Muharram, Benarkah Tahun Baru Muslimin?
Setelah memasuki bulan Muharram. Sebagian besar kaum muslimin merayakannya sebagai awal Tahun Baru Muslim dengan penuh rasa suka, yang dibarengi dengan berbagai macam bentuk kegiatan. Apalagi didukung oleh riwayat yang bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh as dari banjir bandang, selamatnya kaum Musa as dari Fir'aun, dan sebagainya pada tanggal 10 Muharram (hari Asyura). Maka semakin lengkaplah kegembiraan bulan ini.
Namun, sebaliknya, ada sebagian kecil kaum muslimin, yang justru bersedih di bulan Muharram tersebut; seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar kaum muslimin tadi. Kelompok kecil ini justru menangis, meratap, dan memukul dada mereka sebagai tanda kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini. Alangkah perbedaan yang sangat kontras. Mengapa demikian ?
Saya mencoba melihat-lihat sejarah seputar penetapan Tahun Baru kaum muslimin. Dari situ saya peroleh bahwa penetapan Tahun Baru Muslim dilakukan di masa Umar bin Khattab. Sebelumnya kaum muslimin menggunakan Tahun Gajah—tahun ketika Abrahah menyerbu Mekkah untuk meruntuhkan Ka'bah—sebagai permulaan penanggalan. Ada yang mengusulkan kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bi'tsah Nabi saww sebagai awal penanggalan, atau pada riwayat lain Umarlah yang bertekad untuk memulai penanggalan dengan mengacu pada kelahiran Nabi saww atau bi'tsah Nabi saww. Namun, Imam Ali as tidak menyetujui pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saww sebagai awal penanggalan. Dan usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar, tepatnya pada tanggal 8 Rabi'ul Awal 17 H Oleh karena itulah, nama tahunnya adalah “Hijrah” atau “Hijriyah”.
Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saww, atas perintah Nabi saww sendiri, pasca pelaksanaan hijrah di bulan Rabi’ul Awal. Mereka (kaum muslimin saat itu) mengatakan bahwa peristiwa penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah; dan hal tersebut berlanjut hingga diperoleh satu tahun penuh. Mereka juga mengatakan bahwa peristiwa penanggalan tersebut terjadi pada tahun pertama atau kedua Hijrah Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa awal tahun dimulai pada bulan Rabi’ul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar.
Dalam peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saww tiba di Quba (10 Km dari Madinah) di rumah Kultsum bin al-Hadam, pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal. Dan perjalanan tersebut ditempuh Nabi saww sekitar sembilan hari. Ini berarti awal hijrah Nabi saww sekitar tanggal 3 Rabi'ul Awal. Imam Ali as baru melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saww, dan beliau as sampai di Quba pada hari Kamis tanggal 15 Rabi’ul Awal. Dan esok harinya, barulah Nabi saww berangkat ke Madinah Sementara dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi saww mengawali hijrah pada tanggal 1 Rabi’ul Awal .
Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru muslimin jatuh pada tanggal 1 Muharram, sementara bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saww ? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saww dengan tidak memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharram, sementara masih ada bulan lainnya ? Apalagi, ternyata penggunaan Muharram sebagai awal tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam.
Sedangkan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para Nabi as di hari Asyura, selain tercantum pada jalur ahlusunnah, juga tercantum pada jalur syi'ah. Namun, Al-Majlisi menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah dho’if. Sebagaimana dikatakan pula oleh Syaikh Shaduq, dalam kitabnya “Al-Amali”, bahwa riwayat yang menyatakan berbagai peristiwa barakah tersebut pada hari Asyura adalah bohong .
Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi'ah, justru diriwayatkan bahwa pada bulan Muharram telah terjadi peristiwa kedholiman terbesar di seluruh alam atas keluarga Nabi saww, yaitu terbantainya al-Imam Husein as di Karbala beserta keluarga dan para sahabat beliau as, oleh Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya (LA). Diriwayatkan bahwa Imam Husein as beserta rombongan beliau as berangkat dari Mekkah menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (atau Karbala) pada tanggal 2 Muharram 61H (atau 60 H). Dan mulai saat itu hingga tanggal 10 Muharram 61H (atau 60 H), beliau diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun tak akan mampu melakukannya Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian kecil kaum muslimin berduka, menangis, dan meratapinya; sebagaimana tersebut di awal tulisan ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa riwayat seputar Tahun Baru muslimin di bulan Muharram (1 Muharram) dan peristiwa keberuntungan para Nabi as, menurut saya, merupakan rekayasa dari para musuh Ahlul Bait as. Riwayat-riwayat tersebut dibuat pasca tragedi Karbala, untuk melupakan umat manusia dari tragedi alam terbesar itu dan menjauhkan mereka dari hujjah Allah di muka bumi, ataupun dengan motivasi lainnya; dengan cara mempertahankan tradisi penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran ketika Ibn Sirin (w. 110 H) memberikan pernyataan bahwa : “Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal tahun di bulan Muharram.”; yang sebenarnya sekedar pembenaran semata terhadap praktik penanggalan orang-orang di masanya .
Dengan demikian, sudah semestinya bulan Muharram (khususnya tanggal 1 hingga 10) dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Imam Husein as dan menangis atas tragedi besar yang menimpa beliau as. Imam Ja'far as berkata : “Allah menjadikan bagi kami syi'ah, yang mereka ini bergembira dengan kegembiraan kami, dan bersedih dengan kesedihan kami.”
Ayatullah al-Syahid Muthahhari, sekaitan dengan menangis dalam mengenang al-Imam Husein as, mengatakan bahwa : “Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena menangis memiliki sifat al-Ruh al-Ijtima'iyyah (kebersamaan ruh) yang mendekatkan si penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara tertawa memiliki sifat al-Ruh al-Fardiyah (kesendirian ruh), yang hanya akan berpengaruh dalam menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut. Karena itulah, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasakan kedekatan dengan orang yang dirindukannya.” Ya, menangisi al-Imam Husein as dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi lemah. Justru hal tersebut akan menjadikannya dekat dengan beliau as. Sehingga, segala macam pelajaran dari misi beliau as pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak segala macam bentuk kedholiman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka bumi ini.
