meninggalkannya merupakan suatu hal yang sangat sulit. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak ada kata terlambat dalam upaya meninggalkan kebiasaan ini. Yang diperlukan adalah mengambil keputusan dan melaksanakannya.
Walhasil, kebingungan psikologis yang mereka alami akan menyeret mereka ke arah narkoba, minuman beralkohol, dan penyelewengan moral lainnya secara bertahap, dan ini merupakan sebuah kemalangan yang amat besar.
Menariknya, riwayat-riwayat telah mengisyaratkan adanya berbagai kerusakan semacam ini dalam ibarat yang pendek dan penuh makna. Salah satunya bisa kita dapatkan dalam salah satu hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s. ini. Seseorang bertanya kepada beliau, "Mengapa liwâth (sodomi) diharamkan dalam Islam?" Beliau menjawab, "Seandainya melakukan hubungan seksual antarpria dihalalkan, maka pria tidak akan membutuhkan wanita lagi (dan tidak akan mempunyai hasrat terhadap mereka), dan hal ini akan menyebabkan terputusnya generasi manusia, hilangnya hubungan seksual yang alami, dan perbuatan ini akan menimbulkan kerusakan yang begitu banyak bagi akhlak dan masyarakat."
Layak diperhatikan bahwa di antara hukuman yang telah ditentukan oleh Islam ke atas orang-orang yang melakukan homoseks ini adalah haram atasnya menikahi ibu, saudari, atau anak dari pasangannya. Apabila perbuatan ini mereka lakukan sebelum pernikahan, maka wanita-wanita di atas menjadi haram untuk dinikahinya, selama-lamanya.

15
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

82. Apakah Filsafat Pengharaman Minuman Beralkohol (Memabukkan)?

Pengaruh Alkohol Terhadap Usia Manusia
Salah satu pemikir terkenal Barat mengutarakan bahwa telah meninggal sebanyak 51 orang dari seratus orang pemuda berusia 21 hingga 23 tahun yang kecanduan minuman beralkohol. Hal ini merupakan jumlah yang sangat besar apabila dikomparasikan dengan kematian yang tidak lebih dari 10 orang dari pemuda yang tidak kecanduan minuman beralkohol.
Ilmuwan terkenal yang lain membuktikan bahwa para pemuda yang berada pada usia 21 tahunan yang menginginkan usianya mencapai 50 tahun, dikarenakan meminum beralkohol ini, usia mereka tidak akan bisa lebih dari 35 tahun.
Pengalaman yang didapatkan oleh para pemilik asuransi jiwa membuktikan bahwa usia para pecandu minuman beralkohol adalah 25 hingga 30 persen lebih pendek dibandingkan dengan yang lainnya.
Data yang lain menunjukkan bahwa batas rata-rata usia para pecandu alkohol berada pada angka 35 hingga 50 tahun, sementara dalam kondisi normal dan dengan memperhatikan masalah-masalah kesehatan, usia seseorang akan bisa mencapai 60 tahun ke atas.


Pengaruh Alkohol Terhadap Keturunan
Seseorang yang berada dalam keadaan mabuk ketika meninggalkan spermanya, ia akan memindahkan kontribusi alcoholism akut kepada anaknya. Dan apabila kedua belah pihak; wanita dan pria berada dalam keadaan mabuk, maka kontribusi alcoholism akut akan muncul seratus persen pada tubuh anak. Untuk memberikan perhatian yang lebih detail pada pengaruh alkohol terhadap anak, kami akan mengutarakan sebuah data di bawah ini.
Anak-anak yang lahir prematur mencapai 40 persen dari pasangan peminum alkohol, 31 persen dari ibu peminum alkohol, dan 17 persen dari ayah peminum alkohol. Anak yang ketika lahir tidak mempunyai kemampuan untuk hidup adalah 6 persen dari ayah peminum alkohol dan 45 persen dari ibu peminum alkohol. Sementara anak yang mempunyai tinggi badan yang pendek adalah 75 persen dihasilkan dari orang tua peminum alkohol dan 45 persen dari ibu pecandu alkohol. Dan 75 persen anak yang mempunyai inteligensia rendah dihasilkan dari ibu pecandu alkohol dan 75 persen dari ayah pecandu alkohol.


Pengaruh Alkohol Terhadap Akhlak Manusia
Kasih sayang yang dimiliki oleh seseorang yang darah dan dagingnya tercemari oleh alkohol terhadap istri dan anaknya berada pada level yang demikian lemah sehingga tak jarang seroang ayah tega membunuh anak-anaknya sendiri.


Pengaruh Negatif Alkohol Terhadap Masyarakat.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Institut Kedokteran di sebuah kota di Eropa pada tahun 1961, dampak-dampak buruk sosial yang ditimbulkan dari barang-barang alkoholik adalah sebagai berikut: 50 persen pelaku pembunuhan massal, 77,8 persen perkelahian dan pertikaian lantaran pengaruh minuman beralkohol, 88,5 persen pencurian berkaitan dengan bahan-bahan alkoholik, dan 88,8 persen dampak-dampak penyimpangan seksual yang disebabkan oleh bahan-bahan alkohoik. Data ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku kejahatan dan pelaku kriminal besar melakukan perbuatannya ini pada saat mabuk.


Bahaya Minuman Beralkohol Terhadap Ekonomi
Salah satu psikolog terkenal mengatakan, "Sayang, pemerintah senantiasa hanya menghitung keuntungan dan penghasilan yang dihasilkan dari minuman keras, mereka tidak menghitung lonjakan budget lainnya yang digunakan untuk rehabilitasi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh minuman ini. Andai saja pemerintah melakukan kalkulasi secara bersama-sama terhadap semakin bertambahnya penyakit kejiwaan di dalam masyarakat dan semakin banyaknya kerugian yang diderita oleh masyarakat rendah, tersia-sianya waktu yang demikian berharga, semakin banyaknya kecelakaan lalu lintas yang ditimbulkan karena mabuk, kerusakan moral, hilangnya keturunan sah, munculnya kemalasan, kebebasan dan pengangguran, keterbelakangan budaya, serta semakin sibuknya para polisi, yayasan-yayasan pelindung anak-anak pecandu alkohol, rumah sakit-rumah sakit, pembentukan pengadilan-pengadilan untuk mengadili kejahatan mereka, penjara-penjara untuk para kriminalis beralkohol, dan kerugian-kerugian lain yang ditimbulkan dari carousal (pesta mabuk), tentu mereka sadar bahwa penghasilan sebagai kekayaan dari minuman keras tidaklah berarti sedikitpun dibandingkan dengan kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, lagi pula dampak buruk dari penggunaan minuman beralkohol ini tidak bisa ditimbang hanya dengan dolar dan mata uang lainnya, karena kematian orang-orang yang dicintai, hancurnya keluarga dan hilangnya semua harapan dan angan-angan dari pikiran manusia sama sekali tidak bisa diukur oleh uang.
Ringkasnya, bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari dampak alkohol amat banyak sehingga salah seorang ilmuwan berpendapat, "Apabila pemerintah menutup separuh pintu dari gudang penyimpanan minuman keras, maka ia dapat menjamin bahwa masyarakat tidak akan lagi membutuhkan separuh dari rumah-rumah sakit dan pusat-pusat rehabilitasi. Apabila terdapat keuntungan dalam perdagangan alkohol untuk manusia atau, misalnya, melupakan kerugian yang ditimbulkan olehnya, dianggap sebagai sebuah keuntungan bagi manusia, maka efek negatifnya secara bertahap akan lebih banyak dan lebih luas sedemikian rupa sehingga keduanya tidak bisa diperbandingkan lagi."
Di sini, kami juga akan mengutarakan hal-hal penting lainnya, di mana setiap bagiannya merupakan rangkaian dari data-data berbeda, dan setiap segmennya membutuhkan pembahasan dan pengkajian yang mendalam untuk membeberkan kedalaman dan kehebatan pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh minuman ini:
Pertama, dari sebuah jajak pendapat yang disebarkan di negara Inggris tentang penyakit gila yang disebabkan oleh alkohol dengan penyakit gila yang disebabkan oleh hal-hal lain, ditemukan bahwa ketika berhadapan dengan 2249 kasus penyakit gila karena alkohol, hanya terdapat 53 orang yang menderita penyakit gila karena faktor-faktor lain.
Kedua, dengan adanya data-data lain dari rumah sakit-rumah sakit jiwa di Amerika diketahui bahwa 85 persen dari penderita penyakit jiwa di tempat-tempat tersebut dipenuhi oleh para pecandu alkohol.
Ketiga, salah seorang ilmuwan Inggris, Benn Tom menulis, "Menenggak minuman beralkohol di negara-negara utara akan membuat manusia menjadi bodoh dan tolol, dan di negara-negara selatan akan menyebabkan manusia menjadi gila." Ia menambahkan, "Agama Islam mengharamkan segala jenis minuman yang mengandung alkohol dan ini adalah salah satu keistimewaan agama ini."
Keempat, apabila dilakukan pendataan terhadap orang-orang mabuk yang terlibat dalam kasus-kasus kriminal, perusakan rumah, atau penyiksaan istri-istri mereka, maka akan ditemukan beragam kasus yang semakin melonjak.
Kelima, di negara Prancis, setiap hari terdapat 440 orang yang mengorbankan nyawanya demi sebuah cairan yang bernama alkohol.
Keenam, berdasarkan data yang lainnya, di negara Amerika hanya dalam waktu satu tahun, kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit jiwa mencapai jumlah dua kali lipat dari jumlah kematian yang terjadi pada negara tersebut pada Perang Dunia Kedua. Dan berdasarkan riset para ilmuwan, penyebab utama munculnya penyakit-penyakit jiwa di Amerika ini adalah "minuman beralkohol" dan "rokok".
Ketujuh, berdasarkan data yang dipaparkan oleh salah seorang ilmuwan bernama Huger dalam acara memperingati dua puluh tahun sebuah majalah ilmiah, mengatakan bahwa dari 60 persen pembunuhan yang disengaja, 75 persen perkelahian dan pemukulan, 30 persen kasus kriminal yang bertentangan dengan akhlak (termasuk di dalamnya melakukan zina dengan muhrim), dan 20 persen kasus kriminal pencurian berkaitan dengan alkohol dan minuman beralkohol. Berdasarkan data dari ilmuwan ini, 40 persen dari anak-anak pelaku kriminalitas ini mempunyai latar belakang alkohol.
Delapan, dari sisi perekonomian, di negara Inggris saja kerugian yang muncul akibat ketidakhadiran para pekerja dikarenakan alkohol mencapai lima puluh juta dolar dalam setahun, di mana jumlah ini saja bisa digunakan untuk biaya pembangunan ribuan sekolah TK, SD, dan SLTP.
Sembilan, berdasarkan data yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Prancis tentang pengaruh negatif dari minuman beralkohol, ditemukan bahwa dalam setahun, alkohol telah menghabiskan 134 milyar Frank dari budget negara tersebut, selain dari kerugian-kerugian pribadi, dengan perincian sebagai berikut:
- 60 milyar Frank untuk biaya pengadilan dan penjara.
- 40 milyar Frank untuk biaya koperasi umum dan sosial.
- 10 milyar Frank untuk biaya pembiayaan rumah-rumah sakit untuk pecandu-pecandu alkohol.
- 70 milyar Frank untuk biaya keamanan sosial.
Dengan demikian, jelaslah bahwa jumlah penderita-penderita penyakit jiwa dan rumah-rumah sakit, pembunuhan, perkelahian berdarah, pencurian, dan pelanggaran serta kecelakaan yang terjadi berkaitan secara langsung dengan jumlah bar yang ada.

83. Apakah Filsafat Larangan Bersetubuh dengan Wanita yang sedang Menjalani Masa Menstruasi?
Hubungan seksual dengan wanita-wanita yang sedang menjalani masa menstruasi, selain merupakan perbuatan yang menjijikkan, dapat menimbulkan banyak bahaya, sebagaimana telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran dewasa ini. Di antaranya, kemungkinan pria dan wanita yang melakukannya menjadi mandul, menciptakan lahan yang subur bagi berkembang biaknya mikroba dan penyakit-penyakit seksual semacam shiphilis dan gonorhcea, inflamasi pada organ reproduksi wanita dan masuknya darah haid yang membawa mikroba dan kuman dari dalam tubuh ke dalam organ reproduksi pria dan lain sebagainya. Semua ini telah disebutkan dalam buku-buku kedokteran. Oleh karena itu, para ahli kesehatan menegaskan pelarangan atas hubungan seksual dengan wanita yang dalam keadaan haid.
Siklus haid berkaitan dengan daur interaksi hormon pada wanita di masa subur yang terjadi setiap bulan. Rangkaian kejadian tersebut memungkinkan lepasnya sebuah sel telur yang jika terbuahi, akan berada di dalam rahim dan memungkinkan janin tumbuh berkembang. Tanda yang paling nyata dari siklus ini adalah keluarnya darah dari vagina setiap bulan, yang disebut haid di mana dinding rahim terkelupas bila telur tidak dibuahi.
Turunnya darah haid ini berkaitan dengan tersumbatnya pembuluh darah rahim dan terkelupasnya dinding pembuluh darah ini. Sel telur dalam aktifitas ini pun melakukan kerjasama dengan pembuluh darah rahim.
Pada masa haid, nutfah wanita akan melewati sebuah saluran yang disebut dengan saluran falopian dan memasuki rahim, sehingga apabila nutfah ini berada di luar bersamaan dengan masuknya sperma pria, maka akan muncul sebuah janin.
Ekskresi darah pada masa-masa awal berlangsung secara tidak teratur dan berwarna merah muda. Akan tetapi, dengan cepat hal itu akan berlangsung secara teratur dan menjadi berwarna merah pekat, dan pada masa-masa akhir akan kembali ke keadaan semula, yaitu berwarna merah muda dan tidak teratur.
Pada prinsipnya, darah yang terbuang ketika dalam keadaan haid merupakan darah yang setiap hari berkumpul dalam pembuluh darah di bagian dalam rahim yang digunakan untuk makanan janin. Kita mengetahui, rahim wanita dalam setiap bulannya akan mengeluarkan satu sel telur, dan pada masa itu pembuluh darah bagian dalam rahim akan penuh dengan darah dan berada dalam keadaan siap untuk memberi makanan kepada nutfah. Ketika sel telur melewati saluran falopian untuk masuk ke dalam rahim bertemu dengan spermatozon yang merupakan nutfah dari pria di tempat tersebut, maka akan terjadi pembentukan janin, dan darah yang terdapat di dalam pembuluh darah adalah makanan janin tersebut. Dalam keadaan selain ini, darah yang ada akan menyebabkan terkelupasnya dinding pembuluh darah rahim dan melubangi dinding-dinding pembuluh nadi rahim, serta akan keluar dari rahim dalam bentuk darah haid.
Dari pembahasan ini jelaslah mengapa hubungan seksual dalam keadaan seperti ini akan menimbulkan bahaya dan dilarang. Karena pada hakikatnya, pada masa haid, rahim wanita sedang melakukan pembersihan organ dalam betul-betul ia tidak memiliki darah yang mempunyai persiapan alami untuk menerima nutfah. Dengan dalil inilah akan terjadi benturan dan luka di dalamnya.

84. Apakah Falsafah Haramnya Nikah dengan Muhrim?
Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 23 difirmankan, "Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anak wanitamu, saudari-saudarimu, saudari-saudari bapakmu, saudari-saudari ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara priamu, anak-anak wanita dari saudari-saudarimu, ibu-ibu susumu, saudari sepersusuanmu, ibu-ibu istrimu [mertua], anak-anak wanita istri-istrimu yang ada dalam tanggungjawabmu dari istri yang telah Kamu campuri; akan tetapi apabila Kamu belum mencampuri istri-istrimu [dan telah Kamu cerai], maka tidak ada dosa bagi Kamu untuk mengawininya, [dan diharamkan bagi Kamu] istri-istri dari anak kandung Kamu [menantu], demikian juga diharamkan bagi Kamu menghimpunkan [dalam perkawinan] dua orang wanita yang bersaudari, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang."
Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, apakah filsafat diharamkannya pernikahan muhrim?
Di ayat di atas, telah diisyaratkan tentang pelarangan menikah dengan para muhrim dan wanita-wanita muhrim berdasarkan prinsip keharaman tersebut bisa dikelompokkan dalam tiga kelompok:
a. Kemuhriman yang disebabkan oleh "kelahiran" yang disebut dengan "hubungan nasabî".
b. Kemuhriman yang disebabkan oleh "pernikahan" yang dinamakan "hubungan sababî".
c. Kemuhriman yang disebabkan oleh "sepersusuan "yang disebut dengan "hubungan radha'î".
Kelompok pertama, muhrim nasabi terdiri dari tujuh orang. Allah berfirman, "Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu, anak-anak wanitamu, saudari-saudarimu, saudari-saudari bapakmu, saudari-saudari ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara priamu, anak-anak wanita dari saudari-saudarimu ...."
Harus diperhatikan bahwa maksud dari "ibu" di sini bukan hanya wanita yang telah melahirkannya, tetapi juga ibu-nya ibu (nenek dari pihak ibu), ibu-nya ayah (nenek dari pihak ayah), dan ibu-nya nenek (dari kedua belah pihak) dan yang sestatus mereka. Demikian juga, yang dimaksud dengan "anak-anak wanitamu" bukan hanya anak wanita yang tanpa perantara, tetapi juga anak wanita sendiri, anak wanita dari anak-anak prianya, anak wanita dari anak-anak wanitanya serta anak-anak mereka, dan demikian pula dengan kelima kelompok yang lainnya.
Jelas bahwa semua orang secara kodrat tidak menyukai perkawinan semacam ini. Atas dasar inilah semua kaum dan bangsa (kecuali beberapa individu saja) telah mengetahui keharaman menikah dengan muhrim. Bahkan, kaum Majusi sendiri di buku-buku pegangan mereka memberikan izin terhadap perkawinan sesama muhrim, tetapi saat ini mereka telah menolak hal tersebut.
Meskipun sebagian orang mengupayakan bahwa perkawinan semacam ini bersumber dari sebuah tradisi dan kebiasaan kuno, akan tetapi kita tahu bahwa kemutlakan sebuah hukum yang ada di dalam masyarakat pada kurun dan waktu yang demikian lama biasanya menunjukkan kefitrahan hukum itu sendiri. Karena, tradisi dan budaya tidak akan bisa menjadi suatu hal yang universal dan kekal.
Lebih dari itu, pada saat ini telah terbukti bahwa perkawinan yang dilakukan dengan muhrim akan menimbulkan berbagai macam bahaya pada masing-masing individu yang melakukannya. Dengan perkawinan semacam ini, penyakit-penyakit yang tadinya tersembunyi dan merupakan sebuah penyakit keturunan dalam diri seseorang, akan menjadi tersingkap dan semakin berpotensi (dan bukannya hal itu akan melahirkan penyakit baru). Bahkan, sebagian orang berpendapat, bukan hanya pada perkawinan antar muhrim, bahkan perkawinan dengan keluarga yang nasabnya lebih jauh dari itu, seperti dengan anak-anak paman pun tidak baik bagi mereka, dan mereka berkeyakinan bahwa hal ini akan semakin memperparah penyakit-penyakit keturunan yang telah ada. Akan tetapi, apabila masalah ini di dalam sanak famili yang jauh tidak menimbulkan masalah (dan memang demikian yang biasanya terjadi), tetapi pada perkawinan sesama muhrim pasti menimbulkan problem.
Selain itu, di antara sesama muhrim biasanya tidak terdapat daya tarik dan gairah seksual, karena biasanya mereka tumbuh besar secara bersama-sama dan antara mereka terdapat hubungan keakraban yang sangat dekat sehingga menganggap hubungan mereka sebagai hubungan biasa. Hal-hal yang langka tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur sebuah hukum universal. Dan kita pun tahu bahwa daya tarik seksual merupakan syarat bagi keeratan ikatan perkawinan. Oleh karena itu, apabila terjadi perkawinan antara sesama muhrim, maka yang akan terjadi adalah sebuah perkawinan yang lemah dan tidak abadi.
Kemudian, ayat selanjutnya mengisyaratkan muhrim radha'î (sepersusuan) dan berfirman, "... dan [diharamkan pula bagimu] wanita yang menyusuimu, dan saudari-saudari yang sepersusuan denganmu ...."
Meskipun Al-Qur'an di dalam ayat ini hanya menunjukkan dua kelompok, yaitu wanita-wanita yang menyusui dan saudari-saudari sepersusuan, akan tetapi berdasarkan banyak riwayat yang otentik, muhrim sepersusuan tidak hanya terbatas pada dua kelompok di atas, melainkan berdasarkan hadis Rasulullah saw. bersabda, "Seluruh orang yang dari sisi hubungan nasab diharamkan, maka dari sisi hubungan sepersususan pun diharamkan."
Tentu saja, tolok ukur sepersusuan yang bisa menyebabkan kemuhriman, demikian juga syarat-syarat memerlukan banyak pembahasan yang telah termaktub di dalam buku-buku fiqih.
Filsafat pengharaman menikah dengan muhrim sepersusuan adalah karena pertumbuhan daging dan tulang mereka yang telah tumbuh berkembang dari susu seorang ibu susu sama dengan susu yang telah membesarkan anak-anak dari ibu susu tersebut. Misalnya, seorang anak yang disusui oleh seorang ibu susu sehingga badannya mengalami pertumbuhan yang khas akan mempunyai kemiripan dengan keseluruhan anak-anak wanita tersebut, dan pada hakikatnya, masing-masing mereka berdua merupakan bagian dari badan wanita tersebut sehingga dengan demikian, hubungan mereka persis sama seperti hubungan dua orang saudara yang senasab.
Di akhir ayat itu diisyaratan tentang golongan muhrim yang ketiga. Golongan ini pun memiliki beberapa kelompok, yaitu:

a. "... ibu-ibu dari istri-istrimu ...."
Yaitu, begitu seorang pria menikah dengan seorang wanita dan mengucapkan akad nikah, pada saat itu juga ibu wanita tersebut dan ibu dari ibunya … akan menjadi haram mutlak bagi pria tersebut.

b. "... anak-anak wanita istri-istrimu yang berada di dalam tanggung jawabmu dari istri-istri yang telah kamu campuri ...."
Yaitu, anak-anak wanita dari istri-istri seseorang yang berada di dalam tanggung jawabnya dengan syarat ia telah melakukan hubungan seksual dengan istri-istri itu. Dengan kata lain, hanya melakukan akad secara syar'i dengan seorang wanita tidak bisa menyebabkan anak wanita (yang merupakan buah perkawinan dari suami yang lain) dari wanita tersebut secara otomatis menjadi haram bagi suaminya yang sekarang. Tetapi, selain telah melakukan akad nikah, mereka juga telah tidur bersama (melakukan hubungan seksual). Adanya catatan (qaid) khusus pada persoalan di atas menekankan bahwa hukum "ibunya istri" yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya tidak mempunyai syarat sebagaimana syarat ini, dan secara istilah, hal ini memperkuat kemutlakan hukum tersebut.
Meskipun lahiriah catatan "fî hujûrikum" (yang berada di dalam tanggung jawabmu) memberi pemahaman bahwa apabila anak perempuan istri yang dihasilkan dari suami yang lain tidak berada dalam tanggung jawab suaminya tersebut berarti anak wanita tersebut tidak haram baginya, akan tetapi dengan indikasi (qarînah) yang ada dalam riwayat dan adanya kejelasan hukum tentang masalah ini menyebabkan catatan ini bukanlah sebuah "catatan pengecualian" (qaid ihtirâzî), tetapi menjelaskan poin pengharaman. Hal itu lantaran anak-anak wanita yang ibunya menikah lagi biasanya masih berada dalam usia kanak-kanak dan berada di dalam tanggung jawab suami barunya yang akan membesarkannya sebagaimana anaknya sendiri.
Sebenarnya ayat tersebut mengatakan bahwa pada dasarnya, posisi mereka ini layaknya anak-anak perempuan kamu sendiri. Apakah ada seorang ayah mau menikah dengan anaknya sendiri? Dengan dalil ini pula nama rabâ'ib dipilihkan bagi mereka, bentuk plural dari rabîbah yang berarti; telah terdidik.
Untuk menekankan topik ini, kelanjutan dari ayat di atas menambahkan bahwa apabila mereka belum melakukan hubungan badan dengan istri-istri mereka, maka anak-anak perempuan dari istri-istri mereka tidak akan menjadi haram bagi mereka.
... akan tetapi, apabila kamu belum mencampuri istri-istrimu [dan kamu telah menceraikannya], maka tidak ada dosa bagi kamu untuk mengawininya."

c. "...istri-istri dari anak kandung kamu [menantu] ...."
Pada hakikatnya, ungkapan "min ashlâbikum" (anak-anak dari keturunanmu) didasarkan pada penetapan atas kebatilan salah satu tradisi Jahiliyah, di mana pada zaman tersebut telah menjadi suatu kebiasaan pada seseorang yang memilih seorang anak sebagai anak angkat. Yaitu, mengambil anak yang sebenarnya milik orang lain dan dijadikan sebagai anaknya sendiri. Pada masa itu, anak angkat mempunyai keseluruhan hukum yang dimiliki oleh anak hakiki. Dengan dalil inilah mereka enggan menikah dengan istri-isri dari anak-anak angkat itu. Akan tetapi, dalam norma Islam, anak angkat tidak mempunyai hukum-hukum seperti anak hakiki secara keseluruhan.

d. "... dan [diharamkan bagi Kamu] menghimpunkan [dalam pernikahan] dua wanita yang bersaudara ....
Yaitu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk menikah dengan dua wanita bersaudara dalam satu masa. Oleh karena itu, dibolehkan atas seseorang untuk menikah dengan dua orang atau lebih dari wanita bersaudara pada zaman yang berbeda-beda dan hal ini dilakukan setelah berpisah dari saudara wanita yang sebelumnya.
Di zaman Jahiliyah, menghimpun dua wanita bersaudara dalam satu pernikahan merupakan suatu hal yang biasa terjadi dan juga terdapat banyak individu yang telah melakukan pernikahan semacam ini. Oleh karena itu, ungkapan tersebut, Al-Qur'an melanjutkan "illa mâ qad salaf" (kecuali apa yang berlalu) sehingga orang-orang yang -sebelum turunnya hukum ini- telah melakukan pernikahan semacam itu tidak akan mendapatkan balasan dan siksaan, meskipun sekarang ia harus memilih salah satu dari kedua wanita bersaudara tersebut dan melepaskan yang satunya.
Mungkin rahasia mengapa Islam melarang pernikahan semacam ini adalah, bahwa dua wanita yang bersaudara berdasarkan hukum nasab dan ikatan batin yang alami mempunyai ikatan kasih sayang yang luar biasa antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika mereka telah berada dalam satu persaingan, secara praktis mereka tidak akan bisa mempertahankan rasa kasih sayang yang ada sebelumnya. Dengan demikian, akan terjadi kontradiksi antara kasih sayang dan persaingan di dalam diri mereka, yang tentu saja hal ini akan berdampak negatif dan berbahaya bagi mereka. Karena, pasti akan terdapat rasa kasih sayang yang senantiasa berhadapan dengan rasa persaingan di dalam wujud mereka yang -pada gilirannya- akan memicu tejadinya pertikaian di antara mereka.

