• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5165 / Download: 2736
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Perkembangan Tasawuf

Sejarah Perkembangan Tasawuf

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF DALAM TRADISI ISLAM

Oleh: Ali Rif’an

A. PENDAHULUAN

Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam.[1] Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan istilah khusus mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.[2] Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian tasawuf falsafi.

Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen „Tasawuf‟ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf: (1) para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid‟ah, khurafat, berbau klenik (takhayul), dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; (2) pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah „tasawuf‟ atau „sufi‟ muncul pertama kali dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih „keras‟ benturannya.

Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah dan perkembangannya dalam tradisi Islam, sebagaimana telah dicatat dalam berbagai literatur yang penyusun temukan.

B. PEMBAHASAN

1) Ta’rif Tasawuf dalam Tradisi Islam

Membahas tasawuf, menurut Annemarie Schimmel merupakan tugas yang sangat sulit terlaksana secara komprehensif. Hal ini dikarenakan bahwa tasawuf itu sangat luas. Menjelaskan beberapa aspek tasawuf baik secara historis maupun fenomenologis, tetap tidak akan menghasilkan sesuatu yang utuh dan memuaskan semua pihak[3] . Mungkin itulah alasannya mengapa ada pembedaan antara tasawuf dan ilmu tasawuf. Tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan adanya kesadaran secara terus menerus itu, maka seseorang akan berlaku baik (berakhlak) terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan terhadap alam semesta[4] .

Dalam tataran ini memperlihatkan hakikat tasawuf yang bersifat holistik mencakup ketaatan individual sekaligus sosial. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan hasil atau produk sejarah, hasil dari ijtihad ulama sufi tentang bagaimana cara mendekatkan, berkomunikasi, dan berdialog dengan Tuhan.[5] Dalam konteks inilah, uraian ini akan mengelaborasi tasawuf dengan aksentuasi pada ilmu tasawuf yang dijadikan teori dalam pengamalan kaum sufi.

Era Nabi maupun Khulafaurrasyidin istilah tasawuf atau sufi belum dikenal. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad II hijriah, oleh Abu Hasyim al Kufy (W. 150 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya. Menurut Nicholson, sebelum Abu Hasyim memang telah ada kaum muslim yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal dan mahabbah, tetapi dialah orang yang pertama kali diberi nama al-Sufi.[6]

Secara etimologis, ada beragam pendapat mengenai asal kata tasawuf. Masignon & M. Abd. El Razik menjelaskan bahwa tasawwuf merupakan bentuk masdar fiil khumasi yang terbentuk dari akar kata “shawwafa” yang menunjukan pada pakaian dari bahan shuuf (bulu domba).[7] Sebagian ahli menyatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada Shuffah, karena amaliah ahli tasawuf sama dengan amaliah Ahlus Shuffah, sebagian sahabat Nabi yang miskin dan senantiasa beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Dikaitkan dengan Shafa dan Shaf adalah karena kebersihan hati mereka, sehingga diharapkan mereka berada pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah.[8]

Dikatakan berasal dari Shufanah (nama sebuah pohon di padang pasir), sebab kebanyakan mereka berbadan kurus kering, akibat banyak berpuasa dan banyak bangun malam, sehingga badannya menyerupai pohon tersebut. Sedangkan penyandaran pada kata shuf, karena mereka sering memakai pakaian bulu yang kasar dan sederhana.[9] Atau juga sebagaimana diungkapkan oleh beberapa penulis modern bahwa kata “sufi” berasal dari perkataan Yunani, shopos tetapi ini tidak memiliki dasar yang kuat yang bisa dipercaya.[10]

Namun kebanyakan ahli menisbahkan pada kata Shuf, sebagai kata yang lebih tepat bagi asal-usul kata tasawuf.[11] Sementara secara terminologis pun, istilah tasawuf memiliki puspa ragam definisi. Dr. Abu Al-Ula Afifi[12] telah menguraikan kurang lebih enampuluh lima definisi tentang tasawuf. Menurut Afifi, dari definisi yang berjumlah enampuluh lima tersebut ia berharap bisa mencapai kesimpulan yang komprehensif tentang definisi tasawuf, ternyata ia hanya mendapatkan makna yang terdekat dari tasawauf. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan definisi-definisi yang diutarakan masing-masing sufi sangat bersifat pribadi dan spesifik, sehingga ada banyak definisi sebanyak kaum sufi mendefinisikannya.