Dan tangisan sepanjang abad dan generasi itulah yang telah menggulirkan “Revolusi Islam” Imam Khomeini qs. Sekaitan dengan ini beliau qs berkata : “Mengenalkan Islam kepada manusia, sembari menciptakan hubungan yang dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita telah tetap memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya hilang sehingga manusia masih berkumpul selama Muharram dan memukul dada mereka (ma'tam), maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, dan para penceramah serta rauzakhwan benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka.”
Oleh Karena itu, dalam memasuki bulan Muharram ini, saya ingin mengucapkan ta’ziyah kepada Rasulullah saww, kepada Ahlul Bait as, dan kepada kaum muslimin dan mukminin dimanapun mereka berada; A'dhomallaahu Ujuuranaa bi Mushibatil Husein 'Alaihissalaam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Imam Husein as untuk menolak dan memerangi segala macam kedholiman, khususnya kedholiman Amerika, Zionis, dan para antek mereka (LA). Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair DR. Muhammad Iqbal beserta syarhnya :
Gharib-o-sada-o-rangi'n hay dastan-e-Haram. Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail.
Syarh :
“DR. Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Ka'bah adalah sangat simpel dan menarik. Ismail menderita kepedihan yang sangat dalam peristiwa tersebut. Ibrahim membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai qurban, namun pengorbanan tersebut tidaklah lengkap karena diganti dengan sebuah domba. Dan berdasarkan Al-Qur'an, pengorbanan besar (al-Dzibh al-'Adhim), datang di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang keturunannya, yakni Husein. Sehingga, puncak ruh kecintaan kepada Allah termanifestasikan, ketika Imam Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan Ka'bah.”
Berikut saya kutipkan pula pandangan para orientalis Barat non-muslim :
1. Edward Gibbon mengatakan : “Pemandangan tragis kematian Husein di masa lampau akan membangkitkan simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun).”
2. Ignaz Goldziher mengatakan : “Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah mengalami terus menerus penderitaan dan penganiayaan. Hal ini diberitakan dalam syair maupun prosa, di literatur-literatur tentang para syuhada—khususnya syi’ah; dan menjadikan berkumpulnya orang-orang syi’ah pada sepertiga pertama bulan Muharram, yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala. Pemandangan tragedi tersebut juga ditampilkan dalam peringatan tersebut dalam bentuk dramatik (ta’ziyah). “Hari Raya kami adalah majelis duka”, sebuah syair dari seorang pangeran syi’ah yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka atas keluarga Nabi. Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, serta kedukaan atas para syuhada menyebabkan peristiwa tersebut selalu terkenang. Sehingga, bahkan dalam masyarakat Arab dikenal pepatah : “Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang syi’ah”.”
3. Reynold Alleyne Nicholson mengatakan : “Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah; dan para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum muslimin, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi dinasti Umayyah, menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya.”
4. Edward G. Brown mengatakan : “Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda darah—dimana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang terbunuh—semenjak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan tanpa peduli (secara terang-terangan), dengan perasaan dan dukacita mendalam serta kegairahan ruh; yang mana—di hadapan itu semua—rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi hal yang sepele.”
Bulan Muharram Termasuk Bulan Istimewa yang Dimulyakan
Sebagai bulan pertama dalam sistem penanggalan
hijiryah, bulan Muharram memiliki beberapa keistimewaan
dan keutamaan yang tidak dimiliki bulan lain
diantaranya
Bulan Muharram merupakan salah satu dari Al-Asyhurul
Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan) oleh Allah SWT yang
berjumlah empat, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab. Karena para ulama’ tafsir
bersepakat tentang empat bulan tersebut yang masuk pada
Al-Asyhur Al-Hurum. Dalam surat At-Taubah ayat 36 Allah
SWT berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (التوبة : 36)
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah ialah dua
belas bulan pada ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.”
Pada ayat ini dapat dipahami bahwa ketetapan Allah SWT
setelah penciptaan langit dan bumi Allah menetapkan
bilangan bulan yang berjumlah 12, empat diantaranya
adalah bulan-bulan haram (yang di muliakan) bulan yang
mendapat keistimewaan dari Allah swt dari pada bulan-
bulan yang lain kecuali bulan Ramadlan.
Diantara empat bulan tersebut adalah bulan Muharram,
yang mana Allah melarang umat Islam berperang dan
melakukan kedhaliman sebagai penghormatan pada bulan
Muharram. Karena menurut sebagian ahli tafsir disamping
amalan pada bulan tersebut pahalanya dilipatgandakan,
keburukannya pun balasannya akan dilipat gandakan. Maka
alangkah baiknya pada bulan Muharram diisi dengan
kebaikan-kebaikan serta menjauhi semua larangan-
larangan-Nya. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya
menjelaskan,
ثُمَّ اخْتَصَّ مِنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَجَعَلَهُنَّ حَرَامًا، وعَظم حُرُماتهن، وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيهِنَّ أَعْظَمَ، وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ وَالْأَجْرَ أَعْظَمَ .
Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan
yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga
melipatgandakan perbuatan dosa disamping
melipatgandakan perbuatan baik.
Dalam sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah RA,
dijelaskan mengenai ketetapan empat bulan haram ini,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ، وَرَجَبُ مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya
semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat
empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut;
Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan
yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat
diantara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.
Maka jelaslah bahwa empat bulan tersebut memiliki
keagungan dan keistimewaan yang sangat luar biasa dari
bulan-bulan yang lain kecuali bulan Ramadlan, hingga
Allah SWT dan Rasulnya SAW memberi penjelasan khusus
mengenai hal ini.