85. Apakah Tujuan dari Penciptaan Manusia?
Hanya sedikit individu yang tidak mempertanyakan pertanyaan ini kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain. Setiap saat terdapat kelompok manusia yang senantiasa lahir di dunia ini, kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok lain yang meninggal dunia. Apakah sebenarnya tujuan dari kedatangan dan kepergian ini?
Seandainya kita, manusia, tidak hidup di bumi ini, kira-kira bagian alam manakah yang akan rusak? Dan apakah masalah yang akan timbul? Apakah kita perlu untuk mengetahui; mengapa kita datang dan pergi? Dan untuk mengetahui makna dari semua ini, apakah kita punya kemampuan untuk itu? Dan beribu pertanyaan lain sebagai konsekuensi dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan memenuhi pikiran manusia.
Setiap kali kaum materialis mengutarakan pertanyaan semacam ini, sepertinya belum ada jawaban (yang dapat memuaskan). Karena, alam materi tidak memiliki akal dan perasaan sama sekali sehingga ia dapat memiliki sebuah tujuan. Dengan alasan inilah, mereka telah meloloskan diri dari persoalan ini dan meyakini bahwa alam penciptaan adalah nihil dan tak bertujuan. Dan betapa sangat menyedihkan apabila manusia melangsungkan hidupnya di seluruh bidang seperti pendidikan, usaha dan kerja, makanan, penyembuhan, kesehatan, olah raga, dan lain sebagainya dengan tujuan yang pasti dan dengan program yang sangat detail, akan tetapi seluruh (sistem) kehidupan (sebagai sebuah kesatuan) yang ada di alam semesta ini adalah nihil dan tidak mempunyai tujuan sama sekali.
Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila sebagian mereka setelah melakukan perenungan terhadap persoalan ini, merasa puas dengan kehidupan yang nihil dan tanpa tujuan ini, dan akhirnya mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri.
Akan tetapi, ketika pertanyaan ini dipertanyakan oleh seorang penyembah Tuhan kepada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah menemui jalan buntu. Karena dari satu sisi, ia tahu bahwa pencipta dunia ini adalah Mahabijaksana dan pastilah apa yang Dia ciptakan mempunyai sebuah hikmah yang luar biasa, walaupun kita tidak tahu akan hal tersebut. Dan dari sisi lain, ketika ia memperhatikan anggota-anggota tubuhnya, ia akan menemukan tujuan dan filsafat dari setiap bagiannya. Bukan hanya pada anggota-anggota badan, seperti jantung, otak, pembuluh darah, dan urat saraf saja, bahkan anggota-anggota badan lainnya, seperti kuku, bulu mata, garis-garis sidik jari, lekukan telapak tangan dan kaki, masing-masing mempunyai filsafat yang saat ini telah diketahui oleh setiap orang.
Betapa konyol jika kita meyakini kebertujuan semua anggota itu, tetapi keberadaan alam semesta (sebagai sebuah kesatuan) tidak mempunyai tujuan?
Betapa bodoh jika kita meyakini bahwa setiap bangunan di sebuah kota mempunyai tujuan dan filsafat, akan tetapi bangunan-bangunan itu (secara keseluruhan) tidak tidak memiliki tujuan sama sekali?
Apakah mungkin seorang insinyur membangun sebuah bangunan besar yang seluruh ruangan, koridor, pintu, jendela, kolam, dekor, dan lain sebagainya, masing-masing dirancangnya dengan maksud dan tujuan tertentu, tetapi seluruh bangunan itu (sebagai sebuah kesatuan) tidak mempunyai tujuan sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memberikan kepercayaan kepada seorang manusia mukmin bahwa penciptaan dirinya mempunyai tujuan yang sangat agung, yang untuk memahami hal tersebut, ia harus berusaha dan memanfaatkan kekuatan ilmu serta akal.
Ironisnya, para penganut Nihilisme; ketakbermaknaan penciptaan ini malah masuk ke dalam semua bidang ilmu-ilmu alam untuk menginterpretasikan beragam fenomena yang ada untuk mencari suatu tujuan, dan mereka tidak bisa duduk tenang kecuali telah mendapatkan apa yang mereka maksudkan. Bahkan, mereka pun tidak bersedia menerima kehadiran sebuah wujud berupa butiran begitu kecil yang berada dalam bagian badan manusia tanpa mempunyai sebuah aktifitas pun, dan mungkin saja mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun di dalam laboratorium penelitian untuk menemukan filsafat dari satu wujud ini. Akan tetapi, ketika sampai pada penciptaan manusia, mereka dengan tegas mengatakan bahwa penciptaannya tidak memiliki tujuan sama sekali.
Betapa sebuah kontroversial yang sangat menakjubkan!
Bagaimanapun, iman pada hikmah Allah swt. dari satu sisi, dan beragam filsafat yang terdapat pada setiap bagian dari wujud insan pada sisi lain akan membentuk diri kita menjadi seorang mukmin. Hal ini merupakan sebuah tujuan agung dari penciptaan manusia.
Saat ini kita harus mencoba mencari apa tujuan tersebut, dan sejauh kemampuan kita akan mencoba menyingkapnya dan setelah itu, kita akan berusaha melangkahkan kaki ke arahnya secara bertahap. Perhatian terhadap satu masalah prinsip akan mampu membentuk pelita yang menerangi jalan yang gelap ini.
Kita senantiasa mempunyai tujuan dalam setiap apa yang kita lakukan. Tujuan tersebut biasanya dalam rangka menutupi kekurangan dan kebutuhan yang kita miliki. Bahkan, apabila kita berkhidmat kepada orang lain atau menuntun tangan seseorang yang mengalami kesulitan dan memberikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya, atau bahkan dengan melakukan kesetiaan dan ketakwaan, semua ini pun merupakan sebuah cara untuk memenuhi kekurangan-kekurangan maknawi yang ada pada diri kita sehingga kebutuhan-kebutuhan suci kita akan menjadi tercukupi.
Dan karena kita sering membandingkan sifat dan perbuatan Ilahi dengan sifat dan perbuatan diri kita, mungkin saja akan memunculkan sebuah pertanyaan; adakah kekurangan yang dimiliki oleh Allah swt. sehingga menciptakan kita untuk menutupi kekurangan itu? Dan apabila di dalam salah satu ayat Al-Qur'an kita menemukan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk melakukan ibadah dan penghambaan, lalu apa perlunya Dia membutuhkan penghambaan dari kita?
Cara berpikir yang demikian ini muncul lantaran komparasi sifat Khaliq dengan makhluk, dan antara yang Wajib dengan yang mungkin.
Wujud kita adalah sebuah wujud yang terbatas, maka kita harus melakukan usaha untuk menutupi kekurangan yang ada dan semua amalan kita dalam rangka memenuhi kekurangan ini. Akan tetapi, pada sebuah wujud yang tanpa batas, penjelasan ini tidaklah bisa diterima. Kita harus mencari tujuan perbuatan-Nya dari selain wujud-Nya.
Ia adalah Sang Awal dan Sumber kenikmatan. Segenap makhluk berada dalam genggaman kepedulian, perhatian dan pemeliharaan-Nya. Dia membawa mereka dari kekurangan kepada kesempurnaan. Inilah tujuan hakiki dari penghambaan ('ubûdiyah) kita, dan inilah filsafat dari ibadah dan doa kita; dimana semua itu merupakan rangkaian pendidikan bagi kesempurnaan kita.
Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk kesempurnaan wujud kita.
Pada prinsipnya, penciptaan merupakan satu langkah menuju kesempurnaan yang sangat agung yang akan membuat ketiadaan menjadi sebuah wujud; dari tidak ada menjadi ada, dan dari nol menuju angka.
Dan setelah tuntasnya proses kesempurnaan yang agung ini, tahapan kesempurnaan yang lain akan dimulai dan seluruh program agama dan Ilahi akan berada dalam rute ini.

86. Mengapa Allah tidak Menciptakan Manusia secara sempurna dari Sejak Awal Penciptaannya?
Dasar pertanyaan muncul dari kelalaian terhadap satu hal, yaitu bahwa asas utama kesempurnaan (takamul) adalah kesempurnaan yang dicapai secara ikhtiyârî. Dengan kata lain, manusia melakukan perjalanannya berdasarkan kehendak, dan keputusannya sendiri. Apabila ia berjalan dengan dituntun atau ditarik paksa, ini bukan merupakan sebuah kebanggaan, bukan pula sebuah kesempurnaan. Apabila manusia menginfakkan satu rupiah dari kekayaannya dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri, maka ia telah melangkahkan kakinya ke arah kesempurnaan hakiki. Sementara, apabila orang lain telah dipaksa mengeluarkan berjuta-juta dari kekayaannya untuk diinfakkan, ia tidak akan mengalami kemajuan dalam proses kesempurnaannya, hatta satu langkah sekali pun.
Oleh karena itu, berbagai ayat di dalam Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa apabila Allah swt. menghendaki keseluruhan manusia untuk beriman secara terpaksa, iman demikian ini tidak akan pernah membawa berguna bagi mereka.
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang berada di muka bumi ini akan beriman seluruhnya ...."

87. Apakah Tujuan dari Kesempurnaan Manusia?
Sebagian mengatakan bahwa tujuan penciptaan adalah untuk kesempurnaan manusia. Akan tetapi, apa tujuan dari kesempurnaan ini?
Secara ringkas, jawaban atas pertanyaan ini ialah bahwa kesempurnaan merupakan tujuan akhir, atau dengan ibarat lain, kesempurnaan merupakan tujuan dari segala tujuan.


Penjelasan
Apabla kita bertanya dari seorang pelajar, "Untuk apa kamu belajar?", pasti ia akan segera menjawab, "Karena aku ingin melanjutkan pelajaranku sampai ke perguruan tinggi." Selanjutnya, apabila kita bertanya, "Untuk apa belajar di perguruan tinggi?", ia akan menjawab, "Karena (misalnya) aku ingin menjadi seorang dokter, atau insinyur yang andal." Ketika kita bertanya lagi, "Untuk apa kamu menginginkan gelar dokter atau insinyur tersebut?" Ia akan menjawab, "Supaya aku bisa melakukan aktifitas-aktvitas yang positif dan memperoleh income yang bagus", Lalu, "Untuk apa kamu menginginkan income yang bagus itu?" Jawabannya adalah, "Untuk mendapatkan kehidupan yang senang dan terhormat."
Akhirnya, jika kita bertanya, "Lalu, untuk apa kamu menginginkan kehidupan yang senang dan terhormat tersebut?" Di sini, kita akan melihat bahwa nada suaranya akan menjadi berubah dan menjawab, "Ya ... untuk kehidupan yang senang dan terhormat itu tadi." Tampak bagaimana ia mengulangi apa yang telah dikatakan sebelumnya.
Ini adalah dalil bahwa ia telah sampai pada jawaban terakhir. Dengan ungkapan lain, ia telah sampai pada sebuah aktifitas di mana ia tidak akan menemukan jawaban lain selain hal tersebut dan membentuk sebuah tujuan terakhir. Semua ini berkenaan dengan kehidupan materi.
Dalam kehidupan maknawi pun masalah akan muncul sebagaimana di atas. Ketika ditanyakan; untuk apakah kehadiran para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, dan kewajiban serta rangkaian pendidikan ini, kita akan mengatakan; untuk kesempurnaan manusia dan taqarrub kepada Allah swt.
Dan apabila ditanyakan; untuk apakah kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah swt. itu?, kembali kita akan mengatakan; ya, untuk kedekatan kepada Allah swt. itu sendiri. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa tujuan ini merupakan tujuan akhir dari kesempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, kita menginginkan segala sesuatu yang ada untuk kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah swt. Akan tetapi, kedekatan kepada Allah swt. adalah tujuan itu sendiri.

88. Mengapa Allah swt. Menguji Manusia?
Terdapat banyak pembahasan tentang masalah ujian Ilahi ini. Pertanyaan pertama yang akan muncul di dalam pikiran adalah bukankah ujian adalah agar kita mengenal seseorang atau segala sesuatu yang kabur dan mengurangi tingkat kebodohan kita? Jika demikian adanya, lalu mengapa Allah swt. -yang ilmu-Nya telah meliputi segala sesuatu, mengetahui semua rahasia lahir dan batin, mengetahui langit dan bumi dengan ilmu-Nya yang tak terbatas- masih merasa perlu untuk menguji manusia? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya sehingga untuk mengetahuinya Dia harus memberikan ujian kepada manusia?
Jawaban atas pertanyaan penting ini (dapat dipecahkan) dengan merenungkan realita bahwa ujian dan cobaan yang diberikan oleh Allah swt. sangatlah berbeda dengan ujian-ujian yang ada pada kita. Ujian-ujian yang ada pada kita adalah -seperti yang telah dijelaskan di atas- untuk mengenal lebih banyak dan menyingkapkan kejahilan. Akan tetapi, ujian Ilahi pada dasarnya bertujuan untuk pendidikan.


Penjelasan
Di dalam Al-Qur'an, terdapat lebih dari dua puluh macam ujian yang telah dinisbahkan kepada Allah swt. Ini merupakan satu hukum universal dan sunah yang abadi dari Allah swt. Dia menguji manusia dengan tujuan membuat bakat-bakat yang tersimpan nampak (dan mengubah sesuatu dari wujud potensi [quwwah] menjadi aktual [fi'liyah]) dan -pada akhirnya- untuk mendidik para hamba. Sebagaimana baja harus dimasukkan ke dalam tungku pembakaran terlebih dahulu untuk menghasilkan baja yang berkualitas tinggi, demikian juga halnya dengan manusia pun harus ditempa dan dididik terlebih dahulu dengan musibah-musibah yang berat dan kesulitan yang beragam untuk menjadi insan berkualitas baja dan tahan tempa.
Pada hakikatnya, ujian dari Allah swt. ini mirip dengan pekerjaan seorang tukang kebun yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam menebarkan biji-biji yang berpotensi di atas tanah-tanah yang telah siap. Biji-biji ini akan memulai perkembangan dan pertumbuhannya dengan memanfaatkan sumber-sumber alami, dan secara bertahap, ia akan bertahan melawan kesulitan dan perubahan yang ada di sekitarnya, berdiri tegak ketika berhadapan dengan topan besar, dingin yang mematikan dan panas yang membakar sehingga ia melahirkan bunga-bunga yang cantik, atau berubah menjadi pokok pohon yang rimbun dengan buah yang merumpun yang akan bisa membawanya untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dalam menghadapi segala kesulitan.
Untuk menghasilkan seorang serdadu yang kuat dan kokoh di medan perang, para tentara dan serdadu harus dibawa ke medan-medan perang buatan, dan meninggalkan mereka di dalam keadaan yang sulit, seperti kehausan, kelaparan, dingin, panas dan kondisi-kondisi kritis, sehingga mereka menjadi serdadu yang kuat dan matang. Inilah yang dinamakan dengan rahasia dari ujian Ilahi.
Di tempat lain, Al-Qur'an menjelaskan hakikat ini: "... dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada di dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang berada di dalam hatimu." (QS. Ali 'Imran [3]: 154)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. memberikan penjelasan yang penuh makna tentang filsafat ujian Ilahi ini dalam ungkapannya: "Dan meskipun Allah lebih mengetahui keadaan spiritual para hamba-Nya daripada mereka sendiri, akan tetapi Dia tetap memberikan ujian kepada mereka untuk menampakkan perbuatan-perrbuatan baik dari perbuatan yang buruk dan sebaliknya, dan ini merupakan tolok ukur perolehan pahala atau siksa."
Yaitu, karakter yang berada dalam diri insan tidak bisa secara sendiri dijadikan sebagai olok ukur untuk mendapatkan pahala atau siksa. Karakter ini hanya akan bisa dijadikan tolok ukur untuk pahala atau siksa ketika telah diimplementasikan ke dalam perbuatan manusia. Allah swt. memberi cobaan kepada para hamba-Nya supaya mereka memanifestasikan bakat dan potensi terpendam mereka dalam bentuk perbuatan, dan mengembangkannya menjadi aktual, sehingga bisa ditentukan apakah mereka berhak untuk mendapatkan pahala ataukah siksa.
Apabila tidak ada ujian dari Allah swt., potensi ini tidak akan pernah aktual, dan wujud sebuah pohon yang berbentuk seorang manusia tidak akan pernah membuahkan perbuatan yang nyata. Inilah filsafat cobaan Ilahi dalam logika Islam.

89. Siapakah yang Dimaksud dengan Setan di dalam Al-Qur'an?
Kata "setan" diambil dari akar kata "syathana", dan "syâthin" mempunyai makna "yang buruk". Dan "syaithân" adalah suatu wujud pembangkang dan penentang, baik dari golongan manusia, jin, atau makhluk-makhluk yang lain. "Syaithân" juga mempunyai makna lain, yaitu ruh jahat yang jauh dari hak dan kebenaran. Pada hakikatnya, semua arti ini kembali kepada satu arti yang sama.
Harus kita camkan bahwa setan adalah sebuah nama umum (genus), sementara "iblis" adalah nama khusus ('alam). Dengan kata lain, "setan" dapat diatributkan kepada setiap wujud yang berbahaya, menyesatkan, pembangkang, arogan, dan penentang, baik dalam bentuk manusia maupun selain manusia. Dan "iblis" merupakan nama dari setan yang senantiasa menciptakan tipuan daya kepada manusia, dan sekarang ia pun selalu menunggu kesempatan dengan seluruh bala tentaranya untuk menyerang benteng pertahanan manusia.
Dari penggunaan kata "syaithân" di dalam Al-Qur'an dapat dipahami bahwa setan adalah sebuah wujud pengganggu dan berbahaya, wujud yang telah terusir dari jalan yang benar dan senantiasa sibuk mengganggu yang lainnya, wujud yang selalu memunculkan perpecahan dan kerusakan. Kita membaca dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara Kamu ...." (QS. Al-Ma'idah [5]: 91)
Dengan memperhatikan bahwa kalimat "yurîdu" merupakan fi'il mudhâri' (kata kerja masa datang) dan menunjukkan kontinuitas sebuah pekerjaan, maka kalimat di atas menunjukkan bahwa kehendak ini merupakan kehendak yang "senantiasa" yang dimiliki oleh setan.
Dan di sisi lain, di dalam Al-Qur'an kita melihat bahwa "setan" tidak meberarti sebuah makhluk yang khusus, tetapi "setan" ditujukan pula kepada manusia-manusia yang jahat dan merusak. Al-Qur'an berfirman, "Dan demikianlah, Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan [dari jenis] manusia dan [dari jenis] jin." (QS. Al-An'am [6]: 112)
Dan "iblis" juga disebut sebagai "setan", karena kerusakan dan kejahatan yang terpatri di dalam wujudnya.
Selain dari apa yang telah dijelaskan di atas, terkadang "setan" digunakan untuk arti kuman dan bakteri. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis berkata, "Janganlah kamu meminum air dari bagian gelas yang telah pecah atau pada bagian pegangannya, karena setan duduk di pegangan gelas dan permukaan bagian yang pecah itu."
Demikian juga dalam sebuah hadis Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Janganlah meminum air dari pegangan tangan gelas dan bagian belangan yang pecah, karena tempat tersebut merupakan tempat minumnya para setan."
Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu memanjangkan kumis, karena setan menganggapnya sebagai tempat yang aman untuk tempat tinggalnya, dan ia akan bersembunyi di sana."
Dengan demikian, jelaslah bahwa salah satu makna "setan" adalah kuman yang membawa pengaruh negatif dan berbahaya.
Jelas bahwa maksud semua itu tidak berarti bahwa "setan" pada semua tempat mempunyai makna ini, akan tetapi mempunyai berbagai makna, yang salah satu bentuk nyatanya adalah iblis dan laskar serta keturunannya. Bentuk lain setan adalah manusia-manusia yang merusak dan menyesatkan, dan -tentu saja- bentuk lainnya lagi adalah kuman dan bakteri yang berbahaya. (Perhatikan hal ini dengan seksama).

