• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2279 / Download: 1410
Ukuran Ukuran Ukuran
Mengenal Ulama Besar syiah(1)

Mengenal Ulama Besar syiah(1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Mengenal Para Ulama Besar Syiah

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (1)

Setelah Imam Mahdi as memasuki periode keghaiban panjang, muncul ribuan faqih dan ulama besar di kalangan Syiah untuk memberikan pencerahan dan membimbing masyarakat ke jalan Allah Swt.

Sejarah kehidupan dan perjuangan ilmiah mereka cukup menarik untuk disimak. Pada seri acara ini, kita akan menelusuri sejarah para ulama besar, kegiatan ilmiah mereka, karya-karyanya, dan kiprah mereka dalam menyebarkan ajaran agama. Selain itu, kita juga akan mempelajari tentang kepribadian dan kehidupan irfani mereka.

Dalam budaya Islam, para ilmuwan dan ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia. Rasulullah Saw – utusan terakhir dan penghulu para nabi – menyebut ulama sebagai pelita bumi dan pewaris para nabi.

Islam adalah agama langit yang terakhir dan setelah Muhammad Saw, tidak ada lagi nabi baru yang diutus oleh Allah Swt, karena manusia telah mencapai sebuah fase dari perkembangan dan kesempurnaan. Mereka menerima ajaran agama untuk kebahagiaan abadi dari Rasulullah Saw dan menjaganya sebagai sebuah warisan yang berharga.

Rasulullah Saw – sebagai hamba Allah Swt – telah menjalani kehidupan untuk beberapa saat di dunia ini dan kemudian dipanggil menghadap Sang Kuasa, tapi ajaran Islam harus tetap hidup sampai hari terakhir kehidupan umat manusia di bumi ini.

Keberadaan para imam maksum dari keturunan Rasulullah Saw – lebih dari dua abad setelah kemunculan Islam – telah menyebabkan pertumbuhan dan penyebaran ajaran Islam. Mereka menjaga Islam dari berbagai terjangan badai fitnah, nifak, dan penyimpangan. Para imam maksum mempersembahkan jiwa dan raganya untuk menjaga agama terakhir Ilahi ini.

Atas kehendak Allah, imam keduabelas (Imam Mahdi as) disembunyikan dari orang-orang sehingga tidak hanya manusia, tetapi alam penciptaan juga bisa tetap eksis dan jiwanya terselamatkan dari kejahatan para durjana.

Menurut sejumlah riwayat, alasan keghaiban Imam Mahdi as adalah bagian dari rahasia Allah yang akan diketahui setelah kemunculannya. Namun, ada beberapa alasan rasional yang disebutkan oleh riwayat seperti, untuk menguji masyarakat, memperlihatkan ketidakmampuan pemerintahan tiran dalam membahagiakan manusia, mendidik manusia, menjaga Imam sebagai perantaraan rahmat Ilahi, dan mempersiapkan dunia untuk mendirikan sebuah pemerintahan Ilahi yang adil.

Selama Imam Mahdi as menjalani fase keghaiban, para ulama yang bertakwa bertugas untuk menyebarluaskan Islam, menjelaskan persoalan agama, dan membimbing masyarakat. Berdasarkan banyak riwayat, kedudukan ulama di sisi Allah lebih tinggi daripada para nabi Bani Israil.

Ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah. Tuhan memperkenalkan orang-orang yang berilmu – setelah Dirinya dan para malaikat – sebagai pemberi kesaksian atas keesaan-Nya.

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali-Imran, ayat 18)

Di ayat tersebut, para pemilik ilmu yang bertauhid dan hatinya diterangi dengan cahaya iman, berada di urutan berikutnya setelah Tuhan dan para malaikat. Para imam maksum juga mengisyaratkan mengenai peran penting ulama di masa kegaiban panjang.

Imam Ali al-Hadi as berkata, "Andaikan tidak terdapat seorang ulama setelah kegaiban pemimpin kalian yang menyeru kepada-Nya, membimbing ke arah-Nya, dan lebur pada agamanya dengan hujjah-hujjah Allah serta membela orang-orang yang lemah di antara manusia dari cengkraman iblis dan tipu dayanya, maka tidak tersisa seorang pun kecuali murtad dari agama Allah."

Ada banyak ayat dan riwayat yang menyeru manusia untuk mengenali dan mengikuti ulama. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Allah Swt berfirman kepada Nabi Daniyal bahwa hamba-Ku yang paling dibenci di sisi-Ku adalah orang bodoh yang meremehkan hak orang alim dan tidak mengikutinya, dan hamba-Ku yang paling dicintai di sisi-Ku adalah orang bertakwa yang mengejar banyak pahala, bersama orang-orang alim, mengikuti orang-orang yang sabar, dan menerima orang-orang yang bijak."

Posisi istimewa yang diberikan Islam kepada ulama, bukan tanpa alasan. Berdasarkan kehendak Allah, Islam adalah agama terakhir yang membawa aturan yang paling sempurna untuk kebahagiaan manusia. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, agama ini melalui masa-masanya tanpa kehadiran seorang nabi pun dan untuk itu, ia membutuhkan kehadiran para ulama yang bisa menjawab tantangan dan tuntutan baru umat manusia.

Allah Swt melalui al-Quran, telah menjelaskan panduan umum dan kaidah yang tetap untuk kebahagiaan abadi manusia. Dengan merujuk ke sumber-sumber hukum agama, manusia diharapkan dapat menemukan landasan hukum untuk masalah-masalah parsial yang dihadapinya di berbagai bidang.

Upaya menyingkap landasan hukum ini disebut ijtihad yaitu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ulama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syar'i mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Quran dan hadis.

Para ulama perlu menguasai sumber-sumber agama secara penuh untuk dapat melakukan ijtihad dan mengeluarkan sebuah hukum fikih. Mereka berjuang siang-malam untuk menjaga agama dan memberikan pencerahan kepada manusia.

Anda bisa mengikuti sejarah kehidupan para ulama besar Syiah dan kontribusi mereka di masyarakat di seri-seri berikutnya.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (2)

Abu Jakfar Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, lebih dikenal dengan Tsiqat al-Islam al-Kulaini adalah penulis kitab hadis yang paling populer, al-Kafi dan termasuk salah satu ahli hadits paling kesohor di kalangan Syiah.

Syeikh Kulaini memiliki keahlian khusus dalam mengidentifikasi hadits dan riwayat sehingga ia dianggap sebagai referensi di kalangan Syiah dan Sunni. Oleh sebab itu, ia dijuluki sebagai Tsiqat al-Islam yaitu orang kepercayaan Islam. Syeikh Kulaini adalah penulis kitab al-Kafi, karyanya yang paling penting dan menjadi salah satu dari empat kitab hadits rujukan Syiah.