Muharram Bulan Kesedihan Bagi Mazhab Ahlul Bait
Oleh: syiahali
Bismillah dan Solawat
Allaahummal-a’n Qatalatal Hussein Alayhis Salaam
Awal Muharram, adalah permulaan bulan kedukaan dan nestapa untuk Ahlul Bait Rasulullah(as). Semua pencinta dan pengikut Keluarga suci ini juga akan dan sepatutnya turut menumpang kedukaan dan kesedihan mereka. Ia juga menandakan cuti bagi semua majlis-majlis dan upacara-upacara yang berunsur riang dan gembira.
Imam Reza(as) bersabda :
“Apabila sampai sahaja bulan Muharram, tidak akan kelihatan lagi senyuman pada bibir ayahku, tidak ada lagi seseorang yang akan melihatnya tersenyum”-Biharul Anwar. j 44, m/s 286.
Imam Reza(as) tentang Asyura juga telah bersabda :
“ Barangsiapa hari Asyura baginya adalah hari musibah, duka dan tangisan, maka Tuhan akan menjadikan kiamat baginya hari kegembiraan dan kebahagiaan”-Mishbah Kafa’mi, m/s 509.
Dua Muharram ; Rombongan Imam Hussain Alaihissalam Masuk ke Karbala
Telah diriwayatkan apabila rombongan Imam Hussain as. sampai di karbala, kuda Imam as. berhenti bergerak. Imam as. bertanya apakah nama tempat ini? Mereka menjawab :“Ghadhiriyah” bersabda: Tempat ini ada nama yang lain? Mereka berkata: “Syathiyil Furat” Imam as. kembali bersabda: “Apakah nama lain?” mereka berkata:”KARBALA”; hati Imam as. melirih duka dan bersabda : Ya ALLAH Aku berlindung kepadaMu dari bala bencana.(Luhuf, m/s 97, Fidhul ‘Alam, m/s 142)
Tiga Muharram; Tentera Umar Bin Saad Masuk ke Karbala
Selepas Hur mengepung Imam Hussain(as) dan rombongannya di Karbala, Ubaidullah Bin Ziyad telah meletakkan tanggungjawab sebagai pemimpin tentera Yazid kepada Umar Bin Saad. Umar Bin Saad pada Tiga Muharram, bersama enam ribu tentera perang datang ke Karbala. Kemudian bala’ tentera terus datang dari beberapa penjuru Negara sekitar Karbala yang telah di utuskan oleh Ubaidillah sehingga bilangannya mencecah 30,000 orang. (Syeikh Mufid, Irsyad, j2, m/s 84)
Surat Imam Hussain(as) untuk Ahli Kufah dan Syahidnya Qis Bin Mas-har
Pada tiga Muharram, Imam Hussain (as). menulis surat buat Ahli Kufah yang mengandungi peringatan tentang surat-surat dan jemputan-jemputan berterusan dari mereka yang telah diutuskan kepada Imam as. dan Imam as. meminta mereka menunaikan baiat dan perjanjian yang dijanjikan dan membantu Imam as; namun pembantu-pembantu Ubaidullah, telah menangkap Qis Bin Mas-har Shidawi yang merupakan pembawa surat Imam Hussain as. di tengah perjalanan dan membunuhnya. (Biharul Anwar, j44, m/s 381.)
Empat Muharram: Khutbah Ubaidullah Bin Ziyad di Masjid Kufah
Pada hari keempat Muharram, Ubaidillah Bin Ziyad telah berkhutbah dihadapan rakyat dan mengancam bunuh dan gantung bagi sesiapa sahaja yang membantu Imam Hussain as. Dan membaca fatwanya Syarih Qadhi berkenaan harusnya(halal) darah Husain(as) dan memerintahkan untuk menutup semua jalan-jalan keluar masuk kufah. (Al-Waqayi’ wal hawadis. J2, m/s123.)
Enam Muharram: Perbualan Habib Bin Mazhahir dengan Kabilah Bani Asad
Habib Bin Mazhahir dengan izin Imam Hussain(as) telah mengadakan perbincangan dengan Kabilah Bani Asad dan menjemput mereka untuk membantu Imam Hussain Alaihissalam; tetapi perbincangan ini gagal disebabkan halangan dan sabotaj oleh pengintip-pengintip Umar Bin Saad.(Az Madinah Ta Madinah ( Dari Madinah ke Madinah), m/s 368.)
Tujuh Muharram: Sekatan Air Sungai Furat bagi Rombongan Imam Hussain(as)
Pada hari ini, Tentera-tentera Umar Bin Saad dengan arahan Ubaidullah Bin Ziyad telah menyekat aliran air sungai Furat ke khemah-khemah Imam Hussain as.Diriwayatkan bahawa Hajjaj Zubaidi bersama lima ratus penunggang kuda, telah mengusai sungai Furat dan menutup aliran air dari mengalir ke khemah-khemahnya Imam(as).(Syeikh Mufid, Irsyad, j2, m/s86.)
Lapan Muharram: Pertemuan Imam Hussain(as) dengan Umar Bin Saad
Imam Hussain(as) dari awal tidak ridha akan tercetusnya perang yang akan menumpahkan darah ummat Islam dan Imam as. sentiasa berusaha untuk menghalang tercetusnya perang, pada hari kelapan Muharram, Imam as. telah bertemu dengan Umar Bin Saad dan cuba untuk menghidayah, menasihati dan membimbingnya, Imam as. meminta darinya sebagai ganti supaya tidak berperang dengan pergi ke salah satu sempadan-sempadan negara-negara Islam tanpa membaiat Yazid dan hidup seperti seorang yang beragama Islam.