90. Apakah Hakikat Jin itu?
Secara leksikal, jin adalah makhluk yang tidak tampak yang kriterianya banyak tercantum di dalam Al-Qur'an, di antaranya:
1. Sebuah makhluk yang tercipta dari kobaran api, berbeda dengan manusia yang diciptakan dari tanah.
Dan Ia menciptakan jin dari kobaran api. (QS. Ar-Rahman [55]: 15
2. Makhluk ini mempunyai ilmu, daya maham, dan kemampuan untuk menentukan yang hak dan yang batil, serta dapat berargumentasi. (Hal ini terdapat dalam berbagai ayat dari surat Al-Jin).
3. Mempunyai taklif (kewajiban) dan tanggung jawab. (Silahkan rujuk ayat-ayat dari surat Al-Jin dan Ar-Rahman).
4. Sekelompok dari mereka adalah mukmin yang salih, dan sekelompok yang lain adalah kafir.
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang salih, dan di antara kami ada pula yang tidak demikian. (QS. Al-Jin [72]: 11)
5. Mereka mempunyai Hari Mahsyar, Kebangkitan dan Hari Akhir.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahannam. (QS. Al-Jin [72]: 15)
6. Mereka sebelumnya mempunyai kekuatan untuk menembus langit, mendapatkan khabar, dan mencuri pendengaran yang kemudian dilarang oleh Allah swt.
Dan sesungguhnya kami dahulu bisa menduduiki tempat di langit itu untuk mendengarkan [berita-beritanya]. Akan tetapi, sekarang, barangsiapa [mencoba] untuk mendengarkan [seperti itu] tentu akan menjumpai panah api yang mengintai [untuk membakarnya]. (QS. Al-Jin [72]: 9)
7. Mereka melakukan interaksi dan komunikasi dengan sebagian manusia dan dengan pengetahuannya yang terbatas tentang rahasia Hari Akhir, mereka berusaha menyesatkan manusia.
Dan bahwasanya ada beberapa orang lelaki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa lelaki dari golongan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. Al-Jin [72]: 6)
8. Di antara mereka ditemukan individu-individu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa, sebagaimana hal ini juga sering didapatkan di dalam dunia manusia.
Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya [dan aku] dapat dipercaya. (QS. An-Naml [27]: 39)
9. Mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi kebutuhan manusia.
... dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya [baca: di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman a.s.] dengan izin Tuhannya. ... Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang [besarnya] seperti kolam, serta periuk yang tetap [berada di atas tungku] .... (QS. Saba' [34]: 12-13)
10. Penciptaan mereka di atas bumi lebih awal daripada penciptaan manusia.
Dan Kami menciptakan jin sebelum [Adam] dari api yang sangat panas. (QS. Al-Hijr [15]: 27)
Selain itu, dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur'an bisa dipahami dengan baik bahwa -berbeda dengan apa yang masyhur di kalangan awam bahwa mereka (jin) adalah lebih baik dan unggul di atas kita- manusia adalah sebuah makhuk yang lebih baik dari mereka. Ini didukung oleh realita bahwa seluruh nabi Allah diangkat dari kalangan para manusia, dan jin hanya beriman dan mengikuti Rasulullah saw. yang berasal dari kalangan manusia.
Pada prinsipnya, diwajibkannya setan-yang berdasarkan penjelasan Al-Qur'an adalah dari kalangan para pembesar jin untuk sujud di hadapan Adam pada hari itu- menunjukkan keutamaan jenis manusia atas jin. Al-Qur'an dalam salah satu ayatnya berfirman, "Dan [ingatlah] ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu sekalian kepada Adam.' Maka, sujudlah mereka kecuali iblis, dan ia adalah dari golongan jin ...." (QS. Al-Kahfi [18]: 50)
Semua penjelasan yang telah kami utarakan di atas adalah pembahasan mengenai makhluk yang tidak bisa diraba ini dari pandangan Al-Qur'an, yang semua pembahasannya tidak tercemari oleh khurafat dan statemen-statemen non-ilmiah. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa masyarakat awam yang kurang informasi mengenai hal ini menciptakan khurafat yang begitu banyak tentang makhluk ini yang sama sekali tidak sesuai dengan rasio kita. Atas dasar ini, banyak sekali realita yang penuh khurafat dan tidak logis senantiasa dinisbahkan kepada jin. Ketika jin dibicarakan, sejumlah khurafat akan tampak pula di dalamnya. Di antaranya, mereka mengaggapnya sebagai makhluk yang mempunyai bentuk serbaaneh, mengerikan, beracun ekornya, berbahaya dan senantiasa mengganggu, menimbulkan permusuhan dan kedengkian, melakukan perbuatan yang sangat jelek, sehingga mungkin saja mereka akan membakar sebuah rumah dengan menuangkan sepanci air panas di tempat yang kosong, dan penisbahan-penisbahan lainnya.
Sementara, apabila topik jin ini dipisahkan dari khurafat-khurafat yang ada, hasil-hasil dari pembahasan ini akan betul-betul bisa diterima. Karena, tidak ada sedikit pun dalil atas keterbatasan makhluk-makhluk hidup hanya pada makhluk yang bisa kita lihat. Bahkan, para ulama dan ilmuwan ilmu alam mengatakan, "Makhluk yang bisa diketahui oleh panca indera manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang tidak bisa diketahui oleh panca indera, tidaklah seberapa."
Pada kurun terakhir, yaitu sebelum para ilmuwan mampu menemukan adanya makhuk-makhluk hidup yang bisa dilihat dengan mikroskop, tak seorang pun yang percaya bahwa di dalam setetes air atau setetes darah ternyata terdapat beribu-ribu makhluk hidup yang manusia tidak mampu melihatnya.
Demikian juga para ilmuwan mengatakan, "Mata kita hanya melihat warna-warna yang terbatas, telinga kita hanya mampu mendengar gelombang suara yang terbatas pula. Sementara, warna dan suara yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan panca indera manusia sebenarnya lebih banyak dan lebih berfariasi dari apa yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia."
Kalau saja keadaan dunia ini seperti itu, lalu msaihkah kita menganggap aneh bahwa di alam ini terdapat pula makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa kita raba dengan panca indera kita, dan mengapa kita tidak mau menerima seorang pemberi informasi yang jujur dan benar seperti Rasulullah saw.?
Walhasil, di satu sisi, Al-Qur'an; kalam yang selalu berfirman jujur ini, telah memberikan informasi tentang adanya jin ini dengan keunikan-keunikan sebagaimana tersebut sebelumnya, dan di sisi yang lain, tidak ada satu pun dalil yang logis untuk menafikan hal tersebut. Oleh karena itu, hal ini haruslah diterima dan hendaklah menghindarkan diri dari segala apologi yang salah dan tidak pada tempatnya sebagaimana hendaklah menghindari khurafat-khurafat yang dilontarkan oleh masyarakat awam berkaitan dengan masalah ini.
Satu hal penting yang perlu mendapatkan perhatian pula adalah, bahwa jin terkadang mengindikasikan satu arti yang lebih luas; yang meliputi pula makhluk-makhluk hidup yang tidak bisa dilihat, yaitu mereka yang mempunyai kemampuan rasionalitas dan pemahaman maupun mereka yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Bahkan, sekelompok hewan yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan biasanya bersembunyi di lubang-lubang termasuk pula ke dalam arti ini.
Bukti atas pernyataan di atas adalah sebuah hadis Rasulullah saw. yang bersabda, "Allah menciptakan jin dalam lima spesis: pertama, spesis seperti angin dan udara (yang tidak bisa diraba), kedua, spesis dengan bentuk ular-ular, ketiga, spesis dengan bentuk kala jengking, keempat, spesis dengan bentuk serangga-serangga bawah tanah, dan kelima, spesis yang mempunyai kedudukan sebagaimana manusia, yang pada kelompok ini terdapat pula hisab dan balasan."
Dengan memperhatikan riwayat ini dan arti yang begitu luas tentang jin, banyak perkara yang telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat dan cerita-cerita berkaitan dengan jin akan menjadi terpecahkan.
Misalnya dalam sebagian riwayat, Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, "Janganlah meminum air dari bagian gelas yang pecah atau dari bagian pegangannya, karena setan duduk pada bagian pegangan dan pada permukaan bagian yang pecah tersebut."
Dengan memperhatikan bahwa setan adalah jin dan bagian gelas yang pecah serta pegangannya merupakan tempat berkumpulnya kuman dan bakteri, maka sangat tidak mungkin bila jin dan setan dalam arti umumnya meliputi pula makhluk-makhluk semacam ini, walaupun mempunyai makna yang khusus. Yaitu, sebuah makhluk yang mempunyai pemahaman, inteligensia, tanggung jawab, dan kewajiban. Dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini sangatlah banyak.

16
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

91. Apakah Hakikat Malaikat itu?
Di dalam Al-Qur'an sangat banyak ayat yang menjelaskan keberadaan malaikat. Ayat-ayat itu menjelaskan sifat-sifat, kriteria, tugas, dan kewajiban para malaikat. Bahkan, Al-Qur'an meletakkan iman kepada malaikat ke dalam jajaran iman kepada Allah swt., iman kepada para nabi dan kitab-kitab langit, dan ini merupakan dalil atas pentingnya permasalahan ini.
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang telah diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]: 285)
Tak syak lagi bahwa wujud malaikat merupakan sebuah wujud gaib yang -untuk membuktikannya berikut sifat-sifat dan kriteria-kriterianya itu- tidak ada jalan lain kecuali dalil-dalil tekstual. San sebagai konsekuensi keimanan pada hal-hal gaib, kita harus menerima keberadaan mereka.
Al-Qur'an menyebutkan kriteria-kriteria mereka di dalam ayat-ayatnya, antara lain:
1. Para malaikat adalah makhluk yang berakal, mempunyai inteligensi, dan hamba-hamba Allah yang dimuliakan.
... sebenarnya [malaikat-malaikat itu] adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (QS. Al-Anbiya' [21]: 26)
2. Mereka sangat menaati perintah-perintah Tuhan, dan sama sekali tidak pernah melakukan maksiat.
Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. (QS. Al-Anbiya' [21]: 27)
3. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang begitu penting dan beragam dari sisi Allah swt.
a. Sebagian mereka adalah penyangga 'Arsy Ilahi.
"... dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas [kepala-kepala] mereka. (QS. Al-Haqqah [69]: 17)
b. Sebagian mereka adalah penanggung jawab perintah Ilahi.
"Dan [malaikat-malaikat] yang mengatur urusan [dunia]. (QS. An-Nazi'at [79]: 5)
c. Sebagian malaikat bertugas untuk mengambil nyawa.
... hingga bila datang kepada mereka utusan-utusan Kami [malaikat] untuk mengambil nyawanya .... (QS. Al-A'raf [7]: 37)
d. Dan sebagian yang lain mengawasi perbuatan-perbuatan manusia.
Padahal sesungguhnya bagi kamu sekalian ada [malaikat-malaikat] yang mengawasi [pekerjaan]mu-yang mulia [di sisi Allah swt.] dan yang mencatat [pekerjaan-pekerjaan itu]-mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Infithar [82]: 10-12)
e. Sebagian malaikat bertugas untuk menjaga manusia dari bahaya-bahaya dan kecelakaan.
... dan diutus-Nya kepada kamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antaramu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak akan pernah melalaikan kewajibannya. (QS. Al-An'am [6]: 61)
f. Sebagian lainnya bertugas untuk memberi azab dan siksa kepada kaum yang membangkang.
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami [para malaikat] itu kepada Luth, ia merasa susah dan sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata, "Ini adalah hari yang amat sulit". (QS. Hud [11]: 77)
g. Tterdapat pula sekelompok malaikat yang melalui mereka Allah swt. menolong kaum mukmin dalam peperangan.
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah [yang telah dikaruniakan] kepadamu ketika telah datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan angin topan dan tentara yang tidak bisa kamu lihat .... (QS. Al-Ahzab [33]: 9)
h. Dan akhirnya, ada sekelompok malaikat yang menyampaikan wahyu dan pembawa kitab-kitab langit untuk para nabi.
Ia menurunkan malaikat dengan [membawa] wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa pun yang Ia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya .... (QS. An-Nahl [16]: ayat 2)
Demikianlah, apabila kita ingin menghitung kewajiban-kewajiban para malaikat ini satu demi satu, maka hal ini akan sangat menyita waktu.
4. Mereka senantiasa sibuk bertasbih kepada Allah swt., sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat, "... dan para malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang berada di bumi ...." (QS. Asy-Syura [42]: 5)
5. Dengan kedudukan mulia malaikuat yang demikian itu, manusia masih mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari dikarenakan potensi kesempurnaan yang dimilikinya, sehingga karena hal ini, semua malaikat tanpa terkecuali bersujud setelah selesainya penciptaan Adam, dan mereka menganggap Adam sebagai guru mereka.
6. Mereka kadang-kadang mengubah dirinya dalam bentuk manusia, dan menampakkan dirinya di hadapan para nabi atau bahkan selain nabi, sebagaimana dalam surat Maryam; dimana kita membaca bahwa seorang malaikat mulia Ilahi telah mengubah dirinya di hadapan Maryam dalam bentuk manusia.
.... lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya [Maryam], maka ia menjelma di hadapannya [dalam bentuk] manusia yang sempurna. (QS. Maryam [19]: 17)
Di tempat yang lain, malaikat menampakkan diri dalam bentuk manusia di hadapan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Luth a.s.
Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami [malaikat-malaikat] telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan, "Selamat." Ibrahim menjawab, "Selamatlah." Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, "Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah [malaikat-malaikat] yang diutus kepada kaum Luth. (QS. Hud [11]: 69-70)
Demikian juga dalam surat yang sama, ayat 77, Dia berfirman, "Dan tatkala datang- utusan-utusan Kami [para malaikat] itu kepada Luth, ia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata, 'Ini adalah hari yang amat sulit.'" (QS. Hud [11]: 77)
Bahkan dari kelanjutan ayat ini bisa dipahami bahwa kaum Luth pun melihat mereka dalam bentuknya sebagai manusia.
Dan datanglah kepadanya kaumnya [Luth] dengan tergesa-gesa .... (QS. Hud [11]: 78)
Apakah kemunculan mereka dalam bentuk manusia merupakan realitas yang obyektif? Ataukah hanya dalam bentuk permisalan dan semacam pengelabuan terhadap pengindaraan manusia? Secara dzahir, ayat-ayat Al-Qur'an menunjukkan asumsi pertama, walaupun sebagian mufassir besar memilih asumsi kedua.
7. Dari riwayat-riwayat bisa diketahui bahwa jumlah mereka sangatlah banyak, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan jumlah manusia. Dalam sebuah hadis, ketika Imam Ash-Shadiq a.s. ditanya; apakah jumlah malaikat lebih banyak ataukah jumlah manusia yang lebih banyak, beliau berkata: "Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya! Jumlah malaikat Allah di langit lebih banyak dari jumlah butiran-butiran tanah yang ada di bumi. Di langit, tidak ada tempat jejakan kaki kecuali di sana terdapat seorang malaikat yang senantiasa memuji dan menyucikan Allah swt."
8. Mereka tidak makan dan tidak minum. Begitu juga mereka tidak menikah. Dalam sebuah hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s., "Para malaikat tidak makan, tidak pula minum. Mereka pun tidak menikah. Mereka hidup dengan angin lembut 'Arsy Ilahi."
9. Mereka tidak mengantuk, tidak lelah, dan tidak lupa, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis, "Tidak ada kelelahan dan kelalaian di dalam diri mereka, serta tidak pula ada penentangan ... Rasa kantuk tidak pernah terlihat pada wajah-wajah mereka, dan akal mereka tidak akan pernah berada dalam kekuasaan hawa nafsu dan kelalaian. Badan mereka tidak pernah diselimuti oleh rasa lelah, dan mereka pun tidak pernah berada dalam sulbi seorang ayah dan rahim seorang ibu."
10. Mereka mempunyai derajat yang berbeda-beda. Sebagian mereka senantiasa berada dalam keadaan ruku', dan sebagian yang lain senantiasa berada dalam keadaan sujud.
Tiada seorang pun di antara kami [malaikat] melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, dan sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf [dalam menunaikan ibadah Allah] dan kami benar-benar bertasbih. (QS. Ash-Saffat [37]: 164-166)
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Allah swt. mempunyai malaikat-malaikat yang hingga Hari Kiamat senantiasa berada dalam keadaan ruku', dan malaikat-malaikat yang hingga Hari Kiamat senantiasa berada dalam keadaan sujud."
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih banyak tentang sifat-sifat para malaikat ini, Anda bisa merujuk ke kitab As-Samâ' wa Al-'?lam, Bihâr Al-Anwâr, Bab-bab Malaikat, jilid 59, hal. 144-326. Demikian juga, Nahjul Balaghah, khutbah-khutbah no. 1, 91, 109, 171, dan khutbah Al-Asybâh.
Dengan memperhatikan sifat-sifat malaikat yang telah disebutkan di atas, lalu apakah mereka itu makhluk yang abstrak ataukah materi kongkret?
Tentu bahwa berdasarkan sifat-sifat ini, malaikat tidak mungkin berupa unsur dari substansi yang kotor. Akan tetapi, tidak mustahil apabila mereka tercipta dari jasmani yang lembut, jasmani yang berada di atas substansi yang biasa kita kenal.
Pembuktian keabstrakan mutlak para malaikat bukanlah merupakan sebuah pekerjaan yang mudah hatta dari sisi zaman, tempat, dan bagian-bagiannya. Dan penelitian dalam masalah ini pun tidak begitu bermanfaat. Yang penting adalah, bahwa kita mengenal para malaikat dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan riwayat-riwayat. Dan kita mengetahui mereka sebagai spesis agung dari makhluk-makhluk tinggi dan pilihan Allah swt. Kita tidak menisbahkan kepada mereka selain kedudukan sebagai hamba, tidak pula menganggap mereka sebagai sekutu Allah swt. dalam penciptaan atau ibadah, karena yang demikian ini adalah syirik yang jelas.
Pada topik ini, kami mencukupkan pembahasan hanya sampai di sini, dan untuk perincian yang lebih mendalam, kami akan merujukkannya kepada kitab-kitab yang mengkhususkan pembahasan tentang malaikat.
Dalam banyak ibarat yang tercantum pada kitab Taurat tentang malaikat, terdapat ungkapan "tuhan-tuhan" yang tentu saja merupakan ungkapan yang bercampur dengan syirik, dan itu merupakan sebagian tanda dari perubahan Taurat saat ini. Akan tetapi, Al-Qur'an bersih dari ungkapan semacam ini. Karena, menurut Al-Qur'an, tidak ada kedudukan lain bagi para malaikat ini selain kedudukan penghambaan dan ibadah, serta sebagai pengemban perintah-perintah Ilahi. Bahkan dalam berbagai ayat ditegaskan bahwa kedudukan insan kamil (manusia sempurna) adalah lebih tinggi dan mulia dari kedudukan para malaikat.

92. Apakah Hakikat Tawakal dan apa Falsafahnya?
Pada dasarnya, tawakal berasal dari akar kata "wakalah" yang berarti memilih wakil. Dan kita mengetahui bahwa kredibilitas seorang wakil yang baik bisa dilihat -paling tidak- dari empat sifat, yaitu pengetahuan yang cukup, terpercaya, mempunyai kemampuan, dan penuh perhatian.
Jelas bahwa memilih seorang wakil untuk sebuah pekerjaan dilakukan ketika seseorang tidak mempunyai kemampuan lagi untuk bertahan sendirian. Pada saat inilah ia bisa mengunakan kekuatan orang lain untuk membantunya dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
Oleh karena itu, tawakal kepada Alah swt. tidak mempunyai arti lain kecuali bahwa manusia menjadikan Allah sebagai wakilnya dalam menghadapi persoalan, musibah-musibah kehidupan, musuh, para penentang, dan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Dan ketika seseorang -biasanya- telah sampai pada jalan buntu dalam upaya mencapai tujuan dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan dan memecahkan persoalannya, ia akan menyandarkan diri kepada-Nya dengan tanpa menghentikan upayanya. Bahkan, tatkala ia sendiri mempuyai kemampuan untuk melakukan pekerjaannya, ia tetap menganggap bahwa faktor utama semua itu hanyalah Allah swt., karena menurut pandangan seorang mukmin, sumber segenap kekuatan adalah Allah swt.
Kebalikan dari tawakal kepada Allah adalah menyandarkan diri kepada selain-Nya. Yaitu, hidup secara bergantung (seperti sebuah parasit); menggantungkan diri pada orang lain, dan tidak mempunyai kemandirian. Para ulama akhlak berkata, "Tawakal merupakan sikap yang dihasilan secar langsung dari tauhid Fi'liyah Allah swt., karena -sebagaimana yang telah kami jelaskan- dilihat dari visi seorang mukmin, setiap gerak, usaha dan fenomena yang ada di dunia ini -pada akhirnya- mempunyai keterkaitan dengan penyebab pertama dunia ini, yaitu Allah. Oleh karena itu, manusia mukmin akan menganggap bahwa seluruh kekuatan yang ada berasal dari-Nya.


Falsafah Tawakal
Dengan memperhatikan apa yang telah kami sebutkan di atas, maka kita akan bisa mengetahui bahwa:
Pertama, tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri kepada sebuah sumber kekuatan yang abdi, dapat meningkatkan ketahanan manusia dalam menghadapi persoalan dan kesulitan hidup. Dengan dalil ini, ketika muslimin yang tengah mengalami pukulan berat di medan perang Uhud, lalu mendengar berita bahwa para musuh yang telah meninggalkan medan perang akan kembali ke medan untuk melakukan pukulan akhir terhadap pasukan muslim, Al-Qur'an mengatakan bahwa orang-orang beriman pada saat-saat yang sangat genting dan berbahaya ini di mana bagian penting kekuatan juang mereka telah hilang, bukannya tidak hanya merasa takut, melainkan rasa tawakal kepada Allah swt. dan bersandar kepada kekuatan iman telah membuat pertahanan mereka bertambah sehingga para musuh yang hampir menang itu -begitu mendengar berita adanya persiapan ini- segera mengundurkan diri dari siasat tersebut.
[Yaitu] orang-orang [yang menaati Allah dan Rasul] yang masyarakat [sekitar] berkata kepada mereka, "Sesungguhnya mereka telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang Kamu. Oleh karena itu, takutlah pada mereka." Maka, perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali 'Imran [3]: 173)
Contoh dari ketangguhan di bawah naungan tawakal kepada-Nya banyak terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satunya adalah sebuah ayat dalam surat Ali 'Imran yang berfirman, "Ketika dua golongan dari Kamu ingin [mengundurkan diri] karena takut, padahal Allah adalah Penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal." (QS. Ali 'Imran [3]: 122)
Dalam salah satu ayat surat Ibrahim disebutkan, "Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Ia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang Kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang bertawakal akan berserah diri." (QS. Ibrahim [14]: 12)
Dan dalam salah satu ayat surat Ali 'Imran yang lain disebutkan, "... kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali 'Imran [3]: 159)
Bahkan, Al-Qur'an mengatakan ketika berhadapan dengan godaan setan, orang-orang yang akan mampu bertahan dan bisa keluar dari godaan setan ini hanyalah orang-orang yang beriman dan bertawakal. Ia berfirman, "Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya." (QS. an-Nahl [16]: 99)
Dari kumpulan ayat-ayat ini bisa diketahui bahwa maksud dari tawakal adalah hendaklah seseorang tidak merasa lemah dalam menghadapi beratnya persoalan kehidupan. Bahkan, dengan bersandar dan menggantungkan diri kepada kekuatan Allah yang tak terbatas, ia menyatakan dirinya selalu menang. Dengan demikian, tawakal merupakan sumber harapan yang akan memberikan kekuatan dan menjadi dasar ketahanan dan kekokohan seseorang.
Apabila arti tawakal diinterpretasikan dengan berdiam diri di sudut kamar dengan menengadahkan tangan, ini justru menghilangkan arti segala perjuangan dan jerih payah yang dilakukan oleh manusia.
Dan apabila terdapat sebagian kelompok yang mengatakan bahwa peduli terhadap alam materi dan faktor-faktor alam tidak ada relevansinya dengan tawakal, sebenarnya mereka berada dalam kesalahan yang sangat besar, karena memisahkan faktor-aktor alam dari kehendak Allah merupakan sebuah kesyirikan. Bukankah komponen-komponen alam apa pun berasal dari-Nya dan seluruhnya berada di bawah kehendak dan perintah-Nya?
Ya! Apabila kita menganggap faktor-faktor ini sebagai sebuah sistem yang independen dari kehendak dan iradah-Nya, jelas hal ini tidak sejalan dengan substansi tawakal. (Perhatikan baik-baik!).
Bagaimana mungkin interpretasi semacam ini dinisbahkan kepada tawakal, sedangkan Rasulullah saw. sendiri sebagai seorang figur yang berada di atas kaum mutawakilin, ketika ingin mencapai tujuannya, beliau tidak pernah lalai dari rencana dan siasat yang jitu, taktik yang cermat dan berbagai peralatan dan sarana perlengkapan eksternal. Semua ini membuktikan bahwa tawakal tidak mempunyai arti negatif sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
Kedua, bertawakal kepada Allah swt. dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk ketergantungan yang merupakan sumber kehinaan dan keterkungkungan, serta memberikan kebebasan dan kepercayaan diri kepadanya.
Tawakal dan qanâ'ah (mencukupkan diri dengan apa yang ada) keduanya mempunyai satu akar yang sama. Pada prinsipnya, filsafat dari keduanya mempunyai kemiripan apabila dilihat dari satu sisi. Dan pada saat yang sama, terdapat pula perbedaan di antara keduanya. Di sini, beberapa riwayat tentang masalah tawakal akan kami utarakan sebagai sebuah refleksi dari arti aslinya:
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, "Sesungguhnya qanâ'ah dan kehormatan diri selalu bergerak. Ketika ia menemukan tempat tawakal, maka di sanalah ia akan menetap."
Dalam hadis ini, tempat tinggal asli qana'ah dan kehormatan diri adalah tawakal.
Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, penyampai wahyu Allah, "Apakah tawakal itu?" Ia menjawab, "Tawakal adalah yakin pada realita bahwa makhluk bukanlah pembawa keuntungan, bukan pula pembawa kerugian, tidak memberi, tidak pula menghalangi, dan tidak menggantungkan harapan kepada makhluk apapun. Ketika seorang hamba telah yakin demikian, ia tidak melakukan pekerjaan kecuali untuk Allah, dan tidak mempunyai harapan kecuali dari-Nya. Inilah hakikat dari tawakal."
Seseorang bertanya kepada Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s., "Sebatas manakah tawakal itu?" Beliau menjawab, "Hendaknya engkau tidak takut kepada siapapun dengan bersandar kepada Allah swt."