Syeikh Kulaini adalah seorang ulama besar, faqih, dan ahli hadits yang paling terkenal di kalangan Syiah pada abad ketiga Hijriyah. Menurut catatan sejarah, ia lahir bersamaan dengan masa kepemimpinan Imam Hasan al-Askari pada tahun 258 H di sebuah keluarga religi di desa Kulain yang berjarak sekitar 38 kilometer dari kota Rey, salah satu kota kuno yang paling masyhur di Iran. Ayah dan pamannya termasuk ulama dan ahli hadits yang terkenal di masanya.

Setelah memberikan kontribusi besar untuk kemajuan dunia Islam, muhaddis besar ini meninggal dunia pada tahun 329 H, bertepatan dengan periode kegaiban besar Imam Mahdi as.

Penelitian dan kegiatan ilmiah Syeikh Kulaini berlangsung pada periode keghaiban shugra Imam Mahdi as. Dengan kata lain, ia hidup sezaman dengan empat orang wakil khusus Imam yang menjadi perantara antara dirinya dan masyarakat dan tentu saja tidak ada halangan bagi Syeikh Kulaini untuk membangun hubungan dengan Imam Mahdi as, paling tidak lewat para wakil khusus tersebut.

Syeikh al-Kulaini menempuh jenjang pendidikan dasar agama di bawah asuhan sang ayah dan pamannya sendiri. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Rey. Pada masa itu, kebanyakan masyarakat Rey bermadzhab Syafi'i dan Hanafi, tetapi desa-desa di kota itu menjadi pusat konsentrasi penduduk Syiah dan pecinta Ahlul Bait Nabi as.

Mayoritas warga Sunni tingga di kota Rey pada masa itu, tapi masyarakat Syiah dihormati di sana karena akhlaknya. Oleh karena itu, Rey kemudian terkenal sebagai kota penduduk Syiah.

Pengikut mazhab Isma’iliyah juga memilih kota Rey sebagai pusat kegiatan mereka. Dengan demikian, kota Rey menjadi pusat pertukaran pemikiran antara pengikut mazhab Isma'iliyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syiah Imamiyah.

Di kota ini, Syeikh Kulaini mempelajari ilmu hadits dari Abul Hasan Muhammad bin Asadi al-Kufi. Pada masa itu pula, kaum Qarmatian – yang memadukan ajaran Zoroaster, Manichean, dan Islam – melakukan serangan terhadap akidah dan kesucian kaum Muslim. Syeikh Kulaini meladeni kaum Qarmatian dengan menulis buku, “Al-Rad ‘ala Al-Qaramithah.” Buku ini bertujuan untuk menjaga kaum Muslim dari penyimpangan akidah dan penyesatan.

Syeikh al-Kulaini kemudian hijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu agamanya. Di sana, ia bertemu dengan banyak ahli hadits yang menukil hadits langsung dari lisan Imam Hasan al-Askari atau Imam Ali al-Hadi as serta berguru kepada para ulama besar.

Setelah dari Qum, ilmuwan besar ini bertolak ke kota Kufah untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya. Kufah di masa itu merupakan salah satu pusat besar ilmu pengetahuan, di mana para ulama besar datang ke kota itu untuk mengajar dan menuntut ilmu.

Tsiqat al-Islam kemudian berangkat ke Baghdad dan di sana, ia memperoleh popularitas yang besar di mana masyarakat Syiah dan Sunni merujuk kepadanya untuk memecahkan persoalan agama. Syeikh Kulaini kemudian menjadi kepercayaan kelompok Syiah dan Sunni dalam urusan agama.

Pada periode keghaiban sughra, masyarakat tidak bisa lagi membangun hubungan langsung dengan Imam Mahdi as. Sebagian pihak memanfaatkan kevakuman ini untuk memproduksi hadits palsu atau mendistorsi hadits-hadits yang sudah ada.

Dalam situasi seperti itu, para ulama dari semua mazhab melakukan upaya serius untuk melindungi riwayat dan hadits dari penyimpangan sehingga era itu juga dikenal dengan "Periode Hadits."

Perlu dicatat bahwa Kutubus Sittah (enam buah kitab induk hadits di kalangan Ahlu Sunnah) ditulis pada periode itu, tapi mazhab Sunni tidak membedakan antara Ahlul Bait dengan sahabat lain dan para muhaddits dalam menukil haditsnya. Ketika mereka melakukan pengumpulan hadits pada abad ketiga Hijriyah, mereka memiliki jarak 300 tahun dari sumber hadits.

Namun, mazhab Syiah memiliki para imam maksum dari Ahlul Bait yang merupakan khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul wafat, pengikut Syiah menukil hadits dan riwayat dari para imam maksum serta mempelajari agama dari mereka.

Ketika Syeikh Kulaini melakukan pengumpulan hadits pada periode keghaiban sughra, para ulama masih bisa membangun kontak dengan Imam Mahdi as melalui wakil-wakil khususunya. Di samping itu, ada juga para ahli hadits yang menukil langsung hadits dari Imam Ali al-Hadi dan Imam Hasan al-Askari as.

Syeikh Kulaini memahami dengan baik apa yang dibutuhkan umat pada periode genting itu. Ia mulai mengumpulkan hadits dan makrifat Ahlul Bait untuk menyelamatkan masyarakat dari penyimpangan. Ulama besar ini kemudian melakukan perjalanan ke berbagai kota Islam untuk mengumpulkan hadits dari para perawi sehingga masyarakat bisa memanfaatkan peninggalan Rasulullah Saw dan Ahlul Bait sebagai petunjuk.

Kerja keras dan perjuangan Syeikh Kulaini dituangkan dalam sebuah kitab dengan judul, al-Kafi untuk dimanfaatkan oleh para ulama dan kaum Muslim. Para ulama dari berbagai mazhab sampai sekarang masih menjadikan kitab ini sebagai salah satu rujukan mereka. Kumpulan hadits Rasulullah Saw dan para imam maksum yang dilakukan Syeikh al-Kulaini menjadi sangat berharga.

Menurut Najashi, Syeikh Kulaini adalah pemimpin ulama Syiah dan sosok cemerlang di zamannya yang paling dapat diandalkan dalam hadits. Ia menjadi salah satu figur besar ulama yang mendermakan hidupnya demi Islam dan kepentingan kaum Muslim. Dengan menerbitkan banyak buku, Syeikh Kulaini menunjukkan kontribusi besarnya untuk Islam.

Di zamannya, para ulama Syiah dan Sunni memberikan penghormatan yang tinggi terhadap keilmuan dan kiprah besarnya, terutama di bidang hadits. Beliau digaliri sebagai Tsiqah al-Islam karena tingginya kepercayaannya masyarakat dan ulama terhadap keilmuan dan keluhuran akhlaknya.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (3)

Abu Jakfar Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, lebih dikenal dengan Syeikh Kulaini, meninggalkan banyak karya berharga dan salah satu yang paling fenomenal adalah kitab al-Kafi yang ditulisnya selama 20 tahun.