Ma‟ruf Karkhi mengungkapkan tasawuf dengan berpihak pada hakikat-hakikat dan berputus asa dari segala hal yang ada pada makhluk (Al-Akhdzu bil haqoiq wa alya‟su mimma fi aidil Kholaiq).[13] Demikian pula tokoh-tokoh sufi yang lain memaknai tasawuf dengan berbeda-beda. Sehingga, hakikat pengalaman tasawuf tidak dapat didefinisikan (Sufism is undefinable), karena merupakan perasaan keagamaan yang amat personal dan intim (personal intimate religious feeling). Sedangkan menurut Qusyairi pengertian tasawuf berbeda-beda karena setiap ungkapan selalu berhubungan dengan pengalamannya pribadi (fa kullu ibarin bima waqoa lahu)[14] .

Ulasan Abdul Qadir Al-Jilani mengenai makna tasawuf diulas secara unik. Al-Jilani memaknai tasawuf dari kata tasawuf (تصوف ) langsung yang berasal dari empat huruf yaitu

Ta, Shad, Waw, dan Fa‟, yang masing-masing huruf tersebut memiliki makna tersendiri. Huruf Ta‟ berasal dari kata tawbah (taubat) yang terbagi dalam taubat zahir dan taubat batin.[15] Huruf Shad berasal dari kata shafa‟ (kejernihan) yang juga terdiri dari dua bagian yakni kejernihan hati dan kejernihan nurani. Jika kejernihan hati adalah membersihkan hati dari segala penyakit hati, maka kejernihan nurani adalah mengarahkan perhatian hanya kepada Allah semata. Huruf Waw berasal dari wilayah (kewalian) yang akan muncul dalam diri seorang sufi setelah kejernihan hati dan nurani.[16] Dan terakhir huruf Fa‟ yang bermakna fana‟ fillah (peniadaan diri dalam Allah) dari segala selain Allah. Jika sifat-sifat manusiawi telah tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat Keesaan Transenden yang tidak meniada, tidak melenyap, dan tidak menghilang. Hamba yang mengalami fana‟ ini akan tetap bersama Tuhan Yang Maha Abadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang telah mengalaminya akan abadi bersama Rahasia Yang Maha Abadi dan Perhatian-Nya.[17]

Kendati demikian, bukan berarti tasawuf tidak bisa didefinisikan sama sekali. Secara sederhana tasawuf merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara hamba dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga segala konsentrasi hanya tertuju kepada-Nya.[18] Ia lebih cenderung sebagai pengalaman hidup dal proses pencarian menuju kepada kesempurnaan hidup. Cara hidup ini telah diikuti individu-individu dengan berbagai watak dan karakter dengan berbagai pebdekatan yang berbeda.[19]

2) Embriologi Tasawuf

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, statiun yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[20] .

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba „an syai‟in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[21] .

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes.[22] Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu statiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma‟rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[23] . Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan ahirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridha, bertemu dan ma‟rifat Allah swt.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[24] . Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu.

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. AlGhazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, altawakkul, al-mahabbah, al-ma‟rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah,al-wara‟,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan alma‟rifah[25] . Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : altaubah,al-wara‟, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[26] .

Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.