93. Apakah Falsafah Doa?
Mereka yang tidak mengenal hakikat doa dan dampak edukatif dan sikologis yang dihasilkannya akan senantiasa melontarkan berbagai macam sanggahan terhadap masalah ini.
Terkadang mereka mengatakan bahwa doa merupakan faktor yang melumpuhkan manusia, karena tatkala mereka seharusnya melakukan usaha, memanfaatkan sains dan tekhnologi, serta mengisi kesuksesan yang dicapai, doa malah membuat orang menengadahkan tangan dan meninggalkan semua usahanya.
Terkadang pula mereka mengatakan, "Pada prinsipnya, apakah berdoa bukan berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan Allah? Padahal kita mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk dilakukan, maka Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang kepada kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu dari-Nya setiap saat?"
Di saat lain mereka mengatakan, "Selain dari semua yang telah tersebut di atas, bukankah doa justru bertentangan dengan keridhaan dan penyerahan diri pada kehendak Allah?"
Mereka yang melontarkan kritikan dan sanggahan semacam ini sebenarnya telah lalai dengan kenyataan sikologis, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek spiritual doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk meningkatkan kemauan dan menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan kehadiran sebuah tempat yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan menggantungkan kepercayaannya. Dan doalah yang akan menyalakan pelita harapan ini dalam dirinya.
Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah, pastilah akan berhadapan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi sosial.
Dan sebagaimana yang dilontarkan oleh salah satu psikolog terkenal, "Ketidaaan ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa sama artinya dengan kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah masyarakat yang telah membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak akan pernah terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan. Tentu saja, jangan kita lupakan bahwa beribadah hanya di pagi hari dan menjalani sisa waktu yang ada seperti seekor binatang liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya sedikitpun. Ibadah dan doa harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, pada setiap kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat sehingga manusia tidak akan kehilangan pengaruh kuat dari ibadah dan doa ini."
Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh doa, tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti kita menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa. Maksud dari doa adalah setelah melakukan segala usaha dalam mengunakan seluruh fasilitas yang ada, lalu ketika kita telah menemukan jalan buntu dan tangan kita tidak memiliki kemampuan lagi, barulah kita berdoa untuk menghidupkan semangat harapan dan gerak dalam diri kita dengan memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada Allah swt. Lalu kita memohon bantuan dari Sebab Utama Yang Tak Tebatas ini.
Oleh karena itu, doa dikhususkan pada persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah faktor yang menggantikan faktor-faktor natural.
"Selain akan memberikan ketenangan, doa juga akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak manusia, dan terkadang pula akan menggerakkan hakikat kepahlawanan dan keperkasaan. Doa akan menampakkan karakternya dengan indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri setiap orang. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan, kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan potensi hidayah. Demikian juga, ia menceritakan tentang bagaimana menyambut sebuah peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah harta karun yang tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah kekuatan ini, hatta orang-orang yang mempunyai keterbelakangan mental dan minim bakat sekalipun, akan mampu menggunakan kekuatan akal dan moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak darinya. Ironisnya, di dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang mengenal hakikat doa."
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula jawaban atas sanggahan yang mengatakan bahwa doa tidaklah sejalan dengan ridha (kerelaan) dan pasrah kepada kehendak Allah swt. Karena sebagaimana yang telah kami jelaskan, doa merupakan usaha untuk mencari kemampuan mendapatkan berkah yang lebih banyak dari-Nya.
Dengan kata lain, dengan perantara doa, manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk memahami berkah Allah swt. Jelas bahwa usaha untuk mencapai kesempurnaan yang lebih banyak adalah penyerahan diri pada hukum-hukum penciptaan itu sendiri, bukan malah menjadi satu hal yang bertentangan dengannya.
Selain itu semua, doa merupakan ibadah, kerendahan hati, dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan perhatian baru terhadap Dzat Allah. Sebagaimana seluruh ibadah mempunyai pengaruh yang mendidik, doa pun mempunyai pengaruh yang demikian pula.
Dan apabila dipertanyakan, "Doa berarti campur tangan di dalam pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun yang menurut-Nya bermaslahat", mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi akan berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara lebih banyak pula.
Oleh karena itu, kita melihat Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, "Di sisi Allah swt. terdapat sebuah kedudukan di mana seseorang tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa."
Salah seorang ilmuwan mengatakan, "Ketika kita melakukan doa, maka -sebenarnya- kita menciptakan hubungan dan interaksi dengan sebuah kekuatan tak terbatas tempat bergantungnya seluruh makhluk."
Ia melanjutkan, "Saat ini, di dalam psycomedis yang merupakan ilmu modern, segala sesuatu diajarkan sebagaimana para Nabi telah mengajarkannya. Mengapa? Karena di dalam psycomedis ini telah ditemukan bahwa doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang merupakan penyebab dari separuh kegundahan-kegundahan yang ada."

94. Mengapa Doa Kita Kadang-kadang tidak Dikabulkan?
Perhatian terhadap kualitas syarat-syarat terkabulnya doa merupakan petunjuk akan realitas lain dari persoalan keterkabulan sebuah doa, dan akan memperjelas dampak positifnya. Dalam literatur-literatur Islam, kita menemukan syarat-syarat terkabulnya sebuah doa, antara lain:
a. Sebelum segala sesuatu, hendaknya berusaha mencapai kesucian kalbu dan ruh, bertaubah dari dosa-dosa, membersihkan jiwa, dan menjalani kehidupan dengan mengambil ilham dari kehidupan para pemimpin Ilahi.
Imam Sh-Shadiq a.s. berkata, "Janganlah salah satu dari kamu meminta kepada Allah swt. kecuali mengucapkan pujian terhada-Nya terlebih dahulu dan menyampaikan shalawat atas Rasulullah saw. dan keturunan sucinya, kemudian mengakui segala dosa di hadapan-Nya (dan bertaubah), barulah setelah itu memanjatkan doa."
b. Hendaknya berusaha untuk menyucikan kehidupan dari kekayaan hasil rampasan (ghasab), kezaliman dan kekejian, dan menghindarkan diri dari makanan yang haram.
Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa menginginkan doanya terkabul, maka ia harus menyucikan makanan dan usahanya."
c. Hendaknya tidak melepaskan diri dari amar makruf dan nahi munkar, karena orang yang meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, doa-doanya tidak akan dikabulkan. Rasulullah saw. bersabda, "Lakukanlah amar makruf dan nahi munkar, karena kalau tidak, maka Allah swt. akan menempatkan keburukan-keburukan di atas kebaikan-kebaikan yang kamu miliki, dan tidak akan pernah mengabulkan doamu, betapapun kamu sering berdoa."
Pada hakikatnya, meninggalkan kewajiban besar (amar makruf dan nahi munkar) ini akan mewujudkan ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang dampaknya adalah tersedianya kesempatan bagi para pembuat kerusakan di dalam masyarakat, dan doa tidak akan mempunyai pengaruh lagi untuk menanggulangi dampak tersebut, karena keadaan ini merupakan akibat yang nyata dari perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri.
d. Hendaknya mengamalkan perjanjian Ilahi. Iman, amal salih, amanah dan kejujuran merupakan syarat lain dari terkabulnya doa, karena seseorang yang tidak setia terhadap janjinya sendiri di hadapan Allah swt., tidak selayaknya pula ia menunggu janji keterkabulan doa dari-Nya.
Seseorang datang kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. untuk mengadukan doanya yang tidak dikabulkan oleh Allah swt. Ia berkata, "Allah sendiri telah berfirman, 'Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya.' Lalu, mengapa Dia tidak mengabulkan doaku padahal aku telah berdoa kepada-Nya?"
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menjawab, "Hati dan pikiran kamu telah mengkhianati delapan hal, (Oleh karena itu, doa kamu tidak dikabulkan):
- Kamu telah mengenal siapa Allah itu, akan tetapi tidak memenuhi hak-Nya. Oleh karena itu, pengenalan semacam ini tidak memberikan manfaat kepadamu.
- Kamu beriman kepada orang yang telah diutus oleh-Nya, akan tetapi kamu bangkit untuk menentang sunahnya. Lalu, ke manakah hasil dari keimananmu?
- Kamu membaca kitab-Nya, akan tetapi kamu tidak mengamalkannya. Kamu mengatakan bahwa kamu mendengar dan menaatinya, akan tetapi kamu bangkit untuk menentangnya.
- Kamu mengatakan bahwa kamu takut kepada hukuman dan siksaan Allah, akan tetapi perbuatan-perbuatanmu senantiasa mendekatkan dirimu kepadanya.
- Kamu mengatakan bahwa kamu menyukai pahala Ilahi, akan tetapi perbuatan-perbuatanmu semakin menjauhkanmu dari pahala-Nya.
- Kamu memakan nikmat Allah, akan tetapi kamu tidak mensyukurinya.
- Ia memerintahkanku untuk menjadi musuh setan (dan kamu malah menjalin persahabatan dengannya). Kamu mengklaim bahwa kamu memiliki permusuhan dengan setan, akan tetapi pada praktiknya kamu tidak pernah menentangnya.
- Kamu selalu memperhatikan cela-cela orang lain, sementara kamu menyembunyikan cela-celamu.
Dengan semua ini, bagaimana kamu menginginkan doamu akan terkabul? Perbaikilah perbuatan-perbuatanmu, lakukanlah amar makruf dan nahi munkar supaya doamu dikabulkan oleh-Nya."
Hadis yang penuh makna ini menegaskan bahwa janji Allah untuk mengabulkan doamu adalah sebuah janji yang bersyarat, bukan janji yang mutlak. Dan syaratnya adalah pengamalan terhadap janji dan sumpahmu sendiri. Sementara, yang terjadi adalah kamu mengingkari kedelapan janji di atas. Apabila kamu menghentikan penghianatan ini, maka doamu akan menjadi dikabulkan.
Mengamalkan kedelapan syarat-syarat di atas -yang pada hakikatnya merupakan syarat-syarat terkabulnya sebuah doa- telah memadai apabila digunakan untuk mendidik manusia dan memanfaatkan kekuatannya dalam satu usaha yang membuahkan hasil.
e. Syarat lain dari terkabulnya doa adalah adanya korelasi antara doa dan usaha.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. pernah berkata, "Orang-orang yang berdoa tanpa amal dan usaha bak orang-orang yang memanah tanpa busur."
Busur adalah faktor penggerak dan alat untuk melemparkan panah ke arah sasaran. Dengan demikian, peran amal dalam terkabulnya sebuah doa menjadi begitu jelas.
Rangkaian delapan syarat di atas merupakan penjelas dari sebuah realita bahwa doa bukan saja tidak berfungsi sebagai alternatif dari faktor-faktor alami dan syarat-syarat eksternal yang biasa digunakan untuk menghasilkan sebuah tujuan, melainkan untuk terkabulnya sebuah doa, pendoa harus melakukan perubahan total dalam cara hidupnya, menciptakan keadaan baru pada jiwanya dan merenungkan kembali perbuatan yang telah dilakukan pada masa lalu. Bukankah menganggap doa sebagai sesuatu faktor pelumpuh dengan adanya syarat-syarat semacam ini menandakan ketidaktahuan pengklaimnya atau sebuah perbuatan yang tak berdasar?!

95. Apakah Hakikat Mimpi itu?
Di sini perlu kiranya menuangkan pandangan-pandangan yang berbeda dalam menanggapi hakikat mimpi secara ringkas. Terdapat interpretasi yang sangat beragam tentang realitas mimpi ini. Semua interpretasi itu dapat diklasifikaskan dalam dua bagian:
a. Intepretasi materi.
b. Intepretasi nonmateri.
Para penganut Materialisme mengatakan bahwa mimpi bisa terjadi karena beberapa sebab:
Pertama, mungkin saja mimpi merupakan hasil langsung dari pekerjaan-pekerjaan harian manusia. Yaitu, kejadian yang menimpa seseorang pada hari sebelumnya dan tercerap di dalam pikirannya pada saat tidur.
Kedua, mungkin juga mimpi merupakan sebuah rangkaian sugesti dan harapan yang tak tergapai. Seseorang yang tertidur dalam keadaan haus, ia akan melihat air di dalam tidurnya, dan seseorang yang sedang menunggu keberangkatan untuk suatu perjalanan, ia akan melihat kedatangannya dalam mimpinya.
Ketiga, mungkin juga ketakutan terhadap sesuatu telah menyebabkan seseorang mengalami ketakutan tersebut di dalam mimpinya. Hal ini telah terulang beberapa kali pada orang-orang yang takut kepada pencuri dan ia malah melihat kehadiran pencuri di dalam mimpinya. (Kata pepatah terkenal yang mengatakan, "Tidurlah jauh dari unta, dan janganlah bermimpi yang menegangkan" adalah isyarat terhadap hakikat ini).
Freud dan para penganut ajarannya mempunyai interpretasi materi yang lain terhadap mimpi. Melalui sebuah pengantar yang detail, mereka menegaskan bahwa tidur dan mimpi merupakan sebuah pemuasan terhadap hasrat dan keinginan-keinginan yang tak terpenuhi dan tertindas yang senantiasa hadir di alam sadar seseorang dengan perubahan-perubahan (tertentu) untuk mengelabuhi diri (aku)nya.


Penjelasan
Setelah mengakui statemen bahwa jiwa manusia meliputi dua bagian, yaitu alam sadar (bagian yang mempunyai korelasi dengan pemikiran-pemikiran harian dan pengetahuan terhadap kehendak dan ikhtiyarnya), dan alam bawah sadar (bagian yang masih tersembunyi di dalam batinnya dalam bentuk sebuah hasrat yang belum terpuaskan), mereka mengatakan, "Seringkali terjadi hasrat yang terdapat dalam diri kita dan -karena satu dan lain hal- kita tidak mampu menenuhinya, serta telah tersimpan di dalam batin kita, ketika kita tidur dan sistem alam sadar kita tidak aktif, hasrat tersebut -demi sebuah pemuasan yang bersifat imajinatif- datang menghampiri alam sadar kita. Kadang-kadang hasrat itu menjelma tanpa sedikit pun perubahan, seperti mimpi seorang yang jatuh yang melihat kekasihnya di dalam mimpinya, dan kadang-kadang ia berubah wujud dan menjelma dalam bentuk-bentuk yang sesuai yang -dalam hal ini- mimpi itu perlu penta'biran.
Atas dasar ini, mimpi senantiasa mempunyai interaksi dengan masa lalu, dan sama sekali tidak menyampaikan berita tentang masa yang akan datang. Mimpi hanya bisa digunakan untuk membaca rasio bawah sadar. Dan oleh karena itu, tidur para pasien bisa digunakan sebagai sebuah alat bantu penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan berdasarkan pada penemuan rasio bawah sadar."
Sebagian dari para ahli nutrisi mengklaim adanya hubungan antara mimpi dan kebutuhan badan pada gizi, dan meyakini - misalnya- apabila seseorang bermimpi giginya mengeluarkan darah, ini berarti ia kekurangan vitamin C, dan apabila bermimpi rambutnya menjadi beruban, dapat diketahui bahwa ia telah mengalami kekurangan vitamin B.
Akan tetapi, filsuf idealis mempunyai interpretasi yang lain tentang mimpi. Mereka mengatakan bahwa mimpi bisa dibagi dalam beberapa bagian:
a. Mimpi yang mempunyai hubungan dengan kehidupan, hasrat, dan harapan masa lalu. Hal ini merupakan bagian penting yang membentuk mimpi manusia.
b. Mimpi menakutkan dan tak bermakna yang merupakan akibat dari aktifitas imajinasi dan khayalan, (meskipun hal itu bisa jadi mempunyai motif psikologis).
c. Mimpi yang berkaitan dengan masa yang akan datang dan memberikan kesaksian tentangnya.
Tanpa ragu lagi bahwa mimpi yang mempunyai hubungan dengan kehidupan masa lalu dan merupakan cerapan kejadian-kejadian yang telah dialami oleh manusia pada sepanjang kehidupannya, tidaklah mempunyai makna yang khas. Demikian juga dengan tidur yang tidak tenang dan tidur mengigau yang merupakan hasil dari pikiran yang tidak tenang, sebagaimana juga mimpi yang biasa dialami oleh orang yang memiliki penyakit panas tinggi dan mengigau tidaklah mempunyai makna dan ta'bir yang khusus mengenai kejadian hidup di masa mendatang, meskipun para psikolog dan psikiater menggunakannya sebagai sebuah peluang untuk menemukan akal bawah sadar manusia dan menggunakannya sebagai kunci untuk penyembuhan penyakit psikologis. Dari sini diketahui bahwa ta'bir mimpi mereka ditujukan untuk menemukan rahasia-rahasia kejiwaan dan sumber penyakit, bukannya untuk mengetahui kejadian hidup di masa mendatang.
Akan tetapi, mimpi yang berhubungan dengan masa mendatang juga mempunyai dua bagian:
Pertama, mimpi yang merupakan pengungkap kejadian masa datang yang sangat jelas sehingga tidak membutuhkan ta'bir lagi, dan terkadang tanpa terdapat sedikit pun perbedaan dan sangat menakjubkan; hal ini betul-betul menjadi kenyataan di masa datang, baik dalam waktu dekat maupun jauh.
Kedua, mimpi yang selain merupakan ungkapan dari kejadian masa datang, juga telah mengalami perubahan dan membutuhkan ta'bir, karena adanya faktor-faktor inteligensi dan spiritual yang khas.
Untuk setiap mimpi tersebut terdapat contoh yang begitu banyak yang secara keseluruhannya tidak bisa dipungkiri. Hal ini tidak hanya telah disebutkan dalam literatur agama maupun kitab-kitab sejarah, bahkan sering pula terjadi dalam kehidupan kita dan orang-orang yang kita kenal dengan sedemikian jelasnya, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa semua itu merupakan sebuah akibat yang terjadi secara kebetulan.

96. Apakah yang Dimaksud dengan Sunnatullah?
Di dalam surat Al-Ahzab [33], ayat 62, Al-Qur'an mengemukakan bahwa salah satu dari sunah-sunah Ilahi yang tidak pernah mengalami perubahan adalah masalah penghancuran kaum munafik dengan sebuah serangan umum. Dan hal ini pernah terjadi pula pada umat-umat sebelumnya.
Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum[mu], dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah.
Ta'bir-ta'bir semacam ini ditemukan pula di dalam Al-Qur'an dalam masalah-masalah yang lainnya. Salah satu di antaranya, dalam surat Al-Ahzab [33], ayat ke 38, setelah turun izin untuk menghancurkan kebiasaan salah jahiliyah mengenai pengharaman (memperistri istri anak angkat yang telah ditalak), Allah berfirman, "[Allah telah menetapkan yang demikian] sebagai sunah-Nya pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah adalah suatu ketetapan yang pasti berlaku."
Dalam surat Fathir [35], ayat ke 43, setelah mengancam kaum-kaum kafir dan pembuat kerusakan dengan kematian, Allah berfirman, "Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan [berlakunya] sunah [Allah yang telah berlaku] bagi orang-orang yang terdahulu. Maka, sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan pada sunah Allah dan sekali-kali tidak akan [pula] menemui penyimpangan dalam sunah Allah ini."
Dalam surat Al-Ghafir [40], ayat 85, setelah menegaskan bahwa keimanan orang-orang kafir yang keras kepala dan pembangkang dari kaum-kaum sebelumnya -setelah menyaksikan turunnya azab dari Allah swt.- tidaklah akan memberikan manfaat yang berarti, Dia menambahkan dengan firman-Nya, "Itulah sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan pada waktu itu, binasalah orang-orang kafir."
Dan dalam surat Al-Fath [48], ayat 23, setelah mengemukakan kemenangan kaum mukmin dan kehancuran orang-orang kafir, serta terputusnya persahabatan di antara mereka dalam peperangan, Allah menambahkan dengan firman-Nya, "Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah ini."
Demikian juga dalam surat Al-Isra' [17], ayat 77, ketika menceritakan siasat orang-orang kafir dalam mengasingkan dan menghancurkan Rasulullah saw., Allah menambahkan, "Apabila terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak akan tinggal kecuali hanya sebentar saja. [Kami menetapkan yang demikian] sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan tidak akan kamu dapati perubahan pada ketetapan Kami ini."
Dari rangkaian seluruh ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa maksud dari sunah dalam masalah semacam ini adalah hukum-hukum yang konstan dan merupakan prinsip takwînî atau tasyrî'î Ilahi yang tidak akan pernah mengalami perubahan di dalamnya. Dengan kata lain, Allah swt. mempunyai hukum-hukum paten di alam takwînî (cipta) dan tasyrî'î (tinta)-Nya. Tidak sebagaimana hukum-hukum prinsip dan norma budaya dalam masyarakat dunia yang bisa direduksi, hukum-hukum Allah ini berlaku atas kaum-kaum masa lalu, saat ini dan juga atas kaum-kaum di masa datang.
Pertolongan para nabi, kekalahan orang-orang kafir, kelaziman mengamalkan perintah-perintah Ilahi sekalipun tidak menyenangkan bagi lingkungan, dan ketiadaan manfaat dari taubah pada saat turunnya azab Ilahi, semuanya ini merupakan sunah Ilahi yang abadi.