Kitab al-Kafi adalah kitab pertama dari empat kitab hadis rujukan Syiah (Kutub Arba'ah). Ia tidak hanya tercatat sebagai mahakarya Syeikh Kulaini, tapi di tengah masyarakat Islam, tidak ada kitab yang lebih terpercaya dari al-Kafi di bidang hadis.

Syeikh Kulaini adalah ulama besar Syiah pada abad ketiga hijriyah dan ia mendapat kepercayaan dari kalangan Syiah dan Sunni. Ia tercatat sebagai ilmuwan Muslim pertama yang mendapat gelar Tsiqah al-Islam (kepercayaan Islam).

Cendekiawan Muslim ini lahir pada periode kepemimpinan Imam Hasan al-Askari as dan hidup sezaman dengan empat orang wakil khusus Imam Mahdi as. Namun karena gerak-gerik mereka dibatasi dan dipantau oleh penguasa, Syeikh Kulaini memikul tanggung jawab budaya dan ilmiah kaum Syiah dan secara leluasa dapat menyebarkan ajaran Syiah Imamiyah dan pengetahuan Ahlul Bait.

Setelah menempuh jenjang pendidikan dasar di bawah asuhan sang ayah dan pamannya sendiri, Syeikh Kulaini melanjutkan studinya di kota Rey, Qum, Kufah, dan kemudian hijrah ke kota Baghdad untuk memperdalam ilmunya di bidang agama.

Pada masa itu, ia menyaksikan banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai sekte untuk mendistorsi ajaran Islam. Ulama besar ini membulatkan tekadnya untuk menjaga ajaran Ahlul Bait dari penyimpangan dan menghabiskan hidupnya untuk menyampaikan kebenaran kepada umat.

Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini selain al-Kāfi, juga memiliki karya lain yang juga mendapat banyak perhatian dari kalangan ulama dan ilmuan. Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Rijal, ar-Radd 'ala al-Qaramithah, Rasa'il al-Aimmah as, Ta'bir al-Ru'ya, dan kumpulan syair tentang keutamaan Ahlul Bait as.

Namun, kitab al-Kafi merupakan mahakarya al-Kulaini di mana sampai sekarang masih menjadi referensi para ulama hadis, faqih, dan mujtahid besar Syiah dalam menyimpulkan hukum-hukum agama.

Syeikh al-Kulaini dalam kitab al-Kafi telah mengumpulkan 16.000 hadis dari Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Kitab ini terdiri atas tiga bagian yaitu, Ushul al-Kafi, Furu', dan Raudhah.

Ushul al-Kafi memuat riwayat mengenai persoalan akidah dan akhlak yang terdiri dari delapan kitab. Syeikh al-Kulaini dengan sangat teliti dan rasional, menukil berbagai riwayat yang berbicara tentang pentingnya akal dalam mengenal makrifat.

Ia kemudian menukil riwayat yang berbicara tentang keutamaan menuntut ilmu dan akhlak dalam mencari ilmu serta pentingnya ilmu untuk memperkuat basis akidah. Syeikh Kulaini selanjutnya menjabarkan prinpsip-prinsip utama akidah yaitu tauhid dan makrifatullah.

Di kitab al-Hujjah, Syeikh Kulaini mengumpulkan hadis-hadis yang berbicara tentang kenabian dan imamah. Bagian lain dari Ushul al-Kafi membahas masalah akhlak dan pendidikan seperti tawadhu', kesabaran, qana'ah, perkara ghibah, keutamaan doa, keutamaan al-Quran, adab berinteraksi, dan lain-lain. Bab ini memuat pelajaran yang sangat menarik dan bisa dimanfaatkan untuk umum.

Furu' al-Kafi memuat riwayat-riwayat mengenai masalah fikih seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Mempelajari kitab Furu' al-Kafi membutuhkan keahlian khusus dan ia biasanya menjadi rujukan para ulama fiqih.

Bagian ketiga al-Kafi disebut Raudhah, yang memuat 597 hadis mengenai beragam tema seperti khutbah dan surat para imam maksum, nasihat, cerita-cerita, dan materi sejarah. Karena keragaman temanya, ia disebut Raudhah atau taman.

Syeikh Kulaini yang pernah merasakan era kepemimpinan Imam Hasan Askari dan empat wakil khusus Imam Mahdi as, memiliki kesempatan menukil riwayat dengan perantaraan yang lebih singkat. Sebagian dari riwayat al-Kafi bahkan dinukilnya melalui tiga perantara dan ini menjadi salah satu keistimewaan kitab tersebut.

Al-Kafi memilih kata yang singkat dan jelas dalam penulisan tema hadis sehingga kandungannya mudah ditangkap oleh pembaca. Penukilan hadis dan riwayat dilakukan tanpa intervensi penulis, adapun keterangan penulis tentang hadis benar-benar ditulis terpisah.

Syeikh Kulaini dalam kitabnya meletakkan urutan riwayat dari yang mudah dipahami dan jelas sampai kategori yang sulit dan rumit. Salah satu keistimewaan al-Kafi adalah al-Kulaini menukil silsilah perawi dari setiap hadis sampai kepada imam maksum as.

Syeikh al-Kulaini mengumpulkan riwayat al-Kafi berdasarkan kaidah tidak adanya pertentangan hadis dengan kandungan al-Quran. Kehati-hatian dan perhatiannya yang besar dalam menerima nukilan hadis membuat sebagian orang berpendapat akan kesahihan semua riwayat yang terdapat dalam kitab ini.

Sekelompok ulama Syiah meyakini keshahihan seluruh riwayat yang dimuat kitab al-Kafi, sekelompok lain percaya bahwa sebagian riwayat dalam kitab itu tergolong lemah.

Syeikh al-Kulaini dalam mukaddimah kitab al-Kafi menulis bahwa sebuah riwayat dikategorikan shahih dan benar ketika ia sejalan dengan al-Quran. Mengenai kitab al-Kafi, Syeikh Mufid berkata, "Kitab ini adalah kitab terbaik Syiah yang memiliki fadhilah yang sangat besar. Para ulama kita memanfaatkan kitab ini melebihi kitab-kitab lain." Muhammad Taqi Majlisi menulis, "Kitab al-Kafi dari semua kitab Ushul adalah yang terlengkap dan terbaik yang disusun oleh mazhab Syiah Imamiyah."

Syeikh al-Kulaini meninggal dunia pada bulan Sya'ban tahun 328 H, bertepatan dengan awal dimulainya masa ghaibah panjang Imam Mahdi as di kota Baghdad pada usia 70 tahun. Ia dimakamkan di Bab al-Kufah, Irak yang terletak di bagian timur Sungai Tigris dan makamnya masih diramaikan oleh peziarah sampai hari ini.

Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Luqman berpesan kepada putranya, 'Wahai anakku! Duduklah selalu di majelis para ulama dan dengarkalah kata-kata ahli hikmah dengan penuh perhatian. Dengan cahaya hikmah itu, Allah Swt akan menghidupkan hati yang mati sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati (kering) dengan hujan lebat.'"

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (4)

Imam Ali as menganggap bergaul dengan orang-orang alim akan mendatangkan keberkahan. Ia berkata, "Bergaullah dengan ulama sehingga ilmu kamu bertambah, akhlak kamu mulia, dan jiwamu bersih."

Mengkaji sejarah kehidupan dan kiprah para ulama serta meneladani mereka, merupakan salah satu bentuk bergaul dengan ulama. Dengan mengenal mereka, kita juga akan memperoleh berkah dan ilmu.

Sekarang kami mengajak Anda mengenal salah satu ulama dan muhaddis terkemuka Syiah setelah Syeikh al-Kulaini yaitu Syeikh Shaduq.

Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi, yang terkenal dengan Syeikh Shaduq, adalah salah satu ulama besar Syiah pada abad ke-4 Hijriah. Ia ibarat bintang di ilmu hadis dan fiqih yang terbit di kota Qom.

Tahun kelahiran Syeikh Shaduq tidak diketahui secara pasti. Namun, ia tercatat lahir bersamaan dengan dimulainya tugas Husein bin Ruh al-Nubakhti sebagai wakil ketiga dari empat wakil Imam Mahdi as. Ia dilahirkan di tengah keluarga Babawaih Qommi, yang telah melahirkan banyak ilmuwan dan ulama besar selama lebih dari 300 tahun di Iran.

Syeikh Shaduq tercatat sebagai tokoh yang paling populer di keluarga Babawaih. Ayahnya merupakan seorang ulama besar Qom dan penulis produktif yang telah melahirkan lebih dari 200 karya pada masa keghaiban pertama Imam Mahdi as.

Ali bin Husein (ayah Syeikh Shaduq) belum memiliki anak di usia 50 tahun. Ia kemudian menulis sepucuk surat kepada Husein bin Ruh al-Nubakhti (wakil ketiga) supaya meminta Imam Mahdi as mendoakannya agar diberi keturunan oleh Allah Swt. Tiga hari kemudian, Imam Mahdi as memberikan kabar gembira kepada Ali bin Husein bahwa ia akan memiliki dua orang putra yang membawa kebaikan dan berkah.

Salah satu dari anak itu adalah Syeikh Shaduq yang memiliki kecerdasan dan sangat antusias dalam menuntut ilmu, sehingga ia menjadi salah satu guru besar di masanya. Salah satu karyanya, Man La Yahdhuruhu al-Faqih merupakan salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah.

Syeikh Shaduq belajar ilmu dasar agama dari ayahnya di kota Qom dan kemudian menimba ilmu dari para ulama dan muhaddis besar di kota tersebut. Ia sangat tekun dalam belajar dan terus berusaha meningkatkan ilmu dan makrifatnya. Dalam waktu singkat, ia menjadi figur terkenal di lingkungan akademis Qom karena kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa dalam menuntut ilmu.

Syeikh Shaduq kemudian memulai perjalanan ilmiah untuk memperdalam ilmunya ke madrasah para ulama dan muhadis besar di masa itu. Ia meninggalkan kota kelahirannya demi mengumpulkan hadis dari Rasulullah Saw dan para imam maksum as.

Syeikh Shaduq mendatangi setiap ulama besar hadis dan terpercaya di masa itu dan dapat dikatakan bahwa ia telah berkelana ke timur dan barat untuk mendatangi setiap ulama hadis untuk belajar dan mengumpulkan hadis dari mereka. Dia telah melakukan studi tur ke kota Bukhara, Naisabur, Tus, Isfahan, Sarakhs, Marv, Balkh, Samarkand, Farghaneh, Kufah, Baghdad, Makkah, dan Madinah.

Perjalanan ilmiah dan pertemuannya dengan para ulama besar telah menjadi salah satu faktor di balik kesuksesan Syeikh Shaduq. Gurunya berjumlah sangat banyak, di beberapa kitab disebutkan bahwa Syeikh Shaduq telah belajar dari 252 ulama.

Di sepanjang perjalanannya, Syeikh Shaduq juga membuka kelas-kelas kuliah dan menularkan ilmunya kepada orang lain. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat seputar agama dan memberikan pencerahan kepada mereka.

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Syeik Shaduq adalah berkuasanya Dinasti Buwaihi/Buwaih (Buyid Dynasty) dari keturunan Iran dan bermazhab Syiah selama periode 322 – 448 H di sebagian besar wilayah Iran, Irak, Jazirah Arab, dan perbatasan utara Syam.

Pemerintahan Dinasti Buwaihi memainkan peran besar dalam menyebarkan mazhab fiqih dan politik di masa keghaiban Imam Mahdi as. Sebagai pemerintahan pertama Syiah di masa ghaibah, Dinasti Buwaihi sangat menghormati ulama dan melaksanakan pandangan dan fatwa-fatwa mereka.

Syeikh Shaduq atas undangan perdana menteri Dinasti Buwaihi, melakukan hijrah ke kota Rey dan membuka kuliah fiqih dan hadis di kota itu sampai akhir hayatnya.

Penguasa Dinasti Buwaihi, Rukn al-Dawlah selalu membawa Syeikh Shaduq ke setiap acara untuk meminta pendapatnya dalam berbagai masalah. Ilmu pengetahuan dan budaya berkembang pesar di era kekuasaan Dinasti Buwaihi. Perpustakaan dan sekolah-sekolah didirikan di kota Rey dan kota ini mencapai puncak kejayaannya di bidang politik, sosial, budaya, dan intelektual di masa kekuasaan mereka. Puncak kejayaan ini ditandai dengan kehadiran para ulama besar seperti Ibnu Sina, Zakariya Razi, dan Syeikh Shaduq.

Muhammad bin Ali bin Husain dikenal dengan Shaduq karena kejujuran dan amanahnya dalam menukil hadis. Kumpulan karya-karyanya mencapai 300 kitab di berbagai bidang. Jumlah ini menandakan upaya luar biasa dan ketekunannya di bidang ilmiah. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal al-hadis, dan ilmu hadis.

Salah satu kontribusi penting Syeikh Shaduq di bidang hadis adalah menyusun dan mengurutkan hadis berdasarkan tema-temanya. Metode seperti ini belum pernah dilakukan sebelum Syeikh Shaduq dan bahkan mustahil bisa dilakukan oleh satu orang di masa sekarang, tapi ia barhasil melakukan itu berkat kecerdasan dan kecintaannya kepada makrifat Ahlul Bait as.