3) Asal Usul dan Sumber Pijakan Tasawuf

Pembicaraan mengenai asal-usul tasawuf merupakan persoalan yang sangat kompleks, sehingga tidak bisa dikemukakan jawaban serta merta (sederhana) terhadap pertanyaan tentang asal-usulnya. Ada beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.[27] Thoulk menganggap tasawuf ditimba dari sumber Majusi; Dozy mengatakan tasawuf dikenal kaum muslim lewat orangorang Persia; Goldziher, Palqacios dan Nicholson menisbahkan tasawuf berasal dari Kristen; Horten dan Hartman berpendapat tasawuf diambil dari India (Hindu-Budha), sementara yang lain mengungkapkan bahwa Yunani merupakan sumber tasawuf.[28]

Walaupun demikian, banyak ilmuwan dan para pengamat tasawuf yang dengan tegas mengemukakan bahwa sumber-sumber tasawuf secara otentik berasal dari dalam Islam sendiri. Menurut Spencer Trimingham secara afirmatif menyatakan Sufism was a natural development within Islam the inner doctrine of Islam, the underlying mystery of the Qur‟an.,[29]

Pendapat sebagian ilmuwan muslim kontemporer, seperti Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa kehidupan spiritual kaum Sufi berawal dari Nabi, jiwa Nabi disinari cahaya Allah, Al-Quran, sehingga tepat sekali bila dikatakan bahwa wahyu Al-Quran sebagai sumber tasawuf[30] . Bahkan Lynn Wilcox, seorang Mursyid Sufi sekaligus guru besar psikologi abad ini pada California state University Amerika, dengan mengutip pendapat Bayazid Bistami, secara ekspresif ilustratif menyatakan bahwa benih tasawuf sudah ditanam pada masa Nabi Adam. Benih-benih ini berkecambah semasa Nabi Nuh dan berbunga semasa Nabi Ibrahim. Anggurpun berbentuk pada masa Nabi Musa dan buahnya matang pada masa Nabi Isa. Di masa Muhammad, semua itu dibuat menjadi anggur murni.[31]

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[32]

Sementara itu Abu al‟ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara‟, taqwa dan zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu‟awiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Dan ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu‟tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam.[33]

Kendati demikian, sebagian ilmuwan muslim mengakui sejujurnya bahwa tasawuf dipengaruhi pula oleh agama dan budaya lain. Dasar dan sumber fundamental tasawuf memang Al-Quran, Sunnah Nabi, kehidupan para sahabat dan tabi‟in, namun tanpa mengingkari fakta historis, wacana-wacana tasawuf dalam perkembangan selanjutnya telah diwarnai unsur-unsur luar. Terutama tasawuf falsafi, yang merupakan pengaruh Persia (Yunani) yang rasional dan filsafat India yang mistis.[34]

Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri, dalam perjalanan selanjutnya sekitar abad ke enam dan tujuh Hijriyah, wacana-wacana tasawuf banyak yang bernuansa filosofis atau tasawuf-falsafi yang diprakarsai oleh Suhrawardi (w. 587 H), Ibn Arabi (w. 638 H), Ibn Faridh (w. 632 H), dan lain-lain. Pada fase ini, konsep-konsep tasawuf berkembang dan diwarnai unsur-unsur diluar Islam, khususnya filsafat Yunani, sekalipun pijakan fundamental para sufi adalah Al-Quran dan Sunnah.[35]

Menurut hemat penulis, zuhud sebagai embrio dari tasawuf itu meskipun ada kesamaan antara praktek tasawuf dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, Tasawuf tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur‟an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi‟aat: 37 – 40).

4) Tahap Perkembangan Tasawuf

a) Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[36]

Istilah yang populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan „ubbaad.[37] Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan „ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.

Para ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme dalam Islam. R.A. Nicholson berpandangan bahwa asketisisme dalam Islam bersumber dari gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah, walaupun ada dampak pengaruh agama Masehi (Kristen). Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang mendekati semangat Islam dan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan pengenalan terhadap Allah (ma‟rifah), keadaan ruhaniah (hal), dan rasa (dzauq). Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas menganggap asketisisme dalam Islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir[38] .

Sementara itu, Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam.[39]

Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci Al-Quran sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada Allah, menghindari dunia beserta hiasannya, memandang rendah hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran juga menyeru manusia agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam, salat tahajud, berpuasa dan lain-lain.

Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosio-politik yang berlaku.

Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsipprinsip umumnya.

Keempat, penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka.