97. Apakah Hukum Qishash Bertentangan dengan Akal dan Naluri Manusia?
Sebagian golongan telah mengkritik hukum-hukum Islam tanpa perenungan terlebih dahulu, dan khususnya tentang masalah hukum qishash, mereka ramai melontarkan berbagai kecaman dan sanggahan. Mereka mengatakan:
a. Sebenarnya, kejahatan yang telah dilakukan oleh seorang pembunuh tidak lebih dari sebuah kejahatan yang hanya menghilangkan nyawa seorang manusia. Akan tetapi, ketika kamu melakukan qishash terhadapnya, kamu malah mengulangi perbuatan yang sama sekali lagi.
b. Qishash tidak lebih dari sebuah balas dendam dan kekerasan hati. Sifat tercela ini harus dihilangkan dari kalangan masyarakat dengan memberikan pendidikan yang benar. Sementara itu, para pendukung qishash, setiap hari malah memberikan ruh baru kepada sifat tercela ini. Yaitu, balas dendam.
c. Membunuh manusia bukan merupakan sebuah dosa yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang berada dalam keadaan sehat. Sudah tentu, dari sisi psikologi, seorang pembunuh pastilah orang yang mengidap penyakit kejiwaan yang membutuhkan pertolongan pengobatan dan penyembuhan. Sementara itu, qishash tidak akan pernah bisa mengobati penyakit semacam ini.
d. Masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan haruslah disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang ada. Oleh karena itu, sebuah hukum yang telah diterapkan pada seribu empat ratus tahun yang lalu tidak mungkin bisa diterapkan pada sistem masyarakat yang ada saat ini.
e. Apakah tidak lebih baik, sebagai pengganti dari qishash, kita penjarakan saja para pelaku pembunuhan ini. Kemudian, kita berlakukan kerja paksa untuk memanfaatkan mereka sehingga menghasilkan keuntungan bagi masyarakat. Dengan demikian, selain masyarakat akan terjaga dari kejahatan mereka, keberadaan mereka pun -paling tidak- akan memberikan manfaat pula bagi masyarakat.
Hal-hal di atas adalah ringkasan dari kecaman yang mereka lontarkan dalam persoalan qishash.
Dengan memperhatikan ayat-ayat qishash yang ada di dalam Al-Qur'an secara cermat, maka jawaban dari persoalan ini akan menjadi jelas.
Di dalam qishah itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal.
Karena, menyingkirkan para pembejat dan orang-orang perusak merupakan metode yang paling efektif untuk tercapainya pertumbuhan dan kesempurnaan masyarakat. Dalam hal ini, qishash merupakan sebuah jaminan kehidupan untuk kelestarian sebuah komunitas. Mungkin karena itulah qishash ditanamkan di dalam naluri manusia.
Sistem kedokteran, pertanian, dan perhewanan, semuanya dilandaskan pada prinsip rasionalitas metode ini (menghilangkan makhluk pengganggu yang membahayakan). Oleh karena itu, sering kita saksikan pemotongan anggota-anggota badan yang telah rusak atau pemangkasan dahan-dahan pengganggu dan yang membahayakan untuk memberikan pertumbuhan maksimal pada suatu pohon. Dari sini, orang-orang yang mengetahui bahwa membunuh seorang pembunuh merupakan sebuah peniadaan seorang insan yang lain, sungguh mereka hanya mengedepankan pandangan individualistik. Karena, apabila mereka mengarahkan pandangan pada rekonstruksi dan regenerasi masyarakat dan mengetahui apa fungsi qishash ini dalam menjaga dan mendidik keseluruhan individu, maka mereka akan berpikir kembali terhadap kata-kata yang mereka lontarkan. Karena pada hakikatnya, menyingkirkan pribadi pelaku pembunuhan dari masyarakat sebagaimana logisnya adalah memotong anggota badan dan memangkas dahan benalu, yang hingga sekarang tidak kita temukan seorang pun yang memperlihatkan keberatannya atas metode pemotongan anggota badan ataupun pemangkasan dahan pohon yang rusak ini. Dan ini merupakan jawaban dari persoalan yang pertama.
Tentang kritikan mereka yang kedua, harus diperhatikan bahwa pada prinsipnya, diwajibkannya qishash tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan persoalan balas dendam. Karena, balas dendam mempunyai makna memadamkan api kemarahan yang muncul karena satu masalah pribadi, sementara qishash dilakukan dengan maksud untuk mencari keadilan dan keperdulian terhadap seluruh orang yang tidak berdosa, dan untuk mengantisipasi terulangnya kembali kejahatan serupa di dalam masyarakat.
Tentang kritikan yang ketiga bahwa pelaku pembunuhan pastilah terjangkit suatu penyakit kejiwaan, karena kejahatan semacam ini tidak mungkin ditemukan pada orang-orang biasa yang berada dalam keadaan sehat, harus ditegaskan bahwa pada sebagian persoalan, perkataan ini benar adanya dan Islam pun tidak akan pernah mengeluarkan hukuman qishash dalam keadaan di mana pelaku pembunuhan adalah orang yang tidak waras atau sepertimya.
Akan tetapi, apabila alasan adanya penyakit kejiwaan pada diri pelaku pembunuhan telah dijadikan sebagai sebuah hukum untuk menghamparkan amnesti dan jalan kebebasan di hadapan mereka, maka hal ini tidak akan bisa diterima, karena kerusakan yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan cara semacam ini tentu akan sangat menyulitkan dan tidak syak lagi dapat mengakibatkan semakin tingginya tingkat keberanian para pelaku kejahatan di dalam masyarakat.
Dan apabila pembelaan atas diri pelaku pembunuhan itu adalah benar, maka hal ini pun secara mutlak benar juga berkenaan dengan para pelanggar dan perampas hak-hak orang lain. Karena, orang-orang yang mempunyai akal yang sehat sama sekali tidak akan melanggar hak-hak orang lain. Dengan demikian, seluruh hukum harus dihapus dan para pelanggar serta para pembuat kerusakan -secara keseluruhan tanpa terkecuali- harus dimasukkan ke rumah-rumah sakit jiwa sebagai ganti dari penjara atau hukuman.
Adapun kritikan yang menekankan bahwa masyarakat dewasa ini tidak menerima lagi hukum qishash, karena qishash hanyalah berperan efektif di dalam kehidupan masyarakat primitif saja, dan sekarang mereka menganggap bahwa qishash merupakan sebuah hukum yang harus segera dihapuskan, karena hal itu kontradiksi dengan akal. Jawabannya, bahwa sanggahan yang mereka lontarkan di atas merupakan sebuah klaim yang tidak ada harganya sama sekali, dan lebih mirip dengan khayalan ketika dihadapkan dengan meluasnya kejahatan-kejahatan yang semakin mengerikan di dunia kita saat ini, dan juga dengan tingginya angka tindak pembunuhan yang terjadi di medan-medan perang.
Jika diasumsikan bahwa dunia sekarang ini akan terwujud dan Islam juga menetapkan pengampunan dan amnesti, serta tidak memperkenalkan qishash sebagai satu-satunya hukuman, maka jelas dalam lingkungan yang demikian ini, masyarakat akan lebih mengutamakan pengampunan atas pelaku pembunuhan. Akan tetapi, di dunia masa kini di mana kejahatan telah lebih banyak dan lebih buas di bawah motif dan modus yang beragam daripada yang terjadi pada masa lampau, maka penghapusan hukum ini tidak akan memberikan pengaruh sedikit pun selain hanya akan menambah ekspansi kejahatan itu sendiri di dalam lingkungan masyarakat.
Mengenai kritikan kelima, harus kita perhatikan bahwa tujuan dari qishash -seperti telah dijelaskan dalam Al-Qur'an- adalah untuk menjaga kehidupan global masyarakat dan mengantisipasi terulangnya kembali pembunuhan dan kejahatan serupa. Tentu saja, penjara tidak akan mampu menangai secara mumpuni, (terutama dengan memperhatikan kondisi penjara saat ini yang lebih baik dari tempat tinggal para penjahat itu sendiri). Dengan demikian, di negara-negara yang telah meniadakan hukum gantung tampak bahwa dalam waktu yang relatif pendek, data dan angka pembunuhan, serta tindak kriminalitas yang terjadi mengalami kenaikan yang menguatirkan, khususnya apabila hukum penjara orang-orang itu -sebagaimana biasanya-memberikan harapan pengampunan. Oleh karena itu, para penjahat akan melakukan kejahatannya tanpa beban pikiran dan perasaan.

98. Tidakkah Hukuman Potong Tangan Mengandung Kekejaman?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya kami jelaskan terlebih dahulu syarat-syarat pelaksanaan hukuman potong tangan seorang pencuri.
Hal-hal yang bisa disimpulkan dari rangkaian riwayat-riwayat Islam adalah, bahwa pelaksanaan hukum potong tangan mempunyai syarat-syarat yang begitu banyak sehingga dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut, tidak boleh kita melaksanakan hukuman ini. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Minimalnya, barang curian harus bernilai seharga seperempat Dinar.
b. Barang tersebut dicuri dari tempat yang terjaga, seperti rumah, toko, atau dari saku-saku bagian dalam sebuah pakaian.
c. Pencurian tidak terjadi pada musim paceklik di mana penduduk berada dalam kelaparan dan menghadapi jalan buntu.
d. Pencuri adalah orang yang berakal, telah berusia baligh, dan melakukan pencurian atas kemauannya sendiri.
e. Hukum ini tidak berlaku pada pencurian yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap kekayaan anak atau pencurian yang dilakukan oleh teman usaha terhadap kekayaan milik usaha bersama.
f. Pencurian buah-buahan dari pepohonannya di kebun buah, pun dikecualikan dari hukum ini.
g. Seluruh hal yang di dalamnya terdapat kemungkinan terjadinya kekeliruan bagi pencuri antara kekayaannya sendiri dengan kekayaan orang lain juga dikecualikan dari hukum ini.
Dan sebagian syarat-syarat lain yang telah dijelaskan di dalam kitab-kitab fiqih.
Jangan sampai ada kesalahan interpretasi bahwa maksud dari penyebutan syarat-syarat di atas berarti bahwa pencurian hanya akan bisa menjadi haram ketika seluruh syarat tersebut telah terpenuhi. Namun maksudnya adalah bahwa pelaksanaan hukuman di atas hanya dikhususkan pada perkara-perkara tersebut. Dan apabila tidak demikian, maka pencurian -bagaimanapun bentuk, keadaan, ukuran, dan cara pelaksanaannya- di dalam Islam merupakan suatu perbuatan yang diharamkan.


Kadar Pemotongan Tangan Pencuri
Berdasarkan pada serangkaian riwayat-riwayat yang berasal dari Ahlulbait a.s., telah masyhur di kalangan fuqaha bahwa pemotongan tangan pencuri hanya berlaku atas empat jari tangan kanan saja dan tidak lebih dari itu, meskipun fuqaha Ahli Sunnah berpendapat lebih dari itu.


Apakah Hukum Islam ini Mengandung Kekejaman?
Berulang kali telah terlontar kritikan dari para penentang Islam atau muslimin yang miskin informasi bahwa hukum Islam ini sangat keras, dan apabila ditetapkan bahwa hukum ini akan dilaksanakan pada dunia saat ini, maka akan begitu banyak tangan-tangan yang terpotong karenanya. Lebih dari itu, hukuman ini akan menyebabkan seseorang -selain harus kehilangan anggota badannya yang paling peka- harus menjadi orang yang "istimewa" hingga akhir hayatnya.
Untuk menjawab sanggahan ini, harus kita perhatikan hal-hal berikut ini:
Pertama, memperhatikan syarat-syarat pelaksanaan hukuman ini, bisa dipastikan tidak semua pencuri akan mengalami hukuman ini. Bahkan, hanya para pencuri kelas kakap yang berbahaya yang akan menerima hukuman tersebut.
Kedua, dengan metode yang harus dilakukan untuk membuktikan suatu hukuman dalam Islam yang memerlukan syarat-syarat tertentu, tentu hal itu akan menyebabkan obyek sasaran yang ditemukan pun akan menjadi semakin sedikit.
Ketiga, sebagian besar sanggahan yang dilontarkan dalam menanggapi hukum Islam muncul dikarenakan mereka mengkaji sebuah hukum secara partikular; tanpa memandang hukum-hukum secara menyeluruh. Dengan kata lain, mereka mengasumsikan pelaksanaan hukum tersebut dalam sebuah masyarakat yang seratus persen bukan masyarakat islami. Akan tetapi, apabila kita memperhatikan bahwa Islam bukan hanya mempunyai satu hukum ini saja, melainkan ia terdiri dari serangkaian hukum-hukum lain yang dengan melaksanakannya di dalam sebuah lingkungan sosial akan menciptakan keadilan masyarakat, menekan kemiskinan, membangun sistem pengajaran dan metode pendidikan yang benar, berkembangnya pengetahuan, kesadaran dan takwa, maka jelaslah betapa sedikitnya yang akan terkena hukum ini. Jangan disalahartikan! Maksud dari ucapan di atas tidak berarti bahwa hukum ini tidak perlu dilaksanakan di dalam masyarakat saat ini. Akan tetapi maksudnya adalah bahwa ketika kita hendak menilai sebuah hukum, hendaklah terlebih dahulu melihat dan mempertimbangkan seluruh aspek yang ada.
Konklusinya, pemerintahan Islam berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan bangsanya sendiri, memberikan pengajaran yang diwajibkan kepada mereka, dan mendidik moral mereka. Dengan demikian, jelas bahwa dalam lingkungan semacam ini akan sangat sedikit ditemukan orang-orang yang melakukan pelanggaran.
Keempat, apabila kita memperhatikan betapa saat ini pencuri begitu merajalela, ini disebabkan karena tidak terlaksananya hukum ini. Oleh karena itu, dalam lingkungan yang melaksanakan hukum ini, (seperti negara Saudi Arabia yang tetap melaksanakan hukuman ini hingga tahun-tahun terakhir ini) akan ditemukan keamanan yang luar biasa telah menguasai semua tempat, khususnya dari sisi keamanan harta milik. Mayoritas peziarah rumah Allah melihat dengan mata kepala mereka sendiri betapa tidak ada seorang pun yang berani menyentuh koper-koper atau tas-tas uang yang ada di gang-gang dan pinggiran jalan Hijaz hingga para petugas dari kantor pengumpulan barang-barang hilang datang untuk membawa barang-barang tersebut ke kantor yang bersangkutan untuk menemukan pemiliknya dengan memperlihatkan tanda pengenal, lalu mengambilnya. Tak jarang juga terjadi pada malam hari banyak toko yang tak tertutup dan tak berpenjaga. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berani untuk datang mengusik dan mencuri sesuatu dari dalamnya.
Menariknya, hukum Islam yang telah dilaksanakan selama berabad-abad ini dan muslimin di permulaan Islam telah hidup dalam keamanan dan kesejahteraan di bawah naungannya, membuktikan bahwa selama sekian abad pelaksanaan hukum ini, orang-orang terhukum hanya menduduki jumlah yang sangat sedikit.


Apakah Pemotongan Tangan Pelaku Kriminal untuk Keamanan Sebuah Bangsa Selama Beberapa Abad adalah Harga Mahal yang harus Dibayar?
Sebagian orang mempertanyakan bahwa pelaksanaan hukuman potong tangan atas pencuri yang hanya mencuri seperempat dinar sama sekali tidak relevan dengan semua kehormatan yang diberikan oleh Islam kepada jiwa seorang muslim dan kewajiban untuk menjaga nyawa mereka dari segala bahaya sehingga ia telah menentukan diyah dengan harga sangat mahal hanya karena memotong empat jari tangannya?
Kebetulan, pertanyaan seperti ini -sebagaimana terdapat dalam sebagian bukub-buku sejarah- telah dipertanyakan kepada seorang alim besar Islam, Sayid Murtadha 'Alamul Huda sekitar seribu tahun yang lalu. Penanya melontarkan pertanyaannya dalam bentuk sebuah syair sebagai berikut:
Tangan yang diyah-nya adalah lima ratus dinar,
mengapa harus terpotong dengan seperempat dinar?
Sayid Murtadha menjawab pertanyaan tersebut dengan syair berikut:
Kemuliaan amanat telah meninggikan nilai tangan,
dan kehinaan khianat telah menurunkan nilai tangan.
Ketahuilah, inilah hikmah Tuhan.

17
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

99. Siapakah Dzul Qarnain itu?
Dalam surat Al-Kahfi [18], ayat 83, Allah berfirman, "Mereka akan bertanya kepadamu [Muhammad] tentang Dzul Qarnain. Katakanlah, 'Aku akan bacakan kepada Kamu cerita tentangnya.'"
Di sini akan muncul sebuah pertanyaan, siapakah Dzul Qarnain itu?
Tentang siapakah sesungguhnya sosok Dzul Qarnain yang diceritakan dalam kisah Al-Qur'an dan sezaman dengan sejarah penting manakah kemunculannya, begitu banyak diskusi yang terjadi di kalangan para mufassir yang mengutarakan berbagai pendapat dalam masalah ini. Pendapat-pendapat mereka yang paling krusial adalah tiga pendapat di bawah ini:
Pertama, sebagian meyakini bahwa ia tidak lain adalah Iskandar Al-Maqduni (Alexander Agung). Oleh karena itu, sebagian mereka memberinya nama Iskandar Dzul Qarnain. Menurut pendapat mereka, setelah kematian ayahanda tercintanya, Iskandar Dzul Qarnain mampu menguasai negara-negara Roma, Maghrib, dan Mesir. Ia juga telah membangun sebuah kota yang bernama Iskandariyah, menguasai Baitul Maqdis dan Syam, kemudian melanjutkan ekspansinya ke Armenia, menaklukkan Irak dan Iran, lalu ke India dan China. Dari sana, ia kembali ke Khurasan dan membangun berbagai kota di Khurasan. Lalu, ia kembali ke Iraq lagi. Setelah itu, ia jatuh sakit dan meninggal dunia di kota Zuur. Menurut pendapat sebagian mufassirin, usia Dzul Qarnain tidak lebih dari 36 tahun. Jasadnya dibawa ke Iskandariyah dan dikebumikan di tempat tersebut.
Kedua, sebagian dari ahli sejarah sepakat bahwa Dzul Qarnain adalah salah seorang raja Yaman (Raja-raja Yaman dijuluki gelar "Tubba'". Bentuk pluralnya adalah "Tabâbi'ah").
Mereka yang mempertahankan pendapat ini adalah Al-Ashma'i dalam Târîkh al-'Arab Qabl al-Islam (Sejarah Arab Sebelum Islam), Ibn Hisyam dalam buku sejarah terkenalnya yang bernama As-Sîrah, dan Abu Raihan Al-Biruni dalam kitabnya yang berjudul Al-?târ Al-Bâqiyah.
Bahkan dalam syair-syair kaum Himyari (dari bangsa Yaman) dan sebagian penyair-penyair Jahiliyah ditemukan bahwa mereka merasa bangga dengan sosok Dzul Qarnain di dalam syair-syair mereka.
Menurut pendapat ini, tanggul yang dibuat oleh Dzul Qarnain adalah tanggul terkenal yang bernama tanggul Ma'rib.
Ketiga, pendapat ketiga sebagai pendapat paling baru adalah pendapat yang dilontarkan oleh ilmuwan masyhur Islam Abul Kalam Azad, Menteri Kebudayaan India pada waktu itu, dalam buku hasil penelitiannya dalam masalah ini. Menurut pendapat ini, sosok Dzul Qarnain tak lain adalah Khurush Yang Agung, seorang raja dari dinasti Hakhamaneshi.
Dari pemaparan di atas, pendapat pertama dan kedua bisa dikatakan tidak mempunyai bukti yang relevan dengan sejarah. Selain itu, Iskandar Al-Maqduni pun tidak mempunyai kriteria yang dimiliki oleh Dzul Qarnain sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur'an, dan ia juga bukan salah satu dari raja-raja Yaman.
Lebih dari itu, ia tidak pernah menciptakan tanggul yang terkenal itu. Tanggul Ma'rib yang terletak di Yaman yang dikatakan sebagai buatan Iskandar Maqduni sama sekali tidak sesuai dengan sifat-sifat tanggul milik Dzul Qarnain yang diceritakan dalam Al-Qur'an, karena tanggul Dzul Qarnain terbuat dari besi dan tembaga yang dibangun untuk menghalangi serangan kaum barbar, sementara tanggul Ma'rib adalah sebuah tanggul dengan konstruksi biasa yang dibangun untuk mengumpulkan air dan menghalangi terjadinya banjir, yang penjelasannya terdapat dalam surat Saba'.
Berangkat dari dalil inilah, kami akan lebih mengkonsentrasikan diri pada pendapat ketiga dengan memperhatikan beberapa hal di bawah ini secara cermat:

1. Pokok bahasan pertama yang menarik perhatian di sini adalah mengapa dia dinamakan Dzul Qarnain (Pemilik Dua Abad/Tanduk)?
Sebagian berpendapat bahwa pemberian nama ini dikarenakan kekuasaannya yang telah sampai ke barat dan timur dunia. Orang-orang Arab menamakan kedua arah tersebut dengan qarnai asy-syams (dua tanduk matahari).
Sebagian lagi berpendapat bahwa nama ini telah diberikan kepadanya karena ia hidup atau memegang tampuk pemerintahan selama dua kurun. Tentang jumlah satu kurun setara dengan berapa tahun itu, para pemilik pendapat ini masing-masing mempunyai pandangan yang berlainan.
Kelompok lain mengatakan, karena di kedua sisi kepalanya terdapat dua benjolan khas, ia dikenal dengan nama Dzul Qarnain.
Dan akhirnya, sebagian lagi meyakini bahwa karena mahkota istimewanya mempunyai dua tanduk kecil.
Dan masih banyak pendapat lain yang untuk menukilnya membutuhkan waktu yang panjang. Dan sebagaimana yang akan kita lihat nanti, penggagas pendapat ketiga, yaitu Abul Kalam Azaad, banyak memanfaatkan penamaannya dengan Dzul Qarnain untuk membuktikan pendapatnya sendiri.

2. Dari Al-Qur'an bisa dipahami dengan baik bahwa Dzul Qarnain mempunyai sifat-sifat yang istimewa, antara lain:
a. Allah meletakkan sarana dan faktor-faktor kemenangan di dalam kewenangannya.
b. Ia mempunyai tiga ekspedisi penting: pertama, ke belahan barat, setelah itu ke belahan timur, dan akhirnya ke daerah-daerah yang terdapat barisan pegunungan. Dan ia senantiasa berhadapan dengan berbagai kaum pada setiap ekspedisi ini.
c. Ia seorang pria mukmin yang bertauhid, penyayang, dan tidak menyimpang dari jalan keadilan. Dengan alasan ini, ia mendapatkan perhatian yang khusus dari Allah swt. Sosoknya adalah sahabat bagi para budiman dan pembuat kebajikan, akan tetapi musuh bagi para perusak dan pembuat kejahatan. Dan ia pun tidak menyukai kekayaan dan harta dunia.
d. Dia mempunyai iman yang kuat kepada Allah dan meyakini adanya Hari Kebangkitan.
e. Ia adalah pembangun salah satu tanggul yang paling penting dan paling kuat, sebuah tanggul yang terbuat dari besi dan tembaga sebagai pengganti konstruksi batu dan batu bata (dan apabila terdapat bahan bangunan lain di dalam bangunan tersebut, maka semua berada di bawah konstruksi kedua bahan bangunan utama ini). Tujuannya membangun tanggul ini adalah untuk membantu kelompok-kelompok lemah dalam menghadapi kekejaman dan kejahatan kaum penentang dan pemberontak.
f. Ia adalah seseorang tokoh yang namanya telah terkenal di kalangan sebagian kaum sebelum turunnya Al-Qur'an. Oleh karena itu, kaum Quraisy atau Yahudi pernah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw. Al-Qur'an berfirman, "Mereka akan menanyakan kepadamu tentang Dzul Qarnain."
Akan tetapi, tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an yang mengatakan secara tegas tentang kenabiannya, meskipun terdapat ungkapan-ungkapan di dalamnya yang mengisyaratkan hal itu sebagaimana telah diutarakan pada penafsiran ayat-ayat sebelumnya.
Dari sebagian riwayat Islam yang telah dinukil dari Rasulullah saw. dan para imam Ahlul Bait a.s., kita dapat membaca, "Dia bukanlah seorang nabi, akan tetapi seorang hamba yang saleh."