Syeikh Shaduq meninggalkan mutiara berharga untuk kaum Muslim di era panjang keghaiban Imam Mahdi as. Di antara karya besarnya antara lain: Man La Yahdhuruhu al-Faqih, kitab 'Ilāl al-Syarayi' (tentang filosofi hukum syariat), Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah, kitab al-Tauhid, Al-Khishal, Al-Amali, 'Uyun Akhbar al-Ridha, kitab Itsbat al-Washiyyah li Imam Ali as, dan buku-buku lain.

Di edisi berikutnya, kita akan mengenal lebih jauh tentang kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (5)

Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah dan ia dikenal dengan Syeikh Shaduq, karena sangat amanah dan jujur dalam menukil hadis.

Kerja keras Syeikh Shaduq dalam mengumpulkan hadis dari timur ke barat Dunia Islam telah memungkinkan kaum Muslim memanfaatkan mutiara makrifat Ahlul Bait Nabi as dalam bentuk yang sahih dan dapat dipercaya. Perjuangan ulama besar ini membuat mutiara Ahlul Bait terjaga dari distorsi dan hilang ditelan masa.

Syeikh Shaduq telah menulis lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, dan hadis. Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih sangat populer di antara karya-karyanya yang lain dan merupakan salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah.

Setelah al-Quran, hadis-hadis Nabi Saw dan Ahlul Bait adalah sumber penting hukum dan akidah dalam mazhab Syiah. Prestasi ini dicapai Syeikh Shaduq berkat kecerdasan, ketekunan, dan ketertarikanhya untuk melestarikan makrifat Ahlul Bait as.

Dalam literatur Islam, ucapan yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksum dari Ahlul Bait Nabi disebut hadis. Setelah al-Quran, hadis selalu memainkan peran sentral bagi kaum Muslim untuk memahami agama, ia berperan sebagai penafsir al-Quran dan penjelas agama.

Al-Quran dalam banyak ayatnya berbicara secara garis besar, dan tugas menerangkan dan menafsirkan diserahkan kepada Rasulullah Saw dan para khalifah setelahnya. Di ayat 44 surat an-Nahl disebutkan, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Rasulullah dan para imam maksum mendorong kaum Muslim untuk mempelajari, menuliskan, dan menyebarkan hadis, dan yang lebih penting dari itu adalah menyemangati mereka untuk memahami dan mendalami maknanya. Dari sini menjadi semakin jelas tentang kedudukan hadis-hadis sahih.

Imam Jakfar Shadiq as menukil dari ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir as yang berkata, “Wahai putraku! Kenalilah derajat orang Syiah kami dengan timbangan periwayatan mereka atas hadis-hadis Ahlul Bait dan makrifat mereka atas hadis-hadis tersebut. Dan makrifat adalah pengetahuan atas riwayat dan dirayah hadis. Dengan diriyah dan pemahaman riwayah inilah seorang mukmin mencapai derajat iman paling tinggi.”

Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah karya Syeikh Shaduq yang paling populer dan paling besar setelah kitab Madinah al-Ilm. Kitab Madinah al-Ilm merupakan sebuah karya yang sangat penting dan lengkap, tapi sayangnya ia telah lenyap beberapa abad yang lalu. Deskripsi tentang kitab ini ditemukan dalam beberapa buku lain dan para ulama salaf menjadikan kitab tersebut sebagai rujukannya.

Kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih menyandang status sebagai salah satu dari empat kitab hadis Syiah selama 12 abad. Kitab ini memuat 6.000 hadis yang disusun berdasarkan tema-tema dalam fiqih.

Mengenai kitab tersebut, Syeikh Shaduq menulis, “Kitab ini adalah sebuah kitab mengenai persoalan fiqih, masalah halal dan haram, dan hukum-hukum syariat di mana ia memuat berbagai tema fiqih – dari perkara bersuci sampai hukum diyah – yang sejauh ini pernah saya tulis dan saya menamainya dengan Man La Yahdhuruhu al-Faqih yaitu kitab (bagi) orang yang tidak menemukan seorang faqih, sehingga ketika dibutuhkan ia dapat menjadi rujukan yang bisa dipercaya dan meyakinkan bagi orang yang tidak menemukan seorang faqih… Tujuan saya adalah membawakan sekumpulan dari riwayat yang dengannya saya mengeluarkan fatwa dan menghukumi keabsahannya.”

Sejauh ini 23 syarah (penjelasan) telah ditulis untuk kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, yang selalu mendapat perhatian dari para ulama Syiah. Sayangnya, kebanyakan dari syarah itu sudah hilang atau hanya naskah tulisan yang tersisa dan tidak dipublikasikan secara luas.

Raudhah al-Muttaqin karya Majlisi Awal, tercatat sebagai syarah yang paling terkenal untuk kitab kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Sebagaimana diketahui bahwa Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah salah satu dari empat kitab hadis Syiah di samping kitab al-Kafi karya Syeikh Abu Ja'far Kulaini, Tahdzib al-Ahkam ditulis oleh Syeikh al-Thaifah Abu Ja'far bin Hasan Thusi, dan kitab Al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Masing-masing dari kitab induk ini memiliki keistimewaan sendiri.

Perbandingan antara kitab al-Kafi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih menunjukkan bahwa karya Syeikh Shaduq ditulis dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum praktis dan persoalan fiqih, sedangkan al-Kafi selain selain masalah hukum dan fiqih, juga memuat hadis-hadis tentang akidah dan akhlak.

Syeikh Shaduq tidak menyebutkan sanad riwayat secara sempurna dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih sehingga volume kitabnya tidak terlalu banyak dan menyulitkan pembaca. Namun, sanad hadis secara lengkap dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul Masyikhah untuk para peneliti.

Sebagian pembahasan dalam Man La Yahdhuruhu al-Faqih adalah masalah air, thaharah (bersuci) dan najis, kewajiban-kewajiban shalat dan pendahuluannya seperti wudhu, mandi, dan tayammum, persoalan mengurusi mayit, hukum-hukum shalat, hukum-hukum peradilan, hukum-hukum seputar jual-beli, bab pernikahan, hukum warisan, dan masalah-masalah lain.

Metode penulisan kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih mengikuti medote yang umum dipakai pada abad-abad pertama Islam, di mana para fuqaha Syiah hanya menukil riwayat dari Rasulullah Saw dan para imam maksum.

Sejak masa Syeikh Mufid, – murid Syeikh Shaduq yang paling hebat – metode tersebut mulai berubah secara perlahan, karena beradaptasi dengan tuntutan zaman dan kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh orang-orang di luar Islam dan musuh.