Sedangkan Abu al-Wafa‟ al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek.[40] Pertama, faktor Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan asketisisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah yang selalu membersihkan diri.[41]

Kedua, kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan religius, sosial dan politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman dinasti Umayyah yang banyak terjadi kelaliman dan penindasan sehingga banyak orang cenderung pada asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi kaum asketisisme yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan hidup umat Islam.

Kaum asketisisme pertama ini melihat para Khalifah Umayyah bertingkah laku sama sekali bertentangan dengan kesalehan dan kesederhanaan empat Khalifah yang pertama. Para Khalifah, keluarga dan para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar Abdul Aziz (717-720M.) yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya.[42]

Khalifah lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga demikian, selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat fakta-fakta tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari kemewahan dunia tersebut.[43] Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.[44]

Era abad pertama dan kedua Hijriyah tersebut sudah banyak para tokoh zahid, baik dari kalangan sahabat maupun generasi tabi‟in. Berikut ini merupakan tokohtokohnya menurut tempat perkembangannya. Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18H), Abu Dzar Al-Ghiffari (w 22H), Salman Al-Farisi (w 32 H), dan Abdullah ibn Mas‟ud (w 33 H). Sedangkan dari kalangan tabi‟in, termasuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w 106 H).

Tokoh-tokoh zahid dari Basrah adalah Hasan Al-Bashri ( w 110 H), Malik ibn Dinar (w 131 H), Fadl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w 149 H), Shalih Al-Murri dan Abdul Wahid ibn Zaid (w 171 H) dari Abadan. Tokoh-tokoh aliran Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w 67 H), Said ibn Jubair (w 96 H), Thawus ibn Kisan (w 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w 161 H), Al-Laits ibn Said (w 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w 198 H), dan lain-lain.

Sedangkan tokoh-tokoh yang berasal dari Mesir antara lain, adalah Salim Ibn Attar Al-Tajibi (w 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w 83 H), Nafi‟ hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w 117 H), Hayah ibn Syuraih (w 158 H), dan Abu Abdullah ibn Wahhab ibn Muslim Al-Mishri (w 197 H). Pada masa terakhir tahap ini juga muncul tokoh-tokoh, seperti Ibrahim ibn Adham (w 161 H), Fudhail ibn Iyadh (w 187 H), Dawud Al-Tha‟i (w 165 H), dan Rabi‟ah Al-Adawiyyah[45] .

Menurut Abu al-Wafa‟, aliran asketisisme abad pertama dan kedua hijriyah dapat disimpulkan dengan beberapa karakteristik berikut. Pertama, asketisisme ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat, dan memelihara dari azab neraka. Ide ini berakar pada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan terkena dampak berbagai kondisi sosio-politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.

Kedua, asketisisme ini bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoretis atas asketisismenya tersebut. Saranasarana praktisnya merupakan hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, berlebih-lebih dalam merasa berdosa, tunduk mutlak pada kehendak Allah, dan berserah diri kepadaNya. Dengan begitu, asketisisme ini mengarah pada tujuan moral.

Ketiga, motivasi asketisisme ini adalah rasa takut (khouf), yakni rasa yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi‟ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah (mahabatullah), yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya maupun rasa harap terhadap pahala-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Allah.

Keempat, asketisisme sebagian asketis yang terakhir, khususnya di Khurasan, dan pada Rabia‟ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai pendahuluan tasawuf. Kelompok ini sekalipun dekat dengan tasawuf, tidak dipandang sebagai para sufi dalam pengertiannya yang terinci. Mereka lebih tepat dipandang sebagai cikal bakal para sufi abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah.[46]

b) Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.[47]

Para sufi pada era tersebut mulai cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya justru tidak dikenal, semacam tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma‟rifat dan metodemetodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsiprinsip teoretis dari semua konsep tersebut. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar.[48]

Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah merupakan mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas48. Sejak abad ketiga Hijriyah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fikih. Ibn Khaldun menguraikan bahwa ilmu agama menjadi dua bagian: yang satu berkaitan denga fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat atau pun niaga. Satunya lagi berkaitan dengan kelompok sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau menerapkan terminologiterminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.[49]

Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu wiratsah dan ilmu dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu lahir, ilmu syariah, ilmu dirasah, dan ilmu riwayah.[50]

Pembagian Al-Thusi di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa para Sufi, dalam menyebut ilmunya dengan dirayah, ilmu batin ataupun sebutan lain yang serupa, justru membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoretis yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama adalah fikih atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin.