3. Prinsip dari pendapat ketiga (yaitu bahwa Dzul Qarnain adalah Khurush Yang Agung) dengan penjelasan yang sangat ringkas, didasarkan pada dua hal berikut:
Pertama, berdasarkan sebuah riwayat yang sesuai dengan asbabun nuzul ayat-ayat tersebut, para penanya yang mengutarakan pertanyaan tentang masalah ini kepada Rasululaah saw. adalah kaum Yahudi atau kaum Quraisy dengan provokasi dari kaum Yahudi. Dengan demikian, akar persoalan ini harus dicari di dalam kitab-kitab Yahudi.
Kita akan mencoba membuka Kitab Daniel (sebuah kitab dari kitab-kitab terkenal milik Yahudi) pasal ke delapan, dan di dalamnya termaktub, "Pada tahun pemerintahan Bal Shassar, telah terjadi sebuah mimpi atasku, Daniel, yang sebelumnya terjadi pula mimpi yang pertama atasku. Di dalam mimpiku, aku melihat diriku berada di dalam istana Shushan yang terletak di negara Ilam. Aku sedang berdiri di dekat sungai Uuloy dan menatap ke sekeliling ketika kemudian tatapan mataku tertumbuk pada sebuah biri-biri jantan yang sedang berdiri di seberang sungai. Biri-biri jantan itu mempunyai dua tanduk yang panjang … Ia mengarahkannya ke timur, barat, dan utara. Tidak ada seekor binatang pun yang mampu menghadapinya. Karena tidak ada seorang pun yang bisa melepaskan diri dari cengkeramannya, maka mereka menyepakati untuk menjalankan apa yang diperintahkannya dan hal ini menjadikannya bertambah besar."
Di dalam Kitab Daniel ini juga termaktub, "Jibril telah menampakkan diri di hadapannya dan ia menta'birkan mimpi Daniel sebagai berikut, "Biri-biri jantan pemilik dua tanduk yang kamu lihat itu adalah raja Mada'in dan Persia (atau raja Mad dan Persia)."
Kaum Yahudi dengan melihat tanda-tanda mimpi Daniel tersebut menyimpulkan bahwa masa penjajahan mereka akan berakhir, dan mereka pun akan terlepas dari cengkeraman kaum Babylon dengan bangkitnya salah seorang raja Maad dan Persia dengan kemenangan yang diperolehnya atas raja-raja Babylon.
Tidak berapa lama kemudian, Khurush memegang kekuasaan di Iran dan ia menyatukan bangsa Maad dan Persia sehingga terbentuklah sebuah kesultanan besar. Dan sebagaimana mimpi Daniel yang mengatakan bahwa biri-biri jantan tersebut mengarahkan tanduknya ke barat, timur dan utara, Khurush pun telah melakukan ekspansi besar-besaran pada ketiga arah mata angin tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh biri-biri jantan itu.
Dan Khurush pun membebaskan kaum Yahudi serta memberikan izin kepada mereka untuk kembali ke tanah Palestina.
Yang menarik lagi, di dalam kitab Ash'iya pasal 44, ayat 28 kita membaca, "Kemudian secara khusus mengenai Khurush, Ia berfirman, 'Ia adalah malam-malam-Ku dan ia telah menyelesaikan semua keinginan-Ku. Ia akan mengatakan kepada Yarussalem bahwa engkau pasti akan dibangun."
Hal ini juga perlu pula mendapatkan perhatian bahwa dalam sebagian dari ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam kitab Taurat, Khurush juga diberi julukan "Elang Timur" dan "Pria Bijaksana yang datang dari tempat jauh."
Kedua, pada abad ke-19 Masehi, telah ditemukan sebuah patung Khurush di dekat kolam renang yang terletak di samping sungai Murghab. Patung ini mempunyai tinggi seukuran tinggi manusia dan sosok Khurush di sini dijelmakan dengan bentuk manusia yang mempunyai dua buah sayap yang terletak di kedua sisinya sebagaimana sayap elang dan di atas kepalanya terletak sebuah mahkota yang mempunyai dua buah tanduk sebagaimana tanduk-tanduk yang dimiliki oleh biri-biri jantan itu.
Patung ini merupakan sebuah contoh yang sangat berharga dari hasil karya para pemahat kuno yang telah menjadikannya sebagai sebuah obyek yang sangat menarik perhatian para ilmuwan, sehingga sebagian ilmuwan Jerman melakukan perjalanannya ke Iran hanya untuk melihat patung ini.
Adanya relevansi antara kandungan yang terdapat di dalam kitab Taurat dengan spesifikasi yang dimiliki oleh patung Khurush ini menyebabkan asumsi para ilmuwan tentang statemen penamaan Khurush sebagai Dzul Qarnain (Pemilik Dua Tanduk) menjadi betul-betul kuat. Demikian pula pertanyaan tentang mengapa patung batu Khurush mempunyai dua sayap sebagaimana sayap yang dimiliki oleh elang telah terjawab. Dengan demikian, sebagian ilmuwan menjadi yakin bahwa dengan metode dan cara ini tokoh sejarah Dzul Qarnain betul-betul telah menjadi jelas.
Yang lebih mempertegas kebenaran pendapat ini adalah sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh Khuresh sebagaimana yang telah tertulis di dalam sejarah.
Herodus, seorang sejarawan Yunani menulis, "Khurush memerintahkan supaya tentaranya tidak mengarahkan pedangnya kecuali kepada prajurit perang. Demikian juga untuk tidak membunuh prajurit dari pihak musuh yang telah menundukkan pedangnya. Dan lasykar Khurush pun menaati apa yang diperintahkan olehnya sehingga lapisan masyarakat tidak merasakan musibah dari peperangan."
Demikian juga, tentang sosok Khurush, Herodus menulis di dalam bukunya, "Khurush adalah seorang raja yang mulia, periang, dan sangat lembut serta penyayang. Ia tidak menyukai ketamakan sebagaimana raja-raja yang lain. Ia sangat tertarik dengan sifat-sifat mulia dan murah hati. Ia menciptakan keadilan untuk orang-orang yang tertindas dan ia semakin menyukai suatu perbuatan yang di dalamnya menjanjikan kebaikan yang lebih."
Seorang sejarawan lainnya, Dey Nufen menulis "Khurush adalah seorang raja yang arif dan penyayang. Sifat kebesaran para raja dan keutamaan para arif berkumpul di dalam dirinya. Ia mempunyai sifat keperdulian yang dimiliki oleh para petinggi, penampilannya wajar, syair-syair yang dimilikinya menunjukkan rasa kemanusiaan, dan wujudnya adalah lambang keadilan dan kerendahan hati. Sifat dermawan yang berada di dalam dirinya telah menggantikan kesombongan dan rasa bangganya."
Sangat menarik, para sejarawan yang memperkenalkan sosok Khurush dengan sifat-sifat seperti ini, semua adalah para penulis sejarah asing, bukan kaum Khurush sendiri atau orang-orang yang sebangsa dengannya. Mereka adalah orang-orang Yunani. Kita sendiri mengetahui bahwa para warga Yunani tidak pernah memandang Khurush secara bersahabat. Sejak jatuhnya negara Liudya ke dalam kekuasaan Khurush, itu menyebabkan bangsa Yunani telah mengalami kekalahan yang besar dan sangat telak.
Para pendukung pendapat ini mengatakan bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Dzul Qarnain sebagaimana yang telah tersebut dalam Al-Qur'an mempunyai relevansi dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh Khurush.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah tertulis di dalam buku biografinya, Khurush juga telah melakukan perjalanannya ke arah barat, timur dan utara, yang hal ini mempunyai kesesuaian dengan tiga perjalanan yang dilakukan oleh Dzul Qarnain, sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur'an.
Ekspsansi pertama yang dilakukan oleh Khurush menuju ke negara Liudya yang terletak di bagian selatan Asia Kecil. Dan apabila negara ini dilihat dari pusat pemerintahan Khurush, terletak di bagian barat kawasan kekuasaannya.
Apabila peta pantai barat Asia Kecil kita letakkan di hadapan kita, maka kita akan mengetahui bahwa sebagian besar pantai akan tenggelam di dalam teluk-teluk kecil, khususnya yang berada di dekat Azmir di mana teluk di daerah ini muncul dalam bentuk sumber mata air.
Al-Qur'an mengatakan bahwa Dzul Qarnain dalam perjalanannya ke barat merasakan bahwa matahari akan tenggelam ke dalam sebuah sumber mata air yang berlumpur.
Gambaran ini merupakan kejadian yang dialami oleh Khurush ketika ia melihat tenggelamnya bola matahari (menurut pendapat pemirsa) ke dalam teluk-teluk pantai.
Ekspansi kedua Khurush mengarah ke timur. Herodus menulis, "Serangan Khurush ke timur ini terjadi setelah penaklukan Liudya. Hal ini khususnya lantaran para pemberontak sebagian dari kabilah-kabilah liar telah memaksa Khurush untuk melakukan serangan ini.
Al-Qur'an menggambarkan, "Hingga apabila ia telah sampai ke tempat terbit matahari [sebelah timur], ia mendapati bahwa matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari [cahaya] matahari itu. (QS. al-Kahfi [18]: 90). Ini merupakan isyarat bahwa perjalanan Khurush yang dilakukannya hingga ke perbatasan bagian timur, di mana di sana ia menyaksikan bahwa matahari telah menyinari sebuah kaum yang tidak mempunyai pelindung ketika berhadapan dengan sinarnya, menunjukkan bahwa kaum tersebut adalah kaum pengembara yang biasa berada di padang sahara.
Khurush juga mempunyai ekspansi ketiga yang bergerak ke arah utara mengarah menuju ke pegunungan Qafqaf (Vladkavkaz) hingga sampai di daerah lembah antara dua gunung. Untuk menghindari serangan para kaum liar, ia membangun tanggul yang tangguh berhadapan dengan daerah lembah tersebut sesuai dengan keinginan penduduk setempat.
Lembah pegunungan ini pada era sekarang dinamakan sebagai lembah pegunungan Darial, yang di peta ditunjukkan berada di antara Vladkyukez dan Taflis. Hingga sekarang, pada tempat tersebut masih terlihat adanya dinding besi, dan dinding besi ini adalah tanggul yang dibangun oleh Khurush, karena sifat-sifat yang dipaparkan Al-Qur'an tentang tanggul Dzul Qarnain ini sangat mirip dengan tanggul tersebut.
Inilah penjelasan ringkas untuk menjelaskan dan menguatkan pendapat ketiga. Benar apabila dikatakan bahwa di dalam pendapat ketiga ini pun masih terdapat hal-hal yang tidak jelas dan kabur. Akan tetapi, untuk saat ini, bisa dikatakan bahwa pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang paling kuat tentang relevansi antara sosok Dzul Qarnain dengan seorang tokoh terkenal dalam sejarah, yaitu Khurush.

100. Mengapa Sebagian Orang Zalim dan Pendosa malah Hidup dalam Nikmat dan tidak Mendapatkan Hukuman?
Dari ayat-ayat Al-Qur'an dapat diketahui bahwa Allah swt. akan senantiasa menyadarkan orang-orang yang melakukan dosa -dengan syarat belum terlalu terjerumus ke dalam lautan dosa- dengan lonceng peringatannya, reaksi-reaksi dari perbuatan-perbuatan mereka, atau-terkadang-melalui hukuman-hukuman yang sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan untuk kemudian mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Mereka ini adalah orang-orang yang masih mempunyai kelayakan untuk mendapatkan hidayah dan pertolongan Allah swt. dan masih berada di dalam naungan kasih sayang Sang Kekasih. Karena pada hakikatnya, hukuman dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi merupakan sebuah nikmat.
Al-Qur'an berfirman, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, karena Allah hendak merasakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali [ke jalan yang benar]." (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Akan tetapi, mereka yang telah tenggelam di dalam lautan maksiat, dosa, dan pembangkangan hingga mencapai titik maksimal, maka Allah swt. akan meninggalkan mereka dalam keadaan mereka sendiri. Artinya, Dia memberikan kesempatan kepada mereka supaya memikul dosa yang amat berat sehingga mereka berhak untuk mendapatkan hukuman dalam batas yang maksimal. Mereka ini adalah orang-orang yang merusak dan menghancurkan jembatan-jembatan di belakang mereka sendiri dan tidak menyediakan jalan bagi diri mereka untuk kembali. Dan orang-orang semacam ini betul-betul telah menyobek tirai rasa malu dan penyesalan dalam diri mereka sendiri, serta betul-betul telah kehilangan kelayakan untuk mendapatkan hidayah Ilahi.
Al-Qur'an dalam sebuah ayatnya menekankan, "Dan janganlah sekali-sekali orang-orang kafir menyangka bahwa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi penangguhan kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka semakin bertambah, dan bagi mereka azab yang menghinakan." (QS. Ali 'Imran [3], 178)
Dalam pidato yang telah disampaikan oleh Srikandi Islam, Sayidah Zainab Al-Kubra ketika berhadapan dengan penguasa tiran Syam, beliau berargumen dengan menggunakan ayat ini di hadapan Yazid, sosok pembangkang yang merupakan jelmaan jelas dari pendosa yang tidak lagi memiliki jalan untuk kembali. Dalam pidato ini ia menegaskan, "Kamu hari ini bergembira ria dan menyangka bahwa karena kamu telah membuat sempitnya ruang gerak kami, telah menutup batas langit bagi kami, telah membuat kami sebagaimana tawanan yang bisa kamu bawa dari tempat ini ke tempat lain, maka hal ini merupakan tanda-tanda kekuatanmu, atau kamu menyangka bahwa di hadapan Allah 'Azza Wajalla kamu mempunyai kekuatan lalu kami menjadi tidak mempunyai kedudukan sedikitpun di hadapan Nya? Sungguh, kamu berada dalam kesalahan yang amat besar, karena kesempatan dan kebebasan yang diberikan oleh Allah kepadamu ini adalah supaya punggungmu menjadi begitu berat oleh beban dosa-dosamu dan azab yang sangat mengerikan dan menyakitkan akan menunggumu …."


Jawaban Terhadap Sebuah Pertanyaan.
Ayat yang telah disebutkan di atas juga akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul di dalam persepsi banyak orang yang mananyakan mengapa sebagian para pemaksiat dan pendosa yang sudah tercemari dengan semua perbuatan keji ini malah tenggelam dalam kenikmatan yang berlimpah dan tidak menerima hukuman?
Al-Qur'an mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak bisa lagi diperbaiki di mana sesuai dengan sunah penciptaan dan konsep kebebasan memilih, mereka telah dibiarkan dalam keadaan mereka sendiri sehingga mereka akan sampai pada tahap kehancuran dan mendapatkan hukuman yang maksimal.
Lebih dari itu, dari sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an bisa diketahui bahwa Allah swt. terkadang akan memberikan kenikmatan dan kesenangan yang amat banyak kepada orang-orang semacam ini, dan ketika mereka telah teggelam di dalam kenikmatan, kelezatan, kemenangan, dan kebanggaan, secara tiba-tiba Dia akan mengambil semuanya dari tangan mereka sehingga mereka menikmati titik drastis dari siksaan kehidupan di dunia ini. Karena bagi mereka, terpisah dengan dunia yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan merupakan suatu hal yang sangat menyiksa.
Kita membaca dalam salah satu ayat, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah Kami berikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah Kami berikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Maka, ketika itu mereka akan terdiam berputus asa." (QS. Al-An'am [6]: 44)
Pada hakikatnya, kondisi orang-orang semacam ini tak ubahnya seperti orang-orang yang memanjat sebuah pohon. Semakin ia memanjat ke atas, maka akan semakin girang dan senang hingga akhirnya ketika mencapai pada pucuk pohon, tiba-tiba sebuah angin besar menghembus ke arah dirinya dan dalam seketika telah menghempaskan dirinya ke bawah sehingga angin itu menyebabkan seluruh tulang-belulang tubuhnya patah.

101. Mengapa Bangsa-bangsa yang tidak Beriman Hidup serbaada dan senang?
Dalam surat Al-A'raf [7], ayat 92 disebutkan, "Jikalau sekiranya semua penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan [ayat-ayat Kami] itu, maka Kami akan siksa mereka karena perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan."
Dengan memperhatikan ayat mulia di atas, muncul sebuah pertanyaan bahwa apabila iman dan takwa telah menyebabkan turunnya berbagai berkah Ilahi, lalu mengapa kita masih menyaksikan bangsa-bangsa yang tidak beriman tetap berada dalam limpahan nikmat?
Jawaban dari pertanyaan ini akan menjadi jelas dengan memperhatikan dua poin penting berikut:
Poin pertama, adanya persepsi bahwa negara-negara yang tidak beriman dan tidak bertakwa tenggelam dalam kenikmatan dan kemakmuran adalah sebuah persepsi yang salah besar, di mana hal ini muncul dari sebuah kesalahan lain, yaitu anggapan bahwa kekayaan merupakan sumber kebahagiaan.
Biasanya, masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap negara yang memiliki perkembangan sains dan tekhnologi yang lebih maju dan harta yang lebih berlimpah, maka kehidupan warga negara tersebut semakin bahagia dan sejahtera. Padahal, apabila kita melihat kehidupan internal masyarakat ini dari dekat dan mengetuk pintu-pintu tempat mereka meletakkan ruh-ruh dan jasmani mereka, maka kita akan mengetahui begitu banyak dari mereka telah menjadi orang-orang yang paling sengsara di muka bumi ini. Hal ini juga layak kita perhatikan bahwa kemajuan-kemajuan relatif di atas merupakan hasil penerapan konsep-konsep tertentu, seperti usaha, disiplin dan rasa tanggung jawab yang semuanya telah ditekankan dalam ajaran-ajaran para nabi.
Di saat kami menulis tafsir ini, kami telah mendengar berita yang tersebar dari beberapa pers bahwa New York, salah satu kota dan kawasan paling kaya dan maju di dunia ini, telah menyaksikan sebuah kejadian yang sangat ajaib yang ditimbulkan oleh adanya peristiwa padamnya aliran listrik secara mendadak. Pada kejadian yang sangat kritis ini, masyarakat berhamburan dari rumah-rumah mereka untuk saling menyerang dan mayoritas dari mereka berlarian menyergap toko-toko dan merampas barang-barang yang terdapat di dalamnya. Sebegitu dahsyatnya tragedi ini sehingga dalam waktu yang relatif sangat singkat polisi telah berhasil membekuk sebanyak tiga ribu orang pelaku penjarahan ini.
Tentu saja, jumlah para penjarah yang sebenarnya adalah berlipat-lipat dari yang telah disebutkan dan hanya jumlah tersebutlah yang tidak berhasil melarikan diri sehingga dibekuk oleh polisi. Dan juga jelas bahwa mereka bukanlah para penjarah yang mahir dan lihai dalam pekerjaannya sehingga perlu bagi mereka untuk merencanakan dan mempersiapkan diri sebelumnya untuk melakukan serangan umum seperti ini, karena kejadian di atas adalah sebuah peristiwa yang sangat mendadak.
Oleh karena itu, kami bisa mengambil konklusi bahwa lantaran hanya terputusnya aliran listrik sekian menit saja telah mampu mengubah puluhan ribu warga sebuah kota terkaya dan termaju di dunia menjadi warga yang beringas dan liar, dan telah mampu mereduksi kota tersebut menjadi sebuah kota penjarah. Ini bukan saja statemen terhadap terjadinya sebuah penyimpangan akhlak sebuah bangsa, melainkan statemen terhadap degradasi privasi dan krisis keamanan dalam masyarakat.
Berita lain dari media pers yang akan bisa melengkapi berita sebelumnya adalah pengakuan salah seorang tokoh terkenal yang pada saat peristiwa tersebut terjadi tinggal di salah satu hotel berbintang di kota New York. Ia mengatakan, "Padamnya listrik telah menyebabkan koridor hotel menjadi sebuah tempat yang sangat mencekam. Berjalan di tempat ini menjadi sebuah perjalanan yang sedemikian mengerikan sehingga pemilik hotel tidak memberikan izin kepada seorang pun untuk berjalan sendirian di koridor hotel untuk menuju kamarnya, karena sudah pasti para penjarah akan datang mengganggu mereka. Oleh karena itu, pemilik hotel menyediakan pasukan bersenjata khusus yang ditugaskan mengawal tamu-tamu untuk memasuki ruangan-ruangan mereka dalam kelompok-kelompok sepuluh orang atau lebih." Orang itu menambahkan, seandainya ia tidak dilanda rasa lapar yang amat sangat, ia tidak akan mempunyai keberanian sedikit pun untuk keluar dari ruangannya sendirian.
Akan tetapi, hal yang kontradiktif terjadi di belahan timur dunia. Padamnya listrik di negara-negara terbelakang di belahan ini tidak akan menyebabkan peristiwa tragis semacam ini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern, bahkan dalam kondisi memiliki sains dan teknologi yang paling maju dan paling kaya, tidak mempunyai sedikit pun rasa keamanan meskipun di dalam lingkungan mereka sendiri. Dari topik ini, para pengamat materialis mengatakan bahwa pembunuhan di dalam lingkungan semacam ini telah terjadi sebegitu mudahnya, sebagaimana mudahnya orang meneguk segelas air.
Dan kita mengetahui dengan baik, apabila -misalnya- seluruh dunia ini diberikan kepada seseorang, akan tetapi ia harus menjalani kehidupan dengan kondisi semacam ini, maka bisa dipastikan bahwa ia akan merupakan paling sengsaranya penduduk di dunia. Ini baru terjadi dalam masalah keamanan yang hanya merupakan salah satu dari problem yang mereka hadapi, karena di samping problem ini terdapat pula ketidakbahagiaan lain di dalam masyarakat yang bisa merupakan persoalan yang sangat menyakitkan. Dengan memperhatikan realitas ini, persepsi bahwa kekayaan merupakan sumber kebahagiaan bisa dinafikan.
Poin kedua, apabila dipertanyakan, mengapa masyarakat yang beriman dan bertakwa senantiasa berada dalam posisi terbelakang? Jika maksud dari iman dan takwa hanyalah sebuah pengakuan pada Islam dan kesetiaannya pada prinsip-prinsip ajaran para nabi, maka kita akan menerima bahwa orang-orang yang mempunyai persepsi semacam ini pastilah akan terbelakang. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa hakikat iman dan takwa tidak lain adalah penyebaran pesan-pesan keduanya dalam segmen-segmen kehidupan secara universal, dan ini merupakan suatu hal yang tidak mempunyai relevansi dengan apa yang diakui di atas.
Sangat disayangkan, saat ini prinsip pengajaran Islam dan para nabi telah begitu banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam. Kalau pun tidak ditinggalkan, maka hanya sebagian kecil saja yang mereka laksanakan sehingga menyebabkan karakter wajah yang muncul di dalam masyarakat bukanlah sebuah wajah muslim yang hakiki.
Islam mengajak kepada kesucian, kebenaran, amanah, dan usaha. Lalu, di manakah amanah dan usaha itu? Islam mengajak kepada sains, ilmu, pengetahuan, dan kesadaran. Lalu, manakah sains dan pengetahuan itu? Islam mengajak kepada kesatuan, pertahanan, kesetiaan dan loyalitas. Lalu, apakah secara realitas semua prinsip ini telah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat Islami saat ini secara sempurna, kemudian mereka terbelakang karenanya? Oleh karena itu, harus diakui bahwa Islam adalah sesuatu dan kita muslimin adalah sesuatu yang lain.

102. Jika Rezeki telah Dibagikan kepada Seluruh Makhluk, Mengapa Sebagian Orang Menderita Kelaparan?
Di dalam surat Hud [11], ayat 6 disebutkan, "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya ...."
Dengan memperhatikan ayat di atas, timbul sebuah pertanyaan mengapa di dunia saat ini dan juga di sepanjang sejarah masih juga terdapat sekelompok manusia yang meningal karena kelaparan? Apakah ini berarti bahwa rezeki mereka belum terjamin?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan poin-poin berikut ini:
Pertama, jaminan terhadap rezeki bukan berarti bahwa rezeki tersebut telah diantarkan di depan pintu-pintu rumah atau dihaluskan lalu disuapkan ke dalam mulut manusia yang berakal dan mempunyai kecerdasan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan rezeki adalah tersedianya lahan di mana usaha manusia menjadi syarat bagi terwujudnya rezeki dan lahan itu terbuka. Bahkan ketika Siti Maryam a.s. hendak melahirkan si mungil Isa a.s. di tengah gurun yang gersang, terik membakar dalam keadaan yang begitu susah, Allah swt. memanifestasikan rezekinya dalam bentuk setangkai kurma muda yang masih bergantung di pohonnya, tetap memerintahkan kepadanya dengan firman-Nya, "Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu ...." (QS. Maryam [19]: 25)
Kedua, apabila manusia pada masa lalu maupun sekarang senantiasa merampas hak-hak orang lain dan mengambil apa yang telah menjadi rezeki orang lain secara kejam dan sewenang-wenang, hal ini bukanlah statemen terhadap ketiadaan jaminan rezeki dari Allah swt. Dengan ibarat lain, selain persoalan usaha dan upaya, wujudnya keadilan dalam komunitas masyarakat pun menjadi syarat bagi terwujudnya pembagian rezeki secara adil. Apabila mereka menanyakan, "Mengapa Allah tidak menghalangi kezaliman para pembuat kerusakan ini?", sebagai jawaban, kami akan menegaskan bahwa prinsip kehidupan manusia terletak pada kebebasan berkehendak sehingga ia mendapatkan ujian, bukannya pemaksaan. Karena apabila tidak demikian, maka tidak akan pernah terwujud apa yang dinamakan sebagai kesempurnaan. (Perhatikan hal ini dengan cermat!).
Ketiga, terdapat begitu banyak sumber pangan untuk manusia di bumi ini yang bisa ditemukan dan dimanfaatkan dengan menggunakan otak dan ketelatenan. Apabila manusia menyepelekan persoalan ini, maka ini karena kesalahan manusia sendiri.
Tidak seharusnya kita melupakan bahwa dataran-dataran yang ada di bumi Afrika yang kebanyakan penduduknya mati karena kelaparan, pada kenyataannya, sebagian dari negara-negara tersebut merupakan daerah yang paling kaya di seluruh dunia. Akan tetapi, faktor-faktor perusak sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, telah membuat kehidupan mereka menjadi kelam sebagaimana yang terlihat saat ini.

103. Apakah Kriteria Dosa-dosa Besar?
Tentang masalah dosa-dosa besar yang telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, para mufassir dari satu sisi dan para ahli hadis dan fuqaha dari sisi lain sangat banyak membahas masalah ini.
Sebagian menganggap bahwa semua dosa merupakan dosa besar, dengan alasan bahwa di hadapan Allah swt. setiap dosa adalah besar. Sementara, sebagian yang lain mengatakan bahwa besar atau kecilnya sebuah dosa merupakan sebuah hal yang relatif. Setiap dosa apabila dibandingkan dengan dosa yang lebih besar menjadi dosa kecil, dan apabila dibandingkan dengan dosa yang lebih kecil, akan menjadi dosa yang besar.
Sebagian lagi menetapkan parameter besar-kecilnya sebuah dosa dengan melihat janji Allah swt. dengan azab -Nya sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qur'an.
Tak jarang pula dikatakan bahwa dosa besar adalah setiap dosa yang memiliki hadd syar'i (hukuman tertentu).
Akan tetapi, dengan memperhatikan adanya ungkapan "kabîrah" (besar) yang menunjukkan besarnya sebuah dosa, maka akan lebih baik apabila setiap dosa yang mempunyai salah satu dari kriteria di bawah ini termasuk ke dalam dosa besar:
a. Dosa-dosa yang Allah swt. menjanjikan azab atasnya.
b. Dosa-dosa yang menurut pandangan ahli syariat dan lisan riwayat merupakan dosa besar.
c. Dosa-dosa yang dalam sumber hukum syariat merupakan dosa yang lebih besar dari sebuah dosa yang termasuk dari bagian dosa besar.
d. Dosa-dosa yang di dalam riwayat mu'tabar ditegaskan sebagai dosa besar.
Di dalam riwayat Islam, jumlah dosa besar ini disebutkan secara berbeda. Pada beberapa pendapat dikatakan bahwa jumlah dosa besar adalah tujuh macam (menghilangkan nyawa orang lain, durhaka kepada orang tua, memakan riba, kembali menjadi kafir setelah hijrahnya, melakukan tuduhan zina terhadap seorang wanita suci, memakan makanan anak yatim, dan melarikan diri dari medan jihad).
Pada sebagian riwayat, jumlah dosa besar ini tetap dalam jumlah tujuh dengan perbedaan, bahwa sebagai ganti dari durhaka kepada orang tua, adalah apa-apa yang Allah swt. telah mewajibkan neraka karenanya.
Sedangkan pada sebagian riwayat yang lain disebutkan bahwa dosa besar terdiri dari sepuluh macam dosa. Sebagiannya lagi mengatakan, sembilan belas dan sebagian lainnya, lebih banyak dari jumlah tersebut.
Perbedaan jumlah dosa besar ini muncul lantaran adanya perbedaan derajat yang terdapat pada masing-masing dosa besar. Bahkan, sebagiannya lebih penting dari yang lain yang biasa disebut dengan akbar al-kabâ'ir. Oleh karena itu, tidak ada kontradiksi di antaranya.