Sembilan Muharram ( Hari tasu’a); Pemohonan Melambatkan Perang Dari Pihak Imam Hussain(as)
Asar hari kesembilan Muharram, Umar Bin Saad telah mengarahkan tentera-tenteranya untuk bergerak ke arah khemah Imam Hussain(as) dan memulakan peperangan. Dia berkata kepada mereka : “Wahai tentera Allah! Bergeraklah dan bergembiralah bahawa kamu akan pergi ke syurga!” (dia menyeru mereka sebagai Tentera Islam sedangkan mereka akan pergi berperang dengan putera Rasul mereka sendiri) Imam as. dengan melihat tentera-tentera musuh dan dengan mengetahui rancangan mereka, meminta adiknya Abbas untuk memohon dari mereka supaya menangguhkan perang pada esok hari dan memberikan tempoh kepada mereka, malam ini untuk Imam Hussain(as) menunaikan solat dan ibadah yang sangat dicintainya.(Muqtal Khawarizmi, j1, m/s 249; Luhuf, m/s 106.)
Menolak Surat Jaminan Keselamatan Syimr Kepada Hadrat Abal Fazl
Pada hari kesembilan Muharram, Syimr telah membawa surat jaminan keselamatan untuk Hadrat Abal Fazl Alaihissalam dan saudara-saudara lelakinya. Ketika Syimr sampai ke khemah-khemah Imam Hussain (as), dia berteriak dan menyeru : “Aku membawa surat jaminan keselamatan dari pihak Amir(pemimpin)Ubaidullah untuk kamu; janganlah kamu memberikan diri kamu sendiri untuk terbunuh demi Hussain(as).” Hadrat AbulFazl, umpama singa yang berani dengan suara yang kuat berkata : laknat Allah keatas kamu dan jaminan keselamatan kamu! Adakah kami berada dalam keadaan aman selamat sementara putera puterinya Rasulullah tidak berada dalam keadaan aman dan selamat?(Ansabil Asyraf, j3, m/s 184.)
Menggali Parit Di Sekeliling Khemah-Khemah Imam Hussain(as)
Pada Hari Kesembilan Muharram, Imam Hussain Alaihissalam telah mengarahkan penolong-penolongnya untuk membina parit di sekeliling khemah-khemah dan memenuhkannya dengan duri-duri supaya ketika perang, musuh-musuh tidak dapat menyerang mereka.(Al-Imam Al-Hussain Alaihissalam Wa Ashabihi, m/s 257.)
Bacaan Khutbah Imam Hussain (as)
Pada malam hari kesembilan Muharram, Imam Hussain(as) telah menyampaikan sebuah khutbah penting kepada para sahabat dan penolongnya dan bersabda : “ Sesungguhnya aku tidak mengetahui, penolong yang lebih baik dan paling setia daripada sahabat-sahabat dan penolong-penolongku…..Aku tahu bahawa esok kita akan berperang dengan mereka. Aku melepaskan semula baiat yang kamu berikan kepadaku dan memberi izin kepada kamu semua untuk menggunakan malam yang masih gelap ini untuk mencari jalan bergerak dan menjauhi tempat yang berbahaya dan ambillah setiap dari kamu, tangan seorang dari Ahlul Baitku dan tinggalkanlah tempat ini.”
Ketika itu, Ahlul Bait dan para sahabat Imam as., seorang selepas seorang bangun dan mengisyharkan tidak berganjak dari pengorbanan dan kesetiaan mereka kepada Imam as. sehingga menemui kesyahidan.
Sepuluh Muharram (Hari Asyura): Menyusun Barisan Tentera Imam Hussain(as)
Pada hari kesepuluh Muharram, selepas solat subuh, Imam Hussain(as) terlebih dahulu, tenteranya yang terdiri daripada tiga puluh dua tentera penunggang kuda dan empat puluh tentera pejalan kaki,membahagikan khemah-khemah kepada tiga bahagian dan melantik panglima bahagian kanan kepada Zuhir Bin Qin, panglima bahagian kiri kepada Habib Bin Mazhahir dan bahagian tengah kepada Hadrat Abbas(as).(Irsyad Syeikh Mufid, j2, m/s 95). Imam Hussain(as) ketika dua tentera (tentera Imam as. dan tentera musuh) telah berhadapan, Imam berkhutbah dengan jelas dan terang tentang martabat dan kedudukan Ahlul Bait (as), dan meminta untuk tidak memulakan dan mencetuskan perang; namun Imam as. tidak mendapat jawapan positif dari pihak tentera Umar Bin Saad. (Biharul Anwar, j45, m/s 6.).
Permulaan Perjuangan dan Pengorbanan Para Sahabat dan Ahlul Bait Alaihissalam
Umar Bin Saad memulakan perang dengan rasmi, dengan melepaskan anak panah ke arah pasukan tentera Imam Hussain Alaihissalam.(Luhuf, m/s 199.)
Solat Zohor Asyura
Pada hari Asyura, ketika sampai waktu solat zohor, Abu Thamamah Shidawi memberitahu Imam Hussain(as) tentang telah masuk waktu menunaikan solat zohor; Imam as. selepas mendoakankannya, lansung menunaikan solat bersama jamaah para sahabatnya di medan perang tersebut.(Biharul Anwar, j45, m/s 21)
Salam Perpisahan Imam Hussain(as) dengan Khemah-khemah beliau.
Selepas semua sahabat-sahabat dan Ahlul Bait Imam Hussain(as) telah terkorban dan syahid, Imam Hussain as. mula menyediakan dirinya untuk pergi ke medan perang dan juga turut syahid seperti para sahabat dan Ahlul Baitnya. Imam as. menuju ke khemah-khemah untuk melakukan perpisahan terakhir. Raungan dan tangisan para wanita dan anak perempuan memenuhi segenap khemah beliau.(Muqtalu Husain Alaihissalam, m/s 282.)