Selanjutnya menurut Abu Al-Wafa‟, pada abad-abad ini ada dua macam aliran tasawuf[51] . Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan syari‟ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaankeadaan fana. Mereka ini sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal sebagai syathahat. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami.[52]

Kendati demikian, secara global pada periode abad ini setidaknya ada lima karakteristik kedua jenis tasawuf tersebut.[53] Pertama, peningkatan moral. Pada dasarnya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama. Sebab, aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembahasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa tersebut ditandai ciri-ciri psikologis, di samping ciri-ciri moral.

Semua sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Karyakarya biografi mereka penuh dengan pendapat-pendapat mereka tentang hal itu semua.

Barangkali, dalam kalangan para sufi yang pertama kali membahas masalah tersebut secara mendalam adalah Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi. Ia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Ia mengarang banyak buku yang berhubungan dengan persoalan jiwa dan permasalahannya. Salah satunya yang cukup terkenal, yaitu „Adabun Nufus yang menguraikan perawatan jiwa dan kalbu, akhlak-akhlak jiwa, evaluasi diri, jenjang-jenjang amal, hawa nafsu, kelengahan dan kewaspadaan serta konsep-konsep lain yang berhubungan dengan peningkatan moral dan spiritual.[54]

Kedua, pengetahuan intuitif secara langsung atau disebut ma‟rifat. Ini merupakan prinsip epistemologis yang membedakan tasawuf dengan filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual, maka dia disebut seorang filosof. Sedangkan kalau dia menggunakan metode intuisi atau ma‟rifat, maka dalam kondisi demikian dia disebut sebagai seorang sufi atau mistikus dalam pengertiannya yang lengkap.[55]

Tokoh yang mula-mula membahas persoalan ma‟rifat adalah Ma‟ruf Al-Karkhi, yang diikuti oleh Abu Sulaiman Al-Darani, dan yang paling terkenal yaitu Dzun Nun AlMishri. Namun lagi-lagi, adalah Al-Muhasibi yang secara spesifik menulis sebuah buku kecil yang cukup terkenal tentang ma‟rifah yaitu Syarh al-Ma‟rifah wa Badzl alNashihah.[56] Secara garis besar, Al-Muhasibi membahas empat pilar utama ma‟rifat yaitu (1) ma‟rifat kepada Allah; (2) mengenal iblis sebagai musuh Allah; (3) mengenal nafs; dan (4) mengenal amal yang dilakukan karena Allah semata.

Ketiga, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana ialah bahwa dengan latihan-latihan fisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi sampai pada kondisi tertentu, di mana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau pun keakuannya. Fana juga bisa didefinisikan sebagai ketiadaan diri di dalam Allah, yakni menjadikan sifat-sifat baik Allah, bukan Eksistensi, sebagai ganti sifat-sifat manusiawi yang rendah.[57]

Keempat, ketenteraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab, tasawuf diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbanagn psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, tujuan tersebut akan membuat sang sufi terlepas dari semua rasa takut dan merasakan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.[58]

Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. Yang dimaksud dengan simbol di sini adalah ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi biasanya mengandung dua pengertian; 1) pengertian yang terdapat pada kata-kata tekstual. 2) pengertian yang digali dengan analisis dan pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sepenuhnya tertutup bagi yang bukan sufi dan sulit untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf merupakan kondisikondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih lagi, kondisi itu tidak sama pada setiap tokoh sufi. Setiap sufi punya cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang mereka alami. Dengan demikian, tasawuf merupakan pengalaman yang subjektif.

c) Tasawuf Abad kelima Hijriyah

Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembangpada abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.

Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama‟ah melalui keunggulan Abu AlHasan Al-Asy‟ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.[59]

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya monumentalnya, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi memulai kitabnya dengan menguraikan prinsip-prinsip tauhid, seperti ma‟rifatullah, sifat-sifat, keimanan dan lainnya. Selanjutnya ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamt wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama.