Seiring masuknya filsafat Yunani ke Dunia Islam dan munculnya masalah-masalah baru di ilmu kalam, para ulama dituntut untuk menjawab persoalan yang belum pernah ditanyakan ini. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha Syiah menggunakan metode baru untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (6)

Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Qommi adalah seorang ulama besar Syiah abad keempat Hijriyah. Para fuqaha dan ulama mengenalnya sebagai Syeikh Shaduq dan Rais al-Muhadditsin, karena ia sangat menguasai hadis dan sanadnya serta melakukan upaya maksimal untuk mengumpulkan dan membukukan hadis.

Syeikh Shaduq bukan hanya seorang muhaddits, tapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti fiqih, ilmu kalam, dan tafsir. Meski namanya selalu melekat dengan karya besarnya Man La Yahdhuruhu al-Faqih, namun ia juga telah melahirkan lebih dari 300 buku di berbagai tema seperti ushul fiqh, fiqih, tafsir, ilmu rijal, hadis, dan kalam.

Ulama besar ini telah meninggalkan karya besar lainnya seperti al-‘Itiqadat dan Ibthal al-Ghulu wa al-Taqshir yang membahas persoalan teologi, membuktikan kebenaran akidah Syiah, dan menolak akidah batil. Diskusi dan perdebatan ilmiah Syeikh Shaduq dengan para tokoh mazhab lain telah memperlihatkan kehebatannya dalam ilmu kalam.

Banyak ulama memandang Syeikh Shaduq sebagai teolog besar yang juga menukil untuk memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan umat. Ia bahkan berusaha menjawab pertanyaan seputar konsep Mahdiisme lewat hadis-hadis seperti yang termaktub dalam kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah.

Dalam pembukaan kitab Kamal al-Din wa Tamam al-Ni'mah, Syeikh Shaduq menulis, “Saya menyaksikan menjamurnya syubhat (kesamaran/ketidakjelasan) tentang Imam Mahdi as dan saya ingin menjawab syubhat-syubhat ini.”

Syeikh Shaduq menjawab syubhat ini lewat berbagai hadis. Jadi dalam buku-buku yang terlihat hanya untuk menukil dan mengumpulkan hadis, ia menyelipkan kajian teologi yaitu memberikan argumentasi akal dan tekstual untuk membuktikan kebenaran, menjawab syubhat, dan menjelaskan pandangan-pandangannya.

Metode seperti ini juga digunakan Syeikh Shaduq dalam kajian fiqih. Dengan memperhatikan metode-metode fiqih, ia mengumpulkan hadis yang sahih dari segi sanad dan kandungan dalam kitab-kitabnya. Ketika memberikan fatwa, Syeikh Shaduq lebih memilih menggunakan bahasa yang dipakai oleh teks hadis ketimbang memakai istilahnya sendiri.

Metode seperti ini cukup populer di kalangan para ulama masa itu. Namun metode ini tidak berarti bahwa Syeikh Shaduq hanya seorang muhaddist, tentu ia juga seorang ulama yang menjelaskan pandangan-pandangan ijtihadnya dengan baik. Oleh karena itu, kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih yang menjadi salah satu dari Kutub Arba'ah di kalangan Syiah Imamiyah juga memuat fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh tokoh besar ini.

Maktab fikih Syeikh Shaduq dikenal sebagai maktab ahli hadis. Namun ada banyak perbedaan antara maktab ahli hadis di kalangan Sunni dan Syiah dan keduanya benar-benar berbeda. Karena ahli hadis Syiah – berbeda dengan ahli hadis Sunni – memandang ijtihad dalam persoalan fiqih sebagai sebuah keharusan.

Dalam pandangan ahli hadis Syiah, ijtihad berarti mengeluarkan hukum yang lebih spesifik dari kaidah-kaidah umum yang diterangkan oleh hadis atau mengutamakan sebuah hadis atas hadis lain jika terjadi pertentangan antara teks-teks hadis yang ada. Model ijtihad seperti ini memberikan kelenturan dan keseimbangan dalam maktab fiqih ahli hadis Syiah. Namun ahli hadis Sunni hanya memegang tekstual hadis dan menolak segala bentuk ijtihad.

Sepeninggal Syeikh Shaduq, muridnya Syeikh Mufid meletakkan sebuah metode baru dalam ijtihad yang telah memberikan kelenturan khusus dan dinamika kepada fiqih Syiah.

Salah satu ciri khas Syeikh Shaduq adalah upayanya yang tulus untuk mendekatkan mazhab-mazbah dalam Islam dan menghilangkan kesalahpahaman satu sama lain.

Meskipun ia melakukan upaya tak kenal lelah untuk membela keyakinan Syiah, melakukan banyak perdebatan ilmiah, dan menulis banyak buku, namun tetap ia melakukan semua tugas ini dengan bijaksana, jauh dari kontroversial, dan tidak mengkafirkan pihak lain yang dapat memicu kemarahan mereka.

Syeikh Shaduq selain berguru kepada para ulama Syiah, ia juga menimba ilmu dari para ulama Sunni, dan muridnya terdiri dari pengikut berbagai mazhab dalam Islam. Sebagai contoh, Syeikh Shaduq mengenai alasannya menulis kitab al-Tauhid menerangkan, ”Kaum Mu’tazilah menuduh kami sebagai kelompok Jabariyah. Saya kemudian menulis kitab ini untuk menjelaskan bahwa kita tidak memiliki perbedaan, kita sama-sama mengakui masalah ikhtiar, kebebasan, dan tauhid.”

Syeikh Shaduq sangat menghormati pengikut mazhab-mazhab lain di samping memberikan kritikan ilmiah dan rasional terhadap sebagian akidah mereka. Sikap ini membuatnya sangat dihormati di kalangan para ulama dari semua mazhab. Sikap mulia ini dapat menjadi pelajaran dan keteladanan bagi kita semua.

Setelah melakukan upaya tak kenal lelah untuk menjaga dan menjelaskan pengetahuan Islam, ulama besar Syiah ini akhirnya meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah dan dimakamkan di kota Rey, Iran.

Sejarah mencatat sebuah peristiwa yang penuh ibrah setelah 800 tahun dari wafatnya Syeikh Shaduq. Pada masa kekuasaan Fath-Ali Shah Qajar di Iran, hujan lebat dan banjir membuat makam Syeikh Shaduq di kota Rey rusak dan liang lahatnya terbuka. Ketika masyarakat melakukan perbaikan, mereka menyaksikan jasad Syeikh Shaduq masih utuh dan seakan baru saja dimakamkan.

Peristiwa langkah ini turut disaksikan oleh 20 ulama pada masa itu termasuk Mirza Abul Hasan Jilwah, Ayatullah Mulla Muhammad Rastamabadi, dan Hajj Sayid Mahmoud Mar’asyi (Ayah dari Ayatullah Mar’asyi Najafi).

Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Fath-Ali Shah Qajar, ia segera menuju ke kota Rey dan langsung memerintahkan pemugaran makam Syeikh Shaduq yang dilengkapi dengan kubah.

Makam Syeikh Shaduq sampai sekarang selalu dipenuhi oleh para peziarah yang datang untuk memberikan penghormatan kepada ulama besar ini.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (7)

Muhammad bin Muhammad bin Nu'man atau lebih dikenal dengan Syeikh Mufid adalah seorang ulama besar Syiah, yang paling populer pada pertengahan abad ke-4 dan permulaan abad ke-5 Hijriyah.

Syeikh Mufid – karena kontribusinya yang luar biasa dalam pengembangan fiqih dan ilmu kalam Syiah – dianggap sebagai pelopor di bidang pemikiran Syiah. Lebih tepatnya, ia adalah peletak dasar-dasar ilmu kalam Syiah dan pembentuk model baru fiqih Syiah.

Setelah 10 abad berlalu, pemikiran-pemikiran konstruktif Syeikh Mufid masih menjadi perhatian para cendekiawan dan pemikir Islam. Ini adalah indikasi dari kedudukannya yang istimewa di ranah pemikiran Islam.

Syeikh Mufid lahir pada 11 Dzulkaidah pada tahun 336 H di daerah al-Akbari, sebuah kota di tepi timur Sungai Tigris di Baghdad, Irak. Ayahnya adalah seorang guru dan karenanya, anaknya juga terkenal dengan "Ibnu Mu'allim." Al-akbari dan al-Baghdadi adalah dua gelar lain Syeikh Mufid yang diambil dari tempat kelahirannya.

Sejak masa kecil, Syeikh Mufid bersama ayahnya pergi ke kota Baghdad untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dari para ulama besar ilmu kalam seperti, Syeikh Shaduq, Ibnu Junaid Askafi Baghdadi, Hussain Bin Ali Basri, Ali Bin Isa Ramani, Jakfar bin Muhammad bin Qulawaih, Muhammad bin Imran Marzbani, Ibnu Hamzah Thabari, dan Ibu Dawud Qummi.

Iman yang kuat, kecerdasan, dan ketekunan membuat Syeikh Mufid menguasai semua cabang ilmu yang berkembang pada masa itu. Ia sangat manguasai ilmu kalam dan seni perdebatan ilmiah. Di masa Syeikh Mufid, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Berbagai aliran pemikiran berkembang di Baghdad dan masing-masing berusaha untuk membuktikan kebenaran akidahnya.

Dalam situasi seperti itu, Syeikh Mufid mampu membuktikan kebenaran akidah Syiah atas mazhab-mazhab lain dan ia diberi tempat khusus sebagai guru besar oleh penguasa Sunni kala itu.

Di masa mudanya, Syeikh Mufid memiliki kedudukan terhormat di kalangan ulama, bukan hanya ulama Syiah, tetapi para ulama dari mazhab-mazhab lain juga menghormati dan memuliakannya. Bukan hanya ulama dan masyarakat umum, para panguasa Dinasti Dailami juga berkunjung ke kediaman Syeikh Mufid untuk memberikan penghormatan, pada saat itu ia hanya berusia 34 tahun.

Syeik Mufid meninggal dunia pada tanggal 2 atau 3 Ramadhan tahun 413 di Baghdad. Sekitar 80 ribu orang ikut mengantarkan jenazahnya dan mayoritas mereka berasal dari para ulama mazhab-mazhab lain.

Ia memiliki pengaruh besar dalam pengembangan metode ijtihad Syiah. Ulama besar ini melakukan kerja keras untuk membersihkan ajaran Syiah dari pemikiran-pemikiran yang keliru. Sama seperti upayanya dalam membela akidah Islam dan makrifat Syiah dari serangan faham-faham pemikiran lain.

Syeikh Mufid bahkan memerangi pemikiran ekstrem dan tidak rasional yang berkembang di tengah pengikut Syiah dan ia mencatat banyak keberhasilan di bidang ini. Salah satu keyakinan keliru yang dipraktekkan di kalangan Syiah dan khususnya di kalangan Sunni pada masa itu adalah mengesampingkan akal dalam memahami agama.

Di masa keghaiban panjang Imam Mahdi as, para ulama bekerja keras untuk mengumpulkan hadis serta memilahnya antara hadis shahih dan cacat. Syeikh Shaduq juga menghabiskan usianya untuk menjaga khazanah ilmu pengetahuan ini. Sebagian besar ulama menaruh perhatiannya di bidang ini, namun setelah periode hadis berakhir, Syeikh Mufid berusaha memperkuat pondasi ijtihad Syiah dengan memanfaatkan akal secara proporsional.

Pada masa itu, para ulama menentang keras segala bentuk campur tangan akal untuk memahami agama. Metode ini menyebabkan tumpulnya pandangan dan munculnya pendekatan ekstrem dalam keyakinan masyarakat. Salah satu kontribusi penting Syeikh Mufid adalah memerangi pemikiran-pemikiran batil ini.

Ia memperkenalkan akal sebagai salah satu instrumen yang efektif untuk mengenal al-Quran dan hadis. Ia kemudian menyusun sebuah metode tentang prinsip-prinsip tepat penggunaan akal untuk memahami agama.

Oleh karena itu, Syeikh Mufid memainkan peran mendasar dalam merumuskan prinsip-prinsip fiqih Syiah secara baku. Metode ijtihad ini adalah jalan tengah antara metode hadis Syeikh Shaduq dan metode induktif Ibnu Junaid di bidang fikih. Pedoman-pedoman istinbath (inferensi) hukum dituangkan dalam sebuah kitab berjudul al-Tadzkirah bi Ushul Fiqh. Kitab ini dikenal sebagai buku pertama yurisprudensi dalam sejarah disiplin ilmu ini.

Kita cukup menela’ah kitab Jawabat Ahl-il Musil fil ‘Adad war Ru'yah untuk memahami peran Syeikh Mufid dalam menawarkan sebuah metode yang komprehensif di bidang ijtihad dan inferensi hukum. Metode yang dipakai para ulama sekarang dalam menyimpulkan hukum dari ayat dan riwayat, benar-benar sama persis dengan metode Syeikh Mufid dalam kitabnya tersebut.

Metode istinbath Syeikh Mufid bisa ditemukan di buku-buku fiqih yang ditulis oleh para ulama kontemporer. Ini membuktikan kekuatan landasan usuh fiqh Syeikh Mufid dalam ijtihad Syiah sehingga diterima oleh semua pihak.

Jika kita ingin mengenal sepenuhnya tentang kiprah Syeikh Mufid dalam pengembangan pemikiran Syiah, maka dibutuhkan sebuah tim riset yang menguasai ilmu-ilmu Islam dan sejarah untuk menyingkap semua sisi intelektual ulama besar ini.