Syahidnya Imam Hussain(as)
Selepas zohor hari Asyura, ramai tentera musuh telah terkorban di tangan Imam Hussain(as).Ramai dari tentera-tentera Yazid yang kuat,berani dan ganas juga ditumpaskan sehingga tidak ada lagi yang berani untuk datang ke medan pertempuran.Imam Hussain(as) yang mula lemah dan tidak berupaya kesan dari terlalu banyak bertempur, panas dan dahaga, berdiri sebentar untuk sedikit berehat; tiba-tiba, seketul batu terkena dahi sucinya. Imam as. mengangkat bajunya untuk membersihkan wajahnya yang dilumuri darah, ketika itu juga anak panah tiga cabang dari busur Harmalah membelah dada suci Imam as. dan tentera-tentera Umar Bin Saad menyerang Imam as. dari semua arah dengan anak panah dan lembing. Imam as. jatuh dari kuda.Beberapa waktu berlalu yang boleh dikira panjang – di tanah Karbala, Imam as. terlantar dalam keadaan dilumuri dengan darahnya sendiri, tidak ada yang berani untuk menghampirinya;namun akhirnya Syimr Mal’un, dengan hati yang keras seperti batu menghampiri Imam as. dan membunuh Beliau as..Maka Imam as. telah syahid di tangan Mal’un tersebut. (Luhuf, m/s 180.)
Mencerobohi Khemah-khemah
Selepas kesyahidan Imam Hussain Alaihissalam pada petang hari Asyura dengan arahan Umar Bin Saad, tentera-tentera hati-hati yang hitam kotor, menyerang dan membakar khemah-khemah, dan kanak-kanak serta para wanita diheret di sahara Karbala yang panas membakar. (Biharul Anwar, j45, m/s 53; Muqtal Khawarizmi, j2, m/s 39; Kamil Ibnu Athir, j4, m/s 78.)
Bulan Muharram adalah bulan yang terkenal dikalangan pengikut mazhab Syiah sebagai masa untuk berkabung atas tragedi Karbala dan musibah yang menimpa Imam Hussain dan Syiahnya. Disamping kepentingan amalan-amalan berkabung, Ahlulbait(as) dan para ulama kita telah mengajarkan beberapa etika dan sikap yang mesti kita amalkan dalam tempoh ini. Adalah sangat-sangat mengecewakan apabila melihat ramai saudara-saudara kita gagal dalam mengikuti etika-etika ini. Beberapa amalah yang perlu diambil perhatian adalah seperti berikut:
Cara Untuk Berkabung
Saudara sekalian, adalah diriwayatkan bahawa adalah sangat-sangat digalakkan kita berkabung dengan cara menangisi tragedi ini. Kepada mereka yang tidak mampu untuk menangis, cukuplah sekadar menundukkan kepala dan buat seolah-olah menangis. Mungkin akan wujud sedikit perasaan ralat apabila menangis di hadapan kawan-kawan kita, tetapi janganlah kita sampai ke tahap mempermainkan orang-orang yang menangis ini.
Suka juga saya ingatkan di sini bahawa amalan tadbir(ketuk kepala dengan pedang) atau segala amalan merbahaya adalah sangat-sangat ditegah oleh jumhur para ulama Syiah sendiri. Maka eloklah kita beramal dengan cara yang boleh mendatangkan kesan kepada hati kita berbanding fizikal kita. Elakkan amalan-amalan yang menjatuhkan maruah Islam malah seperti meniru agama-agama lain(kavadi?). Jangan lupa prinsip asyura. Cukuplah habis kuat pun, sekadar menepuk dada bagi mendatangkan kesan sedih itu
Bersolek, berdandan dan berhias.
Nampak cantik sememangnya merupakan satu bonus kepada kaum hawa, tetapi yang menghairankan ialah mengapa perlunya mereka mengecat muka mereka secara berlebihan malah pergi ke saloon semata-mata untuk menggayakan rambut mereka semata-mata untuk ke majlis merupakan sesuatu yang luar dari pemahaman kita. Kepada saudara lelaki, berpada-padalah dengan gel rambut tu untuk beberapa hari, kita pergi ke majlis untuk berkabung bukan fesyen show
Perbincangan Kumpulan Semasa Majlis
Adalah sangat-sangat mengharukan apabila kita melihat sesetengah orang yang tiba-tiba tinggi semangatnya mendengar ucapan speaker, membina kumpulan perbincangan yang tersendiri di dalam majlis itu. Tetapi, kalaulah kita cuba untuk menyertai sendiri kumpulan-kumpulan mini ini, kita akan menjadi sangat-sangat terkejut dengan topik-topik yang dibincangkan. Kalau kumpulan hawa dok pompang pompang hal orang lain, kalau kaum adam pulak dok pompang-pompang bab politik sukan dan lain-lain. Mengapa mereka memilih waktu ini untuk membincangkan perkara-perkara ini adalah luar dari jangkauan pemikiran kita
Hiburan Ketika Masaib
Kalau kita memberikan pen dan kertas kepada anak-anak kecil sebagai “rasuah” kepada mereka agar mereka tidak berlari-lari ketika majlis, maka ia adalah satu perkara biasa. Bagaimanapun, akan menjadi sesuatu yang memeranjatkan apabila orang dewasa juga rupa-rupanya memerlukan “rasuah” ini agar mereka tidak bosan dan menganggu orang lain. Kepada mereka yang mempunyai tumpuan perhatian yang lemah, yang tidak dapat menahan diri dari bermesej atau main game di iphone, sekurang-kurangnya tolonglah berhenti ketika tragedi sedang dibacakan. Ini kerana adalah sangat sukar bagi kami untuk menumpukan perhatian kepada Maqtal tetapi dalam masa yang sama mendengar bunyi game dari iPhone kamu.
Riwayat dari para Maksumin dengan jelas mengatakan bahawa Asyura ialah hari untuk kita menonjolkan kesedihan kita secara terbuka. Maka ia bermaksud jangan mandi, tiada baju bersih, tiada berdandan dan apa sahaja ucapan kegembiraan. Adalah sangat menyedihkan apabila kita menjadikan keseluruhan hari ini sebagai hari untuk berjenaka, bergosip dan perbincangan tentang sesuatu yang tiada kena mengena dengan mengingati Imam Hussain(as). Asyura ini, demi membetulkan sifat kamu itu, maka bayangkanlah seluruh keluarga kamu dibunuh dihadapan mata kamu sendiri. Kemudian, bersikaplah dengan sewajarnya.