104. Mengapa Kita harus Menyebut Nama Allah ketika Hendak Menyembelih binatang?
Apakah dengan menyebut nama Allah atau selain nama Allah, atau tidak menyebut sesuatu sama sekali ketika menyembelih binatang -dari sisi kesehatan- akan membawa pengaruh terhadap daging binatang yang disembelih itu?
Dalam menjawab pertanyaan ini, harus ditekankan, tidak seharusnya kita lupa bahwa tidak perlu nama Allah atau nama selain Allah memberikan pengaruh -dari sisi kesehatan- terhadap substansi daging binatang itu. Karena, keharaman dalam Islam didasarkan pada hal-hal yang berbeda. Kadang kala keharaman sesuatu demi kesehatannya dan penjagaan biologi manusia, terkadang pula ditujukan untuk menyucikan ruh dan spiritual manusia, dan pada kali lain bisa jadi untuk menjaga keberaturan dan keseimbangan.
Sedangkan, keharaman daging yang disembelih dengan nama-nama berhala dan arca pada hakikatnya mempunyai dampak spiritual, akhlak dan pendidikan, karena penyembelihan dengan menggunakan nama selain Allah akan menjauhkan manusia dari-Nya. Hal ini akan menimbulkan pengaruh kejiwaan dan pendidikan yang tidak sehat. Karena hal ini merupakan sunah-sunah yang syirik, dan para penyembah berhala yang dengan melakukan hal tersebut berarti telah memperbaharui kebiasaan mereka.

105. Apakah yang Dimaksud dengan Penyaksian Kalbu (Mukâsyafah dan Musyâhadah)?

Prolog
Salah satu sumber makrifat adalah mukasyafah dan pencerahan jiwa.
Sebelum segala sesuatu, perlu kiranya kami mendefinisikan mukasyafah ini terlebih dahulu untuk mereka yang belum mengenalnya sehingga mereka bisa membedakan antara masalah ini dengan masalah-masalah yang lain, seperti wahyu, ilham, fitrah, dan pencerapan akal dan orang yang tidak mengetahui tidak pula menganggapnya sebagai sebuah imajinasi belaka.
Dari sisi lain, hal ini kami lakukan untuk menutup jalan bagi mereka yang hanya ingin menyalahgunakannya sebagaimana yang sering terjadi sehingga menyebabkan sebagian memandang persoalan ini dengan penuh keraguan, cemoohan, dan kecurigaan.
Pada prinsipnya, makhluk yang ada di dunia ini terbagi ke dalam dua kelompok:
a. Makhluk material. Yaitu, makhluk yang bisa disentuh yang disebut juga dengan alam fisis, yaitu alam materi.
b. Makhluk nonmaterial. Yaitu, makhluk yang tersembunyi dari sentuhan indra kita yang biasa disebut juga dengan alam gaib.
Akan tetapi, terkadang manusia bisa menemukan persepsi dan pandangan baru yang membuatnya menemukan jalan untuk memasuki alam gaib dan menyaksikan alam gaib tersebut dengan pandangannya (sesuai dengan kemampuannya masing-masing). Dengan kata lain, tirai yang berada di hadapannya telah tersibak dan ia menemukan sebagian realitas yang terdapat di alam gaib dengan jelas, sebagaimana jelasnya manusia menyaksikan alam materi ini dengan mata kepalanya. Bahkan, hal itu lebih jelas dan lebih meyakinkan beberapa kali lipat. Kondisi inilah yang disebut dengan mukasyafah atau pencerapan kalbu.
Ini adalah sebuah topik pembahasan yang telah direfleksikan dalam surat At-Takatsur [102], ayat 5 dan 6 yang menegaskan, "Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat Jahannam."
Tentang pelaku kriminal dan mukminin, telah ditegaskan dalam literatur Islam yang beragam bahwa ketika seseorang sedang menghadapi kematian, mereka akan mengalami penyingkapan batin dan menyaksikan para malaikat atau ruh-ruh suci para wali Allah yang datang menghampirinya, sementara orang-orang yang berada di sekitar mereka tidak mempuyai kemampuan untuk mempersepsikan persoalan ini.
Hal inilah yang disaksikan oleh Rasulullah saw. dalam perang Khandaq, saat beliau berada di antara percikan api yang muncul dari sabetan beliung di atas pecahan batu. Beliau bersabda, "Aku melihat istana-istana Kisra Persia, kaisar Romawi, dan istana raja-raja Yaman."
Dan ini pula yang telah dinukil dalam sebuah hadis terkenal tentang Aminah, ibunda mulia Rasulullah saw. pada masa kehamilan beliau yang mengatakan, "Aku menyaksikan sebuah cahaya keluar dari dalam diriku dan aku melihat istana negeri Basra di Syam dengannya." Ini bukan sebuah wahyu dan bukan pula ilham kalbu, akan tetapi sebuah penyaksian, penglihatan, dan penyingkapan mata batin yang berada dalam tingkatan yang lebih tinggi dari penyaksian alam material.
Ini pulalah yang dikatakan oleh Sanaj yang menegaskan, "Jika dibukakan bagimu mata untuk menyaksikan kegaiban, maka butiran-butiran alam ini akan berbagi rasa denganmu. Pada waktu itulah kamu akan mendengar percakapan air dan bunga, dan dengan mendengar nyanyian tasbih para makhluk alam, keraguan seluruh takwil akan menjadi sirna. Sungguh telinga manusia asing tidak akan mendengarkan realitas ini. Akan tetapi, seorang insan yang akrab dengan kerahasiaan mempunyai kelayakan untuk mendengarkan nyanyian dan rahasia ini."
Oleh karena itu, mukâsyafah dan penyaksian mata batin dalam ibarat yang pendek bisa didefinisikan sebagai berikut:
Mukâsyafah dan penyingkapan batin adalah menemukan jalan menuju alam nonmaterial dan penyaksian realita alam itu dengan mata batin, persis seperti penyaksian alam material. Bahkan, intensitasnya lebih kuat. Atau mendengar bisikan-bisikan tersebut dengan menggunakan telinga jiwa.
Tentu saja tidak harus semua orang yang mengklaim dirinya mempunyai kemampuan semacam ini bisa segera diterima dan tidak pula cerita setiap pengklaim harus didengar. Akan tetapi, pembahasan kita hanya berkisar pada adanya sumber makrifat semacam ini. Kemudian masih terdapat pula pembahasan tentang bagaimana hal ini bisa diperoleh, dan bagaimana metode memeriksa klaim yang benar dan yang bohong.

106. Apakah Korelasi antara telah Dibagikannya Rezeki oleh Allah dan Usaha Manusia untuk Menjalani Kehidupan?
Dalam surat Ar-Ra'd [13], ayat 26 disebutkan, "Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Ia kehendaki ...."
Dengan memperhatikan ayat ini, akan muncul sebuah pertanyaan, bagaimana korelasi antara pembagian rezeki yang dilakukan oleh Allah swt. dengan usaha manusia untuk menjalani kehidupannya?
Bukan hanya ayat ini saja yang menyebutkan bahwa banyak sedikitnya rezeki para makhluk berada di tangan Allah. Akan tetapi, banyak ayat lain di dalam Al-Qur'an yang mempunyai makna seperti ini. Dari sini bisa diketahui dengan baik bahwa Allah swt. akan meluaskan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, dan akan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki pula. Akan tetapi, makna ini tidak berarti sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian orang jahil yang mengatakan bahwa kita harus berhenti melakukan usaha dan cukup duduk manis di pojok ruangan untuk menunggu apa yang akan dibagikan oleh-Nya.
Orang-orang yang memiliki pemikiran semacam ini dan menganggap bahwa agama merupakan sebuah hal yang membahayakan, pada hakikatnya mereka lalai terhadap dua hal prinsip berikut ini:
Pertama, kehendak Allah swt. sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, bukanlah sebuah masalah kesewenangan dan tanpa perhitungan. Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, kehendak Allah tidak akan pernah lepas dari hikmah-Nya, dan senantiasa diletakkan di atas prinsip kelayakan.
Kedua, masalah pembagian rezeki dari Allah ini tidak menafikan sebab-akibat. Karena sebab-akibat yang terdapat di alam materi ini juga merupakan kehendak Allah dan kehendak Takwînî-Nya. Dan kehendak Takwînî sama sekali tidak akan pernah terpisah dari kehendak Tasyrî'î-Nya.
Dengan kata lain, kehendak Allah swt. dalam hal perluasan dan penyempitan rezeki senantiasa bergantung dan bersyarat pada syarat-syarat yang menguasai kehidupan manusia, yaitu usaha, upaya, keikhlasan, dan kesetiaan. Sebaliknya, kemalasan, kelemahan, kepelitan, dan ketidakikhlasan mempunyai peran penentu pula di dalamnya. Berangkat dari dasar ini, Al-Qur'an berulang-ulang mengajak manusia untuk melakukan usaha, upaya dan aktifitas-aktifitasnya, karena Allah akan meletakkan keuntungan dalam kehidupan mereka sesuai dengan tolok ukur usaha dan jerih payah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, dalam kitab Wasâ'il Asy-Syi'ah dan hadis-hadis lain yang sangat banyak, ketika membahas masalah perdagangan, usaha dan pekerjaan. Disebutkan bahwa usaha dan kerja keras merupakan sebuah cara untuk menghasilkan rezeki.
Sebaliknya, hadis-hadis lain juga menyebutkan celaan terhadap pengangguran, orang-orang yang banyak tidur, dan pemalas. Salah satunya adalah hadis Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. yang berkata, "Ketika pada permulaan semua makhluk melakukan pernikahan, kemalasan mengikatkan tali pernikahannya dengan ketidakmampuan yang dari pertalian ini terlahir keturunan bernama kemiskinan."
Dan dalam hadis lain, dari Imam Ash-Shadiq a.s. dinukil; beliau berkata, "Janganlah kamu bermalas-malasan dalam mencari rezeki dan memenuhi kebutuhan hidupmu, karena orang tua dan pendahulu-pendahulu kami melakukan hal ini dan mereka mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka."
Dan dalam hadis lain yang berasal dari Imam Al-Baqir a.s. dinukil; beliau bersabda, "Aku benci terhadap pria yang malas bekerja untuk dunianya. Seseorang yang malas dalam bekerja untuk dunianya (padahal hasilnya akan begitu cepat ia nikmati), maka ia akan semakin malas dalam pekerjaan akhiratnya."
Dan demikian juga Imam Musa bin Ja'far a.s. dalam sebuah hadis berkata, "Allah membenci hambaNya yang banyak tidur dan Allah menganggap orang-orang yang menganggur sebagai musuhNya."

18
MENJAWAB 110 ISU-ISU AKIDAH

107. Apakah Kisah Ashabul Kahfi Sesuai dengan Ilmu Pengetahuan Modern?
Dalam masalah tidur panjang para pemuda kota Afsus (Ashabul Kahfi) yang berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, mungkin saja akan menimbulkan keraguan pada beberapa orang dan mereka menganggap hal ini tidak relevan dengan parameter-parameter ilmiah. Oleh karena itu, mereka menempatkan peristiwa ini sederet dengan khayalan dan dongeng belaka, karena:
Pertama, usia panjang yang mencapai ratusan tahun untuk orang-orang yang bangun saja merupakan sebuah hal yang tidak rasional. Apa lagi untuk orang-orang yang tidur!
Kedua, apabila kita menerima bahwa usia sekian ratus tahun ini adalah suatu hal yang mungkin dan bisa terjadi dalam kondisi bangun, maka dalam keadaan tidur, hal ini mustahil bisa terjadi. Karena pasti akan muncul problem makan dan minum. Bagaimana mungkin orang bisa bertahan hidup selama beratus-ratus tahun tanpa membutuhkan makan dan minum? Dan seandainya untuk setiap hari hidup kita membutuhkan satu kilo makanan dan satu liter air saja, maka untuk seusia Ashabul Kahfi ini, kita harus menggudangkan lebih dari seratus ton makanan dan seratus ribu liter air, yang tentu saja ukuran sebanyak ini belum mempunyai arti.
Ketiga, apabila semua itu tidak dianggap, maka kita akan tetap dihadapkan dengan persoalan, yaitu, menetapnya tubuh dalam kondisi monoton dan itu pun untuk waktu yang sangat panjang pasti akan menyebabkan kerusakan pada organisme tubuh dan menimbulkan begitu banyak kerusakan padanya.
Pada mulanya, mungkin kritikan-kritikan semacam ini bisa mengantarkan kita kepada sebuah jalan buntu yang tidak mungkin kita tembus. Padahal, tidak demikian adanya, karena:
Pertama, persoalan usia panjang bukan merupakan persoalan yang tidak ilmiah, meskipun kita mengetahui bahwa panjangnya usia setiap makhluk hidup secara ilmiah tidak mempunyai parameter yang pasti dan paten, karena dengan kedatangan maut, sudah pasti ia akan mati.
Dengan ibarat lain, benar bahwa ketahanan tubuh manusia, bagaimanapun kuatnya, pada akhirnya mempunyai keterbatasan dan sampai pada akhir perjalanannya. Akan tetapi, klaim ini bukan berarti bahwa kondisi tubuh seorang manusia atau makhluk hidup lain tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama dari usia yang sewajarnya, seperti yang terlihat di alam natural bahwa apabila air telah mencapai suhu seratus derajat celsius, konsekuensinya adalah air akan mendidih dan pada suhu nol derajat celsius, air akan menjadi es.
Demikian pula halnya dengan manusia. Ketika ia telah mencapai usia seratus atau seratus lima puluh tahun, maka jantungnya akan berhenti melakukan aktifitasnya sehingga dengan demikian, kematian akan menghampirinya. Tidaklah demikian adanya. Parameter panjang-pendeknya usia makhluk hidup bergantung banyak pada kondisi kehidupan mereka. Karena, dengan adanya perubahan kondisi kehidupan, maka panjang-pendeknya usia makhluk hidup benar-benar bisa mengalami perubahan juga.
Terbukti bahwa dari satu sisi, tidak ada satu pun ilmuwan di dunia ini yang mampu menentukan parameter yang pasti untuk usia manusia, dan dari sisi lain, penelitian yang mereka lakukan di lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa terkadang mereka mampu mengupayakan usia sebagian makhluk hidup lebih panjang beberapa kali lipat dari usia yang semestinya. Terkadang hal itu bisa sampai dua belas kali lipat lebih lama dari usia yang semestinya. Dan bahkan, pada saat ini, mereka memberikan harapan kepada manusia bahwa di masa yang akan datang, dengan ditemukannya metode ilmiah terbaru, usia manusia bisa diupayakan hingga mencapai beberapa kali lipat dari usia yang ada sekarang. Ini sehubungan dengan panjang-pendeknya usia.
Kedua, tentang problem air dan pangan dalam keadaan tidur panjang ini, bisa dikatakan bahwa apabila tidur yang dilakukan adalah tidur biasa sebagaimana yang sering terjadi pada diri kita, maka kebenaran ada pada para pengkritik. Yaitu, hal ini tidak relevan dengan prinsip ilmiah, karena pembakaran dan pembentukan badan dalam keadaan tidur biasanya akan lebih sedikit daripada ketika dalam keadaan terjaga. Akan tetapi, apabila hal yang sama dilakukan secara kontinyu untuk tahun-tahun berkepanjangan, maka hal itu akan menjadi sangat banyak. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa di dunia natural kita ini terdapat pula jenis-jenis tidur yang dilakukan pada musim dingin di mana penggunaan makanan dalam tubuh dalam kondisi seperti ini sangatlah sedikit.


Penyakit Tidur Musim Dingin
Terdapat banyak jenis binatang yang pada keseluruhan musim dingin senantiasa berada dalam keadaan tidur panjangnya di mana dalam istilah ilmiahnya dinamakan dengan penyakit tidur musim dingin.
Aktifitas kehidupan pada jenis tidur semacam ini bisa dikatakan terhenti sama sekali dan hanya terdapat nyala yang amat kecil di dalamnya dan jantung seakan berhenti berdenyut. Mungkin ungkapan yang lebih tepat adalah, bahwa detakan jantung sedemikian lemahnya sehingga bisa dikatakan sama sekali tidak bisa dirasakan.
Dalam keadaan semacam ini, tubuh makhluk hidup bisa diibaratkan sebagai sebuah tanur besar yang telah padam, di mana dalam kepadamannya ini masih terdapat nyala lilin kecil yang tetap berada dalam aktifitasnya. Sangat jelas bahwa bahan makanan yang dimasak di dalam tanur yang biasanya dalam satu hari membutuhkan sekian bahan bakar untuk menghasilkan nyala api yang besar akan bisa menjadi makanan untuk puluhan atau ratusan tahun apabila dimasak dengan menggunakan nyala lilin yang amat kecil. (Tentu saja hal ini bergantung pada besar kecilnya nyala tanur dalam keadaan menyala dan dalam keadaan lilin kecil itu menyala).
Para ilmuwan dalam menanggapi masalah penyakit tidur musim dingin sebagian binatang ini berkata, "Apabila kita keluarkan seekor katak yang sedang berada dalam keadaan tidur musim dinginnya dari tempatnya, maka ia seakan-akan tampak mati, tidak ada udara dari paru-parunya, dan detakan jantungnya sedemikian lemah sehingga tidak bisa ditemukan.
Di antara binatang-binatang berdarah dingin yang mempunyai kebiasaan tidur musim dingin ini adalah sebagian kupu-kupu dan serangga. Demikian juga jenis-jenis siput tanah, binatang-binatang melata dan sebagian dari binatang menyusui (berdarah panas) pun mempunyai kebiasaan tidur musim dingin ini. Ketika mereka sedang melakukan tidur musim dingin, maka aktifitas-aktifitas kehidupan sangatlah sedikit, dan lemak-lemak yang tersimpan di dalam badan akan dimanfaatkan secara bertahap."
Maksudnya adalah, bahwa kita mempunyai jenis tidur yang dalam kondisi tidur ini kebutuhan akan makan dan minum menjadi luar biasa sedikit dan aktifitas kehidupan hampir mendekati nol. Dan kebetulan, hal inilah yang membantu guna menghindarkan anggota badan dari kerusakan dan keletihan, serta akan mempengaruhi panjangnya usia binatang-binatang jenis ini. Pada prinsipnya, tidur musim dingin ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi sebagian binatang yang mungkin tidak mampu untuk mencari makanan pada musim dingin.


Penguburan Para Petapa
Berkenaan dengan masalah para petapa sering kita saksikan bahwa sebagian dari mereka diletakkan di dalam sebuah peti dengan disaksikan oleh mata-mata yang keheranan dan sulit menerimanya dan kadang-kadang mereka dikuburkan selama seminggu di dalam tanah. Setelah waktu itu habis, mereka dikeluarkan kembali dari dalam tanah, lalu dipijat dan diberikan bantuan pernafasan sehingga mereka kembali ke dalam kondisi awalnya setahap demi setahap.
Dalam hal ini, problem kebutuhan pada makanan bisa jadi tidak merupakan suatu hal yang amat krusial. Akan tetapi, kebutuhan pada oksigen untuk pernafasan merupakan problem yang lain. Karena kita mengetahui betapa pekanya sel-sel otak ini menghadapi kekurangan oksigen dan ketergantungan sel-sel otak ini terhadap zat kehidupan "oksigen" yang sedemikian eratnya sehingga apabila beberapa detik saja ia tidak mendapatkannya, hal itu akan menyebabkan kerusakan pada sel-sel tersebut secepat mungkin. Sekarang, bagaimana para petapa ini bisa menahan kekurangan oksigen dalam waktu -misalnya- satu minggu tersebut?
Jawaban dari pertanyaan ini, dengan memperhatikan penjelasan yang telah kami berikan sebelumnya, tidaklah terlalu sulit. Karena selama masa ini, aktifitas kehidupan pada tubuh para petapa ini kira-kira telah berada dalam kondisi terhenti. Hal ini menyebabkan kebutuhan sel-sel otak terhadap oksigen dan pengunaannya berada dalam level yang luar biasa sedikit sehingga selama masa ini, udara di dalam lingkup peti saja telah mencukupi kebutuhan oksigennya selama satu minggu.


Pembekuan Tubuh Manusia yang Masih Hidup
Saat ini terdapat begitu banyak teori mengenai persoalan pembekuan tubuh binatang dan bahkan, tubuh manusia (untuk memperpanjang usia mereka) yang sebagiannya telah terealisasi. Sesuai dengan teori-teori yang ada, mungkin saja dengan meletakkan tubuh seorang manusia atau seekor hewan dalam suhu udara di bawah nol derajat sesuai dengan metode yang khusus akan bisa menghentikan kehidupannya tanpa menyebabkan kematian yang sesungguhnya, dan setelah beberapa saat lamanya, ia harus diletakkan di dalam suhu udara hangat yang sesuai sehingga ia akan kembali pada kondisinya semula.
Untuk perjalanan luar angkasa ke planet yang jauh, di mana terdapat kemungkinan akan menghabiskan waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun lamanya, terdapat beberapa metode dan teori yang disarankan. Salah satunya adalah meletakkan astronot di dalam ruangan khusus untuk mengawetkannya di sana. Lalu, setelah beberapa tahun berlalu dan telah mendekati letak planet yang dimaksud suhu udara di ruangan tersebut -dengan menggunakan sebuah sistem otomatik- akan berubah menjadi suhu udara biasa sehingga mereka kembali pada kondisi semula tanpa kehilangan usia mereka.
Dalam salah satu berita di sebuah majalah ilmiah disebutkan bahwa di tahun-tahun terakhir ini telah diterbitkan sebuah buku tentang pembekuan tubuh manusia untuk memperpanjang usianya. Buku itu ditulis oleh Robert Nelson. Dalam dunia sains dan pengetahuan, hal ini mempunyai refleksi yang luas dan beruntun.
Dalam sebuah artikel di majalah tersebut yang secara teratur membahas tentang masalah ini, ditegaskan bahwa belakangan ini muncul sebuah fakultas ilmiah dengan program khusus yang membahas persoalan seperti ini. Dalam artikel tersebut tertulis "Kehidupan abadi dalam sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berbarengan dengan mimpi-mimpi emas yang telah mengakar di dalam diri manusia. Akan tetapi, sekarang mimpi ini telah menjadi sebuah realitas. Hal ini dikarenakan perkembangan tekhnologi yang menakjubkan dari persepsi sains terbaru yang dinamakan sebagai crionik. (Sebuah sains yang membawa manusia ke alam pembekuan dan menjaganya sebagaimana sebuah badan yang telah diawetkan dengan harapan suatu hari akan bisa dihidupkan kembali oleh para ilmuwan)."
Apakah logika semacam ini bisa dipercaya? Begitu banyak para ilmuwan terkenal memikirkan masalah ini dari perspektif yang lain dan majalah-majalah semacam "Life" dan "Skuwair", demikian juga surat kabar seluruh dunia secara gencar membahas persoalan krusial ini. Dan yang lebih penting dari semua itu, terdapat program (mengenai masalah ini) yang sekarang sedang berada dalam tahap pelaksanaan.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah pers telah mengumumkan adanya seekor ikan dari spesis yang hidup beribu-ribu tahun yang ditemukan membeku di antara bebatuan es di daerah kutub. Anehnya, setelah meletakkannya ke dalam air hangat, ikan ini mulai menampakkan tanda-tanda kehidupannya. Kemudian, ikan ini mulai menggerak-gerakkan siripnya di hadapan orang-orang yang menyaksikannya dengan keheranan.
Di sini jelas terlihat, bahkan dalam kondisi membeku sekalipun, sistem-sistem kehidupan tubuh -seperti juga ketika sudah mati- tidak berhenti secara sempurna. Karena jika tidak demikian, kembali kepada kehidupan adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi, bahkan akan terjadi dalam kondisi yang sangat lamban.
Dari pembahasan tersebut, kita bisa mengambil konklusi bahwa memberhentikan dan mengubah kebiasaan kehidupan merupakan suatu hal yang bisa diterima dan memungkinkan, dan pengkajian dalam berbagai sains menegaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut dilihat dari berbagai aspek.
Dalam kondisi ini, penggunaan makanan dalam tubuh kira-kira telah mencapai titik nol dan timbunan yang tidak seberapa di dalam tubuh mampu mencukupi kehidupan yang dijalaninya dalam waktu yang cukup panjang.
Jangan sampai salah paham! Kami sama sekali tidak ingin mengingkari adanya keajaiban tidurnya Ashabul Kahfi dengan pembicaraan kami di atas. Akan tetapi, yang sedang kami lakukan adalah mencoba mendekatkan peristiwa ini dari visi ilmiah.
Karena jelas, tidurnya Ashabul Kahfi bukanlah sebuah tidur biasa dan wajar sebagaimana tidur yang kita lakukan setiap hari. Melainkan sebuah tidur yang mempunyai keunikan dan pengecualian. Oleh karena itu, bukan pada tempatnya untuk takjub bahwa mereka (dengan kehendak Allah swt.) telah tidur dalam waktu yang amat panjang dan tidak mengalami kesulitan dalam masalah kekurangan makanan dan tidak juga terdapat organisme yang merusak tubuh mereka.
Menariknya, dalam ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al-Kahfi yang menceritakan kondisi tidur mereka difirmankan bahwa cara tidur mereka sangat berbeda jauh dari cara tidur normal.
Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur ... Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan [diri] dan tentulah [hati]mu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (QS. al-Kahfi [18]: 18)
Ayat ini membuktikan bahwa mereka tidak tidur dalam keadaan sewajarnya. Akan tetapi, meraka tidur -sebagaimana seorang jenazah- dengan mata terbuka.
Selain itu, Al-Qur'an mengatakan bahwa cahaya matahari tidak menyinari bagian dalam gua. Ia berfirman, "Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan ketika terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri ...." (QS. Al-Kahfi [18]: 17)
Dengan memperhatikan bahwa gua mereka kemungkinan berada di salah satu dari dataran tinggi di Asia Kecil yang mempunyai suhu udara dingin, maka hal ini akan semakin menjelaskan keadaan tidur mereka yang istimewa. Dari sisi lain, Al-Qur'an berfirman, "... Dan Kami membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri ...." (QS. Al-Kahfi [18]: 18)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam kondisi monoton. Terdapat faktor-faktor rahasia yang hingga sekarang belum kita kenali. (Mungkin dalam setahun sekali) Allah membalik-balikkan mereka ke kiri dan ke kanan sehingga tidak akan merusak organisme badan.
Sekarang, ketika pembahasan ilmiah masalah ini sudah jelas dengan porsi yang cukup, kesimpulan dari masalah ini dalam pembahasan Ma'âd (Hari Kebangkitan) tidak akan begitu sulit. Karena bangunnya kembali Ashabul Kahfi setelah sekian lama tidur adalah mirip dengan hidup kembali setelah mati, dan dengan peristiwa ini, kejadian Ma'âd akan menjadi lebih dekat dalam persepsi kita.