Menurut Qusyairi, antara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat merupakan disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah musyahadah ketuhanan. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa diterima. Sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syariat, tidak akan tercapai. Syari‟at berarti menyembahNya, sedang hakikat berarti seorang hamba menyaksikan-Nya.[60]

Begitu pula eksposisinya mengenai tahap-tahap perjalanan sufistik menuju Tuhan, terlihat sangat sistematis. Dalam perspektif Qusyairi, seorang hamba tidak akan bisa menaiki satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Siapa yang belum sepenuhnya qana‟ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah ber-inabah. Dan siapa yang tidak wara‟, tidak sah untuk ber-zuhud.[61] Bahkan ia mampu menguraikan konsep fana‟ yang sering disalah pahami oleh sebagian sufi lainnya, secara moderat. Fana‟ baginya bukanlah leburnya atau penyatuan seorang hamba dengan Tuhan, melainkan lenyapnya sifat-sifat tercela pada diri seorang hamba dan melahirkan ke-baqa‟-an, yakni kekalnya sifat-sifat terpuji.[62] Dengan uraian semua ini, terlihat sekali bahwa Qusyairi mempunyai pandangan yang moderat dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.[63] Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb alAlamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Mendekati Qusyairi, ia juga mengungkapkan bahwa tingkatan akhir tidak bisa diraih tanpa melalui tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak tanpa berdasarkan fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.[64]

Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana‟ dalam kesatuan, namun fana‟nya berbeda dengan fana‟ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana‟ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri. Atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, bahkan juga ketidaksadaran terhadap penyaksiannya serta dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena dia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penyembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan Yang Mengadakanya lewat wujudnya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan Yang Disaksikannya lewat persaksian terhadap-Nya. Kondisi demikian, biasanya disebut dengan sakr, ishthilam, atau mihwar.[65]

Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan ungkapanungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.[66]

Tokoh selanjutnya adalah Al-Ghazali, pembela tasawuf sunni yang menduduki peringkat lebih besar daripada kedua sufi yang telah disebutkan sebelumnya. [67] AlGhazali menjauhkan tasawufnya dari semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma‟iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lainlainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.

Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu fikih, kalam, filsafat dan tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik bahkan pada titik ekstremnya, dalam perspektif Imam Ghazali jalan yang paling ideal menuju Tuhan adalah melalui pencerahan sufistik atau tasawuf. Setelah mencapai mukasyafah, terbukanya tirai-tirai kegaiban alam malakut, Ghazali mempertajam wacana tersebut dengan berkomentar bahwa:

“Kaum sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan batinnya, teradopsi dari lentera kenabian, padahal tidak ada cahaya di muka bumi yang melebihi terang cahaya kenabian” .[68]

Al-Ghazali pun melakukan koreksi terhadap ungkapan-ungkapan ganjil AlBusthami dan Al-Hallaj. Menurut Al-Ghazali, ucapan-ucapan mereka di saat mabuk atau tidak sadar bersama Tuhan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab, ketika mereka sadar kembali, sebenarnya mereka tahu bahwa mereka tidaklah ittihad, menyatu sebenarnya dengan Tuhan, melainkan hanya menyerupai penyatuan.

Al-Ghazali membuat ilustrasi laksana orang yang belum pernah melihat cermin, lalu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana. Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri. Atau bagaikan seorang yang melihat anggur dalam sebuah gelas yang jernih, lalu ia mengira bahwa anggur itu bukanlah anggur, tapi hanya warna gelasnya. Jika kelak keadaan itu sudah menjadi terbiasa bagi orang yang mengalaminya dan kuat pula pengetahuannya, barulah ia akan menyadari keadaan yang sebenarnya.

Dengan paparan dan ilustrasi tersebut, Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa tidak mungkin terjadi penyatuan antara manusia dengan Tuhan. Yang ada hanya lenyapnya kesadaran si hamba ketika menyaksikan keagungan Wajah Tuhan Yang Maha Indah, Maha Mulia, dan Maha sempurna.