Mendermalah!
Demi melaksanakan aktiviti Muharram ini dengan lancar, maka kita memerlukan banyak logistik dari segi makanan, minuman dan kos-kos utiliti yang lain. Para ustaz dan syeikh yang dijemput perlu juga dibayar upah mereka walaupun mereka tidak meminta, kos kenduri yang kita makan pun bukanlah free, begitu juga bil-bil elektrik akibat aktiviti sempena Asyura pasti melonjak tinggi. Tidak dapat dinafikan, Allah swt maha pemurah dan maha kaya, tetapi sudah pasti wujud perantara dari mana sumber kewangan itu datang, sudah tentu, kamulah perantara itu. Jangan kedekut untuk menderma. Imam Ali(as) pernah berkata: “Jangan malu untuk memberi sedikit, kerana tidak memberi langsung itu lebih besar rasa malunya.”
Begitulah sedikit etika di bulan kesedihan ini, semoga kita dapat menghayati tragedi ini dan seterusnya memberikan impak yang besar terhadap keimanan kita, insyaAllah. Solawat!
Peringatan Asyura, 10 Muharram
Tragedi Kemanusian yang Terlupakan
Empat belas abad yang silam menjadi saksi sejarah, sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak saja menyedihkan tapi sekaligus memilukan. betapa tidak.
Cucu Rasulullah Imam Husein yang menjadi belaian kasih sayang Nabi SAW dibantai secara tragis di Padang Karbala.
Leher imam Husein yang sering dicium oleh kakeknya, harus dipenggal oleh pasukan bengis yang dipimpin oleh Umar bin Saad, yang kemudian dipersembahkan kepada penguasa yang zalim, Yazid bin Muawiah ketika itu. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata.
Ada pelajaran penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein. Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin Muawiyah yang sewenang-wenang.
Tragedi Karbala adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, dan melihat fakta bahwa keagungannya unik dan tak tertandingi, konsekuensinya juga luar biasa. Yang mendorong Imam Husain untuk bangkit memberontak adalah untuk menghentikan penyimpangan dan bid`ah yang terjadi di area politik Islam saat itu.
Penyimpangan itu adalah penentangan terhadap eksistensi sistem Islami dengan meletakkan kekuasaan di tangan orang-orang yang tidak qualified. Setelah Nabi saw wafat berbagai peristiwa berjalan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengubah Khilafah menjadi sebuah jabatan yang didasarkan pada cinta dunia yang diwujudkan dalam cinta kekuasaan, kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.
Imam Husain berjuang melawan penyimpangan ini. Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun juga, termasuk dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya secara personal.
Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak akan pernah menyukai orang-orang saleh, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya.
Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah adalah jenis pemimpin yang zalim. Akibatnya dapat kita lihat dengan menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat Negara ketika itu.
Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam.
Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi kemurnian ajaran Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi SAW. Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali, menulis surat kepada Imam Husein agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid.
Imam Husein yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu. Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya.
Dengan demikian, jadilah Imam Husein kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini. Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein yang berjumlah 72 orang kemudian digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala.
Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, 72 orang rombongan imam Husein yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya harus bertarung melawan tentara Yazid yang berjumlah kurang lebih 20.000 pasukan, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.
Peristiwa tragis itu terjadi tepatnya 10 Muharram 61 H, dimana pasukan Yazid yang dimotori oleh Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Imam Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Imam Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.
Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Imam Husein banyak yang berguguran. Sehingga Imam Husein tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Imam Husein berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw.
Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”Tapi sayang seribu sayang karena iming-iming hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, mereka menyerang Imam Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak.
Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Imam Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Imam Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya. Melihat Imam Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyad turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Imam Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Imam Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya.
Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Imam Husein yang berlumuran darah ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Imam Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya. Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka.
Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al-Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar. Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini.
Imam Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Imam Husein yang paling engkau cintai? 10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah tanah Karbala memerah, dibanjiri darah Imam Husein dan para syuhada’ Karbala.
Bumi menangis, langit dan penghuninya berduka atas kepergian Imam Husein sang pejuang kebenaran dan keadilan. Nah mengapa tragedi karbala, yang merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa justru terlupakan oleh sebahagian besar ummat Islam saat ini ??? Bahkan bukan hanya terlupakan, justru memang tidak pernah disampaikan kepada generasi Islam??? Yang cukup mengherankan juga adalah bahwa bulan Muharram yang menjadi bulan duka cita dan nestapa keluarga Rasul yang suci justru menjadi bulan kegembiraan pada sebagian ummat Islam lainnya.
Di masyarakat kita 10 Muharram atau Asyura disambut dengan gembira, misalnya dengan membeli alat-alat rumah tangga, syukuran dengan membuat bubur 7 macam, dsb. Tidak cukup dengan itu kemudian juga dilanjutkan dengan dengan puasa Muharram sebagai simbol kesyukuran dan kegembiraan.
Ada banyak riwayat yang dibuat-buat oleh penguasa saat itu hanya untuk menutupi spirit perjuangan Imam Husein dalam menentang penguasa yang zalim. Dibuatlah cerita atau riwayat bahwa Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kalau kita mencoba menelaah lebih dalam riwayat di atas maka akan kelihatan ketidakbenarannya.
Riwayat di atas mengatakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka! Padahal Nabi sangat melarang kita untuk mengikuti kebiasaan ummat lainnya, Yahudi maupun Nasrani. Sangatlah kontradiktif.
Yang lucunya justru riwayat itu memerintahkan kita untuk mengikutinya. Dimana logisnya? Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa 10 Muharram adalah bebasnya keluarrnya Nabi Yunus dari perut ikan, bebasnya Nabi Ibrahim dari Raja Namrud, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dsb.