108. Apakah yang Dimaksud dengan Tujuh Langit?
Di dalam tujuh ayat Al-Qur'an terdapat pembahasan tentang tujuh langit ini. Di antara keseluruhan interpretasi beragam yang membahas tujuh langit, berikut ini adalah interpretasi yang paling tepat. Yaitu, maksud dari tujuh langit (samâwât sab') adalah makna hakiki dari tujuh langit yang ada. Yaitu, yang dimaksud dengan langit di sini bukanlah planet, melainkan kumpulan dari bintang-bintang dan kosmos angkasa. Dan maksud dari angka tujuh merupakan angka jumlah yang telah kita kenal, bukan angka yang mengindikasikan arti banyak.
Hanya saja, di dalam ayat-ayat lain Al-Qur'an ditemukan bahwa seluruh apa yang kita lihat dari bintang-bintang, planet, galaksi, dan meteor-meteor berkaitan dengan rangkaian langit pertama. Oleh karena itu, di balik kosmos agung ini, terdapat enam kosmos lain (enam langit) yang satunya lebih baik dari yang lainnya. Dan keenam kosmos ini -paling tidak hingga hari ini- berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan manusia.
Dalam surat Ash-Shaffat [37], ayat 6 difirmankan, "Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan bintang-bintang."
Dan dalam surat Fushshilat [41], ayat 12 difirmankan, "... dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang ...."
Dan terdapat pula makna yang sama dengan sedikit perbedaan dalam surat Al-Mulk [67], ayat 5 difirmankan, "Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, ...."
Yang menarik untuk dikaji dalam topik bahasan ini adalah klaim Alamah Al-Majlisi dalam Bihâr Al-Anwâr-nya yang mencantumkan kemungkinan ini pula sebagai salah satu dari tafsir-tafsir ayat tersebut. Ia menulis, "Kemungkinan ketiga yang muncul di dalam pikiranku adalah, bahwa seluruh galaksi yang telah dibuktikan sebagai bintang-bintang, semuanya dinamakan dengan langit bawah."
Benar apabila dikatakan bahwa sains kita saat ini belum bisa membuka tabir kekaburan dari keenam kosmos yang lainnya. Akan tetapi, hal ini sama sekali bukan merupakan dalil penafian keberadaan tatanan kosmos tersebut dari pandangan ilmiah. Dan bisa jadi di masa yang akan datang, rahasia dari teka-teki ini akan bisa terungkap.
Bahkan, penelitian ilmiah sebagian astrolog membuktikan bahwa saat ini, indikasi dari keberadaan alam lain telah bisa terlihat dari jauh. Salah satunya adalah apa yang sebelumnya dikatakan oleh Pusat Penelitian Astrologi "Polumor" yang terkenal tentang keagungan dunia sebagaimana yang sebelumnya pernah kami nukilkan. Dan klaim yang menjadi saksi atas pendapat kami, akan kami ulangi di sini, "Dengan menggunkan teropong milik Pusat Penelitian Astrologi Polumor telah ditemukan berjuta-juta galaksi baru, yang sebagiannya mempunyai jarak dari kita sejauh beribu juta tahun cahaya. Akan tetapi, di seberang jarak ribuan juta tahun cahaya ini terdapat ruang udara yang luar biasa luas dan gelap gulita di mana tidak ada sesuatu pun terlihat di sana.
Tanpa ragu lagi, di dalam ruang udara yang luar biasa luas dan gulita tersebut terdapat ratusan juta galaksi di mana tatanan kosmos yang berada di samping kita terjaga keseimbangannya dengan gravitasi yang dimiliki oleh galaksi tersebut. Keseluruhan dunia yang terlihat sangat agung dan mempunyai ratusan juta galaksi ini hanyalah butiran kecil yang tak bisa diperhitungkan dibandingkan dengan dunia yang lebih besar, dan kita masih saja tidak mempunyai keyakinan bahwa dalam keluasan dunia kedua tersebut tidak ada lagi dunia yang lain."
Di tempat lain, salah seorang ilmuwan dalam artikel panjang menulis tentang keberadaan mikrokosmos yang agung ini, setelah sebelumnya menyebutkan keajaiban galaksi-galaksi yang ada dalam pasal-pasalnya yang luar biasa mendalam dan memaparkan tentang fariasinya yang mengagumkan yang semua itu didasarkan pada hitungan tahun cahaya. Ia mengatakan, "Hingga di sini para ahli perbintangan sepakat bahwa mereka baru menjalani separuh perjalanan dalam mengenali fenomena-fenomena yang bisa terlihat dari dunia dengan keagungannya, dan masih ada lagi ruang hampa lain yang belum bisa ditemukan di mana persoalan ini harus dicari jawabannya."
Dengan demikian, kosmos-kosmos yang hingga sekarang telah ditemukan oleh manusia dengan segala keluarbiasaan yang dimilikinya hanyalah merupakan sisi kecil dari mikrokosmos yang besar dan luas ini dan bisa direlevansikan dengan persoalan tujuh langit.

109. Apakah Hancurnya Tata Surya Matahari dan Bintang pada Saat Kiamat Sesuai dengan Sains Modern?
Dalam surat At-Takwir [81], ayat 1 yang berkaitan dengan masalah hari kebangkitan difirmankan, "Apabila matahari digulung dan apabila bintang-bintang berjatuhan."
Dengan memperhatikan ayat di atas, timbul pertanyaan, apakah padamnya tata surya matahari mempunyai relevansi dengan sains modern pada saat ini?
Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita harus mengetahui matahari sebagai sentral dan sumber kehidupan bagi tata surya kita, meskipun apabila dikomparasikan dengan bintang-bintang yang ada di langit, matahari merupakan sebuah bintang yang biasa. Akan tetapi, dalam batasan substansinya, matahari merupakan sebuah bintang yang luar biasa besarnya apabila dibandingkan dengan planet bumi.
Sesuai dengan penelitian para ilmuwan astrologi, matahari mempunyai ukuran satu juta tiga ratus ribu kali lipat lebih besar ukuran bumi tercinta kita ini. Hanya saja, karena jaraknya yang sedemikian jauh dari kita, yaitu sekitar seratus lima puluh juta kilometer, maka ia hanya bisa terlihat dengan ukuran yang kita lihat sekarang ini.
Untuk merefleksikan keagungan dan keluasan matahari, cukuplah bagi kita dengan membayangkan apabila planet bulan dan bumi dengan jarak yang ada di antara mereka sekarang ini kita masukkan ke dalam matahari, maka bulan dengan sangat mudah akan mengitari bumi tanpa keluar dari lingkaran dan permukaan matahari.
Suhu permukaan matahari mencapai enam ribu derajat celsius dan suhu di dalamnya mencapai beberapa juta derajat.
Apabila kita ingin mengetahui berat matahari dengan menggunakan ukuran ton, maka kita harus menuliskan angka dua dan meletakkan dua puluh tujuh angka nol di sampingnya.
Dari permukaan matahari terdapat nyala api yang menjilat-jilat yang terkadang mencapai ketinggian seratus enam puluh ribu kilo meter, dan planet bumi bisa dengan mudah menghilang di tengah-tengah jilatan api ini, karena diameter bumi tidak lebih dari dua belas ribu kilometer.
Berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian kelompok, sumber energi panas dan cahaya matahari bukanlah muncul dari adanya proses pembakaran di dalamnya. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh George Gomvef dalam salah satu karyanya yang berjudul "Fenomena Kemunculan dan Kematian Matahari", apabila bahan bakar matahari berasal dari arang batu murni dan telah dinyalakan pada zaman Fir'aun Mesir yang pertama, maka seharusnya saat ini semua arang tersebut telah terbakar dan tidak ada satu pun yang tersisa lagi kecuali abunya. Dan apabila kita misalkan jenis bahan bakar lain sebagai pengganti dari arang batu ini, maka kita tetap akan menemui persoalan yang sama di dalamnya.
Pada hakikatnya, arti proses pembakaran untuk matahari ini tidaklah benar. Yang dibenarkan adalah bahwa energi yang ada dihasilkan dari segregasi atau pemisahan atom-atom yang ada di dalam matahari, dan kita mengetahui bahwa energi ini luar biasa besarnya. Oleh karena itu, atom-atom matahari senantiasa berada dalam keadaan terpisah dan mengalami radiasi yang kemudian diubah menjadi sebuah energi. Berdasarkan perhitungan para ilmuwan, dalam keadaan ini matahari pada setiap detiknya akan kehilangan sebanyak empat juta ton energi. Akan tetapi, volume dan kapasitas matahari sedemikian besarnya sehingga setelah sekian ribu tahun tidak sedikit pun kelihatan mengerutkan alisnya. Demikian juga, tidak ada sedikit pun perubahan eksternal yang bisa terlihat.
Akan tetapi, harus diketahui bahwa hal inilah yang pada akhirnya dalam sekian waktu akan membantu terjadinya kefanaan dan kehancuran matahari. Pada akhirnya, kapasitas dan volume agung ini akan menjadi semakin mengalami desimasi dan pengurusan yang pada akhirnya akan memunculkannya tanpa cahaya. Hal ini terjadi pula pada keseluruhan bintang-bintang yang lainnya.
Oleh karena itu, apa yang difirmankan dalam ayat-ayat Al-Qur'an di atas tentang kegelapan dan kehancuran bintang-bintang adalah merupakan suatu hal yang nyata, di mana persoalan ini sangat relevan dengan sains dan perkembangan ilmu pada saat ini. Dan Al-Qur'an telah menjelaskan realitas ini, bukan saja untuk lingkungan jazirah Arab yang berada dalam lingkup dunia; di mana ilmu pengetahuan yang ada saat itu belum menyingkap persoalan ini.

110. Apakah Tujuan dari Taqiyah?

Taqiyah, Perisai Pertahanan
Benar bahwa terkadang manusia siap mengorbankan nyawanya demi meraih tujuan-tujuan yang lebih tinggi; mempertahankan kehormatan, dan amar makruf nahi munkar. Akan tetapi, apakah akal kita akan memperbolehkan seseorang untuk mengorbankan nyawanya demi sesuatu yang kosong dari tujuan yang penting?
Ketika menghadapi persoalan-persoalan di mana nyawa, kekayaan dan perkara-perkara prinsipil lainnya berada dalam ancaman bahaya, dan ketika menampakkan sesuatu yang hak, sama sekali ia tidak akan menghasilkan solusi yang memuaskan, Islam secara tegas memberikan izin supaya manusia menghindarkan diri dari penampakkan perkara-perkara tersebut secara temporer dan mengamalkan kewajibannya dengan cara rahasia. Dalam surat Ali 'Imran [3], ayat 28 difirmankan, "... kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ...."
Dan dalam surat An-Nahl [16], ayat 106 dengan ungkapan lain difirmankan, "... kecuali orang yang dipaksa untuk menjadi kafir padahal hatinya tetap tenang dan beriman [maka ia tidak berdosa] ...."
Sejarah dan sumber-sumber hadis Islam pun tidak melupakan kisah Ammar dan kedua orang tuanya yang berada dalam cengkeraman kaum penyembah berhala yang menyiksa mereka supaya Ammar dan keluarganya menjauhi Islam. Kedua orang tua Ammar menolak untuk mengikuti kemauan musyrikin sehingga mereka meninggal di tangan para penyembah berhala ini. Akan tetapi, Ammar menuruti apa yang mereka inginkan dan mengucapkannya dengan lisan.
Setelah itu, ia menangis terisak-isak karena takut terhadap kemurkaan Allah swt. Lalu ia pun bergegas menemui Rasul saw. Kepada Ammar beliau bersabda, "Selagi kamu berada dalam keadaan keterpaksaanmu, dan mereka kembali menginginkan itu darimu, maka katakanlah apa yang mereka inginkan."
Dengan sabda ini, ketegangan, ketakutan, dan tangisan Ammar berhenti dan ia menemukan ketenangannya kembali.
Satu hal yang harus benar-benar diperhatikan bahwa taqiyah dalam seluruh tempat dan kondisi tidak mempunyai satu hukum yang sama, melainkan terkadang menjadi wajib hukumnya, ada kalanya menjadi haram, dan tak jarang pula menjadi mubah.
Taqiyah menjadi wajib ketika nyawa manusia bisa terbuang sia-sia tanpa ada manfaat yang terlalu penting. Akan tetapi, apabila melakukan taqiyah malah akan menyebabkan semakin meraja lelanya kebatilan, menimbulkan kesesatan bagi masyarakat, dan semakin menguatkan kezaliman dan kriminalitas di dalamnya, maka taqiyah menjadi haram dan tidak diperbolehkan.
Berdasarkan prinsip tersebut, seluruh kritik dan hujatan yang berkaitan dengan persoalan ini akan terjawab. Pada hakikatnya, apabila para penghujat mau melakukan pengkajian secara serius terhadap masalah ini, mereka akan sepakat bahwa Syi'ah dalam keyakinan ini tidak berdiri sendirian, karena persoalan taqiyah pada tempatnya sendiri merupakan sebuah hukum rasio mutlak dan sangat relevan dengan fitrah manusia.
Karena, orang-orang yang berakal ketika mereka melihat dirinya berada pada posisi diametral; apakah mereka harus menutupi keyakinan hatinya atau jiwa, harta, dan harga dirinya akan terjerumus ke dalam jurang bahaya jika menampakkan keyakinan itu, maka mereka akan melakukan verifikasi; jika mengekspresikan sebuah keyakinan yang memang layak dikorbankan nyawa, harta, dan harga diri untuknya, maka mereka akan menganggap pengorbanan di jalan ini adalah sesuatu yang benar. Akan tetapi, apabila mereka tidak menemukan efek yang layak untuk mendapat perhatian dari pengorbanan itu, maka mereka akan menutupi keyakinannya.


Taqiyah atau Mengubah Siasat Perlawanan
Dalam sejarah perlawanan agama, sosial dan politik pada masa-masa yang lalu bisa ditemukan bahwa para pembela hakikat ketika mereka ingin menampakkan perlawanannya secara riel, mereka akan menyerahkan dirinya sekaligus ajarannya kepada kehancuran atau paling tidak, meletakkan dirinya pada posisi yang berbahaya, seperti kondisi Syi'ah Ali a.s. ketika berada di bawah pemerintahan Bani Umayah yang tidak syah.
Dalam keadaan semacam ini, metode yang dianggap paling benar dan logis adalah tidak menyia-nyiakan kekuatan yang dimilikinya, dan untuk menghasilkan tujuan-tujuan sucinya, mereka harus melakukan perlawanannya secara tidak langsung atau secara sembunyi-sembunyi.
Pada hakikatnya, taqiyah untuk ajaran semacam ini dan para pengikutnya dalam kondisi ini bisa dikatakan sebagai perubahan siasat perlawanan supaya mereka mampu menyelamatkan diri dari kehancuran, dan untuk selanjutnnya, memenangkan perjuangan mereka. Orang-orang yang secara langsung menganggap taqiyah sebagai sebuah cara yang batil, maka tidak jelas bagi mereka metode dan siasat apakah yang mereka jalankan ketika menghadapi kondisi semacam ini? Kehancurankah yang lebih baik ataukah melanjutkan perlawanan dengan siasat yang sah dan rasional? Dan siasat kedua ini adalah taqiyah, sedangkan siasat pertama yang akan menjerumuskan pada kehancuran, merupakan sebuah perkara yang tidak seorang pun dapat memperbolehkannya.
Muslimin hakiki hasil didikan Rasulullah saw. mempunyai jiwa pertahanan yang luar biasa dalam menghadapi para musuh. Sebagian dari mereka, seperti ayah Ammar, bahkan tidak bersedia untuk mengucapkan satu kalimat pun untuk mengikuti kemauan musuh, meskipun sebenarnya hatinya senantiasa dipenuhi dengan iman kepada Allah dan dipenuhi oleh rasa kecintaan terhadap Rasul-Nya saw., dan dengan cara ini pula ia telah mempersembahkan nyawanya.
Dan sebagiannya lagi, seperti Ammar sendiri, bersedia mengucapkan apa yang dikehendaki oleh musuh. Akan tetapi, ia tetap merasakan adanya ketakutan yang melingkupi seluruh wujudnya, dan ia telah menyalahkan dan menindihkan seluruh tanggungjawab dari perbuatannya ini di atas pundaknya sendiri. Selama Rasulullah saw. tidak memberikan keyakinan dan ketenangan padanya bahwa apa yang telah dilakukannya tersebut merupakan sebuah siasat untuk mempertahankan nyawanya sendiri secara syar'i, selama itu pula ia tidak akan pernah merasa mendapat ketenangan.
Kondisi Bilal yang kita baca ketika ia masuk Islam dan secara gagah berani mempertahankan logika Islam dan bangkit untuk rasa keperduliannya terhadap Rasul saw., hal ini menyebabkan musuh meletakkannya pada posisi yang sangat terdesak, sehingga sampai pada keadaan di mana ia dijemur di bawah terik matahari yang membakar dengan batu besar di atas perutnya. Lalu, dalam kondisi seperti ini, musyrikin mengatakan kepadanya, "kamu harus mempersekutukan Allah."
Akan tetapi, ia menghindari permintaan tersebut dan tidak mau melakukannya. Dalam kondisi di mana nafasnya telah mulai terengah-engah, ia tetap saja bertahan dengan senantiasa mengucapkan Ahad, Ahad (Dialah Allah Yang Satu, Dialah Allah Yang Satu). Bahkan ia masih sempat melanjutkan ucapannya, "Seandainya aku mengetahui sebuah kalimat yang akan membuatmu semakin marah, maka aku tentu akan mengucapkannya di hadapanmu."
Hal yang serupa menimpa pula Habib bin Zaid Al-Anshari ketika Musailamah Al-Kadzdzab menangkapnya dan menanyakan kepadanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Ia mengatakan, "Iya! Aku bersaksi atasnya." Kemudian, ia bertanya lagi, "Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?" Habib dengan nada mengejek menjawab, "Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan." Mendengar jawaban ini, Musailamah dan para pengikutnya memotong-motong tubuhnya satu demi satu dengan kemarahan yang memuncak. Akan tetapi, Habib tetap berdiri tegak sepeti gunung.
Dan peristiwa-peristiwa lain yang menggetarkan hati semacam ini begitu banyak ditemukan dalam sejarah Islam, khususnya pada masa-masa muslimin permulaan dan sahabat-sahabat para imam a.s.
Dengan statemen inilah, para pengkaji mengatakan bahwa dalam kondisi semacam ini, menghancurkan tanggul taqiyah dan tidak menyerah di hadapan musuh adalah diperbolehkan meskipun perbuatan ini harus dibayar dengan harga sebuah nyawa manusia. Hal ini adalah untuk menegakkan Tauhid dan mengumandangkan kalimat Islam. Khususnya pada masa permulaan dakwah Rasulullah saw., hal ini sangat mendapatkan perhatian.
Dengan demikian, tidak ragu lagi bahwa taqiyah dalam kondisi demikian pun diperbolehkan. Demikian juga pada level yang lebih rendah dari wajib. Bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang miskin informasi, taqiyah (tentu saja dalam masalah-masalah tertentu, bukan pada semua kondisi) bukanlah merupakan sebuah indikasi kelemahan, bukan pula indikasi dari sebuah ketakutan akan banyaknya musuh, dan bukan juga menyerah dalam menghadapi tekanan. Taqiyah merupakan sebuah taktik dan strategi yang telah diperhitungkan untuk mempertahankan sumber-sumber daya manusia dan tidak menyia-nyiakan individu-individu mukmin pada perkara-perkara yang kecil.
Di seluruh penjuru dunia telah biasa ditemukan adanya minoritas pejuang dan perlawanan yang menggunakan strategi bawah tanah untuk meruntuhkan mayoritas pemerintahan arogan dan ofensif. Mereka membentuk gerakan bawah tanah, mempunyai program-program rahasia dan banyak di antara mereka yang menyamar diri dengan baju-baju orang lain. Dan bahkan, ketika telah berada dalam tawanan musuh, mereka sedemikian kuat berusaha supaya kegiatan mereka tetap berada pada tempatnya sehingga kekuatan kelompoknya tidak akan hancur dengan sia-sia, dan menyimpannya untuk melanjutkan perjuangan.
Tidak ada sebuah logika pun yang mengizinkan dalam keadaan semacam ini, para pejuang yang berada dalam posisi minoritas supaya menampakkan diri mereka untuk memperkenalkan keberadaannya secara terang-terangan sehingga secara mudah akan dikenali oleh pihak musuh dan dihancurkan oleh mereka.
Berangkat dari dalil ini, taqiyah sebelum menjadi sebuah program dalam Islam, telah merupakan sebuah siasat yang rasional dan logis untuk seluruh umat manusia pada saat melakukan perlawanan dengan para musuh yang berkekuatan lebih besar.
Pada literatur-literatur Islam, kita banyak membaca bahwa taqiyah diibaratkan sebagai sebuah perisai pertahanan.
Imam Ash-Shadiq a.s. dalam sebuah hadis berkata, "Taqiyah merupakan perisai mukminin dan sarana untuk mempertahankan posisinya."
(Harus Anda perhatikan bahwa taqiyah di sini telah diibaratkan dengan perisai di mana perisai merupakan sarana dan alat yang hanya bisa digunakan di dalam medan perang dan dalam perlawanan menghadapi serangan musuh untuk mempertahankan kekuatan revolusi).
Apabila kita melihat dalam hadis-hadis Islam bahwa taqiyah merupakan simbol agama dan iman dan bukan merupakan sembilan bagian dari rangkaian sepuluh bagian agama, semuanya dikarenakan oleh hal ini.
Tentu saja, diskusi dalam masalah taqiyah ini begitu luas. Di sini bukanlah tempatnya untuk memperpanjang-lebar pembahasannya. Tujuan pembahasan kami dalam topik ini hanyalah supaya kita mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh sebagian penyanggah dan pencela taqiyah adalah bukti atas minimnya informasi dan pengetahuan yang memadai terhadap syarat-syarat taqiyah dan filsafatnya.
Tak syak lagi, terdapat beberapa kondisi yang di dalamnya taqiyah diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Yaitu, ketika taqiyah yang semestinya merupakan sarana untuk mempertahankan kekuatan, justru menjadi faktor yang dapat menghancurkan dan membahayakan mazhab atau menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Dalam kondisi semacam ini, benteng taqiyah harus dihancurkan dan fenomena-enomena yang dihasilkan darinya -apapun adanya- harus diterima.[]

19