Kiprah lain Syeikh Mufid di bidang ilmu dan pemikiran akan kami hadirkan dalam edisi berikutnya.

Mengenal Para Ulama Besar Syiah (8)

Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) adalah salah seorang ulama dan pemikir Syiah yang paling berpengaruh. Di masa itu, masyarakat Syiah menikmati situasi yang lebih bersahabat dan Syeikh Mufid juga bisa leluasa melakukan kegiatan ilmiah.

Syeikh Mufid menawarkan sebuah metode komprehensif untuk ijtihad dan istinbath atau mengeluarkan hukum fiqih dari sumber-sumbernya. Metode ini masih dipakai oleh para fuqaha dan ilmuwan sampai sekarang.

Syeikh Mufid memiliki pengaruh besar di ranah ilmu kalam dan fiqih Syiah sehingga ia dianggap sebagai peletak ilmu kalam Syiah dan masternya ilmu fiqih. Ia juga bergelar pemimpin dari para pemimpin Syiah.

Salah satu perhatian utama Syeikh Mufid pada masa itu adalah menjawab syubhat (sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu) akidah dan mazhab.

Ahlu Bait memperkenalkan para ulama hakiki sebagai penjaga dan pelindung Islam. Dapat dipastikan Syeikh Mufid adalah salah satu dari penjaga Islam ini.

Meski ia sebagai seorang ulama besar Syiah, namun tetap tampil sebagai seorang guru yang berusaha menjawab syubhat akidah dan fiqih yang disampaikan pihak lain melalui lisan dan penanya.

Syeikh Mufid lewat beberapa karyanya termasuk, Fushul al-Asyrah fi al-Ghaibah, menjawab syubhat akidah dan fiqih serta sanggahan seputar filosofi keghaiban Imam Mahdi as. Karya lain ulama besar ini, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, juga menjelaskan mengenai pemikiran khusus Syiah Imamiyah dalam permasalahan ilmu kalam.

Selain menulis artikel dan buku untuk menjawab syubhat, Syeikh Mufid menggelar diskusi dan melakukan debat ilmiah dengan ulama dari berbagai mazhab. Dengan penguasaannya terhadap mazhab-mazhab Islam, ia mampu membela akidah Islam dengan argumentasi yang rasional dan kuat.

Salah satu karakteristik Syeikh Mufid adalah menaruh perhatian khusus pada kebutuhan intelektual masyarakat. Ia secara rutin membangun hubungan dengan mereka dan mengikuti forum-forum diskusi ilmiah.

Karena posisinya sebagai pemimpin Syiah pada masa itu, ia selalu menerima surat-surat dan pertanyaan masyarakat yang dikirim dari berbagai pelosok negara Islam kepadanya. Dengan demikian, Syeikh Mufid mengambil inisiatif untuk menjawab kebutuhan mereka dengan menulis buku dan risalah. Banyak dari karyanya ditulis untuk menjawab pertanyaan masyarakat dari sebuah daerah tertentu.

Selain masyarakat awam yang meminta bimbingan Syeikh Mufid seputar kewajiban syar'inya, para ulama besar di masa itu juga memperdalam ilmu agama dari Syeikh Mufid. Karya terpenting Syeikh Mufid di bidang kalam, fiqih, dan sejarah seperti, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, Al-Muqni'ah, dan al-Jamal wa al-Nushrah lisayyid al-Itrah fi Harb al-Bashrah, ditulis atas permintaan para ulama besar seperti, Syeikh Murtadha, Syeikh Radhi, dan ulama lain.

Sebagian besar dari karya Syeikh Mufid berdurasi singkat dan berupa artikel. Hal ini telah menjadi ciri khas dari karya-karya beliau.

Syeikh Mufid adalah seorang peneliti profesional dan ia menghindari penggunaan kata atau kalimat yang diulang-ulang. Ia mampu menjelaskan materi rumit dalam sebuah kalimat singkat, kecuali untuk materi yang sangat rumit dan membutuhkan penjelasan yang panjang.

Imam Ali as berkata, "Janganlah berbicara dan berkata panjang sehingga membuat pendengar jenuh, dan jangan pula terlalu singkat sehingga mereka merasa terhina (karena tidak memahami isi pembicaraan)."

Oleh sebab itu, kebanyakan dari karya Syeikh Mufid berupa risalah singkat dan padat, yang ditulis untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Ciri khas lain karya Syeikh Mufid adalah penggunaan bahasa yang sederhana. Kalimat yang rumit dan istilah yang spesifik jarang ditemukan dalam karya-karyanya.

Dalam kajian kalam, fiqih, sejarah, dan bahkan persoalan ilmiah, Syeikh Mufid menjelaskannya dengan bahasa yang mudah sehingga bisa dimengerti oleh semua orang. Meskipun Syeikh Mufid seorang ulama besar dan punya kemampuan luar biasa dalam menulis kitab-kitab besar, namun ia lebih memilih menyusun risalah singkat dan efektif dengan bahasa yang mudah, dengan tujuan menjawab persoalan pemikiran kaum Muslim.

Salah satu kegiatan Syeikh Mufid adalah mengajar. Ia membentuk banyak kelas untuk mengajar ulama di bidang fiqih dan kalam, dan ia berhasil mencetak murid-murid yang sangat luar biasa.

Di antara murid Syeikh Mufid yang kemudian menjadi ulama besar setelahnya adalah Sayid Murtadha, Sayid Radhi, Syeikh Thusi, Ahmad bin Ali al-Najasyi, Sallar al-Daylami, Abul Fatah Karajuki, dan Abu Ya'la Muhammad bin Hasan Ja'fari.

Syeikh Mufid tidak melupakan masalah spiritualitas dan penyucian jiwa meskipun sangat sibuk mengabdi di bidang akademis dan sosial. Para murid dan orang-orang dekatnya bersaksi bahwa cahaya spiritualitas dan keluhuran moralnya terus memancar dari waktu ke waktu.

Syeikh Mufid melakukan banyak shalat dan puasa serta selalu memberikan sedekah. Masyarakat sangat mencintainya karena kesederhanaan dan sifat tawadhu yang dimilikinya. Dia menjalani kehidupan sederhana seperti masyarakat biasa.

Syeikh Mufid tidak tergoda dengan jabatan dan harta, dan hal ini membuatnya lebih mudah dalam proses penyucian jiwa dan perjalanan menapaki puncak kesempurnaan.

Menantunya, Sharif Abu Ali menuturkan, "Syeikh Mufid hanya tidur sebentar di malam hari dan kemudian ia bangun untuk mendirikan shalat. Kesibukannya tidak lepas dari membaca buku, atau mengajar, dan atau membaca al-Quran."

Itulah ringkasan dari kehidupan seorang ulama, yang masih dikenal dan dihormati sampai sekarang meskipun ia telah wafat seribu tahun lalu.