Mestinya juga diteruskan bahwa 10 Muharram juga adalah menangnya pasukan Yazid dalam dalam memenggal kepala cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein. Kita semua adalah korban sejarah. Yakni sejarah yang sengaja dibuat oleh penguasa zalim hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan keserakahannya. Sudah waktunya buat kita untuk mengkritisi setiap riwayat yang ada.
Padahal jauh sebelumnya ketika Husein lahir, Rasulullah bersedih dan menetaskan air mata ketika jibril mengatakan bahwa cucumu yang baru lahir ini akan syahid di padang karbala oleh ummat yang mengaku sebagai pengikutmu. Jadi Rasulullah jauh sebelum peristiwa itu telah memperingati Asyura dengan kesedihan. Nah masihkah kita ingin memperingati Asyura dengan kegembiraan?? Apapun alasannya yang jelas bahwa dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kezaliman. Peringatan tragedi ini merupakan sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran dan keadilan di seluruh dunia. Mahatma Gandhi sendiri pernah berujar “I learned from Hussain, how to achieve victory while being oppressed. ”“Aku belajar dari Husain bagaimana cara meraih kemenangan ketika dalam kondisi tertindas. Di era ini dimana sekularisme, hedonisme, kapitalisme telah menjadi ideologi bagi umumnya para pemimpin atau penguasa maka mengenang kembali peristiwa Karbala bisa menjadi momentum untuk membangkitkan spirit kita untuk menentang setiap penindasan, kesewenang-wenangan dan kezaliman sembari menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ummat. Peristiwa Asyura sesungguhnya mengajarakan kaum muslim untuk tidak berkompromi dengan para penguasa zalim kapan dan dimanapun dengan semangat pengorbanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran dan arti yang sebegitu penting dalam kehidupan, maka merugilah orang yang melupakan peristiwa bersejarah ini.(Wallahu a’lam bisshawab).
Sedikit Sejarah Tentang Muharram
Bulan ini adalah bulan Muharam. Ada dua pendapat berkenaan dengan bulan ini.
Kelompok pertama menyebutkan bahwa bulan Muharam merupakan tahun baru umat Islam yang banyak dirayakan dengan pesta dan penuhnya ungkapan kebahagiaan. Mereka beranggapan bahwa hari-hari kejayaan Islam sedang berada di depan pintu..
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mengikuti cara-cara orang kafir sesiku-sesiku, sejengkal-demi sejengkal kalian akan digiring untuk mengikuti tradisi orang (Yahudi dan Nasrani) sehingga walaupun kalian dibawa ke lubang serigala kalian akan mengikutinya dengan patuh.” Al-Asykari menyebutkan salah satu tradisi orang Yahudi dan Nasrani adalah mengubah-ubah kitab Allah. Kemudian orang Islam melanjutkan tradisi orang kafir itu dengan mengubah makna kitab Allah, dan mengubah huruf serta kalimat di dalam hadis Nabi. Tradisi peringatan tahun baru Islam sebenarnya mengikuti tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada tradisi memperingati tahun baru Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa nenek moyang kita pun tidak memperingatinya, bahkan dalam sejarah Islam di Indonesia tidak dikenal tradisi memperingati tahun baru Islam ini. Peringatan tahun baru Islam itu baru dirayakan belakangan ini. Mengapa harus merayakannya? Salah seorang dai menyebutkan bahwa “umat Islam jangan kalah sama umat Nasrani yang memperingati tahun barunya secara besar-besaran dan Umat Islam harus memperingati tahun baru Islam secara besar-besaran pula”. Jadi, menurut dia, peringatan tahun baru meniru orang Nasrani. Nabi berkata, ”Sekiranya di kalangan ahli kitab itu dulu ada anak yang menzinahi ibunya, maka akan terjadi hal yang sama di kalangan umat Islam juga.” Tradisi membuka aurat, tidak memakai jilbab boleh jadi diambil sebagian dari tradisi meniru orang-orang Barat..
Ada beberapa kekeliruan anggapan umat Islam tentang tahun baru Islam. Kekeliruan pertama bahwa tradisi peringatan tahun baru Islam harus dirayakan seperti halnya orang Nasrani merayakan tahun barunya. Kedua, umat Islam banyak yang menganggap bahwa hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan Muharam, sehingga pada bulan ini banyak pengajian yang menceritakan peristiwa hijrahnya Nabi saw. Nabi hijarah bukan pada bulan Muharam, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal. Tidak ada satu pun mazhab yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah pada bulan Muharam. Jadi, kalau ingin memperingati hijrah Nabi semestinya dirayakan pada bulan Rabi’ul Awal. Kekeliruan itu mungkin memiliki asal muasalnya dari kitab-kitab hadis. Di dalam Bukhari diceritakan ketika Nabi datang ke kota Madinah dan beliau melihat di kota itu ada orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya kepada mereka, ”Puasa apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab, ”Kami melakukan puasa ‘Asyura (sepuluh Muharam), untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.” Nabi saw berkata, ”Aku lebih layak untuk melakukan puasa daripada saudaraku Musa.” Dalam riwayat lain Nabi berkata, ”Aku akan berpuasa pada waktu yang akan datang.” Hadis ini mesti kita tolak, karena Nabi itu hijrah pada bulan Rabi’ul awal, tidak mungkin orang puasa sepuluh Muharam pada bulan Rabi’ul Awal, semesti tidak mungkinnya orang salat Jumat pada hari Senin. Karena alasan hadis itulah, sekelompok orang mengembangkan satu ideologi untuk menjadikan sepuluh Muharam hari kemenangan umat Islam, hari untuk pesta pora, dan hari untuk berbahagia..
Sebagian mubalig pun menceritakan bahwa tanggal sepuluh Muharam Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, Ibrahim diselamatkan dari Namrudz dan Nabi Nuh selamat dari air bahnya, dan Nabi Adam diampuni dosa-dosanya. Sepuluh Muharam dianggap sebagai hari kemenangan orang-orang saleh. Sehingga tidaklah heran bahwa pada tanggal sepuluh Muharam dipindahkan menjadi tahun baru Islam karena kemenangan orang-orang saleh..
Pendapat kedua, berkenaan dengan bulan Muharam, mereka beranggapan bahwa bulan ini adalah bulan duka cita, bulan musibah. Karena pada bulan ini keluarga Rasulullah saw dibantai secara mengenaskan oleh sesama muslim, orang yang menyatakan dirinya orang Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam..
Sepuluh Muharam, menurut kelompok ini, bukanlah hari untuk bercanda dan bergembira, melainkan hari untuk menangis dan berduka cita. Pada kelompok kedua tidak ditemukan hadis-hadis yang menyatakan sepuluh Muharam itu adalah hari kemenangan para nabi. Yang mereka ketahui pada hari itu, kalau kemenangan diukur dengan kekejaman dan kekuasaan yang tidak terbatas, maka apakah sepuluh Muharram memang hari kemenangan ?. Karena ini terbukti Nabi Hijrah pada bulan Rabiul awal bukan pada bulan Muharram mengapa hal ini terjadi ? adakah kebenaran dalam risalah perayaan ini atau kegembiraan yang selama ini kita rayakan bersama..?
KEUTAMAAN BULAN Muharam
Bersabda Rosulullah SAW :
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أَمَّتِيْ
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Romadhan adalah bulan umatku”
Keutamaan Bulan Sya’ban :
1) رَفْعُ اْلأَعْمَال
Bulan terangkatnya amal dalam setahun. Adapun terangkatnya amal harian adalah waktu sholat Subuh dan Ashar. Sedangkan terangkatnya amal tiap 7 harian adalah hari Senin dan Kamis.
2) رَفْعُ اْلأَعْمَار
Penetapan penampakan umur.
3) شَهْرُ الصَّلاَة عَلَى النَّبِي
Bulan sholawat kepada Nabi SAW , karena perintah untuk membaca sholawat diturunkan pada bulan Sya’ban.
4) لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَان
Dengan beberapa nama :
- لَيْلَةُ الْمُبَارَكَة Malam barokah.
- لَيْلَةُ الْقِسْمَة Malam pembagian riski dan penentuan umur.
- لَيْلَةُ التَّكْفِيْر Malam peleburan dosa selama setahun.
- لَيْلَةُ اْلإِجَابَة Malam pengabulan doa-doa.
Lima malam yang tak ditolak doa-doa :
1. Malam Jumat
2. Awal malam bulan Rajab
3. Malam Nisfu Sya’ban
4. Malam Lailatul Qodar
5. Malam dua Hari Raya
- لَيْلَةُ عِيْدِ الْمَلاَئِكَة Malam hari raya malaikat.
- لَيْلَةُ الشَّفَاعَة Malam pemberian pertolongan.
AMALIYAH BULAN SYA’BAN
1. Berpuasa di bulan Sya’ban
ذلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ تُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Dalam hadits Rosulullah SAW bersabda : “Itu (bulan Sya’ban) adalah bulan yang manusia melupakannya (yaitu antara Rajab dan Sya’ban). Padahal bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Allah Robbil Alamin, maka saya senang diangkat amal dalam keadaan saya berpuasa.
رَوَاه التِّرْمِذِي عَنْهُ : أَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَان
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Nabi SAW :
“Paling utama puasa setelah Ramadhan adalah Sya’ban, karena untuk mengagungkan Ramadhan”
2. Berpuasa di Hari Nisfu Sya’ban :
عَنْ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ قُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا يَوْمَهَا فَإِنَّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرُ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقُهُ أَلآ مِنْ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ. رواه ابن ماجه
Dari Imam Ali RA, bersbda Rosulullah SAW :
“ Jika tiba waktu malam nisfu Sya’ban maka ibadahlah di malamnya dan puasalah di siangnya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan rahmatnya mulai tenggelamnya matahari (Maghrib) di langit dunia dan berfirman , Siapa yang meminta ampun akan Aku ampuni. Siapa yang minta rizki akan Aku beri rizki. Siapa yang terkena musibah akan Aku sembuhkan. Siapa yang minta ini dan itu seterusnya….sampai waktu terbitnya matahari (fajar).
3. Menjaga beramal malam nisfu sya’ban membaca surat Yasin dengan :
Niat panjang umur untuk toat pada Allah
Niat dijaga dari semua bahaya dan niat diluaskan rizki halal
Niat hatinya kaya merasa cukup dan minta khusnul khotimah
Banyak ibadah di malamnya terutama beristighfar, sholat hajat, sholat tasbih, memperbanyak do’a dan di antara do’a Nabi dalam hadist :
Ketika Nabi Adam turun ke bumi, beliau tawaf 7 kali di Ka’bah dan sholatdua rokaat di belakang maqom, kemudian berdoa :
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّيْ وَعَلاَنِيَّتِيْ فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِيْ، وَتَعْلَمُ حَاجَتِيْ فَأَعْطِنِيْ سُؤْلِيْ، وَتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِيْ، وَيَقِيْنًا صَادِقًا حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لاَ يُصِيْبُنِيْ ِإلاَّ مَا كَتَبْتَ لِيْ وَرَضِّنِيْ بِقَضَائِكَ .
Maka Allah berfirman kepadanya :
Ya Adam, sesungguhnya engkau berdoa padaKu dengan doa yang aku mengabulkannya. Dan tidak ada seseorang dari keturunanmu yang berdoa dengannya kecuali Aku akan mengabulkannya, dan Aku ampuni dosanya, Aku lapangkan kesusahan dan kesumpekannya, dan Aku akan mengayakannya, dan dunia akan datang padanya dengan memaksa walaupun dia tidak menghendakinya.